BPEHK Bagian 02 : Jian-Jian

 
Bagian 02 : Jian-Jian

I

Jian-jian menundukkan kepala memandangi kaki sendiri. Noda darah membasahi kakinya yang mungil. Onak semak belukar yang tajam dan kerikil batu gunung yang runcing membuat ia amat tersiksa.

Tapi, betapa pun beratnya luka luar yang dideritanya sekarang, jauh tak dapat menandingi kepedihan hatinya yang terluka dan tersayat sayat.

Ia berlarian sampai di situ bagaikan kesetanan, lupa siang lupa malam, bahkan lupa arah jalan yang di tuju. Kesemuanya itu dapat ia lupakan, sayang ia susah melupakan diri Siau Lui. Kini perasaan hatinya sudah tercabik-cabik menjadi ribuan keping. Tapi dalam setiap kepingan yang hancur itu masih tertera bayangan dari Siau Lui.

Bayangan yang begitu menarik tapi juga begitu menggeramkan, rasa benci yang lebih mendalam ketimbang rasa cinta. "Mengapa ia bersikap begitu kepadaku? Kenapa secara tiba-tiba ia begitu tega, begitu tak berperasaan kepadaku?" Ia tidak tahu, benar benar tidak paham. Tapi dia ingin mengetahui, ingin mencongkel keluar hatinya, agar bisa ditanya sampai jelas.

Sayang ia tak punya kemampuan untuk berbuat begitu.

Apa boleh buat, sumpah sehidup-semati yang pernah diucapkan dulu, cinta kasih yang lembut bagaikan buaian air, sekarang telah berubah menjadi luka sayatan yang begitu dalam menggores hatinya.

Bisikan-bisikan mesra tempo dulu, juga rangkulan dan pelukan hangat di masa lalu, kini hanya tersisa kenangan yang penuh kegetiran dan penderitaan.

Dia rela mengorbankan segalanya untuk ditukar dengan kemesraan dan kegembiraan seperti di masa lalu, walau itu hanya berlangsung sekejap pun.

Sayang semuanya sudah berlalu, semuanya tak mungkin diulang kembali. Walau ia benturkan kepalanya ke atas dinding, walau dibenturkan hingga seluruh tubuhnya hancur lebur, semuanya tak mungkin terulang kembali.

Inilah yang dinamakan kesedihan, kepedihan yang sesungguhnya, penderitaan yang sebenarnya.

Penderitaan semacam ini dapat meresap langsung ke dalam peredarah darahmu, ke dalam tulang sumsummu.

Musim semi, hembusan angin pagi dimusim semi masih terasa dingin.

Ia hanya mengenakan seperangkat pakaian yang amat tipis, bertelanjang kaki. Pakaian tipis itu adalah seluruh harta yang di milikinya saat itu.

Sisanya telah ia tinggalkan,

Tinggalkan untuknya. Kini mungkin hanya kematian merupakan satu-satunya pelepasan baginya, tapi dia masih tak pingin mati.

"Suatu hari nanti... Akan kubuat kau menyesal seumur hidup." Cinta yang kelewat mendalam dapat berubah menjadi kebencian dan dendam, semakin kau mencintai seseorang, semakin dalam rasa bencimu kepadanya.

Oleh sebab itu dia harus tetap hiidup, dia harus membalas dendam, tapi dengan cara apa dia mempertahankan hidupnya? Dunia begitu luas, kemana ia harus pergi untuk tinggal sementara waktu? Dia tak ingin menangis tapi air mata jatuh berlinang tiada hentinya.

"Jian-jian..." Tiba-tiba ia mendengar ada orang memanggil namanya dengan suara lirih.

"Jian-jian... Jian-jian..." ketika berada di depan bunga, di bawah sinar rembulan, dalam pelukan mesranya Siau Lui selalu memanggil namanya berulang-ulang.

Dalam sekejap mata ia seperti melupakan seluruh kepedihan hatinya, semua rasa benci dan dendamnya, asal ia mau balik kepadanya maka diapun akan segera memaafkan seluruh kesalahan dan kesilafan yang telah dilakukan olehnya, ia akan segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan mesranya.

Tapi sayang dia kecewa, yang memanggil namanya bukan Siau Lui, dia adalah Kim Cwan.

Kim Cwan seorang terpelajar juga seorang pendekar. Kim Cwan adalah seorang pemuda yang halus, lembut dan penuh sopan santun

Rambutnya selalu disisir hingga kelimis dan rajin, pakaian yang di kenakan selalu bersih, modis dan ae suai dengan perawakan tubuhnya

Dibandingkan dengan Siau Lui, mereka berdua sama sekali berbeda dan bertolak belakang. Tapi dia justru sahabat karibnya Siau Lui.

Tentu saja Jian-jian kenal dengannya, sebab pemuda inipun tahu hubungan asmara antara dia dengan Siau Lui yang berjalin secara rahasia.

"Jangan-jangan Siau Lui yang menyuruh dia datang mencariku jantungnya berdebar keras, tak tahan serunya.

"Kenapa kau bisa muncul di sini?" "Datang mencarimu," senyuman Kim Cwan lembut seperti senyuman seorang perawan

"Mencari aku? Darimana kau tahu aku berada di sini?" "Sepanjang jalan aku selalui melindungimu!"

Hati Jian-jian berdebar semakin kencang, iaberharap Kim Cwan mau memberitahukan kepadanya bahwa Siau Lui lah yang menyuruh dia melakukan semuanya itu. Tapi sayang pemuda itu tidak berkata demikian.

"Apa kau melihat dia?" Sambil menggigit ujung bibir tak tahan Jian-jian bertanya lagi.

Kim Cwan menggeleng.

"Kau tahu... kami telah berpisah?" Kim Cwan tetap menggeleng.

Perasaan hati Jian-jian semakin tenggelam, lama sekali ia menundukkan kepalanya sebelum diangkat kembali. Tiba tiba ia menemukan Kim Cwan sedang mengawasi kakinya, kaki mungilnya yang telanjang, putih mulus bagaikan pualam tapi penuh dengan goresan luka dan darah itu, sepasang kaki yang menimbulkan rasa iba bagi yang melihatnya.

Lelaki manapun yang menyaksikan sepasang kaki itu, tentu tak akan bisa mengendalikan diri untuk mengamatinya lebih lama... karena kaki perempuan yang putih mungil itu seolah- olah mengandung suatu misteri yang menarik, semacam hubungan perasaan yang amat aneh.

Ia ingin sekali menarik pakaiannya untuk menutupi kakinya yang telanjang, tapi pada saat yang bersamaan tiba tiba terpancar sinar kebencian yang luar biasa dari balik matanya.

"Aku pasti akan membuatnya menyesal... aku harus membalas sakit hati ini..."

Hanya cinta yangkelewat dalam dapat berubah secara mendadak jadi kebencian yang luar biasa, yang dapat mengubah seorang gadis yang lemah-lembut dan berhati mulia menjadi beracun dan jahat, sejahat ular berbisa.

"Kau tidak pulang?" kembali Kim Cwan bertanya dengan suaranya yang merdu bagai seorang gadis.

Jian-jian menunduk rendah, sahutnya sedih. "Aku tak punya rumah..." "Lantas... kau ingin ke mana?"

Kepala Jian-jian menunduk semakin rendah, ia mengerti antara rasa kasihan dan rasa cinta seringkah susah dipisahkan satu dengan lainnya. Ia tahu dan mengerti bagaimana caranya membangkitkan rasa iba dan kasihan seorang lelaki terhadap dirinya.

Betul juga, rasa iba dan kasihan segera muncul di wajah Kim Cwan, setelah menarik napas panjang katanya lagi dengan lembut.

"Apapun akhirnya nanti, paling tidak aku harus temani kau untuk berganti pakaian bersih dan makan sampai kenyang."

Ada satu hal yang tak boleh dilupakan kaum lelaki, pembalasan yang datang dari seorang wanita seringkali dilakukan dengan segala car dan menghalalkan cara apapun.

II

Bunga Tho di bawah terik matahari nampak merah bagaikan bara api, Ketika Siau Lui membuka matanya, terbentang bunga-bunga tho yang membara bagaikan kobaran api di atas ranting pohon di hadapannya.

Seseorang berdiri bersandar di bawah pohon bunga tho, seorang berbaju putih yang berbadan langsing, bersanggul tinggi dan memakai sebuah cadar yang menutupi wajah putihnya.

Merah bunga yang memenuhi seluruh hutan merangkul tubuhnya vang putih bagaikan salju, Seorang bidadari kah dia? Bidadari bunga tho?

Siau Lui meronta ingin bangun dan duduk. Pakaian yang di- kenakan sudah basah oleh embun pagi, namun sekujur badannya terasa panas bagai digarang di atas kobaran api yang membara. Dia ingin duduk, tapi rasa sakit yang luar biasa membuat seluruh badannya kejang dan sakit, begitu sakitnya nyaris membuat ia jatuh pingsan.

"Kau terluka sangat parah," ujar gadis berbaju putih itu sambil memandangnya dengan mata yang bening, "lebih baik berbaringlah dengan tenang jangan sembarangan bergerak." Suaranya lembut, merdu tapi dingin dan hambar seakan-

akan berasal dari suatu tempat yang jauh.

Siau Lui coba pejamkan matanya, semua peristiwa yang dialaminya semalam kembali terlintas di depan matanya.

Kilatan golok, bayangan darah, kobaran api...

Kejadian terakhir yang masih diingatnya adalah jilatan api membara yang rontok ke arah tubuhnya, membuat sekujur badannya serasa terbakar hebar, membuat ia serasa terjerumus ke dalam neraka tingkat tujuhbelas.

Tapi kini, angin lembut musin semi berhembus menggoyangkan rerumputan harum bunga semerbak mengalir bagaikan alur air jernih di selokan.

Kicauan burung di antara dahan pohon merdu bagaikan bisikan mesra seorang kekasih.

Sekali lagi Siau Lui membuka matanya: "Aku... bagaimana aku sampai di sini? Kau yang menolongku?"

Gadis berbaju putih itu mengangguk. "Siapa kau?"

Pelan-pelan gadis berbaju putih itu memutar badannya, begitu ringan gerak tubuhnya bagaikan gerak awan di kejauhan bukit sana.

Ia petik sekuntun bunga tho lalu disisipkan di atas sanggulnya, bunga tho yang merah bagaikan darah, cadar yang putih bagaikan salju membuat gadis itu seperti sekuntum bunga merah yang sedang mengapung di tengah kabut.

"Jin-bin-tho-hoa!" tak tertahan Siau Lui menjerit, "Rupanya kau!"

Gadis berbaju putih itu tertawa, suara tertawanya merdu bagaikan keleningan perak yang berdenting di tengah hembusan angin musim semi, "sudah kuduga, cepat atau lambat kau pasti akan mengenaliku"

"Kau... mengapa kau menolongku?" tiba-tiba Siau Lui merasa tubuhnya mengejang keras.

"Bunuh orang itu melanggar hukum, masa menolong orang juga dianggap melanggar hukum?" gadis berbaju putih itu tertawa.

Kembali ia membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan sebuah tangannya yang semenjak tadi disembunyikan di balik baju, sebuah tangan yang dibalut kain putih, tangan yang telah diremuk Siau Lui tadi malam.

Siau Lui segera tertawa: "Ooh... kau ingin aku mengembalikan tanganmu itu? Ambillah!"

"Sebenarnya kau hanya berhutang sebuah tangan kepada- ku, tapi sekarang kau berhutang pula selembar nyawa kepadaku," sahut gadis berbaju putih itu hambar.

"Kalau mau, kau boleh ambil juga nyawaku!" jawab Siau Lui dengan suara yang ringan dan datar, seakan-akan menyuruh seseorang mengambil sebuah pakaian rombeng saja.

Gadis berbaju putih itu memandangnya sampai lama sekali, tiba tiba ia mengajukan satu pertanyaan yang sangat aneh.

"Kau benar benar putranya Lui Lo-hong?" "Ehm!"

"Kau tahu ayahmu sudah mati?" "Tahu!"

"Kau tahu rumahmu sudah terbakar habis dan rata dengan tanah?"

"Tahu!"

Gadis berbaju putih itu menghela napas panjang. "Heran, kenapa wajahmu sama sekali tidak mirip orang

sedih?"

"Bagaimana baru kau anggap mirip? Harus memukul dada sambil menangis meraung-raung?" "Sekarang kau tak punya apa-apa lagi, yang kau miliki tinggal selembar nyawa," kembali gadis itu berkata setelah memandangnya mkuplama.

"Ooh..."

'Tahukah kau, bagi siapa pun yang tertinggal kini hanya selembar nyawa?"

"Tahu!"

'Tahukah kau, setiap saat aku bisa mencabut nyawamu" "Tahu!"

Kembali gadis berbaju putih itu menghela napas. "Tapi keadaanmu nampak sama sekali tak mirip!" "Pada dasarnya beginilah aku."

"Dalam menghadapi persoalan lain keadaan apapun kau selalu demikian?"

"Bila kau tak suka dengan sikapku sekarang, kau boleh tidak Melihatnya."

"Sebetulnya kau itu manusia bukan?" "Rasanya manusia."

Kembali gadis berbaju putih itu menatapnya tajam-tajam, kemudian setelah menghela napas, ia balikkan badan dan pergi dari situ.

"Hey, tunggu sebentar," teriak Siau Lui.

"Tunggu apa? Masa kau suruh aku tetap tinggal di sini menemanimu?"

"Kau bilang aku masih berhutang kepadamu, kenapa tidak kau ambil kembali?"

Gadis berbaju putih itu segera tertawa.

"Kau sendiri tidak memandang berharga nyawa sendiri, buat apa aku mesti mengambilnya?"

"Tapi..."

'Tunggu saja sampai hatiku lagi senang," potong gadis itu cepat, "saat itu aku pasti akan mengambilnya kembali. Tunggu saja!"

Selesai bicara ia betul-betul melangkah pergi tanpa berpaling kembali. Siau Lui termangu-mangu mengawasi bayangan tubuhnya yang ramping lenyap di balik pepohonan bunga tho. Dia masih berbaring di situ, tanpa bergerak sedikitpun. Tapi kini yang meleleh di atas wajahnya sudah bukan darah, melainkan air mata.

Angin berhembus sepoi-sepoi, bunga tho berkuntum- kuntum rontok di atas tubuhnya, wajahnya, la masih belum bergeming. Air matanya sudah lama mengering.

"Kini kau tidak memiliki apa pun, yang tersisa tinggal selembar nyawamu.”

Gadis itu benar-benar telah merampas seluruh yang dimilikinya, tapi ia justru telah menyelamatkan nyawanya.

Mengapa ia harus berbuat begini? Apa menginginkan ia hidup dalam penderitaan?

"Kau sendiri tidak memandang berharga nyawa sendiri, buat apa aku mesti mengambilnya?"

Sesungguhnya dia memang sudah tidak memandang berharga kehidupan sendiri.

Gadis itu bukan saja telah merampas seluruh yang dimilikinya, dia juga telah menghancurkan idola paling suci yang dimilikinya selama ini, ayahnya memang merupakan idolanya selama ini.

Berdiri di atas genangan darah ayahnya sambil mendengarkan gadis itu menguak rahasia masa lalunya, saat itu dia hanya ingin melepaskan semua siksaan batin dan penderitaannya dengan kematian.

Tapi sekarang, walaupun gejolak perasaannya belum tenang kembali, paling tidak sudah tidak bergejolak seperti tadi, tiba-tiba saja ia menyadari bahwa dirinya belum boleh mati dalam keadaan demikian,

"Kau harus menemukan kembali Jian-jian, dia adalah gadis baik, pasti dapat melahirkan bibit unggul bagi keluarga Lui kami."

"Jian-jian... Jian-jian..." dalam hati kecilnya ia menjerit, memanggil, hanya nama itulah satu-satunya pengharapan yang dimilikinya... Seluruh pengharapan yang ada dan tertinggal kini.

III

Air sungai mengalir amat jernih, berkuntum-kuntum bunga tho mengapung di atas permukaan air dan mengalir lambat jauh ke ujung dunia.

Siau Lui menggertak gigi, bergulingan menuruni tebing berlantai rumput hijau dan menceburkan diri ke dalam selokan,

Air dingin yang menyengat bukan saja mengurangi siksaan hawa panas yang menggerogoti sekujur tubuhnya, juga membuat pikirannya lebih tenang dan sadar,

Ia berendam dalam air tanpa bergerak, dia berharap bisa melupakan segalanya, tidak memikirkan persoalan apa pun, tapi sayang ia tak mampu,

Semua peristiwa masa lalu, semua kejadian mengenaskan yang telah dialaminya, tiba tiba melunak dan memenuhi seluruh pikiran dan perasaan hatinya, begitu berat menghimpitnya membuat hatinya nyaris hancur berantakan.

Dia seakan-akan sedang menghindari kejaran sejenis makhluk jahat pembunuh manusia, melarikan diri terbirit-birit dari dalam air.

Betapa dalamnya penderitaan yang dirasakan di tubuhnya masih dapat ia tahan. Ia lari kencang menelusuri aliran sungai, menembusi hutan bunga, kehijauan bukit tampak terbentang jernih nun jauh didepan sana.

Di bawah bukit terdapat sebuah dusun kecil, dalam dusun terdapat sebuah rumah makan kecil, di sana Irrsedia arak wangi yang hijau hening bagaikan warna pegunungan nun jauh di depan sana.

la pernah mengajak Jian-jian mengetuk pintu rumah makan itu di tengah malam buta, menunggu kedatangan sahabat karibnya Kim-Cwan. Kemudian mereka bertiga akan mulai meneguk air kata- kata bagai orang kesetanan, riang gembira seperti anak kecil, karena saat itulah saat paling gembira bagi mereka bertiga.

Kekasih yang sehati, sahabat karib yang setia kawan, arak wangi yang harum semerbak... Apa lagi yang dicari bila orang hidup dalam keadaan demikian?

'Bawalah Jian-jian ke situ, tunggu aku walau harus menanti berapa lama pun, kalian harus menunggu hingga kedatanganku. Biar dia ingin pergi meninggalkan tempat tersebut, kau harus berupaya untuk menahannya!" Itulah pesan yang ia sampaikan kepada Kim-Cwan semalam.

Ia tidak berpesan banyak, tidak pula menjelaskan mengapa harus berbuat demikian. Kim-Cwan juga tidak banyak bertanya. Rasa saling percaya di antara mereka berdua seakan-akan seperti percaya pada diri sendiri.

Bukit di depan mata terasa begitu jauh. Siau Lui berharap bisa menemukan sekor kuda dengan sebuah pedati... sayang tidak ada pedati... apalagi seekor kuda.

Darah segar bercucuran di wajahnya, bercampur dengan peluh, sekujur tulang-belulang tubuhnya seolah-olah akan hancur berantakan saking sakit dan menderitanya.

Betapa pun jauh dan menderitanya jalan raya yang harus ditempuh, asal kau berniat menelusurinya, suatu ketika akan tiba juga saatnya mencapai ujung jalan tersebut.

Pohon Yang-liu nan hijau bergoyang terhembus angin, pada akhirnya ia dapat melihat sepucuk bendera hijau bertuliskan "Ciu" berkibar di antara pepohonan liu nan lebat.

Cahaya matahari senja memancarkan cahayanya di atas bendera yang tampaknya masih baru. Pagar yang terbuat dari bambu membiaskan cahaya hijau pualam di bawah sorotan matahari yang sendu.

Pagar itu mengelilingi tiga-lima buah tiang bangunan. Ditinjau dari balik jendela kelihatan kalau tamu di rumah makan itu tak banyak.

Tempat itu memang bukan jalan raya utama, bukan termasuk dusun yang ramai dan makmur. Hanya tamu yang tertarik dengan kesohoran tempat tersebut yang datang berkunjung.

Walaupun arak yang dibuat kakek Sin Hoa-ang tidak bisa dibilang amat tersohor, paling tidak cukup untuk memabukkan orang.

Kakek Sin Hoa-ang dengan rambutnya yang telah putih beruban sedang duduk santai di pinggir rumah makannya, memakai sebuah hud-tim ekor kuda mengusir lalat-lalat hijau yang muncul dari balik pepohonan liu.

Di atas meja tersedia lima-enam macam sayur yang ditutup dengan sebuah tudung saji terbuat dari kain kasa hijau, bukan saja kelihatan lezat menggiurkan juga amat menyolok mata.

Tuan rumah yang santai, tamu yang santai... Tempat ini sesungguhnya memang sebuah tempat santai yang amat sepi dan hening.

Ketika Siau Lui melangkah masuk ke dalam, tuan rumah dan tamu-tamu segera memandangnya dengan rasa kaget dan terperana....

Melihat pandangan mata orang yang begitu terkejut, ia segera sadar betapa menakutkan wajah dirinya saat ini, betapa mengerikan dan kacaunya keadaan dia...

Tapi ia tak ambil perduli. Bagaimanapun pandangan orang lain terhadap dirinya, ia tak perduli.

Yang dia perdulikan sekarang hanya, "Kenapa Kim-Cwan dan Jian-jian tidak berada di situ? Ke mana mereka pergi?"

Ia menerjang ke tepi meja. Sebenarnya kakek SinHoa-ang ingin memayangnya, tapi melihat betapa gerahnya anak muda itu, ia segera menarik kembali tangannya sambil menjerit.

"Mengapa kau berubah jadi begini? Apa yang sebenarnya telah terjadi?"

Tentu saja Siau Lui tidak menjawab, lebih banyak persoalan yang dia ingin tanyakan. "Kau masih ingat dengan kedua orang temanku yang datang mengetuk pintu di tengah malam buta tempo hari?"

"Tentu saja masih ingat," sahut kakek Sin Hoa-ang sambil tertawa pahit. "Mereka tidak datang kemari hari ini?" "Sudah, pagi tadi."

"Di mana mereka sekarang?" "Telah pergi!"

"Ada orang yang memaksa mereka untuk pergi dari sini?" Siau Lui menggenggam kencang tangan Sin Hoa-ang, nada suaranya agak berubah

"Tidak ada! Mereka hanya makan bubur dua mangkuk, tak

sempat minum arak, mereka segera pergi." "Mengapa mereka telah pergi? Mengapa tidak

menungguku?"

Sin Hoa-ang memandangnya dengan melongo, ia merasa pertanyaan ini sangat aneh... kelewat aneh, kenapa sikap anak muda ini macam orang sinting? Tidak waras otaknya?

"Kalau mereka tidak menerangkan, darimana aku bisa tahu kenapa mereka pergi?"

’Kapan mereka pergi dari sini?" tanya Siau Lui sambil melepaskan genggamannya dan melangkah mundur

’Sudah pergi lama sekali, mereka hanya beristirahat sejenak lalu pergi."

”Pergi melalui jalan yang mana?"

Sin Hoa-ang berpikir sejenak, lalu menggeleng dengan perasaan bimbang.

"Mereka tidak meninggalkan pesan untukku?" buru Siau Lui.

"Tidak!" Jawaban Sin Hoa-ang tegas dan meyakinkan. Daun pohon liu berkibar lembut terhembus angin sepoi-

sepoi, cahaya senja mulai memenuhi angkasa membuat suasana semakin sendu, asap mulai mengepul dari balik dusun, dari balik atap rumah.

Lamat-lamat terdengar suara gonggongan anjing, tangisan bayi menggaung dari kejauhan, berbaur dengan suara istri yang memanggil suaminya agar pulang...

Sebenarnya tempat ini merupakan sebuah tempat yang tenang, sebenarnya merupakan sebuah dunia yang hening, tapi bagi Siau Lui ibarat sebuah medan pertempuran berdarah yang penuh dengan jeritan tentara dan ringkikan kuda terluka.

Ia sudah menjatuhkan diri duduk di atas bangku yang terbuat dari bambu, di hadapannya tersedia secawan air kata- kata yang baru saja dituang kakek Sin Hoa-ang untuknya.

"Teguk dulu satu dua cawan air macan, siapa tahu mereka akan balik kemari?"

Siau Lui tidak mendengar kata-kata itu, dia hanya mendengar pertanyaan yang diajukan suara hatinya kepada diri sendiri:

"Kenapa mereka tidak menunggu? Kenapa Kim Cwan tidak berusaha menahannya? Ia sudah berjanji untuk melakukannya untukku!!!"

Ia percaya dengan Kim Cwan, belum pernah Kim Cwan ingkar janji. Arak hijau nan semerbak ditenggaknya hingga habis, sayang rasanya getir, sepahit perasaaan hatinya kini.

Penantian jauh lebih getir daripada rasa arak. Matahari senja sudah turun gunung, selimut kegelapan malam mulai membentang menyelimuti angkasa, rembulan mulai muncul dengan malu-malu dari balik ranting pohon liu yang ramping.

Mereka tidak datang! Sebaliknya Siau Lui sudah dibuat mabuk oleh air kata-kata. Sayang mabuk tak bisa menyelesaikan persoalan, tak bisa mengurai simpul mati dalam hatinya, tak akan menyelesaikan masalah apapun.

Kakek Sin Hoa-ang memandangnya dengan masgul, lamat- lamat terpancar rasa kasihan dan rasa iba dari balik sorot matanya. Dengan pandangan matanya yang kenyang pengalaman, secara samar ia sudah bisa menduga apa ge- rangan yang sebenarnya telah terjadi.

"Perempuan... perempuan... kau selalu menjadi bibit bencana, wahai anak muda, kenapa kau tak pernah paham tentang ajaran tersebut? Mengapa kau selalu rela menderita dan tersiksa batin hanya dikarenakan perempuan?"

Sambil menghela napas ia menghampirinya, duduk di hadapan Siau Lui lalu bertanya lagi secara tiba-tiba.

"Temanmu itu dari marga Kim?" Siau Lui mengangguk. "Konon ia datang dari jauh, kemari untuk belajar silat dan sastra dan selama ini tinggal di kebun kecil belakang kuil Kwan-Im-bio?"

Kembali Siau Lui mengangguk. "Mungkin saja mereka telah pulang, kenapa kau tidak ke situ mencari mereka?"

Siau Lui tertegun, seolah-olah baru mendusin dari tidurnya, tiba-tiba ia lari keluar meninggalkan tempat itu.

Memandang bayangan tubuhnya yang semakin menjauh, kakek Sin Hoa-ang menghela napas panjang, gumamnya.

"Dua lelaki dengan seorang gadis cantik... aaai..., bagaimana tidak menimbulkan kerumitan dan kerepotan?"

Bunga yang tumbuh di balik kebun kecil itu rimbun dengan air yang banyak, tapi semuanya sedang mekar memancarkan bau semerbak. Kim Cwan adalah seorang sastrawan berbakat, bukan saja ia pandai membuat syair bermain khim, dia pun menguasai banyak pengetahuan tentang tumbuhan dan tanaman.

Pintu pagar bambu tertutup tanpa dikunci, tapi pintu rumah gubuk di baliknya terkunci rapat, ini menandakan tak mungkin ada penghuninya.

Piikiran dan kesadaran Siau Lui sudah tak sempat melintas sampai dii situ, ia mendobrak pintu rumah keras-keras, dengan sekuat tenaga ia menerjang masuk ke dalam rumah, ia pernah kemari berulang-kali.

Ruangan itu adalah sebuah kamar baca yang mungil tapi amat bersih, seperti juga Kim Cwan, mendatangkan rasa nyaman bagi yang memandang.

Di sudut ruangan terdapat sebuah ranjang, di depan jendela ada sebuah meja, di atas meja berjajar buku, lukisan, catur dan khim, sedang di atas dinding tergantung sebuah pedang kuno.

Tapi sekarang, semua benda tersebut telah tiada, yang tersisa hanya sebuah lentera, sebuah lentera yanlg tak ada apinya. Siau Lui menerjang masuk ke dalam, terduduk lesu di atas ranjang, memandangi dinding ruangan dengan pandangan masgul.

Sinar rembulan memancar masuk dari luar jendela, menyinari lentera di atas meja, menyinari manusia kesepian yang duduk termenung di depan lentera.

"Kim Cwan telah pergi, pergi bersama Jian-jian..."

Ia tak percaya peristiwa ini menjadi kenyataan, terlebih tak percaya peristiwa semacam ini dapat menimpa dirinya.

Tapi kini, mau tak mau dia harus mempercayainya, harus percaya bahwa peristiwa ini adalah sebuah kenyataan.

Air mata membasahi kelopak matanya, terasa air mata itu lebih dingin daripada sinar rembulan, ia merasakan air mata itu tapi tidak membiarkannya meleleh keluar.

Ketika seseorang sedang betul-betul menderita dan sedih, air mata jarang bisa meleleh keluar.

Sebenarnya ia memiliki sebuah keluarga yang hangat dan hidup penuh kebahagiaan, memiliki orang tua yang saleh dan lembut, kekasih yang amat mencintainya, teman yang amat setia kepadanya...

Tapi kini, apa yang masih dimilikinya? Selembar nyawa, yaa... Kini dia hanya memiliki selembar nyawa. Tapi, masih patut dan berhargakah nyawa itu untuk tetap dipertahankan hidup?

Cahaya rembulan memancar terang di balik jendela, pelan- pelan ia membaringkan diri di atas ranjang milik temannya... Seorang teman yang telah menghianatinya, sebuah pembaringan yang dingin dan beku.

Angin masih berhembus sepoi, lentera tak pernah dihidupkan, mungkin minyak dalam lentera itu telah lama mengering...

Musim semi macam apakah ini? Bulan purnama macam apakah ini? Kehidupan seperti apakah ini...?

IV Pintu itu hanya dirapatkan, sewaktu angin berhembus lewat pintu itu segera menimbulkan suara "Nyiitt. ." dan terbuka.

Sesosok bayangan manusia muncul dari balik pintu, sesosok bayangan manusia yang ramping dan tinggi, memakai baju berwarna putih, seputih salju dimusin dingin.

Siau Lui tidak bangkit dari tidurnya, juga tidak berniat untuk berpaling dan memandang ke arahnya, tapi ia tahu ada orang datang. Karena orang itu sudah melangkah masuk ke dalam, berjalan menghampiri pembaringan persis di hadapannya.

Cahaya rembulan menyoroti tubuhnya yang ramping, menerangi kain cadar tipis yang menutup wajahnya, sorot mata di balik kaini cadar itu nampak jeli dan indah bagaikan sinar rembulan di malam yang hening.

Alam jagat terasa begitu damai, dan tenang, entah berapa banyak perasaan orang yang melumer di tengah malam yang hening ini, juga tak tahu berapa banyak perasaan gadis yang melumer dalam pelukan hangat kekasihnya.

"Jian-jian, Jian-jian... di mana, kau? Berada di mana kau?

Di mana perasaanmu???"

Ia tak pernah menyalahkan dia. Sudah kelewat dalam luka hati yang dideritanya, oleh karena itu apapun yang telah ia lakukan, sudah sepantasnya bila dia memaafkan. Ia yang teramat menderita mungkin tak pernah tahu mengapa dia harus menyakiti perasaan hatinya. Mungkin selamanya ia tak akan mengerti bahwa ia melakukan i semuanya itu terhadapnya tak lain karena dia kelewat mencintai dirinya.

Seandainya ia bisa memahami hal tersebut, walau penderitaan yang harus dialaminya jauh lebih hebat pun ia tetap sanggup untuk menerimanya, bahkan termasuk penderitaan karena dikhianati sahabat karib sendiri.

Gadis berbaju putih itu sudah duduk di tepi ranjang, jari- jemarinya mash mempermainkan sekuntum bunga tho yang baru saja dipetiknya, namun yang ia pandang saat itu bukan bunga tho tersebut, ia sedang mengawasi anak muda itu. “Lelaki macam kau pasti memiliki seorang kekasih. Siapa dia?" tiba-tiba gadis itu bertanya.

Siau Lui memejamkan matanya, juga mengunci mulutnya rapat-rapat.

Gadis itu tertawa. "Walau aku tak tahu siapakah gadis itu, tapi aku tahu kau telah berjanji dengannya untuk bertemu di dusun Sin-hoa-ang bukan?"

"Apa lagi yang kau ketahui?"

"Aku masih tahu kalau ia sama sekali tidak menunggumu di situ Itu karena kau masih mempunyai seorang sahabat karib." Setelah tersenyum lanjutnya, "Kini kekasihmu telah kabur bersama sahabat karibmu, selama hidup kau tak bakal tahu kemana mereka telah perg..i"

"Kau tahu?" tiba-tiba Siau Lui pentang matanya lebar-lebar. "Aku juga tak tahu, seandainya lalui juga tak bakal

kuberitahu kepadamu."

"Tentu," pelan pelan Siau Lui mengangguk. "Tentu saja tak akan kau beritahu kepadaku."

"Kini, kau masih memiliki apa lagi?" "Selembar nyawaku!"

"Jangan lupa kalau nyawamu sudah menjadi milikku," tukas gadis berbaju putih itu cepat. "Apalagi nyawa yang kau miliki sekarang paling tinggal separuh lembar."

"Oh ya?"

"Tulang igamu ada dua yang telah patah, belum terhitung berapa banyak luka bacokan dan luka bakar yang telah kau derita, bisa hidup sampai sekarang pun sudah terhitung suatu kemukjijatan."

"Oh ya...!"

"Bila aku jadi kau," kata gadis berbaju putih itu lagi dengan suara yang lebih lembut, "Sekalipun ada satu juta orang yang berlutut dan memohon kepadaku, aku tak bakal hidup lebih lanjut."

"Kau bukan aku, dan akupun bukan kau." "Oh, jadi kau masih ingin hidup terus?" "Ehm!" "Apakah hidupmu masih berarti?" "Tidak, sama sekali tidak berarti."

"Kalau memang hidup tak berarti, apa yang hendak kau lakukan jika hidup terus?"

"Tidak melakukan apa-apa."

"Lalu, kenapa kau harus hidup terus?"

"Karena aku masih hidup... Selama seseorang masih bisa hidup maka ia harus hidup terus," nada suaranya masih begitu tenang, rasa tenang yang mendirikan bulu kuduk orang, rasa tenang yang begitu menakutkan.

Gadis berbaju putih itu memandangnya sekejap, kemudian menghela napas panjang, kembali katanya.

"Ada sepatah kata ingin kutanyakan sekali lagi kepadamu, boleh?"

"Tanya saja!"

"Sebetulnya kau ini manusia atau bukan? Apakah seorang manusia yang masih hidup?"

"Kini sudah tidak!" "Lalu kau adalah apa?"

"Semua bukan!" jawab Siau Lui sepatah demi sepatah sambil memandang atap rumah dengan mata melotot lebar.

"Semuanya bukan?" "Ehm!"

"Apa maksud ucapanmu itu?"

"Maksudnya, terserah apa pun yang kau katakan mengenai aku."

"Kalau kukatakan kau adalah binatang?"

"Kalau begitu anggap saja aku memang binatang."

Mendadak ia tarik tangan gadis itu, sebuah tarikan yang sangat kuat.

Gadis itu segera roboh, roboh ke dalam pelukannya.

V Angin malam terasa semakin i dingin, dingin sampai menyayat tulang. Tapi tubuhnya justru lembut, hangat dan halus.

Cahaya rembulan menerobos masuk lewat daun jendela, menyoroti baju putih di ujung ranjang sana, baju putih bagaikan hamparan salju, salju di musim semi. Musim semi yang sangat indah, cahaya rembulan yang indah, berapa orang yang tidak mabuk dibuatnya? Mungkin hanya satu orang yang tidak bergeming.

Mendadak Siau Lui melompat bangun, berdiri di ujung ranjang sambil memandang tubuhnya yang lembut, ramping dan memancarkan cahaya itu.

Tidak seharusnya ia bangun berdiri pada saat seperti ini, apalagi pergi meninggalkan tempat itu. Tapi secara tiba-tiba ia membalikkan badan lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

Gadis itu terperangah, tertegun, seperti tak percaya, serunya. "Kau akan pergi sekarang?"

"Benar!"

"Kenapa?"

Tanpa berpaling jawab Siau Lui sepatah demi sepatah. "Karena aku teringat dengan codet di wajahmu, bekas

bacokan itu membuatku muak!"

Tubuhnya yang lembut, hangat dan halus itu mendadak berubah jadi dingin membeku, dingin kaku. la terhenyak.

Waktu itu Siau Lui sudah keluar dari pintu ruangan dengan langkah lebar, berjalan masuk ke balik cahaya rembulan yang menyinari kegelapan, namun secara lamat-lamat dia masih sempat mendengar sumpah serapahnya.

"Kau memang betul-betul bukan manusia, kau adalah binatang!"

Siau Lui menyeringai sinis, suara tertawanya sangat hambar, sahutnya, "Yaa, aku memang binatang!"

VI Angin bertiup di atas mulut luka di atas dadanya, rasanya sakit dan perih seperti disayat dengan pisau. Tapi Siau Lui masih bisa membusungkan dadanya.

Ternyata ia masih bisa hidup, ternyata masih bisa berjalan sambil membusungkan dadanya, hal ini memang merupakan suatu kemukjijatan. Kekuatan apa yang telah menciptakan kemukjijatan ini? Apakah cinta? Atau dendam kesumat? Atau kepedihan hati? Atau rasa marah yang membara? Paling tidak, semua kekuatan tersebut telah berperan dalam penciptaan kemukjijatan ini.

Dalam kuil Kwan-Im-bio masih tersisa cahaya lentera.

Dalam ruang suci Buddha memang selalu tergantung sebuah lentera dengan cahaya api yang tak pernah padam.

Ia menerobos masuk ke dalam, memasuki hutan bambu di depan kuil Kwan-Im, selamanya ia tak pernah percaya dengan Buddha, hingga detik ini pun ia tak pernah mau percaya dengan segala dewa, segala Sin-bin yang datang dari langit maupun dari dalam bumi.

Tapi sekarang, ia sangat butuh dengan suatu kekuatan mukjijat yang dapat menunjang dirinya, sebab kalau tidak ia pasti sudah roboh ke tanah.

Di kala seseorang berada dalam kesendirian, dalam keadaan sebatang kara tanpa bantuan, seringkali ia berusaha mencari suatu topangan untuk menunjang dirinya, sebab kalau tidak begitu, ada banyak orang sudah roboh terkulai di tanah.

Di dalam halaman terbentang juga hutan bambu, lamat- lamat ia dapat melihat cahaya lentera yang memancar dari balik ruang Buddha. Ia menerobos halaman itu, masuk ke dalam ruang utama.

Patung Kwan-im yang saleh dan anggun berdiri tepat di tengah ruangan, patung yang bisa memberikan suasana tenang dan damai bagi setiap orang yang memandangnya. Ia maju ke depan altar dan menjatuhkan diri berlutut di depan patung itu, selain terhadap orang tuanya, selama hidup baru kali pertama ini ia berlutut di depan orang lain.

Ketika tubuhnya berlutut, tak tahan air matanya jatuh berlinang, karena hanya dia sendiri yang tahu bahwa apa yang didambakan dan diinginkannya selama ini mungkin tak pernah bisa terwujud lagi untuk selamanya.

Sekalipun yang dia dambakan bukan harta kekayaan, juga bukan keberuntungan, dia hanya berharap memperoleh ketenangan batin saja.

Walaupun sesungguhnya hanya itu saja yang bisa dipersembahkan para dewa untuk umat manusia, tapi baginya... selama hidup tak mungkin bisa didapatkan lagi.

Sepasang mata Kwan-lm Pouw-sat yang berada di atas meja altar seakan-akan sedang mengawasinya. .. ia merasa seolah-olah bukan hanya sepasang mata itu saja yang sedang mengawasinya di tempat tersebut.

Tiba-tiba ia mulai merasa bergidik, suatu perasaan hawa dingin yang sangat aneh muncul secara mendadak dari tulang belakangnya, bukan yang pertama kali dia merasakan perasaan seperti ini.

Ketika masih berusia tujuh tahun, ia sudah pernah merasakan perasaan seperti ini.

Waktu itu ada seekor ular berbisa yang merangkak secara pelan-pelan dari balik semak di belakang tubuhnya, perlahan- lahan merayap menghampirinya.

Waktu itu ia sama sekali tidak, melihat ular tersebut, juga tidak mendengar setitik suarapun, tapi secara tiba-tiba ia merasakan suatu perasaan ngeri yang sukan dilukiskan dengan kata-kata, rasa! takut dan ngeri yang membuatnya! hampir saja tak dapat menahan diril untuk berteriak dan menangkis! keras-keras.

Tapi ia memaksakan diri untuk menahan gejolak perasaan itu, meski sekujur badannya sudah membeku! dingin lantaran ketakutan, tapi ia tetap menggigit bibir menahan diril dia tunggu hingga ular tersebul merayap naik di atas kakinya, baru dengan sekuat tenaga mencengkeram titik kelemahan ular tersebul dan mencekiknya kuat-kuat

Sejak peristiwa tersebut, beberapa kali ia pernah mengalami ancaman marabahaya serupa, setiap kali ancaman bahaya mulai menghampirinya, dia selalu akan merasakan perasaan yang sama seperti saat ini.

Itulah sebabnya hingga kini ia masih tetap hidup.

Yang muncul kali ini bukan seekor ular berbisa tapi tiga orang manusia, satu di antaranya yang memakai baju warna abu-abu, jauh lebih menakutkan ketimbang ular berbisa.

Pekerjaan mereka yang utama adalah membunuh manusia, membunuh manusia di tengah kegelapan malam, menggunakan segala cara yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya untuk membunuh korbannya.

Entah di mana pun mereka munculkan diri, di situ selalu muncul dengan satu tujuan yang sama, lalu mengapa mereka muncul diri sini pada saat seperti ini?

Tiga pasang mata yang dingin menggidikkan hati mengawasinya lekat-lekat, dari sorot mata tersebut seolah- olah mereka sudah menganggap dirinya hanya sesosok mayat, sesosok bangkai yang kaku.

Siau Lui berusaha mengendurkan seluruh otot tubuhnya berlagak santai, lalu sambil tertawa ia bertanya.

"Kedatangan kalian bertiga untuk membunuh aku?"

Dengan cepat manusia berbaju abu-abu itu bertukar pandangan dengan rekan lainnya, lalu satu di antara mereka menjawab. "Belum tentu!"

"Belum tentu?" Siau Lui mengernyitkan dahinya. "Kami hanya minta kau balik."

"Minta aku balik? Balik ke mana?"

"Balik ke dalam ruangan di mana baru saja kau tinggalkan." "Mau apa ke sana?"

"Menunggu seseorang." "Siapa?"

"Seseorang yang telah memberi uang." "Memberi uang kepada kalian?" "Ehm!"

"Buat apa aku menunggu kedatangannya?" "Untuk membunuhmu!"

"Dia ingin membunuhku dengan tangannya sendiri?" Kembali Siau Lui mengerdipkan matanya berulang-kali.

"Kalau bukan begitu, kini kau sudah menjadi sesosok mayat" Siau Lui tertawa. "Tapi... kenapa aku harus menunggu orang lain datang membunuhku?" katanya.

"Karena kami yang menyuruh kau menunggu."

"Selama ini kau yakin bisa melaksanakan keinginanmu?" "Selamanya begitu, apalagi menghadapi manusia macam

kau."

"Kau tahu, manusia macam apa aku ini?" "Semacam manusia yang satu tingkat lebih rendah

daripada diriku." "Oh ya?"

Sorot mata manusia berbaju abu-abu itu makin dingin dan menyeramkan, sepatah demi sepatah katanya lagi.

"Paling tidak aku tak pernah menghianati sahabat sendiri, paling tidak aku tak pernah mencuri uang sebesar delapanratus ribu tahil perak yang dititipkan sahabat karib untuk dibawa kabur."

Tiba tiba Siau Lui tertawa terbahak-bahak, seakan-akan baru saja ia mendengar satu cerita yang paling lucu di dunia ini. Yaaa, kejadian ini memang teramat lucu.

Bukan yang pertama kali ini dia difitnah dan dituduh orang secara semena-mena. Tapi ia tak pernah sudi memberi penjelasan apapun di hadapan seseorang yang sama sekali tak dipandang sebelah mata olehnya.

"Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan, siapa yang suruh kami datang mencarimu?" kembali manusia berbaju abu-abu itu berkata dengan suara yang dingin dan menatap wajahnya tajam-tajam.

Siau Lui menggeleng.

"Kau mau balik tidak?" kembali orang berbaju abu-abu itu menegaskan. Sekali lagi Siau Lui menggeleng.

"Jadi kau paksa kami untuk menggotong balik dirimu?" hardik orang berbaju abu-abu itu.

Siau Lui masih terus mengeleng, hanya kali ini di kala ia sedang menggeleng, secara tiba-hba badannya sudah melejit ke depan, bagaikan anak panah yang baru terlepas dari busurnya, dia meluncur ke arah manusia berbaju abu-abu yang bicara paling banyak tadi.

Biasanya di kala seseorang sedang berbicara, titik perhatiannya selalu akan terpencar, oleh sebab itu orang yang berbicara paling banyak akan menjadi sasaran yang paling baik bagi orang lain. Sebilah pedang tajam berada dalam genggaman orang itu.

Entah dikarenakan ia sudah terbiasa mengasah lidahnya kelewat tajam hingga pedang yang berada dalam genggamannya menjadi lamban, ketika Siau Lui sudah menerjang sampai di hadapannya, ia baru menggerakkan senjatanya. Di saat cahaya pedang berkelebat lewat, Siau Lui sudah menerjang masuk ke balik cahaya senjata.

Ia sama sekali tidak mengepal tinjunya, luka golok yang menyayat dadanya telah membuat dia kehilangan tenaga untuk mengepalkan kembali tinjunya.

Namun terjangan tubuhnya bagaikan sebuah martil besi yang sangat berat, menumbuk persis di dada orang itu keras- keras. Cahaya pedang berkilau, namun senjata itu malah terlepas dari genggamannya dan mencelat ke udara.

Tubuh orang itu terlempar ke arah rekannya yang lain.

Ketika masih di tengah udara, darah segar telah menyembur keluar dari mulutnya, hingga sewaktu tubuhnya sudah terjatuh kembali ke lantai, semburan darah segar itu persis jatuh berhamburan di tubuhnya sendiri bagai percikan hujan gerimis membasahi dadanya yang sudah melengkung gara gara tumbukan tersebut.

Darah segar membasahi juga tubuh Siau Lui. Gara-gara tumbukan yang keras tadi, mulut luka di dadanya kembali robek besar, tapi ia masih berusaha untuk berdiri tegak. Dua bilah pedang telah menempel di tengkuknya, hawa senjata yang dingin menggidikkan membuat bulu kuduknya pada berdiri, rasa ngeri terlintas dipiikirannya.

Di kala kedua orang itu meluncur datang tadi, sebenarnya ia mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk berkelit, melompat ke samping.

Tapi sayang kekuatan yang tersisa itu sudah ikut mengucur keluar bersama kucuran darah dari mulut lukanya, bahkan tengkuknya juga mulai melelehkan darah segar.

Bahkan sekarang ia sudah dapat merasakan rasa sakit akibat tusukan benda tajam yang menempel di tengkuknya itu, merasakan kekakuan akibat hawa dingin yang memancar dari mata pedang yang sangat tajam.

Walau begitu, pinggangnya tetap berdiri lurus dan tegak, biar sampai mati pun ia tak bakal membungkukkan pinggangnya.

Manusia berbaju abu-abu yang terkapar di tengah genangan darah itu kini sudah berhenti bernapas.

Tapi orang berbaju abu-abu yang berada di belakang tubuhnya justru menghardik keras dengan nada yang dingin menyeramkan.

"Kembali!"

Tidak seharusnya Siau Lui menggeleng sebab ia sudah tak dapat menggelengkan kepalanya lagi. Asal dia menggeleng maka kedua mata pedang yang menempel kuat di tengkuknya akan menyayat kulitnya dan menusuk ke dalam badannya.

"Hrnm! Akan kulihat kau akan menggeleng atau mengangguk kali ini..." Ejek orang berbaju abu-abu yang lain sambil tertawa dingin.

Siau Lui tertawa terbahak-bahak. Di saat sedang tertawa ia sudah menggelengkan kepalanya, di saat menggeleng, darah segar pun segera bercucuran keluar, meleleh jatuh dari mata pedang yang mengiris kulit tengkuknya.

"Aku selalu akan pergi ke mana aku senang pergi," katanya sambil tertawa. "Hmm... hmm... sayang sekali kali ini kedua kakimu sudah tak bisa mengikuti perintah hatimu," kembali orang itu tertawa dingin.

Siau Lui segera merasakan lekukan kakinya teramat sakit, tahu-tahu ia sudah jatuhkan diri berlutut dengan kaki sebelah. "Mau balik tidak?" mata pedang yang satunya lagi masih

menempel ketat di atas tengkuknya. 'Tidak!" jawaban Siau Lui tetap singkat.

"Tampaknya orang ini pingin mampus!" teriak orang berbaju abu-abu itu sengit.

"Yaa, tampaknya dia memang jauh lebih enak mati di tangan kita ketimbang mati ditangah Liong-su!"

''Hmmm, aku justru tak akan biarkan ia mampus secara mudah, aku akan paksa dia untuk balik!"

Mata pedangnya mulai bergeser menekan dibelakang punggung Siau Lui, menekannya hingga memaksa tubuh anak muda itu melengkung ke bawah.

Hampir saja kepalanya menempel di atas tanah karena tekanan mata pedang yang sangat kuat itu.

"Mau kembali tidak?" kembali orang itu menghardik. "Tidak!" tiba tiba Siau Lui membuka mulutnya, menggigit

pasir bercampur kerikil yang berserak di hadapannya lalu menyemburnya kuat kuat.

Jawabannya masih tetap mengulang kata-kata yang sama, tak seorangpoun dapat memaksanya untuk mengubah jawaban itu.

Sekalipun tubuhnya bakal dicincang hingga hancur berkeping selama ia masih dapat bicara, jawabannya akan tetap sama dan tak akan berubah.

Otot tangan orang berbaju abu-abu yang menggenggam pedang itu sudah mulai menonjol keluar, mulai gemetar keras menahan emosi yang meledak di dalam dadanya.

Ujung pedang yang menempel di punggung pemuda itu pun ikut bergetar dan gemetar keras.

Tetesan darah segar mengalir keluar tiada hentinya menelusuri mata pedang yang bergetar itu, ujung pedang yang tajam semakin menusuk ke dalam rubuhnya dan mulai menembusi tulang punggungnya.

Menyaksikan kucuran darah yang meleleh keluar dari punggung pemuda tersebut, tiba-tiba sorot mata manusia berbaju abu-abu yang semula dingin kaku itu mulai membara.

"Kendorkan tanganmu!" mendadak orang berbaju abu-abu yang lain berteriak. "Ingat, yang diminta si pemesan adalah orang hidup!"

Manusia berbaju abu-abu itu tertawa dingin. "Hmm, jangan kuatir, kalau hanya satu-dua jam tak

bakalan membuat dia kehilangan nyawa."

"Tapi kalau kau lanjutkan perbuatan itu, rasanya akan sulit baginya untuk hidup lebih lanjut."

Manusia berbaju abu-abu itu tertawa seram.

"Aku justru akan buat dia..." Belum habis ucapan tersebut tiba-tiba ia tutup mulut.

Saat itulah dari kejauhan terdengar suara derap kaki kuda yang ramai, dua ekor kuda sedang berlari mendekati tempat tersebut, satu di antaranya bahkan sudah berada enam kaki dari situ dan mulai memperlambat larinya.

Sedang seekor kuda yang lain bergerak jauh lebih cepat, ia lari sampai di luar tembok pekarangan baru menghentikan geraknya.

Diiringi suara ringkikan kuda yang panjang, seekor kuda besar berwarna hitam pekat telah melompati pakar tembok setinggi delapan depa itu dan meluncur masuk bagaikan kuda yang sedang terbang di angkasa.

Cahaya emas berkilauan dari atas kuda, memancarkan sinar yang menyilaukan mata.

Kembali terdengar suara ringkikan kuda yang panjang, kuda itu maju tiga langkah lagi ke depan lalu mengangkat kakinya berdiri tegak.

Seorang kakek berambut putih duduk tegak lurus di atas pelana kuda itu. Seiring dengan hilangnya cahaya emas, terlihat sebuah tombak sepanjang satu koma empat kaki berada di dalam genggamannya. "Criiing!" tombak itu ditancapkan ke atas lantai, menancap masuk sampai empat depa dalamnya.

Kuda jempolan bagaikan naga yang sedang terbang itu segera berhenti pula gerakannya, seolah-olah ikut terpantek oleh tancapan tombak di lantai itu.

Pita merah yang tergantung di ujung tombak berkibar oleh hembusan angin, bila digabungkan dengan rambut putih milik si kakek yang berwarna keperak-perakan membuat ia tampak seperti seorang jenderal langit yang baru turun dari kahyangan.

"Aaah, akhirnya tiba juga!" orang berbaju abu-abu itu menghembuskan napas lega.

Baru selesai ia bicara, kembali berkelebat masuk sesosok bayangan manusia dari luar dinding rumah, ketika masih melayang di tengah udara, orang itu membentak keras.

"Di mana orangnya?"

"Ada di sini!" jawab orang berbaju abu-abu itu sambil menekan semakin ketat cahaya pedangnya.

"Masih hidup atau sudah mati?" tanya kakek berambut putih itu setelah menyaksikan kucuran darah yang membasahi tubuh Siau Lui.

"Kalau pesananmu hidup, kami pun akan serahkan manusia hidup untukmu," jawab orang berbaju abu-abu itu.

Sambil menarik kembali pedangnya ia layangkan sebuah tendangan keras ke rusuk Siau Lui, seluruh badan anak muda itu segera mencelat ke udara dan meluncur ke hadapan kakek berambut putih itu.

Gerakan tubuh manusia yang sedang meluncur masuk dari balik tembok itu bukan hanya cepat dan lincah, gerak tangan pun amat cepat dan hebat. Orang ini tak lain adalah Piau-kek (si pengawal barang) Ouyang Ci yang sudah tersohor karena kecepatan gerak tubuhnya dan paling ulet cara kerjanya.

Tidak menanti sampai tubuh Siau Lui terjerembab ke lantai, ia menerobos maju ke muka dan menyambar tubuh anak muda itu dan mencengkeramnya kuat-kuat. Mendadak paras mukanya berubah hebat, teriaknya tertahan.

"Aduh celaka, keliru...!"

"Apanya yang keliru?" tanya kakek berambut putih itu dengan wajah ikut berubah.

"Salah orang!" mencak Ouyang Ci sambil menghentakkan kakinya dengan gemas.

"Tidak mungkin salah orang," seru manusia berbaju abu- abu itu cepat, "hanya dia yang muncul dari dalam rumah itu, di sana sudah tak ada pria lain kecuali dia seorang!"

Ouyang Ci membanting tubuh Siau Lui kuat-kuat ke atas tanah sambil hardiknya,

"Siapa kau? Kenapa bisa berada dalam kamarnya Siau-kim?

Di mana dia sekarang?"

Siau Lui hanya memandang wajahnya dengan sorot mata dingin, wajahnya yang penuh belepotan darah sama sekali tidak menunjukkan perubahan mimik apa pun.

"Mau bicara tidak?" kembali Ouyang Ci menghardik dengan gelisah.

Kembali Siau Lui memandang sekejap wajahnya, tiba-tiba sahutnya sambil tertawa tergelak,

"Kalian sendiri yang salah menangkap orang, kenapa mesti tanya aku?"

Ouyang Ci tertegun. Betul juga jawaban ini, meski saat ini dia gelisah bercampur gusar, tapi jawaban tersebut betul-betul membuatnya terbungkam dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Daging dan otot ujung bibir Siau Lui kini sudah mengejang keras saking menahan rasa sakitnya yang tak terhingga.

Darah juga masih bercucuran keluar dengan derasnya, tapi dia masih sanggup tersenyum, kembali ujarnya,

"Jika sudah tahu salah tangkap, semestinya sikap kalian harus lebih sungkan dan hormat kepadaku, masa lagakmu masih begitu kurang ajar?" Ouyang Ci termenung sambil mengawasi wajahnya, cengkeraman juga telah mengendor, tapi secara mendadak ia menghardik lagi.

"Bagaimana pun juga, kau toh tetap sahabatnya." Siau Lui menghela napas panjang.

"Yaa, aku memang temannya, masa kau bukan sahabatnya?"

Sekali lagi Ouyang Ci tertegun, kini ia sudah melepaskan cengkeramannya dan tanpa sadar mundur dua langkah dengan sempoyongan.

Saat itu manusia berbaju abu-abu itu justru maju ke depan sambil menyodorkan tangan ke hadapannya seraya berseru,

"Bawa kemari."

"Apanya yang bawa kemari?" "Sepuluh ribu tahil perak!"

"Sepuluh ribu tahil perak? Sudah salah tangkap sasaran masih menuntut sepuluh ribu tahil?"

Manusia berbaju abu-abu itu tertawa dingin, katanya hambar,

"Semuanya ini toh kesalahanmu, bukan salahku. Bukankah yang kau minta adalah orang yang berada di rumah ini dan harus diserahkan hidup-hidup. Kini telah kuserahkan dia hidup-hidup kepadamu, berarti kami tidak salah."

"Tapi..."

"Bayar saja!" tukas kakek berambut putih itu tiba-tiba. Merah padam paras muka Ouyang Ci saking gelisahnya,

kembali dia membantah.

"Tapi Siau-kim belum ditemukan, masa kita mesti serahkan sepuluh ribu tahil perak..."

"Bayar mereka!" kembali kakek berambut putih itu menghardik.

Ouyang Ci jengkel sekali, ia hentakkan kakinya berulang- kali dengan perasaan mendongkol, meski begitu, ia lepaskan juga sebuah buntalan yang nampaknya sangat berat dari ikat pinggangnya. Dengan jari tangannya yang kuat manusia berbaju abu-abu itu menerima buntalan tadi, lalu setelah mengerling Siau Lui sekejap katanya,

"Orang ini kah yang sedang kalian cari?' "Bukan."

Manusia berbaju abu-abu itu manggut manggut.

"Kalau memang bukan," katanya, "biar kami bawa pergi or- ang tersebut."

"Kenapa?"

"Dia telah membantai orangku, jadi dia mesti mampus di ujung pedangku," sahut manusia berbaju abu-abu itu sambil menyeringai seram.

"Tidak bisa!" mendadak kakek berambut putih itumemotong. "Dia harus hidup terus!"

"Siapa yang bilang?" orang berbaju abu-abu itu angkat kepalanya sambil melotot.

"Aku!"

Lama kemudian orang berbaju abu-abu itu baru manggut, ujarnya,

"Tombak bagai kilatan petir, kuda bagaikan naga terbang, setiap kata Liong Kong, Liong Suya memang selalu ditepati dalam dunia persilatan."

"Hmm!"

"Tapi kenyataan dia telah membantai orang kami, jadi ia mutlak harus mampus!"

"Siapa pula yang berkata demikian?" wajah Liong Su makin suram.

"Loya yang bilang begitu, jadi apabila anda tidak serahkan orang tersebut kepadaku, mungkin kami tak bisa memberi pertanggungan-jawab di depan loya."

"Lalu bagaimana baru bisa mempertanggung-jawabkan?" "Terpaksa..." belum selesai ia berkata, manusia berbaju

abu-abu itu telah menggetarkan pedangnya lalu sambil melejit ke udara dan menerjang ke depan kakek tadi, teriaknya, "Aku harus cabut nyawamu..." Liong Su sama sekali tak bergeming walaupun menyaksikan cahaya pedang menyambar ke tubuhnya dengan kecepatan bagai sambaran kilat. Ia tetap duduk tenang di atas pelananya.

Tangan kanannya yang menggenggam tombak mendadak membetot senjata tersebut ke belakang kemudian secara tiba- tiba melepaskan genggamannya. Tombak itupun segera memental balik dan meluncur ke muka dengan kekuatan dahsyat.

Ujung tombak yang berkilauan terang ditambah pita merah yang berkibar bagai perakan darah, persis menyongsong datangnya manusia berbaju abu-abu yang sedang menerjang tiba itu.

Cepat-cepat manusia berbaju abu-abu itu menarik pinggang sembari melintangkan pedangnya ke depan.

"Criinggg...!" benturan keras menggelegar di angkasa diiringi percikan bunga api ke empat penjuru.

Tahu-tahu pedang itu sudah terlepas dari genggaman, telapak tangan manusia berbaju abu-abu itu robek merekah lantaran getaran keras tadi, separuh badannya jadi lumpuh terkena getaran dahsyat. Ketika roboh ke lantai, untuk berapa saat lamanya tak sanggup berdiri kembali.

Ternyata tombak panjang seperti ular sanca ini sedari ujung hingga gagang tombaknya terbuat dari baja murni yang keras dan kuat

Ujung tombak masih bergetar tiada hentinya menimbulkan suara dengungan yang memekik telinga, untaian pita merah juga masih berkibar dengan gagahnya.

"Bagaimana?" bentak Liong Su dengan nada berat. "Tentunya kau sekarang sudah bisa memberi pertanggungan- jawab bukan?"

Orang berbaju abu-abu itu hanya menggertak gigi sembari memandangi kucuran darah yang membasahi telapak tangannya, ia seperti sudah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Pedang itu meluncur jatuh dari tengah udara, kilatan cahaya pedang yang berkilauan memancar ke atas wajahnya yang sebentar memucat sebentar menghijau.

la menarik napas panjang panjang, mendadak sambil membalikkan badan ia sambar pedang yang sedang jatuh dari tengah udara itu.

Kali ini ia sama sekali tidak menyerang Liong Su, di antara kilatan cahaya pedang, senjata tersebut ternyata menusuk langsung ke tubuh Siau Lui.

Kondisi Siau Lui saat itu sudah teramat parah, badannya lemas tak bertenaga, tak ada kemampuan sedikitpun baginya untuk menghindari serangan maut itu.

Pada detik yang amat kritis inilah mendadak terdengar suara bentakan keras menggelegar bagaikan suara guntur, sekali lagi tombak Liong Su menyambar lewat bagaikan kilatan petir.

"Braakk...!" Suara benturan keras mengiringi kilauan cahaya yang menyambar lewat.

Ujung tombak yang kemilauan bermandi cahaya kini sudah menusuk tembus tulang pi-pa-kut di bahu kanan orang berbaju abu-abu itu, seluruh badannya kini sudah terangkat ke udara.

Untaian pita merah di ujung tombak kembali menggelegar, seluruh rubuh orang berbaju abu-abu itu segera terlempar keluar, jatuh terjerembab jauh di luar dinding pekarangan, di balik rimbunnya kebun bambu berwarna ungu.

"Duukk. ..” kembali tombak itu menancap di atas tanah, menancap sedalam empat depa lebih.

Liong Su masih duduk tak bergeming di atas pelana kudanya sambil memegangi tombak emasnya, kini dengan mata melotot tegurnya kepada orang berbaju abu-abu yang lain,

"Bagaimana? Sekarang sudah dapat mempertanggung- jawabkan bukan?"

Pucat pias wajah orang itu bagaikan mayat, tanpa ba atau bi, ia membalikkan tubuh dan segera ngeloyor pergi dari situ. Ouyang Ci segera membalikkan badan, tampaknya dia ingin mengejar kepergian orang itu.

"Tidak usah, biarkan dia pergi," cegah Liong Su tiba tiba. "Mana boleh kita biarkan ia pergi?" seru Ouyang G gelisah. "Yang pantas dibunuh harus kita bunuh, yang tak pantas

dibunuh biarkan saja pergi, ini menyangkut masalah hidup dan mati maka kita tak boleh salah menafsirkan perbedaan yang amat minim ini."

"Tapi... jika kita biarkan orang itu pergi, maka banyak kerepotan dan kesulitan yang bakal kita hadapi," seru Ouyang Ci sambil menghentakkan kaki sakingjengkel-nya.

Tiba-tiba Liong Su mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak.

"Sejak kapan kita sebagai dua bersaudara takut menghadapi kerumitan, bahkan kesulitan sekalipun?"

Menggelegar suara tertawa itu bagaikan genta yang dibunyikan bertalu-talu, namun dalam pendengaran Siau Lui seolah-olah berasal dari tempat yang sangat jauh, sangat buram, amat samar-samar.

Dia seolah-olah mendengar Liong Su sedang berpesan kepada Ouyang Ci.

"Bawa pulang sahabat ini, dia tidak bersalah, jadi diapun tak boleh dibiarkan mati."

Menyusul kemudian ia merasa ada orang sedang memayangnya untuk bangun.

Ia ingin sekali meronta dari rangkulan orang itu, dia sangat ingin bangkit dan berdiri sendiri.

Kalau mesti berdiri, dia harus lakukan sendiri. Kalau tidak, lebih baik sepanjang masa tetap berbaring di lantai.

Ingin sekali ia berteriak, memberitahu kepada mereka bahwa selama hidup ia tak pernah membiarkan orang lain menolongnya, tak akan biarkan orang lain membantunya dalam hal apapun.

Sayang sekali kondisinya saat ini sudah tak terkendali, keempat anggota badan serta lidahnya sudah tidak berada dalam kemampuan kontrol pribadi. Bahkan termasuk sepasang matanya juga mengalami kondisi yang sama.

Ingin sekali ia membuka matanya lebar-lebar, tapi kegelapan yang amat pekat seolah-olah telah menyelubungi seluruh badannya.

Di tengah kegelapan yang tak herujung dan tak bertepian, seolah-olah ia melihat munculnya setitik cahaya, di balik cahaya itu seakan-akan terdapat bayangan tubuh seseorang.

"Jian-jian... Jian-jian..."

Dia ingin meronta, ingin menggeliat dan menghambiri bayangan tersebut... namun sayang setitik cahaya yang terakhir pun tiba-tiba ikut hilang, lenyap tak berbekas.

Dia meronta, berteriak keras, menjerit... Sayang setitik cahaya yang terakhir telah hilang lenyap tak berbekas.

Yang tersisa hanya kegelapan yang pekat, yang tak berujung dan tak bertepi.

Tak seorangpun yang tahu sampai kapan cahaya terang baru akan muncul kembali di sana.

VII

"Tak malu orang ini disebut seorang lelaki sejati."

"Tapi ia seperti menyimpan suatu penderitaan batin yang tak terhingga..."

"Penderitaan batin seorang lelaki sejati biasanya akan lebih banyak dibandingkan orang lain, cuma biasanya ia akan menyimpan dalam dalam penderitaan tersebut hingga sulit bagi orang lain untuk melihatnya."

Hanya kata-kata terakhir itu yang terdengar olehnya.

Kata terakhir itu diucapkan oleh Liong Su, tapi kedengarannya begitu samar, begitu jauh... meski begitu, kata-kata itu justru menimbulkan perasaan yang hangat dalam lubuk hatinya, satu perasaan terharu dan rasa terima kasih yang mendalam. Ia sadar, paling tidak ia belum hancur dan musnah sama sekali, masih ada orang di dunia ini yang bisa memahaminya.

Oleh sebab itu iapun amat yakin dan percaya, betapa dalamnya kegelapan, betapa lamanya kepekatan menyelimuti dirinya, cahaya terang pasti akan muncul pada akhirnya, entah cepat atau lambat... Habis gelap pasti akan muncul terang.

Selama rasa hangat danberharu masih muncul dalam perasaan seseorang, masa terang pasti akan muncul juga pada akhirnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar