Darah Ksatria Bab 08: Hubungan Rahasia

 
Bab 08: Hubungan Rahasia
Ada orang yang sangat menyukai bunga. Tak perduli bagaimana pun suasana hati mereka, mereka akan selalu memetik bunga dan meletakkannya di dalam pot.

Agaknya Siau-hoan tidak menyembunyikan apa-apa atau mempunyai sebuah skandal. Dia benar- benar sudah memutuskan untuk mati demi cinta. Tapi kenapa laki-laki ini harus memaksanya mati? Apa hubungannya dengan gadis itu? Apakah dia sahabat Khu Hong-seng yang datang untuk memaksanya bunuh diri atas nama cinta atau datang untuk membungkam mulutnya?

Berpikir sampai sejauh ini, Ma Ji-liong tiba-tiba melihat sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya walaupun dalam mimpi. Mendadak Siau-hoan berjalan mendekat dan duduk di pangkuan laki-laki itu. Dia lalu melingkarkan lengannya di leher laki-laki itu dan menggigit daun telinganya dengan perlahan.

Dengan terengah-engah dia berkata, "Kau ingin aku mati. Aku ingin kau juga mati."

Gaun luarnya tahu-tahu sudah merosot jatuh. Di balik gaun sutera yang ketat itu terdapat pakaian dalam berwarna merah menyala, yang membuat kulitnya tampak semakin putih. Ma Ji-liong benar- benar tidak sanggup menonton terus. Ini adalah skandal orang lain. Dia seharusnya tidak mengorek- ngorek urusan mereka.

Tapi... dia teringat pada Khu Hong-seng yang dirundung cinta di dekat liang itu. Dia ingin berteriak dan memisahkan kedua orang yang hendak 'mati' itu. Dia juga bermaksud untuk melompat masuk lewat jendela.

Tapi dia malah melompat keluar tembok lagi dan mengetuk pintu gerbang. Dia mengetuk beberapa kali sebelum akhirnya mendengar suara Siau-hoan dari dalam, "Siapa itu?"

"Ini aku."

"Siapa kau? Bagaimana aku tahu siapa kau? Apakah kau tidak punya nama?" Nada suara Siau-hoan tidak begitu ramah, tapi akhirnya ia keluar untuk membukakan pintu gerbang.

"Oh, kau!"

Melihat Ma Ji-liong, dia tentu saja terkejut, tetapi ketenangannya kembali pulih dengan cepat. Dengan muka tanpa ekspresi, dia berkata dengan dingin, "Aku tidak tahu kalau Ma-kongcu akan datang lagi. Apakah kau khawatir kalau aku akan kesepian di malam hari? Apakah kau datang ke sini untuk menghiburku sebagai pengganti Khu Hong-seng?"

Kata-kata ini amat menusuk. Mendengar ucapan seperti ini, orang yang mempunyai maksud seperti yang dikatakannya itu tentu akan cepat-cepat pergi.

Sayangnya Ma Ji-liong tidak bermaksud begitu. Dia berkata dengan tenang, "Aku tahu pasti bahwa kau tidak kesepian. Aku cuma khawatir kalau kau akan mati di tangan seseorang."

Wajah Siau-hoan memerah, lalu berubah pucat. Tiba-tiba dia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Lalu dia berkata, "Ikutlah denganku."

Ma Ji-liong mengikutinya. Ternyata gadis itu membawanya ke ruangan tadi. Laki-laki itu telah lenyap. "Duduklah," perempuan itu menunjuk kursi empuk yang tadi diduduki laki-laki itu. "Silakan duduk."

Ma Ji-liong tidak duduk. Dia tidak melihat laki-laki itu, tapi dia melihat sepasang sepatu kulit itu, sepasang sepatu kulit yang amat indah.

Di kamar itu ada sebuah ranjang. Di belakang ranjang tergantung sehelai tirai kain yang amat panjang. Tetapi ujungnya masih belum menyentuh lantai. Dan sepasang sepatu kulit itu terlihat berada di bawah tirai.

Siau-hoan bertanya, "Kenapa kau tidak duduk?"

"Agaknya kursi ini bukan diperuntukkan buatku," kata Ma Ji-liong.

Siau-hoan tertawa, tapi tentu saja tawanya itu tidak timbul dengan wajar. Dia berkata, "Kau tidak duduk. Lalu siapa yang akan duduk di sini?"

"Agaknya ada seseorang," kata Ma Ji-liong.

Siau-hoan berkata, "Selain Khu Hong-seng, kau adalah satu-satunya orang yang pernah menginjakkan kaki di kamar ini. Bagaimana mungkin ada orang lain?"

Dia menekan amarahnya, masih ngotot mengatakan bahwa tidak ada orang lain di ruangan itu. Ma Ji-liong juga merasa marah. Dia tak tahan lagi, lalu dia melangkah maju dan menyingkap tirai kain itu. Tentu saja memang ada seseorang di balik tirai itu. Tapi memang bukan orang lain yang pernah datang ke ruangan ini. Karena orang di balik tirai itu ternyata adalah Khu Hong-seng.

Ma Ji-liong menghambur keluar dari kamar itu, keluar dari pintu gerbang, dan keluar ke jalan sempit itu. Untunglah di luar sudah gelap.

Hari sudah gelap dan hawa terasa dingin menggigit, dan tidak ada siapa-siapa di jalan raya. Kalau tidak orang tentu akan mengira kalau dia adalah orang gila.

Sekarang satu-satunya yang ingin dia lakukan adalah menampar telinganya sendiri berkali-kali. Dia tidak akan pernah melupakan bagaimana dia menyingkap tirai kain tadi dalam sekali sapuan, atau mimik muka Khu Hong-seng, atau bagaimana cara Siau-hoan menatapnya pada saat itu.

Dia seharusnya tahu bahwa Khu Hong-seng akhirnya akan pulang. Dia seharusnya juga sudah menduga bahwa orang itu mungkin sekali Khu Hong-seng. Tapi, di saat merasa gusar tadi, dia benar-benar tidak bisa berpikir. Dia juga seharusnya mengenali suara Khu Hong-seng, tapi dia tidak memperhatikannya.

Khu Hong-seng adalah seorang pemuda terpelajar dari keluarga bangsawan. Dalam keadaan seperti tadi, anehnya, dia malah tertawa. Tapi, bagi Ma Ji-liong, kejadian tadi rasanya lebih buruk daripada telinganya ditusuk-tusuk orang. Dan begitulah, dia pun melarikan diri seperti dikejar-kejar orang dengan sapu ijuk.

Kembali dia sendirian, tanpa uang dan tanpa tujuan, dan dia tetap tidak punya petunjuk tentang apa yang sedang terjadi. Nyawanya seperti tergantung pada seutas benang, tubuhnya tergantung di udara. Walaupun dia belum jatuh, dia mungkin akan segera ambruk menuju kematiannya.
Tapi dia keliru! Tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya tidak sendirian lagi. Di belakangnya sudah muncul seseorang. 
Dia tidak memutar kepalanya untuk melihat siapa orang itu. Dia pun tidak tahu kenapa perasaannya yang seperti tergantung pada seutas benang tadi tiba-tiba telah menghilang. Orang itu menyusulnya, lalu memberikan sesuatu yang amat indah kepadanya.

Ma Ji-liong menerimanya. Sekarang yang paling dia butuhkan adalah obat untuk sakit kepalanya. Dan orang itu dengan tepat telah memberikan sebungkus obat sakit kepala kepadanya.

Orang itu menunggu dirinya menelan obat tersebut. Lalu dia mengeluarkan tujuh-delapan bungkus obat lagi. Ada yang berupa pil bundar, ada pula yang berbentuk tablet. Bahkan ada yang berbentuk bubuk. Dia memberikan semuanya kepadanya.

"Ini untuk menghilangkan pengaruh arak. Ini tablet emas ungu. Ini untuk meredakan rasa sakit di perut. Yang ini bagus untuk sistem pencernaanmu. "

Ma Ji-liong tersenyum, "Memangnya kau pikir aku siapa? Kaleng obat?"

Dia balas tersenyum, "Aku tahu kau bukan kaleng obat. Kau adalah guci arak."

Lalu dia tertawa cekikikan, "Sayangnya, guci ini sangat-sangat kecil dan tidak bisa menampung arak terlalu banyak."

Toa-hoan tampak lebih bersemangat daripadanya, dan rona mukanya juga lebih cerah. Dalam hatinya dia berpikir, "Apakah kemampuan minum araknya lebih baik dariku?"

Ma Ji-liong tidak yakin. Dia pun terpaksa bertanya, "Kepalamu tidak terasa sakit?" "Tidak," jawab Toa-hoan.
"Bagaimana bisa?" Ma Ji-liong bertanya.

Toa-hoan menjawab, "Karena aku tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain."

Ikut campur urusan orang memang merupakan sumber utama sakit kepala. Bukan hanya bisa membuat orang sakit kepala, kepalanya juga akan terluka.

Lalu si nona bertanya, "Kau sudah bertemu Siau-hoan?" "Hmm."
"Bagaimana?" "Bagaimana apanya?" "Bagaimana rupanya?" "Dia sangat cantik."
Toa-hoan tertawa cekikikan, "Kalau dia sangat cantik, kenapa kau kelihatan seperti baru bertemu hantu?" Sambil menghela napas, Ma Ji-liong menjawab, "Jika aku melihat hantu, hal itu masih jauh lebih baik."

"Lalu apa yang kau lihat?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong menjawab, "Aku melihat Khu Hong-seng."

Aneh, dia membicarakan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Semula dia mengira bahwa dia tidak akan pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Tapi, entah karena alasan apa, dia merasa bahwa dia boleh menceritakan semuanya pada gadis ini, dan tidak usah menyembunyikan apa-apa.

Toa-hoan tidak menertawakannya. Dia malah menghela napas dan berkata, "Jika aku adalah kau, aku pasti ingin melarikan diri juga."

Ini memang sesuai dengan perasaannya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa walaupun gadis ini kelihatan licik, kejam dan buruk rupa, tapi dia sebenarnya berhati baik. Selain itu dia juga penuh pengertian dan simpatik. Inilah pertama kalinya dia memiliki perasaan seperti ini.

Tiba-tiba Toa-hoan berkata, "Tapi aku tidak paham." "Apa yang tidak kau pahami?" Ma Ji-liong bertanya.
Toa-hoan berkata, "Khu Hong-seng jelas-jelas tahu bahwa kau yang berada di sana, kenapa dia harus bersembunyi?"

Ma Ji-liong menjelaskan, "Mereka berdua masih belum menikah secara resmi. Dengan latar belakang keluarganya, dia tentu harus berhati-hati. Jika aku adalah dia, aku mungkin akan bersembunyi juga."

Toa-hoan menatapnya. Sambil tersenyum lirih, dia berkata, "Aku tidak tahu kalau kau pun bisa mempertimbangkan perasaan orang lain."

Ma Ji-liong bertanya, "Memangnya kau kira aku orang macam apa?"

Toa-hoan berkata, "Kukira kau adalah orang yang angkuh dan mementingkan diri sendiri, tidak perduli apakah orang lain akan hidup atau mati."

Lalu suaranya mendadak menjadi lembut, "Tapi sekarang aku tahu bahwa aku keliru."

Gadis yang aneh ini bisa mengakui bahwa dirinya keliru. Hal ini tentu saja membingungkan orang. Kembali Toa-hoan bertanya, "Apa yang dia katakan ketika dia melihatmu tadi?"
"Rasanya bahkan semakin serba salah karena dia tidak berkata apa-apa," jawab Ma Ji-liong. "Dan apa yang kau katakan?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tersenyum dipaksa. Dia berkata, "Apa yang bisa kukatakan di saat seperti itu?" Toa-hoan berkata, "Apakah dia berusaha menangkapmu untuk Pang Tio-hoan?"
"Tidak," Ma Ji-liong menjawab. 
Toa-hoan berkata, "Dan kau tidak bertanya kepadanya apa yang terjadi di Han-bwe-kok setelah kau pergi? Apakah Bik-giok Hujin sudah muncul? Apakah beliau memilihnya sebagai menantunya?"

"Aku tidak menanyakannya," jawab Ma Ji-liong.

Tiba-tiba dia balik bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang semua ini?"

Toa-hoan tersenyum. Senyumannya amat misterius. Dia berkata, "Tentu saja ada yang memberitahuku."

Ma Ji-liong bertanya, "Siapa?" "Orang mabuk," kata Toa-hoan.
Ma Ji-liong bertanya, "Apakah orang mabuk itu adalah aku?" Toa-hoan tertawa, "Kau tidak terlalu bodoh."
Ma Ji-liong cuma bisa tersenyum dipaksa. Dia tentu mengatakan banyak hal dalam keadaan mabuk, tapi sayangnya dia sendiri tidak tahu apa saja yang sudah dikatakan olehnya.

"Bik-giok Hujin tentu tidak perlu memilih lagi. Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah mati. Kau telah menjadi sasaran kebencian seluruh dunia. Selain Gin-jio Kongcu Khu Hong-seng, tidak ada yang cukup baik untuk menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."

Dia menghela napas dan meneruskan, "Meskipun Bik-giok Hujin ingin memilih, tidak ada lagi yang bisa dipilih."

Itulah kenyataannya. Setelah apa yang terjadi, Khu Hong-seng menjadi satu-satunya calon. Ma Ji-liong berkata, "Tapi... tidak mungkin dia penjahatnya!"
"Kenapa tidak?" Toa-hoan bertanya.

Ma Ji-liong menerangkan, "Karena dia sudah mempunyai kekasih sehidup semati. Dia tidak ingin menjadi menantu Bik-giok-san-ceng."

Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Aku pun tidak berpikir bahwa dia bisa melakukan semua ini. Tapi, jika dia bukan penjahatnya, dan kau pun bukan, lalu siapa yang membunuh semua orang itu?"

Ma Ji-liong berkata, "Pasti Thian-sat!" Toa-hoan bertanya, "Siapa Thian-sat itu?"
Ma Ji-liong berkata, "Thian-sat bukan nama seseorang. Itu adalah nama sebuah organisasi rahasia, organisasi pembunuh bayaran."

Toa-hoan bertanya, "Tapi kenapa mereka melakukannya? Mengapa mereka memfitnahmu?" Ma Ji-liong menebak-nebak, "Karena... mereka ingin menciptakan kekacauan." 
Lalu dia menjelaskan, "Jika keluarga kami bertarung satu sama lain, dunia Kang-ouw akan porak- poranda. Mereka akan mendapatkan kesempatan untuk naik."

Penjelasannya itu masuk di akal. Peristiwa seperti itu pernah terjadi di masa lalu. Dan hal itu mungkin bisa terjadi lagi.

Ma Ji-liong berkata, "Sekarang mereka hanya sebuah organisasi penjahat biasa. Jika rencana mereka berhasil, mereka bisa menjadi sebuah partai yang terbuka dan berdaulat. Karena saat itu tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan mampu untuk menghentikan mereka."

Toa-hoan berkata, "Karena saat itu seluruh keluarga sudah saling menghancurkan karena perselisihan ini."

Ma Ji-liong berkata, "Tapi aku tentu saja tidak boleh membiarkan hal itu terjadi." Toa-hoan bertanya, "Apa rencanamu untuk menghentikan mereka?"
Ma Ji-liong berkata, "Pertama aku harus mencari tahu dulu siapa pemimpin Thian-sat sebenarnya." "Bagaimana caramu melakukannya?" Toa-hoan bertanya.
Ma Ji-liong tidak menjawab. Dia benar-benar tidak punya petunjuk saat itu. Dia pun tak tahu bagaimana cara memulainya.

Toa-hoan berkata, "Orang ini pasti tahu bahwa Bu-lim-si-toakongcu akan berada di Han-bwe-kok hari itu."

"Benar," kata Ma Ji-liong.

Toa-hoan berkata, "Bagaimana dia bisa tahu? Selain kalian berempat, siapa lagi yang tahu tentang hal itu? Apakah kau pernah memberitahukan hal ini pada orang lain?"

Ma Ji-liong berkata, "Aku tidak. Tapi Khu Hong-seng. "

Tiba-tiba dia teringat bahwa Siau-hoan pernah menyebut tentang Han-bwe-kok.

Siau-hoan bertanya padanya - apakah kau pergi ke Han-bwe-kok beberapa hari yang lalu? Dia pasti tahu bahwa mereka pergi ke Han-bwe-kok. Khu Hong-seng telah memberitahukan hal itu kepadanya. Dan jika Khu Hong-seng bisa memberitahu hal itu padanya, maka dia pun bisa memberitahukannya pada orang lain. Siau-hoan juga bisa buka mulut. Seperti laki-laki lainnya, dia pun tidak percaya kalau seorang perempuan bisa menyimpan rahasia. Ini adalah satu-satunya petunjuk yang dimilikinya.

Ma Ji-liong berkata, "Aku harus bertanya padanya. Ada begitu banyak hal yang baru bisa kupahami setelah bertemu dengannya."

Toa-hoan bertanya, "Apakah kau hendak pergi bertanya padanya?" "Tentu saja," kata Ma Ji-liong.
Setelah berkata begitu, dia pun bersiap-siap hendak pergi. 
Sambil menghela napas, Toa-hoan berkata, "Kau benar-benar pandai memilih waktu. Tidak ada waktu lain seperti ini. Sekarang mereka berdua mungkin sedang melakukan 'kau ingin aku mati, aku juga ingin kau mati'. Mereka tentu akan sangat berterima-kasih bila kau memaksa masuk untuk menolong mereka di saat seperti ini."

Ma Ji-liong tidak jadi pergi. Dia bisa membayangkan mimik wajah kedua orang itu jika mereka melihat dia kembali ke sana. Situasinya tentu akan serba salah, dan tidak ada orang yang akan menyambutnya dengan baik karena hal itu.

Ma Ji-liong bertanya, "Menurutmu, kapan seharusnya aku pergi ke sana?"

Mendadak sorot mata Toa-hoan memancarkan sinar yang aneh. Dia cepat-cepat merendahkan suaranya, "Sebaiknya kau pergi sekarang juga. Pergilah cepat."

Hati seorang perempuan memang seperti cuaca di bulan enam. Perubahannya benar-benar cepat. Ma Ji-liong terpaksa bertanya, "Kenapa kau ingin aku pergi sekarang?"
"Karena jika tidak, kau tak akan bisa pergi lagi untuk selamanya," Toa-hoan menjawab. Tiba-tiba dia menghela napas dan berkata, "Sekarang aku rasa sudah terlambat."
Saat itu mereka sedang berjalan di sebuah gang yang gelap. Ma Ji-liong tidak perlu bertanya 'kenapa' lagi, karena dia telah melihat beberapa orang sudah menghadang mereka di kedua ujung gang. Semuanya ada tujuh orang, tujuh orang berpakaian hitam.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar