Wanita iblis Jilid 40

Jilid 40

SIP SIAU HONG Berhenti lalu mencekal tangan Tong Bun kwan. Bentaknya bengis. “Ah. kau tetap mengikuti aku seperti bayangan saja!”

Tong Bun kwan mendesis pelahan dan mengukap beberapa patah kata yang tak jelas. Tetapi diam diam hati nona itu tegang sekali, Ia siapkan Iwekang. Jika suhunya mengetahui bahwa ia pura pura terkena obat  pembius,  saat itu  ia  akan me lawannya.

Tetapi ternyata Sip Siau-hong segera lepaskan cekalannya dan manghela napas panjang, “Ah tak seharusnya tadi kuberimu obat pembius itu. sekarang aku tak me mpunyai kawan bicara lagi!”

Ia melangkah lagi ke muka dengan pelahan. Tong Bun kwan me mbiarkan saja sang guru menghela napas panjang pendek. Dia tetap bersikap diam.  Hanya  dalam  hati  ia  senantiasa me mperhatikan saat dimana ia dapat bergabung dengan Bwe Hong swat untuk menindak gurunya itu.

Percikan air itu makin deras dan airnya pun dingin sekali sampai terasa seperti menggigil tulang.

Tiba tiba dari depan me mancar sinar api yang menerangi lorong. Disebelah muka tampa k sebuah altar batu yang datar, menghadang ditengah lorong jalan. Diatas altar batu itu duduk seorang tua berjenggot panjang, mengena kan jubah pertapaan. sikapnya seperti seorang dewa….

Melihat itu serentak menjeritlah sip siau hong, “Suhu….!” serta merta ia terus berlutut me mberi hor mat.

Tong Bun kwan me mandang ke muka dengan seksa ma. Ternyata orang tua yang berdandan seperti pertapa duduk diatas batu altar itu.

perlahan lahan menyurut mundur. Diam diam nona baju biru itu heran. Jika orang tua  itu benar  Lo  Hian  mengapa  me lihat mur idnya yang berkhianat, tak menunjukkan reaksi apa-apa.

“Hm, jangan sam-sumoay ma in main lagi,” ia menar ik kesimpulan lalu menga mbil lima batang senjata rahasia beracun terus dilontarkan.

Tak, tak, tak, dada orang tua itu tertabur senjata rahasia namun tetap diam saja.

sip siau-hong terkejut dan cepat berpaling menyambar tangan Tong Bun kwan. “Bagus, ha mpir saja aku kau kelabuhi.” Dalam keadaan seperti itu tak dapat Tong Bun-kwan menyangkal lagi, cepat-cepat ia menyahut “Murid me mang telah minum obat itu, tetap- perasaan hati mur id masih terang!”

Terdengar suara berdering dering. Mata sip siau hong berkicup kicup. Tiba tiba ia tersenyum, “Mungkin aku keliru menga mbilnya….”

ia lepaskan cengkera mannya dan berkata pula, “Kwan jie, lontaranmu tepat mengena i dada kakek gurumu….”

“Menurut pandangan murid,  orang tua  itu  bukanlah manus ia mela inkan patung….”

sip siau  hong  tertawa  gembira,   “Benar  jika  kau  tak me le mparkan senjata rahasia, hampir saja kau tertipu. Hayo, kita kejar….”

saat itu sinar peneranganpun padam dan ge merincing senjata tak terdengar. Lorong terowongan ke mbali gelap gulita dan sunyi senyap lagi.

“Biarlah murid yang maju dimuka,” kata Tong Bun kwan seraya maju luruskan pedang ke muka dada.

Perjalanan itu panjang dan gelap. Tong Bun kwan lari cepat tanpa gentar. Kebalikannya sip siau hong tetap berhati hati. wanita Beng-gak itu tahu betapa lihaynya mendiang Lo Hian.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, mereka tiba diujung terakhir dari lorong. Pe mandangan disitupun berlainan juga.

sebuah ruangan batu yang luas, penuh bertanur mutiara. sebatang obor besar dan tinggi, me mancarkan  sinarnya keseluruh ruangan sehingga mutiara mutiara itu bergemerlapan me ma ntulkan cahaya yang beraneka warna.

Disa mping kanan kiri ruangan itu terdapat dua buah lorong gang, masing maling me mpunyai pintu yang tertutup. Bwe Hong-swat dan rombongan entah berada dimana karena keadaan sunyi-sunyi saja.

“Suhu, apakah kita  tak masuk me lihat-lihat kedalam ruangan ini?” tanya Tong Bun-kwan.

sejenak sip siau hong merenung  lalu me ng angguk, “Masuk!”

Tanpa ragu ragu. Tong Bun kwan terus masuk. Ternyata dalam ruangan itu kosong me lo mpong. Diam diam siP siau hong kerahkan lwe- kang dan melangkah masuk.

setelah me mandang sejenak kepada suhu nya Tong Bun- kwan segera berteriak nyaring-”Hong swat sumoay, suhu datang kemari, mengapa engkau tak mau keluar menyerahkan diri?”

Melirik kearah suhunya, ia dapatkan sip siau-hong itu mengangguk perlahan. Rupanya wanita Beng-gak itu setuju akan kata kata mur idnya itu.

Beberapa saat kemudian. Tong Bun kwan berteriak  pula, “Ka mi sudah mengejar mu sa mpai di ujung terakhir. Engkau tak mungkin lari kelain te mpat lagi.  Jika tak mau keluar serahkan diri, apabila sampai tertangkap suhu, tentu akan diberi hukuman berat. Mayatmu tiada te mpat terkubur lagi!”

Tetapi tetap tiada suatu penyahutan apa-apa. sip siau hong meuyusur  kesekeliling  dinding  ruangan   na mun   t iada mene mukan sesuatu yang mencur igakan.

sambil me ngangkat pedang, Tong Bin kwan  berseru, “Suhu, jika obor ini tak dipadamkan, ruangan ini tentu kelewat terang. Berbahaya sekali bagi kita…. “

“Meskipun pikiranmu itu benar, tetapi kakek gurumu  Lo Hian itu manus ia yang hebat. Walaupun ditempat sekecil liang semut, ia tetap mampu me masang alat rahasia penyebar maut…. Kurasa obor itu tentu mengandung alat rahasia yang ganas,” kata sip siau hong. “Hm, kiranya engkau juga me mpunyai perasaan takut,” diam diam Tong Bun- kwan mengejek dalam hati Na mun lain pula ia menjawab, “Pedang Ceng-liong kiam yang murid cekal ini, dapat me mbe lah batu keras. Harap suhu keluar dulu, biarlah murid yang menabas obor itu!”

wanita Beng-gak yang termashyur di dunia persilatan sebagai mo mo k ganas, saat itu tampak tak berdaya lagi kecuali menyetujui usul mur idnya. Ia melangkah keluar dari ruangan itu.

Dengan  kerahkan  Iwekang,   Tong   Bun- kwan   segera me mbabat obor. serentak terdengar deru angin ketika obor itu putus dan meyemburkan gumpalan api yang hebat.

“Kwan ji, lekas keluar! Dibawah obor itu terdapat api dibawah tanah!” cepat-cepat sip siau-hong mener iaki.

Tong Bun kwan menurut.

semburan api itu menimbulkan gumpalan asap yang hebat sehingga tak beberapa saat saja seluruh ruangan terbungkus asap.

Dalam menghadap, ketegangan dari segala ke mungkinan yang dapat terjadi, tampak sip siau hong  tenang. Kebalikannya Tong Bun-kwan menjadi gugup, “Suhu, murid bersalah….”

sip siau-ho ng hanya tertawa hambar, “Jika pedangmu itu ma mpu menahas obor batu. tentu dapat juga menahas pintu batu itu. Lekas hancurkan pintu itu!”

Tong Bun kwan mengiakan. Beberapa kali ia hanta mkan pedangnya me mbelah pintu batu. setelah itu ia mendobrak dengan bahunya.

Krak…. pintu itupun terbuka! Ternyata dibalik pintu batu itu merupakan sebuah ruangan yang panjang tetapi sempit. Merupakan satu ruang alam yang telah digubah lagi oleh manus ia. Bersandar pada dinding te mbok, tampa k e mpat orang ima m berjubah hitam sedang duduk.

Ketika menga mati dengan taja m, Tong Bun kwan mengetahui bahwa kee mpat ima m berjubah itu juga hanya patung patuug batu belaka.

“Ha, rupanya Lo Hian telah me mbuat persiapan psrsiapan lebih dahulu untuk me mbuat beberapa patung. Agar orang sukar mencari mayatnya yang asli.  Menilik  keadaannya, sebelum ke empat patung itu selesai, orangnya sudah meninggal….”

Ketika menja mah, didapatinya patung-patung itu lemas seperti daging manus ia. Ternyata terbuat dari bahan kayu yang lunak sekali.

siap siau hong lepaskan sebuah hantaman ke arah salah sebuah patung. Patung hancur dan tiba tiba secarik kertas putih berha mburan jatuh ke tanah.

Tong Bun kwan mcrfliinguinya. Tampak kertas itu bertuliskan beberapa patah kata.

Muridku siauw Hong.

Telah kuperhitungkan bahwa surat ini tentu akan jatuh ketanganmu. Kecuali kau, siapapun tak  nanti  mau menghancur kan patungku….”

“Apa yang ditulis disitu? Lekas bawa ke- mari! ” tiba tiba sip siau hong me lengking Tong Bun Kwan pun buru baru manyerahkannya.

Pada kelanjutan dari tulisan diatas, Jika kau tiada disini, berarti kau me masuki daerah berbahaya. setiap jam, ruangan ini akan menghabur bencana,  yang  tak  dapat  dilawan manus ia. Betapa sakti kepandaian orang, tentu akan binasa. seumur hidup aku tak pernah bohong, tak perlu kau sangsi. Pada patung keempat itu, dibelakang-nya terdapat sebuah lorong, terowongan yang menuju keluar dari Telaga Darah. sip siau hong menghela napas. Ia menengadah ter mangu mangu,

Heranlah Tong Bun-kwan melihat gerak-gerik suhunya yang tak menentu itu. Dia m-dla mia menimang, “Mereka guru dan mur id berdua itu mengapa terdapat sekian banyak persoalan yang berbelit belit?”

Namun ia tak berani menanyakan hal itu kepada gurunya.

Beberapa saat kemudian kedengaran sip siau hong berkata pula, “Kakek gurumu itu me mang tak pernah bohong. Kita harus lekas-le kas keluar dari sini.”

Tong Bun kwan  me mapas   sekepal  dinding  la lu  coba dire masnya. Ah, keras sekali. Ketika di ketuk dengan batang pedang, batu itu mendering- Ternyata batu itu mengandung besi.

saat itu sip siau hong telah menggeser patung yang keempat. Benarlah kiranya. Dibelakang patung itu terdapat sebuah liang yang cukup dimasuki seorang manusia. Terowongan itu, menjurus kebawah. Gelap sekali.

“Suhu, apakah sam sumoay tidak me mper ma inkan kita. lagi?” bisik Tong Bun kwan.

“Tidak,” sahut sip siau hong dengan yakin, “aku faham sekali akan tulisan kakek garumu. Lain orang sukar menirunya:

“Kwan ji, tutuklah jalan darah dua orang anak buah kita yang tak berguna. Tinggalkan mereka disini. Kita lihat saja bagaimana keadaan mereka nanti. setelah mengetahui terowongan rahasia ini, kelak kita mudah  untuk  mondar mandir ke Telaga Darah. Biarlah kedua mur id itu me nghianati aku!”

sesungguhnya Tong Bun-kwan me mbuka mulut, tetapi entah bagaimana tak jadi. Ia terus mengha mpir i ro mbongan anak buah Beng gak. Dua orang yang berada dideretan paling belakang sandiri segera ditutuk jalan darahnya la lu diletakkan d ujung ruangan. Kemudian ia pindahkan patung Lo  Hian untuk menutup terowongan itu. setelah itu baru ia mengikuti suhunya.

setelah adu kepandaian dengan bekas gurunya,  tahulah Bwe Hong-swat bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menga lahkan garunya itu. Apalagi saat itu kedudukannya masih sukar. Ji sicu atau sinona baju merah tetap menhendaki benda-benda peninggalan Lo Hian. sebelum hal itu tercapai, tentu tak mau diajak berserekat me lawan suhunya. Maka satu satunya jalan,ia menggunakan siasat main udak. Ia hendak menggunakan angin prahara dan api dalam Telaga darah serta bermacam- maca m alat rahasia untuk me mper la mbat pengejaran bekas gurunya itu. setelah itu rencana, ia hendak meno long siu-la m lebih dulu.

Bwe Hong swat me miliki peringai yang dingin dan tenang. setelah mendapatkan warisan dari Lo Hian, kepandaiannya bertambah maju pesat sekali. Ia me mbawa Hian song dan rombongannya menuju ke ruang rahasia terdapat jenazah Lo Hian.

Ruangan Itu merupakan sebuah ruangan buku. Diatas meja penuh dengan buku-buku. Pada dinding belakang, terdapat sebuah ruangan tempat arwah yang ditutup sutera kuning. Tempat arwah itu dihias dengan delapan buah tempat arwah dari batu.

Bwe Hong swat me mutar sebuah tombol batu. seketika serangkum api menye mbur keluar. Dibawab penerangan api itu,  ruangan  yang   penuh   berhias   mutiara   itu   segera me mancarkan cahaya bergemerlapan.

Berpaling kepada sinona baju merah,  Bwe Hong swat berkata, “Diatas meja dan batu di-dinding sebelah kanan itu, adalah barang barang peninggalan Lo Hian locianpwe. semua berjumlah dua belas jilid kitab pusaka. Dari ilmu bumi sastra, sejarah sampai pada ilmu perbintangan dan obat obatan. Merupakan ilmu pelajaran yang tiada taranya didunia. separoh bagian saja dapat mempe lajari, tentu sudah cukup  untuk menjago i dunia persilatan….”

“Benarkah?” nona baju merah itu berseru girang, “akan kulihatnya.” Ia segera mengha mpiri meja tulis itu.

“Tahan!” tiba tiba Bwe Hong swat me mbentak bengis.

saat itu sinona baju merah tengah ulurkan tangan hendak menja mah buku-buku. Mendengar teriakan Bwe Hong swat, cepat cepat ia menarik pulang tangannya.

“Mengapa? Apakah kau menyesal?” serunya sinis.

sahut Bwe Hong swat, dengan nada muak. “Jika menyesal, tak nanti kubawa mu ke mari?”

“Aku hanya melihat-lihat dulu mengapa tak boleh “

“Isi kitab itu dalam sekali artinya, tak mungkin kau mengerti!” kata Bwe Hong swat.

“Yang penting hendak kucari beberapa pelajaran ilmu silat yang dapat mengalahkan suhu. Itu sudah cukup bagiku!”

“Sekalipun kau berhasil mene mukan ilmu itu, tetapi sukar untuk menga lahkan sip siau-Hong!”

“Siapakah siauw hong?” nona baju merh, terkejut.

“Sip siau hong ia lah ketua Beng-gak itu atau juga murid dari Lo Hian. Lo Hian telah menurunkan pelajaran sakti kepadanya tetapi sebagai pembalas budi, ia ma lah me mbunuh gurunya….”

“Mengapa ia me mbunuh gurunya sendiri?” tiba tiba Siu- lam menyeletuk.

Bwe Hong-swat merenung beberapa saat baru menyahut, “Hal itu aku juga tak tahu.” Kembali sinona baju merah ulurkan tangan hendak meraih kitab-

“Tunggu dulu sa mpai nanti aku selesai bicara. Kan tidak terlambat?” ke mbali Bwe Hong-swat berseru tajam.

Nona baju merah  itu menar ik lagi tangannya seraya berteriak, “Mau bicara apa lagi, lekas bilanglah!”

“Ilmu silat dalam kitab itu, setiap jurus merupakan  ilmu silat yang luar biasa hebatnya.

sekali engkau me lihatnya, tentu perhatianmu takkan tenggelam. saat itu sekalipun seorang jahat  me mukul  atau me mbunuhmu, engkaupun takkan melawan. Pikiranmu tentu seperti orang Linglung yang tersengsam dalam lautan pengetahuan ilmu silat yang tiada batasnya….”

“Masa begitu?” sahut sinona baju merah.

Ia tetap curiga dan menduga bahwa Bwe Hong swat tentu menyesal….

“Jika aku hendak menipumu, perlu apa aku bersedia mengantar mu ke Telaga darah yang penuh bahaya maut itu?” sahut Bwe Hong-swat.

Dia m-dia m sinona baju merah mengakui kebenaran kata kata Bwe Hong swat. Ia batuk batuk kecil dan berkata, “Taruh kata ucapanmu itu benar, tetapi kitab kitab ini tak dapat dibiarkan begini saja!”

“Tadi telah kita janjikan lebih dulu. Akan kutukar benda peninggalan Lo Hian dengan kebebasan Pui Siu- la m. Asal engkau segera me mbuka ja lan darah Pui siu- la m, kitab diatas meja itu boleh engkau a mbil sesuka mu,” kata Bwe Hong-swat.

Nona baju merah itu ter menung sejenak, la lu berkata, “Disebelah luar terdapat ketua Beng gak dan angin prahara serta  lahar  panas.  sekalipun  engkau  tak ber maksud hendak mence lakai diriku, tetapi juga tak mudah bagiku hendak keluar dari sini…. “

“Hai, apakah engkau menyesal dengan perjanjianmu itu?” teriak Bwe Hong swat.

Nona baju merah gelengkan kepala, “Tidak, tetapi kudapatkan suatu cara yang baik bagi kedua belah fihak.”

“Apakah itu?”

“Engkau yang me mbawa kitab-kitab itu! dan untuk sementara Pui siu- lam belum kubebaskan. Mengingat engkau sudah la ma tinggal di sini tentulah faham jalanan keluar. Asal engkau benar benar mengantar aku sa mpai keluar. Pui-s iu-la m tentu segera kubebaskan. Pada saat itu kita  serempak mengadukan tukar menukar kitab dengan orang. Dengan cara begitu, tentu tiada fihak yang dirugikan!”

Bwe Hong swat tertawa dingin, “Pada waktu kita mengadakan perjanjiaan, tidak terdapat syarat begitu….”

sekonyong konyong kata-kata Bwe Hong swat  terputus oleh Tindakan Ceng Hun totiang yang loncat kesa mping meja dan  merakup  kitab  itu,   teriaknya,   “Siapa  yang   berani  me langkah ke mar i, kitab kitab ini akan kuhancurkan!”

Bukan kepalang marah si nona baju merah.

“Lepaskan!” bentaknya gusar, “apakah engkau hendak merusak perjanjian kita?”

Ceng Hun totiang tertawa nyaring, “Dalam perjanjian kita hanya disebut aku akan mengantarkan engkau sa mpai kedalam Telaga darah dan engkau mengatakan akan me mbagi rata barang barang peninggalan Lo Hian. Oleh karena saat ini kita sudah menghadapi benda-benda peninggalan Lo Hian maka perjanjian itupun harus, selesai sa mpai disini.” si Nona baju merah cepat menarik tali yang mengikat tubuh paderi itu. Tetapi Ceng Hunpun cepat cepat condongkan tubuhnya kesamping dan lepaslah tali pengikat itu….

“Hai, kapankah engkau me lepaskan talimu itu?” si nona baju merah berteriak ,kaget

“Sela ma beberapa hari ini tiada sesaatpun kuanggurkan pikiranku untuk mencari daya melepas kan tali pengikat ini. sesungguhnya pada saat me masuki Telaga Darah, aku sudah dapat melepaskan tali itu. Tetapi karena belum bertemu dengan benda-benda peninggalan Lo Hian, terpaksa kubiarkan saja tali itu mengikat tubuhku!”

Mendengar itu Bwe Hong-swat tertawa lebar, mengejek bekas sucinya itu, “Hi, engkau sudah dicap sebagai murid hianat dan keadaanmu sudah terjepit. Hanya sebuah jalan yang engkau dapat pilih!”

“Sekalipun keadaan masih belum terjepit seperti yang engkau katakan itu tetapi aku bersedia mendengar pendapatmu!” sahut si nona baju merah.

Kata Bwe Hong-swat “Sebuah kerajaan tiada dua orang raja. sepasang jago takkan berdiri sa ma tingginya. Jika engkau mau mendengar perintahku, tentu akan ku bantu kau….”

“Jika tidak mau?” si nona baju merah menegas.

“Nah, aku akan berpeluk tangan saja menyaksikan harimau bertempur dan rumah terbakar!”

Nona baju merah itu mengertek gigi, “Jangan lupa, Pui Siu- lam masih dalam tanganku!”

Bwe Hong swat tertegun tetapi segera ia tertawa hambar, “Tak apa, engkau dapat mencelaka inya, tetapi engkaupun tak mungkin hidup!”

“Hm, apakah engkau lebih suka pecah berantakan daripada me mikirkan kesela matannya?” Bwe Hong swat, “Aku akan setia sa mpai akhir hayatku….” “Hai, apakah hubunganmu dengan dia? Mengapa engkau

hendak setia sa mpai mati?” tiba-tiba Hian song me lengking.

Belum Bwe Hong-swat menyahut, tiba-tiba nona baju merah itu sudah mendahului, “Apakah eugkau benar-benar tak tahu? sam-sumoayku yang cantik jelita dengan suhengmu sudah me madu janji sehidup se mati….”

Ia mengha mpiri Siu- lam dan me mbuka tali pengikatnya. Me mang tali pengikat itu luar biasa. Yang diikat adalah setiap jalan darah vital pada tubuh siu-lam. sekali noaa itu menarik talinya siu-la m tentu menderita kesakitan yang hebat.

“Adik sang, dengan mendengar ocehannya!” teriak siu- la m.

sepasang mata Hian Bong berkilat kilat. Ke mudian berbisik kepada si nona baju merah, “Lepaskan suhengku, nanti kubantumu dengan sepenuh tenaga.”

sejenak nona baju merah itu merenung, katanya, “Mudah saja melepaskannya tetapi bagaimana aku dapat me mpercayai omonganmu?”

“Kata katamu itu sudah cukup! Apakah aku harus mengucapkan sumpah?” sahut Hian Song.

Dara itu ir i hati me lihat kecantikan Bwe Hong swat dan penasaran karena nona itu amat menyayango Siu-la m. Cemburu, ir i dan gusar berca mpur aduk me mbakar hatinya.

Rupanya si nona baju merah dapat me mbaca is i hatinya. Pura pura ia menegas, “Kalau ia bebas dan samapi bersatu dengan sam-sumoayku, bukankah kita akan bertambah seorang lawan yang berat?”

Sahut hian song tegas, “Akan ku bunuh sekalian!”

Sinona baju merah tersenyum puas, katanya “Baik, aku percaya omonganmu!” Ia mengha mpiri Siu- lam dan me mbuka tali pengikatnya. Me mang tali pengikat itu luar biasa. Yang diikat adalah setiap jalan darah vital pada tubuh Siu- la m. Sekali nona itu menar ik talinya Siu-la m tentu menderita kesakitan yang hebat. Siu-lam tak dapat berkutik sa ma sekali.

Karena sela ma beberaa hari terbelenggu, begitu bebas, Siu- lam la lu menggerak-gerakkan kedua tangannya dan menarik nafas longgar.

Tiba tiba telinganya terngiang oleh suara si nona baju merah yang halus seperti ngiang nyamuk. “Sekalipun dirimu sudah bebas tetapi racunmu masih belum hilang. Pada waktu waktu tertentu engkau harus minum obat pe munah yang berada padaku. Jika tidak, jiwamu tetap melayang. Maka jangan coba berkhianat. jiwa mu mas ih dalam gengga manku.”

Ternyata si nona baju merah itu gunakan ilmu menyusup suara untuk untuk me mber i peringatan kepada Siu-la m.

Bwe Hong-swat hanya dingin-dingin saja menyaksikan apa yang telah berlangsung itu. sama sekali tak mencegah.

Karena mengala mi beberapa peristiwa yang hebat, pandangan siu-la m terhadap dunia makin tawar. Ia tak menghiraukan apa-apa lagi tentang mati hidup. Pelahan lahan ia berpaling kearah nona baju merah itu tetapi tak berkata apa-apa.

“Pui suheng, ” kata Hlan-song mengha mpir i kesa mping Siu- la m.

“Ya?”

Tiba-tiba terdengar Ceng Hun totiang berseru nyaring, “Cau tayu, apakah Tay Ih siansu dan Thian Ce totiang sudah datang?”

Kedua wanita dari Tian jong-pay itu tegak me matung dan menarik napas panjang, “Sejak masuk kedalam Telaga darah ini, mereka berdua bersa ma Tio Gan mur id toheng, tak kelihatan lagi!”

Ceng Hun kerutkan dahi, “Ciok dan Tek lo cianpwe entah bagaimana nasibnya?”

Ciok sam kong dan Tek Cin saling berpandangan tetapi tak bicara apa apa.

Kiranya setelah menguasai kitab kitab pusaka itu, Csag Hun totiang merasa sukar. Ia duga kedua jngo tua itu tentu akan bergerak. Tetapi ternyata Ciok sam kong dan Tek Cin berdiam diri.

Me mang ketiga tokoh Ciok sam kong, Tek Cin, Cau Yan-him tak dapat me lupakan derita kesakitan yang diala mi apabila jalan darah mereka yang ditutuk Bwe Hong swat itu ka mbuh. sekali mereka tahu apa yang dimaksud Ceng Hun totiang supaya mengerahkan kawan-kawan untuk melindungi kitab kitab pusaka itu. tetapi mereka tak berani bertindak.

Bwe Hong-swat alihkan pandang matanya kepada Ceng Hun, “Dalam perut gunung itu, setiap waktu yang tertentu yang dilanda Oleh bencana maut. Yang tidak faham jalan, tentu sukar lolos. Masakan  semudah itu engkau hendak mengangkuti kitab kitab Lo Hian?”

Kemudian nona itu berseru nyaring kepada Ciok sam kong dan kawan kawannya, “Aku hendak pergi, jika kalian senang tinggal disini. terserah!”

Habis berkata nona itu terus melangkah pergi. Kat Hong segera mengikut inya. setelah bertukar pandang, Ciok sam- kong, Tek Cin dan Cau Yan huipun mengikuti.

sinona beju merah terlongong longong mengawasi langkah sumoaynya itu. Walaupun ia cerdas tetapi ia tetap tak ma mpu menduga is i hati Bwe Hong-swat. sekeluarnya dari ruang batu itu.  Bwe  Hong  swat menuju ke muka. Tetapi yang aneh, langkah kaki nona itu tak mantap lagi. seperti orang yang tengah me manggul beban berat.

Melihat itu Kat Hong maju mengha mpiri dan me megang bahu nona itu. Ketika melihat ujung mata  nona itu mengandung air mata, Kat Hong terkejut. serunya, “Nona, mengapakah engkau?”

Bwe Hong-swat geliatkan bahunya itu me mbentak, “Lepaskan!” Ia terus lari.

Kat Hong tertegun lalu me ngejarnya.

“Eh, mengapakah nona itu?” tanya Ciok sam kong kepada Tek Cin

“Entahlah,” sahut Tek Cin, “celaka, jika dia sa mpai lenyap tentu sukar mencarinya sewaktu Jika kita ka mbuh!”

Ketiga tokoh itu segera mengejar.

Ternyata Bwe Hong swat menuju kesebuah ruang goha. Terpaksa tokoh tokoh itupun ikut masuk. Ternyata dalam goha batu itu terdapat tiga buah patung paderi yang sama bentuknya. Dan masih ada sebuah patung paderi lain yang sudah rusak dan menggeletak disa mping. Pada dinding sebelah kiri, bersandar dua orang lelaki persilatan. Rupanya mereka sudah mati karena matanya tertutup dan tak dapat berkutik.

Tiba tiba Bwe Hong swat berpaling kepada ro mbongan orang orang itu dan dengan wajah dingin menegur, “Mau apa kalian mengikuti aku?”

Kat Hong terkesiap, sahutnya, “Aku sudah bersumpah, dalam kehidupanku sekarang ini, akan kuabadikan mengikuti engkau.”

“Keluar!” teriak Bwe Hong-swat, “ruang ini ruang maut. siapapun tak dapat tinggal di sini sela ma dua belas ja m!” “Bagaimana engkau?” tanya Kat Hong. “AKU lain.”

“Kalau kau tak takut, akupun tak takut!” Ciok sam kong batuk-batuk, serunya, “Jika nona Bwe jemu kepada kami, harap me mbebaskan jalan darah kami yang nona tutuk ini. Dengan segera kami akan tinggalkan te mpat ini!”

Bwe Hong-swat tak me nghiraukan Ciok sam kong. Dipandangnya Kat Hong lekat lekat, tanyanya,  “Apakah engkau benar-benar takut mati?”

sambil busungkan dada, pemuda itu menyahut tenang, “Asal berada di samping nona, mati pun aku rela!”

sokonyong – konyong terdengar teriakan nyaring seorang lelaki tua dengan rambut kusut masai dan mence kal sebatang tongkat bambu, berlari-lar i masuk.

“Berhenti!” teriak Kat Hong seraya lepaskan pukulan Bu ing sin-kun.

Orang itu mendesak tertahan dan tersurut jatuh tiga langkah kebelakang.

Untunglah Ciok sam kong cepat menanggapi dan mengangkatnya sendiri

“Jangan meluka inya!” seru Bwe Hong swat.

Ciok sam- kong tertegun dan melepaskan  orang itu. Kemudian Bwe Hong swat mengha mpiri Orang tua itu dan menepuk bakunya yang terpukul Kat Hong, “Ah, seorang tua yang bernasib malang. Dengan kepandaianmu ilmu pengobatan, kau termasyhur didunia peisilatan dan banyak meno long orang, tetapi akhirnya kau mengala mi nasib yang begini celaka!”

Walaupun Ciok sam kong luas pengala man tetapi benar benar ia tidak kenal dengan orang tua itu. Tanyanya, “Nona Bwe, siapakah orang tua itu?” “Tabib Gan Leng poh yang ter masyhur!” sahut Bwe Hong swat.

Ciok sa m-ko ng terbeliak, “Ah, siapakah yang tak kenal tabib termasyhur itu! sungguh tak nyana dia tak dapat mengohati diri sendiri,” baru jago tua itu berkata sampai disitu,  tiba-tiba  ia rasakan suatu aliran darah dari kedua kaki merangsang keatas sehingga tubuhnya kesemutan. Kejutnya bukan alang kepalang. Buru buru ia berpaling ke arah kawannya. Ternyata Tek Cin dan Cau Yan-huipun mengerut dahi menahan rasa kejut. Jelas bahwa kedua kawannyapun menanggung rasa kejut seperti dirinya juga.

Berkata pula Bwe Hong-swat dengan nada le mbut, “Ruang ini segera akan me limpahkan bencana yang tidak mungkin dilawan Orang. Perasaan yang kalian ala mi itu hanya pertanda akan datangnya bencana itu. Ah tiada seorang pun yang dapat hidup nanti. Harap kalian lekas lekas pergi!”

si tabib yang gila, rupanya tidak mengerti apa yang di bicarakan mereka. Ia mengha mpiri kesudut ruangan.

Kembali Ciok sa m-kong mendengus perlahan, serunya, “Jika me mang sungguh menghendaki kami pergi, harap nona me mbebaskan urat nadi kami yang tertutuk.”

Bwe Hong swat gelengkan kepala,  “Akupun  tak  ma mpu me mbuka lagi urat nadi kalian itu….”

“Bagaimana?” Ciok sam kong terkejut.

Bwe Hong swat menghe la napas panjang,  “Benar-benar aku tak bohong. Dalam dunia dewasa ini, tiada seorangpun yang ma mpu me mbuka lagi urat nadi yang sudah tertutup itu. sekalipun Lo Hian hidup lagi, juga tak ma mpu. Yang kulakukan selama tadi, hanyalah menutuk beberapa bagian  penting untuk mengurangi penderitaan kalian di waktu luka itu kambuh. Pertolongan itu hanya bersifat mengurangi penderitaan untuk sementara waktu. sekali- kali bukan penyembuhan.” Ciok sam kong, Tek Cin dan Cati Yan-hui saling berpandangan. Teringat akan siksan jika luka mereka ka mbuh, wajah mereka ta mpak pucat.

“Tetapi bukan tiada putus dayanya, ” tiba-tiba Bwee Hong swat berkata.

“Harap  nona  mengatakan,  ”  serentak  Ciok  sam-kong  me minta.

“Segala ilmu kepandaian apa saja, harus dilatih dengan kecerdasan, kekuatan dan kegiatan sehingga baru dapat mencapai kese mpurnaan….”

Nona ita merenung  sejenak lalu melanjut kan  berkata, “Akan kuajarkan kalian tentang ilmu me mbuka uratnya secara lisan. Dan kalian lakukan waktu sela ma dua belas jam. Adakah tenaga dalam kalian ma mpu menyebutkan urat nadi kalian, tergantung dari tingkat kepandian kalian mas ing mas ing “

Bwee Hong swat segera mengucapkan ilmu pelajaran itu. setelah itu kembali ia menyuruh mereka lekas tinggalkan tempat itu, “Tenaga pe mbunuh yang tak mungkin dilawan, segera akan tiba. Jika terlambat, mungkin kalian takkan dapat tinggalkan ruang ini!” katanya dengar nada ra mah.

Ciok sa m-keng menghaturkan terima kasih.

“Tak perlu berterima kasih, yang penting kalian harus lekas lekas pergi dari sini!” kata. Bwee Hong wat seraya berputar diri.

“Masih ada suatu kandungan hati yang mengganja l dalam perasaan. Jika tak kukatakan tentu menjadi  duri dalam sanubari,” tiba tiba C iok sa m- kong berkata.

“Apakah itu?” Bwe Hong swat berpaling.

“Jika nona tahu ruangan ini bakal tertimpah bencana maut yang tak mungkin dilawan manusia, mengapa nona tak mau pergi?” Bwe Hong swat tersenyum, “Jika hidup dalam dunia hanya banyak menanggung duka nestapa, bukankah lebih  beik mati!”

Ciok sam kong tertegun, serunya, “Nona masih muda belia, mengapa mengucap kata-kata begitu? Dalam usia nona yang begitu muda tetapi sudah ms miliki kesaktian yang sede mikian hebat, kelak tentu dapat mengangkat nama di dunia persilatan.”

“Ai, nama dan pangkat, apakah artinya? Bukankah tak sedikit tokoh-tokoh yang ter masyhur akhirnya akan menga la mi akhir hidupnya dalam kesepian. Tetapi herannya, mengapa banyak sekali manusia yang tergila gila dengan pangkat dan  ke masyhuran nama!”

Ciok sam kong menunduk, me mandang jenggotnya yang putih, “Ucapan nona itu benar-benar suatu pelita yang menerangi batin orang. jika cona berkeras hendak tetap berada disini, terpaksa ka mipun tak berani mencegah.”

Jago tua itu tiba-tiba  hilang  a mbis inya  untuk  mengejar ke masyuran nama. Ia amat me mperhatikan sekali akan keadaan Bwe Hong-swat.

“Sudahlah, tak perlu menasehati aku. silahkan pergi!” kata Bwe Hong swat

sesungguhnya dibalik sikap dan bicaranya yang dingin, Bwe Hong-swat me mpunyai hati nurani yang lembut. sejak kecil, ia telah mengala mi pertumpahan darah yang menimpa keluarganya. Kemudian dibesarkan dalam lingkungan Beng- gak yang ganas. sekalipun begitu.

ia tetap me mbekas bayang-bayang pribadi ibunya yang berbudi. Tadi karena melihat Pui Siu-la m bersikap dingin kepadanya, hatinya seperti terhempas dalam keputusan asaan. Baginya hidup itu ha mpa. Dan  seketika  timbullah   keputusannya   untuk   mencari ke matian.

Ciok sam- kong berpaling dan mengajak Cau Yan hui tinggalkan ruangan itu. Ketika tiba dia mbang pintu, tiba tiba jago tua itu teringat bahwa Kat Hong dan sitabib Gan Len poh masih berada dalam ruangan. Buru-buru ia berpaling lagi, “Saudara  Kat,  dengan  kesaktiannya  mungkin  nona   Bwe ma mpu me lawan bahaya. Tetapi jika engkau ikut tinggal disini, berarti me mbuang jiwa dengan sia sia. Hayo, ikutlah kami! Asal dapat keluar dari Telaga darah ini, menilik kepandaian yang engkau miliki sekarang ini, dalam waktu empat-lima tahun, engkau tentu akan menggetarkan dunia persilatan,”

“Terima kasih atas perhatian lo cianpwe,”

kata Kat Hong dengan me mberi hor mat, “tapi aku akan tetap disini mene mani nona Bwe!”

Ciok sa m-kong tertegun. Ia berpaling ke arah Tek Cin- “Ai, benar benar kita hidup dengan sia-s ia”

“Mengapa?” tanya Tek Cin.

“Seumur hidup, aku tak pernah mencintai seseorang. Yang kuala mi hanya bertempur saja, mengikat per musuhan.”

“Benar,” sahut Tek Cin, “me mcng yang kita alami hanya bunuh dan pembunuhan. Yang kita lintasi hanya lorong lorong maut. Tetapi jika kita renungkan dengan sungguh sungguh, tindakan kita itu t idak menguntung diri sendiri tidak pula menguntungkan la in orang. Ai. kecewa- Hanya me mbunuh seumur hidup!”

Kedua tokon tua itu rupanya seperti menyadari perjalanan hidup sela ma ini. Cau Yan hui menghela napas panjang, “Marilah kita mengajak Gan Leng poh keluar!” “Tak usah,” kata Bwe Hong swat, “dia sudah gila. sekalipun meno longnya juga hanya kesengsaraan yang dialami. Lebih baik biarkan dia mati.”

Ketiga tokoh itu terpaksa menurut. setelah me mberi  selamat tinggal, mereka keluar dan ruangan itu.

Kini yang tinggal hanya Bwe Hong swat, Kat Hong dan sitabib Gan Leng poh yang gila. sekalipun disudut ruang terdapat dua orang yang masih hidup, tetapi karena jalan darah mereka tertutuk, mereka tak dapat berkutik.

setelah ketiga tokoh itu pergi, Kat Hong mengha mpiri Bwe Hong swat. Ditatapnya wajah dara itu tanpa berkata sepatahpun juga.

“Mengapa kau melihat aku begitu rapat” tegur nona itu seraya melangkah kegudut ruang dan duduk bersemedhi.

Kat Hong tersenyum dan mengikuti, “Apakah yang akan menimpa ruangan ini? Apakah orang tentu akan mati kalau berada di sini?”

“Se macam arus tenaga yang gaib. Mungkin tiada seorangpun yang dapat me mecahkan kegaiban itu. sekalipun sakit, juga tak mungkin dapat melawannya. Lebih baik kaupun pergi saja!”

“Benarkah itu?”

“Perlu apa aku me mbohongi mu!”

Kat Hong berputar tubuh dan me langkah kepintu lalu keluar.

“Hm, pepatah kuno mengatakan bahwa semut sekalipun, juga temaha hidup. Rupanya kata-kata itu me ma ng benar, Dihadapan Cio-sam- kong bertiga, dia mengatakan akan tetap tinggal disini. Tetapi buktinya dia ngacir juga ” diam diam Bwe menilai tindakan Kat Hong. Tiba tiba Kat Hong me nutup pintu dan balik ke mbali kedalam ruangan dan duduk bersila berhadapan dengan Bwe Hong-swat.

Nona itu terkejut sekali.  Buru-buru ia pejamkan mata. Tetapi hatinya tetap mas ih belum tenang. Pada detik-detik menunggu ke matian banyak nian hal-hal yang melalu lalang di benaknya. Bahkan hal hal yang sebelumnya belum pernah terpikir olehnya.

Dia kuatir Kat Hong benar benar akan menunggunya dan bersama-sama menghadapi ke matian. Jika peristiwa itu benar- benar terjadi, pasti akan menimbulkan buah tutur orang. Tetapi ia pun tak menghendaki Kat Hong pergi meninggalkan dia, apa lagi disaat menghadapi ka matian yang sunyi….

Tiba-tiba Kat Hong menghe la napas panjang, “Sayang dalam kehidupan manus ia itu, hanya mengala mi ke matian satu kali. sehingga tak dapat mencer itakan kepada orang bagaimana rasanya mati itu….”

Goyah juga ketenangan Bwe Hong swat. Ia membuka mata dan tertawa dingin, “Kalau takut, pergilah. siapa suruh engkau tinggal disini!”

me lihat makin marah, dara itu ma kin cantik. Kat Hong termangu- mangu. Ke mudian tersenyum, “Seorang yang berwajah cantik, walaupun, marah atau tertawa tetap akan  me mikat hati.”

“Engkau    mengoceh     apa?      Jika      me mbangkitkan ke marahanku, kubunuhmu lebih dulu!” teriak Bwe Hong-swat dengan murka.

“Jika  takut   mati,   tak   mungkin   aku   berada   disini mene manimu. Ai, hanya  kandungan  rangkaian  hati  yang me mbuat hatiku galisah!”

“Rangkaian hati apa?” “Kesatu, sebelum mati aku tak dapat berjumpa dengan saudara untuk mengucap beberapa patah kata perpisahan….”

“Yang kedua?”

“Yang kedua, me mpunyai hubungan dengan nona. Kulihat engkau, baik berduka, maupun marah, tetap menarik. Tetapi selama ini tak pernah kunikmati bagaimana kalau engkau tertawa. Untuk itu aku puas mati!”

Bwe Hong swat tertegun, serunya marah, “Engkau benar- benar rendah akhlak….”ia ber bangkit terus pindah kelam sudut.

Tetapi Kat Hong tetap mengikuti lagi.

“Kalan tak ma u tertawa, akupun takkan me maksa.

Mengapa nona marah- marah begitu?”

Bwe Hong swat mena mpar, “Enyah  engkau,  dengan mende kati aku!”

Piak…. Kat Hong terhuyung tiga langkah kebelakang. separoh pipinya bengap dan me mbekas telapak jari sinona.

Tidak menghindar, tidak menangkis dan tidak pula marah, kebalikannya Kat Hong ma lah tertawa cengar cengir dan menjauh beberapa langkah, “Jika nona benci padaku, baiklah aku takkan mengganggumu lagi.”

Dia m-dia m Bwe Hong swat menghela napas-”Dia sedemikian besar menaruh hati padaku. sehingga tak menghiraukan mati hidup. suatu sikap yang jauh berbeda sekali dengan Pui siu- lam sayang aku sudah mengikat sumpah dengan Siu-la m sehingga dalam kehidupan sekarang ini, aku sudah menjadi milik keluarga Pui. Bagaimana aku dapat menerima curahan hati orang lain….”

Makin merenungkan hati Bwe Hong-swat ma kin gelisah. Buru buru ia mengerahkan se mangat untuk menenangkan hatinya. Entah berselang beberapa lama, tiba tiba Bwe Hong-s wat rasakan sekujur tubuhnya kesemutan. Buru buru ia loncat bangun. Kat Hong pun loncat bangun juga.  sedang  si tabib gila Gan Leng-poh me lonjak lonjak seperti orang menginjak papan besi.

sambil kerahkan tenaga mur ni, Bwe Hong-swat me layang kebumi. seketika ia rasakan suatu aliran hawa panas merangsang ketubuh sehingga terasa kese mutan. Tetapi dia sudah bertekad mati. Dengan kerahkan se mangat, ia tegak  me matung dan me mbiarkan aliran itu merayapi tubuhnya.

Tetapi rupanya Kat Hong tak kuat menahan aliran tenaga itu. Ia loncat kssamping Bwe Hong swat, “Nona, kita segera akan mati!”

Bwe Hong-s wat hanya mendengus tak mengacuhkan. Kembali Kat Hong berulang kaiia melo njak-lo njak, serunya,

“Nona, Bwe, maukah engkau tertawa untukku?”

Rupanya aliran tenaga itu makin la ma  makin  keras sehingga tubuh pe muda itu menggigil. Kata katanya bergetaran.

sedang disana, sitabib gila Gan Leng poh pun meraung raung me mekikkan telinga.

Kepala Kat Hong bercucuran keringat. Wajahnya pucat lesi, napas terengah engah seperti kerbau disembelih. Tetapi matanya me mancar sinar harap kearah Bwe Hong swat.

Akhirnya runtuhlah benteng ima m Bwe Hong swat, pikirnya, “Beberapa kejab lagi, kita akan terbakar hangus oleh aliran aneh ini. Untuk me mberinya sebuah senyuman kiranya tiada halangan….”

Terdorong oleh rasa kasihan, khirnya Bwe Hong-swat tertawa kepada pemuda itu…. Melihat itu berteriaklah Kat Hong dengan penuh gelora, “Dalam saat menjelang maut mendapat hantaran senyum manis dari nona, hatiku bahagia sekali. Ah, hidup itu penuh dosa, nona Bwe, aku hendak mendahului….”

Habis berkata Kat Hong mengangkat tangan kanan. Pada saat ia hendak menghantam ubun-ubun kepalanya sediri tiba tiba tubuhnya dibentur suatu tenaga dahsyat sehingga terlempar ketempat Bwe Hong swat.

Kiranya yang me mbentur Kat Hong itu adalah sitabib gila Gan Leng-poh. Bwe Hong-swat menya mbut dengan dorongan agar tubuh pemuda itu tertahan. Tetapi celaka, tenaganya habis karena terhapus tenaga ajaib itu. Ia terbentur tubuh Kat Hong dan pemuda itu tergelincir kesamping, me mbentur dinding ruang.

Buru buru Kat Hong loncat mundur. sebelah kakinya menginjak sebuah batu yang menonjol. Wahai! tiba  tiba tenaga gaib dari tanah itu lenyap seketika. Buru buru  Kat Hong mengawasi kebawah batu yang diinjaknya itu Hal  kiranya dibawah kakinya itu terdapat sebuah botol porselen penuh berisi pil.

Dalam pada itu, Bwe Hong-swat yang terlanda tubuh Kat Hong tadipun me mbentur dinding ruangan. Berlainan dengan Kat Hong yang secara tak sengaja telah  menginjak batu menonjo l sehingga aliran tenaga gaib itu lenyap.

Dinding yang dibentur Bwe Hong Swat itu malah  lebih keras aliran tenaganya ajaib. Tubuh nona itu basah kuyup dengan keringat wangi.Alisnya menegak, Rupanya ia sedang berjuang menahan penderitaan yang hebat.

Melihat itu Kat Hong loncat ke samping Bwe Hong swat dan ulurkan tangan hendak me me luknya.

“Jangan menja mah aku!” bentak Bwe Hong swat seraya mena mpar. Karena sudah pernah merasakan betapa sakitnya tangan sinona, kali ini Kat Hong tak mau menerima lagi. Ia lepaskan cekalannya  dan   loncat   mundur.   sebelumnya   ia   sudah me mperhitungkan jaraknya maka dengan tepat ia loncat menginjak botol obat tadi. 

Melihat kearah Bwe Hong swat, dihadapinya nona itu tengah pejamkan mata. Mukanya basah bersimbah peluh. Tetapi nona itu  keras  sekali  hatinya. Sepatahpun  ia  tak mer intih.

MMelihat keadaan nona itu, timbullah rasa kasihan Kat Hong. Setelah memperhitungkan letak beberapa jalan darah Hun hiat(pingsan) di tubuh nona itu. sekonyong konyong ia loncat dan secepat kilat menutuk jalan darah pe mingsan Bwe Hong swat. lalu menarik tubuhnya kedalam pelukan dan loncat mundur keatas botol obat itu pula.

Saat itu si tabib gila Gan Leng Poh melo njak lonjak semakin cepat. Tongkahnya tak ubah seperti se mut diatas kuali panas.

Kat Hong kasihan me lihat keadaan tabib itu tapi apa daya. Botol pil yang dapat menghentikan ha mburan tenaga ajaib itu hanya cukup hanya diinjak sebelah kaki. Me mbopong  Bwe Hong swat dan berdiri dengan sebelah kaki diatas botol itu, sudah cukup payah. Apalagi harus menolong si tabib. Akhirnya dengan hati yang tersayat, ia terpaksa  melihati saja  keadaan si tabib yang menderita siksaan.

Kat Hong menunduk. Dilihatnya Bwe  Hong  swat  masih mera m. Tetapi keringatnya berkurang. Suatu penanda bahwa nona itu sudah tak menderita sakit lagi. Hanya karena tertutuk jalan daranya ia masih pingsan.

Tabib Gan Leng Poh menjerit-jerit ma kin keras. Ia seperti kerbau gila yang menga muk. Melonjak-lonja k berputaran keseluruh ruangan.

Karena lama berdiri dengan sebelah kaki menginja k botol, akhirnya Kat Hong rasakan kakinya linu, Ia loncat untuk berganti kaki yang satu. Krek…. karena diinjaknya keliwat berat, botol obat itu pecah. Obat dalam botol itu berhamburan menumpa kelantai.

saat itu tenaga Gan Leng Po habis dan rubuhlah tabib itu ketanah. Untuk mengurangi rasa sakit  yang menyerang dadanya, ia bergeliatan dan tangannya meregang regang menya mbar mencengkra m kian ke mari.

Tiba tiba tangan tabib itu meyambar dua butir pil. Tanpa mengacuhkan suatu apa pil itu terus ditelannya….

Kat Hong melihat kaki dan tangan si tabib masih meregang regang. Tapi makin la ma makin le mah. Rupanya tabib itu sudah habis tenaganya dan tengah meregang  jiwa.  Pemuda itu kasihan. Diam diam ia berfikir, “Setelah botol porselen pecah, aku malah dapat berdiri dengna enak. Jika pecahan botol ini dapat ku pencar sehingga dapat ku injak dengan kedua kaki, tentu mudah me nolong tabib itu.

Cepat ia mela ksanakan rencananya. Ia loncat, ketika kaki kanannya akan me la mbung, ia se mpat menyepak botol pecah dan berhasillah pecahan botol itu diserakkan. Ketika turun kelantai, kedua kakinya dapat berdiri diatas pecahan botol.

“Gan lo cianpwe, apakah engkau dapat  bergerak? Jika engkau dapat berguling ke mari, aku dapat menolongmu!” serunya.

Gan Leng poh mengangkat kepala, me mandang pe muda itu. sekonyong ia loncat menerjang Kat Hong.

Kat Hong tertawa. Ia tak mau menyingkr me lainkan maju songsongkan tangannya menyambar sitabib.

Gerakkan Gan Leng poh yang tampaknya dahsyat itu ternyata tidak bertenaga. Dengan mudah Kat Hong dapat menangkapnya suatu keajaiban terjadi. Tabib yang gila itu rupanya telah pulih kesadaran pikirannya sejenak ia me mandang Kat Hong lalu pejamkan mata berdiam diri.

Kini Kat Hong me manggul dua tubuh, Bwe Hong Swat dan Gan Leng Poh. Entah berapa lama dalam keadaan begitu, akhirnya Kat Hong rasakan kedua lengannya linu. Terpaksa ia letakkan Gan Leng poh loncat bangun terus menerjang pintu. Begitu tiba dimuka pintu, ia loncat menghanta m pintu batu. Uh…. tabib itu mendengus. Tangannya memba l sendiri. Ia mendorong, tetapi pintu itu sedikitpun tak berkisar. Ternyata pintu me mpunyai alat penutup dari luar. Bisa didorong masuk tetapi tak dapat didorong keluar.

Karena tak berhasil me mbuka pintu, Gan Leng poh mengisar kaki dan berseru, “Heran, mengapa tenaga gaib itu tak terasa lagi?”

Mendengar itu, Kat Hong mencobakan sebelah kakinya untuk menginjak tanah. Hai, benar! Tenaga ajaib itu sudah tak terasa lagi. Buru buru ia me mbuka jalan darah Bwe  Hong swat.

Begitu me mbuka  mata, Bwe Hong swat meronta dari pelukan Kat Hong dan menegurnya dingin: Mengapa engkau me me luk aku?”

Menolong tidak mendapat terima kasih kebalikannya malah mendapat teguran taja m, tentu buat Kat Hong terbeliak kesima.

Tiba tiba Gan Leng-poh loncat menerjang Bwe Hong swat seraya berteriak, “Ke mbalikan peta Telaga darah itu!”

Bwe Hong-swat menghindar kesa mping, “Saat ini engkau sudah berada di Telaga darah, perlu apa engkau menghendaki peta itu lagi!”

Rupanya setelah “dibakar” oleh tenaga ajaib dalam ruangan itu, kesadaran pikiran sitabib pulih ke mbali. Ia ma mandang kesekeliling. serta melihat ketiga buah patung ima m berjenggot panjang, serta merta ia berlutut me mberi hor mat.

Melibat, gerak tabib itu sudah menyerupai Orang waras, heranlah  Bwe  Hong-swat  dibuatnya.   Pikirannya,   “Dunia me mang penuh dengan benda-benda ajaib. Tenaga gaib dalam ruang ini ma lah dapat menyembuhkan penyakitnya gila….”

“Gan locianpwe, siapakah ketiga patung berpakaian paderi itu?” tanya Kat Hong.

setelah me mberi hor mat, tabib itu ber diri. Ia menjawab dengan nada serius, “itulab Patung guruku Lo Hian.”

“Sela mat, lo cianpwe,” Kat Hong tertawa nyaring, “apakah penyakitmu sudah se mbuh?”

Gan Leng poh me mberi hor mat kepada pemuda itu, “Budi pertolongan saudara, takkan kulupa sela ma- la manya….”

Dia m-dia m Kat Hong me mbatin, “Jika tak ada botol obat milikmu yang jatuh dilantai itu, mungkin akupun tentu sudah mati hangus. Entah siapa yang menolong kau meno long aku’ atau aku menolongmu….”

Kemudian la menyatakan, “Ah. tak perlu lo cianpwe berterima kasih kepadaku”

“Sela ma hidup,  aku selalu menguta makan budi dan dendam. Budi yang engkau lepaskan kepadaku itu, tentu akan kubalas….” kata sitabib la lu beralih me mandang Bwe Hong swat, serunya pula, “Karena dalam ruang ini terdapat patung almarhum suhuku Lo Hian maka apa yang terma ksud dalam peta itu ternyata me mang benar.”

“Me mang!” sahut Bwe Hong swat singkat.

“Ke mbalikan petaku itu dan kuhapus segala perbuatanmu yang lalu!” teriak Gan Leng poh. “Engkau toh sudah didalam Telaga darah mengapa masih me mer lukan peta itu?” kata Bwo Hong-s wat pula.

“Hendak kuteliti tanda tanda dalam peta itu untuk mencari tempat peninggalan mendiang suhu!”

Bwe Hong-swat menggelengkan kepala, “Adalah gara gara peta itu sehingga engkau menjadi gila. saat ini baru saja engkau se mbuh, mengapa engkau mer ibutkan peta itu lagi? Ah….”

Gan Leng-poh tertawa nyaring, “Jika dapat menemukan peninggalan suhu, dalam sepuluh tahun saja, selain merebut ke mbali na ma ku yang jatuh itu, aku tentu akan menjagoi dunia persilatan.”

Bwe Hong swat mendengus dingin, “Baik, tak perlu engkau me minta peta itu. Akan kubawamu ketempat penyimpanan Lo Hian.”

“Bagus, bagus!” teriak Gan Leng poh.

“Jangan bergirang dulu,” kata Bwe Hong-swat “tempat itu sudah dikepung oleh jago jago sakti. Dikuatirkan sebelum mendapatkan benda-benda warisan Lo Hian, engkau sudah kehilangan jiwa mu!”

sejenak Gan Leng poh tertegun lalu minta nona itu mengantarkan kesana.

“Hm, jika engkau me mang cari mati, apa boleh buat.” kata Bwe Hong-s wat seraya me mbuka pintu dan me langkah keluar.

Dilihatnya Ciok sam kong, Cau Yan hui dan Tok Cin tengah duduk bersila ditengah lorong. Rupanya mereka sedang bersemedhi untuk mengohati lukanya.

Ciok sam konglah yang lebih dulu mengetahui ke munculan Bwe Hong swat. Ia bangun dan me mberi hor mat, “Seperti yang kuduga, benar juga nona tak kurang suatu apa!” “Aku tak senang karena hidup!” dengus Bwe Hong swat seraya lanjutkan langkah.

Ketiga tokoh itu segera mengikuti dibela,kang Bwe Hong swat. Ternyata dara itu menuju keruang te mpat penyimpanan benda benda peninggalan Lo Hian.

Tampak Ceng Hun totiang tegak berdiri berhadapan dengan si nona baja merah. Pedangnya melurus ke  muka dada.

Tubuh kedua orang itu sama berlumuran darah Rupanya pertempuran yang mereka lakukan hebat sekali sehingga keduanya mender ita luka.

sedang si dara Hian song duduk disudut ruangan dan tengah me lekatkan tangan kanannya kepunggung Siu- la m. Muka dara itu bersimbah peluh  seperti Orang  yang tengah me mikul beban berat.

Melihat pe mandangan itu, Bwe Hong-swat  kerutkan dahi. Ia menunjuk kearah tumpukan kitab diatas meja dan berseru kepada sitabib Gan Leng- poh, “Benda benda itu peninggalan Lo Hian berada dimeja itu, ambillah sendiri!”

sejenak tabib itu me lir ik Ciok sa m- kong  dan kawan kawannya lalu masuk kedalam ruangan terus mengha mpiri meja.

“Berhenti!” tiba tiba si nona baju merah me mbentak seraya menusukkan pedang.

Gan Leng poh loncat menghindar kebelakang Bwe Hong swat tertawa mengikik lalu berpaling kepada Ciok sam kong dan kawan-kawannya, “Siapa diantara kalian yang hendak menga mbil barang peninggalan Lo Hian, silahkan  a mbil sendiri….”

Ia tertawa dingin lain, “Ceng Hun totiang dan ji suci sudah sama sa ma mender ita luka parah. Mereka tentu tak ma mpu lagi hendak me lindungi kitab itu. Gan Leng poh baru se mbuh dari penyakitnya gila, sukar bertempur la ma….”

ia me mandang Tek Cin, serunya, “Kalian bertiga sekalipun berilmu tinggi tetapi sayang baru se mbuh juga. Jika harus bertempur keras, luka kalian dikuatirkan akan ka mbuh lagi. sedang nona baju hitam itu (Hian song) sedang berusaha untuk me mbuka jalan darah seng si hian kwan dari subengnya (Siu-la m). sudah tentu akan mati karena kehabisan tenaga. Dia benar benar tak tahu diri. Dalam detik detik berbahaya seperti saat ini, mengha mburkan tenaga dala mnya untuk hal yang sebenarnya kurang perlu dilakukan pada saat segenting ini. Dan celakanya, suhengnya bakal ikut mati juga….”

Mata Bwe Hong swat kini beralih kepada Kat Hong, “Menilik gelagat saat ini, hanya engkaulah yang mempunyai kesempatan besar untuk me mpero leh barang barang peninggalan Lo Hian.”

Kat Hong gelengkan kepala, “Segala benda di dunia aku tak ingin. Aku hanya ingin selalu berada disa mping….”

Tergetar keras hati Bwe Hong swat, seru nya, “Perlu apa engkau ikut aku?”

“Mengabdikan diri dalam pengha mbaan….”

Bwe Hong swat tertegun, dampratnya, “Engkau benar manus ia yang tak berguna!” ia terus me langkah ke muka.

Kat Hong tertawa dan mengikut i langkah si je lita.

Ciok   sam   kong  batuk  batuk, serunya  “Saudara Tek, bagaimana tindakan kita sekarang?”

Belum Tek Cin menyahut, tiba-tiba Siu-la m, berseru, “Nona Bwe….!”

Bwe Hong swat seperti mendengar halilintar berbunyi diperut gunung. Ge metarlah tubuhnya mendengar nada suara perlahan lahan ia berputar tubuh, serunya, “Engkau  masih ingat kepadaku?”

Hian song me mbesut peluh didahinya dan me minta agar siu-la m jangan bicara dulu.

sesungguhnya ketika mendengar panggilan siu- la m, Bwe Hong swat sudah kemba li hendak masuk kedalam ruangan. Tetapi ketika mendengar kata kata  Hian-song,  ia  berhenti dia mbang piatu. sedangkan saat itu Gan Leng poh tegak berdiri mencoba menyalurkan tenaga dala m. Ketika merasa tenaga dalam mas ih ada, barulah ia loncat menyelelinap dari samping si nona lalu menuju meja tulis.

Ceng Hun totiang tiba-tiba menyabetnya dengan pedang. Tetapi kali ini sitabib tak mau menghindar. Ia menangkis dengan tongkatnya.

Walaupun menderita luka, tetapi tenaga Ceng Hun mas ih belum habis. Benturan itu menyebabkao terjangan si tabib tertahan.

Ciok sam kong me mandang tumpukan kitab pusaka diatas meja lalu me mandang kepada Bwe Hong swat. Diam-dia m timbul pikiran la ma dalam hati jago tua itu, “Rupanya orang- orang yang berada dalam ruangan ini, sudah sama payah keadaannya. Jika kuajak Tek Cin menyerang Bwe Hong swat yang pergi bersama Kat Hong itu tentu mudah berhasil. Dengan begitu kitab peninggalan Lo Hian itu tentu akan jatuh kepada ka mi berdua. Lalu dengan ajaran Bwe  Hong-swat tentu dapat kusembuhkan lukaku. setelah keluar dari neraka, didunia persilatan siapakah yang ma mpu menandingi kesaktianku….”

Karena hatinya girang, tanpa disadari mulut jago tua itu menyungging senyum sinis.

Dalam pada itu, setelah berhenti sejenak Gan  Leng  poh  ke mbali menyerang Ceng Hun lagi Adu tongkat dengan pedang itu telah berlangsung tiga empat jurus…. Karena bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab-kitab itu, Gan Leng- poh tak menghiraukan keadaannya yang baru sembuh. Dia lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga.

Karena bertempur sekian lama, luka Ceng Hun  mulai merekah lagi dan darahpun mengucur lagi.  Tetapi ima m itupun tak peduli segala apa. la  mainkan  pedangnya  untuk me layani lawan. Dengan deras pedang dima inkan dan berhasil mendesak mundur Gan Leng-poh. Mencuri kese mpatan menarik pedang, Ceng Hun berseru nyaring kepada kawan- kawannya, “Cau taysu. Ciok dan Tek locianpwe, aku telah mender ita sembilan buah tusukan pedang. Tenagaku sudah hampir habis. Mungkin dalam sepuluh jurus lagi,aku tentu kalah….”

Tring, tring, ke mbali ia gerakkan pedang  menangkis pukulan tongkat si tabib yang maju lagi.  Ke mudian .ia lontarkan dua buah serangan dan berhasil mengundurkan Gan Leng-poh. Lalu ia berseru lagi, “Kitab peninggalan Lo Hian itu, ia penting sekali artinya bagi hidup matinya golongan  Putih dan Hitam didunia persilatan. Jika sampai jatuh kepada Orang jahat, berbahaya sekali akibatnya.” sinona baju merah itu berseru dengan angkuh, “kedua duanya menderita luka. Kalian bertiga jika turun tangan tentu tak sukar untuk mendapatkan kitab pusaka itu….”

Ceng Hun tak dapat melanjutkan kata katanya karena si tabib ke mbali me nyerang dahsyat.

Melihat keadaan itu, Bwe Hong swat terlongong. Diam diam ia menghela napas, pikirnya, “Orang orang itu temaha sekali hendak menguasai kitab-kitab peninggalan Lo Hian. Mereka sangat bernafsu untuk menjadi tokoh terkuat di dunia persilatan. Biarlah mereka saling bunuh me mbunuh  sendiri dan mati disini. Pui siu- lam setitikpun tak me mpunyai perasaan kasih kepada ku dan tetap tak mengakui aku ini Orang keluarga Pui. Perlu apa aku kesal hati mengur ut mereka.” Baru ia hendak melangkah perti tiba-tiba Siu-la m me mbuka mata dan berseru lagi,  “Nona Bwe, aku hendak minta pertolongan sebuah hal, maukah engkau?”

Bwe Hong swat mendengus dalam hati, “Hm, benar- benar seorang suami yang tak berguna. Masakan terhadap isterinya meratap ratap minta tolong….”

“Hal apa?” sahutnya dengan ramah. Akhirnya ia kasihan juga kepada siu- lam itu tetap bersemi dan tumbuh subur.

Tiba tiba Hian song melengking menda mpratnya, “Apakah engkau tak dapat bicara yang baik. Mengapa nada suara mu engkau buat-buat sedemikian merayu? H m, tulung budak!”

Dahi Bwe Hong swat mengerut  me mancar kan napsu pembunuhan. Ketika ia hendak balas menda mprat, tiba-tiba Siu-la m menghela napas dan berkata lagi, “Nona Bwe, bakarlah kitab peninggalan Lo Hian itu!”

Bwe Hong-swat tertegun sejenak lalu mengia kan, “ Baiklah!” Ia terus me ngha mpir i ke meja.

Ciok sam-ko ng, Tek Cin dan Cau Yan hui tergetar hatinya. Mereka segera memburu. Dan si nona baju merah yang  tengah pejamkan mata dan berteriak, “Sam sumoay, apakah engkau benar benar hendak menurut perintahnya me mbakar kitab kitab Lo Hian itu?”

“Ya!” sahut Bwe Hong-swat dengan mantap.

Tiba tiba sinona baju merah itu mengge liat dan menusukan pedangnya kepada Bwe Hong swat. Bwe Hong swat tertawa dingin.  Mengisar  kesa mping secepat  kilat  ia  maju   dan mena mpar tangan si nona baju merah. Tring, pedang jatuh ketanah.  Tanpa  berpaling   lagi,  Bwe   HOng   swat   terus me langkah ke meja, menyulut korek dan mulai me mbakar sebuah kitab bersa mpul merah….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar