Wanita iblis Jilid 45

Jilid 45

Dengan enggan sip siau hong menya mbuti pil merah itu. seketika senyum tawanya lenyap dan bertanyalah ia dengan dingin, “Apakah guna pil beracun ini?”

“Setelah minum pil itu, seumur hidup harus mendengar perintahku!”

“Jika me mbangkang?” sip siau-ho ng menegas.

“Jika me mbangkang, dalam waktu sepeminum teh saja, pil itu akan bekerja!”

“Apakah orang itu akan mat i seketika?”

“Ah, terlalu enak bagimu!” sahut Dewa Iblis.

“Bilanglah, bagaimana orang itu jadinya!” sip siau hong makin mendesak. “Tulang dan urat-uratnya akan menyusut semua,  ilmu silatnya lenyap. Tiap hari akan mender ita kesakitan sa mpai tiga ja m. Dan akan berlangsung seumur hidup!”

“Sungguh ganas sekali!” sip  siau hong seraya terus menelan pil itu.

Tindakan sip siau hong itu benar benar mengejut kan Ban Thian-seng. Ia tak menyangka kalau wanita itu sede mikian beraninya. Tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa sip siau hong itu seorang wanita yang licik dan ganas.

“Harap me mbuka mulut mu,” katanya dengan tertawa. “Akan kulihat. Aku tak percaya engkau berani sungguh sungguh mene lan pil itu”

sip siau hong tersenyum, ujarnya, “Ah, locianpwe benar- benar banyak curiga!” Ia lalu menganga kan mulutnya.

Dengan cermat Ban Thian seng menga mati mulut wanita itu. Ah, ternyata pil itu me mang tak ada lagi atau sudah ditelan ke dalam perut. Kebalikannya, hidungnya terbaur oleh serangkum hawa harum yang me mbuat orang seperti mabuk.

Dengan perlahan sip siau hong menghe mbuskan hawa harum dari mulutnya itu lalu menutup mulutnya lagi. “Tentunya locianpwe mau percaya sekarang!”

sambil menengadahkan muka. berkatalah Ban Thian-seng dengnn serius, “Menilik Lo Hian orang begitu cerdik toh celaka di tangan wanita ini, masakan aku Ban Thian seng ma mpu menandingi kepandaian Lo Hian?” sebenarnya kata kata itu adalah suara hatinya, tetapi entah bagaimana telah diucapkan dengan mulut.

sip siau-hong tertawa dan berkata lembut, “Pil telah kutelan, jika masih ada syarat lain, silahkan locianpwe mengatakan lagi!” sejenak merenung, tertawalah Dewa Iblis itu. “Sekalipun engkau main siasat tak menelan pil itu, tetap engkaupun bukan tandinganku!”

sip siau hong kerutkan dahi, sahutnya, “Tetapi benar-benar aku sudah menelannya. Mati hidupku kini berada di tangan locianpwe…. ” sesaat ia membereskan ra mbutnya yang terurai lalu melanjutkan. “Saat itu seluruh tokoh persilatan sudah berkumpul di kota Khik ciu. Menghadapi lawan seberat itu, sudah tentu aku tak kuasa me lawan dua maca m bahaya. Daripada menanggung hina kalau sa mpai jatuh di tangan mereka, lebih baik menyerah dan bersatu dengan locianpwe.”

Mendengar alasan yang kuat itu, tertawalah Ban Thian seng. “Ho, masakan gelarku sebagai Dewa Iblis  itu  hanya gelar kosong saja!”

“Dengan me ma ksa aku supaya menelan pil beracun itu, tentulah locianpwe me mpunyai alasan.  silahkan   locianpwe me mber itahukan.”

Ban Thian-seng terbahak-bahak. “Lo Hian me mang satu- satunya manusia yang dapat mengalahkan aku. Aku pernah bertanding ilmu, pedang dengannya sa mpai t iga kali. Yang pertama, ternyata berimbang, tiada yang kalah dan menang. Tiga tahun kemudian ka mi bertarung lagi. Ternyata dia jauh lebih kuat….”

“Sayang dalam kedua pertandingan itu, aku belum hadir!” kata sip siau-hong.

Ban Thian seng mendengus dingin. “Hanya dalam waktu tiga tahun saja. dia sudah dapat lebih unggul. Benar benar bukan sembarang orang ma mpu melakukan. Tetapi saat itu pikiranku hanya diburu ke marahan. Tak kusadari hal itu dan terus kutantangnya  untuk  bertempur  nanti  sepuluh  tahun ke mudian. Dalam waktu sepuluh tahun ini, kusiksa  diriku antuk meyakinkan ilmu pedang. setelah yakin kesaktianku bertambah maju, segera kudatangi. Tetapi ah, dalam, pertempuran itu aku telah menderita kekalahan yang hina. Belum mencapai seratus jurus saja, aku sudah kalah. Hal itu kurasakan sebagai suatu hinaan yang besar dalem hidupku. siang mala m aku selalu ingat untuk  merencanakan pembalasan denda m. Dalam saat menderita kekalahan yang me ma lukan itu, pikiranku gelap dan seketika itu juga aku hendak bunuh diri. Tapi tiba-tiba aku sadar bahwa di dunia ini hanya dia seorang yang dapat, mengalahkan diriku. Jika dia mati, bukankah aku yang akan merajai dunia? Dengan pikiran itu menyalalah hasratku untuk me lenyapkannya. Dan hasrat untuk hiduppun timbul lagi dalam batiku!”

“Karena itu maka engkau me milih aku?” sip siau-hong mengangguk-angguk.

“Benar….” sahut Ban Thian-seng lalu me mandang ke sekeliling penjuru. Kemudian berkata  pula,  “Satelah bersumpah hendak me mbunuh Lo Hian, ke marahankupun mulai reda. Dari ketenangan itu, dapatlah aku me mperoleh pikiran yang sadar. Bahwa dalam hidupku sekarang ini, tak mungkin aku dapat mengalahkan kesaktian Lo Hian….”

“Mengapa?” sip siau-hong heran, “bukan kepandaian kalian hanya terpaut sedikit saja?”

“Dalam pertempuran pertama, kami telah  bertempur sampai dua ribu jurus tanpa ada yang kalah dan menang. Tiga tahun ke mudian berte mpur, pun aku sudah kalah dalam seribu jurus sepuluh tahun ke mudian, kurang dari seratus Jurus saja, aku sudah kalah. Adalah karena dirangsang nafsu ke marahan maka aku tak dapat menilai terang. Kemudian setelah pikiranku tenang, dapatlah kurenungkan  jalannya pertempuran itu. Ah, ternyata setiap jurus yang di mainkan itu adalah jurus yang khusus untuk me mbendung seranganku semua. Baru pertempuran di mulai, dengan cepat ia sudah menge luarkan jurus per mainan yang aneh sehingga aku tidak sempat lagi mengeluar kan jurus permainan pedangku. Begitu itu barulah seorang yang cerdik t iada bandingannya. Karena itulah ma ka aku putus asa untuk me lawan Lo Hian lagi!”

“Pandai melihat, gelagat itulah orang cerdik. Begitu pula dengan keadaanku yang tanpa ragu ragu menelan pil merah tadi, juga karena  terdesak  oleh  keadaan,”  sip  siau-hong me mber i tanggapan.

“Niatku untuk me mbunuhnya sudah tetap. sebelum hal itu terlaksana, aku tak mau berhenti urtuk mencari daya upaya,” kata Ban Thian seng.

“Engkau me mang bernyali besar berani bersekutu dengan mur id pewarisnya. Jika saat itu kulaporkan kelicikanmu pada suhu, dia tentu takkan melepaskanmu!” sip siau hong menimpali.

Ban Tnian seng tertawa angkuh, “Jika tidak me mpunyai pegangan yang cukup meyakinkan tak akan aku berani sembarangan menar ikmu!”

sip siau hong serentak menarik tertawanya. Alisnya mengerut gelap. Rupanya ia menyesal atas pengkhianatannya terbadap suhunya dulu.

Ban Thian seng menengadah tertawa lagi, serunya-. “Lo Hian me mang seorang sakti yang luar biasa pintarnya. Mungkin di dunia tiada yang ma mpu menandingi kepintarannya itu. sayang dia me mpunyai cacad kele mahan yaitu terlalu yakin pada dirinya!”

“Sesungguhnya dia me mperla kukan aku dengan baik….” sip siau hong menghela napas.

sepasang mata tajam dari Ban Thian-seng mencurah kewajah wanita cantik itu, lalu tertawa, “Lo Hian je las mengetahui bahwa engkau adalah insan pilihan, berwatak tinggi hendak mengungguli orang lain. Maka dia telah bersusah untuk me manfaatkan dirimu dan merobah perangaimu. Adalah karena engkau me mang sebelumnya sudah mengandung hati untuk berkhianat, maka akupun segera me mbantumu melaksanakan cita-cita mu itu!”

Tiba-tiba wajah sip siau-hong mengerut serius dan berkata dengan tandas, “Peristiwa yang lalu tak perlu di ungkit lagi. Lebih baik kita bicarakan hal-hal yang sekarang saja….”

sejenak berhenti, wanita itu melanjut kan kata-katanya pula, “Dewasa ini seluruh kaum persilatan dari berbagai partai sudah berkumpul di Khik ciu.  Jika kali ini kita  berhasil menghancur kan sisa sisa tokoh persilatan itu, mungkin dalam jangka waktu tiga puluh tahun mendatang, tentu tak terdapat manus ia yang berani melawan pada kekuasaan kita!”

Siu-la m me ndengar pe mbicaraan itu dengan serius. Ia tertarik akan kisah Lo Hian. Ah, ia mendadak kecewa  karena sip siau hong telah mengalihkan bahan pembicaraan kearah penyelesaian tokoh tokoh yang sedang berkumpul di Khik ciu.

Tiba tiba angin berhembus. Kerudung sarang tawon tersingkap dan dua ekor tawon serentak terbang keluar.

sip siau hong dan Ban Thian-seng a mat tajam panca indranya. Mereka segera me mandang kearah pohon jati itu

Hian  Song   dan   Hui   ing   terperanjat.    Mereka   pun me mandaug kearah pohon itu.

“Hei. siapa itu?” bentak sip siau hong seraya apungkan tubuh, menuju kepohon itu. Siu-la m terlindung gerumbul daun yang lebat sekali.

sebaliknya  Ban  Thian-seng  tetap   duduk   tenang.   Ia me mandang tajam  tajam kearah puncak pohon untuk menyelidiki.

Siu-la m ragu ragu. Adakah dirinya sudah diketahui apa belum. Apakah lebih baik unjuk diri sama sekali. Belum sa mpai menga mbil keputusan, tiba-tiDa  telinganya  terngiang  suara le mbut macam nyamuk melengking.. “Untuk se mentara ini mereka belum me lihat mu. Tetapi jika wanita itu tiba didekat pohon tempat mu bersembunyi, ia pasti akan melihat dirimu. sekarang hanya dua pilihan. Cegah wanita itu jangan sampai mende kati pohon atau kau cepat cepat melar ikan diri!”

Nada orang yang membisiki ilmu Menyusup suara itu tawar dan dingin sehingga Siu-la m terkesiap. Ha mpir saja ia lupa bahwa saat itu dirinya sedang terancam bahaya maut.

“Eh, kau  ini  bagaimana?  Mengapa  tidak  cepat  cepat me mbuka sarang tawon untuk mencegah wanita itu? Apakah kau hendak menunggu maut?”

Cepat-cepat Siu-la m menenangkan hatinya terus menyingkap ujung sarang tawon segerombolan tawon segera me luncur me nyerang sip-siau hong.

sip siau hong terkejut terus ayunkan hanta man. Me mang dahsyat sekali tenaga pukulan ketua Beng gak itu Beberapa ekor tawon berha mburan jatuh ketanah.

Tetapi hal itu hanya membangkit kan amarah gero mbolan tawon itu. Mereka segera pecah diri jadi sebuah lingkaran seluas satu tombak. Tahu-tahu sip siau hong diserbu dari delapan penjuru.

Melihat bentuk tawon-tawon itu luar biasa besarnya dan seperti sudah dilatih orang untuk menyerang, tergeraklah hati sip siau hong. setelah lepaskan dua buah hantaman, ia pelahan lahan mundur. Pukulannya berhasil menahan laju serangan binatang itu.

setelah mundur kira kira empat tomba k jauhnya, kawanan tawon itu tak mengejar lagi. Ke mudian, wanita beng-gak itu berpaling kearah Ban Thian  seng, “Sekarang aku sudah menelan pil pe mberianmu. Mati hidupku berada ditanganmu. Tetapi tahukah kau mengapa aku begitu serta merta menelan pil beracun itu?” Ban Thian seng tertawa meloroh “Ho, karena kau hendak menggabung diri padaku untuk me lenyapkan tokoh tokoh persilatan itu!”

“Benar,” sahut sip siau-hong, “karena sudah jelas, nah, sekarang sudah tiba waktunya kita laksanakan bekerja sa ma “

Bin Thian-seng tertawa gelak-gelak, “Benar, bukankah kau hendak me minta aku turun tangan kepada tawanan tawon beracun itu?”

sip siau hong menggeleng  dan tertawa, “Walau pun kawanan tawon itu berjumlah besar dan dapat menyerbu dahsyat tetapi tak mudah hendak mencelakai aku. Yang kukehendaki ialah orang dapat menjinakkan tawon-tawon raksasa itu. Harap suka me mberitahukan, siapakah dia itu?”

“Didunia hanya ada seorang saja!” “Siapa?”

“Raja tawon Nyo Ko. Bukan saja ahli menjinakkan tawon

beracun, juga dapat menge mbang biakkan jenis tawon yang besar. Dia mengumpulkan segala jenis tawon  di dunia  lalu dike mbangbiakkan dalam perkawinan campur dan mendapat jenis baru. sejenis tawon yang luar biasa besarnya dan amat ganas racunnya.”

“Bagaimana orang itu?”

Ban Thian seng tertegun sesaat, jawabnya, “Adanya  Lo Hian me milih engkau sebagai murid pewarisnya, tentulah karena tertarik oleh sikap dan gayamu.”

sip siau hong tertawa mengikik, “Kutanya tentang pribadi Nyo Ko tetapi engkau menjawab tentang diri Lo Hian.”

“Kecantikan merupakan santapan yang lezat, Ah, memang benar kata kata orang kuno itu,” mas ih tetap Ban Thian-seng tak me mberi jawaban langsung. “Kutanya, termasuk golongan kaum persilatan apakah Nyo Ko itu?” sip siau hong mendesak lagi.

“Lebih suka mengas ingkan diri, angkuh dan dingin. Bergerak bebas menurut kehendak hatinya sendiri. Bukan orang golongan Putih, bukan pula golongan Hitam,” kali ini  Ban Thian-seng baru me mberi keterangan yang kena.

“Bagaimana kepandaian silatnya?” “Jago taklukanku!”

“Jika dalam pertemuan Jembatan burung Prenyak nanti,

mendapat tenaga bantuan tawon tawon raksasa itu. tentu akan mena mbah kedahsyatan pihak kita,” kata sip siau Hong.

“Engkau seorang angkatan muda, mungkin dia tak sudi engkau perintah!”

“Orang orang yang kutawan itu termasuk tokoh tokoh terkemuka. Masakan Nyo Ko menang dengan siau Yau ci atau si Tabib sakti Gan Leng poh?”

“Kalau menilai  ilmu silatnya memang mungkin begitu. Tetapi dalam kepandaian bersiasat, dia jauh lebih ganas dari kedua tokoh yang kau sebutkan itu. Apalagi dia me mpunyai tawon tawon raksasa. Tak mudah engkau me nundukan-nya!”

“Bagaimana dengan locianpwe sendiri?” “Dia pasti jeri kepadaku!”

“Kalau begitu sukalah locianpwe saja yang

mengundangnya. Jika dia ma u me mbantu kita, tentu amat berguna sekali!”

“Menundukkan tawon harus menundukkan orang. Di kuatirkan dia tak sudi bekerja di-bawah perintahmu. Tetapi akan kucoba!” kata Ban Thian seng seraya melangkah kepohon. sesungguhnya Dewa Iblis Ban Thian seng itu cerdik dan ganas sekali. Tetapi ternyata tanpa disadari, ia dapat diperalat sip siau hong.

“Hai, siapakah yang se mbunyi diatas pohon itu Nyo Ko?

Aku Ban Thian seng!” serunya.

Siu-la m terkesiap dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ia merasa tidak me mpunyai jalan la in kecuali unjukkan diri.

Pada saat ia masih ragu-ragu, tiba-tiba suara  lambut  seperti ngiang nyamuk tadi me lengking di telinganya lagi, “Orang ini ganas dan licin. Kalau sampai ketahuan jejakmu, tentu akan terjadi pertempuran yang ngeri!”

Tiba tiba Siu-la m mendapat pikiran. Jika ia dapat mengadu domba kedua orang itu, tentu ia  tinggal  ongkang-ongkang kaki melihat mereka saling bunuh.

setelah menga mbil keputusan, ia lantas melepaskan tawon lagi agar me nyerang Ban Thian seng.

“Hai, siapa yang berani kurang ajar terhadapku itu?” bentak Bon Thian seng mur ka. ssielab menaksir kekuatan tawon- tawon yang nenyerbu itu, segera ia mena mpar dua kali dengan tangan kirinya. setelah dapat menahan serbuan tawon, ia susuli lagi dengan sebuah hanta man kearah te mpat Siu-la m berse mbunyi. Pukulan dengan tangan kanan itu bukan ma in dahsyatnya. Gerumbul  daun lebat  yang menutupi Siu-  la m, serempak berha mburan gugur ke-bawah.

Siu-la m terperanjat menyaksikan kedahsyatan pukulan Dewa Iblis itu. Cepat ia empos se mangat terus loncat keatas. sejak tedi ia sudah me mer iksa sekeliling pohon itu. Apabila dahan tempat perse mbunyiannya itu hancur, ia masih dapat pindah kelain te mpat tanpa di ketahui musuh.

“Sungguh berbahaya!” diam- diam Siu- lam menge luh ketika me lihat keadaan dahan te mpat ia berse mbunyi tadi, saat itu tumbang berantakan karena pukulan Ban Thian seng. Kembali suara le mbut maca m nyamuk mengiang tadi menyusup ketelinganya lagi,  “Sekali pun engkau dapat menghindari pukulannya dan belum ketahuan dirimu. Tetapi sekali sudah turun tangan, dia tentu tak man berhenti sebelum mengetahui dirimu. Betapapun usaha mu, tetap takkan dapat mengelabui Ban Thian-seng dan wanita pemimpin Beng gak ini….”

“Jika tidak mau tunjukkan muka mu hai, Nyo Ko, jangan sesalkan aku tak kenal kasihan pada seorang kenalan lama!” teriak Ban Thian seng.

saat itu Siu-la m sudah melepaskan ha mpir semua tawon raksasa. Pohon jati yang tinggi itu seolah-olah tertutup oleh tawon-tawon raksasa. Bunyi tawon yang mendengung itu  amat me mbisingkan telinga. Biarpun sakti, tetapi Ban Thian- seng tak berani gegabah mene mpuh bahaya juga.

setelah suara dampratan Ban Thian seng lenyap, kembali orang tak di kenal itu menyusupkan bunyi nyamuk ditelinga Siu-la m, “Ternyata tawon tawon yang engkau lepaskan itu dapat menggertak mundur Ban Thian-seng. Untuk sementara waktu, engkau a man. Jika kau mau gunakan kese mpatan sebagus itu untuk melo loskan diri, tentu akan berhasil!

setelah berulang kali perdengarkan nada suara orang yang menyusupkan  peringatan   itu,   akhirnya   Siu- lam   dapat me mastikan bahwa itu

lah nada suara Bwe Hong- Swat. sambil menghadap kearah suara itu, ia menghaturkan terima kasih.

“Ingin kuperingatkan pada mu, saat ini adalah detik- detik berbahaya bagi jiwamu. Ban Thian seng dan ketua Beng gak mengira, engkau si Nyo Ko. Hendak menangkap engkau untuk di peralat. Oleh karena itu mereka tak  mau melepaskan tangan ganas. Jika tak ada rencana itu masakan kawanan tawon itu ma mpu menahan ke marahan mereka!” Dengan seksa ma Siu- lam menelusur i arah datangnya suara itu. Tampak pada jarak tiga tombak dari pohon yang ditempatinya, sebuah pohon jati lain yang t inggi. Diatas gerumbul daun dari sebatang dahan silang, tampa klah seekor burung raksasa yang indah bulunya. Burung itu mirip menyerupai burung mera k. serupa burung garuda. Burung aneh?

Kecuali burung aneh itu, Siu-la m tak me lihat lain- lainnya! “Mengingat kita pernah berkenalan, aku berjanji takkan

mence lakai engkau,” tiba-tiba Ban Thian seng berseru pula. “Tetapi jika tetap tak mau unjuk diri, jangan salahkan aku kalau terpaksa menuruni serangan ganas!”

sambil mendengar ancaman Ban Thian seng mata Siu-la m masih melekat pada burung aneh itu dan  keadaan  di sekeliling.

“Ho, kau kira aku benar-benar tak berdaya memberantas tawon   peliharaanmu  itu?”   seru   Ban   Thian-seng   tetus me lepaskan dua buah hanta man.

Bagaikan prahara melanda, kawanan tawon yang mengerumuni sekeliling pohon itu berbamburan jatuh ke tanah. Tak sedikit jumlahnya tawon yang hancur  binasa. Tetapi hal itu bahkan menimbulkan ke marahan binatang itu Mereka bertambah liar dan tak mau menurut perintah Siu-la m lagi. Laksana hujan mencurah, gerombo lan tawon itu segera menyerbu Ban Thian seng dari segala penjuru.

Ban Thian-seng mengge mbor keras, me mukul dengan tangan kanan dan tangan kirinya menyapu.

Rupanya kawanan tawon itu terlatih baik sekali. Ke matian sejumlah besar kawan-kawannya, rupanya menyadarkan binatang itu bahwa mere ka sedang berhadapan deegan musuh sakti. Dengan cerdik mereka tak mau menyongsong pukulan lawan tetapi berpencaran menyerang dari segala arah.

Ban Thian seng ma kin penasaran. Ia menghujani penyerang-peryerang itu dengan pukulan dahsyat. setiap kali pukulannya melanda, tentu berantakanlah kelo mpok tawon yang terkena. Tetapi sacepat tenaga pukulan Ban Thian seng reda, binatang itu menyerang lagi.

Me mang tokoh Nyo Ko itu pernah me ngge mparkan dunia persilatan. Tak sedikit jago-jago kelas satu yang roboh ditangan Nyo Ko dengan bantuan tawon peliharaannya itu. Bahkan pada suatu saat. ia pernah dikepung oleh delapan belas jogo-Jago silat kelas satu. Mereka hendak beramai ramai me mbunuhnya. Tetapi berkat tawon-tawon peliharaannya, dapatlah Nyo Ko mengalahkan pengeroyoknya itu semua. Pertempuran dahsyat itu telah mengangkat na ma ke masyuran Nyo Ko. Mulailah Nyo Ko dima lui orang.

sekalipun tak menyaksikan sendiri, tetapi Ban Thian seng pernah mendengar juga tentang peristiwa pertempuran itu. Dia m-dia m ia tak me mandang rendah pada Nyo Ko.

Dan setelah pada saat itu ia meratakan sendiri kehebatan dari tawon peliharaan Nyo Ko, barulah ia kewalahan. Bertubi tubi pukulan yang dilontarkan itu untuk se mentara hanya dapat mencegah saja tetapi tak kuasa menghancurkan.

Pada saat Ban Thian-seng sibuk diserbu tawon tawon raksasa, sedang Hian Song dan Hui- ing pun tengah terpikat perhatiannya, secepat kilat sip siau hong  meludahkan sebutir pil merah dan lekas pula pil itu disimpan dalam bajunya.

Hampir tujuh bagian dari kesaktian Lo Hian, telah diturunkan kepada sip siau hong. Ilmu lwekang  telah mencapai tataran tinggi. Di tambah pula dengan  kecerdikan dan keganasannya yang luar biasa, dia merupakan tokoh nomor dua di dunia persilatan setelah Ban Thian-seng. Ketika disuruh menelan pil oleh Ban Thian seng dengan cepat sip siau hong sudah menga mbil putusan untuk menelannya. Dengan gunakan lwekang, ia me ngantar pil itu kedalam kerongkongannya tetapi tak sampai masuk kedalam perut. Begitu mendapat kese mpatan, segera ia ludahkan pil itu keluar lagi.

Untuk mengalihkan perhatian Ban Thian-seng sengaja ia menghujani pertanyaan kepadanya.

sip siau-hong menyadari bahwa sedetik pil beracun itu berada dalam mulutnya, sedetik itu juga jiwanya terancam. Namun iapun menyadari pula bahwa berbahaya sekali apabila ia tak hati-hati meludahkannya.

Maka ia tetap bersabar menunggu kese mpatan dan kesempatan itu akhirnya tiba pada saat Ban  Thian-seng sedang diserang kawanan tawon. Cepat cepat wanita Beng  gak itu menyedot keluar pil itu dari tenggorokannya dan di ludahkan keluar terus disimpan dalam bajunya.

Kemudian ia mengawasi ke muka. Dilihatnya Ban  Thian- seng mas ih sibuk dalam kepungan tawon raksasa. Adalah berkat, tenaga dalamnya yang sakti maka Dewa iblis itu dapat me lancarkan pukulan tanpa berhenti dan tanpa lelah. Ia dapat me ma ksa binatang itu mundur sa mpai dua tiga meter. Tetapi kawanan tawon itu tetap berterbangan mengurung dalam jarak e mpat lima to mbak. Mereka menunggu kese mpatan.

sejenak merenung, sip siau hong segera menghampir i dan berseru  lantang,  “Locianpwe,  jangan  takut,  aku  akan  meno longmu!”

Bukannya menya mbut tawaran itu kebalikannya Ban Thian- seng malah marah, “Menghadapi kawanan binatang begini saja, masakan perlu minta bantuanmu. Hm, jangan menghina aku!”

Ia menutup kata-katanya dengan hantaman kedua tangannya. Empat buah hantaman yang dilancarkan dengan tenaga penuh itu telah berhasil menyibak kawanan tawon itu pecah menjadi dua belah Tetapi selekas angin pukulan lewat, kawanan tawon itupun merapat lagi.

Ban Thian-seng terkejut sekali. Dia m-dia m ia bingung. Tak tahu bagaimana ia harus mengenyahkan binatang itu.

Akhirnya ia me mutuskan untuk menghujani mereka dengan pukulan lagi. Kedua t injunya segera  berhamburan  menghanta m. Angin menderu-deru keempat penjuru.

Melihat kawanan tawon itu saling  berbenturan dengan kawan sendiri akibat pukulan orang, diam diam Siu-la m gelisah juga. Ia kuatir kawanan tawon itu tak ma mpu bertahan. Diam diam timbul keinginannya untuk turun tangan.

“Ah, ingin kuketahui sa mpai dimana ke majuan  yang kucapai setelah berlatih keras sela ma setengah tahun ini. Mendapat lawan seorang tokoh utama seperti Ban Thian seng, tentulah akan ta mbah pengala manku.” pikirnya.

Tetapi pada saat ia hendak bergerak, tiba tiba Bwe Hong Swat melengking kedalam telinganya lagi, “Jangan buru buru keluar dulu. Tawon tawonmu itu hebat sekali. Rupanya Ban Thian-seng sukar mengha lau mereka….”

suara lembut itu berhenti sejenak lalu berkata lagi, “Saat ini sip siau hong sedang mengadakan persekutuan anjing dengan kucing kepada Ban Tnian seng. Kesempatan ini menguntungkan engkau, Jika engkau dapat menguasai tawon itu dari jauh, sekarang inilah saatnya engkau melo loskan diri.”

Anjuran Bwe Hong Swat itu bertentangan dengan keputusannya tadi. Ia hendak mene mpur Ban Thian seng. Diam diam is me mperhatikan arah suara le mbut itu. Tetapi empat penjuru sunyi senyap. Kecuali burung raksasa itu, tiada tampak lain la in ma khluk lagi.

“Keberanian, harus melihat tempat dan saat. Jika saat ini kau hendak muncul dan mene mpur Ban Thian seng, kalah menang  kau  akan  menderita.  Jika   kau  tak   mau   lekas me larikan diri, mereka tentu tetap mengira kau Raja tawon Nyo Ko. Kelak apabila perlu, kau boleh menyaru sebagai Nyo Ko dan masuk kedalam apa yang disebut sebagai perjamuan Jembatan prenyak itu,” suara le mbut itu terdengar lagi.

saat itu Siu-lam benar benar me mperhatikan burung raksasa itu. Ia dapatkan bahwa  suara  Bwe  Hong-Swat  itu me mang barasal dari belakang burung. Ia duga bukan mustahil Bwe Hong Swat dapat memelihara burung raksasa  itu.

Karena tak lekas menurut Bwe Hong-Swat, nona itu menduga kalau Siu-la m meno lak anjurannya. Buru-buru nona itu menyusupkan suara lagi, “Jangan menuruti nafsu kegagahanmu. Bisa menga kibatkan terlantarnya urusan besar. Ketahuilah, pertemuan Jembatan prenyak itu besar sekali hubungannya dengan nasib dunia persilatan. Jika  dalam urusan kecil tak dapat bersabar, urusan besar tentu akan kacau….”

suara itu terhenti sejenak lalu terdengar lagi, “O. apakah kau kuatir kedua sumoay itu akan mengatakan jejakmu? Ah, seratus persen mereka tentu tak mau me mbuka rahasia mu, jangan kuatir!”

Siu-la m anggap kata-kata nona itu me mang benar “Baiklah, aku menurut….” iapun menggunakan ilmu menyusup suara kearah burung itu,

“aku akan menunggumu diluar hutan ini….”

“Tak perlu, kau seorang pemuda cakap. Banyak gadis gadis yang jatuh hati padamu, termasuk kedua sumoay mu itu. Masakan kau masih ingat kepadaku lagi?” tiba-tiba Bwe Hong- Swat menyahut.

Siu-la m terbeliak. Tak tahu ia bagaimana harus menjawabnya. Rupanya gerak gerik pemuda itu tak lepas dari pengawasan Bwe Hong Swat. Nona itu segera menyusuli kata- kata, “Baiklah, aku bersedia untuk berte mu muka dengan kau satu kali lagi, Lekaslah pergi, tak perlu kau kuatirkan aku tak dapat mencarimu. Kemana kau pergi, aku tentu dapat mencarimu silahksn pergilah sekarang!”

“Baik.” sahut Siu- lam seraya melayang turun terus lari ke arah barat. setengah li jauhnya, ia berhenti.  sesuai dengan ilmu pelajaran dari Nyo Ko, ia segera mengetuk ngetuk sarang tawon.

Lebih kurang t iga ratus ekor tawon segera terbang ke luar dan menuju ke arah tempat ia bersembunyi tadi. setelah itu ia terus lari. Kawanan tawon itu kembali mengikutinya dengan cepat. Walaupun ilmu peringan tubuh dari Siu-la m telah maju pesat, tetapi karena cukup la ma, tubuhnya mandi keringat. Dan begitu berpaling,  ternyata  kawanan  tawon  itu  sudah me luncur turun dan menyusup masuk lagi ke dalam sarangnya. Siu-lam pun lantas menutupi sarang Bok-liong dengan kain hita m.

Me mandang ke sekeliling, tampa k deretan gunung sambung menyambung maca m rantai.

Ban Thian-seng ternyata tak tampak mengejar. segera ia duduk di sebuah batu karang besar.

Baru saja ia duduk lantas terdengar derap langkah kaki orang berjalan perlahan. Dan pada la in kejap, muncul si dara baju putih Bwe Hong Swat dari balik batu.

“Nona Bwe,” serentak Siu-la m bangkit me mberi hor mat. Tetapi segera terpesona ketika memandang wajah nona baju putih itu. Hanya lebih kurang setengah tahun tak berjumpa, kini Bwe Hong- Swat makin berta mbah cantik. Buru-bur u ia tundukan kepala tak berani me mandang.

“Mau apa kau hendak jumpa denganku?” tegur nona itu dengan sikap dingin. Siu-la m batuk batuk lalu mengatakan bahwa ia hendak bertanya tentang beberapa hal.

“Katakanlah!” seru Bwe Hong Swat.

“Atas bantuan tadi nona, aku menghaturkan terima kasih….” tiba-tiba ia berhenti tak dapat melanjut kan kata- katanya.

Siu-la m tertegun. “Pertemuan Jembatan Prenyak kali ini, menyangkut kelangsungan hidup dari dunia persilatan….”

“Hal itu sudah kuketahui. Kalau tak salah, kata-kata itu sku yang me mber itahukan kepadamu!” sahut Bwe Hong Swat.

Siu-la m tersipu merah mukanya. “Maksudku adalah hendak me minta nona turun tangan untuk menyela matkan dunia persilatan.”

“Ah, belum tentu,” sahut Bwe Hong Swat. “Dengan ketua Beng gak aku mas ih me mpunyai bekas hubungan guru dan mur id. sekarang masih sukar menentukan hendak me mbantu fihak yang mana. sampai saat itu, baru aku dapat menetapkan keputusan.”

Kembali Siu-la m tertegun tak dapat berkata spa apa.

“Atas dssar apa kau mengatakan hal itu kepadaku?” Bwe Hong Swat tertawa dingin.

Siu-la m batuk-batuk perlahan. Namun tetap ia tak dapat mene mui jawaban.

“Kebalikannya akupun me mpunyai sebuah hal yang hendak kuberitabu kepadamu,” kata Hong Swat.

“Aku bersedia me ndengarnya.” sahut Siu-la m.

“Apakah itu bersedia atau tidak. Tahukah kau, apamukah aku ini?” tanya Hong-Swat.

Siu-la m batuk batuk keras, ujarnya tergugup “Ini, ini….” sampai la ma sekali belum juga bicara. Akhirnya Bwe Hong Swatlah yang berkata dengan tandas, “Aku adalah isterimu!”

Siu-la m menghela napas, ujarnya, “Peristiwa yang la mpau, hanyalah sekedar untuk menyela matkan keadaan, mengapa nona begitu bersungguh sungguh?”

“Di bawah langit biru re mbulan purna ma, mengangkat sumpah sehidup se mati. Adakah peristiwa itu bukan sungguh- sungguh? Hm Kesucian wanita, bagaimana se mudah itu hendak diinjak injak!”

Diam diam Siu- lam heran, Mengapa seorang gadis yang diasuh dalam lingkungan suasana cabul di Beng gak, dapat menganggap sumpah di bawah re mbulan itu dengan kesungguhan hati.

Bwe Hong Swat menghela napas, “Tak peduli engkau suka atau tidak suka aku ini isteri- mu, bagiku tidaklah penting. Tetapi engkau harus mengakui bahwa me mang kita ini terikat nama sebagai suami isteri. Bukankah banyak sekali sua mi isteri yang saling tak menyuka i dan berpijah sela ma la manya? Mengapa kita tak boleh menggunakan na ma sebagai sua mi istri….”

Nona itu berhenti sejenak, me mandang awan yang tengah berarak dicakrawala, la lu me lanjutkan berkata pula, “Sebenarnya aku hendak mencukur rambut menjadi biarawati. Tetapi karena mengingat belum me mber itahukan hal itu kepadamu, maka untuk se mentara ini ra mbutku masih kupelihara.”

Nona itu seolah olah menumpahkan kandungan hatinya selama ini. Dan Siu-la m hanya terlongong-lo ngong tak dapat berkata apa-apa.

Kata nona itu lebih jauh, “Mungkin kesegananmu untuk mengaku aku sebagai isteri karena engkau takut aku sebagai seorang istri takkan me mperbolehkan engkau menga mbil lain wanita sebagai isteri lagi, bukankah begitu?” “Nona salah faham….”

“Sa ma sekali tidak salah faham,” tukas Bwe Hong Swat, “Seorang   pria  tidak   bertindak   berlebih-lebihan   karena me mpunyai empat istri. Jangan kuaur, asal engkau mengakui hubungan sua mi isteri itu, akupun takkan mengha langi tindakanmu kalau engkau hendak mencari beberapa  isteri lagi!”

Siu-la m menghela napas, “Perjanjian ditelaga Han cui thian itu, hanya untuk menolong keadaan yang genting. Kemungkinan engkau sendiripun belum me mpertimbangkan dengan masak. Tetapi bagaimanapun, aku sangat mengindahkan pribadimu….”

“Siapa sudi mener ima penghor matan itu? Hai, seorang wanita baik takkan bersuami dua pria. sekalipun pada saat itu aku tak me mikir masak masa k tetapi apa yang kukatakan itu, tak mungkin kujilat lagi. Masakan aku harus menyesal? “

“Ah, sebaiknya kita bicarakan hal itu besok saja lagi,” kata Siu-la m, “yang penting sekarang ini adalah tentang pertemuan jembatan-prenyak. Karena kau mau datang ke mar i, tentulah kau takkan berpeluk tangan….”

Tiba tiba kata Siu-la m itu terputus karena terdengar suara derap langkah orang yang berjalan cepat.

“Siapa?” bentak Bwe Hong Swat terus me lesat mengejarnya.

Siu-la m terkejut dan buru buru berseru mencegah nona itu. saat itu Bwe Hong Swat sudah tiap hendak menutuk jalan darah pendatang itu. Ketika mendengar suara Siu-la m,ia hentikan tangannya dan berpaling, “Dia mata- mata yang di utus Beng gak. Apakah kau hendak mintakan a mpun untuknya?”

Siu-la m buru buru mengha mpiri, “Dia adalah sahabat baik dari mendiang guruku!” ia me me gang bahu kanan orang itu dan pelahan lahan menampar jalan darah dibagian pusarnya. Me mang melihat orang berpakaian jubah biru dan me melihara jenggot panjang. lupa-lupa ingatlah Siu- la m. Rasanya ia pernah melihat orang itu tetapi entah dimana.

setelah diurut-urut beberapa saat, orang tua jubah biru itu tersadar. Ia me mbuka mata dan menghela napas.

Diam diam Bwe Hong Swat terkejut karena mengetahui Siu-la m ternyata pandai juga mengurut ja lan darah.

Orang itu tiba t iba me mukul Siu-la m.

“Paman Tio,” seru Siu- lam sa mbil menghindar, “masakan engkau lupa kepadaku?”

Ternyata orang berjubah biru dan berjenggot panjang itu adalah Tio It-ping. Dan serentak teringatlah Bwe Hong Swat kalau pernah me lihat orang Itu bersama Siu- lam dan Hui- ing menyelundup kedalam pertempuran besar digunung Thay-san tempo dulu.

Jotosannya luput, Tio It ping serentak loncat bangun lalu menyerang Siu-la m terpaksa menge luarkan ilmu mer ingankan tubuh,untuk berlincahan menghindarkan diri. Tetapi ia  tak mau balas menyerang.

Rupanya Tio It-ping tak menyadari bahwa sesungguhnya Siu-la m hanya mengalah. Bwe Hong Swat  pun banya  diam me mperhatikan gerakan Siu-la m. Dia m-dia m ia terkejut karena menyaksikan gerakan anak muda itu bukan mein gesitnya.

Tio It-ping menyerang dengan pukulan dan tendangan. Dalam beberapa detik saja, ia sudah me lancarkan seratusan jurus. Tetapi yang diserang tak apa-apa, dia sendiri juga kelelahan.

sambil meloncat sambil menghindari, Siu  Jam  terus menerus me manggil dia pa man Tio lt ping. Me mang ia tahu bahwa setiap orang yang ditawan Beng gak tentu diminum semaca m ra muan obat yang menghilangkan daya ingatannya.

Karena kehabisan tenaga, hampir Tio It-ping tak dapat meneruskan serangannya yang gencar itu.

Siu-la m tersadar. Cepat ia mena mpar dada Tio It ping.

Kembali Bwe Hong  Swat terkejut melihat kecepatan gerakan tangan Siu- lam cepat dan tepat.

secepat menampar dada, tangan kiri Siu-la m pun menyanggapi   tubuh   Tio   It   ping    dan    pelahan-lahan me letakkannya. Diam diam ia hendak mencari keterangan tentang diri jago tua itu kepada Bwe Hong Swat.

Nona itu mengha mpiri dan terus letakkan tangannya ke bagian belakang kepada Tio It ping, lalu berseru dingin, “Apakah kau hendak me nolongnya?”

“Kumohon petunjuk nona,” sahut Siu-la m.

“Akan kusalurkan tenaga dalamku, Urat jantungnya tentu hancur,” kata Hong Swat.

“Apa maksudmu?” Siu- lam tertegun.

“Engkau mengakui sumpah dibawah rembulan itu atau tidak?” tanya Hong-Swat.

“Ah, kau mengungkit soal itu lagi. Lekas lepaskan!” seru Siu-la m seraya hendak mengha mpir i. Tetapi Hong-Swat cepat me mbentaknya, “Berhenti, sekali kau berani melangkah jiwanya tentu akan kuhancurkan….”

Makin tak mengerti Siu- lam akan pribadi nona itu. setempo sikapnya dingin, setempo- bicara dengan serius dan agung. Tetapi setempo pun bertindak aneh menurut sekehendaknya hatinya sendiri. Siu-la m menghela napas, “Makin la ma  semakin  bingung me mikirkan pendirianmu. Baik…. baik buruk, benar benar sukar dirabah….”

“Jawab dulu pertanyaanku tadi, baru nanti kita bicara lagi!” tukas Hong-Swat.

Melihat wajah nona itu bersemu merah tahulah Siu-la m bahwa nona itu me mang sudah mengerahkan tenaga dalam. Kata-katanya itu bukan ancaman kosong. Dia m-dia m Siu-la m terkejut.

“Jangan! Kita bicara yang tenang,” serunya.

Kedua- suhunya dan kedua orang tuanya sudah meningga l. Tio It-ping yang disebut sebagai pa mannya itu, me mang baik sekali kepadanya. Bahkan me mber ikan juga ilmu pelajaran silat. Paman Tio itu adalah sahabat karib dari mendiang gurunya. Mengingat guru, Siu-lam pun bertanggung jawab juga atas kesela matan Paman Tio itu.

“Engkau mau mengakui atau tidak, lekas bilang.”  teriak Bwe Hong Swat lagi.

“Jangan turun tangan dulu. Kalau toh memang peristiwa itu suatu kenyataan, bagaimana aku dapat mengingkari!” katanya dengan rangkaian kata yang melingkar.

“Engkau udah menga kui sendiri!” tiba-tiba Bwe Hong Swat tertawa dan lepaskan tangannya dari kepala Tio It  ping. Jarang sekali nona itu tertawa. Tetapi sekali tertawa, wajahnya benar benar bagai sekuntum bunga mekar di pagi hati….

“Aku hendak moho n tanya kepadamu.” kuatir nona itu akan menghujani pertanyaan soal itu lagi, buru Siu- lam alihkan pembicaraan.

“Soal apa?” “Nona la ma tinggal di Beng gak. Tentulah tahu bagaimana untuk menghilangkan obat yang membuat orang orang tawanan itu kehilangan kesadarannya!”

“Maksudmu hendak menyembuhkan kesadaran orang ini?” tanya Hong Swat.

“Kalau nona sudah tabu. harap jangan membikin susah,”

Siu-la m menghela napas

“Cobalah engkau periksa ubun ubun kepalanya!”

Ketika Siu- lam me meriksa, ternyata pada ubun ubun kepala Tio It ping terdapat sekeping koyok hitam yang melekat dikulit kepalanya.  setelah  mencabutnya,  Siu-lam  terus  hendak  me mbuang barang itu. Tetapi tak jadi dan dimasukan kedalam kantong bajunya. Kemudian ia me mberi hor mat kepada Tio It ping, “Pa man Tio, Siu-la m me mberi hor mat.”

Tetapi jago tua itu tetap terlongong longong. Siu- lam tersadar. Karena jalan darah paman Tio itu belum dibuka, tentu tak dapat bicara. segera ia mena mpar jalan darah yang tertutuk itu. setelah itu mengulangi me mberi hor mat dan menegur, “Adakah pa man Tio mas ih ingat pada ku?”

Tio It ping mendengus. Tiba tiba ia menghanta m. Karena jaraknya sangat dekat dan tak terduga duga, Siu-lam tak dapat menghindar lagi. Bluk, bahunya terhantam sehingga ia terhuyung huyung beberapa langkah.

Hong Swat cepat melesat kebelakang Tio It ping  lalu menutuk jalan darahnya.

“Eh, mengapa engkau me mandangku begitu rupa?” tegurnya kepada Siu-la m.

“Mengapa koyok Pelenyap jiwa dikepaianya sudah dilepas, dia masih tak sadar?” kata Siu-la m.

“Huh, Siapakah suruh hendak begitu terburu buru dan tak mau tanya yang jelas? Hm, untung pukulannya agak perlahan. Jika dia me mukul sekerasnya dan mengenai bagian yang berbahaya, bukankah engkau akan mat i dengan penasaran?”

“Apakah dia masih terkena lain obat?” tanya Siu-la m.

“Kalau kepandaian ketua Beng gak itu hanya begitu saja, masakan dia ma mpu  menguasai sekian banyak jago jago persilatan? Hm, seharusnya engkau pun tahu bahwa alat-alat untuk menundukkan yang dipasang ketua Beng gak itu, tentulah bukan hanya itu saja. sayang engkau terlalu gegabah”

“Bagaimana aku harus mengetahui?” sahut Siu-la m. “Sederhana sekali. Bukankah kawanan paderi siau lim-s i itu

tak me melihara rambut? Tetapi mengapa mereka tetap dapat dikuasai ketua Beng gak?”

Siu-la m tertegun, ujarnya, “Bagus, me mang aku harus dimaki maki. Benar benar tak dapat me mikir sa mpai disitu…. ah, silahkan me mberi keterangan tentang alat yang lain itu!”

“Cobalah engkau periksa tengkuknya.  Benda  apa  yang  me lekat disitu!” seru si nona.

Ketika me meriksa tengkuk Tio It ping, Siu-la m mendapatkan se maca m benda aneh sebesar cap kecil warna emas.

“Apakah ada harapan ditolong?” Siu-la m kerutkan dahi. “Apakah engkau tak dapat mencabut jarum e mas yang

menancap ditengkuk kepalanya itu?” tanya Hong Swat.

Siu-la m ulurkan dua buah jarinya hendak mencabut. Tiba tiba Bwe Hong Swat me mberi peringatan, “Hati hati, jarum itu menancap pada bagian yang gawat. sekali salah tangan, menyesal tiada gunanya.”

Siu-la m tarik ke mbali tangannya. Diam-dia m ia kerahkan tenaga dalam. Tangan kiri mencekal bahu Tio It-ping supaya jangan bergerak, lalu gunakan tangan kanan untuk mencabut jarum e mas itu. Dengan hati hati ia berbasil mencabut benda itu. sebuah jarum emas yang amat halus dan tajam sekali. panjangnya hampir satu setengah dim. Ia menyimpan benda itu dalam bajunya. setelah itu minta keterangan lagi kepada Bwe Hong Swat kalau mas ih ada alat yang bersarang pada tubuh Tio It ping.

“Sudah tentu masih ada. Kalau tidak engkau tentu segera mengetahui jarum itu pada kepala paderi siau-lim-s i yang gundul,” sahut Bwe Hong-Swat.

Atas permintaan Siu-la m, nona baju putih itu menerangkan, “Lepaskan bajunya. Cobalah periksa pusarnya apakah disitu terdapat suatu benda!” habis berkata ia terus berputar tubuh me mbe lakangi lagi.

setelah melakukan perintah sinona, ternyata pusar Tio It ping tertancap sebatang jarum emas. sstelah dicabut Siu-lam menanyakan lagi.

“Cobalah engkau periksa dada kebawah sampai keulu hatinya tiga buah jalan darah!” kata Bwe Hong-Swat.

Apa yang  dikatakan  nona  itu  me mang  benar.  Siu-la m ke mbali mencabut tiga batang jarum e mas di tempat-tempat yang diunjuk Bwe Hong Swat itu. setelah dicabut, ia minta keterangan lagi. Tetapi kali ini Bwe Hong Swat mengatakan kalau sudah cukup dan suruh me maka ikan baju pada Tio It ping.

“Apakah sekarang boleh me mbuka ja lan darahnya yang tertotok itu?” tanya Siu- la m.

“Jangan dulu, dia baru saja terlepas dari kelima jarum emas, jangan lekas lekas dibuka jalan darahnya. Tunggu beberapa saat lagi!”

“Apakah kelima batang jarum e mas itu menurut ajaran Lo Hian?” tanya Siu-la m. Bwe Hong Swat mengangguk. “Benar, sebelum masuk ke dalam Telaga Darah, tentu aku-pun tak dapat mengetahui apa apa seperti kau.”

Siu-la m mendengus. “Hm, orang me muji- muji Lo Hian itu manus ia luar biasa yang tiada tandingannya. setiap orang menghor mat dan menjunjung tinggi kepadanya. Tetapi apa yang kulihat saat ini atas cara-caranya yang sedemikian  ganas, jelas bukan laku seorang manus ia ksatria, bukan seorang manus ia yang luhur!”

“Tetapi alat alat itu diperuntukkan menghadapi bangsa bangsa durjana yang gemar me mbunuh. Dengan menancapkan jarum jarum emas pada bagian tubuhnya yang tertentu. tentulah durjana itu dapat menurut perintah. Bukankah hal itu berguna juga?”

“Ada dua hal yang tak kumengerti, tolong kau jelaskan!” “Katakanlah, asal aku tahu tentu akan kuterangkan.” sahut

Bwe Hong Swat.

“Beberapa jarum yang kucabut dari badannya tadi, kalau tak salah adalah bagian jalan darah maut. Tetapi mengapa dia tak mati?”

Bwe Hong Swat tersenyum, ujarnya, “Apakah kau sudah meneliti dengan seksama? Walaupun jarum itu tampaknya menancap pada bagian jalan darah maut, tetapi  sesungguhnya ditusukkan agak mir ing kesa mping pada bagian urat nadi yang menjadi  pusat penggerak urat syaraf, tujuannya hanya untuk me lenyapkan kesadaran pikiran sehingga lupa segala, lupa  pada peristiwa dan sahabat kenalan la ma.”

“Ke mungkinan hal itu me mang benar. Tapi hanya orang yang berotak luar biasa, baru bisa me mperhitungkan hal itu.” kata Siu-la m. “Lo Hian faham sekali akan se mua ja lan darah di tubuh manus ia serta kegunaan setiap urat-urat. Dengan bekal pengetahuan ilmu Hayat itu, dapatlah ia  menciptakan  ilmu Lima Jarim Pe maku Jiwa. Mudah tampa knya tetapi bukan main sukarnya menciptakan ilmu itu.” kata Bwe Hong Swat.

seketika teringatlah Siu-la m akan pesan mendiang Kak Hui- taysu supaya ia mencari Lo Hian dan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

“Tak perduli Lo Hian itu bagaimana cerdas dan saktinya, tetapi ilmu kepandaiannya itu termasuk aliran sia pay (Hita m), tak dapat di golongkan suatu sumber ajaran yang baik.” kata siu- la m.

Ucapan Siu- lam itu benar besar mengejut kan Bwe Hong Swat. Nona itu tertegun heran lalu berseru, “Apa? kau tak tuntuk padanya?”

Siu-la m menengadah dan tertawa keras. “Kecerdikan Lo Hian, tak dapat diukur berapa tingginya. Tetapi maaf, aku terpaksa tak dapat menghor matinya karena ia telah menciptakan ilmu ajaran jenis sia-pay itu!”

“Kata katamu itu terlalu tak menghor mati terhadap seorang locianpwe yang berbakat luar biasa. sebaliknya hati-hatilah dengan perkataanmu!” kata si nona.

Siu-la m tertawa. “Jika me mpunyai kese mpatan berjumpa dengan Lo Hian, aku benar benar hendak meminta pelajaran dari dia barang satu dua jurus.”

Tiba tiba Bwe Hong-Swat teringat bagaimana aneh gerakan pemuda itu ketika menghindari pukulan Tio It ping- Diam diam nona itu menduga, kata-kata Siu-la m itu me mang me mpunyai dasar.

“Kau berkata dengan sungguh sungguh?” ia  menegas. “Ya,”  sahut  Siu-la m.   “Mungkin  aku  bukan  tandingan Lo

Hian,  Tetapi  kalau   aku  hendak  mencarinya   dan mengadu kepandaian, kan bukan suatu hal yang  melanggar kesopanan?”

Wajah Bwe Hong swat agak berobah. Tiba tiba ia me mbuka jalan darah Tio It ping.

Rupanya Siu-la m sudah menyadari akan perobaban Bwe Hong-swat. Buru buru ia menyusuli kata katanya,  “Oleh karena itu maka aku hendak mene mpur wanita Beng gak itu dulu. Bagaimana hasilnya barulah nanti kita bicarakan lagi.”

Dija mahnya Tio It ping. Orang tua itu menghe la napas dan me mandang Siu-la m lekat lekat. Beberapa saat kemudian ia berkata, “Apakah kau ini Pui hiantit?”

Siu-la m girang sekali. “Benar, aku Pui Siu-la m. Harap paman Tio beristirahat dulu, aku masih me mpunyai banyak hal yang hendak kubicarakan.”

Tio It-ping berkilat-kilat me mandang anak muda itu, katanya, “Ah, mengapa hiantit sa mpai di sini?”

“Panjang sekali ceritanya. Lebih baik pa man beristirahat dulu, aku yang me njaga.”

Karena me mang le lah sakali. Tio It-ping pun segera duduk bersemedhi me mulangkan se mangat. Dalam pada itu Siu-la m terkejut ketika melihat Hong Swat lenyap lagi di balik batu. Ia hendak menariaki tetapi kuatir me mbikin kaget pa mannya.

Kira-kira  sepenanak   nasi   lamanya,   Tio   It-ping   pun me mbuka matanya lagi dan menghela napas. “Hiantit, pakaianmu begitu….”

“Banyak peristiwa yang kualami. Panjang sekali jika diceritakan. Yang penting sekarang aku hendak bertanya kepada pa man!”

“Hal apa?”

“Apakah paman masih ingat keadaan pada waktu kita bertempur tadi?” tanya Siu- la m. “Setengah ingat, setengah tidak,” sahut It-ping.

Siu-la m - mengeluarkan kelima jarum e mas. “Karena dicabuti, jarum jarum ini maka ingatan pa man menjadi hilang dan lupa pada peristiwa la ma….”

sambil mengawas i jarum-jarum itu, It-ping mengerut heran. “O, begitu?!”

Siu-la m segera menuturkan apa yang telah terjadi. It ping menghe la napas. “Jika hiantit tidak menolong, seumur hidup aku pasti akan menjadi budak wanita kuntilanak itu….” ia keliarkan pandang matanya ke sekeliling, tiba-tiba, “Hai, kenana nona Bwe tadi? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya!”

Karena tak tahu pasti apakah Bwe Horg-Swat sudah pergi atau hanya bersembunyi, maka Siu-la m me ngatakan bahwa nona itu pergi lebih dulu karena me mpunyai lain urusan.

Tiba tiba Tio It-ping teringat sesuatu. serentak ia loncat bangun. “Pui hiantit!”

“Mengapa?”

“Apakah Hui ing mas ih hidup?”

“Atas lindungan arwah suhu, adik Hui- ing masih hidup.” saat itu Tio It ping sudah pulih kesadaran pikirannya dan

teringat semua peristiwa yang lampau. Ia segera menanyakan di mana te mpat Hui- ing.

“Sekalipun dia masih hidup, tetapi tidak mudah untuk menjumpainya!”

“Mengapa?” Tio It-ping heran.

“Dia sudah menjadi murid Dewa Iblis Ban Thian seng. Dan Ban Thian seng itu bersekutu dengan wanita Beng-gak sip siau hong. Mereka tengah mempersiapkan pertempuran besar untuk me mbas mi seluruh kaum persilatan!” Merenung sejenak, berkatalah Tio It-ping, “Berpuluh tahun yarg lalu, dunia persilatan me mang sudah mendengar tentang sepak terjang Ban Thian seng. Dengan Lo Hian, merupakan sepasang jagoan Ceng pay dan sia pay!”

Siu-la m mendengus. “Keganasan Ban Thian sang telah termasyur dan diketahui umum. Tetapi Lo Hian  yang disohorkan orang sebagai manusia luar biasa, juga hanya luarnya saja baik tetapi dala mnya jahat, banyak tipu muslihat dan seorang ksatria palsu. Dia telah mengelabui mata dunia!”

Tio It ping terbeliak. “Lo Hian adalah seorang tokoh utama dalam dunia persilatan. Tak seorangpun yang tak mengindahkan kepadanya. Mengapa hiantit sembarangan menghinanya?”

Menunjuk jarum jarum e mas itu, berkatalah Siu- la m, “Jarum-jarum e mas ini adalah salah satu ciptaannya. Karena mendapat pelajaran ilmu itu, sip siau hong telah menggunakannya untuk me ncelakai tokoh-tokoh persilatan. Hanya   sebuah   contoh   ini   saja,    khan    sudah    cukup me mbuktikan bahwa dia bukan seorang tokoh Ceng-pay….” tiba-tiba Siu-la m berhenti dan  serentak  berbangkit  seraya me mbentak . “Siapa itu!”

“Aku….” terdengar sebuah suara pere mpuan menyahut. Dan tak la ma, muncullah si nona baju biru dari balik sebuah batu besar.

serentak wajah Tio It ping berobah dan terus loncat bangun. Ternyata melihat nona baju biru itu, timbullah rasa ngeri pada benak It ping.

“Tong Bun- kwan, mau apa kau ke mari?” tegur Siu- lam dengan tertawa dingin.

“Apa? Engkau me lupakan janji yang telah kita adakan itu?”

Tong Bun-kwan balas tertawa “Janji apa?” “Ih. benar-benar seorang pelupa sekali. Bukankah telah kubawa engkau melihat kedua suhu itu dan tak kuberitahukan kepada mereka tentang dirimu….”

“Apakah engkau hendak me nagih ilmu pelajaran dari aku?” “Janji telah kita setujui, jadi bukan semata mata minta

pelajaran secara cuma cuma.”

sejenak merenung, Siu-la m berseru, “Baiklah, akan kuberimu sebuah jurus pelajaran!”

“Hanya sebuah jurus….”

“Apa? Masih kurang? Hm, sekalipun hanya satu jurus tetapi kalau engkau yakinkan dengan ma hir, seumur hidup tak nanti habis. Lekas ke mari bawa pedang!” seru Siu-la m.

Tong Bun kwan mencabut pedangnya dan menyerahkan kepada Siu-la m, serunya, “Ada sebuah hal yang lupa kuberitahukan kepada mu.”

“Apa?”

“Pedang pusaka mu yang kura mpas digereja siau lim-si tempo hari, telah kuke mbalikan kepada isterimu.”

Siu-la m tertegun, serunya marah, “Jangan ngaco belo….” “Sa ma sekali aku tak mengaco  belo,” sahut Tong Bun

kwan, “engkau berani bilang Bwe Hong Swat itu bukan istrimu?”

sulit bagi Siu- lam untuk menjawab pertanyaan itu. Adakah Bwe Hong-Swat masih se mbunyi didekat situ atau sudah pergi, ia belum pasti. Ia tak dapat mengakui tetapipun sukar untuk menolak. Ia segera akhiri  pe mbicaraan,  “Aku  hanya me mber i sejurus pelajaran. Engkau bisa atau tidak, itu urusanmu sendiri.”

Tong Bun-kwan buru buru berpaling dan mengawasi  dengan seksama. Ta mpa k Siu-la m tegak berdiri dengan semangat penuh. Pedang perlahan lahan digerakkan menur ut irama pelajaran. Gerak perobahannya dilakukan dengan perlahan sekali….

Kepandaian Tong Bun-kwan  me ma ng sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu melibat  gerakan pedang dimainkan  Siu- la m, segera ia mengetahui kalau ilmu pedang itu luar biasa. Iapun tumpahkan perhatian dan diam diam mencatat dalam hati.

setelah me mainkan, pedangpun diserahkan kemba li kepada Tong  Bun- kwan,   katanya   dengan   serius,   “Aku   berani me mbangga kan bahwa ilmu pedang yang kuajarkan itu, tentu belum pernah engkau lihat seumur hidnp. sekalipun telah ku ma inkan dengan perlahan sekali, tetapi  engkau  tentu  tak ma mpu mencatat seluruhnya Asal engkau ma mpu mencatat separoh saja, tentu takkan habis kau gunakan sela manya!”

sesungguhnya Tong Bun kwan hendak me mbantah. Tetapi ia kuatir kalau ia lupa mengingat pelajaran itu. segera ia pusatkan perhatian dan mulai berlatih.

Siu-la m me manggul sarang Bok liong la lu mengajak Tio It ping lari. setelah belasan li dan tiba disebuah tempat yang  sepi barulah ia berhenti.

sambil duduk beristirahat diatas sebuah batu,  mulailah  Tio It ping me mbuka mulut, “Pada masa kedua suhumu masih hidup, dia pernah me minta kepadaku supaya menjadi perantara untuk menjodohkan Hui- ing kepada mu. Adalah karena suhumu tertimpa peristiwa yang mengenaskan itu, sampai sekarang belum sempat ku bicarakan soal itu. Tak kukira sama sekali bahwa kelalaian yang berlarut  larut  itu telah menimbulkan peristiwa yang menjengke lkan sekali!”

“Soal apa?” tanya Siu-la m.

“Tadi nona baju biru itu mengatakan bahwa engkau telah beristeri….” Siu-la m cepat menukas, “Tidak, pa man jangan….” tiba tiba ia berhenti dan berpikir, “Ah, sekalipun ikatan janji dibawah rembulan itu hanya suatu sandiwara dalam keadaan terdesak, tetapi kalau me mang Bwe Hong Swat menganggapnya dengan sungguh-sungguh, me mang sukar ditolak….”

Melihat anak muda itu terdiam. sebagai seorang tua yang berpengalaman, dapatlah Tio It ping mengetahui kesulitan hati Siu-la m

“Ah, tak perlu engkau bersedih. Kesemuanya itu, memang salahku. Nanti apabila berte mu dengan Hui-ing, akan kujelaskan hal ini kepadanya.”

Siu-la m menghela napas panjang. setelah berdiam diri sampai  sekian  la ma  barulah  ia  mengangkat   kepala   dan me mandang langit.

“Dewasa ini dunia persilatan sedang diliputi mendung. setelah menyanggupi per mintaan dari kedua paderi sakti, aku tak dapat berpeluk tangan lagi. sekalipun Hui-ing sumoay marah kepadaku, tetapi aku tak dapat berbuat apa apa.”

Mendengar itu, Tio It ping bertanya, “Apakah yaag engkau maks udkan dengan mendung gelap dan pesanan paderi sakti? Maukah engkau me mber itahukan kepadaku?”

Siu-la m berpaling me mandang pa man itu, “Apakah paman benar benar tak tahu?”

“Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!”

“Wanita Beng gak sip siau hong berserikat dengan Ban Thian seng hendak menyelenggarakan sebuah pertemuan Jembatan Prenyak. Tujuannya ialah hendak menghancurkan seluruh tokoh persilatan!”

“Eh, begitu?”

“Ah, ilmu Lima jarum percabut jiwa ternyata sedemikian ganas. Bukan saja menghilangkan kesadaran orang, juga me lenyapkan se mua ingatan orang akan kejadian yang diala mi masa la mpau….” ke mudian Siu- lam menuturkan apa yang telah dialami dan didengarnya sela ma ini.

“Sekalipun aku pe muda yang masih hijau baru saja mencebur kan diri dalam dunia persilatan tetapi aku telah menga la mi berbagal peristiwa yang aneh-aneh. Ah, kekotoran dunia persilatan, benar-benar menjijikkan orang. seorang tokoh pujaan dunia persilatan semaca m Lo Hian, ternyata seorang pemain sandiwara besar. Luarnya baik tetapi hatinya jahat. Dengan bakat kepandaiannya yang luar biasa, ia telah menciptakan berbagai ilmu kesaktian yang istimewa.  Tetapi dia telah meninggalkan bencana dalam dunia persilatan….”

“Ah, tetapi sebelum kau mengetahui jelas akan keseluruhannya, janganlah kau menilai seorang tokoh besar sedemikian rupa!” Tio It-ping me mberi nasehat.

Siu-la m tertawa dingin. “Cukup dengan bukti ciptaannya ilmu Lima Jarum Pe maku J iwa ini saja dapatlah kita menilai pribadinya. Dan karena menerima budi kebaikan hati kedua paderi sakti aku tetap akan melaksanakan pesannya. Aku akan mengabdikan diri pada kepentingan kebenaran dan keadilan, tanpa mengacuhkan segala peraturan dunia persilatan dan soal-soal as mara….”

“Aku si orang tua ini  sungguh  merasa  malu  dalam  hati me lihat jiwa mu yang luhur itu.” kata Tio It-ping.

Siu-la m menghela  napas  perlahan.  “Menghadapi  akal mus lihat keji dari wanita Beng-gak itu, tiada jalan lain kecuali harus menggunakan cara ‘racun me lawan racun’. Harus mengadu kecerdasan dengannya….” ia berhenti me mandang Tio It-ping.

“Kau tak meneruskan kata katamu?” tegur Tio It ping. “Aku tak sa mpa i hati mengatakannya!” “Soal  apa?  Katakanlah.  Kau  yang  se muda  itu  sudah me miliki angan angan untuk menyela matkan dunia persilatan dan umat manus ia, masakan aku si tua ini takut untuk menerjang lautan api. silaukan hiantit me mberitahukan!”

“Sesungguhnya aku hendak merepotkan pa man tetapi hal itu kubayangkan berbahaya sekali….”

Tio It ping tertawa gelak gelak. “Bukankah kau ber maksud hendak menyuruh aku pura pura masih pangling agar dapat menggabungkan diri dalam gerombo lan Beng gak lagi dan menyelidiki berita?”

“Dahulu di le mbah Beng gak, sip  siau hong pernah mengadakan suatu perja muan maut. Dengan na manya saja, orang sudah tahu bagaimana corak dan tujuannya. Tetapi kali ini dia handak menyelenggarakan pertemuan Je mbatan Prenyak. sebuah nama yang merdu kedengarannya. Entah spa tujuannya. Tetapi menurut dugaanku, tentulah akan terjadi suatu peristiwa besar dalam pertemuan itu….”

“Bukankah hiantit ber maksud hendak mengetahui latar belakang dan tujuan dari pertemuan itu?” seru Tio It ping.

“Benar,” Siu- lam mengiyakan. “Mengingat na manya yang aneh, tentulah dalam pertemuan itu akan terjadi banyak sekali peristiwa yang aneh. Dan terutama akan menyangkut kaum wanita. Jika sebelumnya kita  dapat mengetahui rencana pertemuan itu, tentulah kita dapat menyelesaikan dan menggagalkan usaha mere ka “

“Tepat sekali pandanganmu hiantit!” Tio It-ping me muji, “telah kukatakan tadi, bahwa jika kau seorang anak muda saja sudah berani mengabdikan diri untuk menyela matkan dunia persilatan, masakan si orang tua masih sayang jiwa? Baiklah, hiantit. Akupun tak mau berpeluk tangan me mbiarkan engkau berjuang sendiri. Aku bersedia untuk me lakukan perintahmu.”

Siu-la m menghaturkan terima kasih kepada pamannya itu. sesuai dengan dugaan Tio It-ping, ia me mang hendak minta orang tua itu pura pura masih  dalam keadaan linglung  dan  ke mbali menggabung fihak Beng gak.

setelah Tio It ping pergi, Siu- lam segera duduk bersemedhi menyalur kan napas, menge mbalikan se mangat.

Tiba tiba ia melihat sesosok bayangan hitam yang semakin la ma se makin dekat kearahnya.

“Hai, benda apakah yang sedemikian besarnya?” diam-dia m ia terkejut.

Tiba tiba bayangan besar itu berhenti. Tetapi walaupun mengerahkan  pandangan  matanya,  Siu-la m  tak   ma mpu me lihat apa sesungguhnya benda itu. Yang tampak hanyalah semaca m benda hitam berbentuk bulat.

Karena ingin tahu, ia pindah sarang Bok-liong dan dengan berlindung pada kegelapan mala m, ia menyusur sepanjang karang. Berkat ilmu Iwekangnya sudah tinggi, dapatlah ia mengha mpiri kedekat benda hitam itu. setelah terpisah hanya dua tomba k jauhnya, barulah ia dapat melihat jelas benda itu.

Kiranya benda hitam itu adalah sebuah tandu yang terbungkus eleh kain hita m. sedang di sa mping tandu itu tampak dua ekor mahluk aneh menyerupai orang utan.

Tengah Siu-la m menduga duga, tiba tiba dari tandu itu terdengar suitan perlahan. Kedua mahluk berbulu panjang mirip dengan orang utan itu segera celingukan me mandang kearah penjuru.

Siu-la m makin terkejut. Ia teringat bahwa bangsa orang utan itu me miliki indra pendengaran dan hiduug yang luar biasa tajamnya. Buru-buru ia tahankan pernapasannya.

Untung karena orang utan itu rupanya letih mene mpuh perjalanan jauh sehingga nspasnya kedengaran terengah engah, maka mereka tak dapat mengetahui te mpat persembunyian Siu- la m. salah satu mahluk aneh itu berkuik perlahan dan tiba tiba kain penutup tandu tersingkap dan terdengarlah bunyi roda berputar. Ternyata tandu itu diperlengkapi dengan dua buah roda….

Kira-kira beberapa meter berjalan, kereta tandu itu berhenti lagi. Dalam ruang tandu itu terdapat seorang yang berbaring dan ditutupi oleh sehelai kain hita m. Entah dia orang mati ttau dia masih hidup.

“Kalau menilik gerak geriknya yang aneh, kemungkinan orang ini…. diam diam Siu- lam menimang. Tiba tiba ia dikejutkan suara helaan napas panjang. Nadanya penuh kerawanan….

Terdengar bunyi berderak derak lagi dan tempat duduk belakangpun menjulang naik. Kain penutup warna hitam pun turut tersingkap. Dan ta mpak wajah orang itu.

Tampak kepala orang itu bersandar kepada  bantalan tempat duduk,  jenggotnya yang putih menutupi dadanya. sepasang matanya cekung kedalam tetapi kening dan dahinya menonjo l. Keadaannya letih sekali sehingga tampaknya lihat orang itu  tak  kuat  mengangkat  muka. Pandang  matanya me mancarkan rasa mua k terhadap orang-setelah bergerak sedikit, ia me nghela napas lagi la lu tak berkutik.

seketika timbullah rasa kasihan dalam hati Siu- lam terhadap orang tua itu. Tiba-tiba orang tua itu  menghela napas panjang dan mengucap beberapa patah kata yang aneh. Nadanya mirip dengan burung bercuit sehingga tak jelas apa yang dikatakan itu.

Kedua orang utan itu berebutan lari ke-tandu itu, menyerahkan dua biji buah tho kemuka orang tua tersebut.

Orang tua itu bercuit-cuit aneh dan kedua orang utan itu segera mengupas kulit buah tbo. setelah me makan separuh, orang tua itu me mberikan yang separoh kepada mahluk aneh itu. Dengan tertawa, orang utan itu segera me makannya- “Aneh, siapakah orang itu? Dia sudah tak bertenaga lagi tetapi mengapa masih dapat me merintah binatang aneh iru? Ah, dunia persilatan itu me mang penuh dengan aneka corak manus ia yang aneh-aneh. Benar-benar dunia  ini penuh dengan tokoh yang sakti. Diatas gunung masih terdapat langit. Raja tawon Nyo Ko saja sudah mengherankan orang karena kepandaiannya me melihara binatang tawon. Tetapi orang tua ini jauh lebih aneh lagi karena dapat meme lihara mahluk yang aneh….

Kedengaran orang tua itu berkata seorang diri dengan pelahan, “Barisan Je mbatan prenyak. ah, tak kira budak perempuan itu ge mar sekali me mbunuh….”

Tersirap darah Siu-la m seketika, pikirnya, “Tampa knya orang tua itu mengidap penyakit berat sehingga hampir tak kuat lagi mengangkat tubuhnya. Masakan dia hendak hadir dalam pertemuan Jembatan prenyak itu….?”

Terdengar lagi orang tua kurus kering itu itu mengigau dan salah seekor makhluk berbulu itu tiba tiba loncat lalu lari pesat keatas sebuah puncak gunung. Dan beberapa kejap saja, makhluk itu sudah lenyap dalam kegelapan.

Tak  berapa  la ma, terdengar   suitan   aneh.   Nadanya me lengking tajam sekali dan berira ma. sebentar keras sebentar lemah dan ma kin la ma makin jauh. suara  suitan tetap terdengar. Kini makin la ma ma kin dekat lagi dan beberapa saat kemudian makhluk aneh tadi muncul lagi ke kereta tandu.

Siu-la m benar-benar tertarik. Makin keras keinginannya untuk mengetahui apa yang akan terjadi.

Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dari jauh. Orang  tua baju hitam itu menggerakkan tubuh dan la mbaikan tangannya yang kurus. Kedua makhluk berbulu itu segera menengadah dan bersuit panjang. Lebih kurang seperminum teh la manya, dari puncak gunung di sebelah muka, tiba tiba muncul sesosok bayangan putih. Cepat laksana kilat, bayangan putih itu sudah tiba di tempat kereta tandu.

Ketika me mandang dengan teliti, bukan kepalang kejut Siu- la m. Ternyata pendatang berbaju putih adalah Bwe  Hong Swat sendiri!

Terlintas dalam benak Siu- lam suatu dugaan. Adakah orang tua berbaju hitam itu Lo Hian sendiri? Apakah dia belum meninggal?

Siu-la m benar-benar bingung me mikir kan. Lo Hian merupakan tokoh misterius yang diliput i rahasia. Namanya dipuja-puji dan diagungkan orang sebagai seorang tokoh sakti yang luar biasa. hanya di dunia hanya dua orang saja yang tak sudi menghor mati Lo Hian. Mereka adalah kedua paderi sakti dari siau lim-si. Kedua paderi itu mence mooh tingkah laku Lo Hian yang pura-pura suci dan luhur.

Terdengar Bwe Hong Swat berkata dengan nada rawan, “Suhu a mat le mah mengapa jauh jauh datang ke mari?”

Tergetarlah hati Siu-la m seketika. Orang tua baju hitam itu ternyata me mang Lo Hian.

Orang tua itu menghe la napas dan berkata  dengan suara le mah, “Dahulu karena iseng, aku telah menciptakan barisan jembatan Prenyak. Barisan itu terdiri dari bermaca m- maca m binatang. “Ah, tak kira budak itu telah mencuri gambarnya! Jika budak pere mpuan dapat menyelami inti rahasia barisan, ah, entah berapa banyak orang yang celaka dalam barisan itu….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar