Heng Thian Siau To BAGIAN 02 : KEGANASAN KUKU GARUDA

 
BAGIAN 02 : KEGANASAN KUKU GARUDA

Duapuluh tahun lamanya, hanya kulit tubuh mereka yang berkerinyut dan rambut bertabur uban, namun semangat perjoangan mereka masih tetap segar ber- nyala2 laksana api abadi yang tak kunjung padam. Banyak nian perobahan2 selama itu. Tio Jiang telah menjadi suami isteri dengan Yan-chiu dan dikaruniai dengan 3 orang anak, 2 lelaki 1 perempuan. Pusat gerakan mereka terletak diperkampungan rakyat dikaki gunung Lo-hu-san, sedang puncak Giok li-nia merupakan markas agungnya.

Sejak Ceng Bo siangjin tinggalkan pimpinan untuk belajar keluar negeri mencari bantuan, maka atas persetujuan orang banyak, Tio Jianglah yang diserahi menjadi pimpinan dibantu oleh para ciangpwe sebagai pinisepuh (tetua) yang menjadi penasehat dan pelindung.

Dari seorang pemuda, kini Tio Jiang telah menjadi seorang ayah dari seorang anak yang berumur 20-an tahun.

Karena sifat2 jujur dan ksatrya dia telah dijuluki sebagai Siau-beng-siang atau Beng Siang Kun kecil, Beng Siang Kun adalah seorang tokoh yang jujur dan bijaksana. Modal Tio Jiang selain ilmu silat, terutama kejujurannya yang sangat menampil. Walaupun pemuda Tong Ko masuk menjadi anggauta perserekatan, tapi karena kepandaiannya dangkal dan belum memperoleh suatu pahala apa2, jadi selama ini belumlah dia dapat menampilkan diri. Kini dengan mengajak 3 orang kenalan baru yang berilmu tinggi itu, besar harapannya dia akan mencapai yang di-idam2kan itu.

Tak antara berapa lama, Tong Ko menunjuk pada 3 buah perumahan rakyat.

"Sin enghiong, itulah tempat kediaman Siau-beng- siang Tio Jiang sekeluargal" serunya  memberitahu kepada si kaki satu sembari turun dari kudanya. Memang didepan pintu rumah itu tampak ada seorang nona remaja berumur 16-an tengah bicara dan tertawa2 dengan seorang anak lelaki kecil berumur 6 atau 7 tahun.Tapi anehnya begitu melihat Tong Ko datang,  nona itu malah miringkan kepalanya pura2 tak melihat.

"Nona Tio, apakah Nyo-toa-cecu ada?" tanya Tong Ko.

Tiba2 belum lagi sinona menyahut, si kaki satu sudah merebut ber-seru2 keras2: "Sdr. Tong, besar jasamu membawa kami kemari!”

Habis mulutnya bersuara, tangannya bekerja, sret ,

sret...., sret..... belasan bunga api meletik diudara menabur kearah sinona dan sibocah kecil. Gerakan itu diluar dugaan orang dan dilakukan begitu cepat sekali sehingga Tong Ko tak keburu membuka mulut. Cara menimpukannya pun keliwat ganas sekali.

"Sin-heng. "

Hanya dua patah kata Tong Ko sempat meneriakkan, tapi syukurlah nona itu pun sudah keburu terkejut. Secepat kilat ia tarik sianak kecil terus dibawanya loncat keatas sampai dua meteran. Plak...., plak...., plak. ,

taburan benda bergemerlap yang bukan lain adalah 13 batang hui-to (passer pilau) lama menancap didinding tembok rumah. "Sdr. Tong, mengapa tak lekas turun tangan?" seru si kaki satu kepada Tong Ko sembari susuli lagsi dengan 13 batang hui-to.

Kala itu sinona bersama adiknya tengah mengapung diudara. Gerak timpukan si kaki satu tadi sangatlah keras dan cepatnya hingga sampai menerbitkan suara auman bergemuruh. Saking takutnya menjeritlah anak kecil itu. menangis keras2. Tong Ko buru2 hendak gunakan cambuk untuk menghadang hui-to2 itu, namun sudah tak keburu lagi. Yang terdengar hanyalah jerit dan teriakan ngeri dari sinona dan adiknya, disusul dengan gedebak- gedebuk.... dari tubuh mereka menggelepar ditanah. Tubuh anak kecil yg tak berdosa apa2 itu telah ditabur dengan 6 atau 7 batang hui-to, sehingga seketika itu juga putuslah nyawanya. Syukur sinona hanya kena terpanggang sebatang pada bahunya. Dengan tangkasnya, ia segera memondong sang adik dibawa lari masuk kedalam rumah sembari berteriak-teriak: "Paman Nyo! Lekas keluarlah, Tong Ko membawa kawanan kuku garuda kemari. Adikku telah dibinasakan mereka!"

Kuku garuda adalah istilah untuk menyebut kawanan kaki tangan pemerintah Ceng. Si kaki satu dan kedua saudara Shin tadi tak  mau mengejar, hanya unjuk tertawa menyeringai. Sebaliknya Tong Ko yang tak menyangka bakal terjadi peristiwa itu, dengan murkanya sudah mencabut pedang dan maju menghampiri si kaki satu.

"Orang she Sin, siapakah sebenarnya kau ini?" bentaknya.

Si kaki satu yang masih bercokol diatas pelana kudanya, segera membungkuk kebawah sembari ulurkan dua buah jari tangannya untuk menyepit ujung pedang Tong Ko. Sekali sentak, tangan Tong Ko lemah lunglai mengucurkan darah dan tahu2 pedangnya sudah direbut si kaki satu.

"Tuanmu besar ini digelari orang Tok-kak-han sin-mo Sin Tok. Dan kedua sahabat ini adalah persaudaraan Sin, Soh-hunciang Shin Leng-siau dan Cecing-long Shin Hiat- ji!" sahut si kaki satu dengan tertawa sinis.

Tok-kak-han sin-mo berarti si Malaekat sakti berkaki satu, Soh-hun-ciang artinya si Pukulan Maut, sedang Ce- cing-long maknanya si Jejaka Mata Ungu. Mendengar ketiga nama itu, tanpa terasa Tong Ko terhuyung beberapa tindak kebelakang. Tapi tepat pada saat Itu, dari dalam rumah terdengar suara berkerontangan keras, disusul dengan suatu deru sambaran angin menghantam punggungnya. Saking gugupnya Tong Ko cepat2 buang dirinya ketanah dan bergelundungan sampai beberapa meter. Bluk....., sebuah toya pendek menghantam keras pada jalanan, hingga batu marmer yang menutupi jalanan itu sampal hancur berantakan.

Ketika Tong Ko mendongak, didapatinya yang menghantam itu adalah seorang tinggi besar gagah perkasa sembari mencekal sebatang sam-ciat-kua (toya berbuku 3). Hai, si kasar berangasan Nyo Kong-lim, itu toa-cecu (pemimpin pertama) dari ke 72 markas gunung Hoasan. Makanya datang2 dia sudah lantas hantam kromo saja tanpa menyelediki lebih dahulu  duduk perkara yang sebenarnya.

"Nyo cecu, awas si kaki satu itu hendak

membokongmu dari belakangl" seru Tong Ko memperingatkan si kasar tanpa mendendam apa yang telah diterimanya dari toa-cecu Itu tadi.

Nyo Kong-lim berputar kebelakang dan tepat pada saat itu si kaki satu sudah loncat dari kudanya sembari mencekal sepasang suan-hua-pan-hou (kapak atau beliung). Dengan memutar sam-ciatkun, Nyo Kong-lim cepat menyambutnya. Walaupun kakinya hanya tinggal satu, tapi gerakan orang she Sin itu lincah sekali. Untuk sabatan sam-ciat-kun itu, tampaknya si kaki satu malah maju memapakkan. Tapi begitu dekat, sret, tiba2 dia loncat menghindar, sehingga Nyo Kong-lim menghantam angin. Saking marahnya si kasar kedengaran menggerung keras, dia turunkan tangannya untuk menghajar kepala lawan. Tapi lagi2 si kaki satu enjot kakinya menyelinap kesarnping sembari hantamkan sepasang kapaknya, tring, tring! Nyo Kong-lim memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa kuatnya, tapi pada saat itu bahunya terasa kesemutan, sam-ciat-kun tertindih ditanah, dia tak kuasa untuk mengangkatnya.

Dilain fihak, demi dilihatnya kedua orang itu sudah bertempur Tong Ko lalu bangun dan ber-gegas2 lari kedalam rumah. Tapi kedua saudara Shin itu sudah kedengaran berseru se-keras2nya: "Sdr. Tong, bagusl Masuklah lekas dan bunuh habis mereka semua!"

Tong Ko terkesiap kaget. tapi pada saat itu dari dalam rumah kedengaran suara tangisan, maka tanpa menghiraukan racun yang ditebarkan mulut kedua saudara durjana itu, dia terus menobros kedalam. Disitu dilihatnya sinona tengah menangis tersedu sedan, meratapi adiknya yang sudah sekian lama  meninggal tadi. Hati Tong Ko seperti disayat sembilu rasanya. Ia menghiburnya:

"Nona Tio, jangan keliwat berduka. "

Se-konyong2 sinona menoleh, sepasangnya matanya tampak membara.

"Kau, seorang bangsatl" serunya sembari mencabut pedang dan dibolang-balingkan terus menyerang kepada tong Ko.

Tong Ko seperti seorang gagu yang tak  dapat menyatakan kesusahannya. Jurus yang dimainkan sinona itu adalah ilmu warisan yang diajarkan oleh ibunya si Hui-lay-hong Liau Yan-chiu, hoan-kang-kiam-hwat atau ilmu pedang membalikkan sungai. Nampaknya Tong Ko tak berdaya menghindar apalagi memang kepandaiannya masih cetek.

"Nona Tio, harap jangan turunkan tangan ganas!" serunya.

Tapi tiba2 terdengar orang menyahutimya: "Sdr.  Tong, jangan takutl", dan menyusul dengan itu ada suatu tenaga kuat mendorongnya kesamping sampai setengah meter dan tring... tring, tring...., tring....., sinonapun terdesak mundur oleh kilapan sinar bianglala.

Kiranya yang berseru dan menyerbu masuk membantu Tong Ko itu adalah Ce-cing-long Shin Hiat-ji. Dia terjang pedang sinona dengan sebatang jwanpian (ruyung lemas) yang ber-kilau2-an cahayanya.

"Kecuali Giam-lo-ong (raja akhirat) mengeluarkan amnesti (pengampunan), jangan harap hari ini kau dapat hidup lagi" serunya sembari maju menyapukan jwan- pian.

Bahu nona itu tadi sudah terluka hui-to, ketambahan pula ia gelisah mendukakan kematian adiknya, maka dalam gugupnya ia hanya loncat keatas meja dengan pontang panting. Shin Hiat-ji tak kenal ampun lagi. Dia sabatkan jwan-pian pada kaki meja, setelah berhasil melibat terus ditarik se-kuat2nya. Tapi tak kalah sebatnya, sinona sudah enjot kakinya untuk melambung keatas. la jambret sebuah tiang penglari untuk dibuat menggelantung, kemudian dengan membolang-balingkan pedangnya dalam jurus kut-ji-thou-kang. (Kut Gwan ceburkan diri kedalam sungai), ia meluncur turun menerjang lawan.

"Ha...... ha.......!" Hiat-ji tertawa menghina, "ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat yang menggemparkan dunia persilatan, kiranya hanya begitu saja!"

Nyo Kong-lim merasa kewalahan kena didesak oleh sepasang kapak besar Shin Hia-ji. Disebelah sana kawannya terus menyalahkan api membakar perumahan pedesaan itu.

Dia kebutkan jwan-pian untuk menyambut serangan. Belum jwan-pian itu tiba, sinona sudah rasakan digempur oleh suatu tenaga dorongan yang hebat, sehingga membuatnya kaget bukan terkira. Semuda itu usianya, ternyata anak muda she Shin itu sudah memiliki ilmu lwekang yang sedemikian lihaynya. Adalah karena mengagumi kepandaian lawan, telah membuat sinona tertegun hingga konsentrasi (pemusatan) pikirannya terpecah. Maka begitu kedua senjata, itu saling beradu, terpelantinglah sinona sampai beberapa langkah jauhnya.

Tepat pada saat itu terdengarlah suara gempuran yang dahsyat, disusul dengan robohnya segumpal pagar tembok, sehingga batu merah dan puing sama berterbangan kesana-sini. Untuk melindungi diri dari tebaran batu dan puing itu, sinona putar pedangnya, tapi berbareng itu ia rasakan betisnya sakit sekali karena tersabat jwan-pian siorang she Shin itu. Dengan tahan kesakitan, sinona loncat keluar rumah. Dilihatnya ada seorang berumur 30-an tengah menggempur tembok rumah dengan sebuah pukul besi raksasa. Tak berapa lama kemudian, rubuhlah tembok itu.

Saat itu penduduk diperkampungan situ sudah sama gempar terkejut. Tampak si tie-cing-long Shin-Hiat-ji menobros keluar dan setelah memberi isyarat mata kepada kakaknya si Shin-Leng-sian, mereka berdua lalu menyerbu keperkampungan rakyat. Ada 3 orang lelaki baru pulang dari sawah, terus menyongsong dengan paculnya, tapi mana mereka dapat menandingi tenaga sakti dari Hiat-ji. Sekali memutar jwan-pian. 3 batang pacul sama terlempar keudara. Dan sekali lagi jwanpian berputar, ketiga orang itu menjerit keras rubuh ditanah. Penduduk perkampungan sama gempar menyingkirkan diri. Hiruk pikuk memecah kesunyian desa itu.

Nyo Kong-lim keripuhan menahan arus serangan kapak si kaki satu. Saking marahnya, berulang kali si kasar me-mekik2 seperti kuda meringkik.  Tiba2 terdengar suatu seruan menggeledek diantara hiruk pikuk itu: "Siapa yang berani mengadu biru jual kebiadaban disinil"

Suara hiruk pikuk kepanikan itu sangatlah riuh rendahnya, tapi suara orang itu melengking keras se- olah2 dapat mengatasi kehirukan itu, menandakan bahwa orang itu tentu mempunyai lwekang yang cukup lihay. Kedua saudara Shin itupun menoleh dgn terperanjat. Seorang lelaki setengah tua yang mukanya garang berlari mendatangi dengan mencekal sebatang jwan pian.

"Apakah yang datang ini Kiau To, ji-ah-ko dari Thian Te Hui?" tegur Hiat-ji.

"Tak salahlah!', sahut orang itu agak keheranan.

Shin Hiat-ji tertawa memanjang. "Sambutlah pianku inil" serunya. Kini baru Kiau To mengetahui bahwa anak muda yang belum cukup 20 tahun usianya, hidung tinggi dahi lebar dan berwajah luar biasa itu, adalah musuh. Segera diapun sambut serangan orang dengan liok-kin- pian-hwat, ilmu ruyung ajaran gurunya, Cay Siang siansu dari gereja Liok-yong-si di Kwiciu. Ruyung lawan ruyung, wah, ramainya bukan buatan. Melihat tiada lain tokoh keras lagi, diam2 Soh-hun- ciang Shin Leng-sian girang sekali. Dia yakin rencananya kali ini tentu akan berhasil. Diambilnya korek geretan api, dengan dua tiga kali loncat, dia menghampiri tumpukan kayu lalu menyulutnya. Kala itu adalah permulaan musim dingin, angin keras benda2 kering merinting. Maka sekejab saja, asap ber-gulung2 membubung tinggi, api membubung dengan besarnya. Untuk mengipasinya, Shin Leng-siau mainkan pukul besinya, hingga menerbitkan angin men-deru2, meniup gelagah rumput berhamburan ke-mana2. Perumahan rakyat yang terbuat dari atap, cepat dijilat api. Rumah2 yang terletak ditepi jalan sudah sama terbakar. Ber-bondong2lah rakyat pedesaan situ, tua muda laki perempuan lari berserabutan macam  gabah ditampi. Jerit pekik memekakkan telinga.

"Sdr. Tong, tugas kita sudah berhasil bagus, ayuh kita pergil" tiba2 Sin Leng-siau berseru lantang2.

Tok-kak-sin-mo Sim Tok dan Ce-cing-long Shin Hiat-ji menangkap pertandaan itu. Setelah mendesak lawan, mereka lalu angkat kaki, tapi Nyo Kong-lim tak mau lepaskan pengacau itu. Tokkak-sin-mo atau si ibIis sakti berkaki satu se-konyong2 loncat setombak tingginya, dari situ dia berjumpalitan berdiri dibelakang Nyo Kong-lim.

Nyo Kong-lim hanya mengetahui bahwa tiba2 saja si kaki satu itu menghilang, hiruk pikuk jeritan orang, dentam dgn tiang dan bambu dimakan api serta tabir asap yang menyelumbung suasana, telah menyebabkan dia tak mengetahui bahw si kaki stau itu sudah berada dibelakangnya. Tahu2 dari belakang terasa ada angin menyambar, hendak dia menghindar tapi sudah terlambat. Sekali si kaki satu ayunkan kapaknya, maka bahu lengan dari si kasar telah kutung. Lengan kanan yang kutung dan terlempar jatuh ditanah Itu masih erat2 mencekal sam-ciat-kun

Bagaimanapun "kerasnya" si kasar itu, namun kali itu benar2 dia tak kuat menahan kesakitan lagi. Matanya ber-kunang2, kepala pening dan rubuhlah dia tak ingat diri. Darah mengalir laksana air mancur. Sejak sinona menobros keluar darl belakang tadi, ia kesima melihati pertempuran itu saja. Tapi kini serta tampak Nyo Kong- lim terluka parah, ia segera lari menghamplri seraya berteriak pilu: "Paman Nyo.....! Paman Nyo !"

Saat itu api makin menjalar luas. Suara gerodakan dari rumah2 yang rubuh membisingkan telinga. Hanya dalam beberapa kejab saja, perdesaan situ berobah menjadi sedemikIan rupa, telah menyebabkan sinona kehilangan faham, tak tahu apa yang harus diperbuat, kecuali menangis seperti anak kecil. Untunglah Kiau To yang dapat mendengarkan jeritan nona itu tadi, segera berhasil mencarinya. Cepat dia angkat tubuh Nyo Kong- lim, lalu ditutuk jalan darah untuk menghentikan.

"Siau In, lekas ikut aku, atau kau nanti hangus terbakar dlsinll" serunya kepada sinona sembari terus memondong tubuh si kasar untuk dibawanya menobros keluar dari lautan api.

Sinona mengikutinya dari belakang. Tapi baru kira 30- an langkah, tiba2 ia teringat akan jenazah adiknya yang masih ketinggalan berada didalam rumah.

"Paman Nyo, aku hendak menjemput adikku. Ayah dan mamah sering mengatakan kalau engkohku tak dapat diharapkan. Maka walaupun adikku sudah binasa, aku tetap hendak mengambilnyal" Sudah tentu Kiau To terperanjat, karena dia tak mengetahui kalau adik sinona itu, putera Tio Jiang yang bungsu, telah menjadi korban keganasan kaki tangan penjajah yang sedemikian biadabnya. Masa seorang anak kecil yang tak tahu apa, juga dibunuhnya. Bermula dia hendak memberi persetujuan, tapi demi dilihatnya kedahsyatan api yang membakar perkampungan itu, buru2 dia mencegahnya: "Siau In, sudahlahl Jangan sampai kau sendiri juga menjadi korban lagil"

Tapi ternyata hati nona itu seperti ayah bundanya, keras tak mudah ditaklukkan. Tahu2 ia sudat memutar tubuh dan memberosot lari sembari ber-teriak2:

"Biarlah!"

Kejut Kiau To bukan alang kepalang. Baru dia hendak mengejarnya, berbondong2 penduduk lari kearahnya, hingga terpegatlah jalannya dan kini sinona sudah menyusup masuk kedalam lautan api. Saking gelisahnya. Kiau To sampai banting2 kakinya: Begitu rombongan orang2 itu sudah berlalu, segera Kiau To melihat dengan jelas bahwa perkampungan itu sudah menjadi sebuah lautan api. Sedang dalam pada itu, Nyo Kong-lim tetap belum sadar, hingga diapun tak dapat berbuat apa2.

Sementara sinona tadi, begitu memasuki lingkaran laut api, matanya segera terasa pedas dihamburi gulungan asap tebal, hingga ia tak dapat melihat jelas suatu app lebih jauh dari satu tombak jaraknya. Bagaikan seekor anak rusa tersesat jalan, ia lari kesana sini dengan membabi buta. Rambut dan pakaiannya, sebagian hesar sudah termakan letikan api. Dengan susah payah barulah ia berhasil menemukan rumah kediamannya. Tapi baru hendak menobros masuk, ia sudah diseret oleh seseorang.

"Nona Tio.....! In-moay......! Lekas menyingkir  dari sini !" seru orang itu.

Nona itu ternyata she Tio dan memakal nama-tunggal In. Ia adalah puteri kesayangan dari Siau-beng-siang Tio Jiang, tokoh yang dihormati oleh kaum persilatan patriot. Demi diketahuinya bahwa orang itu adalah si "penjahat" Tong Ko, ia segera mengirim dua buah tamparan kemuka orang. Seketika itu juga kedua belah pipi Tong Ko menjadi bengap matang biru. Tapi dari mundur, se- baliknya anak muda itu malah mendekap tubuh sinona untuk dibawanya lari.

Karena sejak kecil sudah mendapat latihan ilmu silat, jadi kepandaian Tio In jauh lebih lihay dari Tong Ko. Karena tak menduga, maka tadi ia sampai kena dipondong Tong Ko. Kini iapun meranta  se-kuat2-nya dan mendupak lutut orang. Dupakan itu tepat sekali mengenai mata lutut Tong Ko, hingga seketika itu juga sinak muda mendeprok dan bergelundungan ditanah.

Bahwasanya Tong Ko mecintai Tio In, bukanlah terjadi dalam sehari dua melainkan sudah sejak dia ceburkan  diri dalam pereserekatan orang gagah di Lo-hu-san situ. Bahwa dia telah diperalat dan dijadikan tumpuan arus (bulan2an kesalahan) oleh kawanan si kaki satu bertiga, tentu sinona akan membencinya sampai mati. Ini sudah diperkirakan. Tapi biar bagaimana tak nanti dia biarkan nona yang dicintainya itu sampai mendapat kecelakaan kalau menobros masuk kedalam rumah. Maka tanpa hiraukan suatu apa lagi, dia segera loncat bangun terus menubruk nona itu lagi, seraya berseru: "In-moay, turutlah omonganku, lekas tinggalkan neraka api ini dan nanti kuterangkan lagil"

"Lepaskan aku, lekasl" seru sinona dengan hati yang hancur. Berbareng pada saat itu ada segumpal asap meniup datang. Hati Tio In direndam oleh kedukaan dan kemarahan. Betapapun lihay kepandaiannya, namun ia itu tetap seorang dara. Saking tak kuat menahan rangsangan hawa luapan hatinya, ia jatuh pingsan.

Sebaliknya demi merasa nona itu tak meronta lagi, Tong Ko segera memanggulnya untuk mencari jalan lolos. Suatu perjalanan yang tak mudah bagi Tong Ko yang dalam beberapa saat saja sudah menanggung penderitaan bathin dan badan yang begitu hebat. Dengan badan luka2 dan gosong2 terbakar, tenggorokan kering dan mulut membara, akhirnya dapatlah dia membawa Tio In keluar dari kepungan api. Berjalan sampai setengah li jauhnya, dia berhenti sejenak untuk menengok kebelakang. Dilihatnya perdesaan itu masih tetap terbakar dimana nyala api sampai membuat langit merah marong.

Tong Ko ter-longong2 sampai beberapa saat. Benar malapetaka itu ditimbulkan oleh keganasan ketiga kaki tangan pemerintah Ceng, tapi karena ketiga durjana itu timpahkan kesalahan pada dirinya, tentulah rakyat perdesaan situ akan membuat perhitungan padanya. Tak terasa, dia menghela napas dalam2. Setelah tersadar dari lamunannya, dia pondong Tio In menuju kesebuah sungai kecil.

---oo^dwkz0tah^oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar