Wanita iblis Jilid 43

Jilid 43

Walaupun buta, tetapi ternyata ima m  itu  seperti  dapat me lihat. Dengan cepat ia me ncekal kedua lutut Siu- la m. setelah mengurut beberapa jenak, wajah ima m itu mengerut gelap dan menghe la napas.

“Ah ternyata benar luka akibat soh meh-chiu,”  katanya, “dan orang itu telah menggunakan tenaga berat agar kedua kakimu lumpuh. Untunglah engkau segera datang ke mari. Terla mbat  dua  tiga  hari  lagi,  aku   tentu   tak   dapat meno longmu. Kecuali harus me motong kedua kakimu, barulah engkau dapat hidup. Karena kalau dibiarkan,  luka  itu  akan me mbus uk dan akan menja lar ke seluruh tubuhmu hingga engkau binasa!”

Diam diam Siu- lam bersyukur karena tak terlambat datang kesitu. Ima m buta itu menerangkan pula babwa urat nadi ruas tulang lutut pemuda itu sndah mulai me mbusuk.

Siu-la m terbeliak, “Terima kasih atas per tolongan lo cianpwe. Tetapi entah berapa la ma luka itu dapat sembuh?”

“Paling tidak harus sebulan!” “Sebulan?!” Siu- lam terperanjat.

“Itu paling cepat. Jika mendapat halangan ke mungkinan tentu akan lebih la ma lagi….” kata ima m itu, “aku meluluskan untuk mengobatimu sa mpai se mbuh. Tetapi  aku  tak  mau me ma ksa. Jika engkau merasa terlalu la ma, silahkan tinggalkan aku. Karena setiap kali mengobati orang, aku tak mau setengah-setengah….”

“Tetapi hendak kuberitahukan kepada mu.” kata ima m buta itu pula, “dalam dunia ini kecuali aku seorang, mungkin t iada orang lain lagi yang dapat mengobati luka mu itu. Camkan dan pikirlah baik-ba ik!”

Diam diam Siu-la m me nimang, Jika kedua kakinya lumpuh, tentu tak mungkin ia akan meyakinkan ilmu silat sakti Padahal ia harus menolong Hui Ing dan Hian song yang sedang berada dalam Cengkera man si manusia aneh Ban Thian-seng. Tanpa ilmu silat sakti, tak mungkin ia dapat mengatasi manus ia Ban Thian seng itu.

“Baiklah, aku bersedia tinggal di sini  dan menerima pengobatan lo cianpwe. sebentar akan kusuruh kereta itu pergi,  segera  aku  balik   ke   mari….”   akhirnya   Siu-la m me mutus kan.

Ima m buta itu me mberi isyarat supaya Siu-la m jangan bicara. Siu-la m terkesiap dan me masang telinga. Ah, ternyata terdengar suara mendengung le mah, mirip suara tawon.

“Hanya suara tawon….” “Tak mungkin tawon begitu keras suaranya,” tukas si ima m buta seraya memungut sebutir batu sebesar telur, dari samping meja.

Siu-la m melirik. Ternyata di tepi meja sembahyang tersebut terdapat setumpuk batu kecil kecil. Entah jumlahnya berapa ratus biji.

“Hm, rupanya dia me mang sudah siap sedia. Untuk menghadapi gangguan musuh,” pikir Siu- la m.

suara mendengus itu makin la ma makin dekat dan masuk dalam ruang.

“Hai, tawon raksasa!” teriak Siu-la m ketika berpaling. serempak  dengan  teriakan  itu,  siima m  buta  pun sudah

ayunkan  tangannya.  Dengan  telinga  sebagai  ganti matanya

yang buta, dapatlah ia membeda kan letak arah sasarannya. Bluk, tawon raksasa itu terhantam jatuh.

“Hebat!” Siu- lam me muji.

Ima m  buta  itu  kerutkan  alis  la lu  menyuruh   Siu- lam me mer iksa keadaan tawon itu.

“Tiga kali lipat besarnya dari tawon biasa!” kata Siu- la m.

Tiba tiba ima m buta itu berdiri, ujarnya,  “Kedatanganmu me mang kebetulan tepat sekali. Terlambat setengah hari saja, mungkin aku sudah pergi dari sini!”

setelah berhenti sejenak, wajah ima m buta itu mengerut serius, “Pergilah kepada kereta mu dan siapkan ma kanan yang lebih banyak. Dan

lekas engkau ke mba li ke mari, aku akan mencarikan daun obat untukmu!”

Siu-la m me lakukan apa yang diperintah itu lalu bergegas gegas masuk kedalam kuil lagi. Ta mpak siima m menyanggul sehelai karung kain dibahunya, menjemput dua genggam batu dimasukkan kedalam karung itu la lu menga mbil tongkatnya.

“Duduklah ke mar i, akan kubuka urat nadi lututmu yang terkunci itu,” serunya.

setelah mengurut urut kedua lutut Siu- lam ima m  itu menga mbil sebuah botol obat, katanya, “Dalam botol ini terisi tiga puluh butir pil. se belum matahari terbit, tiap pagi engkau tuakan sebutir. Lalu hancurkan dua pil dan lumurkan pada lututmu. Cukup untuk dipakai sepuluh hari. Aku hendak mencari daun obat. Paling  la ma  sepuluh  hari,  tentu  akan ke mbali!”

Siu-la m mengia kan dan mengucap terima kasih.

Berkata pula ima m buta itu, “Setelah ku buka jalan darah urat nadimu, sejam ke mudian engkau tentu merasa sakit pada lututmu. Dan sakitnya ma kin la ma makin keras. Tiap hari engkau harus menderita siksaan sa mpai empat jam. Biarkan saja derita kesakitan itu, jangan coba engkau lawan dengan mengerahkan tenaga dala m. Agar jangan salah terus!”

Siu-la m mengatakan. Ketika melangkah sampa i dia mbang pintu, ima m buta itu tiba tiba berpaling lagi, “Masih ada sebuah hal lagi. Ha mpir saja aku lupa me mberitahu kepadamu!”

“Silahkan lo-cianpwe me mberi pesan.”

“Pada saat aku pergi, jika ada orang datang ke mari, sekali kali jangan engkau marah dan berkelahi. Biarlah dia menghina habis-habisan, engkau harus tahan diri!” kata ima m buta itu terus loncat keluar dan lenyap.

Siu-la m peja mkan mata  mulai berse medhi lagi. Dalam terapat yang sesunyi itu, desir angin kedengaran menyeramkan sekali. Entah selang berapa la ma, tiba tiba Siu- lam rasakan kedua lututnya mulai sakit. Apa yang dikatakan ima m buta itu me mang benar. sakitnya seperti disayat dengan pedang yang dibakar. Ha mpir ia tak kuat bertahan.

Ia me mbuka mata dan me mandang keseketiling. Ia teringat bahwa ima m buta itu melarangnya supaya jangan mergerahkan tenaga dalam untuk melawan kesakitan. Ia coba menurut i pesan itu. Ketika tenaga dalam dilonggarkannya, ternyata rasa sakitnya berkurang sekali.

Menjelang mala m, rasa sakit itu sudah lenyap. setelah makan, Siu- lam mulai bersemedhi lagi. Malam itu berlalu dengan tenang.

Cepat tiga hari telah lalu. sela ma itu setiap hari ia harus mender ita kesakitan sela ma empat ja m. Dan kian hari rasa sakit itu kian hebat. seperti dibakar api. setiap akan terasa sakit, ia kendorkan tenaga dalam agar tidak menderita sekali.

Pada hari keempat, tiba tiba belasan ekor tawon raksasa menyerbu kedalam ruang kuil itu, buru saja Siu- lam terlepas dari kesakitan lukanya. Ia terkejut me lihat tawon besar itu.

“Celaka, kalau sampsi digigit binatang itu, diriku tentu lebih celaka lagi,” pikir Siu- la m. Ia terus menyambar tongkat dan siap me mperhatikan gerak gerik tawon. Ia me mperhitungkan tentu dapat menyapu binatang itu.

setelah terbang berputar putar dalam ruang, kawanan tawon itu tiba t iba terbang pergi.

Siu-la m menghe la napas longgar. Tetapi diam diam ia heran, jelas didalam kuil tiada terdapat tanaman bunga, tetapi mengapa kawanan tawon itu terbang masuk.

sokonyong konyong ia dikejutkan oleh ge muruh dengung tawon berbunyi. Dan pada lain saat berpuluh puluh  ekor tawon raksasa terbang masuk kedalam ruangan. Dan menyusul tak henti hentinya berpuluh tawon masuk  lagi. Dalam beberapa kejsp saja, tak kurang dari seratus ekor jumlahnya. “Ah, celaka, tak nyana aku Pui Siu-la m, harus mengala mi kebinasaan begini,” diam diam ia mengeluh.

Tiba tiba sesosok tubuh melesat dan muncul dia mbang pintu….

Dia mengena kan baju dan celana pendek dan mence kal sebuah Bok liong atau sangkar kayu yang panjang. sangkar itu berukir naga nagaan. Ternyata sangkar Bok-liong itulah yang me luarkan tawon-tawon raksasa

Ketika me mandang wajah orang itu, tersiraplah darah Siu- la m. sepasang mata orang itu me mancarkan sinar berapi api penuh dendam kesumat.

“Siapa engkau?” tegur orang itu me mbengis.

serentak teringatlah Siu-la m akan- pesan siima m buta tadi. segera ia menerangkan na manya.

Orang aneh itu memandangnya beberapa jenak, ujarnya. “Kedua lututmu begitu besar, apakah terluka?”

Siu-la m mengia kan.

Tiba tiba wajah orang itu berobah, serunya me mberingas “Ke mana imam hidung kerbau itu, bilang lekas!” ia ayunkan Bok liong dan kawanan tawon raksasa berhamburan keluar. Mereka menyerbu Siu-la m.

Bermula Siu-la m hendak menyapu dengan tongkat tetapi pada lain saat cepat ia batalkan lagi. Pertama, ia hendak mentaati pesan siima m buta. Dan kedua kali merasa tak mungkin dapat me lawan serangan sekian banyak tawon tawon beracun.

Dalam pada itu kawanan tawon itu wulai  bertaburan  menya mbar sekeliling tubuh Siu-la m. Bayangkan, ribuan ekor tawon besar yang beracun mendengung dengung menyambar Siu-la m. Siu-la m menghela napas dan pejamkan mata menyerah nasib.

Ilmu se madhi dari kaum aga ma, me mang benar benar hebat sekali. Siu-lam dapat me mbebas kan diri  dalam kehampaan dan tak menghiraukan lagi keadaaan disekelilingnya. Yang terasa hanyalah, tenaga murni mulai merangsang keatas kepala lalu me nebar keseluruh tubuhnya.

Entah berapa lama serangan jiwa itu berlangsung. Yang jelas, Siu-la m terkejut ketika telinganya terngiang oleh suara tertawa gelak-gelak.

Ketika me mandang ke muka ternyata ribuan tawon tadi sudah lenyap. Rupanya tentu masuk kedalam Bok liong. Tetapi orang berbaju pendek tadi duduk dilantai berhadapan dengannya. sebatang lilin merah,  tengah menyala terang. Tenyata hari sudah mala m.

“Budak, nyalimu besar sekali!” seru orang tinggi kurus berbaju pendek itu.

sejak menerima pelajaran menyalurkan napas dari paderi Kak Bong dan Kak Hui, biasanya tidak merasa mendapat suatu ke majuan apa apa. Tetapi pada saat itu ia rasakan tubuhnya nyaman sekali dan se mangatnyapun segar.

“Ah, lo clanpwe keliwat me muji,” sahutnya tertawa hambar.

Tiba tiba orang itu merogoh  kedalam  Bok- liong  dan menge luarkan serangan madu, “Cobalah rasakan bagaimana mulutku ini?”

Diam diam Siu- lam menimang. Jika orang itu ber maksud jahat, tentu dengan mudah sudah me mbunuhnya. Biarlah ia menerima pe mberian itu.

“Ah, benar benar madu ist imewa!” serunya me muji setelah mencicipi madu. Orang itu tertawa, “Budak, dalam ruang kuil terdapat seorang penghuni, seorang imam buta. Kemanakah  dia sekarang?”

Siu-la m kerutkan dahi, serunya, “Mengapa lo cianpwe hendak mencari?”

“Aku me mpunyai perjanjian seumur hidup dengan dia. Jika tak berjumpa, aku tak mau mati dulu!”

Siu-la m menanyakan na ma orang itu.

“Sudah la ma sekali aku tak muncul keluar. Kalian auak anak muda tentu tak mengetahui na maku Nyo Ko, ahli tawon. Dahulu orang persilatan me mberi julukan Raja tawon kepadaku!” kata orang itu.

“Dia m-dia m Siu-la m geli mendengar gelaran itu, “Oh, kiranya Nyo locianpwe”

Orang itu mengangguk-angguk, “Sudah berpuluh  tahun tiada orang yang menyebut begitu….” tiba tiba wajahnya berobah, lalu, “engkau belum menjawab  pertanyaanku. Kemana kah si ima m buta itu?”

“Me metik daun Obat untukku,” sahut Siu- la m. “Pulangnya?”

“Menurut pesannya, paling la ma sepuluh hari!” “Sekarang sudah berapa hari?”

“Sa mpai hari ini sudah hari kelima.”

“Bagus, akan kutunggunya disini,” kata Nyo Ko. “Apakah locianpwe ini sahabatnya?”

sahut Nyo Ko, “Entah sahabat entah musuh, sukar dibilang. Tak perlu engkau turut ca mpur….Eh, berapakah umur mu sekarang?”

cepat cepat ia berganti nada. “Dua puluh satu.”

Nyo Ko menghela napas, “Ah, aku sudah sembilan  puluh tiga tahun. Bila mati kukuatir ilmu me melihara tawon ini akan turut lenyap!”

Me mandang kearah sarang tawon, Siu-lam hendak bicara tetapi tak jadi.

Nyo Ko mengicupkan mata, ujarnya,  “Nya-limu  cukup besar, budak dan tulang – tulang mu bagus sekali. sayang engkau sudah masuk menjadi murid si ima m buta itu!”

“Aku sudah me mpunyai guru dan tidak menjadi mur id totiang itu!” Siu-la m menerangkan.

“Bohong!” bentak Nyo Ko.

“Uh, apa salahku?” Siu- lam tertegun kaget.

Nyo Ko menutup mata dan tak menghiraukan pe muda itu lagi. Siu- lam menyadari me mang tokoh sakti itu sering aneh tingkah lakunya. sekali salah kata, tentu akan menimbulkan kesulitan. Maka diapun tak mau bicara apa-apa lagi.

Keesokan   harinya,   Nyo    Ko    masih    belum    lenyap ke marahannya. Beberapa kali Siu-la m me negur tetap tak diacuhkan, Bahkan sehari itu, Nyo Ko tak mau bicara. sampai dua hari dua mala m, mereka hanya duduk berhadapan.  Masing mas ing berse medhi menyalur kan tenaga dala m.

Pada hari kedelapan dari kepergian siima m buta, tiba-tiba diluar kuil terdengar suara parau seseorang, “Huh, tukang pelihara tawon, sudah la ma kah engkau datang?”

serempak dengan  suara  itu,  seorang  ima m  butapun  me langkah masuk sa mbil menceka l sebatang tongkat.

Nyo Ko me lonjak bangun, teriaknya, “Huh, kukira sela ma hidup tak dapat berjumpa  dengan engkau lagi? Tak kira akhirnya dapat kucari kau juga!” Brak…. si ima m tua gentakkan tongkatnya kelantai. sebuah batu lantaipun pecah!

sambil mengangkat Bok liong atau sarang tawon, Nyo Ko berseru nyaring, “Ha mpir lima belas tahun aku mengadakan usaha mengawinkan campuran antara tiga puluh enam jenis tawoa beracun. Dan akhirnya berhasil mendapat semaca m tawon istimewa yang amat beracun sekali. Tetapi walau tawon itu jenis yang paling  beracun di  dunia,  mereka  dapat menghas ilkan madu yang luar biasa lezatnya!”

Ima m buta tertawa dingin, “Apa gunanya madu itu kepadaku si ima m buta?”

“Bagaimana? Engkau tidak percaya?” Nyo Ko tertawa. “Bagaimana?” si ima m buta balas bertanya,

“Hm, cobalah engkau cicipi sedikit, Coba saja katakan apakah di dunia terdapat madu tawon yang lebih bebat dari ini?” kata Nyo Ko seraya menjemput segenggam madu dan di- angsurkan.

Tanpa banyak bicara, si ima m buta menyambut i terus di makannya.

Siu-la m dapatkan kedua orang aneh itu sudah sama lanjut usianya. Tetapi tingkah laku mereka masih seperti kanak- kanak. Diam diam ia merasa geli dalam hati.

“Bagaimana?” tanya Nyo Ko setelah siima m me makan madu.

si ima m buta tertawa gelak. “Hebat, hebat, memang hebat sekali madumu  itu.  Tapi   sayang   engkau   takkan   lama  me ma kannya!”

“Kenapa?” Nyo Ko marah.

“Karena sebentar lagi engkau bakal mati!” “Buta busuk! Besar nian mulutmu!” Nyo Ko mur ka sekali. “Cobalah dulu bagaimana rasanya tawon-tawonku itu dulu?”

“Nanti dulu, nanti dulu, aku hendak bicara” seru si ima m buta.

“Lekas bilang, aku sudah berpuluh tahun mencarimu. sudah tak sabar lagi!”

Berkata ima m buta dengan dingin, “Tunggu setelah budak itu sembuh dari lukanya, barulah kita nanti rundingkan acara perkelahian yang me muaskan benar benar!”

“Baik, kutunggu setengah jam. selewatnya itu, tak peduli engkau sudah dapat menyembuhkan lukanya atau belum, aku segera melepaskan tawon tawonku!” sahut Nyo Ko.

Ima m bukan tak mau beradu mulut lagi.   segera  ia mengha mpiri Siu- la m. Rupanya dia me mang berusaha sungguh untuk mencar i daun obat.

“Lo Cianpwe, apakah sudah mendapatkan obat?”

Ima m buta itu berkata pula, “Aku sendiri pun melakukan permintaan orang. setiap tahun pada mala m Tongchiu atau mus im semi, harus menuju ketelaga Hek-liong than di puncak Tay. san, menunggu orang itu. Dengan kutungan jarum yang kusimpan ini, kita padukan untuk menukar dengan pedang pusaka itu. Tak perduli siapa orang itu, laki atau perempuan, dari mana pun datangnya, asal me mbawa kutungan jarum serupa  dengan  yang  kusimpan  ini,  kita  segera  dapat menga mbil pedang pusaka.

Tetapi sudah berpuluh tahun kutunggu, tak juga muncul orang yang hendak menga mbil pedang itu. Oleh karena sekarang ini belum tenfu aku masih dapat hidup, andaikata hiduppun tentu akan menderita luka berat, maka kutungan jarum dan kotak berisi pedang pusaka ini hendak kuserahkan kepadamu agar kau suka me wakili aku menyimpannya….” Berhenti sejenak. ima m buta itu me lanjutkan lagi. “Setiap tahun pada malam Tiong-ciu kau harus menuju ketelaga Hek liong-than digunung Thay-san sana. Tunggulah kedatangan orang yang menyerahkan kutungan jarum itu. Jika tak datang, barulah kau tinggalkan te mpat itu!”

sesungguhnya Siu-la m hendak menceritakan apa yang diketahuinya. Tetapi kuatir menimbulkan  salah faham, ia terpaksa diam dan me nyambuti pe mberian ima m buta itu.

Tiba-tiba imam buta itu gunakan ilmu me nyusup suara berkata lagi. “Takkan percuma saja kau me nolongi aku menyimpan kutungan jarum dan kotak pedang itu. sekarang hendak kuajarkan kepada mu dua buah ilmu pukulan. Meskipun hanya dua jurus tapi ilmu pukulan itu merupakan  ilmu simpananku seumur hidup. sayang si Raja-tawon itu mengawasi disa mping kita sehingga tak dapat kuajarkan kepadamu jurus demi jurus. Maka terpaksa hanya kuberi pelajaran secara lisan saja. Dapat tidaknya kau me mpe lajari, tergantung pada beruntungan dan bakat mu!”

“Lo cianpwe….”

“Te mpo sangat berharga sekali! ” tukas ima m buta itu, “tak perlu kau bilang ini itu. Mari kita manfaatkan tempo dengan cepat….”

Dan tanpa menghiraukan adakah Siu-la m mau mendengarkan dengan perhatian atau tidak, segera ima m buta itu mengajarkan secara lisan mela lui ilmu menyusup suara.

Siu-la m terpaksa mendengarkan dengan seluruh perhatian dan mencatat dalam hati.

selesai mengajarkan secara lisan, tiba tiba ima m itu berbangku dan me nyambar tongkatnya

“Pak tua pe melihara tawon, hayo kita mulai!” sekali loncat, ima m buta itu me lesat keluar ruang. sekalipun kedua matanya buta tapi ternyata gerakan luar  biasa  gesit  dan  tepat.  Ia me layang turun tepat ditengah hala man kuil.

Nyo Ko tertawa gelak, seluruhnya. “Bagus. Berpuluh tahun tak berjumpa, ternyata engkau masih segagah dahulu!”

“Orang sbe Nyo, sebelum bete mpur, aku hendak mengajukan sebuah permintaan kepada mu!” seru siima m buta.

sambil mengangkat  Bok- liong, Nye Ko mengejar keluar seraya berseru, “Katakanlah!”

“Budak ini sebenarnya tak kenal padaku. Dia kemari karena hendak mengobatkan kakinya. Urusan kita berdua, janganlah ditimpahkan pada la in orang!”

Nyo Ko tertawa dingin, “Asal dia  jangan  mengganggu, tentu kululuskan per mintaanmu Tetapi jika dia turut ca mpur, berarti dia cari mati sendiri. Jangan me mpersalahkan aku!”

“Bijaksana juga kata-kata itu….”kata siima m buta lalu berseru keras kepada Siu- la m, “Dengralah, hai budak! Telah kucarikan Obat untut luka mu itu. Asal engkau menuruti petunjukku, tentu se mbuh dengan cepat. Aku me mpunyai dendam per musuhan dengan situa tukang tawon mi. Dia sudan menghabiskan waktunya selama berpuluh puluh tahun untuk me melihara tawon besar yang beracun. Tujuannya hendak menghimpas hutang hutang piutang sakit hati dengan aku. Karena itu, dalam pertempuran nanti, siapa saja yang kalah dan menang, jangan sekali kali engkau me mbantu!”

Siu-la m terkesiap tak menyahut.

“Engkau harus meluluskan nasehatku itu, baru akan lega hatiku!”

Tiba-tiba Nyo Ko berputar tubuh dan me mandang Siu- lam dengan menyala-nyala. “Jika engkau hendak me mbantunya, sekarang jugalah eugkau boleh ikut. Jika setelah kulukainya engkau baru me mbantu, berarti seperti telur diadu dengan tanduk!”

sahut Siu-la m, “Tiong itu telah melepas budi kepadaku, Menerima budi orang, sudah selayaknya kalau dibalas. Berdasarkan peraturan kaum persilatan, aku tak dapat berpeluk tangan me lihat saja….”

“Siapa suruh engkau me mbalas budi kepadaku!  Hm, manus ia yang tak tahu diri!” siiman buta me maki  marah sekali.

Tetapi Siu- lam tak me nghiraukan, katanya pula, “Karena locianpwe berdua hendak menyelesaikan dendam per musuhan yang lalu, aku tak mengerti siapa yang salah dan siapa yang benar. Maka tak dapat diputuskan, harus atau tidak aku turun tangan menca mpur i urusan ini!”

“Budak kecil, besar benar mulut mu!” bentak Nyo Ko-

Siu-la m menghe la napas, “Sebaiknya locian-pwe dapat menghapus dendam la ma itu, tak perlulah aku melihat juatu pertumpahan darah yang ngeri.”

Rupanya kata kata Siu-lam itu me mpunyai pengaruh. Tampak wajah kedua orang tua itu mengerut rawan. sepasang mata Nyo Ko yang menyala-nyala buas, tampak  merdu padam. Dan si ima m buta itupun perlahan-lahan menundukkan kepala.

Kata siau lam lebih lanjur “Mengingat lo-cianpwe sudah berusia lanjut, kiranya tentu kenal akan dua tokoh yang disebut La m- koay dan Pak koay….”

Tiba-tiba Nyo Ko mengangkat  kepala dan me mbentak marah, “Tutup mulutmu! Dendam kesumat yang tertanam dalam hatiku sela ma berpuluh puluh tahun masakan dapat terhapus begitu saja oleh sepatah perkataanmu….” ia menengadah kelangit dan berkata seorang diri, “ah, peyakinan selama berpuluh tahun masakan akan tersia sia begini saja….” Ima m buta tiba tiba me ngeluarkan sebuah benda maca m ruas bambu, bewarna kuning e mas dan panjangnya setengah meter.

“Orang she Nyo, meskipun mataku buta, tetapi belum tentu jatuh ditanganmu. Karena engkau belum tetap tak mau menghapus dendam segera sajalah kita mulai untuk menentukan siapa yang berhak hidup di dunia. Kalau tidak engkau tentu aku yang mati!” serunya dengan nada dingin.

Nyo Ko tertawa gelak-gelak, “Benar….!” gekali mena mpar Bang-lio ngnya, berpuluh puluh  ekor tawon besar segera berhamburan keluar. Tampaknya binatang itu berat, ternyata gesit sekali terbangnya. Hanya dalam sekejap saja, sudah tiba dihadapan ima m buta itu.

Ima m buta mengge mbor keras, tongkat di putar untuk menyapu binatang-binatang itu, Tetapi tawoa-tawon itupun lihay, serentak berhamburan kekanan kekiri, atas bawah, menyerang siima m buta.

Tertawalah si raja tawon Nyo Ko, “Ho, ima m buta, mungkin hari ini engkau tak dapat lolos dari malaikat elmaut lagi!”

Ima m buta itu tertawa dingin. Tabung e mas menyerupai ruas bambu yang dicekal di tangannya itu tiba tiba disentakkan. segumpal api muncrat dari tabung e mas itu, menye mbur asap beberapa meter luasnya. Belasan towon mati hangus seketika.

Nyo ko tercengang, serunya, “Bagus, ternyata kau sudah  me mpunyai persiapan!”

Siu-la m yang mence maskan kesela matan ima m buta itu, diam diam bersorak dalam hati ketika melihat alat  tabung emas itu dapat menyembur kan api. Diam diam ia me muji si ima m buta sebagai perencana yang hebat. Rupanya senjata penyembur itu, benar-benar merupakan senjata penumpas tawon yang ampuh. “Berpuluh tahun engkau ha mburkan untuk mengumpulkan tawon tawon beracun diseluruh dnaia. sudah tentu akupun harus mencar i daya untuk me nghadapi anak buahmu yang beracun itu!”

Tampaknya si Raja tawon Nyo Ko sayang sekali kepada tawon peliharaannya. Kuatir tawon itu akan musnah, ia tak  mau menggunakan sarang Bok liong lagi.

“Ingin kulihat apakah tabung e mas penye mbur api milikmu iru ma mpu me lukaiku atau tidak” tiba tiba Nyo Ko berseru nyaring dan menerjang maju.

Baru ima m buta menyimpan tabung e masnya lalu berseru menyahut, “Sekalipun buta na mun aku tak mau menggunakan tabung ini untuk melukai orang” ia menutup kata katanya dengan sapukan tongkat.

Ternyata gerakan si Raja tawon Nyo Ko itu luar biasa gesitnya. sambil loncat menerjang ia sudah me ngeluarkan sepasang tong hwan atau gelang tembaga. Dengan tangan kiri ia menghantam tongkat sibuta sedang gelang ditangan kanan secepat kilat dihuja mkan kedada lawan.

Gerakan ima m buta tak ubah seperti orang yang tidak buta matanya. Dengan tak kalah gesit, ia menyurut mundur tiga langkah lalu tusukkan tongkat kedada lawan.

Tring, tring….Nyo Ko katupkan gelang te mbaga menangkis tongkat lalu secepat kilat balas menyerang. Menangkis dan menyerang, seolah olah serempa k dilakukan dengan cepat.

Tetapi siima m buta itu sudah siap. sambil menghindar ia menangkis tepat.

Menyaksikan per mainan kedua orang aneh yang menggunakan jurus jurus serba istimewa, terpikatah perhatian Siu-la m. sejenak ia lupa akan lukanya. kedua orang itu makin la ma makin cepat bergerak. senjata mereka tak henti hentinya me lancar dengan gerak perubahan yang aneh dan berbahaya.

seratus jurus kemudian, kedua orang itu seolah olah merupakan dua sosok bayangan yang berlincahan dan diiringi dengan dering senjata beradu serta sambaran angin menderu deru. Dalam lingkaran setombak, rumput dan debu bertebaran ke mana mana.

Benar benar suatu pertempuran yang jarang terdapat didunia persilatan. Keduanya bertempur mati matian serta menumpahkan seluruh kepandaian mas ing mas ing.

Pada saat Siu-lam asyik mengikuti perte mpuran ber mutu tinggi itu, tiba tiba ia rasakan luka pada kedua kakinya sakit sekali sehingga menyerang sampai keulu hati. Ia menyadari bahwa saat itu tentulah saatnya luka itu kambuh. Buru buru ia pejamkan mata dau berse medhi tenangkan pikiran.

Entah selang berapa lama, ketika ia rasakan rasa sakit itu berkurang, ia terkejut. Mengapa suara dering gelang tembaga beradu dengan tongkat, tak kedengaran lagi? Adakah kedua orang itu sudah sa ma sa ma binasa?

Terdorong oleh keinginan yang melo njak-lo njak, cepat ia me mbuka mata. Dan apa yang disaksikannya, benar  benar me mbuatnya tersirap kaget. Kedua sateru itu masih segar bugar tetapi mereka tengah melakukan pertempuran mati- matian. Dari bertempur dengan senjata, kini ganti dengan tenaga dalam.

Keduanya sama tegak berdiri mengerahkan  semangat. siima m buta mengangkat tongkatnya  tangan  kiri  melintang ke muka kedadanya. sedang Nyo Ko deliki mata me mandang lekat lekat pada siima m. Kepala mere ka bercucuran keringat.

Jelas bahwa mereka tadi tentu sudah bertempur beberapa jurus tetapi tetap tiada yang kalah. “Ima m butas tak kira dalam berpuluh puluh tahun ini, kepandaianmu maju sangat pesat sekali! ” seru Nyo Ko.

“Ah, jangan me muji. Kepandaianmu sendiri juga berlipat ganda majunya!” sahut siima m buta

“Sesungguhnya dalam puluhan  tahun  aku  hanya  sibuk me me lihara tawon saja dan tidak sempat untuk meyakinkan kepandaian   silat.   Ah,   ternyata   tetap   tak  ma mpu menga lahkanmu, seorang buta saja!”

“Hm, dalam berpuluh puluh tahun itu, aku pun juga  tak me mpunyai waktu yang senggang!” seru si ima m.

“Rupanya hari ini kita tetap tidak dapat mengetahui siapa yang lebia unggul,” kata Nyo Ko.

si ima m buta tersenyum, “Mungkin akan sa ma sama terluka….”

Belum se mpat ia bicara habis, tiba tiba Nyo Ko menyerang lagi dengan gelang tembaganya.

Tetapi   rupanya   imam    buta    itu    sudah    menduga  ke mungkinan itu. Pada waktu tukar bicara, diam diam ia sudah berjaga-jaga. Begitu Nyo Ko bergerak cepat  ia menyurut mundur tiga langkah sambil sapukan tongkatnya keatas!

serangan itu me mang telah di rencanakan Nyo Ko maka begitu ada kesempatan ia  terus nyelonong maju.  Dan kali itu ia tak mau kasih kesempatan lawan untuk balas menyerang. Begitu si ima m buta mengangkat tongkat, cepat ia taburkan gelang te mbaga kedadanya.

siima m buta benar-benar tidak mengira bahwa, gelang tembaga itu bisa digunakan sebagai senjata gelap. Karena sedang mengangkat tangan, ia tak keburu  melindungi dadanya lagi. Duk…. perutnya terhantam gelang dan badannya mundur kebelakang dua langkah. Nyo Ko tak mau me mDcr i ampun. segera ia susuli dengan sebuah hantaman yang tepat mengenai bahu si ima m buta.

“Celaka! Ima m buta itu tentu tidak tahan menerima pukulan itu….” Siu-Ia m mengeluh

Me mang benar. Ima m buta itu terhuyung-huyung jatuh ketanah.

“Hahaaha…. ima m buta, kemana kah kegaranganmu dahulu? Berpuluh-puluh tahun aku si orang she  Nyo mendenda m kebencian yang menyala-nyala. Hari ini dapat kulunasksn. sekalipun mati, puaslah hatiku!” seru si Raja Tawon Nyo Ko.

Habis berkata, Nyo Ko terus berputar tubuh  hendak  menga mbil Bok Hong.  Rupanya  dia  benar  benar  hendak me mbunuh si ima m oleh tawon beracun.

“Berhenti! Menyerang secara gelap pada yang buta bukanlah kesatriya!” seru Siu- la m.

Nyo Ko berhenti serentak, “Bagus, budak siapakah yang engkau maki itu?”

Siu-la m menya mbut dingin, “Engkau menyerang secara curang pada seorang buta, apakah itu laku seorang jantan?”

“Aku me mpunyai dendam sedalam lautan dengan ima m buta itu. Persetan dengan curang atau tidak! Hm, jika engkau tahu diri, mungkin dapat kua mpuni, tetapi jika engkau masih banyak mulut….” tiba tiba ia terkejut karena melihat wajah Siu-la m berobah. Tetapi serempak dengan itu, mendadak ia rasakan tubuhnya di hunjam pukulan dahsyat sehingga ia mence lat dan terbanting jatuh beberapa meter jauhnya.

Ternyata ketika Nyo Ko sedang bicara dengan Siu- la m, diam diam siima m buta merangkak dan dengan segenap tenaganya yang masih ada, ia meraih tongkat. setelah kerahkan seluruh tenaga dala m, diam diam ia telah sapukan tongkat itu. Tongkat itu me mang istimewa sekali. Ketika me layang, sama sekali tak me ngeluarkan suara. Tetapi begitu mengenai tubuh orang, barulah me mancarkan tenaga dala m.

Ketika menyadari, Nyo Ko sudah rasakan lututnya terhantam. Krek….tulang lututnya remuk dan  tubuhnyapun me layang jatuh beberapa belas langkah jauhnya.

Kini si ima m butalah yang tertawa puas, “Nyo tua, si ima m buta ini tidak pernah mau menderita kerugian. Ada ubi tentu ada talas, sesuap budi tentu akan kubalas. Engkau telah gunakan gelangmu sebagai senjata rahasia  menghantam perut dan me mukul bahuku, akupun me mbalas mu dengan sebuah hantaman tongkat. Dengan demikian kita sama sama tidak berhutang….” belum selesai berkata, tiba tiba tubuhnya terhuyung huyung dan tongkatnya lepas, orangnyapun jatuh terduduk di tanah.

Kesudahan itu benar-benar tak di duga Siu-la m. Dengan seluruh kepandaian, mereka hanya berimbang. Tetapi setelah saling serang menyerang secara curang akhirnya mereka sama-sa ma rubuh!….

Tampak Nyo Ko berusaha sekuatnya untuk merangka k ke tempat Bok liong. Jelas dia hendak menggunakan  sarang tawon untuk hancurkan si iman buta.

Tiba tiba Siu-la m rasakan ulu hatinya sakit sekali, sehingga ia mengucur kan dua tetes air mata.

-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0

Ada Bagian yang hilang.

-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0

kearah sarang tawon Bok liong, ia tertegun dan duduk diatas rumput. Pikirannya melayang layang mengingat peristiwa- peristiwa yang telah diala minya sela ma ini

Entah berselang beberapa lama, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berbatuk-batuk. Dan ketika mengangkat kepala dan me mandang ke muka, ternyata tak jauh dari tempatnya situ, tegak seorang tua berpakain putih. Tubuhnya kurus kering dan berdiri seperti patung. sepintas pandang orang tua kurus berwajah pucat itu, tak ubah seperti sesosok meyat yang bangun dari liang kuburnya

“Lo cianpws….” buru buru Siu- lam menegur sa mbil menghaturkan hor mat.

Pandang mata orang tua baju putih itu pelahan lahan menuju kearah sarang tawon, tanyanya, “Dimanakab si Go buba?”

“Apakah yang locianpwe maksudkan itu si ima m buta?” Siu- lam balas bertanya.

“Benar, aku hendak mencari ima m buta itu untuk mengobati lukanya,” sahut siorang tua baju putih.

“Ah, lo cianpwe terla mbat….”

“Apakah dia pergi” orang tua menegas.

“Dia pergi takkan ke mbali sela ma la manya….” sahut Siu- lam seraya berpaling ke arah gundnk tanah, lalu, “dia sudah meninggal. Kuburan baru itu adalah te mpat penanaman jenazahnya!”

Orang tua baju putih itu menghela napas panjang, “Ah. . . .

mengapa dia mati? Apakah dibunuh orang?” “Benar, dia mati ditangan si Raja tawon Nyo Ko!” “Lalu Nyo Ko?”

“Juga mati. Keduanya bertempur dan saling mender ita luka parah ke mudian sa ma sa ma mati”

Wajah orang tua itu tiba tiba berubah, “Benarkah kcteranganmu itu?”

“Bila locianpwe tak  percaya, silahkan  mengga li liang kuburan itu,” sahut Siu- la m. “Ah. habis, habis….” orang tua baju putih itu menggerutu lalu berputar tubuh dan berjalan dengan langkah gontai.

setelah bayangan oraag itu  lenyap,  diam-dia m  Siu- lam me mbatin, “Luka yang dideritanya ternyata parah sekali. Oh, betapapun sakitnya seseorang tokoh silat yang berkecimpung dalam dunia persilatan, tetapi akhirnya  tak dapat  lolos  dari ke matian yang mengenaskan ”

setelah kemunculan si orang tua baju putih tadi, dibiara rusak yang sunyi dan terasing itu tiada terdapat orang yang berkunjung lagi. Siu-la m duduk me mulangkan tenaga sambil mengobati   diri   menurut   ajaran   si    ima m   buta    dan me mpra ktekkan ajaran dari Nyo Ko untuk menguasai tawon. Tiga hari ke mudian dapatlah ia me mpero leh hasil yang mengge mbirakan. Ketakutannya terhadap tawon itupun mulai berkurang.

Cepat sekali sepuluh hari telah lewat. Luka Siu- lam makin sembuh. sebagai penyambung ma kanan, ia makan madu tawon. Tepat beberapa hari lagi setelah obat yang diberikan siima m buta itu habis, lukanyapun se mbuh sa ma sekali.

setengah bulan la manya, Siu-la m harus beristirahat. sesungguhnya ia sudah tenang. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan Hian Song dan Ciu Hui-ing yang magih dalam bahaya. Ia harus cepat cepat meno long.

Dengan me manggul sarang Bok liong, ia segera menuju ke gereja siau-lim si.

sejak bertemu dengan Dewa iblis Ban Thian seng, Siu-la m menyadari bahwa dirinya dalam waktu beberapa lalu ini telah mendapat beberapa peruntungan aneh yang tak terduga- duga. Ia mendapat kesimpulan bahwa ilmu silat tiada batasnya. Ilmu kepandaian yang dimiliki saat itu mas ih jauh dari sempurna. Maka ia me mutuskan menuju kegereja siau- lim-s i digunung Ko san untuk menuntut ilmu yang lebih sakti. Kita ke mbali mengikut i perjalanan Bwe Hong Swat, sidara baju putih. Ketika tiba disebuah biara, nona itu merasa lapar. Ia masuk ke dalam biara itu. sebuah biara yang kecil tetapi terawat bersih.

Diruang besar seorang rahib tengah me mbaca kitab dengan dua buah lilin sebagai penerangan.

“Suhu, bolehkah aku mohon makan?” Bwe Hong Swat berseru perlahan.

Rahib itu berpaling me mandang si nona lalu menegur, “Nona dari mana?”

Bwe Hong Swat tersenyum, “Dari Telaga darah.” Rahib itu tertegun beberapa saat.

“Telaga darah? Ah, sebuah nama yang seram….” seru rahib

itu sesaat ke mudian, “hendak kenanakah nona sekarang?”

Bwe Hoag Swat gelengkan kepala. “Ah, aku sendiripun tak tahu. Tapi tentu harus ada te mpat. Masakan dunia yang begini luas, tak dapat menerima diriku?”

Rahib itu berbangkit. sa mbil me ngatakan bahwa nona itu benar benar lapar, ia melangkah keluar. Bwe Hong-Swat mengikut i dibelakangnya, menuju kedapur. Bwe Hong Swat dipersilahkan ma kan hidangan yang masih ada disitu. setelah kenyang, Bwe Hong-swat bersandar pada dinding, tertidur.

Karena   menga la mi   perte mpuran   pertempuran yang me lelahkan dan menderita peristiwa peristiwa yang menyedihkan, nona itu me mer lukan istirahat. Dan tertidurlah ia dengan nyenyak sekali.

Entah berapa lama ia tertidur didapur situ, tiba-tiba ia dibangunkan oleh seorang rahib tua yang me mpersilahkan supaya pindah tidur dika mar yang telah disediakan.

Tetapi setelah berada diatas pe mbaringan, ia ma lah tak dapat tidur. Pikirannya melayang, mengenangkan Siu- la m, Hian song, Kat Wi bersaudara, peristiwa di Beng gak dan pengalaman-penga la man di Telaga darah. satu de mi peristiwa-peristiwa itu me lalu lalang dibenaknya.

Ia menghe la napas  dan  berkata  seorang  diri,  “Telah kuala mi berbagai perist iwa, penderitaan dan pertempuran pertempuran maut. Apakah yang kuperoleh selama ini? Bukankah jauh bahagia menuntut kehidupan seorang rahib yang tenang….”

Tiba-tiba seorang lelaki me lanjutkan, “Ah, nona me miliki kesaktian yang jarang tandingan di dunia….”

“Hai, siapakah itu?” tegur Bwe Hong Swat marah.

“Aku!” sahut orang itu dan seorang pemuda loncat masuk kedalam ka mar.

Bwe Hong Swat kerutkan dahi, “Ini te mpat suci, perlu apa kau ke mar i?”

Ternyata pendatang itu adalah Kat Hong, pemuda yang mati- matian mengikuti Bwe Hong-Swat.

Kat Hong tertegun, “Kami berdua saudara, mendapat pelajaran bermacam- maca m ilmu silat, Tetapi banyak yang tak dapat kita fahami ma ka hendak mohon petunjuk nona.”

Dalam pakaian yang baru. tampak pemuda itu lebih cakap dan gagah.

sahut Bwe Hong Swat dingin, “Aku sudah je mu akan kekotoran dunia, aku hendak menyucikan diri  dibawah persada Buddha dan tak akan campur tangan dengan urusan dunia persilatan lagi. sejak saat ini, kalian berdua tak boleh mengganggu aku lagi. Jika tak menurut, jangan sesalkan aku berlaku keja m.”

sejenak Kat Hong terkesiap tetapi pada kejap ia tertawa tergelak gelak, “Turut pendapatku tak mungkin nona diterima menjadi rahib!” Belum pernah sela ma ini pe muda itu berani berkata sedemikian tegas dihadapan Bwe Hong-Swat. Biasanya tentu selalu menurutkan takut. Maka  ucapan  Kat  Hong  saat  itu, me mbuat Bwe Hong Swat tertegun lalu berseru marah, “Mengapa aku tak dapat menjadi tahib? Lihat….”

“Kata kataku tadi bukanlah o mong kosong, jika tak percaya, aku dapat memberi beberapa bukti. Harap nona suka me mber i jawaban,” kata Kat Hong.

“Coba saja!”

“Apakah nona benar-benar bertemu dengan Lo Hian?” Kat Hong mulai mengajukan pertanyaan

“Sudah tentu ketemu sungguh. Masakan aku perlu me mboho ngimu,” sahut Bwe Hong Swat.

“Jika begitu, dia me mberi pelajaran dan me nerima nona sebagai muridnya, juga sesungguhnya?” tanya Kat Hong pula.

“Ya!”

“Yang masuk kedalam Telaga darah, kecuali nona, yaitu kami dua saudara. Menurut pendapatku, yang berada dalam Telaga darah itu tentu bukan hanya kita bertiga saja. Lo Hian sudah lama tinggal di Telaga darah itu, tahu akan segala jalan rahasia didalam Telaga darah faham akan keadaan  alam disitu, angin puyuh dan te mpat te mpat yang berbahaya….”

“Te mpat berbahaya itu bukan lain adalah semacam daya tarik dalam bumi. Me mang banyak orang yang tak mengetahuinya,” kata Bwe Hong swat dengan tawar.

“Entah apa namanya daya tarik yang dapat membunuh orang itu. Jika Lo Hian benar benar masih hidup dalam Telaga darah, tentu dia tahu jelas akan kedatangan kami bertiga. Anehnya Lo Hian hanya bertemu  dengan nona,  tatapi tidak me lihat ka mi berdua!” Mata Bwe Hong Swat berkicup kicup beberapa kali tetapi tidak berkata apa-apa.

Kat Hong menganggap sikap itu sebagai suatu pengakuan secara diam diam Ia tersenyum, katanya pula, “Diantara  sekian banyak Orang yang masuk kedalam Telaga darah, Lo Hian hanya me milih nona menjadi ahli warisnya. hal itu tentu didasarkan atas bakat dan kecerdasan nona “

“Kalau benar begitu, lalu?” Bwe Hong Swat hanya mendengus.

“Kuduga dengan menjatuhkan pilihan atas diri nona,  Lo Hian tentu me mpunyai maksud tertentu agar  nona bersedia me lakukan sesuatu untuknya”

“Uh, mengapa engkau secari tiba-tiba bisa begitu pintar,” seru Bwe Hong swat.

“Itu berarti nooa menganggap aku sudah dewasa, sesungguhnya banyak masalah yang bukannya tak tahu, tetapi me mang aku tak ingin tahu”

“Lalu mengapa sekarang engkau me mikirkan?”

Mata pemuda itu menatap lekat lekat pada Bwe Hong Swat, lalu berkata, “Nonalah yang menyebabkan dalam beberapa hari ini saja aku menjadi dewasa beberapa tahun!” seru Kat Hong.

Melihat sikap dan nada bicara pemuda itu diam diam tersentuhlah nurani Bwe Hong-Swat. Ia merasa kasihan pada pemuda itu. Kata-kata makian yang sedianya hendak dilontarkan, terpaksa dielakannya lagi.

Kat Hong batuk-batuk lalu melanjut kan pula, “Urusan yang Lo Hian hendak minta nona lakukan itu, tentulah urusan yang maha sukar. sebelum menyelesaikan urusan itu, bagaimana nona hendak mencukur ra mbut menjadi rahib!” Bwe Hong Swat tertegun diam. Kata kata Kat Hong menyentuh perasaannya.

“Dan masih pula teatu hal yang menyebabkan nona harus muncul didunia ra ma i,” kata Kat Hong.

“Apa?”

“Kalau menjadi rahib lalu bagaimana pertanggung jawaban nona terhadap Siu-la m?” seru Kat Hong.

Bwe Hong Swat terpukau, “Kami hanya suami isteri diatas nama, tetapi dia tentu tak dapat mengurus diriku….”

Ia berhenti sejenak lalu berkata lagi: “Tetapi me mang aku sudah berjanji kepada  Lo  Hian.  Bagaimanapun  aku  harus me lakukan pesanannya. Jika ada lalu orang dapat mewa kili aku me lakukan pesanannya itu, segera aku dapat masuk kedalam   gereja   dan   tinggalkan   dunia    ra mai    sela ma la manya….”

Nona itu menatap wajah Kat Hong sampa i beberapa lama lalu betanya, “Diantara kalian berdua, siapakah yang bersedia me luluskan sebuah permiutaanku?”

“Kalau nona yang menyuruh, matipun aku takkan meno lak!” sahut Kot Hong.

“Kuminta kalian berdua saudara suka melakukan pesan Lo Hian itu!” kata Bwe Bong Swat.

“Sayang kepandaian kami berdua tak ma mpu,” kata Kat Hong.

“Asal kuberikan ajaran Lo Hian kepada kalian berdua!” “Kalau nona menghendaki begitu, ka mi tentu akan

me laksanakan  dengan  sekuat   tenaga!”  Kat   hong memberi

penegasan.

“Biara ini cukup sunyi,” kata Bwe Hong-Swat, “untuk sementara waktu aku akan menetap disini. siang hari aku akan me mbaca kitab untuk me minta ampun atas dosaku. Malam hari kita cari te mpat yang sepi unfuk me mberi pelajaran ilmu silat itu kepada kalian!”

“Baiklah kalau begitu,” kata Kat Hong”, akan kucari dulu sebuah tempat yang sepi. Besok mala m akan kuundang nona lagi.”

“Masih ada sebuah hal yang hendak kuberitahukan lagi kepadamu,” kata Bwe Hong-Swat.

“Jangankan hanya sebuah, sepuluh bahkan seratus buah. tentu kami akan meluluskan,” kata Kat Hong seraya berputar tubuh tetus me langkah keluar.

“Berhenti!” teriak Bwe Hong Swat, “hal ini penting sekali.

Harus kujelaskan dulu!”

Kat Hong berhenti, “Hal apa, Silahkaa nona bilang!” katanya.

“Setelah me mpe lajari ilmu itu dan mela ksanakan pesan Lo Hian, kalian harus me motong sebuah lengan kalian sendiri!”

“Mengapa Kat Hong tertegun.

“Didunia banyak sekali orang jabat,” kata Bwe Hong Swat, “mo mok dan durjana dunia persilatan kebanyakan adalah mereka yang me miliki kepandaian sakti. setelah  kuajarkan ilmu tanpa tanding kepada kalian itu, jika lengan kalian tak dipoong satu, kelak tentu tiada yang dapat melawan  kalian lagi. sekali kalian  terjerumus dalam kejahatan, bukankah harapan Lo Hian itu akan hancur berantakan? Bukankah akan timbul lagi ketua Beng-gak yang kedua?”

Wajah Kat Hong berobah seketika dan berobah seketika dengan nada tegas ia menyahut, “Baik kuterima perjanjian nona itu. Memang dunia tiada terdapat hal yang sempurna. Kehilangan sebuah lengan, pun tiada halangan! Tetapi tentang adikku itu, aku tak berani menga mbil putusan. Biar kurundingkan dengannya dulu, baru besok mala m kuberitahukan nona!”

“Jika dia me luluskan, besok mala m antara jam sepuluh, kaiian boleh datang ke mari. Jika keberatan, tak usah kau datang kesini lagi!”

“Baiklah jika dia menola k, besok ma lam aku sendiri yang datang,” tanpa menunggu penyahutan nona itu, Kat Hong terus berputar diri dan loncat keluar.

Keesokan hari, pagi pagi sekali cuci muka Hong Swat sudah masuk kedalam ruang besar. Tanpa dibawah penerangan lilin besar, rahib tua bersama seorang rahib yang muda, tengah barsembahyang dan terus me mbaca kitab. Hong Swat mengikut i duduk dibelakang, me mberi hor mat kepada patung yang berada diatas meja.

setelah   bersembahyang,   kedua   rahib   itupun    mulai me mbaca kitab. Rahib tua menga mbil sebuah kitab dari meja dan me mber ikan kepada Hong-swat, serunya, “Laut derita tiada batasnya, asal berpaling tentu me libat pantainya!”

Menyambuti kitab itu, Hong swat segera ikut me mbaca dengan lantang. Selesai pembacaan itu, haripun sudah siang. Rahib itu berkata dengan pelahan kepada Hong swat, “pintu agama Kami selalu terbuka. Jika kau merasa te mpat ini dapat kau jadikan te mpat menetap, silahkan tinggal disini.”

Bwe Hong Swat menghela napas perlahan, sahutnya, “Dalam hati, murid sangat kepingin akan kehidupan tenang dari suhu berdua. Tetapi murid masih berlumuran dosa, penuh dengan liku ikatan dendam. Jika sering tinggal disini, tentu akan mendatangkan bencana pada suhu berdua.”

Rahib tua itu tersenyum, “Walaupun pintu aga ma kami selalu terbuka dan selalu menyambut kedatangan  setiap orang, tetapi me mang hanya orang yang berjodohlah yang dapat hidup dalam lingkungan kami. Pergi datang, datang dan pergi. Tinggal disini atau tidak, terserah saja.” Rahib ttu terus me langkah keluar.

Dalam hatinya timbul pertentangan. Dia merasa kehidupan menjadi seorang rahib, amat tenang dan suci. Tetapi iapun merasa bahwa dirinya masih berlumuran dengan  dosa sehingga sukar untuk mencapa i cita-cita itu. Beberapa saat ia terbenam dalam keraguan.

siang cepat berlalu dan mala mpun tiba. Tepat pada jam sepuluh, muncullah Kat Hong dan Kat Wi.

“Saudaraku ini, demi teringat akan dendam ke matian ayah, bersedia untuk me nerima ajaran ilmu kesaktian nona walaupun harus me motong sebelah lengannya.”

“Kira kira sepuluh lie dibelakaiig biara ini, terdapat sebuah hutan lebat. Didalam hutan terdapat sebuah telaga kecil. Tempat itu jarang di jelajahi orang. Kiranya dapat dijadikan tempat yang bagus sekali,” kata Kat Wi.

Bwe Hong Swat berbangkit dan suruh kedua  saudara  itu me mbawanya kesana.

Mereka bertiga me miliki ilmu mer ingankan tubuh yang hebat. Dalam beberapa jenak saja mereka t iba di hutan itu

sejenak me mandang keempat penjuru, diam diam Bwe Hong swat heran, pikirnya, “Empat penjuru  bukan pegunungan, mengapa ditanah datar sini terdapat sebuah hutan aneh…. “

“Mari kita kesana.” kata Kat Wi seraya nendahuiui masuk, kedalam hutan.

Berjalan kira kira setengah jam la manya mereka melihat sebuah telaga kecil yang berkilau kilauan tertimpah sinar rembulan. sekeliling telaga itu merupa kan padang rumput. Tepat digunakan untuk berlatih silat. Bwe Hong swat menyetujui te mpat itu. “Ka mi ber maks ud hendak me mbangun sebuah poodok untuk kedia man nona agar jangan mo ndar mandir buang tenaga,” kata Kat Hong.

Bwe Hong Swat setuju tetapi ia menghendaki kedua buah pondok itu harus dibangun, yang rata diseberang telaga sebelah timur dan yang satu diseberang barat. Yang satu untuk kedua saudara Kat itu dan yang satu untuknya.

“Kecuali dalam latihan silat, kailan tak boleh datang kepondokku!” kata Bwe Hong Swat.

“Nona adalah guru kami. sodah tentu kami mentaati segala perintah nona.” kate Kat Hong.

Tiga hari ke mudian, pondok itu sudah selesai dan sesuai dengan kehendak Bwe Hong-swat, kedua pondok itu terpisah dengan telaga selain mengajar ilmu silat, Bwe Hong Swat tak mau me mber i kese mpatan kepada mereka untuk bero mong omong. Dan setiap beberapa hari, sekali kali ia mengikuti pelajaran me mbaca dengan kedua rahib.

Demikian kehidupan, yang dituntut oleh Bwe Hong Swat selama ini, Ia bertekad untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan

Entah berhasilkah usahanya itu atau tidak, kelak akan kita lihat lagi….

ooo00000ooo

setelah tiba digunung Kosan, Siu-la m tak mau mengejutkan para paderi siauw lim si. Dia mengelilingi gunung. setelah setengah hari kemudian, dia dapat  menemukan  te mpat dimana dahulu ia pernah tergelincir ke bawah karang. Ia segera mengumpulkan rotan, lalu di sambung-sa mbung dan diikat pada sebatang pohon siong. dengan cara itu ia dapat  me luncur turun kebawah.

setiba dibawah le mbah. ia dapatkan keadaan disitu masih tetap sama seperti dahulu, setelah menentukan arah yang harus ditempuh, ia segera berjalan menyusur sepanjang karang karang. Kiri kira tiga tombak jauhnya, benar juga ia mene mukan gua batu itu.

satelah menge mpos se mangat, ia berseru lantang, “Murid Pui Siu-la m, mo hon menghadap lo-cianpwe….”

Dari dalam guha terdengar penyahutan parau, “Bagus engkau datang, masuklah!”

setelah me letakkan sarang tawon Ban liong diluar, Siu- lam lalu melangkah masuk. sepuluh tomba k kedala m, guha itu makin lebar. Ta mpak Paderi Kak Bong tengah duduk bersila pejamkan mata sedang Kak Hui yang berkepala gundul dan berjenggot menjulai sa mpai kedada. tengah duduk bersandar pada dinding karang.

Tersipu sipu Siu- lam me mber i hor mat kepada kedua paderi sakti dari siau lim si itu.

Kak Hui me mbuka mata, ujarnya, “Ah jika terlambat sedikit saja, kemungkinan engkau tak dapat bertemu dengan ka mi berdua lagi!”

“Mengapa?” Siu- lam terkejut.

Kak Hui tiba tiba berbangkit, “Luka yang kuterima dari budak pere mpuan itu, sukar se mbuh….”

“Tetapi bukankah lo-cianpwe dapat bertahan sampai sekian la ma. Tentulah bahaya sudah lewat. Masakah  luka  itu  menga la mi perobahan lain?” tanya Siu-la m.

“Hanya karena mengandalkan ilmu lwekang maka dapadlah kutahankan luka itu. Tetapi tetap tak ma mpu menyembuhkan lagi urat yang telah putus. Nak, lekas ceritakanlah keadaan gereja siau lim si. Ah, Kalau tidak, aku tentu tak dapat mati dengan meram,” kata Kak Hui.

Melihat paderi itu bicara dengan susah payah, tahulah Siu- lam bahwa paderi itu memang berbahaya keadaannya. Cepat ia menuturkan tentang peristiwa pembebasan kedua Lam koay dan Pak koay dan pertempuran dengan wanita Beng gak, satu demi satu dituturkannya.

Kak Hui taysu menghe la napas. “Kewibawaan gereja siau lim si yang sudah berdiri beratus ratus tahun, hancur dalam sehari. Ah, apakah lohu masih ada muka untuk bertemu dengan arwah para le luhur kakek guru….”

Gejolak   kesedihan    yang    meluap    luap,    telah mengha mburkan darahnya sehingga luka Ji kaoy ke mba li merekah. Darah mengucur keluar….

Buru-buru Siu- lam berbangkit, merobek pakaiannya dan me mba lut luka paderi itu.

Kak Bong ulurkan tangan kanan me megang siku lengan Kak Hui, ujarnya, “Harap sute tenang sedikit….”

Kembali Kak Hui batuk batuk lalu berkata “Harap suheng suka luluskan sebuah hal kepada ku. Dengan de mikian barulah Siute dapat mati mera m….”

Kak Bong kerutkan alis, tubuhnya menggigil, Rupanya diapun goncang perasaannya. Dengan nada setenang mungkin, ia bertanya apakah yang dikehendaki adik seperguruannya itu.

“Kumohon sheng suka meluluskan per mintaanku. Harap suheng suka turunkan seluruh kepandaian suheng kepada bocah ini agar kelak dapat melakukan pe mbalasan untuk Siua- lim-s i!”

“Baik, kululuskan….”

Tiba-tiba Kak Hui tertawa keras, serunya “Karena suheng luluskan, Siute dapat mati dengan mera m….”

Siu-la m melibat tubuh paderi itu me nggigil keras dan lukanyapun mengucur darah deras, Ia terkejut. Buru-buru ia berseru, “Lo cia mpwe, lo cianpwe.” “Tak usah kalian me mperdulikan aku. Aku sudah tak dapat diharap lagi…. Nak, Kusangka engkau tak datang lagi!”

“Aku sangat menyesal sekali karena sampai me mbuat lo cianpwe menderita,” sahut Siu-la m.

Terdengar Kak Hui tertawa keras dan ma kin nyaring. Tiba- tiba  ia  berhenti  tertawa   dan   tubuh   bergetaran,   mata me meja m, Ternyata paderi itu telah putus jiwanya….

Melihat ke matian dari seorang paderi siau im si yang sakti dalam keadaan yang sedemikian mengenas kan itu. menangislah Siu- la m.

Kak Bong taysu menghela napas panjang, ujarnya “Tak perlu engkau me nangis,  Dalam  hari  hari  terakhir  ini  dia me mang sudah menderita kesakitan hebat. Lebih cepat pulang ke se thian (alam baka) baginya dan lohu, adalah suatu hal yang bahagia!”

Siu-la m me ngusap air matanya, “Ah, segala apa memang tak abadi. Panglima yang gagah akhirnya pun akan binasa, Bagi  orang  yang  berkecimpung  dalam  dunia   persilakan me mang sukar untuk menghadapi hari akhirnya dengan tenang. setelah dapat menuntut balas kematian kedua sua mi istri guruku, akupun akan mengasingkan diri  dari dunia persilatan….

Kak Bong taysu menghe la napas- “Ag, aku kuatirkan, kenyataan sering sering tidak seperti yang engkau harapkan….”

Kemudian  dengan  nada  yang  ra mah tetapi  serius  ia me lanjutkan lagi, “Sejak saat ini, lohu hendak mengajarkan ilmu lwekang tinggi dari siau lim si kepada mu. Walaupun aku tak berani mengatakan bahwa dengan ilmu itu engkau bakal menjadi tokoh tanpa tanding, tetapi kupercaya, jika engkau berlatih keras sela ma sepuluh tahun, engkau tentu ma mpu mengimbangi Lo Hian!” sesungguhnya Siu-la m hendak menanyakan tentang diri Lo Hian yang sebenarnya, apakah tokoh itu sudah mati atau masih hidup. Tetapi pada lain kilas, ia batalkan ma ksudnya.

Kak Bong taysu ulurkan tangan menja mah ubun ubun kepala Siu-la m, katanya, “Nak, dalam me mpelajar i ilmu tenaga murni dari perguruan agama. Pantangan yang besar adalan  tak boleh terpencar hati. sekarang akan kubantu engkau dengan tenaga murni yang kuyakinkan sela ma berpuluh tahun agar engkau cepat berhasil….”

Siu-la m tersipu-s ipu mengiakan. saat itu ia merasa ubun ubun kepalanya seperti disaluri hawa panas yang perlahan lahan menurun kedada lalu terlebar keseluruh kaki tangan.

Bermula ia merasa nyaman tetapi lama kela maan hawa panas itu makin hebat. Tanpa disadari iapun kerahkan tenaga dalam untuk menahan.

Siu-la m pernah merasakan penderitaan didalam ajang pertarungan tenaga dalam Oleh Lam koay dan Pak koay, Dua maca m tenaga dalam orang la in sifatnya, bertempur dalam tubuhnya, sakitnya bukan alang kepalang. Tetapi penderitaan itu ternyata me mbawa buah yang tak disangka sangka. Kedua aliran tenaga dalam itu telah me mbantu mene mbus kedua belas urat nadi penting dalam tubuhnya, sehingga tenaga dalamnya bertambah hebat.

Dan saat ini iapun sedang mengala mi penderitaan dilanda oleh tenaga murni panas dari paderi Kak Hui. Tenaga murni yang telah diyakinkan oleh paderi itu sela ma berpuluh-puluh tahun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar