Wanita iblis Jilid 47 (Tamat)

Jilid 47

YANG bicara itu adalah Tay siansu paderi sakti dari siau lim si. Me mang sela ma beratus ratus tahun ini, dunia persilatan me mang sering dilanda kekacauan dan pergolakan. Tetapi berkat, keteguhan dan kesetiaan seluruh anak murid siau lim si, gereja siau-lim tetap berdiri tegak, sehingga siau-lim si dianggap sebagai bintang Pak tou dunia persilatan. Walaupun tiap kali gereja itu mendapat serangan musuh, tetapi selalu hanya menderita kerugian sedikit. Tetapi kali ini me ma ng luar biasa sekali keadaannya. siau lim si menjadi pelopor penyerangan tetapi yang paling besar menderita kerusakan. suatu peristiwa yang belum terjadi sejak berdirinya partai itu sampai sekarang.

Masih paderi tua jubah putih itu hendak me nolak, tetapi sekalian orang gagah serempak berseru, “Keadaan kita sekarang ini, hanya engkau Ka In taysu yang paling tinggi kedudukannya. Jika engkau meno lak, berarti mengecewakan sekalian kita se mua!” Ka In sipaderi tua jubah putih itu menghela  napas perlahan, “Tay Hong siansu dan sin Ciong totiang bukanlah tokoh-tokoh se mbarangan. Aku tak ne mpil dengan mereka, baik dalam ilmu aga ma maupun ilmu kesaktian. Ku kuatir, aku tak ma mpu me mimpin saudara saudara melalui barisan Jembatan Prenyak ini dengan sela mat.”

“Bahaya kali ini, belum pernah terjadi dalam dunia persilatan. Rupanya sudah suratan takdir. Harap taysu jangan meno lak lagi Ka mi se mua bersedia mati de mi untuk cita-cita bersama!” seru Tay To siansu dari siau- lim si.

“Kalau begitu, terpaksa aku hanya menurut kehendak saudara saudara sekalian,” akhirnya Ka In taysu menga lah.

Tetapi serentak dengan pertanyaan paderi jubah putih itu terdengarlah suara tertawa panjang nyaring. Nadanya bagai naga mer ingkik di-angkasa.

Sekalian orang terkejut dan berpaling. Tiga sosok bayangan berlarian datang laksana kuda liar mencongklang pesat. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah tiba dihadapan sekalian orang gagah.

Ternyata salah seorang dari ketiga pendatang berada ditengah. seorang pemuda mengena kan pakaian hita m. Wajah berseri cakap, sikapnya gagah perkasa. Panggungnya menyanggul pedang dan tangannya me megang sebuah BoK- Liong yang ditutup dengan kain hitam. sedang disisi kanan kirinya, diapit oleh dua orang tua yang berjenggot putih dan msngura i ra mbut sa mpa i kebahu.

Sekalipun belum pernah bertemu tetapi sekalian orang gagah itu pernah mendengar tentang kedua tokoh aneh itu yang termahsyur yakni Lam koay dan Pak- koay.

Tetapi rombo ngan tokoh-tokoh persilatan itu tak kenal siapakah pe mnda gagah itu. Heran mereka dibuatnya mengapa seorang pe mnda yang tak terkenal, bisa bersama sama dengan kedua tokoh Lam koay dan Pak-koay yang termahsyur.

Tetapi para ketua dari partai persilatan yang me mimpin rombongan itu, me mberi salam hor mat kepada pe muda itu.

“Pui-s icu…” de mikian Tay To siansu dari siau-Lim si segera me mber i sala m. Kemudian me mperkena lkan pe muda itu kepada sekalian orang gagah, “Harap sekalian saudara kenal dengan pemuda gagah ini, Pui sicu, yakni pe muda yang telah me mbantu gereja siau lim-si dan seorang diri bertempur mati- matian melawan orang Beng gak ketika mereka menyerbu gereja siau-lim-si. Jika Pui sicu tak me mbantu mungkin pada saat itu siau-lim-s i tentu akan menderita kerusakan lebih besar lagi.”

Me mang pemuda itu bukan la in adalah  Siu-la m.  setelah me letakkan sarang tawon Bok Liong ia balas me mberi hor mat, “Ah, taysu terlalu me muji. sungguh aku tak layak menerima penghormatan itu.”

Kemudian ia mengeluarkan  kipas  pe mberian Lo Hian.

Dihadapan sekalian orang gagah, ia me mbakar kipas itu!

Walaupun tak tahu apa maksud pemuda itu me mbakar kipas, tetapi sekalian ketua partay persilatan diam diam mengetahui juga tujuannya.

Kipas itu merupakan la mbang kehinaan yang telah dilakukan oleh para ketua angkatan terdahulu. Ketika Siu-la m me mba karnya, sekalian tokoh-tokoh partay persilatan itu amat berterima kasih.

Ka In taysu me mberi hor mat, “Pui sicu…”

“Ah, silahkan taysu me mberi pentunjuk” buru buru Siu- lam balas me mberi hor mat.

“Sungguh berat sekali bagi lohu  karena  di  minta  untuk me mimpin ro mbo ngan ini…” “Aku bersa ma kedua saudara angkatku akan me ntaati perintah taysu.” cepat Siu-la m menukas.

Ka In taysu terbeliak. Memandang kearah Lom- koay dan Pak-koay, diam diam ia terkejut. Kedua tokoh aneh itu lebih tua dari paderi itu. Mengapa Siu lam menyebutnya sebagai engkoh?

“Ah, mana lohu berani mener ima…” baru Kay In taysu berkata begitu, Lam koay shin Ki cepat mendengus, “Paderi tua, tak usah sungkanlah.”

Dan sa mbil me ma ndang kelangit biru, Pak koay Ui Lian mengguma m, “Yang paling ku benci yalah sikap sungkan sungkanan yang kosong!”

Merah juga muka Ka In taysu mendapat semprotan itu. Buru buru ia menyusul kata kata, “Kalau begitu, terpaksa lohu menurut saja.”

Ia mengacungkan tangan dan segera dua orang paderi pertengahan umur mengha mpiri dan tegak menunggu perintah.

Sambil mela mba ikan tangan, Ka In me mberi perintah, “Kalian jadi petunjuk jalan dimuka. Jika menjumpai sesuatu, harus berhenti!”

Kedua paderi itu me mberi hor mat, mencabut goloknya lalu me langkah kearah hutan pohon jati. Mereka adalah murid angkatan kedua dari partai Go bi-pay yang paling tinggi kepandaiannya.

Kemudian Ka In taysu berputar tubuh dan berseru nyaring, “Anak buah Beng-gak, rata rata ganas. Jika saudara berjumpa, silahkan saudara menggunakan cara yang ganas juga…”

Wajah paderi tua itu berobah serius la lu me lanjutkan pula, “Pertempuran hari ini, menyangkut nasib dari dunia persilatan. Bukan merupa kan pertempuran untuk menghimpas dendam perseorangan. saudara saudara boleh tak perlu me miliki bati Welas asih…”

Ia menutup pesannya dengan merangkapkan kedua tangan dan me mpersilahkan Siu-la m.

“Jika lo cianpwe hendak me mberi perintah. silahkan segera me mber itahu kepadaku,” Siu lam tersenyum.

“Pui sicu dan lohu berjalan bersa ma ditengah barisan. Kita siap sedia mengatur bantuan apa bila suasana me merlukan.”

Sin lam mengiakan.

Kemudian paderi pimpinan ro mbongan itu berkata kepada Pedang pembela gunung  Ang  Hong,  “Harap  saudara  Ang  me milih empat jago Hoa san-pay masuk kedaerah pekuburan itu dari sebelah. Jika bertemu sesuatu, jangan gegabah maju tetapi harus mengadakan hubungan dulu dengan lohu.”

Ang Hong me ngiakan. Ia me milih e mpat mur id Hoa san-pay yang tangguh supaya menyusup tanah kuburan dari sebelah kiri.

Setelah itu Ka In taysu me minta kepada Tay To siansu dari siau-lim si, “Harap suheng memilih e mpat mur id siau-lim si, menyusup kedaerah kuburan dari sebelah kanan.”

Tay   Topun   segera   melaksanakan    perintah    setelah me mbentuk kedua sayap pelindung barisan itu, Ka In taysu sapukan pandang matanya ke sekalian orang gagah. serunya, “saudara sekalian, pertempuran kali ini, belum dapat kita tentukan menang kalahnya. Maksudku, kiranya tak perlu kita semua masuk ke dalam hutan jati itu. Lebih baik  masing masing partay, memilih beberapa jagonya yang berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas, kita gabungkan satu masuk ke hutan jati. sedang sisanya, tetap tinggal di luar hutan atau pulang ketempat mas ing masing, Hal ini diperuntukkan apabila dalam pertempuran kita mengala mi kekalahan, paling tidak masih ada beberapa mur id yang kelak dapat berusaha menuntut balas !”

Tampak para pemimpin partay persilatan yang hadir pada saat itu, bermura m durja. Rupanya mereka me mpunyai firasat tak baik akan hasilnya pertempuran nanti. saran Ka In taysu itu disetujui. segera para ketua partay itu me milih beberapa mur id yang berkepandaian tinggi. sedang lainnya disuruh menunggu di luar huran. Apabila terjadi sesuatu dalam hutan, mereka supaya cepat pulang ke gunung.

Ternyata dalam pe milihan itu mating masing partay sama me mentingkan kepentingan sendiri. Yang disuruh tinggal di luar hutan itu, ternyata tunas-tunas yang berbakat. Dengan demikian apabila sa mpai hancur dalam perte mpuran, mereka masih me miliki tunas tunas yang dapat melanjutkan kewibawaan partay masing mas ing. sedang sebagian besar yang ikut masuk dalam penyerbuan ke hutan itu adalah golongan tua.

Pada hal sesungguhnya keadaan sembilan partay besar itu sudah remuk. Ketua stau-lim si Tay Hong  siansu  masih terkena racun. sedang penggantinya yakni Tay Ih siansu, pun tidak ketahuan nasibnya. sin Ciong totiang, ketua Bu-tong- pay, gugur dalam perte mpuran di Beng gak. Ketua Ceng- sia- pay, Ceng Hun totiang dan ketua Kuu lun pay Thian  Ce totiang, ketua Tian-jong pay Cau Yan-hui, tokoh tokoh tua dari Swat-san pay dan Kong tong pay yakni Ciok sara kong  dan Tok Cin, tak ketahuan rimbanya. Kalau bukan pimpinan, mereka tentulah tokoh-tua dalam partay, berkepandaian sakti dan ternama. Merupakan tokoh-tokoh utama dalam masing- masing partay. Dengan hilangnya dar gugurnya tokoh tokoh itu, masing mas ing partay telah kehilangan tenaga penting. Keadaan itulah yang menyebabkan mor il partay partay yang ikut dalam penyerbuan ke Jembatan Prenyak itu turun beberapa derajat. Melihat cara para pemimpin partay itu me milih  orang orangnya, diam-dia m siu lam kecewa. Pikirnya, “Ke sembilan partay itu sudah beratus tahun tegak tak tergoyah. Tetapi tak kira, sekali dikacau sip siau-tong, dalam waktu tak sa mpai satu tahun saja, telah kocar kacir tak karuan keadaannya.”

Lam koay dan Pak koay tetap bersikap dingin-dingin saja dan tak menghiraukan kesela matan partay partay persilatan itu.

Setelah pemilihan selesai, Ka In taysu berkata dengan serius, “Atas kepercayaan yang saudara saudara berikan kepada lohu untuk me mimpin ro mbongan  ini,  lohu  merasa me mpunyai tanggung jawab berat. Demi tanggung jawab itu, lohu minta agar segala tindak dan langkah kita harus sesuai dengan perintah. Baik maju menyerang maupun mundur bertahan, siapapun tidak boleh bertindak menurut ke mauan sendiri.”

Sekalian orang gagah sere mpak menyatakan kesediaannya. “Terima kasih saudara-saudara,” kata Ka In. “sekarang mari

kata masuk ke hutan itu…..”

Ia  terus  mendahului  melangkah  ke  arah  hutan  untuk me mimpin ro mbo ngan.

Siu la mpun cepat menyusul dan berjalan di sa mping Ka In, bisiknya, “Harap lo siansu suka me mberi perintah kepada rombongan ini supaya jangan me mandang re meh lawan!”

Ka In taysu mengangguk, tertawa; “semua yang ikut dalam penyerbuan ini, sudah me lepaskan harapan hidup. Asal shin dan Ui lo cian-pwe berdua dapat menundukkan Kuntilanak Beng gak itu, pertempuran ini belum tentu gagal!”

Siu lam menghela napas perlahan, “Barisan Jembatan Prenyak itu telah menghabis kan darah serta keringat Lo Hian. Perobahan barisan itu tukar diduga duga. setelah me masuki barisan, harap locianpwe me manggil anggauta anggauta kedua sayap barisan kita supaya mereka mengerahkan seluruh tenaga agar jangan sampai binasa secara konyol!”

Tioa-tiba terdengar suitan panjang Ka In taysu kerutkan dahi, ujarnya, “Itulah pertandaan dari kedua sayap kita. Tentulah mereka sudah berte mpur dengan musuh’”

Siu-la m minta Ka In taysu me merintahkan ro mbongan berhenti dulu. Ia sendiri yang akan meninjau kedalam hutan. Pemuda itu terus loncat lari kesamping kanan. Lam koay dan Pak koaypun segera mengikut i dibelakang pe muda itu.

Diam diam Ka In taysu menghela napas. Ia heran mengapa Siu lam me mpunyai pengaruh besar terhadap kedua tokoh aneh Lam koay dan Pak koay.

Sambil berlari, Siu-la m me mperhatikan sekeliling penjuru. Ternyata hutan itu penuh di tumbuni pohoa jati yang tinggi. Keadaannya sunyi sekali.

Suitan panjang itu tiba tiba berhenti. Rupanya setelah muncul, musuh lenyap ke mbali.

Siu lam yang kenal kelihaian wanita Beog gak itu, melihat suasana makin sunyi, makin merasa bahwa kesunyian itu mengandung bahaya yang hebat.

Setelah melintasi segerombol pohon jati, ia me lihat Tay siansu bersa ma  e mpat  orang  paderi  siau-lim  si  sedang  me mbentuk sebuah barisan segi empat. Dengan hati hati mereka maju. Siu lam me mberi isyarat tangan dan berseru supaya mereka berhenti. sekali loncat, pemudi itu sudah tiba disa mping Tay To.

Tay To siansu pernah menyaksikan peristiwa penyerbuan Beng-gak yang dipimpin wanita itu ke siau lim si. Teringat akan peristiwa itts, Tay To memang berlaku hati hati sekali begitu mendengar seruan Siu- la m, ia segera berhenti.

“Apakah taysu menjumpai sesuatu?” tanya Siu- lam dengan berbisik. “Seperti ada bayangan orang berkelebat tetapi pada lain kejap sudah menghilang,” kata Tay To dengan Wajah merah. Ia malu dalam hati sendiri.

Siu-la m me nghela napas, “Turut yang kuketahui, barisan jembatan prenyak yang didirikan Wanita itu, bukan saja penuh dengan perobahan yang sukar diduga, pun juga menggunakan beberapa jenis binatang dan barang untuk menyebarkan racun. Lo cianpwe dapat berlaku hati hati, itu me mang paling baik. Tetapi kuminta kepada Ka In taysu supaya  menarik kedua sayap kita  agar dapat dipersatukan dalam sebuah satuan dan dapat menghindari terpencarnya kekuatan kita.”

Sekonyong konyong Lam koay shin Ki menggerung, “Hm. siapakah itu!”

Sebuah gelo mbang tertawa nyaring berha mburan. Dari balik sebatang pohon jati tua yang jauhnya tiga to mbak, muncul sero mbongan gadis berselendang sutera. Dengan mengulum senyum, dara dara cantik itu me langkah perlahan lahan, selendang mereka berha mburan mir ip dengan sayap.

Sejak kecil Tay To sudah masuk gereja, setua ini belum pernah ia me lihat pe mandangan sedemikian. Buru buru ia palingkan muka tak berani me mandang.

Diam diam Siu lam menghitung. Yang muka t iga orang dara dan dibelakang lima orang.

Jumlahnya delapan orang. Mereka cantik seperti bunga. Dan mereka berjalan dengan lenggang bebas. setitikpun tak takut.

“Hro ima m tua hidung kerbau, bisa saja jual t ingkah!” Lam koay shin Ki me mbentak marah dan ayunkan tangannya. Wut…. gelombang angin pukulan dahsyat melanda dara yang ditengah. Dara itu menjerit dan tubuhnya terle mpar beberapa belas meter. Muntahlah dara dan putuslah jiwanya…. Lam koay tertegun. Ia tak menyangka kalau dara itu tak mengerti ilmu silat.

Ketujuh dara lainnya, walaupun mengetahui salah seorang kawannya mati, mereka tetap tak terkejut dan tetap berjalan pelahan lahan dengan wajah berseri tawa.

Ganas sekalipun Lam koay shin  Ki, tetapi suruh  ia menabur kan maut kepada dara-dara yang tak bisa silat itu.

Karena sudah mendapat bisikan dari Lo Hian, tahulah Siu lam bahwa sekalipun ro mbo ngan dara itu tersenyum tawa tetapi sikap mereka seperti orang yang kehilangan kesadarannya. Jelas terkena sesuatu pengaruh.

Timbul seketika pikiran pe muda itu, serunya, “Terang mereka tak mengerti ilmu silat. Kita tak boleh me mbunuh anak perempunn yang tak berdaya tetapipun jangan sa mpa i mereka mende kat ke mari Kita harus lekas mundur dulu.”

Me mang sekalian orang gagah telah menyaksikan ke matian dara tadi, tak sampai hati untuk turun tangan. Mereka serempak me nyurut mundur.

Sambil menjulurkan pedang, Siu lam berseru  nyaring, “Nona sekalian, silahkan!”

Ia bermaksud hendak me mikat ro mbongan dara itu bicara agar dapat diketahui sampa i di mana hilangnya kesadaran pikiran mereka. Diluar dugaan, dara itu tak ma u menghiraukan dan terus maju mengha mpir i kete mpat rombongan orang gagah.

Heran jega Siu lam dibuatnya. Mereka tak mengerti ilmu silat tetapi mengapa tak takut sama sekali. Apakah maksud mereka? Siu- lam terpaksa menyurut mundur sendiri.

Setelah mendengar kata kata Siu-lam, Ka In taysu memang merasa bahwa barisan musuh amat berbabaya sekali. Tak boleh dihadapi dengan siasat biasa. Dari pada terpencar lebib baik berkumpul satu untuk menusatkan tenaga. segera ia bersuit panjang untuk me manggil anggauta barisannya.

Tiba tiba terdengar suara Siulan panjang. Ketujuh dara itupun berhenti dan perlahan- lahan mundur lagi.

Beberapa saat memandang gerak gerik kawanan dara itu, tiba-tiba Siu lam sadar. Katanya seorang diri, “Ah kiranya begitu!”

Pak koay Ui Lian kerutkan alis, bertanya, “Apakah artinya itu?”

“Karena yakin bahwa kita tentu tak sampai me mbunuh kawanan dara itu maka pe mimpin Beng gak sengaja menggunakan dara dara cantik itu untuk mendekati te mpat kita. Jika tak sadar gadis gadis itu tentu me mbekal senjata rahasia yang beracun atau semacam obat bubuk beracun. Tampaknya kawanan dara cantik itu seperti bunga, tetapi sebenarnya mereka telah kehilangan kesadarannya. Siulan nyaring tadi berasal dari orang yang menggerakkan mere ka!”

Lam- koay shin Ki me ndengus, “Me mang begitulah kepintaran Lo Hian. siasatnya selalu mengguna kan kele mahan orang. Maka aku tak peduli. Biar kuhantam re muk mereka semua!”

“Ah. tetopi siasat sip siau-hong tentu tidak hanya begitu,” kata siu-la m.

Dalam pada bicara itu mereka bertemu dengan barisan tengah. Ka In taysu menyambut dan bertanya, “Tay To suheng, apakah bertemu dengan musuh?”

Tay To menuturkan pengala mannya. Mendengar itu Ka In taysu geleng-geleng dan menyebut, “Kehancuran, kehancuran. . . !”

Saat itu Pedang pembelah gunung Ang Hong tiba dengan me mbawa anak mur id Hoa san-pay. “Apakah Locianpwe melihat sesuatu yang aneh ?” tanya Siu-la m.

Kata Ang Hong “Kira kira belasan to mbak me masuki hutan, tetap belum melibat jejak musuh. Tetapi kulihat sebuah  sarang kurungan yang penuh dengan semacam burung gereja.”

Siu-la m terkejut. “Apakah locianpwe me megang sangkar itu

?”

“Walaupun tahu bahwa musuh sedang me masang

perangkap, tetapi karena mengira hanya kawanan burung gereja yang tak mungkin dapat mence lakakan orang, akupun terus hendak menghanta m sangkar itu. Untung saat itu aku mendengar seruan Ka In  taysu me manggil.  Buru  buru  aku ke mbali ke sini.”

Siu lam menghe la napas lega. “syukurlah locianpwe t idak jadi menghanta m sangkar itu. Kalau burung- burung itu sampai terbang keluar, tentu saat ini kita se mua sudah terkena racun…”

Berhenti sejenak, ia berseru lagi dengan nyaring, “Bukan sekali kali aku hendak menakut-nakuti. Kecerdikan Lo Hian mungkin saudara-saudara sudah mendengar. Wanita Beng gak itu adalah mur id Lo Hian.  selain  berilmu  sakti  juga  telah  me mpe lajari ilmu menggunakan racun. semua benda dalam hutan ini ke mungkinan tertu sudah dilumuri racun. sekali tak hati hati, kita tentu mati konyol …”

“Mengingat Pui si cu sudah mendapat petunjuk dari orang sakti, tentulah sudah mengetahui tentang babaya-bahaya yang terkandung dalam barisan musuh. Maka harap sicu suka mewakili lohu ntuk me mimpin barisan kita ini.” kata Ke In taysu.

Buru buru Siu-la m berkata – “Ah, aku hanya seorang anak muda yang kurang pengetahuan dan pengala man. Bagaimana mungkin aku mener ima tanggung jawab seberat itu ? Terima kasih atas kepercayaan locianpwe, tetap pegang pimpinan sedang aku akan me mbantu dari sa mping.”

Ka In anggap pernyataan anak muda itu  me mang beralasan. Demi untuk menjaga  ketat para tokoh tokoh persilatan, ia berkata, “Ah. kalau sicu sungkan, terpaksa lohu menerima lagi …” Ke mudian ia menanyakan pikiran Siu lam untuk langkah selanjutnya.

“Menurut pendapatku, baiklah kita kirim kelo mpok tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi, masuk ke dalam hutan untuk me mikat barisan musuh supaya bergerak.”

“Cemerlang!” puji Ka In tayau. “Baiklah, lohu segera akan me mimpin  anak   murid   Go  bi-pay   untuk   me mpe lopori me mbuka ja lan.”

Tetapi Ang Hong segera mencegah, “Tidak, taysu sebagai pimpinan barisan, mana boleh se mbarangan mene mpuh bahaya. Biarlah aku saja yang me mimpin anak murid Hoa san pay sebagai pelopor!”

“Me mang pating baik saudara Ang saja.” kata Siu- la m, “Tetapi jangan me mbawa terlalu banyak anggota. Aku bersama kedua gi heng (kakak angkat) ditambah saudara Ang dan seorang murid Hoa san lagi, kiranya sudah cukup!”

Ang Hong mengia kan setelah me milih seorang mur id yang berkepandaian tinggi, kelima orang itupun segera berangkat

Sebelum pergi, Siu lam se mpat me mberi pesan kepada Ka In Taysu, “selekas mendengar pertandaku, harap lo cianpwe segera me mimpin ro mbongau menyusul mas uk.”

Setelah itu siu lam segera berangkat. Kira kira lima to mbak jauhnya,  tetap  mereka  belum  me lihat  sesuatu   yang mencur igakan.

Agaknya Lam Koay shin Ki tak sabar, katanya, “saudara, mengapa tak me mbakar hutan ini saja? sungguh menje mukan untuk ber main kucing kucingan seperti ini!” Siu lam tertawa, “Jika dengan api dapat menyelesaikan hutan ini, tak perlu kita melakukan perte mpuran.”

Tiba-tiba mereka melihat pada kuburan yang dibawah batang pohon jati tua duduk bersila seorang berpakaian hita m. Matanya me meja m seperti paderi yang tengah bersemedi. Agaknya dia tak mengetahui kedatangan ro mbongan Siu- la m.

“Siapa?” seru Ang Hong. Tetapi orang itu tetap tak bergerak. Berpaling kepada seorang muridnya, berserulah Ang Hong, “Ma Kiat, periksalah orang itu, sudah mati atau masih hidup!”

Ma Kiat mengiakan terus mengha mpir i orang aneh itu. Siu lam hendak mencegah tetapi sudah tak  keburu.  Ma  Kiat mena mpar orang itu. Bluk, orang itu rubuh kebelakang.

Ma Kiat adalah murid angkatan kedua dari Hoa san  pay yang tinggi kepandaiannya. Begitu merasa yang dipukul itu bukan orang sungguh, cepat ia loncat mundur. Tetapi sudah terlambat. serangkum senjata rahasia yuug sehalus ra mbut dari e mpat penjuru mengha mbur kearah Ma Kiat.

Walaupun Ma Kiat berkepandaian t inggi tetapi menghadapi keadaan seperti itu, benar benar ia tak berdaya menghindar. seketika ia rasakan sekujur badannya kesemutan. la kerahkan semua sisa tenaganya untuk me mpertahankan tubuhnya. Dengan berjumpalitan di udara, ia me luncur turun dan tegak berdiri ditanah.

“Suhu, aku…” ia terus terjungkal rubuh dan mati seketika.

Ang Hong me mandang, seketika mur idnya itu tanpa mengucap apa apa. Siu lam hanya menghela napas, ujarnya rawan, “Cara membunuh orang yang digunakan oleh barisan musuh, sungguh hebat sekali. Benar benar setiap langkah merupakan anca man maut, dan setiap batang rumput merupakan musuh !” Keempat orang yang menyaksikan peristiwa itu, diam diam menggigil hatinya. Mereka merasa akan mendapat giliran mati seperti Ma Kiat.

Beberapa saat kemudian, Ang Hong tiba tiba tersenyum, “Bertempur melawaa musuh kalau tak mati tentu terluka….” sambil me mutar mutar pedang ketua Hoa-san-pay segera menyerbu maju.

Beberapa kejap ke mudian, tiba tiba mereka mendengar suara tetabuhan nadanya menawan sekali, mirip  orang berduka cita, sehingga perasaan orang ikut terhanyut dalam dunia kehampaan.

Saat itu sekalian orang gagah sudah  mem-bekal  it ikad untuk mati. Tetapi ketika mendengar nada tetabuhan itu, tak urung hati mere ka menggigil juga.

Siu lam yang sudah me mpunyai rencana, agak  lebih tenang. Begitu melihat kawan kawannya mulai geiilah,  ia segera bersuit nyaring suara suitannya mene mbus kedalam suara musik itu. Lam koay dan Pak-toay pun juga ikut bersuit. Kedua tokoh dengan tenaga dalamnya yang hebat, telah berhasil mene mbuskan suitannya ke-telinga sekalian  orang, lalu me nggugah se mangat mereka dari rasa kegelisahan.

Suara mus ik itu berhenti seketika dan hutanpun ke mbali sunyi. Siu lam menghela napas, ujarnya, “Jika kita sa mpai kehilargan se mangat mendengar suara musik itu, musuh yang bersembunyi disekeliling hutan ini tentu segera keluar menyerang kita.”

“Ah, jika Pui sicu tak lekas lekas me mgetahui bahaya itu, mungkin saat ini kita sudah terluka,” kata Ka In taysu.

“Melihat keanehan tidak merasa aneh. Keanehan itu tentu tak aneh sendiri,” kata Ang Hong “maksudku, dalam menghadapi segala maca m ilmu setan dari musuh, kita lihat tetapi tak me mandang, dengar tetapi tak me masukkan ketelinga. Pusatkan perhatian terus menyusup maju. Begitu mene mukan wanita Beng gak, kita serbu agar segera mendapatkan penyelesaian kalah atau menang.”

Siu lam menghe la napas lagi, “Ah, pendapat itu me mang tepat tapi kenyataannya tak begitu sederhana.  Maksudku, lebih  baik  setiap  mela lui  barisan  pendam   musuh,   kita me lakukan pertempuran.”

Pedang pembelah gunung Ang Hong tertawa panjang, serunya, “Aku bersedia me mbawa mur id Hoa-san pay untuk me mbuka ja lan!” Habis  berkata  ia  getarkan  pedang  dan me langkah maju. Lima orang mur id Hoa-san pay segera mengikut inya. Karena tak dapat mencegah. Siu lam pun terpaksa ikut dibelakang mereka.

Ketua Hoa san pay itu berjalan dengan lintangkan pedang untuk me lindungi dadanya. Ia memandang lurus kemuka. sikapnya tenang sekali seolah olah msnghadapi maut seperti hendak pulang kerumah.

Kira kira setengah lie jauhnya, mereka sudah tiba diujung penghabisan dari hutan jati itu. Pemandangan disitupun berobah alamnya, penuh tumbuh tumbuhan bunga  dan rumput hijau. Di-tengah kedua puncak gunung, terbentang sebuah lembah hijau. Dimulut le mbah dijaga oleh e mpat orang gadis dalam pakaian merah kuning biru dan putih. Tangan masing mas ing mengangkat sebuah plakat berbunyi, “Penyeberangan Jembatan prenyak”.

Dibelakang kee mpat gadis itu terdapat sebuah anak sungai selebar empat tombak. sebuah jembatan bunga, menyambung kedua tepian Jembatan lebarnya satu setengah meter. Berpuluh puluh  ekor burung prenyak hinggap di kedua samping dan diatas je mbatan itu.

Me mandang kearah jembatan bunga itu. Ka In taysu berbisik kepada Siu-la m, “Apakah kita  akan menyerbu kesana.” Saat itu Siu lam tengah berpikir: Dia m-dia m ia menghitung waktu dari perjanjiannya dengan Lo Hian. Ia  merasa  masih ada beberapa waktu. Dalam waktu sesingkat itu, lebih baik tak me m-buang tenaga bertempur dengan musuh. sedapat mungkin baik berusaha untuk me nghindari perte mpuran.

Sejak bertemu dengan Lo Hian, ia me mpunyai kesan. Walaupun orang tua itu telah melakukan kesalahan besar tetapi dia sudah menyesal dan mau merobah. Dan saat ini sedang me manfaatkan nyawanya yang tinggal beberapa hari untuk meno long kaum persilatan dari kebinasaan.

Melihat pe muda itu terus menerus me mandang je mbatan, bertanyalah Ka In taysu, “Pui, sicu, apakah setelah melintasi jembatan itu, kita akan tiba ditengah barisan Jembatan prenyak?”

Juga pedang pembelah gunung Ang Hong tak sabar, serunya  lantang,  “Biarlah  kami  dari  Hoa   san-pay   yang me mpe lopori melintasi je mbatan itu!” ia terus me mbolang balingkan pedang seraya melangkah ke muka.

“Lo cianpwe, jangan terburu buru dulu…..” Siu lam terkejut.

Ang Hong berpaling, “Main se mbunyi ekor, bukanlah aku seorang ksatrya!” Tanpa menghiraukan peringatan Siu  lam dan tanpa me meriksa keadaaan jembatan itu, ia terus naik ke atas.

Ilmu  mer ingankan  tubuh  dari  ketua  Hoa-san  pay   itu me mang telah mencapai tahapan yang dapat berjalan diatas permukaan air. sekalipun jembatan itu terbuat dari rangkaian bunga segar, pun tak mungkin dapat mence lakai Ang Hong.

Melibat kedatangan Ang Hong, kawanan burung prenyak yang hinggap diatas je mbatan segera terbang berhamburan. suara burung prenyak yang berisik itu menimbulkan gelisah hati orang. Tetapi burung yang hinggap dikedua sa mping jembatan, diam saja. seolah olah hendak menyambut kedatangan Ang Hong dan ro mbongannya.

Melihat Ang Hong melintasi je mbatan indah itu. Siu lam segera mengajak Ka In taysu menyusul.

Ka In taysu mengia kan. Lebih dulu ia menberi peringatan kepada rombo ngannya, “siapa yang merasa ginkangnya kurang sempurna, jangan me maksa diri untuk ikut me lintasi jembatan itu.”

Tokoh-tokoh partai persilatan yarg menghadiri pene muan Jembatan prenyak itu kebanyakan anak mur id yang me miliki kepandaian  tinggi.  Mereka  segera  berbondong  bondong me lintasi je mbatan.

Pada saat orang terakhir dari rombongan Ka In taysu langkahkan kain keetas jembatan, tiba tiba terdengar bunyi tambur dipukul gencar. Dan serentak je mbatan bunga itu terlepas jatuh kedalam saluran air.

“Sungguh berbahaya sekali.” diam diam Ka In  taysu menge luh, “bila sudah berada ditengah tentu tak mungkin lagi orang ma mpu loncat ketepi.”

“Locianpwe, lekas mundur!” seru Siu- la m. Ketika Ka In taysu mengangkat  muka, tampak segumpal asap putih menyongsong ke arahnya. Karena menduga asap itu tentu beracun, Ka In hentikan langkah.

“Saudara saudara, lekas mundur. Asap itu mengandung racun!” teriak Siu lam pula.

Sekalian orang terkejut dan buru-buru mundur. Je mbatan sudah ambyar jatuh berhamburan kedalam saluran air yang dalam.

Setelah me mperhatikan dengan telit i, dapatlah Siu- lam mengetahui bahwa gumpalan asap itu berasal dari gerumbul pohon yang terletak pada jarak beberapa to mbak jauhnya. Jelas disitu tentu  terdapat  orang  yang  bersembunyi  dan me lepas asap racun.

Karena sudah tiada jalan untuk mundur lagi, Ka In taysu menge luh. Dengan ce mas ia berpaling ke arah Siu-la m. “Pui sicu, jembatan sudah putus. Jika asap itu benar beracun, kita pasti hancur semua. Daripada mati koayol, lebih baik  kita serbu saja. Kalau toh mati, tentu puas.”

Jelas paderi yang sudah berumur lebih dari enam puluh tahun itu, tak dapat menguasai ketenangan hati melihat keadaan saat itu. Dia sudah bertekad hendak me ngadu jiwa

“Harap locianpwe sabar silahkan me mberi perintah supaya anggauta rombongan kita menutup  pernapasannya dan mengumpul dite mpat seluas satu tombak. Aku me mpunyai daya untuk me mecahkan serbuan asep beracun itu!”

Ka In taysu terbeliak. Diam diam ia tak percaya akan omongan Siu- lam tetapi ia tetap mela kukan perintah untuk me manggil seluruh anggota ro mbongan berkumpul dalam lingkaran setomba k luasnya.

Saat itu gumpalan asap kabut ma kin mendekat. samar samar mereka mencium bau yang harum.

“Lekas tutup pernapasan!” Siu-la m berseru kepada sekalian orang, sedang ia sendiri tampil kemuka berdiri didepan rombongan. sebelumnya ia me mang sudah me ngeluarkan botol obat pemberian Lo Hian. Obat itu segera dibakarnya. Asapnya berwarna biru, baunya me muakkan orang.

Ditingkah oleh sinar matahari, bercampur lah asap putih dengan asap biru. Percampuran itu menimbulkan warna ungu muda dan bertebaran hilang. Karena hampir muntah mencium bau yang muak sekali, sekalian orang kerutkan dahi.

“Pui tayhiap, obat apakah yang kau bakar itu ? Mengapa baunya begini me musingkan kepala ?” seru ketua Hoa-san pay Ang Hong. Siu lam hanya tersenyum. “Obat manjur me mang pahit rasanya. Harap saudara saudara suka bersabar sebentar lagi. Jika Obat dalam botol ini beracun tentu akulah yang mati lebih dulu!”

Mendengar penjelasan itu, sekalian orang berdiam diri.

Kira-kira seperminum teh la manya, asap dan Obat itu mulai menipis. sedang obatpun ha mpir habis. Padahal kabut beracun masih bertebaran dibawa angin. Diam diam siu lam gelisah juga. ia heran mengapa  sampai saat itu Lo Hian  belum muncul. Jika obat babis, bukankah sekalian anggota rombongan akan mat i?

Tengah pemuda itu gelisah, tiba tiba dari arah lembah terdengar suitan nyaring. Cepat sekali suitan itu sudah menelungkupi seluas beberapa to mbak.

Sekalian orang terkejut. Ketika me ma ndang ke arah suitan itu mereka melihat dua ekor makhluk aneh yang menyerupai orang hutan, me mikul sebuah tandu. Cepat sekali tandu itu sudah berhenti pada jarak empat lima tombak dari ro mbongan orang gagah.

Seketika timbullah se mangat Siu la m, serunya, “Tentulah saudara saudara pernah me lihatnya!”

Sekalian orang saling berpandangan satu dengan yang la in.

Kata Siu lam pula, “Tandu yang dipikul oleh orang hutan itu berisi tokoh yang dikahyalkan dalam dunia persilatan: Lo Hian

!”

Setelah meletakkan tandu, kedua orang hutan itu berpencaran lagi ke dalam se mak rumput. Pada lain saat terdengar jeritan ngeri dan asap yang berhamburan itupun lenyap.

Tepat pada saat itu obat yang dibawa Siu-lam pun habis. Ia le mparkan botol lalu perlahan lahan mengha mpiri ke te mpat tandu. sekalian orangpun segera mengikuti. Tiba tiba kedua orang hutan itu muncul dan lari ke tempat tandu. Mereka menghadang di muka tandu. Me mandang dengan marah pada sekalian orang.

Siu lam me mber i hor mat ke arah tandu, katanya, “Wanpwe Pui Siu-la m, menghadap Lo locianpwe.”

Diulangnya beberapa kali, tetapi tetap tak ada jawaban. sedangkan kedua orang hutan itu terdengar mendesis-desis perlahan.

Siu-la m tertawa menyeringai. Ia berpaling kepada Ka In taysu. “Lo locianpwe tidak enak badan. Tak perlu kita mengganggunya.”

“Lo locianpwe adalah mustika ma nusia. Jika melepaskan kesempatan untuk bertemu muka sungguh akan kecewa seumur hidup.” kata Ka In.

Tiba-tiba Lam koay shin Ki mendengus. “Ada orang!”

Ketika sekalian orang me mandang ke muka, tampak seorang Dara baju putih tengah berjalan perlahan lahan.

Dibelakangi dara itu, ikut sebuah rombongan terdiri dari paderi dan ima m serta le laki dan wanita.

Siu lam segera mengetahui bahwa gadis baju putih itu adalah Bwe Hong Swat. sedang ima m berjenggot panjang yang berjalan disampingnya itu adalah ketua Ceng sia-pay, Ceng Hun totiang.

Siu lam terkejut. Dan pada lain saat, Bwe Hong-Swat serta rombongannya tiba.

Ka In taysu belum pernah me lihat Bwe Hong Swat.  Ia heran melihat seorang nona yang cantik gilang  gemilang diikuti oleh ro mbo ngan berbagai tokoh.

Ternyata yang mengiring dibelakang Bwe Hong Swat itu, kecuali Ceng Hun totiang, pun masih terdapat lagi ketua angkatan ketujuh dari partay Tiam jong pay yakni Cau Yan- hui. Tek Cin tokoh tua dari Kong tong pay, Cok sam-kong dari Swat san pay, ketua Kun-lun pay Thian Ce Totiang dan masih terdapat dua orang yang berwajah gagah dan cakap.

Dingin dingin saja Bwe Hong-Swat me mandang ro mbongan orang gagah pimpinan Ka In taysu. Langsung nona itu  mengha mpiri kemuka tenda dan me mberi hor mat, “suhu beruntunglah mur id tak sa mpai me nelantarkan perintah “

Dari dalam tandu itu terdengar suara lemah, “Bagus .. budak she Pui itu sudah la ma datang.” terdengar batuk-batuk lalu, “seluruh orang gagah dari segala penjuru, sudah berada disini. Engkau me wakili aku me mbersihkan na ma perguruan, lalu mewakili aku menghaturkan maaf kepada sekalian orang gagah. Dengan de mikian cita citaku sudah terlaksana se mua”

Bwe Hong Swat mengiakan Lalu berpaling kearah kedua pemuda yang berdiri disa mpingnya, “Bawalah ketua Beng gak itu ke mar i.”

Kedua pe muda itu tak lain adalah Kat Hong dan Kat Hui.

Mereka me mberi hor mat la lu t inggalan te mpat itu.

Dalam Kese mpatan itu Kat In taysu me mberi tegur salam kepada Ceng Hun totiang, “To heng baik baik sajakah sela ma ini?”

Ceng Hun totiang menghela napas kecil. Ia menghaturkan terima kasih,

Anak murid Ceng sia pay, Tiam jong- Pay dan Kun lun-pay segera berbondong-bondong lari menghadap ketua masing- masing. Tetapi anehnya para ketua partai itu hanya tertawa rawan dan menyuruh mur id mas ing masing bangun.

Melihat bagaimana sekalian orang gagah begitu menaruh perindahan sekali kepada Lo Hian, dia m-dia m Lam koay shin Ki tak puas. Memandang kepada Pak koay Ui Lian, keduanya telah bersepakat dalam hati. Pak koay memba las pandang mata rekannya dengan kedipan mata. “Tua bangka hidung kerbau jual lagak besar kau!” bentak Lam- koay.

Bwe Hong-Swat kerutkan alis dan berseru “siapakah yang kau maki itu ?”

Lam koay menyahut dingin, “siapa lagi yang berharga kumaki kecuali Lo Hian”

Merahlah seketika wajah Bwe Hong-Swat. sinar pembunuhan segera me mancar pada seluruh wajahnya:

“Apakah kau bosan hidup?” tegurnya tenang tenang.

Dari dalam tenda, terdengar Lo Hian mencegah, “Swat-ji, jangan berlaku kurang hor mat terhadap seorang lo cianpwe…” Kemudian Lo Hian berkata kepada La m-koay, “saudara shin, apakah kau tak kurang suatu apa sela ma ini? Apakah saudara Ciu masih hidup?”

“Kau hendak me ma ki aku sudah mati? sayang makin tua si Ciu itu ma kin panjang umur.”

Lo Hian menghela napas, “Teman teman dahulu, sebagian besar sudah meningga l. Hanya tinggal beberapa saja yang masih hidup. saudara berdua sudah berusia seratus tahun lebih tetapi me ngapa masih begitu perangsang sekali?”

Tiba tiba kain penutup tandu tersingkap dan sebuah kereta kursi, perlahan lahan me luncur keluar.

Terhadap tokoh yang seolah-olah telah menjadi khayalan dunia persilatan itu, setiap Orang ingin sekali bertemu muka suatu kebanggaan kalau orang dapat melihat wajah Lo Hian. Dan karena terpengaruh oleh kebesaran tokoh khayal itu, setiap orang me mbayangkan bahwa Lo Hian tentu berwibawa seperti seorang dewa.

Tetapi de mi me lihat dengan mata  kepala, terkejutlah sekalian orang gagah. Tokoh Lo Hian yang termasyur itu ternyata hanya seorang tua bertubuh kurus kering dan le mah sekali keadaannya. sambil duduk bersandar pada kursinya.

dada Lo Hian berke mbang ke mpis seperti orang yang tengah meregang.

Melihat keadaan Lo  Hian  seperti  itu,  seketika  lenyaplah ke marahan Lam koay dan Pak-koay. Kedua tokoh itu iba dan tak tahu bagaimana harus berkata.

Angin berhembus perlahan, Wajah Lo Hian mengulum tawa rawan, ujarnya, “Apakah kalian me maki aku karena tak mau keluar menya mbut?”

Lam koay tersipu sipu me mber i hor mat, serunya, “sudahlah, sudahlah..” sebenarnya ia hendak meminta maaf tetapi tak dapat merangkai kata-kata.

Bwe Hong Swat me langkah kesa mping  Lo Hian dan berkata, “Dile mbah ini anginnya dingin, harap suhu masuk kedalam tandu lagi!”

“Tak usah,” sahut Lo Hian. Dari jauh terdengar derap langkah  orang  berjalan  mendatangi.  Ta mpa k  Kat   Hong me mbawa sip siau hong ketua Beng gak, Dewa iblis Ban Thian seng, Hian song, Hui ing, Tong Bu kwan  dan seorang nona baju merah, berlari lari me ndatangi.

Sip siau hong dan kawan kawannya itu, kecuali kedua kakinya yang  masih  dapat  bergerak,  tubuh  mereka  telah me mbe ku seperti kayu. Mereka mengikuti dibelakang Kat Hong. Tak berapa la ma tiba dihadapan ro mbongan orang gagah.

Sekalian orang gagah terkesiap melihat pemandangan itu, seluruh mata menumpah pada diri sip siau hong si Kuntilanak dari Beng gak. Walauoun sikapnya sudah kaku seperti patung bernyawa tetapi kecantikan yang gilang ge milang masih menonjo l sekali. Lo Hian menghela napas lalu me mberi perintah kepada Bwe Hong Swat, “Swat ji, selesaikanlah dia….!”

Tokoh sakti itu me mandang sekalian orang gagah, katanya, “Aku telah keliru me mber i pelajaran pada orang busuk sehingga menimbulkan bencana pada dunia persilatan. sakarang dapatlah dikata bahwa aku sudah berhasil menundukkan mur id murtad itu. Maka di hadapan sekalian saudara, aku hendak me lakukan pe mbersihan  diri na ma perguruanku….”

Saat itu Bwe Hong Swat perjalan perlahan lahan ketempat sip siau hong. Dengan sikap dingin ia mengangkat tinjunya kanan. Tetapi sampai beberapa saat belum juga dihantamkan. Bahkan pada lain saat tiba- tiba ia menurunkan lagi tinjunya itu.

“Suhu, mur id tak dapat turun tangan!” serunya kepada Lo Hian dengan nada rawan.

Lo Hian menghe la napas, “Me mang dia telah melepas budi kepadamu, tak dapat menyalahkan engkau,…..”

Kemudian tokoh itu alihkan pandang  matanya  kearah Siu la m, katanya, “Dia telah me mbunuh suhumu yang pertama. Lekas engkau hancurkan ilmu kepandaiannya!”

Tergetar hati  Siu-la m  mendengar  perintah  itu.  sambil me mandang kearah sip stau hong, ia melangkah perlahan lahan.

“Wanita ini sungguh seperti ular cantik yang a mat berbisa. Entah sudah berapa banyak kaum persilatan yang telah dibunuhnya. Biar bagaima napun tak boleh menga mpuninya,” diam diam Siu lam menimang dalam hati.

Dalam pada itu Siu lam pun sudah tiba di hadapan sip siau hong.

Lo Hian pejamkan mata lalu berseru; “Tutuklah jalan darah Jim dan Tok pada punggungnya!” Siu lam me lakukan perintah itu. “Tutuk lagi dua belas jalan darah Ciong-lou dan pusarnya!” seru Lo Hian pula. Siu lam menurut.

Tiba tiba Bwe Hong Swat menghe la napas panjang dan palingkan mukanya kesa mping.

Saat itu seluruh mata dan perhatian sekalian orang gagah, tersumpah pada Siu lam dan sip  siau bong. Mereka menyaksikan perist iwa itu dengan berdebar.

Tiba tiba suara Lo Hian berubah tajam serunya, “Tutuk lagi jalan darah Hu kiat!”

Sia-la m mau angkat tangannya. Ketika hendak menutuk, sekonyong konyong sip  siau-hong  mer intih  dongan  suara le mah, “Bunuh sajalah aku!”

Kata wanita Beng gak yang biasanya sangat berpengaruh itu, saat itu tampak meredup penuh kedukaan dan penasaran. Beberapa butir air mata  menit ik turun dari pelupuknya. Keadaannya sangat mengibakan hati orang.

Sip siau-hong, ular cantik dari Beng gak yang tangannya berlumuran darah dan tubuh bergelimpangan dosa itu, telah me mbangkitkan ke marahan setiap orang persilatan. Tetapi saat itu keadaanya mengenaskan sekali.

Siu lam tertegun meragu beberapa saat. Tiba tiba ia berputar tubuh, tangan kanan menyusup di sela lambungnya dan cret. .secepat kilat ujung jarinya telah menutuk perut wanita itu.

Terdengar sebuah jeritan yang ngeri. Jeritan yang menggoncangkan sanubari se mua orang. Habis me nutuk, Siu- lam melesat kemuka dan berhenti pada jarak lima langkah. Ketika berpaling kebelakang, tampak sip siau-hong tengah mende kap mukanya dengan kedua tangan, Tubuhnya bergemetaran keras. suara isak tangis yang merintih-r intih bagai  seorang  ibu  ke matian  puteranya,  berkumandang  me menuhi le mbah.

Tiba tiba ia lari ke muka menuju kearah le mbah. Rupanya ia hendak buang diri kebawah le mbah. Daripada hidup menanggung ma lu lebih baik mati berkalang tanah.

Semua orang serentak kaget. Mereka merasa, Walaupun berdosa besar tapi tak sepatutnya seorang wanita yang sedemikian jelita, harus dihukum mati  Ah, betapa hebat pengaruh kecantikan sip siau hong itu!

Tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu, sip siau hong sudah tiba ditepi lembah dan rubuh. sesosok bayangan menerobos keluar dari rombongan orang orang gagah dan menya mbar tubuh sip siau hong.

“Jangan menja mah diriku!” sip siau hong melengking. Tetapi kedua tangannya yang mendekap mukanya itu telah ditarik orang yang hendak menolongnya itu,

“Oohh….” sekonyong konyong orang itu menjerit kaget. Ia lepaskan cekalannya dan berdiri seperti patung.

Dengan sekuat tenaganya, sip siau hong meronta dan mengge lindingkan diri kebawah dasar le mbah. Tubuh wanita itu menggelundung kebawah. Ketika tiba didasar le mbah, rambutnya yang hitam legam tiba-tiba berobah putih…

Orang yang tampil me nolong tadi, adalah Pedang pe mbelah gunung Ang Hong, ketua Hoa san pay. Dia berkata seorang  diri penuh sesal, “Ah, tak seharusnya kutolongnya…. tak seharusnya kutolongnya…”

“Tidak, kau tak bersalah.. Menolong orang  terutama wanita, adalah laku ksatrya. sekalipun orang itu berbuat kesalahan besar,” Ka In tay-su menghibur.

Ang Hong me nghela napas panjang, “Dia hendak mati dalam keadaan seperti seorang cantik. Tetapi ah, aku telah menghancur kan keinginannya. Ya, ternyata wajahnya buruk sekali!”

“Benar,” sahut Lo Hian, “dia telah berobah tua dan jelek. Karena ilmunya menggunakan tenaga dalam untuk menjaga wajahnya tetap cantik, telah kuperintahkan melenyapkannya. Dia menjadi seorang biasa. Tuhan maha adil dan usia takkan  me maafkan orang. Dia hanya ma mpu me maksa keadaan tetapi hanya untuk se mentara waktu. Karena akhirnya ia harus menyerah pada tuntutan usia tua!”

Berpaling kearah Hian Song dan Hui- ing, Siu lam berkata kepada Lo Hian, “Lo cianpwe biang keladinya  hanyalah sip siau hong dan Ban Thian seng. Lain lainnya harap lo cianpwe suka me mbebaskan.”

Lo Hian mengia kan la lu me merintahkan Bwe Hong Swat supaya me mbuka jalan darah orang orang tawanan itu.

Setelah Bwe Hong Swat melakukan perintah, Lo Hian menghe la napas, ujarnya, “semua orang yang ditawan sip siau hong, telah diberi obat penawar racun. Tetapi karena sudah menda lam sekali racunnya untuk beberapa saat kesadaraannya belum pulih. Maka akan kusuruh Swat ji untuk menutuk jalan darah mereka. Ah, aku telah bersalah mendidik mur id kurang keras, sehingga menimbulkan bencana. Dengan ini kumohon maaf sebesar- besarnya kepada  sekalian saudara!”

Sekali mengetuk kursi rodanya, kedua orang Utan segera lari mengha mpiri dan mengangkat kursi roda Lo Hian kedalam tandu.

“Mohon lo cianpwe suka menunggu sebentar, aku hendak mohon petunjuk!” tiba t iba Siu lam berseru.

Ketika Lo Hian menanyakan ma ksudnya. siu lam berkata, “Kini pergolakan dalam dunia persilatan sudah reda, sip siau hong, biang keladi huru hara sudah mati didasar le mbah, Ban Thian sengpun telah tertangkap. Berarti keinginan locianpwe telah terkabul semua. Tetapi aku masih belum dapat menyelesaikan pesan seseorang. Dalam hal ini mohon lo cianpwe suka mengabulkan keinginanku!”

“Maksudmu hendak me nguji kepandaian dengan aku?” Lo Hian menegas ha mbar.

“Benar, lo cianpwe,” sahut Siu lam, “locianpwe disanjung orang sebagai seorang tokoh yang besar didunia psrsilatan. Dan aku telah terlanjur menerima pesan dari dua orang paderi siau lim untuk menguji kepandaian dengan lo-cianpwe. Agar dapat diketahui, apakah ilmu kepandaian siau- lim si yang lebih unggul apa ilmu kepandaian lo cianpwe yang lebih tinggi!”

“Tetapi sudah berpuluh tahun aku mengidap penyakit, tubuhku mati separoh dan tenaganya pun lenyap. Bagaimana aku hendak menerima per mintaanmu?” kata Lo Hian.

Siu lam me nitikkan dua butir air mata dan menjurah dalam dalam, “Aku sudah terlanjur me nerima per mintaan kedua paderi siau-lim si itu. Jika hal itu tak kulaksanakan, hatiku tentu tak tentram. Mohon lo-cianpwe suka mengabulkan permintaanku.”

Tiba tiba Bwe Hong Swat me lengking, “Jika kau dapat mewakili kedua paderi siau-Lim, akupun akan mewakili suhuku juga!”

Siu lam terkesiap, ujarnya, “Tetapi maksudku hanya akan mengajak lo cianpwe untuk adu kepandaian secara lisan saja, bukan dengan, bertempur sesungguhnya!”

“Suhuku masih le mah, sekali salah ucap tentu akan menghancur kan keharuman na manya. Jika mau mengadu kepandaian, marilah kita mengadu dengan bertempur. siapa kalah dan me nang, sekalian orang gagah yang hadir disini akan menjadi saksi!”

Bwe Hong- Swat tetap mendesak. Lo Hian menghela napas. “Kak Bong dan Kak Hui itu menerima pesan dari Kak seng untuk me mperdala m keyakinannya dalam ilmu kesaktian gereja siau lim si. De mi untuk mencuci noda hinaan yang dideritanya dahulu. Tetapi kuberitahukan  kepada mu,  engkau  bukan  tandingan  dari mur idku Swat-ji!”

Panas seketika darah siu-la m mendengar exohan itu. seketika menyahutlah ia dengan angkuh, “siang mala m kurenungkan hal itu d.’.i ma kin dalam menyela mi bahwa ilmu kepandaiH siaulim-si termasuk ilmu Putih yang gilang »«| milang. Beda dengan ilmu kepandaian locianpti yang bersifst aneh dan gaib itu Kiranya ber 5ebsh ‘ebihan kalau lo cianowe mengatakan ilmu kepandaian itu lebih unggu”.”

“JaDgan kurang ajar dengan kata bata ta jam. ” bentak B we Hong Swat dengan mars! dan terus loocst menghanta m

S u lara msohgindar seraya me mbentak “Jangan terburu buru dulu. setelah kutinggalkai pesan, baru kita  nanti bertanding.” “Lekas!” seru Bwe Hons Swat. Siu lam me mberi hormat kepada Lam koa dao Pakkoay, “Entah nanti aku kalah atau i o g, harap giheng berdua jangan ikut ca mpu D J  mi  me laksanakan pesan O ia r g, mati pun al tak penasaran!”

Kara koay shin K.i mengguma m, “Pars pa-j ti dan ima m itu me mang banyak tiagkah. KLa iau dirinya scadiri tak ma mpu, kenapa suruh orang lain yang mengerjakan sehingga menim- ibiiikan perselisihan yang t iada gunanya.”

“To api telah ku enungkan me mang hal UU besar sekali hubungannya dengan ilmu silat raeg berkembang didunia persilatan. Tak boleh kita pandang hal itu dari sudut kepentingan deru dam pribadi,” kata Siu- lara.

“Sudah selesai?” celetuk. Bwt Hong-swai dengan nada kurang senang.

Siu-la m  perlahan-lahan  me mutar  tubuh,  mengha mpiri ke muka nona itu dan berseru: silaukan me mberi pelajaran.” R we Hong Swat tertawa rawan, “Harap kau berhati hati, mengangkat sebuah jari tangannya segera menutuk.

Siu-la m tak mau menghindar lagi. Ia gunakan jurus Genderang berbunyi dipagi hari, balas menyerang.

Bwe Hong-Swat menghindar kesa mping tangan kiri menyerang kesa mping, jari kanan menusuk. Dalam sekejap mata, ia telah me lancarkan delapan buah serangan. Hebatnya kelewat kelewat. suatu ilmu kepandaian yang belum pernah tampak didunia persilatan sehingga sekalian tokoh-tokoh termangu mangu me lihatnya!.”

Siu-la m pun segera mengeluarkan ilmu silat simpanan dari siau lim si, yakni ilmu menutuk urat dan menebas nadi.

Pertempuran itu benar- benar merupakan suatu pertempuran dahsyat yang bermutu tinggi, setiap gerak dari kedua muda mudi itu, tentu merupakan suatu jurus  yang aneh.

Dalam beberapa kejap saja, keduanya telah bertempur sampai seratus jurus lebih. sekalian orang gagah benar benar terbenam dalam kenikmatan dan kekaguman!

Tiba tiba terdengar Bwe Hong Swat membentak nyaring. Bayangan jarinya segera menelungkupi ketiga puluh  buah jalan darah besar dari tubuh Siu lam. sekalian orang terkejut ketika merasa bahwa nona baju putih itu tiba-tiba berubah menjadi seperti sepuluh orang yang mengepung Siu la m. Mereka mence maskan kesela matan pe muda itu…

Tiba tiba terdengar Siu lam bersuit nyaring. Nadanya bagai naga meringkik diangkasa raya dan mendadak keduanya sama menyurut mundur…

Siu-la m mendekap perut dengan kedua tangan dan terhuyung-huyung tiga langkah lalu rubuh. selang Bwe Hong Swat wajahnya tampak pucat, tangan mendekap dada, tubuh berguncang guncang beberapa kali dan akhirnya rubuh juga. Lam- koay Pak-koay serempa k berseru, “saudaraku, apakah kau terluka parah?” cepat mereka loncat kesamping Siu- la m.

Sedang Kat Hong dan Kat Wipun lari  mengha mpiri ketempat  Bwe  Hong  Swat.  Tetapi  secepat   itu   Lo   Hian me mbentak mereka, “Jangan ganggu!”

Lam koay, Pak koay, Kat Hong dan Kat Wi tertegun dan serempak mundur

Bwe Hong- Swat menggeliat duduk, serunya, “Hu- kun (suami), apakah engkau terluka parah?”

Sambil berusaha duduk, Siu lam me nyahut, “Terima kasih atas kemurahan hatimu.”

Bwe Hong-Swat tertawa rawan, “Jika engkau gunakan sekuat tenaga me mukul, urat jantungku tentu sndah putus.”

“Sudahlah, kalah atau menang,  bukan soal Pokok  aku sudah melaksanakan pesan orang.” kata Siu lam seraya bangun. saat itu Bwe Hong Swatpun bangkit juga. Kiranya keduanya tidak menggunakan seluruh tenaga untuk menghanta m lawan sehingga mereka tak sampai terluka parah.

Tiba-tiba terdengar suara Omitohud dan pada la in kejap muncullah rombo ngan paderi dipimpin seorang paderi tua berjenggot putih. Melihat itu, Siu- lam segera berseru rawan, “ Maaf aku belum dapat me menuhi pesan taysu!”

Yang datang yalah paderi ketua siau-lim-si Kak Bong tayau serta sisa sisa anak murid gereja itu. Pejabat ketua Tay Ih siansu mengenakan jubah kuning dan me mbawa tongkat Kumala Hijau.

Sejenak me mandang Lo Hian, Kak Bong berbisik  kepada Siu la m, “Dendam siau lim-s i kepada Lo Hian, harus dilaksanakan. Tetapi dendam ini dapat lohu hapus apa bila Pui sicu suka menerima mur id Lo Hian sebagai kawan hidup.” “Ini..ini…..” Siu lam terbeliak.

Tiba tiba Bwe Hong Swat berseru, “Asal engkau tak ingkar janji kita berdua dibawah sinar re mbulan itu, akupun tak keberatan engkau hendak menga mbil beberapa isteri lagi.”

“Akupun takkan marah- marah lagi kepada mu, asal engkau mau mela ksanakan pesan kakek uutuk menyerahkan diriku kepadamu,” seru Hian song.

Ciu Hui Ing menghe la napas panjang “Ayah bundaku menerima engkau sebagai mur id, adalah dengan harapan engkau dapat merawat keturunan keluarga Ciu ”

Siu lam bergantian me mandang kepada ke tiga gadis cantik itu dengan penuh arti.

Ditingkah oleh sinar matahari yang cerah gemilang terdengarlah puji nyanyian para paderi me manjatkan doa kebahagian………

- TAMAT -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar