Heng Thian Siau To BAGIAN 04 : HUKUMAN MATI

 
BAGIAN 04 : HUKUMAN MATI

"Ngaco! Masih berani berbohong ya?!” bentak Yan- chiu dengan murka.

Tong Ko benar2 penasaran. Maju selangkah dia berkata dengan gagah: "Aku, Tong Ko, kepala boleh kutung darah boleh mengucur, tapi selama hidup tak pernah aku berdusta, Harap Liau locianpwe mengerti akan hal itul"

Nada kata2nya keras, wajahnya tak gentar. Benar2 dia seorang anak muda yang berhati baja.

"Kau bilang kepalamu boleh kutung? Baiklah, memang hari ini akan kukutungi kepalantu itu!" seru Yan-chiu sembari cabut pedang pusakanya, lalu bertanya kepada sekalian orang: "Saudara2 sekalian, harus tidak orang begini ini dibunuh?"

Oleh karena sudah mengetahui duduk perkaranya, maka sekalian orang segera berseru dengan serempak:

"Harus!".

Tapi Tong Ko pun tak jeri, malah lantas tonjolkan kepalanya menantang: "Tabaslah!"

Sebaliknya Yan-chiu malah tertegun kaget. Benar kedosaan anak itu tak dapat diampuni lagi, tapi sebaliknya dari minta ampun dia malah menyuruh minta ditabas, hal ini membuatnya (Yan-chiu) terpesona sendiri. Adalah Tio Jiang yang mengerti isi hati sang isteri segera berkata kepada Tong Ko: "Tong Ko, meskipun dosa-mu itu pantas dihukum mati, tapi mengingat selama ini kaupun kecil2 juga mempunyai jasa kepada perserekatan, maka kuberi keringanan supaya kau habisi jiwamu sendiri dengan loncat turun dari puncak gunung!"

"Kalau sampai tidak mati lalu bagaimana?" tanya Tong Ko.

Giok li-nia itu adalah sebuah puncak yang tingginya ribuan meter. Loncat turun kebawah dan tak binasa, adalah suatu hal yang mustahil dapat terjadi. Walaupun ilmu kepandaiannya cetek, tapi Tio Jiang mengagumi kejantanan anak muda itu. Maka tak ha. bislah herannya, mengapa anak itu sampai menjadi penunjuk jalan kawanan kuku garuda itu.

"Kalau tak  mati, itulah peruntunganmu. Kuharap selanjutnya kau dapat berobah menjadi orang baik!" sahut Tia Jiang.

Mendengar itu, tertawalah Tong Ko dengan tawarnya. "Kalau   aku   tak  sampai   binasa,   kau  adalah tuan

penolongku   yang  budiman,  Tio   pehpeh.  Tapi   maaf,

jangan tuduh aku tak kenal budi. Hinaan yang dilemparkan isterimu kepadaku didepan sekian banyak orang tadi, kelak aku pasti akan menuntut balas!"

Riuh rendahlah sekalian orang sama berisik. Yan-chiu gontaikan pedangnya, dan ujung pedang itu sudah melekat diulu punggung Tong Ko, namun anak muda itu tetap bersikap tenang.

”Mah, ayah telah meluluskan dia untuk loncat dari atas puncak, jangan kau turun tangan lagi!" tiba2 kedengaran seorang nona berseru.

Tong Ko berpaling dan dapatkan nona itu adalah Tio In, siapa dengan sepasang matanya yang bundar ber- linang2 tengah mengawasi kepadanya. Teringat akan cita2 yang dikandungnya selama ini yang ternyata berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan, hati Tong Ko seperti diremas pedihnya. Cita2nya itu yalah agar dia dapat diterima menjadi murid Siau-beng-siang Tio Jiang d9n begitu dapatlah dia bergaul rapat dengan Tio In untuk kemudian hari terangkap menjadi suami isteri yang berbahagia.

Walaupun dalam keadaan seperti saat itu, dimana semua orang sama mendakwanya sebagai kaki tangan rombongan kuku garuda, dan dia rela menebus kesalahannya itu dengan jiwanya, namun kalau membayangkan betapa berbahagia cita2 yang dikandungnya dahulu tapi yang kini ternyata hampa itu, tak urung hatinya pilu juga.

Dengan pe-lahan2 dia ayunkan langkah ketepi batu karang. Melongok kebawah, yang tampak hanyalah kabut halimun yang menutup tebing curam. Fikirannya jauh me-layang2 dan mulutnyapun menghela napas dalam2. Kala dia hendak siap terjun, tiba2 dia teringat akan sesuatu, pikirnya: "Walaupun sejak bertemu pertama kali aku cinta pada nona Tio In, tapi karena, kepandaianku begini dangkal, selama ini tak berani aku menyatakan Isi hatiku kepadanya. Bukanlah kini aku sudah diambang pintu kematian, mengapa tak menyatakan hal itu kepadanya? Suara hatiku itu bersambut atau tidak, itu bukan soal. Pokok, asal sudah kucurahkan, sebagal bekal dialam bakal"

Ketika dia memutar tubuh, ternyata dibelakang sana tampak ber-puluh2 pasang mata tengah mengawasi kepadanya dengan pandangan heran. Tong Ko paksa mulutnya tertawa, katanya kepada Tio Jiang: "Tio-peh, sebelum mati aku hendak menyampaikan  beberapa patah kata kepada nona In!"

Tapi sebelum Tio Jiang dan Tio In menyahut, Yan-chiu sudah menyemprotnya: "Tong Ko, belum cukupkah kau membunuh anakku bungsu hingga kini hendak mencelakai anak perempuanku lagi?" .

Tong Ko menghembuskan napas penasaran, ujarnya: "Kalau memakai ukuran begitu memandang diriku, sudahlah, kutarik saja permintaanku tadi!"

Baru Tong Ko hendak loncat kebawah, se-konyong2 ada sesosok tubuh loncat menghampiri dan berbareng itu terdengar orang berseru "In-ji". Kiranya yang tiba dihadapannya itu adalah Tio In, sedang yang meneriakinya tadi adalah mamahnya. Dengan sepasang mata yang bundar berlinang, nona itu menatap kearah Tong Ko seraya berkata dengan suara berbisik: "Kalau adikku tak sampai mengalaml nasib begitu mengenaskan, mamah tentu takkan bersikap begitu kepadamu. Kau hendak mengtakan apa, lekaslah nyatakan!"

Bahwa diantara sekian banyak orang yang sudah membencinya, masih ada seorang Tio In yang tetap memperhatikannya, telah membuat hati Tong Ko terhibur sekali. Tapi oleh karena dia seorang pemuda yang tak pandai merangkai kata2 muluk, jadi untuk beberapa saat barulah dia dapat mengeluarkan perasaannya: "In-moay, aku cinta padamu, apakah kau tak mengetahui?"

Mulut sinona berat untuk menyahut, melainkan sepasang matanya yang berkicupan dan kepalanya mengangguk, lalu loncat kebelakang lagi. "Ah, kirania ia juga suka padaku! Tapi apa gunanya, sudah kasipl" kata Tong Ko didalam hati.

Oleh karena tampaknya dia ber-ayal2an tak mau loncat turun kejurang, setengah orang pang beradat keras segera memakinya: "Hai, binatang cilik, masih sayang pada jiwamu ya?

Berbareng itu Tong Ko rasakan punggungnya dingin. Ha, kiranya pedang pusaka kuan-wi-kiam milik Yan-ciu sudah dilekatkan pada ulu punggungnya itu. Tong Ko masih sempat melirik pada Tio In yang menelungkupi sebuah batu, kedua bahu bergetaran karena tangisnya meng-isak2 tubuh. Cepat dia dorongkan tangan kebelakang untuk menghalau pedang Yan-chiu, serunya: "Aku dapat loncat sendiri, tak usah didorong lagil"

Dengan wajah sedingin es. Yan-chiu bolang-balingkan pedangnya menjadi suatu lingkaran sinar, hingga Tong Ko cepat2 tarik pulang tangannya tadi itu. Namun jari kelingking kirinya telah kena terpapas kutung. Ber-ketes2 darah segar menurun diatas batu gunung yang seputih marmar warnanya.

"Ha...., ha...., ha....! Tak nyana bahwa Tong Ko yang dianggap sebagai pengkhianat jahat, ternyata darahnya juga merahl" seru Tong Ko sambil tertawa menengadah kelangit. Habis itu dia segera ayunkan diri loncat kebawah jurang.

Yan-chiu maju melongok dan dilihatnya anak muda itu berjumpalitan 3 kali terus meluncur turun kebawah jurang yang ter-tutup halimun itu. Kini barulah nyonyah itu reda kemarahannya. Begitupun disana-sini orang sama2 berisik membicarakan peristiwa itu. Setelah itu, mereka ramai2 mengangkat jenazah Kang Siang Yan kedalam paseban. Semua orang sama bubaran kecuali Tio In seorang yang masih tertinggal dipuncak situ. Ia se-olah2 terpaku kakinya ditempat Tong Ko  loncat kejurang tadi. Butir2 air matanya bercucuran turun tepat jatuh diatas batu yang ketetesan darah Tong Ko tadi. Darah dan air mata tercampur menjadi satu.

"Engkoh Ko, mengapa kau tak siang2 menyatakan isi hatimu itu kepadaku?" katanya seorang diri seperti orang mengingau. Oleh karena saat itu tiada lain orang lagi yang berada disitu, jadi ia biarkan air matanya turun se- banyak2nya.

Entah sudah berapa lama, nona itu berdiri terpaku ditempat itu. Tahu sudah ia bahwa dengan berserekat sama kawanan kuku garuda, Tong Ko telah mengakibatkan hancurkan pangkalan gerakan menentang pemerintah Ceng, Nyo Kong-lim dan adiknya sendiri turut berkorban jiwa.

Namun cinta itu memang aneh dan berpengaruh besar. Iapun menyintai anak muda itu. Ini bukan dalam waktu sehari dua saja. Tapi selama itu ia tak mau memperlihatkan tanda2 Itu, disebabkan karena:

pertama, kepandaian Tong Ko masih sedemikian dangkalnya sehingga pemuda itu menjadi takut untuk menyatakan karena tahu diri.

kedua, memang sengaja la (Tio In) bersikap getas supaya Tong Ko malu dan meyakinkan ilmu kepandaian yang lebih tinggi.

Ah......, siapa tahu kini urusan itu menjadi  kacau balau. Dan yang paling membuatnya gegetun, pada saat2 terakhir baru anak muda itu menyatakan isi hatinya.

Hampir rembang petang, barulah Tio In ayunkan langkahnya pe-lahan2 pulang. Oleh terjadinya peristiwa yang menyedihkan itu. maka sekalian anggauta2 perserekatan Lo-hu-san menjadi lesu. Lebih2 Tio In, se- malam2an tak dapat tidur. Bantalnya basah kuyup dengan air mata. Tengah malam tiba2 didengarnya diluar jendela ada orang memanggil dengan pe-lahan2: "In- ji....! In-ji. !"

Tahulah Tio In bahwa itu suara mamahnya, maka dengan melipur getar bibir (menghapus kedukaan), la buka pintu. Dan memang yang muncul itu adalah Yan- chiu.

"In-ji, sebelum meninggal apa yang Tong Ko katakan padamu?" tanya Yan-chiu dengan muka berseri senyum.

Sebagai dimanjakan, pecahlah tangis Tio In, ia merangkul dada mamahnya seraya menjerit: "Mah!"

Sebagai wanita yang sudah banyak makan asam garam, sepatah itu saja sudah cukup bagi Yan-chiu untuk mengetahui keadaan sang puteri. Di-belai2nya rambut anaknya itu, lalu berkata dengan menghela napas: "In-ji, jangankan dia sudah hinasa, andaikata masih hiduppun, rasanya tak layak kau serahkan hatimu pada pemuda macam begitul"

"Entahlah, mahl" sahut Tio In tengadahkan kepala. "Ah,  karena  ayahmu   dan   aku  terlalu memanjakan

hingga   kau  sampai   tak  dapat  mengetahui kejahatan

didunia ini. Sudahlah, nak, tidur sana!" kemball Yan-chiu menghela napas lalu tinggalkan ruangan itu. Tio In terbenam dalam kehampaan lagi. Tiba2 terkilas daiam pikirannya. "Ah, apa yang mamah katakan itu memang benar. Terhadap perbuatan semacam itu, bagaimana aku dapat mecintainya? Tapi karena kini dia sudah meninggal, karena toh sudah tak dapat berbuat kejahatan lagi, mengapa aku tak meninjau keadaannya?"

Tio In berbangkit menghampiri pintu. Pada lain kilas, pikirannya membayangkan bagaimana keadaan tubuh Tong Ko yang pasti akan hancur lebur mayatnya. Tak terasa ia menjadi ngeri. Akhirnya ia mengambil putusan untuk turun gunung menengoknya.

---oo^dwkz0tah^oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar