BPEHK Bagian 07: Hiat-Yu-Bun (Perguruan Banjir Darah) TAMAT

 
Bagian 07: Hiat-Yu-Bun (Perguruan Banjir Darah) TAMAT

I

Jian-jian duduk dengan kepala tertunduk, bahunya ditarik ke belakang dengan pinggang ditegakkan. Sepasang tangannya diletakkan di atas lutut dengan dua kaki merapat serong ke samping, hanya ujung kakinya yang menempel tanah.

Duduk dengan posisi semacam ini memang harus diakui merupakan cara duduk yang indah, sangat anggun tapi juga sangat melelahkan.

Bila seseorang duduk terlalu lama dalam posisi seperti ini, tengkuknya pasti akan terasa linu, pinggangnya juga mulai sakit malahan begitu sakit seperti mau patah rasanya.

Tapi ia sudah duduk dalam posisi begini hampir satu jam lamanya, jangan lagi badannya, ujung kaki pun sama sekali tak bergeser dari posisi semula, ia berbuat begini karena dia tahu ada seseorang sedang mengawasinya dari luar jendela. Dia tahu Siau Ho-ya telah muncul di situ.

Mimik mukanya memperlihatkan perasaan tak tenang, ada sedikit rasa gelisah dan murung. Tentu saja dia berharap gadis itu mau bangkit berdiri menyambut kedatangannya, paling tidak seharusnya memandang dia sekejap, tertawa ke arahnya.

Sayang Jian-jian tidak berbuat begitu.

Setelah mengitari meja bundar di tengah ruangan dua kali, akhirnya dia menggerakkan tangannya memberi tanda.

Beberapa orang gadis yang selama ini berdiri berjajar di sisi ruangan segera memberi hormat, lalu diam-diam mengundurkan diri dari situ.

Kembali Siau Ho-ya berjalan mondar mandir beberapa kali dalam ruangan, kemudian sambil menghentikan langkahnya ia bertanya, "Aku boleh masuk?" Jian-jian mengangguk perlahan.

"Sekarang aku sudah masuk ke dalam kamar," kata Siau Ho-ya lagi.

"Silahkan duduk!" kepala Jian-jian masih tertunduk.

Siau Ho-ya duduk persis di hadapannya, sikap maupun mimik mukanya menunjukkan perasaan semakin tak tenang.

Padahal dia adalah seorang lelaki yang sangat tenang, seorang yang pandai mengendalikan diri. Tapi entah kenapa, hari ini perasaan hatinya selalu gundah, selalu merasa tak tenang.

Ia tahu, asal dia mau buka mulut berbicara maka perasaan hatinya yang gundah akan menjadi tenang kembali. Tapi entah kenapa dia justru bingung, dia tak tahu apa yang harus diucapkan.

Dia berharap Jian-jian mau bicara duluan, tapi Jian-jian justru tidak melakukan itu, gadis itu tetap bungkam dalam seribu bahasa.

Dia coba mengambil cawan air teh di meja untuk menenteramkan hatinya, tapi cawan itu diletakkan kembali ke meja. Sampai lama kemudian, akhirnya tak tahan tanyanya, "Kenapa kau suruh aku datang kemari?"

Jian-jian tidak langsung menjawab, ia terdiam beberapa saat kemudian sahutnya perlahan, "Tadi Sun hujin beritahu aku, katanya kau minta aku tetap tinggal di sini?"

Siau Ho-ya mengangguk.

"Kenapa kau suruh aku tetap tinggal di sini?" kembali Jian- jian bertanya.

"Sun toa-nio tidak beritahu kepadamu?"

"Aku ingin mendengar kau sendiri yang mengatakan kepadaku."

Tiba-tiba paras muka Siau Ho-ya berubah jadi merah jengah, sambil menutupi mulurnya ia terbatuk-batuk pelan.

Jian-jian tidak bertanya lagi, ia tahu laki-laki memang tak bedanya dengan seekor anjing, jangan kelewat didesak. Dia tahu kapan harus mengencangkan tali senarnya dan kapan harus mengendurkan tali senar tersebut. Kepalanya tertunduk semakin rendah, bisiknya, "Apakah kau... kau ingin aku menjadi gundikmu?"

“……………..”

"Kau sudah beristri?" "Belum!"

"Dankau masih tetap ingin aki i menjadi gundikmu?" “ ”

"Kenapa?"

Pada dasarnya Siau Ho-ya adalah seorang lelaki pendiam yang tak suka banyak bicara. Apalagi sekarang, pertanyaan semacam itu memang sangat sulit untuk dijawab.

Setelah menghela napas panjang kembali Jian-jian berkata, "Padahal sekalipun tidak kau jawab, aku pun sudah tahu sangat jelas, buat seorang wanita tanpa identitas jelas, tanpa diketahui asal-usul yang pasti macam aku, tentu saja tidak pantas menjadi menantu resmi keluarga Ho."

Siau Ho-ya menggenggam tangan sendiri kuat-kuat, bisiknya agak tergagap, "Tapi aku... aku "

"Aku sangat berterima kasih sekali atas maksud baikmu itu," tukas Jian-jian cepat. "Kau telah selamatkan aku, memperhatikan aku, aku tak akan melupakan budi kebaikan ini. Sekalipun tidak bisa kubalas pada penghidupan yang sekarang, pada penirisan berikut aku "

Ia sama sekali tidak menyelesaikan perkataan itu, tiba-tiba sambil bangkit berdiri ia mulai melepaskan untaian perhiasan yang menghiasi kepalanya, melepaskan gelang emas di kakinya, bahkan mutiara yang berada di ujung sepatunya juga ikut dilepas, satu demi satu, semuanya diletakkan ke atas meja.

"Kau hei, apa yang kau lakukan?" seru Siau Ho-ya

dengan perasaan terperanjat.

"Aku tak berani menerima barang-barang berharga seperti ini, juga tak boleh menerimanya sedang pakaian ini,

sementara akan kukenakan dulu, nanti selesai kucuci bersih baru dikembalikan." Tanpa menunggu lebih lama lagi ia segera pergi meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba Siau Ho-ya melompat bangun, menghadang di depan pintu sambil serunya, "Kau mau pergi dari sini?"

Jian-jian mengangguk. "Kenapa kau harus pergi secara mendadak?" kembali Siau Ho-ya bertanya.

"Kenapa aku tak boleh pergi?" Jian-jian balik bertanya.

Kemudian dengan wajah membesi, lanjutnya dengan dingin, "Biarpun aku hanya seorang perempuan yang tak jelas identitasnya dan tak pasti asal usulnya, bukan berarti aku adalah seorang wanita rendahan, lebih baik aku menikah dengan seorang kusir kereta ketimbang jadi gundik orang lain!"

Semua perkataan itu diutarakan dengan serius dan sangat tegas, dia seolah-olah telah berubah menjadi seseorang yang lain.

Siau Ho-ya mengawasinya dengan tertegun, ia benar-benar kaget dan terkesiap dibuatnya.

Mimpipun dia tak menyangka seorang wanita yang kelihatan begitu lemah-lembut, secara tiba-tiba bisa berubah menjadi begitu teguh, begitu keras dan serius.

Sambil menarik wajahnya hingga nampak makin serius, kembali Jian-jian berkata, "Sekarang, kau tentu sudah mengerti maksudku bukan, bolehkah aku pergi kini?"

"Tidak!"

"Apa yang kau inginkan?" Berkilat sepasang mata Siau Ho- ya:

"Asal kau bersedia, detik ini juga kuberi sepuluh ribu tahil emas sebagai hadiah..."

Belum selesai perkataan itu diucapkan, Jian-jian sudah mengayunkan tangannya menampar wajah lelaki itu.

Sepanjang hidup, mungkin baru pertama kali ini dia ditampar orang, namun Siau Ho-ya sama sekali tidak menghindar.

Sambil menggigit bibir dan air mata jatuh berlinang, seru Jian-jian dengan sesenggukan, "Kau anggap dengan memberi hadiah sepuluh ribu tahil emas lantas kau bisa membeli semua wanita yang kau kehendaki...? Mau beli, pergilah membeli, terserah kau mau beli seribu orang atau sepuluh ribu orang... tapi ingat, biarpun kau berikan seluruh lantakan emas yang kau miliki pun jangan harap bisa membeli aku!"

Kemudian dengan napas tersengal-sengal dia hapus air mata yang membasahi pipinya, masih dengan suara keras teriaknya, "Lepaskan aku... hei, kau akan lepaskan aku tidak...? “

"Tidak!"

Kembali Jian-jian mengayunkan tangannya hendak menampar, tapi kali ini tangannya telah ditangkap.

Sambil memegangi tangannya kuat kuat, Siau Ho-ya mengawasi wajah Jian-jian tanpa berkedip, dari pancaran sinar mata yang muncul dari balik pandangannya sama sekali tak ada perasaan gusar atau benci, sebaliknya yang muncul justru perasaan cinta dan sayang yang sangat lembut dan hangat.

"Sebenarnya, mungkin saja aku akan biarkan kau pergi," katanya lembut sambil mengawasi terus wajah gadis itu. "Tapi sekarang, aku tak akan biarkan kau pergi dari sini. Sebab baru sekarang aku sadar, kau adalah seorang wanita yang paling susah didapatkan, bila kau kubiarkan pergi maka aku bakal menyesal sepanjang hidup!"

"Kau..."

"Aku akan menjadikan kau sebagai istriku... Satu-satunya istri yang kumiliki!"

Jian-jian seperti terperanjat seperti juga kegirangan, serunya gemetar, "Tapi aku... Aku tak pantas."

"Bila kau tak pantas, tak ada perempuan lain di dunia ini yang lebih pantas lagi!"

"Tapi identitasku... Asal-usulku..."

"Aku tak perduli dengan segala identitas atau asal-usul... yang ingin kukawini adalah seorang istri, bukan silsilah keluarga!" Jian-jian kembali memandang pemuda itu, dua deret air mata sekali lagi jatuh berlinang membasahi sepasang matanya yang indah. Air mata yang bercucuran kali ini adalah air mata kegirangan, akhirnya ia berhasil mengubah garis nasib sendiri.

Konon terdapat tigaratus macam cara yang bisa digunakan seorang wanita untuk menaklukkan kaum lelaki, tapi cara yang dipergunakannya kali ini jelas merupakan cara yang paling jitu.

Karena dia mengerti kapan harus menarik kencang tali senarnya, dan tahu pula kapan waktu yang tepat untukmengendor-kan tali senar itu.

II

Lampu lentera.

Dengan langkah yang sangat lamban Ting Jan-coat masuk ke dalam bilik, menyulut lentera yang berada di atas meja kemudian baru memutar badan mengawasi mereka.

Siau Lui tidak memandang ke arahnya, dia seolah-olah sudah tak sudi lagi untuk memandang ke arahnya walau hanya sekejap pun.

Ting-ting bersembunyi di sudut pembaringan, ia sangat ketakutan, badannya gemetar keras sakit ngerinya.

Ting Jan-coat berjalan menghampiri, langkahnya sangat lambat, tegurnya sambil mentap gadis cilik itu dengan pandangan tajam:

"Kau beritahu kepadanya, obat yang kububuhkan di lukanya adalah rumput mata cangkul?"

Ting-ting mengangguk lirih, saking takutnya hampir saja ia menangis tersedu.

"Dan kau percaya?" kata Ting Jan-coat sambil menoleh ke arah Siau Lui.

Siau Lui tidak menjawab, ia menampik untuk menjawab. "Apa yang dia katakan memang benar sekali," lanjut Ting

Jan-coat perlahan. "Aku memang tak rela membiarkan kau pergi, aku memang telah bertemu dengan Liong Su dan akupun telah meracuni kuda itu sampai mati, apa yang dia katakan sama sekali tidak bohong."

Siau Lui tertawa dingin.

"Tapi soal rumput mata cangkul itu..." mendadak perempuan itu membuka pakaian sendiri hingga terlihat sepasang bahunya yang putih bersih bagaikan susu, mulut luka di bahunya yang ditusuk sendiri tempo hari tampak dibungkus juga dengan kain perban.

Dengan sekuat tenaga dia robek perban yang membungkus lukanya itu kemudian melemparkan perban tadi ke hadapan Siau Lui, teriaknya, "Coba kau lihat, obat apa yang kugunakan?"

Siau Lui tak perlu melihat, ia sudah mengendus bau obat yang harum semerbak dan terasa sangat aneh itu. Ternyata obat yang dibubuhkan di mulut luka gadis itu pun rumput mata cangkul, Siau Lui tertegun.

Tiba-tiba Ting Jan-coat menghela napas panjang, gumamnya, "Ting-ting, Ting-ting... di tempat mana aku telah salah kepadamu? Kau... kau... mengapa kau harus berbohong?"

Ting-ting menangis tersedu, tiba-tiba ia melompat ke depan dan teriaknya, "Benar, aku memang sedang berbohong, aku ingin merusak hubungan kalian, agar kau tidak mendapatkan apa-apa, karena aku benci kau... aku benci kau!"

"Kau benci aku?"

"Yaa, aku benci, benci, benci setengah mati... aku benci kau, aku ingin kau cepat mati, makin cepat makin baik..."

Tiba-tiba ia menutupi wajah sendiri sambil menangis tersedu-sedu, lalu sambil berlarian keluar dari dalam bilik teriaknya keras, "Aku tak mau tinggal di sini lagi, tiap hari harus mendongkol karena kau... sekalipun aku telah berbohong, kau juga yang mengajarkan kebohongan ini kepadaku..."

Ting Jan-coat tidakmenghalangi kepergiannya, dia hanya berdiri di situ dengan pandangan tertegun, seperti orang yang kehilangan ingatan, sementara air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajahnya.

Paras muka Siau Lui berubah makin pucat.

Dia sama sekali tak menduga kalau persoalan akan berubah jadi begini, dia pun tidak menyangka gadis cilik yang kelihatannya sangat polos dan sangat baik hati ternyata pandai berbohong.

Ting Jan-coat menghela napas panjang, gumamnya, "Aku tidak menyalahkan dia, ia sengaja berbuat begini mungkin tujuannya hanya ingin pergi meninggalkan aku, pergi meninggalkan tempat ini... dunia di luar sana sangat luas, anak gadis mana yang tak ingin ke sana untuk melihatnya?"

"Kau benar-benar tidak membencinya?" tak tahan Siau Lui bertanya.

"Dia masih seorang anak-anak!" "Tapi dia sangat membencimu!"

Ting Jan-coat menghela napas sedih, "Banyak persoalan di dunia ini sebenarnya memang begitu, belum tentu kau membenci orang yang sangat membencimu, begitu juga belum tentu kau mencintai orang yang sangat mencitaimu..."

Makin berkata nada suaranya semakin rendah dan lirih hingga akhirnya sama sekali tak kedengaran apa-apa.

"Benar!" Siau Lui mengangguk. "Banyak kejadian di dunia ini memang demikian."

Tiba-tiba ia merasa perasaan hatinya berubah jadi sangat berat, seolah-olah ada batu seberat ribuan kati yang sedang menindih di atas dadanya.

Lewat lama kemudian ia baru melanjutkan, "Tapi, bagaimana pun juga kau telah menolongku."

"Aku tidak menolongmu!" "Tidak?"

"Tidak, yang menolong kau adalah dirimu sendiri." ”Tapi aku..."

Ting Jan-coat segera menukas, katanya dingin, "Sekarang kau boleh pergi dari sini, bila tak sanggup berjalan, lebih baik pergilah dengan merangkak" Ia berlalu lebih dahulu, pergi tanpa berpaling lagi.

Cahaya lampu makin lama terasa makin redup, angin yang berhembus lewat pun makin lama terasa makin dingin, dari kejauhan sana kedengaran suara air selokan yang mengalir deras, seakan-akan suara tangisan seorang gadis yang sedang bersedih hati.

Siau Lui hanya berbaring tak bergerak, dia tak ingin berpikir apa pun, tak ingin membayangkan persoalan apapun, dia ingin berbaring tenang di situ, menunggu hadirnya fajar di esok hari...

III

Fajar telah menyingsing, cahaya matahari yang berwarna kuning keemas-emasan memancarkan sinarnya menerangi seluruh jagad dan setiap sudut kegelapan.

Di tengah hembusan angin fajar yang sepoi-sepoi, terendus bau harum semerbak yang disebarkan aneka bunga, lamat- lamat terendus juga bau harum nasi yang baru matang ditanak.

Perlahan-lahan Siau Lui bangkit berdiri dan turun dari atas pembaringan.

Luka baru maupun luka lama di sekujur tubuhnya masih terasa sakit, demikian sakitnya hingga sukar ditahan siapa pun, tapi dia tak ambil perduli.

Ia telah belajar bagaimana menikmati rasa sakit semacam itu sebagai suatu kenikmatan tersendiri, sebab hanya tubuh yang terdiri dari darah daging baru akan munculkan perasaan sakit, dan rasa sakit di badan akan memperingan rasa sakit di dalam hatinya.

Siapa yang sedang menanak nasi? Diakah? Atau Ting-ting?

Ia tak tahu dengan cara apa mereka lewatkan malam yang kelam itu, tapi yang pasti malam tadi akan menjadi malam yang paling panjang bagi mereka berdua. Dapur letaknya di bagian belakang, tidak jauh dari kamar itu.

Namun bagi Siau Lui, perjalanan ini terasa begitu jauh dan sangat menyiksa, masih untung tak ada luka di kakinya.

Dengan susah payah akhirnya berhasil juga ia mencapai pintu dapur, keringat dingin telah membasahi separuh tubuhnya.

Seseorang kelihatan berdiri membelakangi pintu, gaun panjang-nya terurai hingga ke lantai, seseorang yang memakai baju berwarna putih bersih.

Siau Lui tak menyangka, ternyata perempuan itu masih pandai juga menanak nasi.

Bila kau pernah melihat betapa garang dan sadisnya dia berdiri di tengah genangan darah, pasti tak akan menyangka kalau perempuan itu pun sanggup berdiri di dalam dapur.

Dengan bersandar di atas dinding, Siau Lui perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam ruang dapur.

Tentu saja dia pun mendengar suara langkah pemuda itu, tapi bukan saja tidak menoleh, apakah dia pun menampik untuk bicara dengannya?

Siau Lui coba menahan diri, tapi setelah lewat lama sekali akhirnya dia tak tahan juga, tegurnya, "Di mana Ting-ting?"

Dia tidak menjawab.

"Bagaimana pun juga, dia hanya seorang bocah kecil," kembali Siau Lui berkata. "Sekalipun telah melakukan kesalahan besar, tapi siapa yang menjamin bahwa setiap orang tak pernah melakukan kesalahan? Jika kau bersedia memaafkan, aku..."

"Hei, kau sedang bicara dengan siapa?" mendadak gadis itu menukas dengan nada suara yang amat dingin.

"Kau!"

Tiba-tiba perempuan itu berpaling, katanya setelah memandang Siau Lui sekejap, "Kau kenal aku? Aneh, kenapa aku tak kenal kau?" Siau Lui tertegun, walaupun perempuan ini pun memakai baju berwarna putih salju, tubuhnya juga tinggi semampai, tapi wajahnya jelek sekali, sederhana dan lagi jelek rupa.

Dengan tangan sebelah dia memegang kuali, tangan yang lain memegang sebuah sendok kayu yang sedang dipakai untuk mengaduk nasi. Dia memang mempunyai dua buah tangan saja.

Siau Lui menarik napas panjang, katanya setelah tertawa paksa, "Rasanya aku memang tak kenal dengan kau."

"Kalau memang tidak kenal, mau apa datang kemari?" "Datang mencari seseorang."

"Siapa?"

"Seorang nona, seorang nona berusia delapan-sembilan belas tahunan."

Perempuan muda berbaju putih itu segera tertawa dingin, "Aku rasa nona yang dicari seorang lelaki selalu usianya berkisar delapan-sembilan belas tahunan, jadi tak usah kau sebut pun aku sudah paham, tapi siapa namanya?"

"Agaknya dia dari marga Ting."

"Aku bukan bermarga Ting!" sahut perempuan berbaju putih itu

"Kau... mengapa kau bisa ada di sini?"

"Ini rumahku, kalau aku tidak di sini lalu harus pergi ke mana?"

"Ini rumahmu?" seru Siau Lui tercengang. "Betul!"

"Dan kau selalu tinggal di sini?"

"Sekarang aku tinggal di sini, sekarang tempat ini adalah rumahku."

"Dahulu?"

"Buat apa kau menanyakan urusan masa lalu?" potong perempuan berbaju putih itu hambar.

Siau Lui tidak bertanya lagi. Sebab dia merasa apa yang dikatakan perempuan muda berbaju putih itu memang sangat masuk di akal. Urusan dimasa lalu memang sudah berlalu, buat apa diungkit kembali? Dan buat apa ditanyakan lagi? Perempuan berbaju putih itu berpaling, sambil menyodorkan semangkuk nasi tiba-tiba tanyanya, "Kau merasa lapar?"

"Yaaa, lapar sekali."

"Kalau sudah lapar, makanlah nasi itu." 'Terima kasih."

Di atas meja sudah tersedia telur dadar, daging kukus, malah tersedia pula rebung yang di masak minyak wijen, rebung muda yang nampaknya masih segar.

Siau Lui segera ambil tempat duduk, dalam sekejap mata nasi dalam mangkuk besar itu telah disantap hingga ludas.

"Waah, kelihatannya kau memang lapar sekali," seru perempuan berbaju putih itu sambil tersenyum.

"Maka dari itu, kalau boleh aku ingin minta semangkuk lagi."

Perempuan berbaju putih itu segera menyodorkan mangkuk nasi di hadapannya ke depan pemuda itu, katanya, "Makanlah, makan yang banyak, kalau kenyang tubuhmu baru bertenaga."

Tiba-tiba perempuan itu tertawa, tertawanya sangat aneh, kembali lanjutnya, "Tentunya kau tak akan makan gratis nasiku bukan?"

Siau Lui melengak, nasi yang baru saja hendak ditelannya mendadak terasa menyumbat dalam tenggorokan.

"Kalau sudah makan nasi milik orang lain, paling tidak kau harus melakukan suatu pekerjaan bagi pemiliknya bukan, masa kau tak paham aturan ini?" kembali perempuan itu berkata.

Siau Lui mengangguk, tidak menjawab.

"Aku tahu, kau adalah seorang lelaki yang punya harga diri, manusia macam kau tentunya tak akan makan gratis lantas kabur bukan?"

Siau Lui tidak menjawab, dengan cepat dia habiskan isi mangkuknya hingga ludas, kemudian setelah meletakkan kembali sumpitnya ke meja iabaru bertanya, "Pekerjaan apa yang harus kulakukan?" "Apa saja yang bisa kau kerjakan?" perempuan berbaju putih itu balik bertanya.

"Aku bisa melakukan banyak pekerjaan."

"Apa keahlianmu yang utama?" Siau Lui mengawasi sepasang tangannya yang berada di atas meja dengan pandangan termangu, sementara kelopak matanya kelihatan semakin menyusut.

Sambil mengawasi anak muda itu, kembali perempuan berbajupurjh itu berkata, "Setiap orang pasti memiliki suatu keahlian khusus. Ada sementara orang punya keahlian main kecapi, main catur, melukis atau menulis, ada pula sementara orang yang ahli dalam pengobatan, ilmu nujum ataupun ilmu perbintangan, bahkan ada juga sementara orang yang punya keahlian membunuh orang... kau termasuk yang mana?"

Kembali Siau Lui termenung beberapa saat, kemudian baru sahutnya sepatah demi sepatah, "Keahlianku adalah menerima bacokan golok."

"Menerima bacokan golok? Menerima bacokan golok juga termasuk satu keahlian?"

"Belum genap sepuluh hari aku sudah menerima tujuh- delapan kali bacokan golok, paling tidak pengalamanku dalam masalah ini cukup banyak," jawab Siau Lui hambar.

"Apa gunanya menerima bacokan golok?" "Sangat berguna!"

"Coba kau jelaskan, apa gunanya?"

"Aku telah makan nasimu, apa salahnya jika kau membacokku satu kali, jadi hutang piutang kita segera impas."

Perempuan berbaju putih itu segera tertawa.

"Kenapa aku mesti membacokmu? Apa keuntungannya buatku?"

Setelah memutar biji matanya berulang kali, kembali ia melanjutkan, "Hmmm... bisa menerima tujuh-delapan bacokan senjata tanpa kehilangan nyawa, rasanya kemampuanmu ini terhitung juga satu keahlian."

"Siapa bilang bukan satu keahlian?" "Orang yang mampu menerima bacokan senjata, tentunya mampu juga bukan untuk membunuh orang?"

"Oh..."

"Baik," kata perempuan berbaju putih itu tiba-tiba sambil bertepuk tangan. "Bagaimana kalau kau membantuku menghabisi nyawa dua orang? Asal kau berhasil, hutang- piutang di antara kita kuanggap lunas?"

Perkataan itu sangat enteng dan wajar, seolah-olah karena orang telah berhutang sebutir telur ayam maka wajar bila orang lain harus membayar dengan dua butir telur.

"Apa kau tidak merasa nilai harga dari dua mangkuk nasimu kelewat mahal?" ujar Siau Lui sambil tertawa.

"Tidak, sama sekali tidak mahal!" "Tidak mahal?"

"Kedua mangkuk nasiku sangat istimewa, orang biasa tak akan bisa mencicipinya!"

"Apa keistimewaannya?"

"Karena dalam nasi itu sudah kucampuri dengan sesuatu benda yang sangat istimewa!"

"Apa itu?"

"Racun!"

Ia mengawasi Siau Lui tanpa berkedip, seolah-olah ingin melihat Siau Lui terjatuh dari duduknya lantaran kaget dan ketakutan.

Tapi Siau Lui tidak kaget, jangan lagi menggerakkan badannya bahkan mata pun sama sekali tak berkedip

"Kau tidak percaya?" tanya perempuan berbaju putih itu dengan kening berkerut.

"Kedua mangkuk nasi itu sudah habis kumakan. Sekarang, percaya atau tidak percaya sudah bukan masalah yang penting."

"Tidak penting? Tahukah kau orang yang telah makan racun bakal mampus?"

"Tentu saja aku tahu." "Kau pingin mati?" "Tidak." "Kalau begitu bantulah aku membunuh kedua orang itu," kata perempuan berbaju putih itu sambil menghembuskan napas lega. "Bagaimanapun kau toh tidak kenal dengan mereka berdua, apalagi cuma dua orang, tidak termasuk banyak!"

"Yaaa, memang tidak banyak." "Tunggulah sampai mereka muncul di sini, setelah itu kau boleh segera turun tangan menghabisi nyawa mereka berdua."

"Tidak, aku tak akan membunuh."

"Tidak mau? Kenapa tidak mau?" Berubah paras muka perempuan muda berbaju putih itu.

"Kalau tidak mau yaaa tidak mau, tak ada kenapa-kenapa." "Tahukah kau siapa yang ingin kubunuh?"

"justru karena tidak tahu, maka aku tak bisa membunuh mereka berdua."

"Kau ingin tahu siapa mereka berdua?" "Tidak, juga tak perlu."

"Bila kau tidak membunuh mereka, kau sendiri yang bakal mampus!"

Tiba-tiba Siau Lui tidak bicara lagi, pelan-pelan dia bangkit berdiri lalu berjalan keluar meninggalkan ruang dapur.

"Mau ke mana kau?" tegur perempuan berbaju putih itu. "Menunggu saat mati."

"Kau lebih suka mati daripada melakukannya?"

Siau Lui malas untuk menggubris, berpaling pun tidak ia pergi meninggalkan tempat itu.

Perempuan berbaju putih itu menggigit bibirnya kencang- kencang, sambil mencak-mencak kegusaran, teriaknya keras, "Kau sebetulnya manusia atau keledai?"

"Keledai!" terdengar suara Siau Lui bergema dari kejauhan.

IV

Siau Lui berbaring tanpa bergerak, ia merasa dirinya sangat menggelikan. Sewaktu kawanan tawon datang mencari balas tempo hari, banyak sekali manusia yang mati terbunuh dalam pertempuran itu. Genangan darah berceceran membasahi seluruh lantai. Waktu itu dia tidak mati.

Kemudian algojo dari Perguruan Banjir Darah Hiat-yu-bun menempelkan goloknya di atas leher sendiri, mata golok telah merobek kulit badannya, dia juga tidak mati.

Lima raja neraka dari lima istana, gerombolan Ngo-thian Giam-lo, termasuk jagoan-jagoan dunia persilatan yang berilmu sangat tinggi. Selain kejam, mereka pun sangat telengas. Tusukan pedangnya waktu itu jelas sekali telah tembus di badannya, tapi dia pun tidak mati.

Tapi kini, hanya gara-gara menghabiskan dua mangkuk nasi yang masih panas mengepul, dia harus menunggu ajal di sini, bahkan mati secara mengenaskan. Apakah kejadian semacam ini tidak sangat menggelikan?

Tentu saja jika mau dia bisa turun tangan menangkap perempuan berbaju putih itu dan memaksanya untuk menyerahkan obat penawar.

Tapi dia tidak berbuat begitu, bukan dikarekan dia takut tenaga dalam tubuhnya belum pulih sehingga tak mampu menandingi kemampuan orang... Kalau seseorang harus mati, apa lagi yang mesti ditakuti? Dia tidak berbuat begini karena dia merasa malas, merasa segan untuk melakukannya.

Kenapa perempuan berbaju putih itu dapat muncul di sana?

Siapa yang ingin dibunuhnya? Siapa pula perempuan itu?

Siau Lui tidak bertanya, dia malas bertanya. Kini, apapun yang terjadi sudah tidak menarik minatnya lagi untuk diketahui, dia tak ambil perduli.

Gejala semacam ini memang satu gejala yang sangat menakutkan. Mengapa dia berubah jadi begini? Jangankan orang lain, dia pribadi pun tidak habis mengerti.

Dia pun malas untuk memikirkan semuanya ini, perasaan menunggu datangnya ajal dirasakan sebagai sesuatu kenikmatan tersendiri, paling tidak mati akan membuat segala urusan jadi beres, tak ada yang perlu dirisaukan dan dipikirkan lagi. "Tiing... tingg... toong... tongg..."

Dari luar kamar terdengar ada suara orang sedang memukul sesuatu, entah apa yang sedang dipukul hingga menimbulkan suara nyaring. Sampai lama kemudian suara itu baru berhenti.

Menyusul kemudian dari luar kamar muncul orang, dua lelaki kekar berbaju hijau berjalan masuk ke samping pembaringannya sambil menggotong peti mati yang terbuat dari papan tipis.

Rupanya suara ketukan yang terdengar di luar kamar tadi berasal dari peti mati yang sedang dipaku.

Ia tak mengira orang-orang itu telah memikirkan secara sempurna, sehingga urusan akhir dirinya pun telah dipersiapkan lebih dulu.

Ketika memandang ke arahnya, kedua lelaki berbaju hijau itu seperti sedang melihat sesosok mayat saja, tiba-tiba mereka bungkukkan badan memberi hormat.

Orang hidup memang selalu bersikap lebih hormat terhadap orang mati. Siau Lui malas menggubris, dia hanya tiduran tanpa bergerak, keadaannya memang tak berbeda dengan sesosok mayat.

Lelaki berbaju hijau itu berjalan keluar dari kamar, sesaat kemudian ternyata mereka balik lagi ke dalam sambil menggotong sebuah peti mati lagi, peti mati yang kedua itu diletakkan persis di samping peti mati pertama.

Buat satu orang kenapa mesti disediakan dua buah peti mati?

Siau Lui masih malas untuk bertanya... mau sebuah peti mati atau dua buah peti mati bukan urusannya, buat dia mau pakai peti mati atau sama sekali tak pakai bukan masalah, dia tak perduli.

Berapa saat lewat dalam keheningan, tiba-tiba perempuan muda berbaju putih itu muncul kembali dalam ruangan, ia berdiri di ujung pembaringan sambil mengawasi anak muda itu.

Siau Lui tidak perduli, ia masih pejamkan matanya. "Peti mati sudah disediakan," kata perempuan berbaju putih itu kemudian. "Hanya saja karena disiapkan secara mendadak maka peti mati itu kurang mewah, tapi paling tidak jauh lebih mendingan ketimbang tanpa peti mati sama sekali."

Siau Lui tidak menggubris.

Kembali perempuan berbaju putih itu berkata, "Tolong tanya apakah kau masih bisa merangkak sendiri masuk ke dalam peti mati itu? Daripada setelah kau mati nanti aku harus panggil orang lagi untuk menggotong mayatmu."

Ia mengawasi Siau Lui tanpa berkedip, seolah-olah berharap anak muda itu akan mencak-mencak kegusaran lalu beradu jiwa dengannya.

Siau Lui tidak marah juga tidak menyerang, dia benar- benar bangkit berdiri dan merangkak masuk ke dalam peti mati lalu membaringkan diri secara santai, wajahnya tenang tidak menunjukkan perubahan perasaan apa pun

Tertegun perempuan muda berbaju putih itu.

Sampai lama kemudian dia baru menghela napas dan berkata lagi, "Kita belum pernah kenal sebelumnya, tak nyana hari ini mesti mati bersama, inikah yang disebut jodoh?"

Perempuan itu berjalan mendekati peti mati kedua lalu merangkak masuk dan membaringkan diri di situ.

Siau Lui benar-benar keheranan, tapi dia masih berusaha menahan diri tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Dia tak tahu permainan busuk apa lagi yang sedang direncanakan perempuan itu.

Perempuan berbaju putih itu tidak bicara, setelah membaringkan diri di dalam peti mati, iapun pejamkan kedua matanya, seolah-olah sedang menunggu datangnya ajal.

Kembali keheningan mencekam seluruh ruangan, lewat berapa saat kemudian tiba-tiba perempuan itu menghela napas, tanyanya, "Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"

Tampaknya ia tahu Siau Lui tak bakal buka suara, maka kembali lanjutnya, "Aku sedang berpikir,bila orang lain menjumpai kita berdua mati bersama, mungkinkah mereka akan salah menduga bahwa kita mati karena cinta?"

Siau Lui tak dapat menahan diri lagi, mendadak tegurnya, "Kenapa kau mesti mati bersamaku?"

"Karena kau telah mencelakai aku."

Dia sendiri yang telah mencelakai orang lain lebih dulu, sekarang malah menuduh orang lain yang mencelakainya. Siau Lui kembali tidak berbicara.

"Tahukah kau, kenapa aku mengatakan kau yang telah mencelakaiku?" tanya perempuan berbaju putih itu lagi.

"Aku tak tahu."

"Sebab jika kau bersedia membantu aku membantai kedua orang tersebut, maka aku tak usah mati."

"Jadi kedua orang itu mau membunuhmu?" tanya Siau Lui dengan kening berkerut.

Perempuan muda berbaju putih itu menghela napas panjang.

"Bukan hanya ingin membunuhku saja, besar kemungkinan mereka akan mencincangku hingga hancur berkeping-keping, sebab itu paling baik bagiku adalah mati duluan."

"Maka kau berbaring dulu ke dalam peti mati?"

"Yaaa, karena akupun sedang menunggu mati, bila mereka muncul nanti maka aku akan mati duluan."

la tertawa, suara tertawanya sangat memilukan, terusnya, "Sekalipun setelah kematianku nanti, mereka masih tetap me- nyeretku keluar dari peti mati, paling tidak aku toh bisa mati sewaktu masih berada dalam peti mati."

Walaupun dia melukiskan kejadian itu dengan kata-kata yang sederhana, tapi dalam kata yang amat singkat itu dia telah melukiskan betapa kejam dan sadisnya kedua orang musuhnya, siapapun yang telah mendengar penuturan tersebut, bisa dipastikan akan menaruh kesan jelek terhadap kedua orang itu.

Siau Lui tidak menunjukkan simpatiknya, dengan suara ketus ia menegur, "Masih banyak tempat yang bisa kau pakai untuk mati, kenapa harus datang kemari dan mati di sini?" "Sebab sesungguhnya aku masih belum kepingin mati, maka aku sengaja melarikan diri kemari."

"Kenapa?"

Perempuan muda berbaju putih itu kembali menghela napas panjang.

"Sebab sebenarnya aku mengira disini bakal bertemu orang yang bakal menolong aku!"

"Siapa?"

"Ting Jan-coat!"

"Ooh. ..” Siau Lui merasa nama tersebut seakan-akan sangat dikenalnya, tapi dia pun merasa teramat asing.

Kembali perempuan berbaju putih itu berkata, "Sewaktu tiba di sini, ternyata ia sudah pergi, maka aku mengira dia telah meninggalkan pesan kepadamu sebelum pergi."

"Kau salah," sahut Siau Lui dengan nada sedih. "Aku sendiri pun tidak tahu kalau dia benar-benar akan pergi."

Dia sengaja memperberat nadanya sewaktu menyebut kata "benar-benar," seakan-akan dia hendak mempertegas sesuatu, seolah-olah dia menganggap perempuan yang selalu membayangi dirinya itu tak bakal pergi meninggalkan dirinya.

Tapi dalam hati kecilnya dia lebih berharap Ting Jan-coat betul-betul telah pergi lantaran putus asa. Ke mana dia telah pergi? Mungkin jawabannya tetap akan menjadi misteri sepanjang masa...

Namun ada satu hal dia lebih percaya dan yakin, ke mana pun Ting Jan-coat pergi, walau sampai ke ujung langit atau dasar samudra pun, perempuan ini akan selalu berusaha merawat dan menjaganya. Sebab di dalam pandangan serta hati kecilnya, selain dirinya, di dunia ini sudah tak ada kehidupan lain.

Tiba tiba perempuan muda berbaju putih itu bangun dan duduk di dalam peti mati, tanyanya, "Sebetulnya apa hubunganmu dengan Ting Jan-coat?"

"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan orang itu." "Ooh.. .? Lantas kenapa kau bisa berada di sini?" Siau Lui masih tetap berbaring tanpa gerak, sepasang matanya dipejamkan erat-erat, keadaannya tak ubahnya sesosok mayat.

Sekalipun begitu, paling tidak dia masih punya satu kelebihan dibandingkan dengan orang mati, dia masih bernapas.. Dia hanya menghela napas panjang, malas untuk menjawab, sama sekali tak ingin menjawab.

Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan, sampai lama... lama sekali... belum juga kedengaran sesuatu gerakan... tak kedengaran suara apa pun.

Tanpa harus menggigit ujung jari sendiri pun Siau Lui tahu kalau dia masih tetap hidup, sebab ia masih dapat menangkap suara napas sendiri, orang mati tak mungkin bisa bernapas.

Suara napas itu berasal dari suara napas sendiri, sedang suasana di peti mati sebelah sangat hening, tak kedengaran suara apa pun termasuk suara napas. Mungkinkah perempuan itu sudah mati?

Siau Lui melompat bangun dengan perasaan penuh tanda tanya, dia mencoba periksa peti mati sebelah, ternyata peti mati itu kosong, tanpa penghuni...

0o0

Siau Ho-ya berjalan keluar dari Say-cu Oh-tiong. Tak jauh dari Oh-tiong tampak sebuah kereta kuda yang amat mewah parkir disitu.

Dengan langkah kaki yang berat ia berjalan mendekati kereta itu, menyingkap tirai kereta dan masuk ke dalam ruangan. Dalam ruang kereta itu duduk seorang perempuan, dia adalahp erempuan muda berbaju putih itu.

"Kau telah bertemu dengan Liong Su?" dengan nada tak sabaran perempuan berbaju putih itu bertanya.

Paras muka Siau Ho-ya nampak sangat berat dan serius, dia mengangguk pelan.

Kereta kuda segera dilarikan kencang meninggalkan tempat itu, begitu kencang larinya kuda membuat ruang kereta tersebut bergoncang sangat keras. Di tengah keheningan, perempuan berbaaju putih itu melirik Siau-hou-ya sekejap, tiba tiba katanya:

"Aku turun di sini saja!" Siau Ho-ya tidak mencegah.

Baru saja perempuan berbaju putih itu hendak menyingkap tirai untuk melompat turun dari kereta, tiba-tiba tangannya dicengkeram seseorang, cengkeraman itu sangat kuat dan kencang.

"Ohh...!" perempuan berbaju putih itu berseru tertahan. "Beritahuaku!" ujar SiauHo-ya dengan nada marah.

"Kenapa kau tak tega turun tangan terhadap orang she Lui itu?"

Perempuan berbaju putih itu tertawa.

"Jika kau betul-betul mencintai nona Jian-jian, seharusnya kau biarkan orang dari marga Lui itu tetap hidup. Kalau tidak kau bakal kehilangan perempuan itu!"

"Aku tidak percaya!" tukas Siau Ho-ya.

"Kau tak perlu percaya kepadaku, tapi harus percaya dengan ucapan Kim Cwan!"

"Hmm! Apalagi orang itu, aku lebih tak percaya!" jawab Siau Ho-ya dengan nada menghina.

Dia memang punya alasan untuk tidak percaya Kim-cwan, orang yang gagal mencicipi buah anggur selalu akan mengatakan kalau anggur itu kecut.

Konon, menurut Kim-cwan, Jian-jian hanya cinta satu orang sepanjang hidupnya, orang itu adalah Siau Lui, tapi kemudian Siau Lui juga yang telah meninggalkan dirinya.

Oleh sebab itu Jian-jian ingin balas dendam, ia tak segan membiarkan dirinya jatuh ke dalam pulukan Siau Ho-ya, tujuannya tak lain hanya ingin balas dendam terhadap Siau Lui, membalas kekejaman hatinya, ketidaksetiaannya. Tapi kalau bicara soal cinta, dia tetap mencintai Siau Lui.

Siau Ho-ya adalah seorang lelaki yang amat percaya diri, dia tak percaya dengan mengandalkan asal-usul keluarganya, wajah tampan yang dimilikinya serta kepandaian silat yang dikuasainya, ia tak berhasil menyingkirkan bayangan Siau Lui dari dalam benak Jian-jian.

Tapi ada satu hal dia percaya sekali, yaitu apa yang dikatakan perempuan berbaju putih itu setelah dia bertemu Siau Lui. Orang itu sama sekali tak pandang penting nyawa sendiri.

Masalah inikah yang membuat Jian-jian sangat merisaukan Siau Lui? Siau Ho-ya tidak percaya, maka ia sengaja datang sendiri berjumpa dengan Liong Su.

Mungkin, sesungguhnya dia tak perlu berbuat begitu. Tapi untuk membuktikan kebenaran kata-kata Kim-cwan, dia datang juga untuk bertemu LiongSu.

Sekarang dia mengerti, ia benar-benar paham, seorang lelaki yang bisa membuat Liong Su begitu kagum, begitu menaruh hormat, memang sangat pantas untuk dicintai perempuan macam Jian-jian. Mencintainya dengan sepenuh hati.

Perempuan muda berbaju putih itu belum pernah dicintai lelaki, dia pun belum pernah mencintai lelaki. Yang bisa dia lakukan hanya membunuh orang, baik lelaki atau perempuan, semuanya dibunuh tanpa pandang bulu, maka orang menyebutnya Leng-hiat Kwan-Im (Kwan-Im berdarah dingin).

Atas perintah dari Siau Ho-ya dan atas keterangan yang berhasil dihimpunnya dari penuturan Liong Su, dia mengambil kesimpulan. Kemungkinan besar orang yang telah berhasil melarikan Siau Lui adalah Ting Jan-coat.

Ternyata dugaannya tidak meleset. Ketika ia datang mencari mereka, Ting Jan-coat maupun Ting-ting telah pergi meninggalkan tempat itu, tinggal Siau Lui seorang diri sedang berbaring di atas pembaringan.

Waktu itu Siau Lui sedang tertidur nyenyak, satu kesempatan yang sangat berharga baginya untuk turun tangan menghabisi nyawanya. Tapi ia tidak berbuat demikian.

Selama hidup, Leng-hiat Kwan-Im tak pernah ragu atau sangsi dalam menjalankan aksinya, dia tak kenal arti kata "tak tega." Tapi kenyataan bicara lain, dia telah membuang peluang yang sangat baik itu dengan begitu saja.

Persoalan inilah yang membuat Siau Ho-ya risau bercampur marah. Manusia semacam Leng-hiat Kwan-Im saja tak tega membunuh Siau Lui, hal ini membuktikan posisi Siau Lui dalam perasaan Jian-jian memang sangat istimewa.

Siau Ho-ya belum pernah merasakan risau atau gundah pikirannya. Tapi sekarang dia mulai risau, mulai gundah pikirannya.

Jian-jian sudah tidak menundukkan kepalanya. Paras mukanya mulai bersinar, senyum manis bagai datangnya musim semi selalu tersungging menghiasi bibirnya.

Kini, bukan saja dia akan mengubah nasib sendiri, juga berusaha menguasahi nasib orang lain, tak dipungkiri semuanya ini akan menjadi satu kenyataan.

Siau Ho-ya sudah berada dalam cengkeramannya.

0o0

Malam semakin kelam, keheningan mencekam seluruh distrik Thiat-say-cu Oh-tong.

Di ruang tengah piaukiok, Liong Su dan Ouyang Ci sedang duduk berhadapan sambil minum arak. Paras muka mereka berdua kelihatan sangat serius, arak yang sedang diteguknya sekarang entah dipakai untuk membangkitkan keberanian atau justru untuk menghilangkan semua kemurungan hati.

Beberapa orang pengawal bertubuh kekar berdiri berjajar di sisi ruangan, semuanya menggembol senjata. Barisan pertempuran telah dipersiapkan, semuanya ini menambah tegang dan seriusnya keadaan di situ.

Cho Piau, congkoan dari perusahaan ekspedisi itu berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah terburu-buru, setelah memberi hormat katanya, "Cong-piautau, semua perintahmu telah dilaksanakan!"

"Masih tersisa berapa orang di sini?" tanya Liong Su sambil menundukkan kepalanya.

"Kecuali berapa puluh orang sanak-keluarga, yang lain rela tetap tinggal di sini." "Sudah kau terangkan situasi yang sedang kita hadapi?" "Sudah, dan mereka ikhlas mati-hidup bersama Cong-

piautau!" sahut Cho Piau penuh semangat. "Bagus!"

Tiba-tiba dia bangkit diri, setelah menyapu sekejap wajah semua yang hadir dalam ruang tengah, katanya sambil menghela napas panjang, "Hei...! Walaupun aku tahu, saudara sekalian tetap di sini karena dasar niat baik, tapi aku... aku tak tega menyusahkan kalian semua..."

"Brakkk!" tiba tiba Ouyang Ci menggebrak meja dengan penuh emosi. "Hiat-yu-bun telah muncul di depan pintu rumah kita, paling-paling kita beradu nyawa dengan mereka! Malam ini kita harus membuat satu penyelesaian yang tuntas!"

Liong Su mengerutkan dahi, setelah termenung sejenak katanya lagi, "Malam ini Hiat-yu-bun datang menyerang secara tiba-tiba, aku rasa Oui Hui Thiat Cing dan Gong Kong, tiga piautau kita tak sempat balik kemari, dengan andalkan kita berdua untuk mengatasi situasi pada malam ini, aku rasa..."

Dia memang sudah tua, semua kegagahan dan keberaniannya di masa lampau telah mulai surut.

Ouyang Ci sangat memahami maksudnya, ia berbicara begitu bukan untuk menutupi kelemahan sendiri, tapi dia tak tega membiarkan anak buahnya yang begitu setia mengalami nasib yang sangat tragis.

Semua orang dalam sungai telaga cukup paham dengan sepak terjang Hiat-yu-bun, Perguruan Banjir Darah itu. Tahu betapa kejam dan telengasnya perbuatan mereka.

Ouyang Ci tidak bicara lagi, ia angkat cawannya dan meneguk habis isinya.

Keheningan yang luar biasa kembali mencekam seluruh gedung... tiba-tiba terdengar beberapa kali jeritan ngeri yang menyayat hati berkumandang dari luar halaman.

"Mereka datang!" seru Liong Su dengan wajah berubah.

Seorang pengawal buru-buru berlari mendekat sambil menyodorkan sebuah tombak sepanjang satu koma empat kaki. Baru saja ia menerima tombak tersebut, Ouyang Ci sambil menggetarkan cambuk hitamnya telah meluncur keluar dari ruangan.

"Ouyang..." Liong Su berteriak cemas. Tapi dia tidak mencegahnya lebih lanjut.

Dengan satu gerakan yang sangat cepat Ouyang Ci melompat ke dalam halaman. Di situ dua puluhan orang pengawal telah terlibat dalam satu pertempuran sengit, beberapa orang di antaranya telah terkapar bermandikan darah. Tampaknya mereka sudah keteteran dan tak sanggup membendung serbuan dua orang musuhnya

Kedua orang penyerang itu bukan lain adalah si Payung dan si Golok dari Neraka, Giam-lo San dan Giam-loTo.

Mereka sedang menyerbu ke arah ruang tengah dengan garangnya.

Ouyang Ci segera menghadang, ruyung hitamnya digetarkan kuat kuat mengancam wajah Giam-lo To.

Bagaikan seekor ular berbisa, ruyung hitam itu langsung menyambar ke depan dan berubah menusuk tubuh lawan. Giam-lo To buru-buru mengayunkan senjatanya menangkis, ketika kedua buah senjata itu saling membentur, segera terdengarlah suara benturan yang amat nyaring.

Menggunakan peluang tersebut, Giam-lo San merangsek ke depan, senjata payung bajanya dihantamkan ke atas kepala Ouyang Ci.

Liong Su membentak keras, tombaknya digetarkan keras langsung menangkis datangnya hantaman payung itu.

Di tengah suara bentakan, Liong Su melancarkan berapa kali tusukan maut dengan tombaknya, serangan yang dilancarkan secara bertubi-tubi ini memaksa Giam-lo San harus berkelit ke samping, otomatis ancamannya terhadap Ouyang Ci pun segera terpatahkan.

"Liong Su!" teriak Giam-lo San sambil tertawa seram. "Malam ini kalian pasti mampus!"

Liong Su sangat paham, mustahil pihak lawan hanya mengirim dua orang jago untuk menumpas mereka. Kehadiran orang ini jelas hanya sebagai pembukaan. Jago-jago Hiat-yu- bun yang lebih tangguh pasti sudah bersembunyi di tempat kegelapan dan menunggu peluang untuk melancarkan serangan mematikan.

Musuh yang bersembunyi di kegelapan selalu lebih menakutkan ketimbang musuh yang telah tampil keluar, karena bokongan adalah serangan yang sangat menakutkan.

Liong Su tidak takut menghadapi kedua orang itu, tapi dia tak bisa menduga jagoan tangguh macam apa saja yang masih bersembunyi dan belum tampil itu.

Tombaknya diputar semakin ketat, kali ini dia tusuk dada Giam-loSansambilmenghardik, "Hmrnm, kalau cuma kalian berdua mah masih ketinggalan jauh! Berapa banyak jago yang kalian bawa kali ini, suruh mereka tampil semuanya!"

"Bunuh ayam tak perlu memakai golok penjagal kerbau, rasakan dulu kehebatanku ini!" teriak Giam-lo San geram.

Biarpun payung baja itu kelihatan berat sekali, namun dalam genggamannya kelihatan begitu enteng bagaikan payung yang terbuat dari kertas biasa. Biarpun digunakan untuk menusuk atau membabat, semua gerakan dilakukan enteng sekali.

Pertempuran sengit segera berkobar...

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seram bergema di seluruh angkasa. Tidak diketahui berasal darimana suara itu, tapi tertawanya begitu menyeramkan, membuat bulu kuduk semua orang pada berdiri.

Bersamaan dengan selesainya suara tertawa itu, terdengar seseorang dengan suara yang sangat parau dan berat berseru, "Aku dengar, Ngo-thian Giam-lo lima raja neraka dari lima istana sangat tersohor di dalam dunia persilatan! Heran, kenapa makin lama kelihatan semakin tak becus..."

"Sangat tepat perkataanmu itu," sambung suara lain yang keras, nyaring dan penuh tenaga. "Tempo hari sudah ada tiga orang yang pecundang, dua yang tersisa memang semakin tak becus!" Untung malam itu suasana sangat gelap sehingga wajah Giam lo San dan Giam-lo To yang berubah jadi merah padam bagaikan kepiting rebus tidak kelihatan jelas.

Seperti terangsang oleh ucapsn tersebut, serangan yang dilancsrksn kedua orang itu makin gencar dan ketat. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya mereka meneter Liong Su dan Ouy Ci habis-habisan.

Begitu sengit jalannya pertempuran itu membuat kawanan piausu yang lain tak berpeluang untuk melibatkan diri dalam pertempuran, mereka hanya bersorak-sorai di pinggir kalangan sambil memberi semangat.

"Jangan cuma nonton keramaian," kembali suara yang parau itu berkata. "Lebih baik kita selesaikan panggung pertarungan ini secepatnya!"

"Baik, kau duluan? Atau aku duluan?" kata suara yang nyaring kuat itu.

'Tua muda ada urutannya, tentu saja kau harus duluan," seru suara parau itu sambil tertawa keras.

"Baik!"

Bersamaan dengan seruan itu, tampak sesosok bayangan hitam meluncur turun dari atas atap rumah, cepat bagaikan sambaran seekor rajawali yang terjun dari angkasa.

Belum lagi mencapai permukaan tanah, kembali bayangan hitam itu mengebaskan kedua ujung bajunya ke depan, selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata segera berhamburan di angkasa.

"Mata uang pencabut nyawa..." teriak Liong Su dengan perasaan amat kaget.

Sayang peringatannya kalah cepat dengan sambaran cahaya tajam itu, jeritan ngeri yang memilukan hati bergema silih berganti. Dalam waktu sekejap sudah puluhan orang piausu yang termakan senjata rahasia itu dan roboh terkapar di tanah.

Siapapun tidak mengira Hiat-yu-bun ternyata berhasil mengundang dua tokoh senjata rahasia untuk mendukung aksinya. Lam-chee Pak-sah (mata uang dari selatan pasir dari utara) adalah dua jagoan yang sangat tangguh kepandaian- nya.

Nama besar Toh-mia Kim-chee (mata uang pencabut nyawa) Lamkiong Liong memang bukan nama kosong, ilmu hujan bunga menyelimuti angkasa yang baru saja digunakan sungguh mengerikan. Begitu mata uang emasnya disambit keluar, dalam sekejap mata puluhan orang jago telah kehilangan nyawa.

Liong Su teramat gusar, darah dalam tubuhnya serasa mendidih, dengan satu tusukan keras dia paksa Giam-lo San untuk minggir ke samping, kemudian dengan langkah lebar dia mendekati Lamkiong Liong, bentaknya, "Membokong or- ang dengan senjata rahasia bukan termasuk kepandaian hebat, lihat tombakku!"

Dengan kekuatan yang maha dahsyat bagai sambaran halilintar dia tusuk dada musuhnya.

Lamkiong Liong tidak melayani tusukan itu, dengan cekatan dia berkelit kesamping kemudian melejit ke atas atap rumah.

"Liong Su!" ejeknya sambil tertawa. "Pengetahuanmu benar-benar sangat cupat, aku tidak pernah menggunakan amgi, yang kupakai adalah..."

Liong Su benar-benar amat gusar, ia tidak memberi kesempatan kepada musuhnya untuk menyelesaikan perkataan itu Dengan satu lompatan, ia mengejar ke atas atap rumah sambil melancarkan sebuah serangan maut.

Baru saja telapak kakinya menempel di atas wuwungan rumah, mendadak terasa ada segulung sambaran angin tajam mengancam tiba dari samping, di tengah hembusan angin yang sangat tajam itu terselip segumpal pasir besi yang mengerikan.

Si mata uang dari selatan Lam-chee dan si pasir dari utara Pak-sah benar-benar merupakan jagoan yang sangat tangguh. Kerja sama mereka luar biasa bahkan saling menutupi kelemahan lawan.

Orang yang baru saja melancarkan serangan maut itu tak lain adalah Tok-sah-jiu (si tangan pasir beracun) Gui Ki. Dengan perasaan terkesiap buru-buru Liong Su melompat mundur ke belakang berusaha menghindarkan diri, sayang ke- adaan sudah terlambat, tiba-tiba wajahnya terasa amat sakit hingga merasuk ke tulang sumsum, belum sadar apa yang terjadi, tubuhnya sudah roboh terjungkal ke bawah.

"Su-ya..." jerit Ouyang Ci dengan perasaan terkesiap. Mengetahui saudara angkatnya terluka parah, buru-buru

Ouyang Ci bergeser ke samping dan berusaha memberi pertolongan. Sayang tindakannya ini membuat perhatiannya terpecah, menggunakan kesempatan yang sangat baik ini Giam-lo To mengayunkan senjata cepat-cepat, dengan satu tebasan kilat dia bacok lengan kanannya yang memegang ruyung itu hingga terkurung menjadi dua bagian.

Ouyang Ci seperti tidak merasa kesakitan, bahkan ia tidak sadar kalau lengannya telah terbabat kutung. Menunggu sampai ia tiba di samping Liong Su dan berniat membopong tubuhnya, ia baru terkesiap karena bukan saja tangannya tak bisa digunakan lagi, bahkan badannya jadi sempoyongan.

Tak ampun kedua orang itu bertumbukan satu dengan lainnya lalu jatuh berguling di atas tanali.

Lam-chee Pak-sah segera memanfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya, bagaikan sampiran kilat cepatnya mereka berdua menyerbu ke tengah gerobolan manusia, tanpa memberi ampun lagi mereka tebarkan mata uang pencabut nyawa serta pasir beracunnya ke tengah kawanan piausu itu.

Jeritan ngeri yang memilukan hati bergema silih berganti, satu per satu kawanan piauwsu itu roboh bergelimpangan ke atas tanah.

Giam-lo To tidak tidak diam, ia langsung menyerbu ke tengah gedung, sementara Giam-lo San mendekati liong Su dan Ouyang Ci, dengan gerakan cepat dia ayunkan payungnya menghantam batok kepala kedua orang itu.

Di saat yang kritis itulah, mendadak tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari luar tembok pekarangan dan langsung mendekati arena pertempuran. Gerakan orang itu sudah bukan nekad lagi, lebih tepat kalau dibilang sudah tak menggubris keselamatan jiwa sendiri. Tanpa ambil perduli ancaman maut yang datang dari payung maut tersebut, ia menerkam Giam-lo San dengan satu terjangan keras.

Giam-lo San jadi gelagapan, dia tak mengira musuhnya begitu nekad. Dalam kaget danbingungnya ia tak sanggup menghindarkan diri, badannya segera tertumbuk secara telak

Benturan itu betul-betul sangat keras, kedua orang itu segera terpental dan mundur sempoyongan. Begitu mendadaknya kejadian ini, Giam-lo San sampai tak sempat melihat jelas wajah lawannya, meski begitu, ia bisa menebak siapa gerangan orang itu.

Seumur hidup, Giam-lo San hanya pernah satu kali bertemu dengan orang senekad ini, orang itu tak lain adalah Siau Lui.

Dugaannya memang tak meleset, orang itu adalah Siau Lui. Ketika berhasil menerjang tubuh Giam-lo San hingga terpental mundur, kembali ia menyelinap maju dua langkah, lalu dengan kecepatan bagai kilat ia cengkeram pergelangan tangan lawan.

Dengan perasaan ngeri bercampur seram buru-buru Giam- lo San melompat mundur melepaskan diri dari ancaman, teriaknya keras, "Dia adalah Liong Ngo!"

Buru-buru Lamkiong Liong dan Gui Ki membalikkan tubuhnya hingga bersama Giam-lo San berbentuk posisi segitiga dan mengepung Siau Lui di tengah arena.

Tahu kalau kedua orang rekannya sudah mulai bertindak, keberanian Giam-lo San tumbuh kembali. Ia tarik napas panjang lalu sambil tertawa seram teriaknya, "Liong Ngo, tepat sekali kedatanganmu kali ini! Kami jadi tak perlu repot- repot pergi mencarimu!"

Sementara itu Siau Lui sudah mengetahui kondisi Liong Su serta Ouyang Ci yang terluka parah dan roboh terkapar di tanah, hatinya terasa amat sakit bagaikan diiris-iris. Apa mau dikata ia tak punya kesempatan lagi untuk menolong mereka. Kini, musuh tangguh berada didepan mata. Kecuali beradu jiwa, dia sudah tak punya pilihan lain.

Untung saja selembar jiwa yang dimilikinya sekarang sudah bukan menjadi miliknya lagi, bisa mati demi membela Liong Su rasanya jauh lebih bernilai ketimbang harus mati gara-gara salah makan dua mangkuk nasi dari si perempuan berbaju putih itu.

Nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga, jika seseorang sudah tak takut mati, maka tak ada kejadian apapun yang lebih menakutkan lagi di dunia ini.

Siau Lui tertawa hambar, sahutnya, "Betul, mungkin kedatanganku sedikit agak terlambat, tapi bagaimana pun juga aku telah datang!"

Giam-lo San tidak melancarkan serangan, iamengerdipkanmatanya ke arah Lamkiong Liong dan Gui Ki memberi tanda, kemudian sambil melompat mundur serunya, "Kuserahkan bocah tengik itu kepada kalian berdua!"

Gui Ki tertawa terkekeh-kekeh, katanya dengan suara parau, "Saudara Lamkiong, kelihatannya kali ini aku harus turun tangan duluan."

"Baik!" sahut Lamkiong Liong tertawa

Gui Ki menggerakkan bahunya siap melancarkan serangan. Tapi belum sempat serangan dilepaskan tiba-tiba ia menjerit kesakitan, sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan, ia berguling guling dilantai sambil berteriak ngeri, "Aduh mataku.... Mataku..."

Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan siapapun. Lamkiong Liong maupun Giam-lo San terkesiap, untuk sesaat mereka hanya bisa saling berpandangan dengan perasaan bingung.

Belum lagi perasaanhati mereka jadi tenang, tiba-tiba dari atas dinding pekarangan kembali muncul sesosok bayangan manuisia. Di tengah kegelapan malam yang mencekam seluruh jagat tampak orang itu berbaju putih salju dia tak lain adalah Perempuan muda berbaju putih, si Kwan Im berdarah dmgm Leng-hiat Kwan Im "Apakah Leng-hiat Kwan Im yang datang?" tegur Lamkiong Liong dengan nada terkejut.

"Tajam juga penglihatanmu'" sahut Leng-hiat Kwan-im dengan suara menyeramkan. "Jadi kau tidak menganggapku sebagai Ting Jan coat bukan?"

Dalam sungai telaga terdapat dua orang wanita yang paling sulit dihadapi, mereka adalah si Leng hiat Kwan-im serta Ting jan-coat, dan kebetulan mereka berdua sama-sama gemar mengenakan pakaian berwarna putih.

Ketika untuk pertama kalinya Siau Lui melihat bayangan punggung Leng-hiat Kwan-im, ia sempat mengiranya sebagai Tingjan-coat.

Tampaknya Lamkiong Liong agak segan bercampur takut terhadap Leng-hiat Kwan-Im, tapi ia menegur juga, "Di antara kita berdua tak pernah air sumur mengganggu air sungai, kenapa kau turun tangan begitu keji terhadap Gui Ki?"

"Tapi kalian telah mengganggunya!" jawab Leng-hiat Kwan- Im sambil menuding ke arah Siau Lui.

"Apa hubungannya dengan kau?"

"Hrnmm, besar sekali hubungan kami!" dengus Leng-hiat Kwan-Im.

Siau Lui tak ingin menerima kebaikan hatinya, bahkan tak berani menerima kebaikan perempuan semacam ini. Ting Jan- coat yang pernah dijumpai sudah cukup membuatnya pusing kepala, dia tak ingin berjumpa lagi dengan Ting Jan-coat kedua.

Tak tahan Siau Lui menghela napas panjang, katanya, "Kenapa sih kau terus menerus membuntutiku...?"

Dalam pada itu Giam-lo San sudah tak bisa menahan diri lagi, menggunakan kesempatan di saat Leng-hiat Kwan-Im sedang berbicara dan bercabang perhatiannya, mendadak ia menerjang ke muka sambil melancarkan sebuah serangan maut dengan senjatanya.

Leng-hiat Kwan-Im sama sekali tidak bergerak, dia cuma me-nyentilkan jari tangannya ke depan, dua titik cahaya tajam segera meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa. Senjata payung baja milik Giam-lo San ini memang khusus dibuat untuk mematahkan pelbagai serangan senjata rahasia. Sayang musuh yang dihadapinya malam ini adalah seorang jagoan yang sangat tangguh macam Leng-hiat Kwan-Im, senjata andalannya jadi sama sekali tak berfaedah.

Seandainya dia tidak terburu napsu ingin memetik keuntungan dari keteledoran lawannya, mungkin nasib tragis tak akan menimpa dirinya. Belum sempat ia melihat jelas datangnya cahaya berkilauan itu, tahu-tahu serangan telah tiba di depan mata, mau berkelitpun sudah tak sempat lagi.

Terdengar ia menjerit kesakitan, tak berbeda dengan keadaan Gui Ki, dia roboh berguling juga di atas tanah sambil meraung-raung seperti orang gila.

Giam-lo To sangat terperanjat melihat kejadian itu, bentaknya penuh kegusaran, "Saudara Lamkiong, apa kau cuma datang untuk menonton keramaian?"

Di tengah bentakan nyaring, goloknya langsung diayunkan ke tubuh Leng-hiat Kwan-Im.

Belum sempat Leng-hiat Kwan-Im melakukan sesuatu tindakan, Siau Lui sudah turun tangan duluan, ia sambut datangnya bacokan golok itu dengan terjangan kalap.

Biarpun cahaya golok berkilauan memenuhi angkasa, Siau Lui sama sekali tak dibuat jeri, ia malah menyeruduk makin nekad.

Sekalipun ia sudah tak memikirkan keselatan sendiri, bukan berarti anak muda itu rela badannya dicincang semaunya oleh pihak lawan. Dia berkelit ke samping meloloskan diri dari ancaman itu kemudian sambil memutar tubuh, sepasang tanganya direntangkan dan langsung memeluk tubuh Giam-lo To erat-erat.

Apa yang dilakukannya sekarang sama-sekali tidak mirip pertarungan antar jagoan tangguh, caranya bergulat tak berbeda jauh dengan pertarungan dua orang kasar yang tak punya kemampuan apa-apa.

Rangkulan Siau Lui makin lama semakin mengencang, jepitan kedua lengannya tak berbeda dengan jepitan besi, begitu kuat dan kencangnya dia memeluk sehingga nyaris membuat Giam-lo To tak dapat bernapas.

Lamkiong Liong masih berdiri terpaku dengan pandangan bodoh, diam-diam ia melirik terus ke arah Leng-hiat Kwan-Im, agaknya kehadiran perempuan berbaju putih itu membuatnya segan dan takut untuk berbuat seenak sendiri.

Siau Lui semakin mengencang kan pelukannya, kini paras muka Giam-lo To telah berubah merah padam, otot wajahnya sudah pula menonjol keluar, bagaimana pun ia coba untuk meronta, usahanya selalu tidak membuahkan hasil.

Pada saat itulah tiba-tiba dan atas dinding pekarangan muncul lagi belasan sosok bayangan manusia. Leng-hiat Kwan-im segera berpaling tapi kemudian wajahnya nampak sangat terkejut.

Siapapun tak akan menyangka dan percaya kalau seorang wanita ganas macam Leng-hiat Kwan im berdarah dingin bisa memperlihatkan rasa kaget dan terkesiap yang luar biasa seperti saat ini.

Walaupun malam itu suasana amat gelap, namun dengan ketajaman matanya, dalam sekilas pandang saja ia sudah mengenal bahwa kawanan manusia berbaju tengkorak ini tak lain adalah para pengawal dari Hiat-yu-bun.

Dandanan kawanan jago itu memang sangat aneh, selain mengenakan pakaian ketat berwarna hitam yang ditempeli lukisan tengkorak putih. Wajah mereka rata-rata mengenakan juga topeng tengkorak manusia sehingga kalau dilihat dalam kegelapan, kemunculan mereka tak ubahnya seperti kemunculan kawanan tengkorak dari dalam liang kubur, membuat siapa pun yang melihat jadi bergidik dan bulu kuduknya pada bangun berdiri.

Tak ada yang menyangka kalau ketua dari Hiat-yu-bun, Suto Ling bakal tampil sendiri pada malam ini.

Menggunakan kesempatan di saat perempuan itu terkesiap, Lamkiong Liong segera mengebut-kan sepasang tangannya ke depan. Duabelas batang mata uang pencabut nyawa dengan memancarkan cahaya keemas-emasan langsung menyebar ke depan.

Leng-hiat Kwan-im terkesiap. Menunggu ia sadar datangnya ancaman dan berusaha menghindar ke samping, keadaan sudah terlambat.

Di saat yang amat kritis itulah... tiba-tiba Siau Lui melemparkan tubuh Giam-lo To yang berada dalam cengkeramannya ke arah datangnya sambitan senjata rahasia itu. Rupanya dia telah menggunakan tubuh lawannya sebagai perisai untuk menahan datangnya ancaman.

Duabelas batang mata uang emas serentak menghajar sekujur tubuh Giam-lo To.

Waktu itu Giam-lo To sudah berada dalam keadaan pingsan lantaran kesakitan dicengkeram Siau Lui, maka meskipun sekujur badannya sudah dihajar duabelas buah mata uang emas, ia sama sekali tidak memperlihatkan rasa kesakitan, bahkan tak sempat menjerit ngeri lagi tubuhnya roboh terkapar di tanah dan menemui ajarnya. Satu cara kematian yang sangat enak baginya.

Leng-hiat Kwan-im teramat gusar, walaupun rasa kaget belum lenyap dari perasaan hatinya, dengan sorot mata yang menggidikkan hati ia tatap wajah Lamkiong Liong lekat-lekat, tegurnya dengan suara menyeramkan, "Kau mengerti aturan tidak?"

Lamkiong Liong terkesiap, ia merasa hawa dingin yang menggidikkan hati muncul dari atas kepalanya dan menjalar hingga ke ujung kaki.

Sambil tertawa getir ia segera bersiap-sedia adu nyawa. Ia tahu perempuan berbaju putih itu telah dibuat gusar oleh bokongannya, serangan yang bakal dilancarkan sudah pasti sangat mematikan.

Pada saat itulah, dari atas dinding pekarangan kembali terdengar seseorang berteriak keras, "Apakah orang dari marga Lui itu sudah mampus?"

"Aku masih segar bugar!" jawab Siau Lui sambil mendengus. "Lamkiong Liong!" terdengar orang di atas dinding pekarangan itu berseru lagi, "Ketua ada perintah, lepaskan orang she Lui itu!"

Pucuk dicinta ulam tiba, memang itulah yang diharapkan Lamkiong Liong dalam kondisi seperti ini, cepat-cepat ia soja ke hadapan Leng-hiat Kwan-im, lalu serunya, "Maaf kalau aku tak akan melayani lagi!"

Begitu selesai berkata, tubuhnya segera melejit ke udara dan kabur meninggalkan tempat itu.

"Hmm, tak segampang itu!" hardik Leng-hiat Kwan-Im.

Di tengah bentakan keras, dia ayunkan tangannya berulang-kali melepaskan beberapa batang jarum beracun ke tubuh lawan.

Lamkiong Liong terperanjat, merasa gelagat tidak menguntungkan, buru-buru ia berusaha berkelit ke samping.

Sayang usahanya tidak membuahkan hasil, belum lagi badannya menghindar dari ancaman tersebut, tahu-tahu berapa batang jarum beracun itu sudah menghajar di atas tubuhnya.

Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, tubuhnya langsung roboh terjungkal ke tanah dan jatuh di luar pagar pekarangan.

Leng-hiat Kwan-Im tahu, belasan orang berpakaian tengkorak itu pasti akan mengeroyok nya, cepat-cepat ia memperkuat kuda-kudanya dan bersiap sedia.

Di luar dugaan, kawanan tengkorak itu sama sekali tidak melakukan tindakan apapun, malahan mereka segera membalikkan badan dan ngeloyor pergi dari arena pertarungan.

Diluar gedung ThiatSay-cu Oh tong, di balik kegelapan malam yang mencekam, tampak dua orang manusia berdiri saling berhadapan Kedua orang itu berdiri dengan santai, tidak memperlihatkan sesuatu gerakan pun.

Belasan orang berdandan tengkorak itu langsung berlari menghampiri kedua orang itu, salah seorang di antara rombongan tadi segera memberi hormat sambil berkata, "Lapor ketua, orang dari marga Lui itu masih hidup!"

Ternyata salah seorang diantara dua orang dalam kegelapan itu adalah Suto Ling, ketua dari Perguruan Hiat-yu- bun.

"Bagus!" terdengar Suto Ling tertawa. "Berarti jual-beli ini bisa dilanjutkan!"

"Baik," kata orang yang lain dalam kegelapan itu. "Dalam tiga hari, aku akan mengutus orang untuk mempersembahkan penggaris mestika Giok-ji-gi ke tanganmu."

"Baik, transaksi dilanjut!"

Tanpa memperdulikan nasib anak-buahnya lagi orang itu segera membawa serta para pengawalnya berlalu meninggalkan tempat itu. Dalam kegelapan, kini tinggal satu orang yang masih berdiri menanti.

Tak lama kemudian Leng-hiat Kwan-Im muncul dari balik gedung, orang itu segera menyambutnya dan bertanya dengan tak sabar, "Orang she Lui itu benar-benar belum mati?"

"Dia tak bakal mati," jawab Leng-hiat Kwan-im. "Tapi... hingga kini aku masih tak habis mengerti, dengan cara apa kau berhasil membujuk SutoLing...?"

"Kami telah melakukan satu transaksi jual-beli," jawab orang itu santai.

"Transaksi apa?"

"Dengan Penggaris mestika Giok-ji-gi milik keluarga kami, ditukar dengan selembar nyawa orang she Lui itu."

"Oh? Apa kau tidak menganggap nilai transaksi ini kelewat mahal? Ehrnm... Rasanya dia sendiri pun tak akan mengira kalau nilai dari selembar nyawanya ternyata begitu mahal!"

"Tapi tidak mahal bagiku!" tukas orang itu cepat.

Dari balik kegelapan malam muncul sebuah kereta mewah, dua orang itu segera naik ke dalam kereta dan pergi meninggalkan tempat itu.

Malam semakin kelam...suasana pun makin hening dan sepi... Malam semakin hening... dua-tiga puluh sosok mayat manusia roboh bergelimpangan memenuhi seluruh lantai gedung perusahaan ekspedisi itu. Yang hidup tinggal tak seberapa.

Kondisi Liong Su sudah amat parah, ia dalam keadaan sekarat, napasnya sangat lirih dan tinggal satu-dua....

Ouyang Ci telah kehilangan sebelah lengannya, meski begitu ia masih terhitung sangat beruntung karena nyawanya tidak ikut lenyap. Kini ia sudah memaksakan diri untuk duduk di lantai.

Dengan air mata bercucuran Siau Lui berjongkok di samping Liong Su, bisiknya lirih, "Aku datang terlambat aku

datang terlambat "

Napas Liong Su sudah sangat lemah, tapi senyum kepuasan menghiasi wajahnya, katanya perlahan, "Bagaimana pun juga, kau telah datang kemari. Kehadiranmu sudah membuat

hatiku sangat puas!"

"Aku seharusnya datang sehari lebih awal," bisik Siau Lui penuh rasa menyesal. "Seandainya aku datang sehari lebih awal... Atau bahkan satu jam lebih awal. "

"Saudaraku," tukas Liong Su sambil tertawa getir, "asal kau punya ingatan untuk datang mencariku, sekalipun kau baru muncul setelah kematianku, kau tetap telah datang...

bukankah kita adalah dua bersaudara yang sejati?"

"Benar, benar " Siau Lui mengangguk, "kau adalah Liong

Su, aku adalah Liong Ngo. "

Liong Su tertawa tergelak.

"Betul! Kita adalah dua bersaudara sejati, hahahaha "

Gelak tertawanya makin lama semakin melemah dan akhirnya berhenti, berhenti untuk selamanya.

Liong Su telah meninggal, ia mati dengan perasaan hati yang sangat tenteram, sekulum senyuman masih sempat tersungging di ujung bibirnya.

Siau Lui tak sanggup menahan diri lagi, ia peluk jenasah Liong Su dan teriaknya penuh kesedihan, "Kakak " Ouyang Ci tidak malu menjadi seorang lelaki berhati baja, tak setetes air mata pun yang membasahi matanya, dengan suara yang sangat tenang katanya, "Saudara Lui, Suya tak salah bersahabat dengan kau, sekarang ia sudah memiliki saudara sejati macam dirimu, biar harus mati pun dia akan mati dengan mata terpejam."

"Mereka adalah orang-orang Hiat-yu-bun?" tiba tiba Siau Lui bertanya.

Ouyang Ci tidak menjawab, dia hanya mengangguk. "Baik!" seru Siau Lui penuh emosi, "aku pasti akan mencari

mereka untuk membuat perhitungan!"

"Jangan!" sela Ouyang Ci gelisah. "Kau tak perlu mencari mereka. Suya sudah banyak hari menunggu kedatanganmu, dia berharap kau bisa datang segera karena dia ingin memberitahukan berita tentang seseorang..."

"Siapa? Berita tentang Jian jian?" potong Siau Lui tak sabaran.

Ouyang Ci menggeleng.

"Orang itu pernah datang kemari dan berusaha mencari berita tentang kau, selain itu ada pula seorang wanita yang melakukan hal yang sama, wanita itu tak lain adalah perempuan berbaju putih itu."

"Dia?"

"Bukan dia yang diharapkan Suya untuk kau jumpai?" "Lalu siapakah orang itu?"

"Siau Ho-ya!"

"Oh? Kenapa dia suruh aku bertemu dengan orang ini?" Siau Lui bertanya keheranan, dia tak habis mengerti.

Kembali Ouyang Ci menggeleng. Dia cuma teringat sewaktu Siau Ho-ya datang mengunjungi Liong Su, sebelum pergi meninggalkan tempat ini, dia sempat berpesan, "Jika orang she Lui itu datang kemari, jangan lupa sampaikan kepadanya, suruh dia datang menemui aku!"

Kenapa Siau Ho-ya pingin bertemu dengan Siau Lui?

Jangankan orang lain, bahkan Liong Su sendiripun tidak tahu, apalagi Ouyang Ci... Tapi ada satu hal yang mereka ketahui dengan jelas, Siau Ho-ya adalah orang yang pantas menjadi sahabat, tapi teramat sulit untuk menjadi sahabatnya.

Dalam dunia ini, yang paling mahal dan paling berharga bukanlah cinta kasih, melainkan persahabatan... persahabatan yang tulus dan sejati.

Teman sejati tidak banyak jumlahnya, asal bisa mendapat satu-dua orang saja, biar harus matipun akan mati dengan mata terpejam. Oleh sebab itu Liong Su merasa sangat puas karena dia dapat bersahabat dengan Siau Lui.

Sekarang, dia berharap Siau Lui dapa tberjumpa dengan Siau Ho-ya. Mungkin dia anggap mereka pun bisa menjalin hubungan persahabatan yang tulus dan sejati.

Dengan perasaan yang amat sedih dan duka Siau Lui membantu Ouyang Ci membereskan semua persoalan yang ada di perusahaan ekspedisi itu,sejak itu mereka berdua menjadi sahabat yang sangat akrab.

Tiba-tiba Ouyang Ci teringat akan satu persoalan, mengapa pada malam itu Suto Ling menarik kembali pasukannya di saat yang paling kritis dan melepaskan Siau Lui?

Siau Lui sendiri tak tahu jawabannya.

Selama dua hari terakhir, kondisi perasaan mereka berdua sangat buruk, mereka masih diliputi perasaan duka yang sangat mendalam, karenanya pemuda itu tak ingin terburu- buru menjumpai Siau Ho-ya.

Dalam kondisi seperti inilah tiba-tiba Siau Ho-ya mengutus orang mengirim surat undangan, dia mengundang Siau Lui untuk berkunjung ke rumahnya.

Untuk berapa saat Siau Lui merasa sangat bimbang dan tak dapat mengambil keputusan, dia coba meminta pendapat Ouyang Ci.

"Aku akan menemanimu kesana!" jawab Ouyang Ci segera. Siau Lui takbisa menampik lagi. Walaupun dia segan untuk berkenalan dengan Siau Ho-ya, tapi Liong Su sangat berharap

ia dapat menjumpai orang tersebut, karena itu mau tak mau dia harus pergi juga. Ketika mereka berdua muncul di depan gedung raja muda, Siau Ho-ya yang mendapat laporan segera muncul sendiri untuk menyambut kedatangan mereka.

Kesan pertama yang timbul dalam benak Siau Lui tentang Siau Ho-ya adalah orang ini tidak sombong, tidak jumawa dan tidak sok berkuasa.

Dalam bayangannya semula, Siau Ho-ya tentu seorang lelaki yang congkak dan amat jumawa, dia pasti seorang mata keranjang yang suka main perempuan. Ternyata apa yang diduganya salah besar.

Siau Ho-ya memperlakukan dia bagaikan tamu agung, malahan khusus menyiapkan pesta yang sangat mewah untuk menyambut kedatangan mereka.

Setelah tiga putaran arak, tiba tiba Siau Ho-ya berkata, "Besok adalah hari pernikahan siaute, apakah kalian berdua sudi memberi muka untuk ikut hadir?"

Siau Lui saling bertukar pandangan dengan Ouyang Ci, lalu jawabnya, "Malam ini juga aku harus pergi dari sini."

"Tidak bisa menginap dulu barang satu-dua hari?" Kembali Siau Lui menggeleng.

Buru-buru Ouyang Ci menimpali, "Dia terburu-buru karena harus mencari seseorang..."

"Masa tak bisa ditunda satu-dua hari saja?" tanya Siau Ho- ya sambil tertawa.

Kembali Siau Lui menggeleng.

Ouyang Ci menyambung, "Jika sudah tahu jejaknya, biar ditunda satu-dua jam pun dia tak mau."

"Kini, kalian toh belum lalui kabar beritanya, apa salahnya jika ditunda satu-dua hari saja? Sam lara Lui, jika kau tak keberatan, tolong beri muka kepadaku, pergilah setelah menikmati arak kegeringan siaute esok."

Didesak secara berulang kali Siau Lui merasa sungkan untuk menolak lagi, maka dia pun menyanggupi secara terpaksa Siau Ho-ya tidak menunjukkan perubahan wajah apa pun, sementara dihati kecilnya ia tertawa, inilah keputusan paling penting yang telah ia lakukan

Walaupun dia sadar, tindakan yang diambilnya saat ini merupakan keputusan yang bodoh, bah kan bisa-bisa pura- pura jadi sungguhan tapi dia memerlukan percobaan semacam ini, satu percobaan yang maha penting baginya.

Dia adalah seorang lelaki yang kelewat percaya diri, dia perlu membuktikan satu hal, membukti kan kalau Jian-jian akan menjadi miliknya untuk selamanya

0o0

Sejak pagi hari suasana sibuk telah mencekam setiap anggota gedung raja muda itu, hiasan-hiasan mulai bermunculan disana sini dari jarak berapa li suasana kegembiraan pun menyelimuti wajah setiap orang.

Jian-jian masih menundukkan kepalanya. Dia tak bisa menjawab perasaan hatinya saat ini sedang gembira atau risau, tapi yang pasti banyak permasalahan yang menindih pikirannya. Akhirnya dia telah mengambil keputusan untuk merubah nasib hidupnya, apa yang diinginkan dan diharapkan dalam waktu singkat akan menjadi kenyataan.

Hari ini, dia akan menjadi istrinya Siau Ho-ya, tapi perasaan bimbang masih menyelimuti pikirannya. Apa yang dikatakan Kim-cwan sangat tepat, dalam hidupnya kini hanya satu orang yang benar-benar dicintai, orang itu adalah Siau Lui.

Siau Ho-ya mengawasi gadis itu lama sekali, kemudian baru panggilnya, 'Jian-jian!"

Jian-jian terkejut, dia angkat kepalanya dan tersenyum, tanyanya, "Sejak kapan kau masuk kemari?"

"Jian-jian!" tanya Siau Ho-ya sambil menepuk bahunya perlahan, "apa yang sedang kau pikirkan? Apakah sedang membayangkan orang she Lui itu?"

Agak berubah paras muka Jian-jian. Tapi segera jawabnya, "Aku toh sudah beritahu kepadamu, sudah lama aku melupakan orang ini!"

"Sungguh?" "Kalau aku belum mengambil keputusan tersebut, tak mungkin kuceritakan semua kisahku kepadamu."

"Aku percaya kepadamu," kata SiauHo-ya tertawa, "aku hanya ingin tahu, seandainya suatu hari kau bertemu lagi dengannya, apa yang akan kau lakukan?"

"Selama hidup aku tak ingin berjumpa lagi dengannya," tegas Jian-jian penuh rasa dendam.

"Bagaimana kalu seandainya benar-benar bertatap muka?" Siau Ho-ya mendesak lebih jauh.

"Aku akan menganggapnya sebagai orang asing, orang yang tidak kukenal!" jawaban Jian-jian sangat tegas, sama sekali tidak ragu.

Siau Ho-ya tersenyum puas, senyum puas yang benar- benar timbul dari lubuk harinya.

"Mengapa secara tiba-tiba kau ajukan pertanyaan ini kepadaku?" tiba-tiba Jian-jian bertanya.

"Mungkin aku hanya ingin tahu saja..."

Jian-jian tersenyum, kembali ia tundukkan kepalanya.

Setengah tahun berselang, Tuan Ho mendapat perintah dari kaisar untuk berangkat ke kota raja memangku jabatan tinggi, kini Siau Ho-ya adalah tuan rumah ditempat ini.

Tanpa menunggu kehadiran kedua orang tuanya, Siau Ho- ya sudah buru-buru melangsungkan pernikahannya, tentu saja dia berbuat begini karena ada kesulitan yang tak mungkin dijelaskan kepada orang. Masih untung dia adalah anak tunggal sehingga apapun yang dia lakukan, dikemudian hari masih cukup waktu baginya untuk memberi penjelasan.

Hari ini, dia tidak mengundang sanak-keluarga serta kerabat dekatnya, yang diundang hampir semuanya adalah jagoan dari dunia persilatan dan tokoh-tokoh sungai telaga.

Baru hari ini surat undangan disebar, tapi kawanan jago itu sudah berdatangan secara berduyun-duyun

Siau Ho-ya memang punya hobi berkenalan dengan orang- orang persilatan, persis seperti kesenangan orang lain dalam bermain judi, minum arak atau bahkan bermain perempuan. Siau Lui tak pernah mau ingkar janji, karena ia sudah menyanggupi Siau Ho-ya untuk menghadiri pernikahanya, maka dia ikut muncul di situ.

Ouyang Ci tidak ikut hadir, sedikit banyak dia termasuk seorang piauwsu kenamaan, tentu saja dia tak ingin kehilangan muka di depan para jagoan dari sungai telaga, dia tak ingin orang lain tahu kalau sekarang dia telah menjadi seorang panglima perang berlengan satu.

Tamu undangan datang secara berduyun-duyun, banyak sekali yang telah hadir di gedung itu, suasana tampak sangat ramai dan meriah.

Siau Lui tidak kenal dengan mereka, dia pun enggan berkenalan dengan orang-orang persilatan, seorang diri ia duduk di sudut ruangan sambil minum arak. Dia berencana selesai minum dia akan segera pergi dari situ.

Waktu itu Siau Ho-ya sedang sibuk melayani tamu- tamunya, tampaknya dia belum tahu kalau Siau Lui telah hadir di dalam gedung.

Di tengah suasana yang hiruk pikuk dan ramai itulah, tiba- tiba muncul seorang dayang menghampiri Siau Lui, kemudian katanya, "Tuan, Siau Ho-ya mengundang anda ke halaman belakang, dia berharap bisa bertemu empat mata dengan tuan."

Siau Lui tidak banyak bicara, dia mengangguk dan segera membuntuti dayang itu menuju ke halaman belakang.

Dayang itu mengantar Siau Lui sampai di muka pintu sebuah bangunan, lalu katanya:

"Lui kongcu, harap tunggu sebentar, Siau Ho-ya segera akan datang."

Siau Lui meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruangan, ternyata dia berada di dalam kamar pengantin, di atas pembaringan duduk seorang wanita yang berdandan sebagai pengantin, ia duduk dengan kepala tertunduk.

Siau Lui tertegun, cepat-cepat dia berusaha keluar dari kamar itu. Saat itulah tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya, ia masih mengenakan cadar pengantinnya.

Walau hanya samar-samar tapi Siau Lui segera merasa bahwa wajah itu sangat dikenalnya, wajah itu adalah wajah Jian-jian... perempuan yang mimpi pun tak pernah dilupakan olehnya.

Tentu saja Jian-jian pun mengenalnya, mengenali orang yang sedang berdiri termangu di hadapannya adalah Siau Lui. Mereka berdua sama-sama tertegun, melongo.

'Jian-jian.. ."dengan emosi yang meluap dan tak tertahan Siau Lui berteriak keras.

"Kau..." Jian-jian tidak melanjutkan perkataannya, kembali ia tertunduk, sementara air mata jatuh bercucuran.

Mendadak terdengar suara batuk ringan menyadarkan mereka berdua dari lamunan, serentak mereka berpaling ke arah pintu ruangan, ternyata yang muncul adalah Siau Ho-ya.

"Apakah orang ini yang sedang kau cari?" tegur Siau Ho-ya tanpa menunjukkan perubahan wajah apapun.

Siau Lui tidak berkata, dia tak tahu apa yang harus dikatakan, sementara Jian-jian menundukkan kepalanya makin rendah.

Terdengar Siau Ho-ya berkata lagi, "Sekarang kau telah berjumpa dengannya, apa yang hendak kau ucapkan kepadanya?"

Siau Lui menggeleng. Ia masih terbungkam, tak tahu apa yang harus dikatakan.

Ketika ia membalikkan badan hendak pergi dari situ, tiba- tiba terdengar Jian-jian berteriak, "Siau Ho-ya, kenapa kau membawanya kemari untuk bertemu denganku?"

"Aku harus membuktikan satu hal, setelah berjumpa dengannya apakah kau akan berubah pikiran?"

"Perasaanku terhadapnya sudah mati!" tukas Jian-jian tegas.

"Dan dia?" Siau Ho-ya menatap gadis itu tajam-tajam.

"Di dalam hatinya sama sekali tak ada aku," sahut Jian-jian penuh rasa dendam. Siau Lui menggigit bibirnya kuat-kuat, rasa sakit tidak dirasakan pada bibirnya tapi sakit di dalam hatinya. Ia masih membungkam dalam seribu bahasa, tetap berdiri dengan mulut terkunci.

"Sekarang kau boleh pergi," tiba tiba Siau Ho-ya berkata.

Siau Lui mengangguk, tanpa bicara ia membalikkan badan dan berjalan keluar meninggalkan pintu kamar.

Tiba-tiba Jian-jian bangkit diri, tak tahan serunya, "Lui... aku ingin bertanya satu hal kepadamu."

Siau Lui berhenti, tapi ia tidak berpaling.

"Mengapa kau datang mencariku?" tanya Jian-jian lagi sambil memburu ke belakang tubuhnya.

Kali ini Siau Lui tidak berdiam diri, sahutnya, "Aku hanya ingin beritahu satu hal kepadamu. Jika kau tidak pergi malam itu, kau akan mengalami nasib yang sama seperti anggota keluargaku, mati dibantai orang!"

"Apa kau bilang?" seru Jian-jian terperanjat.

"Kau hanya mengajukan satu pertanyaan kepadaku, dan kini sudah kujawab. Persoalan yang lain buat apa ditanyakan lagi..."

Baru saja dia hendak berlalu dari situ, tiba-tiba Siau Ho-ya berkata, "Jadi kau tergesa-gesa ingin menemukan dia, lantaran kau ingin memberitahukan perkara ini kepadanya?"

Siau Lui mengangguk.

"Aaah, belum tentu begitu" kembali Siau Ho-ya berkata, "seandainya dia bukan akan menikah denganku pada malam ini, apa yang kau perbuat setelah menemukan dia?"

"Aku tetap akan memberitahukan persoalan itu kepadanya, perkataan yang tak beda dengan ucapanku sekarang."

"Oh? Kau bilang seluruh anggota keluargamu telah dibantai habis, kenapa kau masih hidup?"

"Mungkin aku masih hidup karena ingin menemukan dia, dan memberitahukan persoalan itu kepadanya."

Tiba-tiba Siau Ho-ya mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Semua ini harus salahkan dirimu sendiri, salahkan dirimu kenapa salah memilih teman. Seandainya aku kenal denganmu lebih dulu ketimbang perkenalanmu dengan Kim-cwan, mungkin sampai sekarang kita masih merupakan sahabat karib!"

"Aku cuma punya seorang sahabat.. tapi dia sudah mati. Di kemudian hari aku tak akan bersahabat dengan siapa pun, maka kau tak usah kuatir aku bakal salah memilih sahabat lagi"

"Liong Su adalah sahabatmu?"

Siau Lui mengangguk, matanya berkaca-kaca.

Siau Ho-ya tertawa, kembali ujarnya, "Selain dia, apakah orang yang pernah menyelamatkan jiwamu juga tak kau anggap sebagai sahabat?"

"Nyawaku sama sekali tak ada nilainya, lagipula sejak dulu sudah bukan menjadi milikku."

"Sama sekali takberharga? Tahu begini aku tak perlu bersedih hati dengan mengorbankan barang pusaka milik keluargaku, keenakan Suto Ling..."

"Apa kau bilang?" tiba tiba Siau Lui berpaling dan bertanya dengan perasaan tercengang.

"Baik, aku akan bicara sejujurnya. Malam itu, ketika Hiat- yu-bun mencari Liong Su untuk membuat perhitungan, akulah yang telah menukar selembar nyawamu dari tangan Suto Ling dengan senjata penggaris Giok-ji-gi milik keluarga kami."

"Heran..." gumam Siau Lui sambil tertawa getir, "aku sendiri sudah tidak terlalu ingin hidup terus, kenapa justru banyak orang yang tidak membiarkan aku mati?"

"Kalau begitu pergilah mampus!" teriak Jian-jian gusar.

Siau Lui tidak berkata, dia membalikkan badan dan berjalan keluar dari situ.

Sewaktu bertemu Jian-jian tadi, sebenarnya dia ingin menjelaskan kalau pada malam itu dia memang sengaja mengusirnya agar gadis itu lolos dari pembantaian. Tapi sekarang dia merasa sudah tak penting lagi untuk berbuat begini. Baru saja beranda samping dilewati, mendadak Siau Ho-ya telah menyusul keluar dengan langkah cepat, maka dia pun menghentikan langkahnya.

"Apakah kau hendak pergi begitu saja?" tanya Siau Ho-ya sambil menahan bahunya.

"Ehmm!"

"Tahu kalau nyawamu sama sekali tak ada harganya, aku pun merasa tak perlu memakai senjata penggaris Giok-ji-gi untuk ditukar denganmu..."

"Memang sama sekali tak perlu..." Siau Lui tertawa paksa. Siau Ho-ya mendengus dingin.

"Hmm, untung saja Giok-ji-gi belum dihantar. Tapi aku juga tak ingin ingkar janji, maka aku terpaksa menggunakan nyawamu untuk dikembalikan kepadanya."

"Soal ini tak perlu kau risaukan, aku bisa menghantar diriku sendiri."

Siau Ho-ya tertawa dingin, mendadak dari balik sakunya dia cabut keluar sebilah pisau belati, kemudian dengan garang ditusukkan ke pinggang Siau Lui.

Cepat-cepat Siau Lui mengegos ke samping, mata pisau yang tajam segera menyambar lewat dari sisi pinggangnya, kulit bercampur pakaiannya segera robek memanjang dan mengucurkan darah segar.

"Kau..." teriak pemuda itu sambil menahan pergelangan tangan lawan.

Karena tangannya dicengkeram lawan, Siau Ho-ya tak mampu melancarkan tusukan ke dua, secepat kilat dia menggerakkan jari tangan kirinya dan langsung mengancam tiga buah jalan darah penting di dada lawan. Serangannya cepat lagipula telengas, sama sekali tak berbelas kasihan.

Dengan gerakan yang enteng Siau Lui berkelit ke samping kemudian melepaskan diri dari jangkauan lawannya dan langsung lari menuju ke tengah halaman.

Siau Ho-ya tak ingin melepaskan lawannya begitu saja, dia turut melompat dan mengejar masuk ke tengah halaman sambil bentaknya, "Hei orang she Lui, aku dengar kau tidak takut mati. Kenapa kau melarian diri sekarang?"

"Karena aku tak ingin mati ditanganmu, aku pun tak ingin membunuhmu!"

"Oh ya?" Siau Ho-ya tertawa tergelak sambil mendesak maju dua langkah. "Kau tak ingin membunuhku?"

"Sudah banyak kesalahan yang telah kulakukan, aku tak ingin melakukan kesalahan sekali lagi."

"Oh ya? Kau maksudkan terhadap Jian-jian?" Siau Lui tidak menjawab.

Dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, kembali Siau Ho-ya berseru, "Kalau begitu, aku perlu beritahu kepadamu, aku tak bisa membiarkan kau hidup karena aku berbuat demikian juga lantaran dia!"

"Sungguh?" perasaan ragu bercampur heran menyelinap dalam hati Siau Lui.

"Malam ini, aku memang sengaja mengatur pertemuan bagi kalian berdua, aku berbuat begini karena ingin membuktikan sesuatu, dan sekarang aku tahu, selama kau masih hidup maka hatinya tak bakal menjadi milikku!"

"Jika aku mati?" tanya Siau Lui setelah termenung sejenak. "Saat itulah dia akan benar benar menjadi milikku!"

"Dan kau?"

"Aku pun akan mencintainya dengan segenap jiwa ragaku!" "Baik!" seru Siau Lui tanpa ragu lagi. "Kau boleh segera

turun tangan!"

Tiba-tiba Siau Ho-ya merangsek maju ke depan, secepat sambaran kilat ia lancarkan sebuah tusukan ke tubuh lawan.

Dalam perkiraannya, pihak lawan pasti akan berkelit dari serangan tersebut, maka dia sengaja melancarkan serangan tipuan dengan menusuk dada lawan

Siau Lui sama sekali tak berkelit, bergerakpun tidak, dia biarkan pisau itu menembus dada kirinya, mata pisau hingga tinggal gagangnya menembus ke dalam dadanya...

Secepat kilat Siau Ho-ya mencabut keluar pisaunya, darah segar segera menyembur keluar bagaikan pancuran, membasahi bajunya... menggenangi seluruh lantai... Tapi Siau Lui tetap tak bergeming, ia berdiri kaku di tempat.

Waktu itu Siau Ho-ya sudah mempersiapkan serangan kedua, tapi sikap lawannya segera membuat dia melengak, tertegun dan keheran-heranan.

"Kau benar-benar tak takut mati?" serunya.

"Bisa hidup hingga hari ini sudah merupakan satu mukjijat bagiku!" jawab Siau Lui hambar.

Siau Ho-ya telah melancarkan serangan kedua, ujung pisaunya sedang menusuk ke atas ulu hati Siau Lui...

Saat itulah, tiba-tiba terdengar seseorang menjerit keras, "Jangan kau bunuh dia..."

Siau Ho-ya segera menghentikan serangan, ujung pisau masih menempel di atas ulu hati pemuda itu.

Dengan air mata bercucuran Jian-jian berlarian mendekat, sambil berlari kembali teriaknya, "Siau Ho-ya, tolong lepaskan dia..."

"Kau tak ingin dia mati?" tegur Siau Ho-ya tanpa menunjukkan perubahan perasaan apa pun.

"Semua masalahku telah kubeberkan kepadamu... tapi aku... aku masih merahasiakan satu hal..." kembali Jian-jian berseru.

"Rahasia apa?"

Jian-jian menunduk, setelah ragu sesaat dia baru angkat wajahnya, agaknya gadis ini telah mengambil satu keputusan.

Setelah menarik napas panjang, katanya, "Aku... Aku telah hamil..."

"Miliknya?" tanya Siau Ho-ya sambil mengerling ke arah Siau Lui.

Jian-jian mengangguk, lagi-lagi dia menundukkan kepalanya.

Siau Ho-ya merasa sekujur badannya bergetar keras, tapi mimik mukanya tidak menunjukkan perubahan apa pun.

Setelah tertawa hambar katanya, "Seharusnya kau ceritakan rahasia ini sejak dulu, kenapa baru sekarang kau mengungkapnya?" "Aku... aku takut kau menolakku..."

"Lantas kenapa kau beberkan rahasia itu kepadaku sekarang?" desak Siau Ho-ya.

Jian-jian hanya tertunduk tanpa menjawab.

"Jadi sekarang kau sudah tak ambil perduli?" teriak Siau Ho-ya penuh emosi.

Tiba-tiba Jian-jian menutupi wajahnya dan mulai menangis tersedu-sedu.

Lama... lama sekali... Akhirnya Siau Ho-ya dapat mengendalikan diri, dia manggut-manggut sambil bergumam, "Yaaa, mengerti aku sekarang... aku seharusnya percaya dengan apa yang dikatakan Kim Cwan..."

Menurut Kim Cwan, sepanjang hidupnya Jian-jian hanya mencintai satu orang dan orang itu adalah Siau Lui, tapi kemudian ia ditinggal Siau Lui

Oleh sebab itu Jian-jian ingin balas dendam, dia tak segan membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan Siau Ho-ya, tujuannya tak lain adalah untuk membalas sakit hati atas kekejaman dan ketidaksetiaan Siau Lui.

Sekalipun begitu, dia masih mencintai Siau Lui, hanya Siau Lui yang menjadi idaman hatinya.

Dulu, Siau Ho-ya tak akan percaya. Tapi sekarang, akhirnya dia percaya juga.

Setelah menarik napas panjang mendadak katanya,” Bawalah Jian-jian dan pergilah dari sini!"

"Aku sudah tak punya hak untuk berbuat begitu..." sahut Siau Lui sambil memandang Jian-jian sekejap.

"Tapi aku berhak untuk bertanya kepadamu sampai jelas," sambung Jian-jian sambil mendongakkan kepalanya," sebenarnya kenapa kau bersikap begitu jahat kepadaku?"

"Aku percaya dia pasti mempunyai sebuah alasan yang sangat baik," sambung Siau Ho-ya, "dan aku merasa tak berkepentingan untuk mengetahuinya. Lebih baik biar dia memberi penjelasan kepadamu di kemudian hari."

Jian-jian dan Siau Lui saling berpandangan, mereka sama- sama membungkam. Terdengar Siau Ho-ya berkata lagi, "Sekarang kalian boleh pergi, paling baik kalau pergi lewat pintu belakang!"

Siau Lui tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia cuma memandang Jian-jian sekejap kemudian secara tiba-tiba membalikkan badan dan berjalan menuju pintu belakang

Jian-jian kelihatan sedikit agak ragu, dipandangnya Siau Ho-yaa sekejap dengan perasaan bimbang,

Siau Ho-ya tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tertawa.

Akhirnya Jian-jian mengintai di belakang Siau Lui, berjalan menuju ke pintu belakang.

Lama sekali Siau Ho-ya berdiri termangu di situ, mengawasi bayangan tubuh kedua orang itu hingga lenyap di balik pintu belakang.

Mendadak dari belakang tubuhnya kedengaran suara seorang wanita menegur, "Sekarang, tentunya kau sudah percaya bukan?"

"Yaaa, aku percaya!" Siau Ho-ya tidak berpaling, dia menjawab dengan sangat tenang.

"Kau membiarkan dia pergi dari sini, bagaimana dengan pesta perkawinanmu malam ini..."

"Pesta perkawinan tetap dilangsungkan!" "Tapi pengantin wanitanya..."

"Kau!" tukas Siau Ho-ya sambil membalikkan badan.

Perempuan yang berdiri di belakang tubuhnya adalah si perempuan berbaju putih itu, Leng-hiat Kwan-Im

"Aku?" dengan perasaan girang bercampur kaget perempuan itu berseru.

"Yaaa, betul!" Siau Ho-ya mengangguk. "Sudah kuputuskan kau yang akan kukawini, toh orang lain tak ada yang tahu siapa pengantin wanitanya. Atau kau tidak setuju?"

"Tapi aku... aku..." Leng-hiat Kwan-im gelagapan. Siau Ho-ya tertawa terbahak-bahak.

"Hahahaha... kau malu karena wajahmu jelek? Hahahaha... Istri yang pantas mendampingiku kalau bukan seorang wanita cantik yang amat sempurna, dia harus seorang wanita yang amat jelek wajahnya!" Merah jengah wajah Leng-hiat Kwan-im, sepanjang hidupnya ia tak pernah merasa sejengah saat ini, sekalipun di kala dia membunuh orang.

Sekarang wajahnya benar-benar memerah, tapi sekulum senyuman telah menghiasi ujung bibirnya.

Betapapun jeleknya wajah yang dia miliki, paling tidak ia nampak begitu cantik dan menawan hati di dalam pandangan Siau Ho-ya saat ini.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar