Heng Thian Siau To BAGIAN 03 : MATI KEGIRANGAN

 
BAGIAN 03 : MATI KEGIRANGAN

Kala itu hari sudah gelap. Rembulan mulai muncul dari ufuk timur. Setelah minum dua teguk air. Tong Ko menampungkan tangan,mengambil air untuk disiramkan ketubuh Tio In. Tak berapa. lama kemudian, sinona mulai siuman. Tapi begitu didapatinya Tong Ko berada disampingnya, dengan gemasnya ia mengirim sebuah jotosan, bluk....., terjerembablah Tong Ko jatuh kebelakang.

"Bangsat macam kau ini! Sekalian saudara sama mengira bahwa walaupun kepandaianmu cetek, tapi kelakuanmu jujur. Malah ayahpun mengandung maksud hendak mengambil murid padamu. Huh......, siapa tahu kau seorang manusia yang berhati serigala, bersekongkol dengan kawanan kuku garuda, membunuh orang membakar desa " sehabis memaki itu, air mata

sinona bercucuran.

Tong Ko coba berusaha untuk menggeliat bangun, tapi karena luka2nya yang diderita tadi sedemikian rupa, dia tak dapat berdiri. Dengan merayap dihampirinya Tio In, lalu dengan menengadahkan muka, dia meratap: "Nona Tio, bunuhlah aku, tak nanti aku penasaran. Tapi kuminta janganlah kau mencap diriku sebagai manusia berhati serigala! Se-kali2 aku bukan orang macam begitul"

Luka yang diderita Tio In pun tak ringan. Dengan kerahkan semangat, ia coba loncat bangun, tapi kepalanya serasa berat dan ter-huyung2 pulalah ia jatuh, ketanah, Namun mulutnya masih penasaran dan menghamburkan makian se-puas2nya: "Manusia berhati serigala...! Manusia berhati serigala....! Manusia berhati serigala. !"

Pedih Tong Ko sukar dilukiskan Dengan kuatkan diri dia merayap maju dua tindak, lalu ulurkan tangan untuk mencapai bahu Tio In, tapi nona itu dengan gusarnya menerkam tangan Tong Ko lalu dipelintir dengan gerak toa-cwan-lun (roda berputar). Gerak ini menurutkan ilmu mematahkan tulang yang disebut hun-kin-jokut (mengalihkan urat nadi melepas persambungan tulang). Krek, tulang persambungan lengan kanan Tong Ko menjadi lepas (keseleo). Buru2 Tong Ko menariknya keras2 dan dapatlah dia memulihkan persambungan itu lagi. Namun sakitnya bukan olah2, hingga nampai kucurkan keringat dingin.

"In-moay, kau tak kenal peribadiku", Tong Ko menghela napas.

"Huh, setan lanat, siapa yang sudi berbahasa koko- moaymoay dgn kaul" Masih Tio In belum reda murkanya. Serentak bangun, ia menendang Tong Ko hingga sampai hampir jatuh kedalam sungai. Untunglah anak muda itu cepat2 dapat berkutik lagi. Hanya dilihatnya Tio In dengan langkah tak tetap tinggalkan tempat itu, hal mana membuatnya gelisah.

---oo^dwkz0tah^oo---

Kira2 satu jam lamanya. Tong Ko rendam separoh tubuhnya bagian bawah didalam air. Air dingin yang merangsang kearah tulang belulang, telah membuat semangatnya agak segar. Dia lalu hendak merayap naik, tapi se-konyong2 dari kejauhan kedengaran derap kaki kuda mendatangi. Kuda itu ternyata berhenti disitu juga. Dia melongok dari sela2 gelagah dan didapatinya ada 3 ekor penunggang kuda tengah menghampiri ketepi anak sungai. Dan untuk kekagetannya, ternyata ketiga orang itu adalah 3 durjana yang mencelakai dirinya, yani Tok- kak-sin-mo Sin Tok, murid tunggal dari raja iblis suku Biau yang bergelar Ban-bok-sin-bu atau. Dukun sakti selaksa mata. Sedang yang dua, adalah Shin Leng-siau dan Shin Hiat-ji kakak beradik.

Buru2 Tong Ko menahan napas tak berani berkutik. Begitu tiba ditepi sungai, ketiga durjana itu segera turun dari kudanya dan biarkan binatang mereka minum air. Ketika Tong Ko mengintip dari sela gelagah, dilihatnya Cek-cing-long Shin Hiat-ji memanggul sebuah karung kain yang besar. Karung itu kini diletakkan ditanah dan kebetulan sekali hanya terpisah setengah meter dari Tong Ko. Dengan hati2 sekali, Tong Ko ulurkan jarinya untuk menyentuh dan dapatkan isi karung itu amat lunak tapi entah benda apa.

"Shin-heng, budak ini adalah puteri kesayangan dari Siau-beng-siang Tio Jiang. Kalau kita bawa keutara, Siau- beng-siang tentu akan menyusulnya.  Gerombolan mereka itu memang sangat mengganggu keamanan Kwitang. Dengan adanya tindakan kita ini, mereka tentu akan marah seperti orang kebakaran jenggot.  Apabila kita dapat menjaringnya, tentu mudah untuk membasmi seluruhnya. Ha...., ha.....!" tiba2 kedengaran si kaki satu tertawa bangga.

"Kesemuanya itu karena mengandal kecerdasan Sin- heng", sahut Shin Leng-siau. Bagaimana terperanjatnya Tong Ko, dapat dibayangkan. Kiranya Tio In tadi telah berpapasan dgn ketiga durjana itu dan dapat diringkusnya. Jadi yang berada didalam karung itu, tentulah sinona. Saking sibuknya, Tong Ko bergetar. Walaupun hanya  sedikit, tapi karena terendam dalam air, maka terdengarlah riak air bergelombang. Buru2 dia berdiam diri lagi.

”Hai, mengapa air beriak? Jangan2 ada orang bersembunyi! Hiat-ji,” sianak mata ungu segera berseru.

"Siau Shin, kau ini bagaimana, kan kuda kita tengah minum air, mana ada setan belang lagi?" si kaki satu menertawai.

Legalah hati Tong Ko, dan ketiga orang itupun tertawa geli sendiri. Berkata Hiat-ji: "Kali ini  Siau-beng-siang tentu akan timpakan kemarahannya kepada Tong Ko semua. Ah, kasihan Siaubeng-siang itu, Mimpipun tentu tidak dia, kalau yang mencelakainya itu adalah puteranya sendiri!"

Tong Ko terbelalak kaget, hendak dia mendengari lagi cerita Hiat-ji lebih lanjut, tapi anak itu ternyata sudah alihkan pembicaraannya. Diam2 Tong Ko merenung. Siau-beng-siang Tio Jiang hanya mempunyai 2 orang anak lelaki. Yang bungsu sudah dibinasakan dengan 13 hui-to oleh si kaki satu Sin Tok. Putera sulung yang bernama Tio Tay-keng, umurnya sebaya dengan dia (Tong Ko), tapi rupanya telah mendapat warisan pelajaran dari ayahnya. Sebulan yang lalu, pemuda itu sudah diutus ayahnya pergi kewilayah Hunlam utk mengadakan hubungan kerja sama dgn para tokoh persilatan disana. Jadi mustahil kalau bersekongkel dengan rombongan si kaki satu itu. 3

Diam2 Tong Ko mendengarkan percakapan ketiga jagoan kaki-tangan pemerintah Ceng itu sambil pe- lahan2 menyeret karung besar yang terapung diatas air sungai itu kedekatnya.

Tapi mengapa mulut Hiat-ji menyebut hal itu? Hati Tong Ko penuh -dengan tanda tanya.

"Sebaiknya kita berangkat sekarang saja," kembali kedengaran Shin Leng-siau berkata, ”budak itu  berat juga lukanya, apalagi telah ditutuk jalan darahnya oleh Sinheng. Lekas kita carl tempat yang sesuai untuk mengobatinya. Untuk memancing ikan besar, haruslah umpannya yang bagus juga!"

Mereka bertiga ter-bahak2 dan kedengaranlah suara rumput tersingkap karena Hiat-ji hendak mengambil karungnya lagi. Setelah yakin bahwa sang kecintaan berada didalam karung, Tong Ko seperti semut diatas kuali panas. Menolong atau tidak, serba salah. Kalau hendak menolong, dirinya tentu akan kepergok dan menjadi korban juga. Namun kalau berpeluk tangan, hatinya tak sampai. Hanya dia tak mempunyai banyak waktu untuk menimbang lagi, karena derap kaki Hiat-ji makin mendekati. Ah, biar bagaimana juga andaikata dia bakal binasa ditangan ketiga durjana itu, tetap dia harus menolong Tio In. Soalnya bukan se-mata2 karena diri sinona seorang, melainkan exces (kelanjutan) dari peristiwa itu. Siau-beng-siang Tio Jiang tentu akan menyusul kekota raja. Disana dia bakal tergencet oleh kawanan jagoan2 pemerintah Ceng yang besar jumlahnya. Apabila sampai Tio Jiang celaka, itu berarti suatu kerugian besar dalam kubu2 gerakan menentang penjajah Ceng didaerah Kwitang. Siapa tahu perserekatan itu mungkin berantakan nantinya. Jadi mengapa dia (Tong Ko) begitu sayang akan jiwanya, demi utk kepentingan gerakan yang mulia itu?

Dilihatnya sungai itu meskipun dangkal, tapi arusnya cukup deras. Secepat dia memperoleh akal, secepat itu pula loncat keatas untuk menyeret karung itu  kedalam air lalu didorongnya supaya dibawa arus. Ketika Hiat-ji berjongkok hendak mengambil karung, ternyata karung itu sudah tiada disitu. Dan selagi dia masih ter-longong2, tahu2 Tong Ko sudah menyergapnya.

Umur Hiat-ji itu sebenarnya masih muda belia sekali. Tapi karena sewaktu masih bayi, dia digondol oleh seekor induk harimau dan dibesarkan oleh induk harimau itu dengan darah binatang, maka tenaganya luar biasa kuatnya. Baru ketika dia berumur 10-an tahun, dia telah dapat ditolong oleh Shin Leng-siau (engkohnya). Sejak  itu dia berguru pada Gan Lay dari Thong-ting-ou, yani seorang tokoh nomor satu dari dunia persilatan daerah Oupak. Jadi ilmu kepandaiannya jauh lebih lihay dari kakaknya Leng-siau. Jadi serbuan Tong Ko itu sebenarnya seperti anai-anai masuk kedalam api. Namun karena Hiat-ji itu keliwat ber- hati2, jadi dia tak mau melihat dulu siapa penyerangnya itu, tapi sudah cepat2 menghindar kesamping sembari balas menghantam. Tong Ko seketika menjadi seperti sebuah layang2 putus tali, gentayangan jatuh menggelepar.

Juga si kaki satu yang cepat mengetahui adanya suasana yang mencurigakan itu segera loncat menghampiri. Demi tubuh Tong. Ko melayang diudara karena dihantam Hiat-ji tadi, si kaki satupun cepat memungut sebuah batu kecil lalu ditimpukkan. Bluk. ,

jatuhlah Tong Ko tadi. Si kaki satu enjot tubuhnya loncat memburu. Sekali ulurkan tangan, dia sudah dapat meringkus Tong Ko. Keduanya kini sama meluncur jatuh kedalam air. Tapi ternyata si kaki satu memiliki kepandalan yang luar biasa. Baru menyentuh air, dia sudah enjot kakinya melompat keatas daratan. Kemudian dia enjot lagi kakinya melompati anak sungai selebar 2 tombak itu, lalu letakkan tubuh Tong Ko ketanah.

"Ho, kiranya saudara kami Tong Kol" serunya menyeringai. Tepat pada saat itu, demi melihat si kaki satu sudah turun tangan menghajar sipenyerang gelap, Hiat-jipun segera apungkan tubuhnya dipermukaan air sembari kait karung besar itu dengan ujung jwan- piannya. Memang senjatanya itu luar biasa, dapat dijulur surutkan sekehendak hatinya, ujungnya runcing macam kait.

"Sin-heng, siapa dia?'' serunya bertanya. "Siapa lagi kalau bukan sdr. Tong Ko. Biarkan saja dia nanti melapor pada Siau-beng-siang, benar tidak?" sahut si kaki satu.

Se-konyong2 ada seorang wanita berseru: "Ai, mengapa ada orang menyebut2 namamu?

"Entahlah, orang gagah dari mana yang kebetulan lewat disini?" sahut seorang lelaki yang rupanya menjadi kawan perjalanan wanita tadi. Walaupun mereka berdua hanya ber-cakap2 seenaknya saja sebagai selingan perjalanan, namun bagi pendengaran seorang achli tentu mengetahui bahwa keduanya itu memiliki ilmu lwekang yang tinggi. Orangnya masih jauh, tapi suaranya melengking nyaring sekali.

Si kaki satu segera memberi isyarat agar Hiat-ji membawa karungnya lagi naik keatas kuda. Sekejab lagi terdengarlah derap kaki kuda mencongklang keras2. Si kaki satu berada dibelakang kedua kawannya, begitu diketahui ada dua sosok bayangan keluar dari hutan, dia segera taburkan 13 hui-to. Kemudian dengan bersuit nyaring, dia menerjang maju.

"Siau-beng-siang, kalau hendak mengambil anakmu perempuan, datanglah kekota raja minta pada taylwe-ko- cin (jago2 didalam keraton)!" serunya lantang2 sembari conglangkan kudanya kaburkan diri diantara kepulan debu,

Memang kedua orang yang baru keluar dari dalam hutan itu, bukan lain adalah Siau-beng-siang Tio Jiang dan isterinya Hui-lay-hong Yan-chiu. Mereka baru datang dari lain tempat dan belum mengetahui bencana yang telah menimpah keluarganya. Tiba disitu didengarnya  ada orang menyebut2 nama "Siau-beng-siang", dikiranya kalau ada sementara orang gagah yang hendak datang berkunjung ketempat kediamannya. Siapa tahu, mereka diserang dengan hujan hui-to dan ditantang datang kekota raja.

Meskipun kini sudah menjadi seorang ibu yang berumur setengah tua, namun perangai Yan-chiu masih seperti ketika gadisnya. Dengan sebat ia cabut pedangnya terus diputar dalam jurus Kang-sim-poh-lo. Tring..., tring..., tring..., ke 13 batang hui-to itu terpukul jatuh semua.

"Ayuh, siapa yang mau cari nyonyahmu besar ini!" serunya. Tapi pada lain saat ia geli sendiri atas ucapannya itu.

"Yan-chiu, tadi kita lihat langit perdesaan kita marong membara, orang2 tadi itu terang adalah kawanan kuku garuda. Jangan2 Siau In dan saudara2 dirumah, mengalami apa2 ini?" kata Tio Jiang.

"Masa ya? "bantah sang isteri seraya ayunkan langkah kemuka. Tapi se-konyong2 terdengar ada orang ber- teriak2: "Lekas....! Lekas !"

Yan-chiu berpaling dan dapatkan yang berteriak itu Tong Ko adanya. Memang sebelum si kaki satu berlalu, lebih dulu dibukanya jalan darah Tong Ko. Tapi karena segala sesuatu tadi berjalan dalam beberapa kejab saja, jadi anak muda itu bingung terlongong2 tak mengerti  apa yang telah terjadi. Baru lewat beberapa saat kemudian, dia dapat berteriak tadi.

"Hai, bukantah kau ini si Tong Ko?" tegur Yan-chiu. Namun Tong Ko tak menyahut pertanyaan orang, melainkan angkat tangannya menuding kemuka: "Lekas...., lekas. ! Nona Tio telah dibawa mereka!"

"Nona yang mana?" tanya Yan-chin dengan tertawa.

Kiranya baik Tio. Jiang maupun Yan-chiu sudah tahu kalau anak muda itu "ngesir" (ada hati) pada puterinya. Mereka menduga tentulah pemuda itu habis bertengkar dengan Tio In, sehingga kini dia menjadi kelabakan begitu, macam, maka Yan-chiupun tak begitu kaget mendengar keterangan Tong Ko tadi.

"Nona In ditawan dan diculik kuku garuda!" saking jengkelnya Tong Ko sampai banting2 kaki. Kebenaran saat itu Tio Jiangpun sudah datang dan menanyainya: "Mana bisa begitu, kemana saja Nyo dan Kiau toako?"

"Entahlah, nona In diculik kuku garuda, Siau Seng dibunuh merekal"

Melihat anak muda itu bermandikan noda  darah, pakaian compang-camping rambut kusut masai dan bicaranya begitu gugup, Tio Jiang mulai curiga dan buru2 menegas: "Apakah kebakaran itu berasal dari perkampungan kita? Mengapa kawanan kuku garuda mengetahui tempat kediaman kita?"

Tong Ko tundukkan kepala dan menyahut dgn sejujurnya: "Akulah yang membawanya!"

Penyahutan itu telah membuat Tio Jiang dan Yan-chin terkesiap kaget. Bahwa puteranya bungsu telah binasa, telah membuat hati Yan-chiu seperti disayat sembilu, serentak ia menghardik "Tong Ko, siapakah diantara saudara2 yang menyakiti hatimu hingga kau membalas dendam membawa kuku garuda untuk mencelakai rumah tanggaku?"

Malah habis menghardik, Yan-chiu sudah lantas ayunkan pedang kuan-wi-kiam untuk menabas kepala sianak muda. Tong Ko meramkan mata menanti ajal. Bukannya takut, dia malah mengharap supaya Yan-chiu cepat membunuhnya agar dengan demikian suami isteri lekas2 bertindak menyusul Tio In.

Trang...., tiba2 terdengar berkerontangan suara senjata beradu, disusul dengan seruan Yan-chiu: "Jiang- ko, kau ini bagaimana? "

Ketika Tong Ko membuka mata, dilihatnya dengan wajah keren Siau-beng-siang Tio Jiang hadangkan pedangnya pada pedang sang isteri, lalu berkata: "Yan- chiu, Tong Ko bukan manusia yang sampai hati mengerjakan perbuatan begitu!"

Hati Tong Ko tergerak. Diam2 dia mengakui mengapa Tio Jiang sampai begitu mendapat perindahan dari kaum persilatan, kiranya karena sifatnya yang lurus dan bijak. Kini Yan-chiu melesat pergi, sembari berlari la berseru: "Ayuh, kita lekas kejar merekal"

Sebelum mengikuti tindakan isterinya, lebih dahulu Tio Jiang memberi pesanan pada Tong Ko supaya tetap menunggu disitu karena perlu dimintai keterangan lebih jauh. Tong Ko mengiakan dan memberitahukan bahwa Tio In dimasukkan dalam sebuah karung oleh kawanan kuku garuda itu. Setelah itu, barulah Tio Jiang menyusul isterinya menghilang dalam kegelapan malam.

Tong Ko hanya sesalkan dirinya sendiri mengapa ilmu kepandaiannya sangat dangkal hingga tak dapat melakukan pengejaran. Ucapan Tio Jiang tadi, telah memulihkan kepercayaan pada dirinya lagi. Tapi dalam pada itu, dia merasa cemas, jangan2 ketiga jagoan pemerintah Ceng itu sudah jauh dan tak dapat disusul oleh kedua suami isteri itu.

Kira2 setengah jam lamanya Tong Ko diombang- ambingkan oleh kegelisahan dan kecemasan. Syukurlah tak berapa lama kemudian, Siau-beng-siang Tio Jiang sudah datang. Tong Ko tersipu2 menyongsongnya dengan bertanya: "Apakah nona In sudah dapat diketemukan?"

Dengan wajah besi Tio Jiang terkam lengan Tong Ko, dengan mata beringas dia memandang lekat2 pada anak muda itu. Sejak kecil mula tingkah laku Tio Jiang selalu polos jujur sesuai dengan apa yang diadiarkan oleh suhunya (Ceng Bo siangjin). Maka ketika dalam pertengahan umur, dia memiliki wajah yang mengunjuk perbawa. Kalau benar2 Tong Ko itu seorang yg berhati culas, dipandang begitu rupa oleh seorang tokoh macam Tio Jiang, dia pasti akan pucat dan hatinya kebat kebit. Tapi oleh karena Tong Ko berhati bersih, bukannya takut dia malah balas menatap.

Tukar pandangan itu berlangsung sampai beberapa kejab, baru sejenak kemudian Tio Jiang membuka mulut: "Tong Ko tadi kau mengatakan bahwa yang membawa Tok-kak-sin-mo Sin Tok bertiga adalah kau, benarkah itu?"

Oleh karena merasa bahwa selama ini tak pernah berbuat jahat, maka pikiran Tong Ko hanya pada Tio In seorang saja. Bukannya menyahut, dia bahkan balas bertanya: "Apakah nona In sudah tersusul?" Tio Jiang menggeram, serunya: "Ketiga durjana itu sudah lari. Siau Inpun sudah ikut mamahnya kembali ke Giok-li-nia, sekalian orang gagah dari  berbagai daerahpun juga sudah berkumpul disana. Tong  Ko, ketika kau hendak masuk kedalam perserekatan kami, ada orang yang mengatakan bahwa parasmu keliwat cakap tentu tak boleh dipercaya. Tapi kuanggap karena kau benar2 seorang manusia yang ingin berbakti kepada negara, maka kululuskan kau kucurkan darahmu selaku masuk perserekatan. Kau seharusnya percaya akan diriku, kalau ada persoalan, hendaknya terus terang memberitahukan padaku!"

Ucapan itu walaupun bernada rawan, tapi mempunyai daya pengaruh sehingga setelah ter-longong2 sampai sekian saat barulah Tong Ko menyahut: "Benar, memang Sin Tok dan kedua saudara Shin itu aku yang membawanya, tetapi "

Baru mendengar kata2 Tong Ko yang dimuka itu, hati Tio Jiang sudah mendelu sakit sekali. Tadi bersama Yan- chiu dia gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar ketiga jagoan itu. Dengan mengambil jalan pendek, dapatlah dia mendahului mereka dan bersembunyi diatas puhun. Begitu ketiga jagoan itu tiba, segera diserbunya. Karena tak menduga sama sekali, karung yang dibawa si Hiat-ji itu telah dapat dirampas Yan-chiu. Ketiga kaki tangan pemerintah Ceng itu tak bernapsu untuk terlibat dalam pertempuran lama, cepat mereka meloloskan diri. Ketika dibuka ternyata isi karung itu adalah Tio In.

Setelah dibuka jalan darahnya, barulah Tio In dapat menceritakan apa yang telah terjadi dikampung halamannya: Dengan menangis tersedu sedan, nona itu timpahkan kesalahan pada Tong Ko. Ter-mangu2 Tio Jiang dan Yan-chiu saking getunnya. Yan-chiu segera ajak puterinya balik ke Giok li-nia, sedang Tio Jiang mencari Tong Ko. Bahwa Tong Ko ternyata mengakui dia yang membawa pembunuh2 itu, telah membuat pikiran Tio Jiang menjadi gelap dan baru saja mulut anak itu mengucapkan kata2 "tetapi", Tio Jiang sudah memijat lengannya kuat2.

"Paman Tio, harap lepaskan!" Tong Ko minta dgn setengah meratap karena tak tahan sakitnya. Tio Jiang kendorkan tangannya. Ditatapnya lekat2 muka anak itu sampai beberapa jenak, baru kemudian dia berkata: "Tong Ko, kau telah membunuh anakku bungsu, itu masih belum seberapa. Tapi kau telah membongkar markas rahasia kita, itulah dosa besar. Kini hendak kubawamu ke Giok-li-nia. nanti para orang gagah memutuskan hukumanmu, baru aku membuat perhitungan lagi padamu. Kau menurut tidak?"

Watak Tong Kopun tak kurang kerasnya. Dia anggap ucapan Tio Jiang itu sudah cukup dalam batas2 keadilan yang bijaksana, maka tanpa mengucap apa2 dia mengangguk. Begitulah setelah hampir dua jam lamanya menempuh perjalanan tanpa mengucap  sepatah katapun, akhirnya tibalah mereka dipuncak Giok-li-nia. Haripun sudah terang tanah, Bagi Siau-beng-siang Tio Jiang perjalanan itu tak dirasakan sebrapa, tapi  bagi Tong Ko yang menanggung luka2 berat, tenaganyapun habis sama sekali.

Keadaan dipuncak Giok-li-nia kala itu, jauh sudah bedanya dengan 20 tahun berselang. Biara satu2nya yang masih ada, hanya lah biara Cin Wan Kuan. Itu saja pagar temboknya sudah rusak diganti pagar kayu, hingga mirip merupakan sebuah san-ce (markas gunung). Juga perumahan disitu tiada 100 buah jumlahnya. Begitu masuk kedalam san-ce (Cin Wan Kuan), terasalah suatu suasana yang hening sunyi. Ber-puluh2 pasang mata sama mengawasi pada Tong Ko. Dimuka peseban Ki-git- thia tampak berkibar sebuah bendera warna putih.

"Siapa yang meninggal?" tanya Tio Jiang dengan terkejut. Karena rasa kejutnya itu tanpa dia salurkan Iwekangnya keatas, hingga ucapannya itu mengguntur kedengarannya. Sampai Tong Ko yang berada disampingnya, telinganya menjadi kesakitan.

Dari dalam rombongan orang, tampil seseorang sembari berseru: "Nyo toako!"

"Nyo Kong-lim?" Tio Jiang menegas.

Orang itu, yang ternyata Kiau To, menjawab dengan pe-lahan2: "Benar. Dia bertempur dengan Sin Tok dikaki gunung dan kena dibacok kutung lengannya. Ketika kubawanya naik kemari, dia sudah kehabisan darah dan tak dapat ditolong lagi!"

Diam khidmat mencekam hati sekalian orang gagah. Terkenang akan peribadi Nyo Kong-lim yang walaupun kasar tapi jujur ksatrya, sekalian orangpun sama2 kucurkan air mata. Se-konyong2 ditengah suasana berkabung itu, menjeritlah Yan-chiu sembari berlari keluar dari paseban Ki-gi-thia. Ketika masih gadis, ia pernah minum mustika batu, ditambah dgn peyakinannya selama 20-an tahun, ilmunya mengentengi tubuh benar2 sangat sempurna sekali. Hui-lay-hong atau si Cenderawasih terbang, digelarkan orang karena ilmunya mengentengi tubuh yang sakti Itu. Begitu keluar, Yan-chiu segera enjot tubuhnya melayang diatas kepala orang2 yang berkerumun itu, lalu melayang turun di hadapan Tio Jiang dan Tong Ko. Suara jeritannya tadi masih belum hilang kumandangnya, tapi orangnya sudah tiba dimuka orang yang hendak dirongrongnya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, sampai ditingkat bagaimana ilmu mengentengi tubuh dari Hui- lay-hong itu. Dalam jaman itu, sungguh sukar dicari keduanya. Begitu berhadapan dengan Tio Jiang  dan Tong Ko tubuhnya sempoyongan dan  terus menyongsong maju. Orang sama mengira tentu Yan-chiu hendak melabrak Tong Ko yang menjadi pembunuh anaknya itu, tapi ternyata ia menubruk kepada sang suami dan pecahlah tangisnya mengirimkan sang air mata.

"Jiang-ko, kasihan Siau Seng hanya hidup 4 tahun, kasihan Siauw Seng hanya menjadi manusia selama 4 tahun saja!"

Sekalian orangpun pilu mendengar ratap tangis seorang Ibu yang kematian puteranya itu. Tong Ko juga terketuk hati nuraininya. Benar kejadian itu diluar pengetahuannya dan memang telah diatur oleh kawanan kuku garuda itu, namun sadar atau tak sadar, dia anggap dirinyalah yang bertanggung jawab. Dia merasa berdosa besar.

"Sudahlah jangan menangis! tiba2 dia berseru dengan gagah, lalu menghampiri kearah orang banyak.  Dari salah seorang dia mencabut sebuah golok, terus hendak disabatkan kebatang lehernya sendiri. Sekalian orangpun tak mau mencegahnya, karena anggap dengan kedosaan sebesar itu, sudah selayaknya Tong Ko berbuat begitu. Tapi ketika mata golok menempel pada kulit lehernya, se-konyong2 dari peseban Ki-gi-thia terdengar seseorang berseru mencegahnya: "Tahan!" dan berbareng itu terdengarlah sebuah benda mengaum diudara dan, trang...., golok ditangan Tong Ko itu bukan melainkan terlepas, pun kutung menjadi dua dan terlempar diudara. Kejadian itu menggemparkan sekalian orang yang melihatnya. Siapakah gerangan yang sedemikian saktinya, dari jarak 3 tombak dapat menimpukkan senjata rahasia, hingga golok menjadi kutung dan terlempar diudara?

Tiba2 terdengar pula suara deru angin meniup. Seorang wanita tua yang mencekal sebatang  tongkat besi melayang diudara dan turun dihadapan Tong Ko. Disitu wanita tua itu memandang lekat2 pada sianak muda.

"Subo, bilakah kau datang tadi?" Co Jiang dan Yan-ciu serentak berseru.

Benar, wanita tua itu adalah subo (ibu guru) dari Tio Jiang dan Yan-chiu, yakni pendekar wanita yang namanya sangat menggetarkan seluruh gelanggang persilatan pada jeman itu, Kang Siang Yan In Hong.

Kang Siang Yan tak menghiraukan sepasang suami isteri itu, hanya memberi isyarat tangan supaya mereka berdua mundur. la tetap mengawasi Tong Ko dari ujung kaki sampai keatas kepala. Semasa mudanya, Kang Siang Yan pernah meyakinkan ilmu lwekang sakti thay-im-lian- seng didasar pulau karang Hay-sim-kau di bawah laut. Setelah tua, sepasang matanya memancarkan sorot ber- api2, sehingga Tong Ko serasa seperti di-iris2 dengan pisau silet rasanya. Sekalian orang tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh wanita sakti itu jadi merekapun menantikan dengan berdiam diri. Lewat beberapa detik kemudian, barulah kedengaran wanita lihay itu menegur dengan suara pe- lahan2: "Nak, siapakah namamu?"

Sekalipun sudah lama Tong Ko mendengar kebesaran wanita itu, namun baru pertama kali itu dia berhadapan muka. Dia dapatkan dalam nada ucapan siwanita tua itu terasa suatu pancaran kasih sayang yang tak terhingga. Sebagai orang yang sudah mengambil keputusan utk mati, heran juga dia dibuatnya mengapa ada seseorang yang begitu menyayang kepadanya. Namun dijawabnya juga pertanyaan wanita tua itu dengan sejujurnya.

Mulut Kang Siang Yan berulang kali mengulangi kata2 "Tong Ko".

Setelah merenung beberapa jenak, kembali ia ajukan pertanyaan lagi: "Kau berasal dari mana?"

"Aku orang dari desa Sam-hua-chun kota Tay-li-cin yang terletak didekat sungai Sekang".

Lagi2 Kang Siang Yan seperti menghafalkan tempat itu, lalu bertanya lagi dengan suara lembut:  "Nak, apakah kau lahir disana juga?" .

Melihat orang menghujani pertanyaan yang tak ada artinya, kesallah hati Tong Ko, maka dengan sembarangan saja dia menyahut: "Tidak, aku seorang anak yatim piatu. Sebenarnya aku berasal dari desa Nyo- chun!"

Begitu pelahan Tong Ko mengucapkan  jawabannya itu, hingga hanya Kang Siang Yan seorang yang dapat mendengarinya. Se-konyong2 tubuh Kang Siang Yan tampak menggigil bergemetaran. Ketika ia angkat tongkatnya, jelas kelihatan batang tongkat itu bergetaran. Sudah tentu tak mengerti sekalian orang dibuatnya. Mereka hanya saling berpandangan satu sama lain karena heran atas kejadian itu.

Sebaliknya Tong Ko rasakan ada sambaran angin keras berasal dari tongkat yang diacungkan oleh wanita tua itu, hingga dia tersurut sampal 3 tindak. Mendadak Kang Siang Yan tertawa keras sampai 3 kali, hingga sampai menggetar bumi dan meretakkan batu2 gunung.

"Aku......... aku......... akhirnya......... " serunya.........

ter-putus2, dan belum kata2 selanjutnya dapat diucapkan, berhentilah detak jantung Kang Siang Yan, Trang......., tongkang besi yang diacungkan itu terkulai jatuh keatas tanah. Batu digunung situ sangatlah kerasnya, tapi begitu kejatuhan tongkat lalu memuncratkan letikan api dan ujung tongkat itu menyusup masuk sampai beberapa centi dalamnya.

Kembali suasana menjadi hening lelap. Ketika Tio  Jiang dan Yan-chiu buru2 menghampiri, didapatinya wajah Kang Siang Yan bersenyum girang namun sepasang matanya sudah pudar tak bersinar lagi. Tio Jiang memeriksa pula (pergelangan tangan), ternyata denyut darahnya sudah terhenti. Memang makin tinggi ilmu kepandaian seseorang, makin besar bahaya yang mengancam tubuhnya. Seorang tokoh yang telah mencapai kesempurnaan macam Kang Siang Yan se- waktu2 kalau lengah, dapat terjerumus dalam bencana, kalau tidak putus uratnya menjadi seorang invalid tentu putus jiwanya. Soalnya terletak pada orang itu sendiri, harus pandai mengekang setiap getaran perasaan hatinya. Menghadapi segala apapun, se-kali2 tak boleh keliwat bergirang atau keliwat berduka. Kalau sampai berbuat begitu, tenaga lwekangnya yang bergelombang keras, menghantam urat2 nadi. Akibatnya, urat2  nadi dan jalan darah dapat putus dan binasalah tentu. Kematian Kang Siang Yan secara mendadak sontak tadi, pun disebabkan karena getaran perasaan yang me-luap2.

Tio Jiang sukar untuk menjatuhkan persangkaannya. Kalau kematian subonya dikarenakan membenci  Tong Ko, mengapa wajahnya menyungging senyum kegirangan?

Tapi hal apakah yang menyebabkan sang subo begitu kegirangan ini? Yan-chiu yang lebih cerdas segera mengetahui bahwa dalam detik2 terakhir tadi sang subo mengucapkan beberapa patah kata kepada Tong Ko. Hanya karena keliwat pelahan jadi tiada seorangpun, kecuali Tong Ko, yang mendengarnya.

"Tong Ko, pembicaraan apa yang kau lakukan dengan subo tadi?" tanyanya kepada sianak muda.

Juga Tong Ko sendiri ter-heran2. Memang dia sudah curiga mengapa baru saja pertama kali bertemu, wanita tua itu sudah bersikap sedemikian menyayang terhadap dirinya. Tadi dia hanya memberi penyahutan sekenanya saja, tapi mengapa wanita itu sam pai begitu me-luap2 perasaannya hingga menemui ajal.

"Aku hanya mengatakan kalau aku kelahiran dari desa Nyo-chun, lain tidak!" sahut Tong Ko.

---oo^dwkz0tah^oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar