Darah Ksatria Bab 23: Orang Jujur Yang Tidak Jujur

 
Bab 23: Orang Jujur Yang Tidak Jujur
Tubrukan nekat Thiat Tin-thian sebetulnya merupakan tubrukan mengadu jiwa dengan sisa tenaga terakhir, sergapan yang akan menentukan mati atau hidup. Thiat Tin-thian sudah bertekad mati, rela berkorban untuk menyelamatkan Ma Ji-liong, tetapi ia tidak mati, karena di saat tubuhnya terapung di udara, tahu-tahu tubuhnya malah tertarik mundur ke belakang.

Ternyata berbareng dengan tubrukan Thiat Tin-thian itu, Ma Ji-liong juga menubruk di belakangnya. Dengan kedua tangan ia cengkeram ikat pinggangnya serta menarik sekuat tenaga. Di sana Coat-taysu juga sudah siap menyambut tubrukannya, tapi ia tidak jadi melontarkan pukulannya.

Begitu suara merdu itu bergema, kabut pun datang, gerakannya pun terhenti, wajah yang semula kaku mendadak menunjukkan mimik aneh, romannya kelihatan ganjil.

Hanya sekejap Coat-taysu sudah tidak melihat Thiat Tin-thian lagi, kabut hijau itu seperti terhembus keluar dari mulut iblis raksasa, seakan-akan pekarangan kecil itu mendadak ditelan bulat-bulat. Kecuali kabut tebal itu, apa pun tidak terlihat lagi.

Lekas Ma Ji-liong membawa Thiat Tin-thian pulang kembali ke toko serba ada miliknya itu.

Coat-taysu dan kawan-kawannya juga tidak bisa melihat apa pun, sudah tentu mereka tidak berani sembarangan bertindak, demikian pula Ma Ji-liong yang seperti orang buta di tempat itu. Tapi sebagai penduduk yang sudah sekian bulan tinggal di daerah itu, sedikit banyak ia sudah hafal keadaan sekelilingnya, apalagi ia pernah beberapa kali dolan ke rumah To Po-gi. Maka Ji-liong tidak kuatir dirinya salah langkah seperti yang dikuatirkan Coat-taysu. Ia tidak takut dibokong, juga tidak takut menumbuk tembok hingga tulang patah dan kepala bocor. Seorang yang sudah berani mempertaruhkan jiwa raga, sudah siap berlaga dan mati di medan perang, lalu apa lagi yang ditakuti? Dengan leluasa Ji-liong sampai di rumah tanpa kurang suatu apa pun.

-----------------------------------ooo00ooo--------------------------------------

Umumnya kalau orang tidur agak dini tentu bangunnya juga lebih pagi. Penduduk kampung itu kebanyakan tidur sore-sore, biasanya begitu kokok ayam mulai bersahutan penduduk sudah banyak yang bangun. Begitu fajar menyingsing, toko serba ada itu juga sudah buka pintu.

Tapi hari ini agak berbeda, keadaan tidak seperti biasanya.

Dengan menggendong Thiat Tin-thian, Ma Ji-liong melompat masuk lewat pintu samping. Sebelumnya ia sudah putar kayun keluar masuk lorong-lorong kampung yang sempit, jorok dan bau untuk menghilangkan jejak dari pengejaran musuh. Setelah yakin dirinya tidak dikuntit, langsung ia berputar ke belakang dan melompat masuk dari tembok belakang.

Begitu diturunkan, Thiat Tin-thian tampak lemah dan lesu, mirip orang lumpuh. Walau sergapannya tadi berhasil digagalkan oleh Ji-liong, tapi dia sudah terlanjur mengerahkan seluruh sisa tenaganya, kini tenaga seperti lepas dari badan sehingga sekujur tubuh terasa lemas lunglai.

Waktu Ma Ji-liong menyeretnya lari tadi, terpaksa dia menurut saja, padahal dia tidak bisa melupakan saudaranya, Thiat Coan-gi. Walau Thiat Coan-gi bukan saudara kandungnya, tapi selama beberapa tahun belakangan ini mereka berjuang bersama dan bertempur berdampingan, mati hidup juga harus bersama. Di antara dua saudara ini sudah terjalin ikatan batin yang kental, persahabatan yang kekal, lebih kental dibanding kentalnya darah.

“Aku tak boleh meninggalkan Coan-gi di sana,” demikian desis Thiat Tin-thian waktu dirinya digendong Ma Ji-liong. “Kita harus kembali dan menolongnya juga.”

Kalau saat itu putar balik bukan saja sudah tidak keburu, salah-salah jejak mereka bisa ketahuan musuh pula.

“Yang diburu Coat-taysu bukan dia,” demikian bujuk Ma Ji-liong. “Sebelum kau jatuh ke tangan mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya.”

Pekarangan belakang toko serba ada ini, bentuk dan luasnya mirip dan sama dengan pekarangan rumah To Po-gi, cuma di sini tidak ada sumur. Di tengah pekarangan dibangun sebuah rumah tambahan di mana Thio-lausit tidur. Kamar tempat tinggal Thio-lausit tampak terbuka, Thio-lausit tidak berada di kamarnya, juga tidak ada di dapur, sementara pintu kamar mandi terpalang dari luar.

Umpama belum tidur pulas, Cia Giok-lun tentu terlena meski hanya sekejap, demikian batin Ma Ji- liong. Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati, Ma Ji-liong mendorong daun pintu, lalu menyelinap masuk. Tiada gangguan atau suara lirih sekalipun yang dapat mengejutkan seseorang sehingga terjaga dari tidurnya.

Setelah diturunkan, Thiat Tin-thian dibimbing duduk di kursi rotan di mana ia biasa duduk istirahat. Lalu ia berlari ke toko untuk mengambil segentong garam dan sekeranjang telur ayam, ditaruh di dekat Thiat Tin-thian. Bayangan Thio-lausit ternyata juga tidak kelihatan di dalam toko. Setelah melalap beberapa genggam garam dan dua butir telur ayam, keadaan Thiat Tin-thian kelihatan lebih segar, barulah ia bicara, “Ini toko serba ada milikmu?”

“Ehm,” Ma Ji-liong mengiakan.

“Siapakah perempuan di atas ranjang itu?” tanya Thiat Tin-thian. “Binimu?”

Susah Ji-liong menjawab pertanyaan orang. Ia tidak ingin membohongi Thiat Tin-thian, namun ia juga tidak tahu, pantaskah ia mengakui hal itu? Atau harus menyangkal? Hakikatnya ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Untung Thiat Tin-thian tidak bertanya lagi, ia menghela napas, “Seharusnya kau tidak membawa aku ke tempat ini, tidak pantas aku berada di sini.”

“Bukan saja kau harus kubawa ke mari, aku pun harus menyelamatkan jiwamu.” “Kenapa?” tanya Thiat Tin-thian tidak habis mengerti.
“Karena di sini ada seseorang yang mungkin dapat menyembuhkan lukamu.”

Bercahaya bola mata Thiat Tin-thian, betapa pun ia senang, bergairah dan menyala semangatnya. Asal ada orang yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, itu berarti ia punya keyakinan lagi untuk menghadapi Coat-taysu, menuntut balas sakit hatinya. Dulu ia terlalu percaya diri, terlalu yakin bahwa dirinya mampu dan kuat, sepenuh tenaga pukulan mengadu kekuatan melawan Coat-taysu, umpama bukan tandingan juga harus gugur bersama. Kini setelah pengalaman membuktikan dirinya bukan tandingan lawan, bahkan terluka parah lagi, maka Thiat Tin-thian tidak berani mengulangi kesalahan, memburu keinginan yang belum pasti.

“Siapa yang dapat menyembuhkan lukaku?” ingin Thiat Tin-thian bertanya, tapi belum ia membuka suara, seseorang sudah menyeletuk bicara.

Ma Ji-liong mengira Cia Giok-lun yang diam tak bergerak itu sudah tertidur pulas, tapi mendadak ia bersuara, “Memang tidak pantas kau membawa orang ini ke sini. Ketahuilah, di sini pasti tiada orang yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Kecuali keluarga Cia dan orang-orangnya, siapa pun takkan dapat menolong jiwanya.”

“Tapi kau. ”

Mendadak Cia Giok-lun melotot, serunya, “Aku bukan anggota keluarga Cia yang kau maksud, aku adalah bini pemilik toko serba ada ini.”

Cia Giok-lun tahu, inilah kesempatan dirinya untuk memaksa Ma Ji-liong membeberkan kenyataan, sudah tentu ia tidak mau mengabaikan peluang baik ini.

Mendadak Thiat Tin-thian berdiri, ia mencomot lagi beberapa genggam garam serta ditelannya, lalu mencaplok dua butir telur ayam, “Biar aku pergi saja.” Lalu ia betul-betul melangkah pergi. Sudah dua puluh tahun ia malang melintang, ia tahu di balik persoalan dan keadaan di rumah ini, pasti terselip sesuatu yang tidak boleh dijelaskan. Ia tidak ingin menyudutkan Ma Ji-liong, membuatnya serba susah. Ia tidak mau dan pantang membuat teman yang mempercayai dirinya susah.

Jikalau kau ingin bersahabat dengan seorang teman, kau harus mengukir perkataan ini di dalam sanubarimu. Seorang kawan sejati, pasti tak membiarkan kawannya susah, apalagi menderita. Cia Giok-lun tidak memberi kesempatan Ma Ji-liong bicara, katanya, “Kau memang harus lekas pergi, sekarang juga.”

Tidak dinyana Thiat Tin-thian malah duduk kembali, “Aku tidak boleh pergi.” “Kenapa?” tanya Cia Giok-lun.
Jawaban Thiat Tin-thian justru ditujukan pada Ma Ji-liong. “Biar aku tinggal di sini. Bila mereka meluruk ke mari, aku akan membantu kalian menghalau mereka atau mengadu jiwa.”

“Mencari aku?” Ji-liong menegas dengan bingung. “Mana mungkin mereka mencari aku?”

“Bukankah Ma Ji-liong adalah buronan mereka yang utama, maka sekarang kaulah orang yang mereka cari dan uber.”

Ma Ji-liong menggelengkan kepala, ia tidak mengerti.

Thiat Tin-thian menghela napas, katanya, “Apa kau kira mereka tidak percaya pada perkataanmu tadi?”

“Kau kira mereka percaya?” “Pasti percaya, percaya sekali.”
“Tapi, bukankah mereka tidak mau menerima usulku?”

“Jangan bodoh. Kalau mereka menerima usulmu dan mengakui bahwa kau benar adalah Ma Ji- liong, maka mereka harus membebaskan kami berdua,” ujar Thiat Tin-thian sambil menyeringai dingin. “Kita bertiga sudah terkepung, seumpama burung dalam sangkar, siapa pun tak mampu lari atau meloloskan diri, kenapa mereka harus menerima persyaratanmu? Kenapa harus membebaskan aku?”

Ma Ji-liong melenggong, berdiri menjublek sekian saat, mulutnya bungkam tak bisa tertawa. Sekarang ia sadar dan mengerti, betapa keji dan culas hati manusia yang sudah berkecimpung di Kangouw, lika-liku kehidupan kaum Bulim kadang kala sukar dibayangkan dengan nalar sehat.

Sejak tadi Cia Giok-lun diam dan mengawasi Ma Ji-liong, mendadak ia meronta bangun dan duduk, serunya, “Jadi kau inilah Ma Ji-liong, penjahat besar yang buron itu?” Suaranya serak, “Kau inikah Ma Ji-liong yang durjana dan sudah kelewat batas melakukan kejahatan itu?”

Darah seperti mendidih di rongga dada Ma Ji-liong, amarahnya berkobar, rasa penasaran membuat ia naik pitam, “Betul, aku adalah Ma Ji-liong,” suaranya juga serak. “Aku adalah Ma Ji-liong, keparat yang telah banyak melakukan kejahatan.”

Thiat Tin-thian menjublek di atas kursi.

Tahun-tahun belakangan ini, jarang ada kejadian apa pun di dunia ini yang bisa membuatnya kaget, apalagi menjublek. Tapi perempuan ini seharusnya adalah bini Ma Ji-liong, kenapa dia tidak tahu kalau Ma Ji-liong adalah Ma Ji-liong?

Ternyata Cia Giok-lun juga menjublek di tempatnya, lama sekali baru dia menarik napas panjang, desisnya perlahan, “Kau bukan Ma Ji-liong.” “Akulah Ma Ji-liong, Ma Ji-liong tulen.”

“Kau bukan Ma Ji-liong, bukan Ma Ji-liong!” demikian teriak Cia Giok-lun, tegas suaranya. “Ma Ji-liong adalah penjahat keji lagi telengas, perbuatan kotor apa pun berani dan pernah ia     lakukan. ” Mendadak suaranya berubah halus dan lembut, “Tapi sudah tiga bulan dua puluh hari
aku tinggal di sini berdampingan denganmu, aku tahu dan yakin kau pasti bukan orang jahat, kau alim dan bajik, jujur lagi.”

Ji-liong diam saja, ia memang tak mampu bicara, tenggorokannya seakan tersumbat. Sejak kasus ini terjadi, ia sudah mulai biasa dihina, dicaci maki, difitnah. Rasa kasihan dan simpati orang lain terhadapnya malah mengundang rasa sedih, murung dan masygul serta membuat hatinya mendelu.

Pada saat itulah di dalam toko mendadak terdengar suara orang, suara Thio-lausit. Ji-liong sungkan berhadapan dengan Cia Giok-lun, maka ia segera memburu keluar.

Ternyata Thio-lausit memang ada di dalam toko, sedang menyapu lantai, gelagatnya ia siap membuka toko.

Ma Ji-liong menatapnya beberapa kejap. “Kau sudah pulang?” tanyanya.

“Aku tidak pulang,” sahut Thio-lausit. “Aku tidak pernah keluar, kenapa harus pulang?”

Apa betul dia tidak keluar? Jelas tadi dia tidak berada di dalam rumah, juga tidak ada di dapur, di toko juga tidak kelihatan bayangannya. “Tadi aku berada di kakus,” demikian Thio-lausit menerangkan.

Padahal pintu kakus dipalang dari luar, itu berarti dia juga tidak berada di sana. Siapa pun pasti maklum, orang yang membuang hajat tentu menutup dan memalang daun pintu dari dalam, hal ini sudah diperiksa dan diperhatikan oleh Ma Ji-liong.

Setelah mengalami musibah ini, Ma Ji-liong sudah belajar banyak, sudah pandai memperhatikan urusan-urusan kecil, karena sekarang ia sudah tahu, banyak urusan besar berhasil dilihat, dinilai dan dibongkar dari urusan kecil yang tidak berarti. Kini diam-diam Ji-liong merasa bahwa pegawainya yang setia ini ternyata tidak jujur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar