BPEHK Bagian 01 : Lebah Bunga Tho

 
Bagian 01 : Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia

I

Jian-jian menunduk rendah, melewati pintu gerbang, berjalan di atas permadani merah. Rambutnya yang hitam tersanggul rapi terselip sebatang tusuk konde emas, mutiara di ujung tusuk konde bergoyang tiada hentinya. Langkah kakinya selalu begitu ringan dan gemulai, tapi juga begitu berat.

Mereka berdelapan masuk bersama-sama, namun sorot mata semua yanghadir hanya tertuju pada dia seorang.

Ia tahu itu semua, tapi posisi dan ayunan kakinya takbeda sedikit pun dengan langkahnya ketika berjalan sendirian di tempat yang sepi.

Keseriusan dan kecantikan Jian-jian sama-sama mendapat pujian serta rasa kagum setiap orang.

Lilin merah di atas meja bersinar terang, menyilaukan huruf emas

"Siu" (panjang usia) yang tertera besar di tengah ruangan, seterang kehidupan Lui Ki-hong, Lui lotaiya selama ini.

Kini, dengan wajah penuh senyuman ia awasi dayang kesayangan istrinya ini datang mengucapkan selamat panjang umur kepadanya. Delapan orang bersama-sama menyembah hormat di hadapannya, tapi senyuman di ujung bibirnya seolah-olah hanya tertuju pada Jian-jian seorang.

Bagaimanapun ia tetap seorang pria.

Sinar mata lelaki berusia 60 tahunan tak ada bedanya dengan sinar mata pria berusia 16 tahunan.

Jian-jian tahu itu semua, namun dia tak membalas dengan senyuman. Jarang ada orang melihatnya tersenyum apalagi tertawa.

Ia selalu memahami status dirinya, perempuan semacam dia tak mungkin ada kesenangan, dan tak boleh ada penderitaan, sebab termasuk selembar nyawa miliknya yang paling berharga pun sudah menjadi milik orang lain.

Oleh sebab itu mau tertawa atau pun melelehkan air mata, ia selalu lakukan setelah berada di tempat yang sepi, di tengah malam buta dan tak ada orang lain.

Jian-jian masih menunduk, melalui pintu gerbang, menelusuri serambi samping. Hujan rintik musim semi sedang berderai di luar serambi, hujan rintik musim semi dari daerah Kanglam.

Hujan rintik memang gampang membuat hati gundah, terlebih untuk gadis berusia 17-18an tahun yang belum menikah, dalam musim seperti ini gampang muncul suatu perasaan sedih, masgul dan muram yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Jian-jian belurn pernah menikah, masih berusia 17-18an tahun, namun baginya, mau di musim apa dan berada di mana pun ia tetap harus bersikap tenang dan serius.

Setelah melalui serambi panjang, suara gaduh manusia tak kedengaran lagi, bunga bunga yang mekar di luar halaman kelihatan lebih indah dan segar di tengah terpaan hujan rintik. Semua gadis mulai nampak lincah, mulai tertawa.

Biarpun mereka hanya berstatus dayang, bukan berarti tak berhak menikmati kegembiraan masa remaja mereka, maka lengan baju pun mulai digulung, menampilkan kulit lengan yang putih dan halus, pergi memetik bunga segar di luar pagar, pergi memetik masa remaja serta keceriaan mereka.

Hanya Jian-jian yang tak bergeming, melirik sekejap keluar pagar pun tidak, kepalanya masih tertunduk, meneruskan langkahnya dengan tenang.

Memandang bayangan tubuhnya yang gemulai makin menjauh, mulai terdengar suara tertawa dingin dari kalangan gadis-gadis itu, mulai ada yang menyindir dengan sinis:

"Dasar balok kayu, huhh... Dia bukan manusia!"

"Coba lihat dadanya yang rata, datar persis sebatang papan kayu... Begitu dibilang cantik... ? Huuh, coba aku pria, tak sudi memilih perempuan macam dia!" "Memeluk gadis semacam dia, pasti rasanya seperti memeluk sebatang kayu balok. ..”

Maka semua gadis pun mulai tertawa cekikikan, persis seperti serombongan lebah yang sedang bergembira.

II

Dengan kepala tertunduk,pelan-pelan Jian-jian membuka pintu kamarnya. Dia memiliki sebuah ruangan yang kecil, sangat nyaman, sangat bersih. Di sinilah dunia bebas miliknya seorang. Hanya di sini, tak seorang pun pernah datang mengganggu atau mengusiknya.

Ia mengunci pintu kamarnya, pelan-pelan memutar badan, bersandar di pintu dan memandang keluar jendela. Wajah cantiknya yang semula pucat, tiba-tiba bersemu merah. Hanya dalam sekejap, ia sama sekali telah berubah.

Dengan cepat dia melepas jubah luarnya yang tebal, di balik jubah yang tersisa hanya pakaian yang tipis lagi ketat.

Tusuk konde emasnya dicabut lepas, rambutnya yang hitam memanjang dibiarkan terurai di atas bahu, diliriknya cermin di atas meja sekejap, lalu tangannya merogoh ke balik pakaian ketat, melepaskan seuntai sabuk panjang berwarna putih Kemudian... dadanya yang semula datar bagaikan lapangan secara tiba-tiba menggelembung... meloncat keluar... tahu-tahu muncul dua gundukan bola daging yang montok

Sekarang dia baru menghembuskan napas lega, sambil memandang cermin membuat muka setan, kembali ia membuka lebar daun jendela, berlutut di atas ranjang sambil memandang keluar sana, ketika yakin tak ada orang di sekelilingnya, dengan sekali loncatan ringan, tahu-tahu ia sudah keluar dari kamar.

Senja musim semi di bulan ketiga, burung nuri beterbangan di atas rumput yang rimbun, tanah berumput nan hijau, nampak begitu lembut dan halus bagai rambut seorang kekasih di tengah rintikan hujan yang membasahi jagad.

Dengan sebelah tangan memegangi rambutnya yang panjang, tangan yang lain menenteng sepatu, Jian-jian dengan bertelanjang kaki berlarian di atas rerumputan yang hijau.

Ia tak perduli butiran air hujan membasahi rambutnya, ia pun tak perduli rumput hijau yang tajam menusuk telapak kakinya yang indah dan mungil, walaupun semuanya menimbulkan rasa geli dan kesemutan...

Kini, ia tak beda dengan seekor burung nuri yang baru lepas dari sangkar, apapun yang terjadi ia tak perduli, dalam hati kecilnya hanya terbayang satu... pergi menemui kekasihmusim seminya.

Air sungai bening nan jernih, ketika titik air hujan jatuh di atasnya, tercipta lingkaran-lingkaran riak yang menggelora, persis seperti gelora perasaan gadis-gadis itu.

Ia berlarian menelusuri sungai, naik ke atas sebuah bukit, di sana terhampar sebidang hutan bunga tho yang luas.

Di balik pepohonan yang lebat, bergelantung seorang pemuda berbaju cerah, l<akinya mengait pada dahan pohon dengan badan berayun ke bawah, ia sedang berusaha menggigit sekuntum bunga tho yang berada di atas tanah.

Macam begitulah orang tersebut, tiap saat tiap waktu selalu ingin bergerak dan berubah, tak pernah bisa tenang walau sekejappun.

Wajahnya begitu cerah dan tampan, dari balik matanya terpancar sinar kenakalan dan kepolosan seorang anak-anak.

Jian-jian tertawa, begitu manis tertawanya, begitu cantik.

Dia sudah meloncat turun dari pohon, bibirnya masih menggigit tangkai bunga tho, ia berdiri di sana sambil berkacak-pinggang.

Setiap kali bertemu dengannya, nona ini tak pernah bisa menahan diri, ia tak dapat mengendalikan keinginannya untuk tertawa... Sambil melemparkan sepatunya, ia rentangkan lengannya lebar lebar, lari menghampirinya, memeluknya erat-erat, kemudian desisnya penuh kebahagiaan.

"Siau Lui... Oooh... Siau Lui..."

Tiap kali ia sedang memeluknya, ia merasa seolah-olah sedang memeluk segumpal bara api, ia merasa dirinya seolah- olah telah berubah menjadi segumpal kobaran bara api.

Mereka berdua sama-sama membara, saling membakar, saling melumat, seakan-akan berusaha untuk melumat habis lawannya.

Tapi kali ini sangat berbeda, tubuh yang dipeluknya amat dingin, amat kaku, seakan-akan tiada reaksi sedikitpun.

Hari ini adalah ulang tahun ke enam-puluh ayahnya, sepantasnya dia tetap tinggal di rumah.

Sesungguhnya dia amat senang bergaul, suka berteman, suka akan keramaian, tapi kini ia lebih rela berada di tempat yang basah oleh rintikan hujan, dia rela berada di situ demi menanti gadis pujaannya.

Membayangkan semuanya itu, perasaan haru dan gejolak hawa panasnya semakin membara, Jian- jianmemeluknyakianerat,menggigit daun telinganya sambil berdesis meluapkan semua kerinduaan serta keresahan hatinya.

Dadanya yang montok dan empuk melekat rapat-rapat di atas dadanya yang bidang. Dulu, setiap kali berada dalam posisi macam ini, gejolak napsu mereka pasti akan kian membara dan kian membakar.

Tapi hari ini...

Mendadak ia mendorong badannya. Jian-jian tertegun, bara api yang berkobar di dadanya langsung membeku, kini dia baru menyaksikan keanehan pada dirinya. Ceceran darah nampak melekat di sekujur badannya.

Ceceran darah yang menodai pakaian berwarna cerah memang susah diketahui... Hanya orang yang paling teliti baru bisa menemukannya, hanya ketelitian seorang kekasih yang dapat menangkapnya. Berubah air muka Jian-jian

"Lagi-lagi kau berkelahi dengan orang.. ." Siau Lui menggeleng.

"Jangan coba menipuku!" desis Jian-jian sambil menggigit bibir, "Pakaianmu penuh noda darah!"

Siau Lui tertawa, "Masih ingat, darahmu juga pernah menodai pakaianku?"

Tertawanya begitu dingin,begitu tawar, tajam amat menusuk hati, bagaikan sebilah pisau yang menghujam ke dalam lubuk hatinya.

Tiba tiba sekujur tubuhnya terasa kaku, terasa membeku, Jian-jian merasa badannya seolah-olah terperosok ke kubangan salju.

"Kau... kau.. ."matanya melotot lebar, "Apa kau sudah memiliki perempuan lain???"

"Kenapa aku tak boleh memiliki perempuan lain?" tawa Siau Lui masih kedengaran tawar, sangat hambar.

Tubuh Jian-jian mulai gemetar keras, air matanya meleleh membasahi pipinya, air mata terasa lebih dingin daripada rintikan hujan di musim semi.

"Tapi... apa kau sudah lupa... aku sudah mempunyai anak darimu...?"

"Plookk...!" tiba tiba Siau Lui meloncat ke depan dan menampar pipinya keras-keras, makinya sambil tertawa dingin.

"Darimana aku tahu anak siapakah itu? Hmmm, ketahuilah, kau tak lebih hanya seorang dayang... Seorang babu!"

Tertawanya begitu seram, lebih seram dari lolongan serigala liar.

Jian-jian melotot besar, selangkah demi selangkah ia mundur ke belakang, tiba-tiba ia merasa seakan akan sedang berhadapan dengan seorang yang amat asing, seorang asing yang lebih tengik, lebih hina daripada seekor binatang. Air matanya mengering secara tiba-tiba, darah pun ikut mengering, Ia merasa dirinya saat ini hanya tinggal seonggok kerangka tubuh yang kosong, badan kasar yang tak memiliki jiwa lagi.

"Aku rasa lebih baik kau cepat-cepat minggat dari sini!" kembali Siau Lui merebahkan diri kemalas-malasan, "Minggatlah yang jauh... Makin jauh makin baik! Jangan ganggu janjiku dengan orang lain."

Kuku jari Jian-jian sudah menembus ke dalam daging tubuhnya, tapi gadis itu sama sekali tidak merasa, tidak merasa sakit biar sedikitpun, matanya masih melotot besar, sepatah demi sepatah ujarnya.

"Aku pasti pergi dari sini! Jangan kuatir, sejak detik ini aku tak akan datang menjumpaimu lagi! Tapi aku bersumpah, suatu hari kelak kau pasti akan menyesal..."

Tiba-tiba ia membalik badannya dan lari meninggalkan tempat itu.

Siau Lui tidak mendongak, melirik ke arahnya sekejappun tidak, hanya dua deret air mata tiba-tiba meleleh keluar membasahi pipinya. Air matakah? Atau hanya butiran air hujan di musim semi ini??? Entahlah...

III

Cahaya lampu dalam gedung masih terang-benderang menerangi seluruh sudut ruangan, hujan pun telah berhenti.

Dengan langkah perlahan Siau Lui berjalan melalui halaman menuju ke dalam ruang gedung, sambil menyandarkan diri pada sebuah tiang, dipandangnya para tetamu yang sedang bermabukmabukan dengan pandangan dingin.

Akhirnya ada juga tetamu yang mengetahui kehadirannya. "Aaah, tuan muda telah kembali, ayoh kita bersulang untuknya."

"Hehehe... Kalian belum cukup minum?" dengus Siau Lui sambil tertawa dingin, "Apakah kalianbaru rela pergi setelah minum sampai modal kembali?" Semua orang tertegun, seolah-olah ditampar orang secara keras... Entah siapa yang berdiri duluan, akhirnya semua orang berdiri dan berlalu tanpa menoleh lagi.

"Lui Seng, buka pintu gerbang dan hantar tamu!" kembali Siau Lui berseru dengan wajah dingin, membeku tanpa perasaan.

Tak ada orang yang punya muka untuk tetap tinggal di sana, mau tak mau setiap tamu harus angkat kaki dari sana.

Lui Lo-taiya yang baru saja beristirahat di ruang belakang, buru-buru datang ke ruang tengah dengan wajah hijau membesi.

Siau Lui segera datang menyambut, menarik ayahnya menuju ke belakang ruangan.

"Kau ingin membuat aku malu?" teriak Lui Lo-taiya sambil menghentakkan kakinya, suaranya gemetar menahan emosi.

"Tidak!" Siau Lui menggeleng.

"Kau sudah edan?" Lui Lo-taiya semakin gusar. "Tidak!" kembali Siau Lui menggeleng.

"Kenapa kau lakukan perbuatan yang begitu memalukan?" teriak Lo-taiya sambil mencengkeram pakaian putranya.

Menengok dari balik ruangan, tampak semua tamu yang hadir dalam gedung telah bubar, tak tertinggal seorangpun.

Setelah lewat lama sekali, sepatah demi sepatah Siau Lui baru berkata.

"Karena malam ini tak seorang pun boleh tinggal di sini, mereka semua harus pergi dari tempat ini!"

"Kenapa???"

"Karena mereka telah datang!"

"Siapa yang kau maksud?" air muka Lui Ki-Hong tiba-tiba berubah.

Siau Lui tidak menjawab, dari balik bajunya ia mengeluarkan sepotong tangan. Sepotong lengan yang telah terpotong putus mulai pergelangannya, darah telah membeku di atas potongan lengan itu.

Di atas lengan yang telah mengering tertancap seekor lebah, seekor lebah berwajah manusia. Kulit lengan itu telah mengering, maka raut muka dari lebah berwajah manusia itupun telah berubah jadi kaku hingga nampak begitu misterius, begitu menyeramkan hingga sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Air muka Lui Ki-hong ikut berubah, berubah jadi kaku dan berkerut, mendadak ia seperti kehilangan keseimbangan hingga kemampuan untuk berdiri pun hampir tak sanggup.

Buru-buru Siau Lui membimbing ayahnya, cekalan lengannya masih nampak tenang dan mantap.

"Yang mau datang, cepat atau lambat akhirnya harus datang juga!" suaranya masih kedengaran tenang dan mantap.

"Betul" dengan nada sedih Lui Ki-Hong mengangguk, "Kalau toh harus datang, memang lebih baik datang lebih awal!"

Dia memang berbicara dengan tulus, dengan sejujurnya, sebab ia cukup menyadari bahwa menanti datangnya pembalasan dendam merupakan saat penantian yang paling menyiksa, paling menakutkan dan paling menderita

"Tigabelas tahun... yaaa... sudah tigabelas tahun... Mereka berani datang kali ini berarti pasti sudah punya keyakinan penuh!"

"Itulah sebabnya kecuali kita dari marga Lui, siapapun tak boleh tetap tinggal di sini, semua orang kang-ouw tahu, di mana mereka datang dan menyatroni,tak sebatang rumput pun akan tersisakan!"

"Kalau begitu... kau pun harus pergi tinggalkan tempat ini, yang mereka cari hanya aku seorang," seru Lui Ki-hong sambil menggenggam lengan putranya erat erat.

Siau Lui tertawa, lolongan tertawanya sudah tak menyerupai lolongan serigala, lolongan tertawanya lebih mirip pekikan malaikat...

Di balik suara tertawanya terkandung rasa percaya diri yang begitu kuat, semangat dan tekad yang begitu besar dan kuat, tekad untuk mengorbankan segala-galanya, tekad yang tak segan-segan menerima semua penderitaan, semua ganjaran dan semua cemoohan.

Tentunya Lui Ki-Hong, sang ayah, sangat memahami perasaan putranya, maka ia genggam lengan putranya makin erat.

"Paling tidak, marga Lui harus punya keturunan untuk meneruskan generasi kita..." pintanya.

"Keluarga Lui sudah memiliki keturunan!" "Di mana?"

"Di tempat Jian-jian!"

Lui Ki-Hong terperangah, terkejut tapi amat gembira, namun setelah menghela napas kembali tanyanya.

'Tapi... di mana dia sekarang?" "Aku telah menyuruhnya pergi" "Dia mau pergi dari sini?"

Siau Lui mengangguk. Baru sekarang dari sorot matanya terpancar penderitaan dan kesedihan yang amat mendalam.

Justru karena ia tahu bahwa Jian-jian tak bakal tega meninggalkannya, maka ia tak segan menggunakan cara yang paling keji untuk menghancurkan hatinya, meremukkan perasaannya, agar ia patah hati.

Perasaan dia sendiripun sama remuknya. Ia telah menyakiti hatinya, bahkan jauh lebih menderita ketimbang menyakiti diri sendiri.

Lui Ki-hong mengawasi mata putranya, ia dapat merasakan kepedihan serta penderitaannya. "Kau... mana boleh kau biarkan ia pergi seorang diri?"

"Aku telah menyuruh Touw Hong melindunginya diam- diam"

Touw Hong adalah sahabat karibnya, bahkan ia bisa menyerahkan nyawa miliknya yang paling berharga kepada sahabat semacam ini. Dan sekarang, ia telah serahkan kehidupannya kepadanya!

Dia percaya asal dirinya tidak mati, pasti ada saat untuk bertemu lagi dengan Jian-jian. Lui Ki-hong tarik napas panjang dan tidak berkata lagi, ia sudah memahami keputusan yang diambil putranya, ia tahu keputusan semacam ini tak mungkin bisa dirubah oleh siapapun.

Semua pegawai dan pelayan telah dikumpulkan di ruang tengah, setiap orang sudah memperoleh sejumlah uang untuk menghidupi keluarganya. "Kalian cepat tinggalkan tempatini! Malam ini juga tinggalkan tempat ini, tak seorangpun boleh tetap tinggal di sini"

Lui Ki-hong tidak menjelaskan apa sebabnya mereka harus pergi dari situ, tapi siapapun dapat merasakan, suatu perubahan serius telah menimpa keluarga Lui.

Selama ini keluarga Lui bersikap sangat baik terhadap mereka, maka ada beberapa orang yang setia tetap ingin tinggal di situ, ingin sehidup semati dengan keluarga Lui.

Sedangkan mereka yang tidak setia, agak rikuh juga untuk meninggalkan tempat itu kelewat cepat.

Nyonya Lui memandangi mereka dengan air mata berlinang. Lui Hujin yang selama ini berdandan rapi dan sopan, kini telah berganti dengan pakaian ketat, sebilah golok Yan-ling-to terhunus di tangannya.

Dengan wajah pucat pias, ia berkata sepatah demi sepatah, "Jika kalian masih tetap tinggal di sini, sekarang juga aku akan mati di hadapan kalian!"

Perkataannya diucapkan tegas dan keras, sama sekali tidakmemberi peluang untuk dirubah, juga tak seorang pun yang menaruh curiga.

Sambil menggertak gigi Lui Sin jatuhkan diri berlutut lalu, "Duk, duk, duk" ia pay-kui tiga kali kemudian putar badan, tanpa mengucapkan sepatah katapun melangkah pergi dengan langkah lebar. Cuma, ketika membalikkan badan, air matanya telah jatuh bercucuran

Dia adalah pembantu terbaik keluarga Lui, dan hanya dia seorang yang tahu bahwa apa yang telah dikatakan keluarga Lui pasti akan dilaksanakan. Karena itu dia tak bisa tidak harus pergi, pun tak berani tak pergi.

Suasana di luar pintu gelap gulita, malam yang kelam dan berat tak berbeda dengan perasaan berat mereka semua.

Semua orang berpaling dan memandang kearahnya... asal dia telah pergi berarti semua orang boleh pergi meninggalkan tempat itu.

Memandang pembantunya yang paling setia pelan-pelan berjalan menjauh, memasuki kegelapan, Lui hujin merasa hatinya amat pilu dan pedih.

Pada saat itulah, tiba tiba sekilas cahaya menyambar lewat, mendadak tubuh Lui Sin terbang kembali dari balik kegelapan. "Bluukk!" tubuhnya roboh terlentang di atas lantai.

Percikan darah menyebar ke empat penjuru, tatkala terjatuh ke lantai, tubuhnya sudah terpotong-potong jadi lima bagian.

Darah yang merah kental pelahan-lahan meleleh dan mengaliri ubin lantai berwarna hijau keabu-abuan, mengalir hingga ke dasar kaki seseorang.

Orang tersebut seperti terkena sambaran panah secara tiba-tiba, ia melompat bangun kemudian berlarian keluar sambil berteriak histeris.

Kembali cahaya tajam yang menyilaukan mata menyambar lewat, orang itu segera terpental balik ke dalam ruangan, roboh terjengkang di lantai dan tubuhnya kembali terpotong jadi lima bagian.

Darah yang berwarna merah dan segar, kembali mengalir di atas ubin lantai yang hijau.

Suasana dalam ruangan menjadi sunyi senyap, begitu hening hingga cuma terdengar suara darah yang mengalir di lantai, semacam suara yang begitu mengerikan, begitu menggidikkan hati dan membuat bulu roma pada berdiri.

Lui Ki-hong mengepal tinjunya kencang kencang, seakan- akan dia sudah siap menyerbu keluar dan bertarung mati- matian melawan iblis keji si pembunuh yang berada di balik kegelapan itu, tapi Siau Lui buru-buru menarik lengan ayahnya.

Genggaman tangannya masih begitu kokoh dan tenang, ujarnya pelan-pelan.

"Di mana Kiu-Yu-It-Wo-Hong (segerombol lebah dari neraka) muncul, seikat rumput pun tidak dibiarkan hidup, apalagi manusia!"

Tiba-tiba terdengar seseorang tertawa dari balik kegelapan, suara tertawanya lebih mirip suara tangisan kuntilanak. Kalau bukan setan dedemit yang datang dari neraka, mana mungkin akan kedengaran suara tertawa yang begitu memilukan dan mengerikan hati?

Di tengah suara gelak tertawa yang mengerikan, sesosok bayangan manusia muncul dari balik pintu, di atas bajunya yang berwarna kuning kecoklat-coklatan tampak sebuah pergelangan tangan kanan dengan sulaman bunga berwarna hitam terlilit selembar kain putih yang digantungkan di atas tengkuknya. Percikan darah menodai kain putih tersebut, sebatang lengan sudah terpapas kutung. Tak ada orang yang dapat melihat wajahnya.

Ia mengenakan topeng tembaga pada wajahnya, topeng itu tidak kelewat menakutkan, yang mengerikan justru sepasang mata yang tampak terpancar keluar dari balik topeng tersebut.

Sepasang mata yang penuh dengan sorotan benci, dendam dan keji. Pelan-pelan ia berjalan masuk, sorotan matanya tak pernah berkedip dari wajah Siau Lui.

Kini semua orang sudah lari masuk ke sudut ruangan, bergerombol jadi satu. Kini tinggal tiga orang dari keluarga Lui yang masih berdiri di tengah ruangan, begitu sendiri, begitu sepi hingga terkesan satu rombongan manusia yang ditinggalkan, diasingkan tanpa bala bantuan.

Manusia berbaju coklat itu sudah masuk melewati ruang lengah, berjalan ke hadapan Siau Lui, sorot matanya masih menatap wajahnya lekat-lekat. Sampai lama sekali, kemudian ia baru mengacungkan kurungan lengan tersebut sambil pelan-pelan bertanya. "Kau???"

Siau Lui mengangguk.

"Bagus!" orang berbaju coklat itu mengangguk pula pelan- pelan, "Kembalikan lenganku!"

Nada suaranya datar, hambar dan dingin, tapi kobaran api yang terpancar dari balik matanya justru seakan-akan semburan api yang datang dari neraka.

Siau Lui memperhatikan matanya sekejap, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa.

"Bagaimanapun, lengan ini toh sudah tak mampu dipakai untuk membunuh orang lagi, jika kau mau, ambillah!"

Begitu tangannya diayunkan, kurungan lengan tersebut sudah tiba di tangan orang berbaju coklat itu.

Dengan menggunakan tangan kirinya orang berbaju coklat itu menopang tangan kanannya, kemudian setelah diperhatikan sesaat mendadak ia gigit kurungan lengan miliknya itu.

Setiap orang dapat mendengar suara gemerutuk yang terpancar keluar dari katukan giginya yang sedang menggigit kurungan lengan itu.

Ada orang mulai muntah, muntah karena mual, ada pula yang sudah pingsan, bahkan Lui Hujin sendiripun tak tahan untuk menunduk sambilmengawasi golok di dalam genggamannya.

Golok Yan-Ling-to sebening air di musim gugur, namun ujung golok tersebut kelihatan mulai gemetar.

Hanya Siau Lui seorang masih memandang dengan begitu tenang, menyaksikan orang berbaju coklat itu menggertak putus kutungan lengannya, mengunyah kemudian menelannya bulat-bulat.

Sesaat kemudian ia baru mendongak, mengangkat kepalanya memandang Siau Lui tajam-tajam, lalu katanya sepatah demi sepatah kata.

"Sudah tak ada orang yang bisa membawa lari lengan itu lagi!"

"Yaa, memang sudah tak ada," Siau Lui mengangguk. "Bagus!" kembali orang berbaju coklat itu mengangguk.

Ternyata ia tak mengucapkan perkataan lain lagi, dan segera balik badan pelan pelan berjalan keluar. Ia berjalan sangat lamban, namun tak ada yang berusaha mencegah atau menghalanginya.

Walau ia berjalan sangat lamban, namun setiap langkahnya seolah-olah menginjak di atas ruas tulang setiap orang yang hadir di tempat itu.

Ada orang yang mulai roboh ke lantai, roboh persis di atas bekas tumpahannya tadi, ruas-ruas tulang mereka serasa lemas, serasa tak mampu untuk berdiri lagi.

Lui Ki-hong hanya mengawasi orang berbaju coklat itu pergi meninggalkan ruangan, diapun tidak bermaksud mencegah atau menghalanginya.

Penantian selama tigabelas tahun membuat ia sudah terbiasa belajar sabar. Kesabaran yang ditempa selama tigabelas tahun membuat ia tahu bagaimana harus menantikan saat seperti ini

Walaupun kini ia sudah melihat kemunculan si ular berbisa, namun belum menemukan titik kelemahan si ular berbisa itu, maka ia harus menunggu, wajib menanti.

Jika dia harus menyerang, serangan tersebut harus tepat mengenai titik kelemahan ular beracun tersebut, ia takboleh memberi peluang kepada si ular beracun untuk balik mematuknya.

Pada saat itulah mendadak terdengar... "Took, toook, toook, toook...!"

Berbareng dengan menggemanya suara itu, dari atas dinding tembok di seberang ruangan meluncur masuk empat utas tali panjang yang langsung menyambar ke tengah ruangan, golok lengkung di ujung tali langsung "Took!" menancap di atas tiang belandar di tengah ruangan.

Menyusul kemudian ada empat sosok manusia meluncur masuk melewati tali panjang itu, empat sosok mayat manusia.

Empat sosok mayat manusia yang sudah mati lama, mayat itu sudah kaku, kering dan mengeras tapi masih nampak utuh dan sempurna seperti diberi obat pengawet, rambut yang terurai di kepala mereka masih kelihatan hitam mengkilat.

Tak ada orang bisa melihat wajah mereka, untung tak ada orang bisa memandang wajah mereka. Betapapun menakutkannya empat sosok mayat, tak akan lebih menakutkan daripada wajah-wajah mereka. Sudah tigabelas tahun lamanya mereka mati.

Mati pada tigabelas tahun berselang, di suatu malam yang gelap gulita tanpa cahaya rembulan dan berangin kencang.

Lui Ki-hong mengenali mereka, walau ia tidak sempat melihat wajah-wajah mereka, tapi ia tetap dapat mengenali mereka semua.

Biarpun dandanan pakaian serta topeng yang dikenakan Kiu-Yu-It Wo-Hong kelihatannya serupa, namun sesungguhnya pada tiap topeng yang mereka kenakan tertera suatu pertanda atau lambang yang khas.

Dalam sekali pandangan saja Lui Ki-hong dapat mengenali ciri khas mereka semua. Karena pada tigabelas tahun berselang ia pernah mencopot topeng-topeng yang dikenakan keempat orang itu dan mengamatinya sampai lama sekali.

Keempat orang itu sudah mati di tangannya. Bahkan seorang di antara mereka adalah si ratu tawon dari gerombolan tawon dari neraka ini. Pada topeng yang dikenakan ratu tawon itu terukir sekuntum bunga tho kecil.

IV

Jin-bin-tho-hoa-hong, si Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia, penjahat nomor wahid dari dunia persilatan.

Lui Ki-hong telah melihat topeng bunga tho itu, sudah melihat bunga tho di atas topeng tersebut. Lambungnya mendadak mengerut kencang, nyaris isi perutnya menyembur keluar.

Banyak orang dalam dunia persilatan tahu dia telah membunuhnya, namun tak seorangpun yang tahu ia pernah membayar dengan begitu banyak penderitaan dan pengorbanan yang menyakitkan hati.

Hingga tigabelas tahun kemudian, setiap kali teringat akan kejadian pada malam itu, ia masih merasa begitu mual perutnya dan ingin muntah

Malam itu mereka berangkat bersebelas, bersama-sama meluruk sarang lebah itu.

Dari sebelas orang jago lihay dunia persilatan, hanya dia seorang yang masih tetap hidup hingga kini.

Begitu sengit dan dramatisnya pertempuran itu membuat ia tak pernah berani membayangkannya kembali kendati kejadian tersebut sudah lewat banyak tahun.

Untung saja si Ratu Lebah Berwajah Bunga Tho yang berada di hadapannya sekarang, tak lebih hanya sesosok mayat saja.

Betapapun sempurnanya mengawetkan sesosok mayat, ia tak akan mampu membunuh orang lagi.

Lui Ki-hong menepuk pundak putranya dengan perasaan amat bersyukur, karena nasib si anak muda itu ternyata jauh lebih baik ketimbang dirinya, beruntung tidak bertemu dengannya ketika ia masih dalam keadaan hidup.

Pada jaman Ratu Lebah Berwajah Bunga Tho masih hidup, semua pemuda yang pernah berjumpa dengannya harus mati! Bahkan harus mati dalam cara yang paling istimewa.

Asal kau telah mendengar suara tertawanya, sudah lebih dari cukup untuk menjerumuskan dirimu ke dalam neraka jahanam, dan tak pernah bisa ditiriskan kembali.

Tentu saja orang yang sudah mati tak sanggup tertawa.

Lui Ki-hong menghembuskan napas lega, tapi kemudian aliran darah dalam sekujur tubuhnya mendadak berubah jadi dingin dan membeku.

Tiba-tiba saja ia mendengar ada orang sedang tertawa, begitu merdu dan manja suara tertawa itu, bagaikan bunga di musin semi, lebah yang berterbangan di antara bebungahan. Jin-bin-tho-hoa-hong telah tertawa. Tak seorang pun dapat melukiskan suara tertawa itu. Jelas tertawa itu bukan berasal dari sesosok mayat yang sudah mati lama, lebih-lebih tak mungkin suara tertawa itu datang dari dasar neraka jahanam... Seandainya hanya berada di dasar neraka baru bisa mendengar suara tertawa semerdu, semanja itu, pasti ada banyak orang yang rela datang ke neraka untuk mencarinya.

"Siapa kau?" bentak Lui Ki-hong.

"Kau sudah tidak mengenali aku?" suara tertawa itu makin manis dan merdu, "Tapi aku tak akan melupakan kau, tak akan melupakan kejadian di tengah hutan pada tigabelas tahun berselang"

"Kau bukan dia, kau tak akan bisa menipu diriku. Dia sudah mampus tigabelas tahun berselang"

"Benar, tigabelas tahun berselang aku sudah mati, karena itulah sekarang aku ingin kau mengembalikan nyawaku..."

Suara tertawanya bagaikan suara seorang dewi, seorang malaikat, sedang suara dari ke tiga sosok mayat lainnya menyerupai tangisan setan penasaran dari dasar neraka.

"Kembalikan nyawaku, kembalikan nyawaku..."

Angin malam berhembus lewat. Mayat-mayat kaku itu mulai bergoyang di tengah hembusan angin.

Mendadak Siau Lui melangkah maju ke depan, menghadang persis di depan tubuh ayahnya.

"Maaf!" suaranya masih begitu tenang dan mantap, "Tangan boleh dikembalikan, tapi sayang nyawa tak bisa dikembalikan."

Jin-bin-tho-hoa-hong tertawa makin merdu, makin manis, sepatah demi sepatah ujarnya.

"Kalau begitu gunakan sembilanpuluh-tujuh lembar nyawa yang berada dalam keluargamu untuk mengganti nyawa kami!"

"Nyawa boleh saja dikembalikan kepadamu, cuma..." suara Lui Hujin sangat dingin, sorot matanya pun setajam ujung goloknya.

"Cuma kenapa?? “ "Aku masih ingin mengajukan satu pertanyaan lagi." "Tanyakan!"

"Sebenarnya apa yang sedang kalian lakukan di dalam hutan pada malam tigabelas tahun berselang?"

"Tentu saja perbuatan yang tak boleh diketahui orang lain," jawab Jin-bin-tho-hoa-hong sambil tertawa, "Sebagai seorang istri yang pandai, seharusnya berpura-puralah bodoh sekalipun sudah tahu dengan jelas, buat apa kau banyak bertanya lagi?"

Tiba-tiba Lui Hujin membalikkan badannya, menghadap ke arah suaminya, dengan wajah pucat pias bagaikan mayat ia berkata.

"Ternyata kau... selama ini kau membohongi aku, selalu menutupi kejadian ini, rupanya kau sama sekali tidak menghabisi nyawanya!"

"Kau lebih percaya kepadanya atau aku?" merah jengah wajah Lui Ki-hong.

"Aku hanya ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya!" "Kita sudah tigapuluhan tahun hidup bersama sebagai

suami-istri, masa hingga sekarang kau masih sok cemburu?" teriak Lui Ki-hong sambil menghentakkan kakinya saking jengkelnya.

"Biarpun sudah puluhan tahun jadi suami-istri toh masih bisa cemburu," jawaban Lui hujin dingin dengan wajah kaku.

"Sekalipun kau ingin menunjukkan cemburumu, tidak seharusnya kau tunjukkan di saat seperti ini"

"Aku tak ambil perduli saat apakah sekarang ini, jika kau enggan berterus terang, aku akan adu jiwa dulu denganmu!" teriak Lui hujin makin sengit.

Kalau wanita sudah cemburu, urusan apapun memang tak digubris lagi, betapa luasnya pengetahuan dan pengalaman seorang wanita, jika mulai dilanda rasa cemburu, ia bisa berubah jadi berangasan dan tak pakai aturan.

Lui Ki-hong menghembuskan napas panjang, setelah tertawa getir ujarnya.

"Baik, baik, kuberitahu kepadamu, pada malam itu..." Ketika berbicara sampai di situ, mendadak ia mengedipkan matanya kepada sang istri memberi kode. Suami-istri yang sudah hidup dan berjuang bersama puluhan tahun lamanya ini tiba-tiba turun tangan melancarkan serangan secara serentak.

Dua bilah golok yang tajam langsung menusuk ke tubuh Jin-bin-tho-hoa-hong itu.

Golok Yan-ling-to sebenarnya termasuk sejenis golok yang amat ringan, tapi berada dalam genggaman suami-istri dari keluarga Lui ini, kedahsyatannya ternyata luar biasa.

Ilmu golok Peng-hii-to-hoat (ilmu golok kilatan halilintar) yang dimiliki Lui Ki-hong sudah diwariskan turun-temurun, bukan saja cepat dalam gerakan, penuh dengan perubahan bahkan kedahsyatannya luar biasa.

Bagaikan kilatan bianglala yang saling menggunting, dua bilah golok itu menyambar kian-kemari. Perasaan mereka berdua yang telah menyatu membuat kerja sama ilmu golok yang mereka gunakan begitu rapat dan sempurna.

Tubuh Jin-bin-tho-hoa-hong bergelantungan di atas tali panjang, nampaknya sulit baginya untuk menghindari serangan golokitu, tapi pada saat yang bersamaan, tali tersebut kelihatan bergetar kencang menyusul kemudian empat sosok tubuh yang bergelantungan di atas tali panjang tadi sudah melesat mundur dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

Dalam waktu singkat, empat orang itu sudah lenyap di balik pintu dan tertelan dalam kegelapan malam.

"Kejar!" bentak Lui Hujin nyaring.

"Jangan, jangan dikejar!" sahut Lui Ki-hong dan putranya hampir berbarengan.

'Tak usah dikejar!"

Bayangan lilin bergoncang terhembus angin, dalam kilatan cahaya keempat sosok mayat yang bergelantungan di atas tali panjang tadi mendadak sudah meluncur masuk lagi ke dalam ruangan bagaikan kilatan bintang. Tubuh mereka masih tetap bergelantungan seperti orang bermain ayunan, tapi kecepatannya bergerak kian-kemari tak beda dengan kelebatan bayangan setan.

Sambil tertawa dingin Lui Hujin mengayunkan goloknya, babatan ini lebih kencang dan cepat, di antara kilauan cahaya golok bagaikan bianglala di angkasa, ia songsong tubuh Jin- bin-tho-hoa-hong itu dengan sebuah bacokan ganas.

Kali ini Jin-bin-tho-hoa-hong tidak mundur.

"Bluuk!" mata golokmembelah persis di atas tubuhnya seperti membacok seikat rumput kering, tubuh si lebah tersebut terbelah jadi dua dan roboh ke tanah.

Gumpalan asap berwarna merah segera menyembur keluar dari belahan tubuh itu, tatkala Lui Hujin sadar kalau dirinya terjebak, keadaan sudah terlambat, tubuhnya langsung roboh terjengkang ke belakang.

Jin-bin-tho-hoa-hong ini selain bukan manusia hidup, juga bukan orang mati. Ketika tubuhnya meluncur mundur dari ayunan tali panjang tadi, ternyata ia sudah bertukar diri di balik kegelapan

Waktu itu, mata golok Lui Ki-hong hampir saja membabat di atas sesosok mayat yang berada di hadapannya.

Menyaksikan perubahan yang tak terduga itu, dengan paksa ia menarik kembali ayunan goloknya.

Tak disangka kali ini bukan saja orang itu tidak mati, pun bukan orang palsu untuk menjebak Ketika Lui Ki-hong menarik paksa ayunan goloknya, tahu-tahu pergelangan tangannya sudah dicengkeram orang itu kencang-kencang, separuh badannya kontan menjadi kesemutan dan kaku.

Siau Lui melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, tapi dalam waktu bersamaan dua sosok mayat lain yang masih bergelantung di atas tali panjang itu sudah berayun mendekat, empat buah kaki melancarkan serangkaian tendangan berantai ke tubuhnya.

Dengan tubuh berputar setengah lingkaran, ia berkelit dari tendangan berantai sepasang kaki itu, kemudian sambil membalik telapak tangannya ia babat pergelangan kaki dua kaki yang lain.

"Bluuk!" sebuah pergelangan kaki terbabat hingga hancur berantakan, tapi lagi-lagi segumpal asap merah menyembur keluar dari balik serpihan kaki yang hancur itu.

Ternyata kedua orang itu satu asli satu palsu, kaki si orang palsu yang dipakai untuk menendang tadi dilancarkan dengan meminjam kekuatan ayunan kaki orang yang asli.

Siau Lui berjumpalitan, bersalto beberapa kali di udara, lalu melejit mundur sejauh tiga kaki dari posisi semula.

Walaupun ia berhasil menghindarkan diri dari semburan asap beracun itu, tapi sayang ayahnya sudah jatuh ke dalam cengkeraman lawan.

Gelak tawa menggema di udara bagaikan tangisan setan penasaran, wajah Lui Ki-hong pucat pias bagaikan mayat, goloknya sudah terlepas dari genggamannya dankini terjatuh ke tanah, dengan pandangan tak berkedip ia pandang lambang mata setan yang terukir di atas topeng tembaga itu.

Lebah Bermata Setan tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya menyeramkan, "Kembalikan nyawaku!"

Tubuhnya menyusut ke muka, nampaknya dia ingin menyambar Lui Ki-hong dan berusaha membawanya pergi dari situ, siapa tahu pada detik terakhir itulah mendadak tiga orang pelayan berbaju hijau yang semula sudah roboh tergeletak di tanah itu melompat bangun sambil mengayunkan tangannya bersamaan waktu, puluhan titik cahaya bintang yang berhawa amat dingin segera memancar ke muka bagaikan hujan gerimis.

Tubuh si Lebah Bermata Setan seketika terhajar puluhan senjata rahasia itu hingga berubah bagaikan landak, untuk menjerit kesakitan pun tak sempat diutarakan.

Lui Ki-hong membalik pergelangan tangannya, secepat kilat ia sambar golok yang pada saat bersamaan telah dilempar Siau Lui ke arahnya.

Percikan darah segar menyembur ke empat penjuru ruangan, dua batang kaki yang berlumuran darah jatuh rontok dari tengah udara, dua batang kaki yang berdaging dan penuh berpelepotan darah segar.

Orang yang kehilangan kedua kakinya itu menjerit kesakitan, cepat-cepat tubuhnya berayun pada tali dan melompat mundur ke belakang, semburan darah segar ikut menyembur keluar membasahi lantai, persis seperti kuntum kuntum-bunga sakura yang rontok dari rantingnya dan berguguran ke tanah.

Waktu itu Siau Lui sudah melompat ke depan, berjongkok di samping ibunya. Paras muka Lui Hujin telah berubah pucat pias bagaikan mayat.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Lui Ki-hong dengan nada berat

Siau Lui menggertak giginya kencang kencang, otot-otot di wajahnya menonjol keluar semua menahan emosi, ia marah dan sangat mendendam.

Sementara itu ketiga orang pelayan berbaju hijau itu sudah melompat bangun dan berdiri berjajar menghadang di muka majikannya berdua, mereka bertiga telah menyingkap pakaian luarnya hingga kelihatan kantung-kantung kulit yang terikat rapi di pinggang mereka.

Tangan mereka bertiga siap merogoh ke dalam kantung- kantung kulit itu, jari jemari yang kurus dan panjang nampak runcing penuh tenaga, kuku mereka terpapas pendek.

Sebagian besar tangan jago-jago kenamaan dalam penggunaan senjata am-gi, semuanya terawat bersih dan rapi.

"Boan-Thian-Hoa-Yu (hujan bunga memenuhi angkasa)..." seru orang dari balik kegelapan sambil tertawa melengking, suara tertawa yang amat memikat hati, "Tiga bersaudara keluarga Peng, sejak kapan kalian jadi begundal orang lain? Betul-betul sebuah kejadian yang tak disangka..."

Paras muka tiga bersaudara dari keluarga Peng tetap dingin kaku, sama sekali tidak menunjukkan perubahan mimik apapun.

Syarat utama untuk bisa melepaskan am-gi secara tepat adalah harus memiliki sepasang tangan yang sangat tenang dan kokoh, untuk bisa memperoleh tangan yang tenang dan kokoh harus dilatih syaraf dan semangat yang keras bagaikan baja.

"Lui Ki-hong, kau memang si rase tua!" suara tertawa Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia tergetar tiada hentinya, "Tak disangka kau dapat membeli tiga bersaudara dari keluarga Peng secara rahasia dan menyembunyikan mereka di dalam rumah. Aku kagum kepadamu!" 

Suara tertawa perempuan itu meski merdu, sayang Lui Ki- hong tidak mendengarnya. Baginya tak ada suara lain yang lebih penting daripada dengus napas istrinya saat itu. Napas Lui hujin sudah amat lirih amat lemah.

Siau Lui angkat wajahnya, memandang ke arah ayahnya. Waktu itu Lui Ki-hong telah berlutut, berlutut di sisi istrinya,

sambil membungkuk ia berbisik.

"Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia sudah mampus tigabelas tahun berselang, yang datang kali ini pasti gadungan!"

Paras muka Lui Hujin sudah kaku, sekaku batu, namun sorot matanya masih lembut, halus bagaikan aliran air.

Ia memandang ke arahnya, dia bukan cuma suaminya, juga merupakan sahabat sehidup-sematinya. Ia selalu memper- cayainya, seperti dia percaya pada diri sendiri. Kini dia tahu, sebentar lagi dia akan pergi meninggalkannya, namun tak terpancar rasa takut sedikitpun dari sorot matanya.

Juga tak terpancar rasa sedih, apalagi rasa takut atau ngeri. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan.

Bagi seorang wanita, selama ia sudah mendapat seorang suami yang sepanjang hidup selalu setia kepadanya, apalah arti dari sebuah kematian???

Lui Ki-hong mengganggam tangannya dengan lembut, tapi sinar mata istrinya sudah dialihkan ke wajah putranya.

Tiba tiba muncul setitik suara dari balik tenggorokannya... sejenis kekuatan luar biasa yang mendorong dia dapat mengeluarkan suara tersebut. Itulah kekuatan kasih-sayang seorang ibu terhadap anaknya.

Dengan suara lirih Lui Hujin berbisik.

"Kau tak boleh mati... Kau harus temukan Jian-jian, dia sangat baik... dia pasti bisa melahirkan seorang cucu yang gagah untukku."

"Aku pasti dapat menemukannya" Siau Lui merebahkan kepalanya di atas dada ibunya yang lemah, "Aku pasti dapat membawa putra kami datang ke sini, menjumpai dirimu."

Di tengah sorotan mata Lui Hujin yang lembut, tersungging secercah senyuman, dia seolah-olah ingin mengangkat tangannya, menggerakkan lengannya untuk memeluk putra tercintanya. Sayang ia tidak sempat menggerakkan lengannya, sepanjang masa tak pernah dapat dilakukannya lagi.

Dada ibunya sudah lama menjadi dingin. Siau Lui masih berlutut di sana, berlutut tanpa bergerak sedikitpun. Tatkala dada ibunya mulai mendingin, perasaan hati putranya juga ikut mendingin.

Titik air mata nampak bercucuran membasahi kelopak mata tiga bersaudara dari keluarga Peng, namun tak seorangpun yang berpaling. Mereka tidak bisa berpaling.

Kembali ada empat orang berjalan masuk dari atas tali panjang, berjalan masuk dengan langkah sangat lambat. Siapapun tak tahu keempat orang yang baru muncul itu manusia sungguhan? Gadungan? Mayat hidup? Atau manusia hidup?

Tiga bersaudara dari keluarga Peng memiliki senjata am-gi yang sangat beracun, tapi sayang mereka tak bisa memakainya untuk menyerang. Asap racun yang menyelimuti ruangan itu sudah kelewat jenuh, kelewat pekat.

Mendadak Siau Lui menyambar golok milik ibunya, berjumpalitan di udara dan melesat sejauh empat kaki lebih, di antara kilatan cahaya golok, empat utas tali terbang itu terpapas putus semua Empat sosok manusia itu jatuh hampir bersamaan... "Blukk.." Semuanya terkapar di atas tanah tanpa bergerak sedikitpun, rupanya empat sosok manusia gadungan.

Seandainya tiga bersaudara dari keluarga Peng melepaskan am-gi mereka tadi, niscaya asap beracun yang menyelimuti ruangan itu akan semakin menyesakkan napas.

Biarpun serbuk bunga dari segerombolan lebah itu sangat harum, namun pantang tercium baunya... Biarpun serbuk bunga dari sang lebah sangat beracun, yang paling beracun justru sengatannya.

Setelah terjerembab ke tanah, keempat sosok manusia itu tidak pernah bergerak lagi... mendadak cahaya lampu yang menerangi ruangan dalam rumah itu padam, suasana jadi gelap gulita.

Menyusul kemudian terdengar jeritan lengking yang menyayat hati bergema dari balik kegelapan. Jeritan ngeri dari begitu banyak orang yang belum pernah terdengar sebelum- nya, jeritan tersebut sudah tak mirip suara dari manusia tapi lolongan menyeramkan dari sekawanan binatang.

Lolongan ngeri sekawanan binatang yang sedang sekarat, semacam irama suara yang membikin perut jadi mual, jeritan yang membuat otot pada kaku, susul-menyusul tiada hentinya.

Mungkin, hanya ada satu suasana yang lebih menakutkan daripada suara tersebut... ketika semua suara mendadak berhenti berbunyi... Ketika suasana tiba-tiba tercekam dalam keheningan yang amat menyeramkan.

Bagaikan suara irama musik yang tiba-tiba terhenti karena senarnya terbabat putus oleh bacokan golok, suara pisau yang sedang membabat di atas daging manusia, suara tulang yang sedang retak dan hancur... Suara tenggorokan yang mendadak tercekik dan dipatahkan.

Namun seluruh suara tersebut tak pernah terdengar, karena semua suara itu tak pernah bisa didengar secara jelas, karena seluruh suara itu tenggelam oleh jeritan ngeri yang menyayat hati. Ketika jeritan ngeri itu terhenti, seluruh suara yang ada dalam ruangan pun ikut terhenti. Tak seorang pun yang tahu kenapa semua suara yang begitu menakutkan itu bisa berhenti secara tiba-tiba.

Juga tak seorang pun yang tahu mengapa ruangan di tempat itu bisa berubah begitu gelap gulita, begitu senyap. Kenapa sampai suara napas manusia pun tak kedengaran?

Entah berapa lama sudah lewat... Setitik cahaya lampu mendadak berkilat dari balik kegelapan

Cahaya lampu yang berwarnah hijau pucat pelan-pelan melayang masuk dari luar pintu, seorang manusia bertubuh langsing yang memegang lentera tersebut.

Ketika cahaya lentera baru saja menyinari pemandangan dalam ruangan itu, lentera yang berada di tangannya mendadak terjatuh ke lantai, terbakar di atas tanah, orang yang membawa lentera itu mulai muntah-muntah.

Tak ada orang yang bisa menahan rasa mual bila menyak- sikan pemandangan di tempat itu. Tak nampak seorang manusia hidup pun di dalam gedung.

V

Cahaya api yang sedang berkobar, memancar di atas wajah tiga bersaudara dari keluarga Peng, air muka mereka menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan mereka tak percaya bahwa dirinya bakal tewas di ujung senjata rahasia orang lain.

Senjata rahasia itu berupa jarum beracun dari seekor lebah, lebah yang datang dari neraka dan kini sudah balik kembali ke dalam neraka.

Ketika tubuh Lui Ki-hong roboh ke tanah, tangannya masih menggenggam golok Yan-ling-to miliknya, meski mata goloknya telah gumpil. Ia roboh persis di samping jenasah istrinya, seakan-akan hingga detik terakhir hidupnya ia enggan meninggalkan sisi istrinya walau setengah langkah pun.

Siau Lui sendiripun roboh di tengah genangan darah, ceceran darah berwarna hitam, jelas darah yang mengandung racun.

Empak sosok manusia yang meluncur turun dari atas tali terakhir tadi, kini tidak berada di posisi semula.

Mereka bukan manusia gadungan, tapi sekarang telah berubah menjadi orang mati. Masih berapa banyak orang yang mati disitu?

Pada saat itulah terbesit setitik cahaya api di luar jendela, api itu mulai membakar daun jendela, membakar bangunan loteng dan gedung tersebut.

Tak ada yang tega saling memandang, karena memang tak mungkin saling memandang lagi... lentera yang tadi terbakar kini apinya telah padam,

"Tak sejengkal rumputpun yang tersisa!" Hanya kobaran api yang tak berperasaan dapat mengubah tempat tersebut menjadi tak tersisa walau hanya sejengkal rumputpun.

Entah berapa lama kembali berlalu, dari balik kilauan cahaya api kembali muncul sesosok bayangan manusia.

Sesosok bayangan tubuh yang langsing dan indah, wajahnya i nengenakan sebuah topeng, sebuah topeng dengan sekuntum bunga tho... bunga tho yang nampak merah menyala karena terpantul cahaya api.

la berdiri tenang di depan pintu, mengawasi tumpukan mayat yang berserakan di hadapannya dengan tatapan dingin, walau seluruh lantai berubah jadi lautan darah, ia tak sedikitpun muntah, ia bahkan tidak merasa mual.

Mungkinkah ia bukan manusia? Mungkinkah ia benar-benar setan iblis yang hidup kembali dari dalam neraka? Lambat laun tempat tersebut berubah semakin panas, sepanas api jahanam dari dalam neraka. Kejam dan menyeramkan seseram suasana neraka, dan ternyata ia berjalan memasuki neraka itu. Perlahan-lahan ia berjalan masuk ke dalam ruangan, sepatu yang dikenakan telah basah berpelepotan darah, golok dalam genggamannya masih memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.

Sorot matanya berputar kesana-kemari seakan-akan sedang mencari sesuatu. Akhirnya pandangan matanya terhenti di atas batok kepala Lui Ki-hong. Itulah batok kepala dari musuh besarnya, dia harus membawa pulang batok kepala itu, untuk bersembahyang bagi arwah ibunya.

Dendam kesumat! Ketika rasa dendam mulai membakar dalam lubuk hati seseorang, kobaran apinya akan lebih dahsyat ketimbang kobaran api yang membakar gunung, lebih menakutkan, lebih menyeramkan.

Kalau Thian telah menganugerahkan rasa cinta dalam alam jagat ini, kenapa harus menebarkan pula bibit dendam kesumat disitu?

Selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati Lui Ki- hong, tak ada lagi manusia di dunia ini yang bisa menghalanginya. Tapi mungkin masih ada seseorang...

Yaaa, hanya satu orang yang bisa menghalanginya! Mendadak muncul seseorang dari balik genangan darah, menghadang persis di hadapannya, menghalangi jalan perginya.

Tampaknya orang itu mengenakan pula sebuah topeng di wajahnya, bukan topeng yang terbuat dari tembaga, tapi topeng yang penuh berlumuran darah.

Darah segar bukan saja menyelimuti seluruh wajahnya, juga mengelamkan air mukanya, menutupi semua perasaannya, pikirannya.

Dia bagaikan sesosok mayat, mayat hidup yang berdiri kaku di situ sambil mengawasi dirinya, meski tak dapat melihat wajah asli perempuan itu, paling tidak ia masih dapat melihat dengan jelas ukiran bunga tho yang terpampang di atas topeng wajahnya. Lama sekali ia berdiri di situ mengawasi lawannya, kemudian sambil tertawa seram yang menggidikkan bulu roma, katanya.

"Rupanya kau belum mampus?"

Yaa, dia memang belum mati, karena ia tak boleh mati. "Kedua orang-tuamu sudah pada mampus, apa artinya kau

tetap hidup seorang diri? Lebih baik pergilah mampus!"

Ia cukup tahu siapakah dia, tapi tidak cukup tahu manusia macam apakah dirinya. Hanya sedikit orang yang tahu manusia macam apakah dirinya, amat sedikit manusia yang benar-benar bisa memahami dirinya.

Darah segar masih meleleh keluar membasahi wajahnya, di atas wajahnya sudah tak ada air mata, yang ada tinggal darah, cucuran darah segar.

Dalam tubuhnya juga tak punya darah lagi, karena semua darah miliknya sudah mengalir keluar, yang ada dalam nadinya sekarang tinggal aliran kekuatan yang besar, mungkin saja semacam kekuatan yang terbawa dari dalam neraka, kekuatan yang muncul dari kekuatan rasa dendamnya.

Kobaran api semakin membara, seluruh belandar dalam gedung itu sudah terbakar, terjilat kobaran api yang makin membara.

Akhirnya perempuan itu menghela napas panjang, ujarnya pelan.

"Kalau kau tak ingin mampus, pergilah! Toh yang kucari sebenarnya bukan dirimu. ..”

Yang dicari perempuan ini memang bukan dia, tapi sebelum ucapannya selesai diutarakan, ia sudah turun tangan, sabatan golok di genggamannya tak beda dengan sengatan beracun seekor lebah.

Siau Lui tidak menghindar, juga tidak bergerak, ia biarkan mata golok yang tajam menembusi tulang iganya, ketika mata golok sudah terjepit di dalam tulangnya itulah tiba-tiba ia balas melancarkan serangan.

"Krakkk !" Bersamaan dengan patahnya tulang iga yang ditembusi mata golok pergelangan tangan perempuan itu ikut terhajar patah.

Gerakannya bukan gerakan dari ilmu silat, di dunia ini tak ada ilmu silat semacam ini.

Tindakan yang dilakukan olehnya saat itu tak ubahnya dengan pertarungan seekor hewan liar, bahkan lebih menakutkan dan lebih kejam daripada pertarungan hewan liar. Sebab pertarungan seekor hewan masih dilandasi untuk mempertahankan hidup, tapi baginya, ia sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri, tak memikirkan kehidupan sendiri. Memang, kadangkala sifat manusia memang jauh  lebih kejam daripada sifat seekor hewan.

Hingga saat itulah sorot mata ngeri dan takut mulai terpancar keluar dari sorot mata perempuan itu, tiba-tiba teriaknya keras.

"Kau ingin membunuhku?"

"Betul!" jawaban Siau Lui amat singkat, sesingkat mata golok yang meluntakkan tulang iganya.

"Kenapa? Ingin balaskan dendam ayah-ibumu? Kau boleh membalaskan sakit hati orang-tuamu, kenapa aku tak boleh? Bila kau anggap tindakanku keliru, kaupun telah melakukan langkah yang salah!" Nada suaranya tinggi tajam seperti sayatan sebilah mata golok

Makin kencang jari-jemari Siau Lui mencengkeram tulang pergelangan tangannya yang telah hancur, seluruh tubuh perempuan itu mulai gemetar, wajahnya mulai menampilkan perasaan kesakitan dan ngeri yang amat mendalam.

Tapi ia masih dapat mempertahankan diri, sudah lama dia terbiasa menahan rasa penderitaan dan rasa ngeri yang dalam, katanya: "Lagipula aku toh tidak membunuh siapapun, tanganku belum pernah ternoda oleh darah siapapun, sebaliknya ibuku justru mati di tangan ayahmu, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana mata goloknya menggorok leher ibuku, memenggal kepala ibuku..."

"Kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?" Perempuan itu mengangguk, dengan sorot mata penuh kebencian dan rasa dendam yang dalam lanjutnya.

"Kau ingin melihat wajahku?" Tiba tiba ia lepaskan topeng yang menutupi wajahnya, memperlihat raut muka aslinya.

Tak dipungkiri sebenarnya dia memiliki sebuah wajah yang amat cantik, kecantikan wajahnya cukup membuat setiap lelaki berlutut di hadapannya, membuat setiap lelaki kehilangan sukma dan tergila-gila kepadanya.

Tapi sekarang, sebuah bekas bacokan golok yang sangat dalam dan mengerikan membekas di wajah ayunya, menggurat dari ujung matanya hingga ke ujung bibirnya.

Seperti sebuah lukisan wanita cantik yang ternoda oleh tinda hitam...

Semua orang pasti akan merasa sayang bila melihat raut muka seperti ini, guratan golok tersebut bukan hanya menghancurkan paras mukanya yang cantik, meluluhlantakkan juga kehidupannya.

Sambil menunjuk bekas bacokan golok di wajahnya dan tertawa dingin, kembali ia berkata.

"Tahukah kau perbuatan biadab siapakah hasil karya ini? Dia tak lain adalah ayahmu... Padahal aku masih berusia lima tahun kala itu... Siapa yang mengira seorang pendekar besar golok sakti ternyata begitu tega menghancurkan kehidupan seorang gadis yang masih berumur lima tahun???"

Siau Lui tertegun memandang wajahnya, genggaman tangannya yang semula kencang mulai mengendor, tiba tiba saja ia pingin muntah, perutnya mulai terasa mual.

"Sekarang, apakah kau masih ingin membunuhku? Masih ingin balaskan dendam bagi ayah-ibumu?" sepatah demi sepatah kata ia bertanya.

Tiba tiba Siau Lui melengos, dia tak tega lagi memandangi wajahnya. Seluruh semangat dan kekuatan rubuhnya mendadak jadi runtuh.

"Aku sengaja mengatakan semuanya ini tak lebih hanya ingin beritahu kepadamu bahwa Lui Ki-hong bukan seorang malaikat," kembali ia bicara dengan suara dingin, sedingin es dari kutub, "la tidak sesuci dan sehebat apa yang kau bayangkan, dia ingin membunuh ibuku karena tak lain ingin..."

"Enyah kau dari sini, cepat enyah dari sini!" teriak Siau Lui tiba tiba, "Mulai detik ini aku tak ingin bertemu dirimu lagi!"

Kembali ia tertawa, bekas luka golok yang membekas di ujung bibirnya membuat suara tertawanya seakan akan mengandung sindiran yang tak terlukis dengan kata-kata, ujarnya.

"Kalau toh kau tak berani mendengar lagi, baiklah, aku tak usah lanjutkan perkataanku, sebab jika kuteruskan, perutku pun mulai ikut mual, pingin muntah!"

Perlahan-lahan ia membalikkan tubuhnya, perlahan-lahan pergi meninggalkan tempat itu, ia tak berpaling lagi walau sekejap pun. Siau Lui juga tidak memandang ke arahnya, apalagi menghalangi Kepergiannya.

Dia cuma berdiri termangu di situ seperti orang yang kehilangan sukma, seluruh pikiran dan peredaran darahnya seolah-olah jadi kosong dan hampa.

Api masih berkobar dengan hebatnya, semua tiang belandar lelah terbakar patah, arang dan abu mulai berguguran ke atas tanah, mengotori sekujur badannya.

Ia tidak berkelit juga tidak berusaha untuk menghindar, maka tubuhnya ikut roboh keatas tanah.

Betapa hebatnya kobaran api yang membakar tempat itu, pada akhirnya padam juga. Sebuah perkampungan yang semula begitu kokoh dan angker kini sudah rata dengan tanah.

Seluruh kehidupan, jenasah, tulang-belulang, ceceran darah segar, kini sudah tersapu bersih oleh kobaran api. Tapi hanya satu yang tak mungkin patah walau dibacok, tak habis terbakar walau dijilat kobaran api yang begitu dahsyat. Itulah perasaan manusia.

Hutang budi, dendam kesumat, cinta,benci... Selama manusia masih hidup di dunia ini, semua perasaan itu tetap akan hidup. Rasa marah, rasa sedih, keberanian... semuanya muncul hanya dikarenakan perasaan tersebut.

Kini, walau kobaran api sudah padam, namun cerita mengenai mereka justru baru saja dimulai.

VI

Matahari bersinar terik.

Bunga tho berwarna merah yang tumbuh di bawah terik matahari kelihatan begitu merah bagaikan kobaran api.

Bunga Tho masih tetap berkembang seperti sedia kala, tapi di manakah orang di bawah bunga itu?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar