Bagian 03 : Wanita Cantik Bagai Pualam
I
Jian-jian menundukkan kepala-nya, mendengarkan detak jantung dalam tubuh sendiri.
Detak jantung Kim Cwan juga berdebar, bahkan detakannya jauh lebih cepat dari detak jantung gadis itu.
Ia tahu mengapa saat ini detak jantungnya berdebar begitu cepat, diapun tahu apa yang sedang dipikirkan di dalam hatinya.
Tempat ini adalah sebuah losmen kecil yang sepi dan terpencil letaknya, walau sangat kecil namun semua perabotnya indah, lagipula amat bersih.
Memandang keluar lewat jendela, kita dapat menyaksikan kehijauan dari pegunungan nun jauh di sana, juga terendus bau harum bunga yang terbawa hembusan angin.
Apalagi dalam suasana senja seperti saat ini, pegunungan nan biru berdiri di balik cahaya senja yang merah membara, langit nan biru yang muai meredup menyongsong datangnya kegelapan malam. Kau dapat duduk di tepi jendela, menanti kehadiran malam, menunggu munculnya bintang yang bertaburan di angkasa. Dalam suasana seperti ini, kau akan menyadari betapa indahnya dunia ini.
Seorang lelaki perjaka membawa masuk seorang gadis ke dalam tempat semacam ini, apa gerangan rencana yang tersembunyi di dalam pikirannya?
"Tempat ini sangat tenang dan sepi, kau dapat beristirahat baik-baik di sini."
"Aku akan tetap tinggal di sini, agar setiap saat dapat merawat dan memperhatikan dirimu."
Perkataan yang diucapkan Kim Cwan selalu begitu lembut, hangat dan penuh perhatian.
Jian-jian masih tertunduk, tapi ia menangkap semua perkataan itu, sinar keharuan dan penuh rasa terima kasih memancar dari balik sorot matanya. Namun di hati kecilnya dia merasa sangat geli.
Kini, ia sudah bukan termasuk seorang bocah.
Mungkin dia jauh lebih mengerti dan paham tentang apa yang sedang dipikirkan seorang pria terhadapnya, dibandingkan perempuan-perempuan lain.
Kegelapan malam yang kelam telah menyelimuti seluruh angkasa, api lentera juga telah disulut untuk menerangi ruangan.
Kim Cwan membaca buku di bawah sinar lentera, ia nampak sedang asyik menikrnati bukunya itu.
Tapi berani taruhan ia pasti tak tahu apa yang tertulis di buku itu, malah mungkin tak sepatah tulisan pun yang terbaca olehnya.
Dia memang sengaja berlagak serius macam begitu, tujuannya tak lain sebagai alasan agar ia bisa tetap tinggal di kamar itu. Selama dia masih dapat tinggal di sisi perempuan itu, cepat atau lambat kesempatan emas pasti akan datang juga.
Jian-jian tidak berminat membongkar kedok rahasianya, dia pun tak punya maksud untuk mengusirnya pergi dari situ.
Sebab dia masih sangat membutuhkan dirinya kini, dia masih ingin memperalatnya, menggunakan dia untuk balas dendam terhadap Siau Lui, memperalatnya sebagai perkakas untuk melanjutkan hidupnya.
"Hei... siapa bilang mudah bagi seorang perempuan sebatang kara untuk hidup tenteram seorang diri di dunia ini?"
Jian-jian masih menundukkan kepalanya, ia mulai melanjutkan pekerjaannya, menjahit pakaian yang dikenakan.
Pakaian ini bukan miliknya, milik Kim Cwan.
Padahal baju itu sama sekali tidak robek, ketika membantu mengemasi pakaiannya tadi, dia memang sengaja merobeknya sedikit secara diam-diam.
Bila seorang wanita ingin tunjukkan perasaan cintanya terhadap seorang lelaki, tindakan apa lagi yang jauh lebih mudah ketimbang menjahitkan pakaian baginya?
Kim Cwan sedang menggunakan ujung matanya untuk melirik perempuan itu secara diam-diam.
Jian-jian tahu hal itu. Memang sejak awal dia ingin membantunya menciptakan kesempatan emas, memberinya sedikit semangat dan keberanian dan kini kesempatan tersebut nampaknya sudah tiba.
Cahaya lentera menyorot di atas wajahnya, pipi dan bibirnya nampak semu merah karena tersipu-sipu.
Dia memang sengaja berbuat demikian, agar pemuda itu tahu bahwa ia sudah mengetahui bahwa ia sedang curi-curi melirik dan memandang ke arahnya. Itulah sebabnya wajahnya berubah jadi semu merah, bukan wajahnya saja yang merah, perasaan hatinya ikut kalut, maka karena kurang hati-hati ujung jarum melukai ujung jarinya.
Betul juga, Kim Cwan segera membuang bukunya dan lari mendekat, ia lari dengan terburu-buru, penuh perhatian dan rasa kuatir.
Mungkin lantaran terlalu terburu napsu dan penuh rasa kuatir, maka tak tahan lagi ia geng-gam tangannya erat-erat seraya berseru,
"Coba lihat... kenapa kau tidak hati-hati? Sakit tidak?" Jian-jian menggeleng, paras mukanya semakin memerah begitu merah hingga menyerupai cucuran darah yang meleleh dari ujung jarinya.
Kim Cwan menggigit ujung bibirnya kuat-kuat, dia seperti ingin melukai juga bibirnya agar ikut berdarah.
"Mana mungkin tidak sakit? Coba lihat begitu banyak darah telah bercucuran keluar..."
"Hanya sedikit berdarah, tidak apa-apa," sahut Jian-jian lirih.
Ia meronta pelahan, seakan-akan ingin meronta agar lepas dari genggaman tangannya, tapi rontaan itu tidak terlalu bertenaga.
Genggaman Kim Cwan semakin kencang, kembali katanya, " Kau terluka demi aku, aku... mana mungkin hatiku tenang?"
Jian-jian tertunduk, pelan-pelan ia hisap darah yang mengucur dari ujung jarinya itu.
Sekujur badannya seolah-olah jadi lemas secara mendadak, ia mulai merintih lirih, dua titik air mata jatuh bercucuran membasahi punggung tangannya.
"Kau... Kau menangis?" Kim Cwan mendongak dengan wajah melengak, "Kenapa? Kenapa kau menangis?"
"Aku... Aku sedang berpikir..." Jian-jian menunduk semakin rendah.
"Berpikir apa?"
"Aku sedang berpikir, sekalipun aku telah mengorbankan sebuah lenganku deminya, belum tentu dia akan pikirkan di dalam hati"
Kim Cwan menghela napas sedih, dia seolah-olah hendak mencarikan kata yang pas untuk membelai "dia," tapi tak ditemukan kata-kata yang cocok untuk itu.
Jian-jian ikut menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan air mata yang bercucuran kembali ujarnya, "Seandainya dia bisa sebaik dirimu walau hanya setengahnya saja, aku rela mengorbankan kedua tanganku deminya..."
"Aku tahu... aku mengerti..." Kim Cwan ikut berkaca-kaca matanya, air mata seakan-akan ingin mengucur keluar, tiba- tiba katanya dengan suara meninggi, "Tapi... Tahukah kau... asal kau bersedia baik kepadaku hanya setengahnya saja dibandingkan dengan dia, aku... akupun rela mati demi kau."
Agaknya ia sudah tak sanggup mengendalikan dirinya lagi, tiba-tiba ia jatuhkan diri berlutut di hadapannya, ia peluk sepasang lutut perempuan itu kuat-kuat.
"Jangan..." Pinta Jian-jian dengan tubuh mulai gemetar, "aku mohon... Jangan... jangan berbuat begitu..."
Kim Cwan semakin histeris, dia peluk perempuan itu semakin kencang, bahkan suaranya ikut berubah jadi parau karena luapan emosinya yang tak terkendali.
"Kenapa? Kenapa tak boleh... ? Apa kau masih teringat dia...? Mengapa kita tak mencoba untuk melupakannya? Kenapa kau rela menderita selama hidup hanya demi dirinya?"
Dalam hati kecil Jian-jian mestinya ingin menolak tubuh pemuda itu, tapi ingatan lain tiba-tiba terlintas, kini ia justru menjatuhkan diri bersandar di badannya dan mulai menangis sesenggukan.
Dengan penuh kelembutan Kim Cwan membelai rambutnya yang hitam lembut, lalu bisiknya dengan suara yang hangat penuh kelembutan bagai angin musim semi yang berhembus lewat.
"Asal kau mau, kita masih bisa hidup terus dengan penuh kegembiraan, kita coba melupakan seluruh penderitaan yang pernah dialami di masa lampau."
"Aku mau... aku mau..." sahut Jian-jian dengan mata yang sembab merah. "Kita pasti dapat hidup dengan lebih bahagia."
Tak kuasa lagi ia peluk pemuda itu erat-erat, merangkul dengan kedua belah tangannya.
Cahaya terang memancar dari balik mata Kim Cwan, ia coba mengangkat wajahnya, menciumi butiran air mata yang membasahi kelopak matanya, lalu berbisik.
"Aku bersumpah, akan kurawat dirimu baik-baik sepanjang masa, aku tak pernah akan biarkan kau mengucurkan walau sebutir air mata pun!" Wajah Jian-jian mulai membara, panas bagai kobaran api yang bergelora.
Bibir Kim Cwan pelan-pelan mulai bergeser, bergeser seinci demi seinci, mencari di mana letak bibir mungil perempuan cantik itu.
Bibir Jian-jian yang mungil semakin membara, merah merekah penuh tantangan. Tapi... Pada saat itulah tiba-tiba ia melompat bangun lalu mendorong tubuh pemuda itu kuat- kuat.
Kim Cwan nyaris jatuh terjerembab,sambilmemaksakandiri untuk berdiri kembali, serunya dengan penuh rasa terperanjat, "Kau... kau berubah pikiran lagi?"
"Tidak, aku tidak berubah pikiran," Jian-jian tertunduk malu, "tapi... tapi jangan malam ini..."
"Kenapa?"
"Masih banyak waktu bagi kita untuk berkumpul di kemudian hari, aku... aku tak ingin kau memandangku sebagai wanita murahan, wanita gampangan," air matanya nyaris bercucuran bagai hujan. "Jika kau... kau bersungguh hati menyukai aku... mestinya paham bukan dengan maksudku ini?"
Lama sekali Kim Cwan memandangnya dengan termangu, tapi akhirnya dia mengangguk juga, sambil tertawa paksa sahutnya, "Yaaa, aku paham maksudmu."
"Kau tidak marah bukan?"
"Kau berbuat demikian toh demi kebaikan kita bersama di kemudian hari, masa aku harus marah padamu?"
Jian-jian tersenyum manis.
"Asal kau bisa memahami perasaan hatiku, cepat atau lambat, tubuhku... akhirnya toh tetap menjadi milikmu," bisiknya.
Ia seperti tak dapat menahan diri untuk membungkukkan badan dan menciumi rambut pemuda itu, tapi dengan cepat ia berusaha mengendalikan diri, kembali ujarnya dengan lembut, "Aku mau tidur, bagaimana kalau kau balik dulu ke kamarmu? Besok, pagi sekali aku akan pergi mencarimu." Kim Cwan manggut-mangut, digenggamnya sekali lagi tangan perempuan itu lalu setelah menepuknya pelan, ia segera ngeloyor pergi dari situ sekalian merapatkan pintu kamar.
Kim Cwan tidak berniat memaksakan kehendaknya atas perempuan itu.
Sebab dia tahu, jika kau ingin mendapatkan seorang wanita seutuhnya, kadangkala memang diperlukan kesabaran yang amat besar.
Bila tidak, walaupun dengan cara kekerasan kau berhasil memperoleh tubuhnya, tapi selama hidup akan kehilangan hatinya.
Hasil yang dapat di raihnya hari ini memang tidak terhitung besar, tapi sudah lebih dari cukup baginya. Asal perkembangan selanjutnya bisa semacam ini, cepat atau lambat perempuan tersebut pasti akan menjadi miliknya.
Cahaya bintang berkerdipan di angkasa, malam semakin kelam dan udara terasa makin dingin.
Malam ini adalah malam terindah yang pernah dialaminya sepanjang hidup, malam musim semi yang amat indah.
Ia mulai tertawa, kilauan giginya yang putih memancarkan biasan cahaya yang mengerikan di balik kegelapan malam, menyeringai seperti deretan gigi serigala.
Jian-jian masih menundukkan kepalanya, mengawasi ia pergi dari situ, mengawasi dia merapatkan pintu kamarnya.
la tahu, selangkah demi selangkah secara pasti lelaki itu mulai masuk ke dalam jeratannya... ketika ia menganggap perempuan tersebut telah berhasil ditaklukan, dia sendiri justru sudah makin dalam terbelenggu oleh jeratannya.
Begitulah pikiran dan perasaan seorang lelaki.
Asal kau mengerti dan memahami kejiwaan seorang lelaki, maka kau akan menemukan bahwa bukan suatu pekerjaan yang terlalu sulit untuk mengendalikan dan menjeratnya.
Ia ingin sekali tertawa di dalam hati, tapi lambungnya justru sangat mual, kepingin tumpah. Ia benar-benar memandang rendah lelaki semacam ini, memandang hina lelaki yang begitu tega menghianati sahabat sendiri.
Namun ia harus hidup terus.
Dia harus hidup lebih layak, hidup lebih baik, hidup untuk diperlihatkan di hadapan Siau Lui.
Dia yakin dirinya memiliki kemampuan seperti ini. "Suatu hari nanti, aku akanbikin dia menyesal..."
Kembali ia tertawa, namun ketika tertawa, air matanya ikut jatuh bercucuran.
Memang bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi seorang wanita yang harus hidup dan berjuang seorang diri di dunia ini.
II
"Orang ini betul-betul seorang lelaki sejati!"
Tapi, siapa pula yang tahu, berapa banyak dan berapa besar pengorbanan yang harus dibayar untuk menjadi seorang lelaki sejati?
Siau Lui membuka matanya, cahaya matahari telah memancar masuk lewat jendela, menerangi seluruh ruangan.
Akhirnya kegelapan malam telah sirna, cahaya terang kembali muncul di hadapannya.
Rambut uban yang dimiliki Liong Su kelihatan bagai serat perak yang berkilauan di bawah sinar matahari yang cerah.
Kerutan di bawah matanya kelihatan sangat dalam dan panjang, ia nampak agak murung, agak kelelahan.
Namun ketika ia duduk di bawah cahaya matahari, kakek itu terlihat seperti penuh tenaga, penuh kekuatan hidup, seakan akan tak pernah akan jadi tua untuk selamanya.
Sorot matanya yang tajam sedang mengawasi wajah Siau Lui lekat-lekat, mendadak ia berkata, "Sekarang kau sudah bisa bicara?"
"Bisa" "Kau dari marga Lui?" "Benar!"
"Kau tahu nama sebenarnya dari Kim Cwan?" "Tidak!"
"Tapi bukankah kau sahabatnya?" "Benar."
"Kau bahkan tidak tahu manusia macam apakah dia sebenarnya, tapi masih menganggapnya sebagai sahabatmu?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Aku berhubungan dengannya karena orangnya, bukan asal-usulnya, apalagi nama aslinya."
"Kau juga tak perduli perbuatan-perbuatannya di masa lampau?"
"Perbuatannya di masa lampau telah berlalu." "Bagaimana sekarang? Dia masih tetap sahabatmu?" "Benar"
"Meski dia telah menghianatimu, kau masih tetap menganggapnya sebagai sahabat?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Karena dia adalah sahabatku."
"Karena itu, apapun perbuatan yang telah ia lakukan, kau tetap akan memaafkannya?"
"Mungkin dia memiliki suatu kesulitan atau rahasia yang memaksanya berbuat begitu... setiap orang tentu memiliki masalah yang memaksanya melakukan sesuatu."
"Termasuk dia menghianatimu, melarikan barang yang paling kau cintai, kau tetap tak acuh?"
Pertanyaan ini lebih tajam daripada tombaknya, begitu tajam dan telengas tanpa ampun.
Paras muka Siau Lui mulai berkerut, perasaan hatinya juga mulai menyusut, sampai lama kemudian ia baru menjawab, sepatah kata demi sepatah kata.
"Sesungguhnya aku tak perlu menjawab semua pertanyanmu itu, walau sepatah kata pun!" "Yaa, aku mengerti," Liong Su manggut-manggut. "Aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu bukan
lantaran aku takut kepadamu, juga bukan lantaran berterima- kasih kepadamu karena telah menyelamatkan jiwaku."
"Karena apa kau berbuat begitu?"
"Karena aku merasa bahwa kau masih terhitung sebagai seorang manusia."
Berkilat sepasang mata Liong Su-ya.
"Jadi sekarang kau sudah tak bersedia menjawab pertanyaanku lagi?" tanyanya.
"Pertanyaanmu sudah terlampau banyak."
"Tahukah kau mengapa aku mengajukan begitu banyak pertanyaan kepadamu?"
"Tidak!"
Tiba tiba Liong Su menghela napas panjang, katanya, "Aku pun pernah merasakan dikhianati olehnya!"
"Oh ya?"
"Oleh sebab itu aku dapat menyelami betapa sakit dan menderitanya seseorang yang telah dikhianati oleh sahabat yang paling dipercaya olehnya."
"Ooh..."
"Aku sengaja mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut lantaran aku ingin tahu, apakah kau pun sama-sama merasakan sakit hati dan penderitaan semacam itu."
Setelah menatap Siau Lui sampai lama, kembali dia menghela napas panjang sambil melanjutkan.
"Kini aku baru tahu, aku kalah darimu, juga kalah darinya... sungguh beruntung dia bisa bersahabat dengan seorang teman macam kau."
Siau Lui turut mengawasinya lekat-lekat, sementara cahaya matahari masih bersinar terang di luar jendela.
Tapi sekarang ia nampak jauh lebih tua daripada sebelumnya, kerutan-kerutan di ujung matanya nampak lebih dalam dan gu-ratannya makin panjang. Arak tersedia di atas meja, Liong Su angkat cawannya dan sekali teguk menghabiskan isinya, kembali katanya sembari menghela napas panjang,
"Selama ini aku selalu menganggap diriku sebagai seorang lelaki yang berlapang dada, tapi setelah bertemu kau, aku baru sadar ternyata aku masih belum dapat memaafkan orang lain, bahkan aku tak pernah berpikir mungkin saja dia mempunyai kesulitan yang memaksanya berbuat demikian."
"Bagaimana sekarang?"
"Kini aku sudah tahu, bila kau rela memaafkan orang lain maka perasaan hatimu akan menjadi lebih lega dan lapang, seluruh kegundahan, penderitaan dan kepedihan akan segera tersapu bersih hingga tak berbekas."
"Apakah kau merasa dulu telah melakukan kesalahan?" tanya Siau Lui dengan sinar mata berkilat.
"Benar!"
"Sebetulnya kau tidak salah." Liong Su termenung sedih.
"Sesungguhnya dikhianati oleh teman merupakan suatu penderitaan yang tak mungkin terlupakan untuk selamanya," lanjut Siau Lui perlahan. "Tapi ada sementara orang yang lebih suka sembunyikan semua perasaan hatinya itu di dalam hati, biar sampai mati pun tak sudi diutarakan keluar."
Dengan perasaan terkejut bercampur heran Liong Su memandang wajahnya tak berkedip, sampai lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Siau Lui menyambung, "Bukan suatu perbuatan yang gampang untuk mengakui semua kesalahan dan penderitaan yang dialaminya di hadapan orang lain, bukan saja dibutuhkan jiwa yang lapang dan terbuka, juga harus memiliki keberanian yang luar biasa."
Liong Su termenung lagi sampai lama, tiba-tiba katanya, "Padahal kaupun tak perlu mengucapkan kata-kata seperti itu."
"Yaaa,benar," sambil manggut-manggut Siau Lui menghela napas. "Memang tak perlu kuucapkan perkataan tersebut." "Kecuali seseorang memiliki kebesaran jiwa dan keberanian yang luar biasa... apa kata-kata itu pun tidak perlu diungkap?"
"Kau salah menilai aku," jawab Siau Lui hambar.
Tiba-tiba Liong Su melompat bangun, sambil tertawa keras ujarnya, "Aku salah menilaimu? Mana mungkin aku salah me- nilaimu. ..? Bisa bersahabat dengan seorang teman macam kau, biar aku Liong Su harus mati pun tak akan menyesal!"
"Tapi kita bukan sahabat," potong Siau Lui dingin. "Mungkin saat ini masih belum, tapi di kemudian hari..." "Tak akan ada di kemudian hari," kembali Siau Lui menukas
dengan nada dingin. "Kenapa?"
"Karena ada sementara orang yang tak memiliki masa di kemudian hari."
Dengan langkah lebar mendadak Liong Su datang meng- hampiri pemuda itu, digenggamnya lengan anak muda itu kuat-kuat, katanya, "Saudara, kau masih begitu muda, kenapa harus menghancurkan diri sendiri?"
"Aku bukan saudaramu," paras muka Siau Lui berubah sangat hambar nyaris tanpa perasaan, dia meronta dan seolah-olah akan segera pergi meninggalkan tempat itu.
Liong Su tertawa paksa, masih menahan bahu anak muda itu ujarnya, "Sekalipun kau bukan saudaraku, apa salahnya tinggal berapa saat lagi di sini?"
"Kalau toh akhirnya harus pergi, buat apa tinggal terlalu lama di sini?"
"Sebab…aku…masih ada perkataan yang hendak kusampai- kan kepadamu ”
Siau Liu termenung berpikir sebentar, akhirnya ia kembali merebahkan diri katanya dengan suara hambar.
"Baik katakan aku siap mendengarkan "
Liong Su ikut termenung, agaknya ia berusaha mencari persoalan yang, paling cocok untuk disampaikan,agar Siau Lui bersedia mendengarkan lebih lanjut.
Lewat lama kemudian ia baru berkata, "Sebenarnya nama Kim-cwan bukan nama aslinya, nama sebenannya adalah Kim Giok-ou, dia adalah putra tunggal samko-ku, semenjak samko meninggal, aku..."
"Aku tahu sangat jelas hubungan kalian semua," tukas Siau Lui tiba tiba.
"Oh ya?"
"Kau adalah congpiautau dari Tionggoan Su toa-piaukiok (empat piaukiok terbesar di daratan Tionggoan). Dahulu, dia bersama Ouyang Ci adalah tangan kanan dan tangan kirimu. Suatu hari ia mendapat tugas mengawal harta sebesar delapan ratus ribu tahil perak dari ibu kota menuju Kousiok. Di tengah jalan bukan saja barang kawalannya hilang lenyap, semua pengawal yang ikut dengannya juga kedapatan mati terbunuh, karena dia merasa tak punya muka untuk bertemu lagi denganmu maka ia hidup mengasingkan diri di sini."
Liong Su tidak komentar, dia cuma mendengarkan.
Kembali Siau Lui menyambung, "Tapi selama ini kau justru menuduhnya telah menganglap barang kawalan tersebut, kau menganggap dia telah mengkhinatimu, maka kau menyebar berita ke seluruh penjuru dunia bahwa kau tak akan melepaskan dirinya."
Liong Su tertawa getir.
Kembali Siau Lui berkata, "Kali ini, tampaknya secara tak sengaja Ouyang Ci menemukan jejaknya di sini, maka ia terburu-buru pulang memberi laporan kepadamu, takut ia keburu kabur maka dengan membayar upah sebesar sepuluh ribu tahil perak kau menyewa ketiga orang itu untuk mendatangi kamar tidurnya. Siapa nyana karena ada suatu kejadian di luar dugaan yang terjadi secara tiba tiba, ia telah pergi meninggalkan tempat ini jauh sebelum kehadiran ketiga orang itu."
Suaranya masih kedengaran begitu tenang, seakan-akan sedang mengisahkan suatu kejadian yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka berdua, namun ketika mengucapkan kata "kejadian di luar dugaan," pancaran sinar pedih dan penderitaan yang mendalam mengalir keluar dari balik sorot matanya. "Dia yang menceritakan semua kejadian ini kepadamu?" tanya Liong Su dengan sorot mata tajam
"Benar."
"Tak nyana ia mau membeberkan rahasia ini kepadamu, tak heran kau menganggapnya sebagai sahabat karib."
Tidak memberi kesempatan Siau Lui untuk berbicara, kembali ia melanjutkan, "Kalau begitu kau sudah tahu kalau ketiga orang itu telah salah mencari orang semenjak kehadiran mereka?"
"Benar."
"Kenapa kau tidak berusaha menjelaskan kesalahpahaman ini?"
"Sebab mereka belum pantas untuk tahu," jawab Siau Lui sambil tertawa dingin.
"Manusia macam apa yang pantas untuk tahu?"
"Mungkin ada sementara orang yang semenjak lahir sudah punya watak keledai, rela disalahpahami orang lain sejuta kali ketimbang memberi penjelasan satu kalipun."
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dengan suara keras, "Kalau begitu orang itu bukan keledai tapi seekor keledai goblok!"
Belum habis perkataan itu diutarakan, Ouyang Ci sudah menerjang masuk kedalam ruangan. Kedatangannya selalu cepat bagaikan hembusan angin topan, begitu juga caranya berbicara selalu bersambungan macam berondongan tembakan yang bertubi-tubi, begitu hebatnya hingga ada sepuluh orang bicara bersama pun tak sanggup memotong pembicaraannya.
"Terang-terangan dia sudah menghianatimu, kenapa kau masih tetap mempercayainya?"
"Semua anak buah dan pengikutnya sudah habis mati terbantai, kenapa hanya dia seorang yang masih hidup segar- bugar?"
"Liong Su selalu menganggap dia seperti anak kandung sendiri, sekalipun ia benar-benar lalai dalam tugas hingga kehilangan barang kawalannya, sepantasnya dia pulang ke rumah untuk memberi penjelasan, kenapa ia justru kabur dan menyembunyikan diri?"
"Tahukah kau apa sebabnya rambut Liong Su bisa berubah jadi putih beruban? Gara-gara mesti ganti barang kawalan milik orang sebesar delapanratus ribu tahil perak, biarpun seluruh anggota piaukiok mati gantung diri juga belum sanggup untuk melunasinya!"
Beruntun dia mengutarakan tujuh-delapan macam persoalan sebelum akhirnya berhenti untuk tarik napas panjang.
Siau Lui hanya mengawasinya dengan pandangan dingin, menunggu hingga dia selesai bicara baru katanya, "Darimana kau tahu kalau dia telah menghianatiku? Apa yang kau saksikan?"
Sekali lagi Ouyang Ci tertegun.
Kembali Siau Lui melanjutkan, "Sekalipun kau telah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, bukan berarti semua yang kau katakan itu benar. Sekalipun dia benar-benar telah menghianatiku kali ini, bukan berarti hal ini membuktikan ia telah menganglap delapanratus ribu tahil perak barang kawanannya."
Sekali lagi Ouyang Ci tertegun, lama kemudian ia baru menghela napas panjang, gumamnya, "Kelihatannya di dunia ini benar-benar terdapat manusia berwatak keledai..."
III
"Tempat apakah ini?" "Losmen!"
"Kenapa lakon dalam kisahmu selalu tak bisa lari dari rumah penginapan?"
"Karena sesungguhnya mereka adalah kaum pengembara." "Mereka tak punya rumah?"
"Ada yang tak punya rumah, ada yang rumahnya telah musnah, ada pula yang punya rumah tapi tak bisa pulang." Bila kau termasuk orang yang sedang mengembara di dunia jagat, maka kau pun tak dapat terlepas dari rumah makan, losmen, dusun terpencil, losmen remang-remang, biara, kuil... Terlebih tak dapat melepaskan diri dari segala macam pertikaian dan perselisihan, tak bisa lari dari kehampaan dan kesepian.
Di tengah halaman luas dalam rumah penginapan, di mana- mana tampak kereta pengawal barang yang parkir memenuhi ruangan, barang kawalan telah diturunkan dari kereta dan teronggok dalam tiga buah bilik yang dijaga sangat ketat.
Tigapuluh tiga orang piausu dan tukang pukul yang sudah kaya dengan pengalaman terbagi dalam tiga rombongan secara bergilir menjaga ketiga ruangan itu secara bergantian.
Di luar pintu gerbang terpancang sebuah bendera yang bersulamkan empat warna, di atasnya tersulam seekor naga emas dengan kelima cakarnya. Ketika bendera itu berkibar terhembus angin, lukisan naga itu nampak gagah perkasa berkibar mengikuti hembusan angin.
Itulah bendera naga emas Hong-Im Kim-Liong-ki yang sejak dulu telah menggetar sungai telaga baik dari kalangan putih maupun dari kalangan hitam. Sayang secara beruntun Hong-toa, Im-ji, Kim-sam telah berpulang ke alam baka. Kini tinggal Liong-su yang masih tetap bertengger di sungai telaga.
Malam semakin kelam, pintu dan jendela ruang timur sudah tertutup rapat, cahaya lampu pun ikut meredup. Kecuali suara benturan golok yang tak sengaja, sama sekali tak kedengaran suara lain. Biarpun malam ini malam musim semi, namun suasana dalam halaman itu penuh diliputi keseriusan dan ketegangan yang tinggi.
Tak ada yang tahu bagaimana cara hidup para orang gagah yang sepanjang hari hidup di ujung golok yang penuh belepotan darah dan saban hari diguyur air kata-kata itu. Tak ada yang tahu setegang apa kehidupan mereka dan sesulit apa perjuangan mereka.
Tak mudah menemukan satu-dua hari dalam kehidupan sepanjang tahun suasana yang santai, yang dapat mengendorkan ketegangan, dan hidup tenang bersama anak- istri di rumah.
Itulah sebabnya sebagian besar dari mereka tak punya rumah, juga mustahil punya rumah. Perempuan yang cerdik tak akan sudi kawin dengan pengembara yang tiap saat hidup menyerempet maut, setiap saat siap hidup menjanda.
Namun ada kalanya kehidupan dalam dunia persilatan pun penuh diwarnai dengan keaneka ragaman hiburan yang bikin orang susah untuk melupakannya.
Itulah sebabnya masih ada banyak orang yang rela mengorbankan kebahagiaan serta ketenangan hidupnya untuk ditukar dengan secerca kebanggaan.
Di halaman gedung sebelah barat masih ada sebuah kamar yang daun jendelanya tetap dibiarkan terbuka. Liong Su dan Ouyang Ci sedang duduk minum arak di bawah jendela. Sudah cukup banyak air kata-kata yang mereka tenggak, seolah-olah mereka ingin menggunakan pengaruh air kata-kata untuk menghilangkan semua kemasgulan, keruwetan dan kesedihan yang menyelimuti perasaan mereka.
Mengawasi deretan kereta barang yang parkir memenuhi halaman, tiba tiba Ouyang Ci berkata, "Perjalanan kita sudah tertunda hampir empat hari di sini."
"Yaaa, empat hari," sahut Liong Su.
"Jika kita tunda terus perjalanan ini, mungkin saudara- saudara lain akan mulai berjamur saking kesalnya."
Liong Su tertawa.
"Jangan kau sama-ratakan orang lain dengan watak berangasanmu yang tak sabaran itu..."
"Tapi... Sehari barang hantaran ini tidak sampai di tempat tujuan, berarti beban yang menekan bahu saudara semua akan semakin berat. Dalam hati kecil mereka tentu sudah terbayang kapan bisa minum air kata-kata sepuasnya sambil membopong pipi licin yang bisa dijadikan guling sepanjang malam. Aku tahu mereka tak berani mengutarakan niat tersebut, tapi yang pasti perasaan mereka tentu jauh lebih gelisah ketimbang aku." Makin berbicara kata-katanya semakin cepat, kemudian setelah meneguk habis air kata-kata dari cawannya kembali ia lanjutkan,
"Lagipula orang toh sudah menerangkan sejelas-jelasnya bahwa barang hantaran mesti sudah sampai menjelang akhir bulan, jika sampai terlambat sehari saja berarti kita kena denda tigaribu tahil. Bila kita sampai tertunda dua-tiga hari lagi, ditambah uang sepuluhribu tahil perak yang terbuang sia- sia, bukankah berarti perjalanan kita kali ini cuma kerja bakti belaka?"
"Aku paham dengan maksudmu, tapi..."
"Tapi luka yang diderita orang she-Lui itu belum sembuh, jadi kita mesti tetap tinggal di sini menemaninya?" sambung Ouyang Ci cepat.
Liong Su menghela napas panjang.
"Jangan lupa, orang bisa terluka separah itu bukankah lantaran ulah kita juga?"
Ouyang Ci ikut menghela napas, ia bangkit berdiri dan berjalan keliling berapa kali dalam ruangan, namun akhirnya tak tahan ujarnya lagi, "Padahal menurut penilaianku luka yang dideritanya sudah sembuh sebagian besar, kalau mau pergi semestinya sudah bisa berangkat, kenapa..."
"Jangan kuatir!" potong Liong Su sambil tersenyum. "Dia bukan termasuk orang yang dengan sengaja berbaring malas di sini. Bila dia sudah berniat pergi, biar kita ingin menahannya pun belum tentu bisa menahannya di sini."
"Lantas sampai kapan dia baru akan pergi?"
Perlahan-lahan Liong Su meneguk habis isi cawannya, lalu katanya, "Hampir, bisa jadi sebelum malam nanti... Atau bahkan sekarang juga."
Sinar matanya dialihkan keluar jendela, mimik mukanya menunjukkan perubahan yang sangat aneh.
Buru buru Ouyang Ci berbalik sambil ikut menengok keluar jendela, ia jumpai seseorang sedang berjalan keluar dan sebuah kamar di bagian belakang, dengan langkah yang amat lambat berjalan keluar dari halaman. Walau langkah kakinya amat lambat tapi ia berjalan sambil membusungkan dada, seolah-olah dalam situasi dan kondisi macam apa pun dia tak sudi membungkukkan pinggangnya.
Mengawasi bayangan punggung orang itu kembali Liong Su menghela napas panjang, gumamnya, "Dia betul-betul seorang lelaki keras hati!"
Mendadak Ouyang Ci tertawa dingin, tubuhnya seakan- akan hendak menerjang keluar dari ruangan.
Dengan sekali sambar Liong Su mencekal lengannya, lalu tegurnya, "Mau apa kau? Masa ingin menahannya di sini?"
"Aku ingin mengajukan berapa pertanyaan kepadanya." "Apa lagi yang mau ditanyakan?"
"Sikapmu begitu baik terhadapnya, jelek-jelek begini kau sudah selamatkan jiwanya, masa tanpa permisi atau berterima kasih atau bahkan ba atau bi sudah pergi meninggalkanmu begitu saja? Teman macam apa dia?"
Kembali Liong Su menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir, "Sejak awal dia memang tak pernah menganggap kita sebagai sahabatnya..."
"Lantas buat apa kita bersikap begitu baik terhadapnya?" teriak Ouyang Ci gusar.
Pelan-pelan Liong Su mengalihkan pandangan matanya ke tempat kejauhan, setelah menarik napas sahutnya, "Mungkin dikarenakan orang semacam dia sudah tak banyak lagi dijumpai dalam dunia persilatan."
Tidak membiarkan Ouyang Ci berbicara, kembali ia melanjutkan, "Lagipula, sesungguhnya ia bukannya tak mau bersahabat dengan kita, ia sengaja berbuat begini agar tidak menyusahkan kita dengan masalahnya."
"Ohh..."
"Bukan saja dia telah mengalami tragedi yang memilukan, yang sangat menyayat perasaan hatinya, bahkan bisa jadi ia mempunyai kepedihan yang sulit untuk diberitahukan ke orang lain. Itulah sebabnya dia tak ingin bersahabat dengan siapa pun!" "Kau bilang dia tak ingin menyusahkan dirimu, padahal sejak awal dia sudah menyusahkan kau, masa ia tak sadar akan hal ini?"
Liong Su geleng kepalanya.
"Ada sementara persoalan, aku justru tak ingin dia tahu." "Demi dia, kau tak segan melukai para pendekar dari
perguruan Hiat-yu-bun (Perguruan Banjir Darah), masa dia tak menyadarinya? Sekali Hiat-yu-bun bermusuhan dengan seseorang, mereka pasti akan meluruk tak berkesudahan, masa ia tak pernah mendengar perkataan ini?"
Lama sekali OongSu termenung, kemudian baru katanya, "Jangan lagi dia, yang tak lebih cuma seorang pemuda yang baru terjun ke sungai telaga, ada sementara masalah mungkin kau sendiripun tidak tahu."
"Soal apa?"
Tiba tiba sorot mata Liong Su berubah jadi merah membara, penuh sinar kebencian, kegusaran dan dendam kesumat yang tak terhingga, sepatah demi sepatah katanya, "Tahukah kau bagaimana kisah kebinasaan Hong-toako sekalian?"
Bergidik seluruh bulu tubuh Ouyang Ci menyaksikan sorot mata seseram itu, tiba-tiba serunya tertahan, "Jadi... jadi mereka pun tewas di tangan Hiat-yu-bun?"
Liong Su tidak menjawab, "Prakkkk! "cawan arak yang berada dalam genggaman tangannya tiba-tiba remuk dan hancur berkeping-keping.
"Darimana kau tahu?" teriak Ouyang Ci sambil melompat maju ke depan. "Kenapa baru hari ini kau beritahu aku?"
"Karena aku takut kau pergi mencari mereka dan menuntut balas."
"Kenapa tak boleh balas dendam?"
"Brakkk!" kembali Liong Su menggebrak meja kuat-kuat, serunya, "Kalau budi belum dibalas, mana mungkin kita boleh balas dendam?"
Gemetar sekujur tubuh Ouyang Ci, terhuyung-huyung ia mundur ke belakang hingga jatuh terduduk di bangku, keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Pelan-pelan Liong Su membuka kepalan tangannya, cucuran darah mengalir dari mulut lukanya yang panjang dan membasahi kepingan cawan arak di atas lantai.
Mengawasi darah yang membasahi telapak tangannya, sepatah demi sepatah kata kembali ujarnya, "Hutang darah tetap harus dibayar dengan darah, tapi bukan berarti hutang budi tak dibayar sama sekali. Bisa saja kita beradu nyawa dengan Hiat-yu-bun hingga titik darah penghabisan, tapi siapa pula yang akan membayar budi kita kepada mereka?"
" Aaah, mengerti aku sekarang," teriak Ouyang Ci sambil bangkit berdiri. "Kita bayar dulu hutang budi itu kemudian baru balas dendam!"
"Benar!" sahut Liong Su sambil gebrak meja dan tertawa keras. "Begitulah tindakan nyata seorang lelaki sejati yang sesungguhnya!"
IV
Tak ada kata perpisahan, tak ada pula ucapan terima kasih, bahkan tak sepatah kata pun yang diucapkan Siau Lui. Ia ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan rumah penginapan.
Yang terbentang di hadapannya kini hanya selapis kegelapan yang pekat. Tapi ketika tiba di kaki bukit, sinar fajar kembali telah muncur di ufuk timur.
Kabut putih yang pekat bagai susu ibu menyelimuti seluruh permukaan bumi, secerca sinar emas yang dipancarkan sang matahari pelan-pelan mulai mengintip dari balik bukit.
Perlahan-lahan ia berjalan mendaki ke atas bukit. Masih seperti saat meninggalkan rumah penginapan tadi, ia berjalan sambil membusungkan dada.
Mulut luka bekas bacokan golok masih meninggalkan rasa sakit dan pedih yang bukan alang kepalang. Seandainya dia mau sedikit membungkukkan badan sambil berjalan, mungkin rasa sakit yang menyayat itu akan berkurang.
Tapi ia tak sudi berbuat begitu, ia masih berjalan dengan membusungkan dada. Menelusuri selokan kecil masuk ke dalam hutan bunga tho.
Pepohonan dengan bunga tho yang harum semerbak masih berdiri utuh seperti sedia kala, tapi ke mana penghuninya?
Dibawah pohon bunga tho yang paling semerbak dan rimbun itu seolah-olah masih terendus bau harum semerbak yang dipancarkan tubuh Jian-jian. Tapi di manakah dia sekarang?
Bunga yang rontok terbawa air selokan terhanyut ke kaki bukit sana, tapi bunga akan tumbuh dan berkembang kembali. Tapi Jian-jian... Ia telah pergi, mungkin selama hidup tak akan muncul kembali di sana.
Siau Lui semakin membusungkan dadanya, ia menarik dadanya makin keras, mulut luka pun semakin robek besar dan mendatangkan rasa sakit yang luar biasa. Tapi ia tak perduli.
Dia tak takut mengucurkan darah tapi sangat takut mengalirkan air mata. Dengan langkah lebar ia tinggalkan hutan bunga tho itu, tanpa berpaling sekejap pun. Di hadapannya sekarang adalah kebun rumah tinggalnya.
Dahulu, tempat tersebut adalah tempat yang paling hangat dan penuh kebahagiaan. Tapi kini telah berubah tinggal puing- puing yang berserakan.
Dia tak tega balik ke situ, tak berani kembali ke sana. Tapi mau tak mau dia harus kembali ke tempat tersebut.
Betapa menakutkan dan mengerikannya suatu kenyataan, pada akhirnya pasti ada saat di mana kau harus menghadapi dan menerimanya sebagai suatu kenyataan.
Melarikan diri dari kenyataan, bersembunyi dari kenyataan bukan suatu penyelesaian yang betul dan lagi tak ada gunanya. Lagipula tak ada persoalan di dunia ini yang tak bisa diselesaikan untuk selamanya. Apalagi baginya yang benar-benar harus dihindari bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.
Tak ada orang yang bisa menghindari diri sendiri. Sambil menggertak gigi ia melanjutkan langkahnya menelusuri jalan.
Jalan setapak menuju ke rumahnya masih seperti sedia kala, tapi jenasah orang tuanya mungkin sudah terbakar hangus saat ini. Pasti susah untuk dikenali lagi. Dan kedatangannya kali ini tak lain untuk menunjukkan rasa baktinya sebagai seorang anak terhadap orang-tuanya.
Mungkin di masa lampau ayahnya sudah banyak melakukan kesalahan, mungkin ia pernah merasa amat sedih dan pedih setelah mengetahui kisah tersebut. Tapi kini, semuanya telah berlalu...
Semuanya telah berlalu, kobaran api yang membakar tempat tersebut telah membersihkan seluruh noda tersebut, di atas perbukitan dengan hamparan rumput nan hijau kini telah bertambah dengan beberapa gundukan tanah pekuburan baru.
Seorang kakek bungkuk berambut putih sedang bersem- bahyang di depan kuburan. Siau Lui tertegun menyaksikan semuanya ini.
Siapa yang telah mewakilinya melakukan pekerjaan ini?
Bagaimana caranya ia membalas budi kebaikan setinggi bukit ini?
Pelan-pelan kakek bungkuk itu berpaling, secerca senyuman getir tersungging di wajahnya yang telah penuh keriput itu.. Sin Hoa-ang! Ternyata orang yang punya rasa setia kawan yang luar biasa ini tak lain adalah Sin Hoa-ang, kakek pembuat arak yang memiliki gerai arak tersebut.
Termangu Siau Lui mengawasi wajahnya, ia merasa teng- gorokannya seolah-olah tersumbat, tak sepatah kata pun yang sanggup diucapkan.
Sin Hoa-ang berjalan menghampirinya dengan langkah per- lahan, butiran air mata masih membasahi ujung matanya, sambil tertawa paksa dan menepuk-nepuk bahunya ia berkata, "Ooh, rupanya kau sudah datang, bagus... bagus sekali... akhirnya kau datang juga."
"Aku..." Siau Lui menggigit bibir.
"Aku paham dengan perasaanmu sekarang, jadi kau tak perlu mengatakan apa pun, juga tak usah berterima kasih kepadaku karena bukan aku yang melakukan semuanya ini."
"Bukan kau? Lantas siapa?" tak tahan Siau Lui bertanya. "Dia tak ingin aku beritahu kepadamu juga tak ingin kau
berterima kasih kepadanya, tapi aku..."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Sudah puluhan tahun lamanya aku tak pernah berjumpa dengan seorang hohan yang begitu setia-kawan dan begitu berjiwa besar macam dia. Bila aku tidak mengatakan siapakah orang itu dan menghilangkan kesempatan baik bagimu untuk berkenalan dengannya, aku betul-betul merasa sangat tak tenang!"
"Siapakah orang itu sebenarnya?" seru Siau Lui sambil menggenggam bahunya.
"Liong Su!"
"Dia?" dengan wajah tertegun
Siau Lui mengendorkan genggamannya. Sin Hoa-ang menghela napas panjang.
"Dari akulah dia mencari tahu asal-usulmu. Tapi bila aku tetap merahasiakannya kepadamu maka selama hidup mungkin kau tak akan tahu betapa besarnya perhatiannya terhadap dirimu."
Siau Lui mendongakkan kepalanya memandang angkasa sambil menarik napas panjang, gumamnya, "'Kenapa ia harus berbuat begini? Kenapa..."
"Sebab dia anggap kau pun terhitung seorang lelaki sejati, dia ingin berteman dengan orang gagah macam kau!"
Siau Lui menggenggam kepalannya kencang-kencang, entah dengan cara apa ia mengendalikin gejolak perasaannya, butiran air mata yang telah membasahi kelopak matanya tidak dibiarkan meleleh keluar. Entah berapa lama sudah lewat... akhirnya perlahan-lahan ia berjalan ke hadapan sederet kuburan baru itu dan jatuhkan diri berlutut.
Di atas batu cadas berlumut hijau tertera beberapa huruf yang kentara masih baru diukir, tapi ia tak melihat jelas apa tulisan yang tertera di situ, matanya telah berkaca-kaca, telah dibuat kabur...
Termangu-mangu Sin Hoa-ang mengawasi anak muda itu, tiba tiba bisiknya, "Menangislah, kalau ingin menangis, menangislah. Di dunia yang fana ini tak akan ada seorang lelaki yang benar-benar bisa menahan gejolak hatinya.
Menangislah sepuas-puasnya!"
Siau Lui mengepal tinjunya semakin kencang, kuku jarinya telah menembus ke dalam daging, mulut luka di dadanya semakin merekah membuat darah semakin bercucuran deras.
Dadanya turun naik bergelombang, merahnya darah telah membasahi hampir seluruh pakaian yang dikenakan, tapi air matanya masih tertahan di dalam mata, tertinggal di dalam hati, tertinggal di suatu tempat yang tak akan terlihat orang lain. Baginya, lebih baik darah bercucuran daripada air mata yang berlinang.
Ya, kejadian apa lagi yang bisa lebih mengenaskan daripada air mata yang tidak terlihat meleleh keluar?
Angin berhembus sepoi-sepoi, udara tidak terasa kelewat dingin. Diam-diam Sin Hoa-ang membesut air mata yang membasahi pipinya sambil berpaling ke arah lain, mengawasi puing-puing sisa kebakaran yang berserakan di sana-sini.
Bau harum bunga terbawa angin dari kejauhan sana, juga membawa serta benih yang datang dari kejauhan.
Sin Hoa-ang termenung, kemudian gumamnya, "Haiii... Tak akan menunggu terlalu lama, bila musim semi tahun depan telah tiba, tanah gosong yang gersang ini pasti akan menghijau kembali, berkuntum-kuntum bunga pasti akan berserakan lagi di mana-mana. .."
Memang, selama tempat itu masih ada tanah dan angin, maka selamanya umat manusia masih punya harapan. Sekalipun ada suatu kekuatan yang begitu menakutkan mengancam tempat tersebut, tak mungkin akan lenyap takberbekas.
V
Malam semakin kelam, tiada manusia di atas bukit.
Lamat-lamat terdengar suara tangisan yang mendengung dibawa angin malam, begitu pilu tangisan tersebut seperti lolongan serigala yang saling bersahutan... seperti juga jeritan monyet yang sedang berkejaran di pucuk pohon.
Sambil memegang tongkatnya Sin Hoa-ang berdiri termangu di bawah kaki bukit, di tengah kegelapan malam, kerutan memanjang menghiasi wajahnya yang penuh kerutan itu.
Ia benar-benar tak paham dengan pemuda keras kepala ini. Isak tangis masih bersambungan tak ada habisnya, seolah-
olah pemuda itu ingin menangis semalam suntuk di tempat itu, ingin meluapkan seluruh kepedihan hatinya dan menghabiskannya dalam semalaman saja.
Sin Hoa-ang tertunduk sedih, gumamnya, "Anak bodoh, kenapa kau harus menunggu hingga tak ada orang baru mulai menangis? Buat apa kau harus menyiksa diri sendiri...?"