Wanita iblis Jilid 38

Jilid 38

SAMBIL me mandang kesekeliling, berkatalah Cau Yan hui, “Ruang goa ini terang benderang, entah dari mana kita mulai menyelidiki?”

“Ho, karena mayat Lo Hian berada disini, masakan dia menyimpan pusakanya dilain te mpat?” Ciok sa m-kong tertawa me loroh.

“Tetapi Lo Hian ito luar biasa cerdiknya. Masakan begitu gampang saja dia menyimpan  pusakanya di se mbarang tempat. Jika kakek berambut putih benar-benar mayatnya, tentu goa ini lebih dibuatnya pelik sekali. Kemungkinan di dalam goa ini tentu terdapat sebuah jalan tembusan lagi!”

“Ya, ya, kemanakah lenyapnya budak lelaki dan dan binatang aneh itu!” teriak Tek C in.

Ciok sam kong me lihat pada sudut ruangan terdapat sebuah cekung yang menyasar kedala m. Dia tak se mpat menjawab pertanyaan Tek Cin terus lari me ngha mpir i.

Tek Cin dan Cau Yan Huipun mengha mpiri. Ketika Ciok sam Kong ulurkan tangan merogoh kedalam cekung itu, tiba tiba ia menyentuh sebuah rantai gelang. Pada saat dia hendak menariknya tiba tiba terdengar suara lengking seorang wanita yang bernada dingin, “Lepaskan tanganmu!”

suara itu dari ujung ruangan datangnya. secepat kilat  ketiga tokoh itupun berputar tubuh.

seorang  dara  baju  putin   yang   cantik   jelita   tengah me langkah dengan perlahan-lahan….

Ruangan goa masih tetap seperti sedia kala. Tidak ta mpak pintu terbuka atau dinding yang bengkah. Kemunculan dara baju putih secara mendadak itu benar benar menaburkan keseraman!. “Engkau setan atau manusia?” mereka bertiga sere mpak menegur.

Dara baju putih itu menyahut tawar, “Yang salah adalah mata kalian sehingga tidak dapat melihat diriku dan terpukau seperti me lihat setan muncul!”

setelah menenangkan diri. Ciok sa m-kong berseru, “Kami tak kenal te mpat ini dan kau berada ditempat yang gelap. Bukan soal yang me ma lukan jika kami tak dapat melihat kau!”

Kira kira tiga empat langkah dari ketiga orang itu, si dara baju putih berhenti. “Jika kalian ingin hidup, buanglah senjata kalian!”

Tek Cin tertawa gelak. “Sungguh  congkak sekali kau!

Apakah kau mur id Lo Hian “

Dara baju putih itu tertawa dingin. “Tidak perlu kau tanyakan soal itu. Jika tak mau me mbuang senjata dan menyerah, jangan sesalkan aku berlaku keja m!”

“Masih kecil tetapi sudah besar mulut!” Bentak Ciok sam kong. “Tahukah kau siapa ini bertiga ini?”

“Hm, hanya dua orang tua bangka dan seorang rahib. Aku kan tidak buat masakan tak dapat melihat dandanan kalian!”

Marah Ciok sam kong bukan alang kepalang. “Tak perduli kau muridnya Lo Hian atau bukan, tapi aku harus me mberimu hajaran dulu!” ia menutup  kata-katanya dengan sebuah hantaman.

“Bagus. Mau ngajak berkelahi?” tiba tiba dara baju putin itu me lesat ke sa mping. “Aku muak bertanding denganmu….”

Tek Cin yang sudah bersiap, segera lepaskan hantaman. Tetapi kali ini si dara tak mau menghindar. Ia mengangkat tangan, Tek Cin menangkis. Ketika beradu tangan, Tek Cin menyurut mundur selangkah. Ia rasakan jantungnya berdetak keras sekali. Ternyata dara yang tampaknya lemah me miliki Iweekang yang tinggi sekali. Tek C in tercengang cengang me mandang dari itu.

Alisnya yang melengkung seperti bulan sabit, menaungi sepasang biji mata yang berkelip kelip seperti bintang kejora. WAjahnya yang bulat telur dihias  rambutnya yang ikal mayang.

Ah, dara itu benar benar seperti seorang bidadari yang sedang bercengkrama. sayang sikapnya dingin sehingga kecantikan itu seolah olah terbungkus oleh kerawanan.

Melihat kesaktian dara itu, timbullah pikiran Cau Yan hui. sekalipun belum diketahui bagaimana sikap dara itu kepadanya, namun kelas dara itu me mberi kesan  baik. Dengan adanya dara itu, tentulah kana mengurangi tekanan Ciok sam kong dan Tek Cin.

Dengan berbekal pertimbangan itu segera ia menegur ramah, “Siapa na ma nona?”

sejenak dara baju putih itu me mandang Cau Yan hui, sahutnya dingin “Siapa na maku, apa sangkut pautnya dengan kau?”

Cau Yan hui kerutkan alis, ia masih  manahan kesabarannya. “Aku tak berma ksud buruk, harap nona jangan curiga….”

Tiba tiba dara itu merogoh keluar seutas tali, katanya, “Jika kalian mas ih ingin hidup. lekas le mparkan senjata. Ikatlah tangan kalian dengan tali ini nanti kubawa ketempat ya aman….”

“Jika ka mi tak mau?” Ciok sa m- kong tertawa dingin.

“Budak pere mpuan agaknya me mpunyai ilmu setan. Kalau tidak bagaimana dia dapat muncul dite mpat yang begini terpencil. jangan lepaskan dia!” bisik Tek Cin. Ciok sam kong me ngangguk.

“Kalau begitu kalian akan menunggu ke matian!” dara itu terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.

“Tunggu!” serentak Ciok sam kong ini me mbentak seraya loncat mengejar.

Punggung dara itu seperti tumbuh mata. pada  saat Ciok sam kong mengejar, diapun loncat juga. Dan ketika  dekat pada dinding katai tiba tiba ia me mbiluk dan  menyusup kebalik sebuah batu karang yang menonjo l.

Dengan cepat Ciok sam kong me mburu dan mencengkeramnya.

“Hm,” dara itu mendengus dan mendadak mena mpar kebelakang.

Plak, terdengar benturan keras dan Ciok sam- kong tersurut mundur selangkah. Dan sere mpak dengan itu terdengar bunyi berderak-derak.

Ternyata dibelakang batu menonjo l itu terdapat sebuah pintu rahasia. Dan secepat kilat dara baju putih itu menyelinap kedalam pintu rahasia itu. Pada saat Cau Yan hui dan Tek Cin me mbur u tiba, pintupun sudah tertutup.

“Budak pere mpuan itu hebat sekali kepandaiannya,” kata Ciok sam kong. Ia menghampir i pintu dan mendorongnya. Tetapi sedikitpun tak bege ming.

Cau Yan-hui kerutkan dan bersungut, “Aneh, mengapa dia mengatakan kita akan menunggu ke matian?”

“Aku tak percaya,” kata Tek Cin. Tiba-tiba dari ujung batu karang yang lain, terdengar bunyi berderak- derak.

Ketiga Orang itu berpaling me mandang. Ternyata ujung karang  itu  perlahan  lahan  mere kah.   Dua   cercah   sinar me mancar keluar dari celah rekahan itu. “Hai, ular raksasa itu lagi!” Tiba tiba Cau Yan hui berteriak kaget.

Ciok sam kong serentak hantamkan senjata ke sebuah batu menonjo l dah berhasil mengepalkan dua keping batu. Tek Cin menga mbil gumpalan batu itu. Yang sebuah diberikan kepada Ciok sam Kong. Dengan batu ditangan kanan dan sepasang gelang ditangan kiri, Tek Cin bersiap siap.

Dua putik sinar itu perlahan lahan merayap keluar…. “Jangan kuatir, bukan ular raksasa!” kata Ciok sam kong

dengan menghela napas longgar.

Tek Cin timpukkan batu itu. Bum…. benda bersinar itut tiba tiba lenyap.

“Kena!” Ciok sam kong tertawa nyaring.

“Hm, hanya mengandalkan kepandaian yang tak berarti begitu, berani me mbuka mulut besar….”

Belum selesai Ciok sa m-kong berkata, tiba tiba dari celah batu yang merekah tadi, melesat keluar sesosok bayangan hitam. Ciok sa m- kong cepat timpukkan batunya.

Tetapi bayangan hitam itu luar biasa lincahnya. Dengan tangkas ia loncat keatas dan berjumpalitan sa mpai dua kali. Timpukan Ciok sam kong tak kena.

“Apakah itu?” seru Cau Yan Hui.

Begitu turun kebumi, benda hitam itu  perlahan-lahan menge mbangkan tubuhnya. Astaga…. seekor binatang kelabang yang luar biasa besarnya. Biji matanya sebesar buah tho,  memancarkan  sinar  kebiru-bir uan.   Dan   setelah menge mbang, badannya ha mpir se meter besarnya. Bagian punggung merah bergurat garis garis putih.

Tek Cin ternganga, “Benar-benar kelabang raksasa!” Binatang me mandang ketiga orang dengan taja m. Belahan lahan ia mengangkat badannya keatas seperti dalam sikap hendak menyerbu.

“Selain luar biasa besarnya, binatang itu merupakan kelabang bersayap emas yang jarang terdapat didunia. Gurat gurat putih yang me mbungkus punggungnya tu adalah sayap. Awas, kalau dia menyerang. Baik kita berpencar dalam bentuk segitiga agar dapat saling tolong menolong” kata Ciok sam kong.

Tek Cin dah Cau Yan hui segera berpencaran. Tepat pada saat mereka berhenti, kelabang raksasa itu kembali me layang, menyerbu Ciok sam kong dengan kecepatan yang tinggi.

Cau Yan Hui maju menabaskan pedangnya.

Tek Cin layangkan sepasang gelang. Gelang me layang menghanta m kebagian ekor binatang itu. sementara Ciok sam kong pun melo ncat menghindar kesa mping.

Menderita kehilangan kaki, kelabang itu menyurut mundur menjadi sebuah lingkaran bundar lalu melesat ke  udara dan me layang dua to mbak jauhnya.

Timbul harapan Cau Yan hui mengetahui kele mahan binatang itu, serunya, “Rasanya tak sukar untuk me lenyapkan binatang itu!”

“Jika Cau ciangbun dapat me mapas beberapa buah kakinya lagi, karena kehabisan darah, lama la ma binatang itu tentu mati,” kata Ciok sam- kong.

Tek Cin mengatakan bahwa bagian le mah dari binatang itu mungkin me mang pada kakinya. sedang bagian punggung ternyata keras sekali. Tak kena suatu apa terhantam sepasang gelangnya.

Dengan peristiwa itu, ketiga tokoh itupun tenang ke mbali. Tiba-tiba terdengar lengking suara beneda dingin, “Kelabang bersayap emas, adalah penunggu simpanan Obat dari Telaga darah. Diantara lima jenis binatang beracun, dialah yang paling ganas sendiri dengan racunnya. Kalian melukainya masih berani buka suara besar. Hmn, benar benar tak tahu mati!”

“Eh budak pere mpuan itu belum pergoi….” baru Ciok sam kong berkata begitu, tiba tiba Tek Cin berteriak keras, “Awas, saudara Ciok!”

Ketika jago tua dari swat san pay itu berpaling, didapatinya kelabang raksasa itu tengah lebarkan sayapnya dan terbang me layang kearah jago tua itu se mbari gerak gerakan sepasang suputnya yang tajam.

Kali ini gerakan binatang itu luar biasa cepatnya sehingga Cau Yan hui tak sempat menyongsongnya lagi. Ciok sam kong pun terkejut. Cepat-cepat ia loncat seto mbak jauhnya.

Tetapi ternyata binatang itu dapat berputar tubuh ketika masih me layang diudara. Ia tetap melayang kearah Ciok sam kong.  Jago  tua  itu  berloncatan  dan  berputar-putar   kian  ke mari, tetapi binatang itu luar biasa lincahnya. Kemanapun Ciok sam kong me nghindar, tetap selalu dibayanginya.

Dalam beberapa kejap, entah Ciok sam kong sudah berapa belas kali berputar putar disekeliling gua itu. Celakanya binatang itu me mbaur kan hawa busuk yang anyir. Dan bau Anyir itu makin la ma ma kin menebal me menuhi ruangan, sehingga me mbuat orang hendak muntah muntah.

sambil menutup pernapasan, Tek Cin berbisak pada Cau Yan hui, “Rupanya binatang itu mengincar Ciok sam kong saja. Jika kejar me ngejar itu berlangsung terus, lama kela maan Ciok sam kong tentu kena tersambar. Kita harus lekas berdaya meno longnya!”

“Tetapi dia lincah dan gesit sekali. Bagaimana cara kita hendak me mbunuhnya?” tanya Cau Yan hui. “Terpaksa kini harus berani menempuh  bahaya. Kita berpencar mencar i te mpat yang sesuai. Ke mudian kita meneria ki Ciok sam kong, suruh dia sengaja lari kesamping tempat kita berse mbunyi. Begitu binatang itu lewat, kita segera menyerangnya.”

sesungguhnya saat itu mereka berdua sudah hampir tak kuat menahan bau yang sedemikian anyir itu. Kepala mereka mulai pening dan tenaganyapun mulai lunglai. sekalipun belum rubuh tetapi kesadaran mereka sudah mulai kacau.

Cau Yan hui setuju lalu mencari te mpat bersembunyi, sebentara Tek Cin setelah mene mpatkan diri disebuah te mpat yang sesuai segera berseru meneriaki Ciok sa m- kong, “Saudara Ciok, kelabang itu gesit dan selalu me mbayang dibelakang saudara saja. Harap saudara lari kemari dan pancinglah dia disini….”

saat itu Ciok sam kong sudah bersimbah peluh. Binatang itu tetap tak mau melepaskannya sehingga jago tua itu tak  sempat berputar tubuh mengirim serangan. Begitu mendengar teriakan Tek Cin, Ciok sam kong me laksanakannya.

Cau Yan-hui me nunggu dengan penuh perhatian. Begitu binatang itu lewat, dengan kecepatan luar biasa, jago wanita itu loncat menahannya. Hantaman pedang ketua Tiam jong- pay tepat mengenai badan kelabang. Kelabang terpelanting jatuh. Tetapi Cau Yan-hui tersambar oleh serangkum hawa yang luar biasa anyir nya. Kepalanya pusing kaki lentuk dan rubuhlah dia.

Ciok sam kong berhenti berlari. Berpaling me mandang binatang itu, ia menghela napas. “Ah, benar-benar binatang yang lihay….” bluk, jago tua dari swat-san pay  itupun menyusul rubuh.

Pada waktu lari dikejar binatang itu, dia menutup pernapasannya. Tetapi setelah binatang itu rubuh, dia berpaling menga matinya dan lupa antuk menahan pernapasannya. seketika racun dari bau anyir itu manerjang kedalam tubuhnya sehingga diapun rubuh juga.

Kini yang berada di tempat itu tinggal Tek Cin seorang. Walaupun dia masih dapat bertahan tetapi pikirannya sudah tak terang lagi.

Terhadap pedang Cau Yan hui, rupanya binatang itu mender ita luka yang parah sekali. Dia mene lungkup ditanah tak bisa berkutik.

Walaupun keadaannya sudah kacau namun Tek Cin masih ingat akan suasana yang berbahaya ditempat itu. Dengan terhuyung huyung ia me ngha mpir i Cau Yan hui. setelah menunduk dan menga mati beberapa jenak, tiba tiba ia berteriak sakuat kuatnya. “Nona, nona, kami  rela menyerah….”

Berkata sampat di gini ia sudah rubuh.

Entah berapa lama hal itu berlangsung, hanya ketika Tek Cin me mbuka mata, ia dapatkan kedua tangannya terikat oleh tali dan duduk disebuah ruang batu. Disa mpingnya terdapat Cau Yan hui, Ciok sam kong dan Kat Hong. Mereka bere mpat diikat menjadi satu.

Ciok sa m- kong dan Cau Yan hui mas ih belum sadar tetapi Kat Hong tampak sudah sadar beberapa waktu lamanya. Tek Cin itu me ma ndang pe muda itu dan bertanya.

“Saudara, apakah kau juga ditangkap oleh nona baju putih itu?” tanya Tek Cin.

Kat Hong berpaling menatapnya. “Benar, budak perempuan itu me mang hebat sekali kepandaiannya!”

“Bukankah kaupun terkena racun kelabang raksasa itu sehingga kehilangan tenaga dan bisa ditangkapnya?”

“Tidak,” diluar dugaan Kat Hong menjawab. “Aku bertempur dengan gadis baju putih itu dan kalah.” Tiba-tiba Tek Cin teringat akan binatang yang berkepala macan dan bertubuh ular itu. Cepat cepat ia menanyakannya kepada Kat Hong.

“Aku  terpikat  mendengar  suara  yang   aneh,   lalu mengha mpiri. Tiada sengaja aku telah membentur perkakas rahasia dan terjerumus ke dalam ruang bawah tanah lalu berjumpa dengan gadis itu. Ka mi bertengkar lalu berte mpur. Aku kalah dan ditangkapnya ke mari. Ke mana perginya binatang aneh itu, akupun tak tahu….”

Ia berhenti sejenak, katanya pula, “Tahukah kau, siapa gadis itu?”

Tek Cin menggeleng.

“Dia adalah salah satu dari ketiga mur id Beng gak!”

Tek Cin terkesiap, “Jika benar begitu, bukankah kita ini termasuk dalam perangkap?”

“Siapa bilang tidak!” sahut Kat Hong.

Dalam gugup Tek Cin meronta untuk menyadarkan Ciok sam-ko ng dan Cau Yan-hui, tetapi racun yang menyerang mereka rupanya keras sekali. Walaupun sudah minum obat tetapi mereka tak lekas sadarkan diri.

“Ketika kami dibawa ke mari, apakah engkau sudah berada disini?” akhirnya ia bertanya pula kepada Kat Hong.

“Ya!”

“Mengapa mereka tak dapat bangun?”

“Jangan tergesa gesa. Kulihat sendiri gadis, itu telah menyusupkan pil ke mulut kalian. Jika, engkau dapat sadar, merekapun tentu bisa juga. Mungkin hanya soal waktu saja!”

Tek Cin tak bicara lagi. Diam diam ia kerahkan Iwekang untuk mengetahui bagaima na perke mbangan racun ditubuhnya. Tiba-tiba terdengar derap dangkah orang mendatangi dan pada lain saat muncullah si dara berbaju putih me mbawa sebutir mutiara sebesar buah lengkeng. sinar mut iara  itu cukup me nerangi ruangan disitu.

“Engkau sudah la ma bangun!” tegur dara itu kepada Tek Cin.

Tek Cin batuk-batuk kecil, sahutnya:” Baru beberapa saat saja….”

sambil keliarkan biji matanya, dara itu bertanya pula, “Kini hanya dua jalan, mati atau hidup.  Terserah engkau  hendak me milih….”

“Bagaimana caranya?” tanya Tek Cin.

“Sederhana sekali. Jika ingin hidup, harus dengar perintahku dan rela me mbantu aku. dengan kuatir, tak nanti aku me mperlakukan se mena- mena kepada kalian. Kuobati racun racun kelabang raksasa itu. akan kuberimu tiga maca m ilmu kesaktian tetapi bukan olah olah hebatnya.”

Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Kali me milih jalan mati, mudah sekali. Tak kubunuh  sendiri  mela inkan kuantarkan kalian ke dalam roang batu yang besar itu. Biarlah kalian rasakan binatang penjaga simpanan obat itu!”

Tek Cin kerutkan alis. serunya, “Siapakah diriku ini, engkau tahu? Masakan aku sudi menjadi budakmu!”

sahut dara itu, “Seorang gagah bukannya mengandalkan kejantanannya. saat ini di saat itu, lain keadaannya. Akupun takkan me ma ksa mu. Mati atau hidup terserah pada pilihanmu!”

Diam diam Tek Cin me mbatin bahwa sesuai dengan sikapnya yang dingin, apa yang katakan tentu akan dilakukannya. Jika berkeras kepala terhadapnya, kemungkinan nona itu tentu sungguh-sungguh akan mengirimnya kesarang kelabang raksasa itu. sebagai seorang persilatan yang kawak. Tek Cin banyak pengalaman dalam menghadapi setiap  keadaan.  segera  ia me mpero leh cara untuk menghindari bahaya, sahutnya, “Aku seorang diri! sukar untuk me mutuskan. sebaiknya tunggu sampai mereka sadar, nanti ka mi rundingkan bersama!”

“Baik,” sahut dara itu, “toh kalian t idak me mpunyai pilihan yang ketiga lagi. Jika tak mau mendengar perintahku tentu akan menghadapi jalan ke matian!”

Kemudian pelaban-lahan ia berputar tubuh menatap Kat Hong, “Apakah engkau sudah me mpertimbangkan masak masak?”

Kat Hong gelengkan kepala, “Belum, mati hidup soal yang penting, bagaimana aku dapat cepat- cepat memutuskan. Aku perlu cukup waktu untuk berfikir!”

“Engkau hendak me mikir sa mpai berapa lama lagi?” tanya dara itu.

“Entah, akupun tak tahu. Begitu sudah mendapat keputusan, tentu kuberitahukan kepadamu!”

Kata dara itu dengan nada dingin, “Engkau tahu atau tidak? Jiwamu sekarang berada di tanganku. Jika menghendaki, dapat kuhancurkan tulang-belulangnya menjadi  berkeping keping!”

Kat Hong mendengus penasaran, “Engkau  menyelonong menutuk jalan darahku sehingga aku kehilangan daya perlawanan.   Memang    mudah    sekali    engkau    hendak me mbunuh aku, tetapi perbuatanmu itu bukan perbuatan yang gemilang!”

“Hm, bicara sampai setengah hari, kiranya engkau masih penasaran,” dengus sang dara.

“Sudah tentu tak terima,” sahut Kat Hong. Dara baju putih itu merenung sejenak Ia lalu berkata pula, “Jika kubuka ja lan darahmu dan tali pengikatmu itu ke mudian kuberimu waktu untuk me mulihkan tenaga mu dan lantas bertempur lagi. Apakah engkau masih penasaran jika tetap kukalahkan?”

“Sudah tentu aku puas mener ima kekalahan itu.”

“Tetapi hanya menerima saja, belumlah  cukup.  Engkau baru meluluskan untuk mendengar perintahku dan menjadi budakku sela ma-la manya…. hm, sebenarnya aku me mpunyai obat. Jika kupaksa kalian me ma kan obat itu, kalian tentu akan me mbabi buta menur ut perintahku dan seumur hidup kalian takkan berani mengkhianati perintahku. Tetapi aku tak mau bertindak semaca m itu….” sa mbil berkata ia me mbuka tali pengikat pe muda itu dan menepuk jalan darah yang tertutuk.

Kat Hong loncat keatas dan gerak-gerakkan kedua tangannya agar darah mengalir keseluruh tubuh. setelah itu ia pejamkan mata menjalankan pernapasan.

Pertandingan nanti bukan melainkan hanya soal  gengsi, pun juga me nyangkut soal nasibnya, Ia menumpahkan seluruh semangatnya untuk mengada kan persiapan yang penuh.

Kebalikannya dara baju putih tampak acuh me mandang kesekeliling te mpat itu.

Pada saat itu Ciok sam-ko ng dan Cau Yan hui pun sudah bangun. Mereka me mandang lekat lekat pada kedua orang itu.

Kira kira sepeminum teh la manya, dara itu tak sabar menunggu lagi. Ia menegur Kat Hong, “Apakah kau belum selesai beristirahat?”

Kat Hong me mbuka mata, menyahut, “Ah, kini aku teringat.

Kau adalah murid dari siluman wanita dari Beng-gak….”

“Perlu apa kau ribut-r ibut tak karuan?” tukas dara itu. “Kalau aku muridnya lalu bagai mana?” “Dima na siluman wanita itu, lekas suruh dia keluar….” “Jika dia berada disini, masakan kau masih berjiwa. Hm….” “Hah? Engkau sudah berontak?” Kat Hong berseru kaget.

“Aku me mang anak mur idnya tetapi aku me mpunyai dendam per musuhan pe mbunuhan atas orang tuaku. soal itu bukan pemberontak atau berkhianat,” Tiba tiba itu kerutkan alis dan menyambung kata katanya, “Mengapa engkau mengurus i soal itu? Jika aku tak me mbutuhkan pembantu, aku tak sudi me ma kai laki-la ki tak berguna se maca m engkau!”

“Baiklah, hayo engkau mulai menyerang!”

Tiba-tida dara baju putih itu tertawa, “Hati-hatilah!” ia maju mengha mpiri dan me mukul ke dada.

selama ini tak pernah dara itu menyungging senyum apalagi tertawa secerah itu. Wajahnya yang cantik jelita ma kin berseri laksana kuntum bunga me kar dihari pagi.

Kat Hong terpesona melihat kecantikan dara itu sehingga ia terlongong longong lupa kalau sedang berkelahi. Bahkan ketika tangan si dara sudah ha mpir mengenai dadanya, ia masih tak megnhindar.

Tiba-tiba nona itu menarik tangannya dan membentaknya, “Apakah kau anggap aku tak berani me mbunuhmu?”

Merahlah wajah pe muda itu, cepat ia ayunkan tangannya menghanta m. saat itu wajah si dara tampak dingin pula. Pada saat tinju Kat Hong ha mpir mengenai barulah ia menyurut mundur ke samping. Dengan gerak yang indah gemulai  ia dapat menghindar i tinju Kat Hong. Ke mudian secepat kilat ia menya mbar pergelangan tangan pe muda itu.

Cara menghindar dan menyerang yang laksana kilat cepatnya itu, hampir me mbuat  Kat Hong tertangkap.  Untung ia masih dapat menyurut mundur dua langkah kebelakang. Tetapi si dara terus mengejarnya dengan serangan tutukan jari, tamparan dan pukulan. Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan delapan buah serangan berturut turut.

Tetapi kepandaian Kat Hong pun bukan biasa. Ia memiliki beraneka pukulan istimewa ini berbagai cabang persilatan. Walaupun serangan si dara sederas  hujan mencurah,  namun ia masih dapat me matahkannya semua.

Beberapa kali serangannya gagal, si dara tampak  gugup dan tiba tiba mundur tiga langkah serunya, “Uh, tak kira kalau kau sakti juga!”

Walaupun dapat me mecahkan serangan deras dari si dara tetapi sesungguhnya Kat Hong merasa payah sekali. Diam diam ia mengakui kepandaian si dara me mang sakti sekali. Dengan kerahkan tenaga murni, diam diam ia lancarkan pukulan Bu- ing-sin kun atau Pukulan Tanpa bayangan.

Merasa terlanda oleh se maca m tenaga yang tak terlihat, si dara terkejut dan cepat-cepat kerahkan tenaga dalam untuk me lawan seraya berseru dingin, “Bagus, kiranya, kau juga dapat mengguna kan pukulan Bu ing sin- kun.”

setengah tahun yang lalu, ketika ro mbongan Tay Hong siansu menyerang Beng-gak, mereka telah dikalahkan karena terkena obat bius. sebagian menjadi anak buah Beng gak. sebagian gugur dalam pertempuran. Pada saat menghadapi keadaan yang genting, sin Ciong totiang dan beberapa tokoh persilatan masing- masing telah me mber ikan ilmu kepandaian mereka kepada kedua saudara Kat.

Kat Hong dan Kat Wi bersembunyi di perut gunung untuk meyakinkan ilmu pelajaran yang mereka peroleh itu. Berkat telah me mpunyai dasar latihan yang baik dan me miliki kecerdasan otak, dalam setengah tahun itu mereka telah berhasil menguasai ber maca m- maca m ilmu kesaktian dari berbagai cabang persilatan. Tapi tampa knya kelewat pendek sehingga mereka belum ma mpu mencapai tahap kesempur naan. walaupun me miliki beraneka ilmu silat sakti, tapi belum dapat menggunakannya untuk menga lahkan lawan.

Terhadap dara itu Kat Hong sudah me mpunyai perasaan gentar. Maka setelah lepaskan pukulan Bu ing sin kun ia  segera menyerbu maju. tangan kiri me mukul dengan jurus Hogak liu- kun atau Kali bengawan me ngalirkan awan.

tangan kanan me mukul dengan pukulan Ping ho gui tang atau Es di sungai mengalir.

Kedua pukulan itu yang pertama adalah ilmu istime wa dari partay Bu-tong pay. sedang pukulan kedua berasal dan ilmu istimewa partai Hoa-san-pay. Dua buah ilmu simpanan  dari dua  partay  persilatan  digunakan  secara  berbareng  telah me mbuat Ciok sa m- kong dan Tek Cin terkejut.

Tetapi dara baju putih itu tetap tak memandang mata.

Tangannya bergerak dan menutuk dengan sebuah jarinya.

seketika   Kat   Hong   rasakan   tutukan   jari   dara   itu me mancarkan aliran tenaga yang dahsyat mengarah bagian yang fatal.

Kat Hong terkejut sekali. Ia merasa dua buah serangannya itu seolah olah kehilangan daya perbawanya. Kat Hong terkejut dan loncat mundur.

Dara baju putih itu tertawa dingin. Bagaikan bayangan, ia mengejar pe muda itu. serentak Kat Hong rasakan tangan kanannya kesemutan, Ah, kiranya pergelangan tangan kanannya telah dicengkeram lawan.

Ciok sam kong bertiga yang mengawasi pertandingan itu dari samping, melihat juga akan peristiwa yang luar biasa itu. Bagaimana dengan gerak le mah ge mulai laksana seekor kupu kupu berterbangan diantara taburan angin, dara itu telah mene mbus hujan bayangan jari Kat Hong yang deras.

“Bagaimana, engkau tunduk atau belum?” tanya dara itu dengan nada dingin. Kat Hong termangu me mandang  wajah dara ayu itu. Beberapa saat kemudian ia berkata, “Baiklah, aku mau mendengar perintahmulah….Lepaskan cekalanmu.”

“Kupercaya omo nganmu itu keluar dari sanubarimu!” si nona lepaskan cengkeramannya lalu berputar  menghadapi Ciok sam kong, “Apakah kalian sudah menga mbil keputusan?”

“Jika saudara Kat itu boleh mengajukan syarat, masakan kami tak boleh?” sahut Tek Cin.

“Ka mu tua bangka banyak akal, bagaimana  minta dipersama kan dengan dia?”

“Atas pertolongan nona mengobati racun kelabang pada tubuh ka mi, ka mi berterima kasih sekali. Tetapi kalau nona menghenda ki kami menjadi budak nona, hal itu me mang suatu persoalan yang sulit. Dalam kedudukan kami di dunia persilatan, rasanya kami lebih suka mati dibawah cincangan senjata daripada harus mendengar perintah nona….” kata Giok sam-ko ng.

Dara itu tertawa, “Tak apalah. Aku me mang sedia se maca m obat racun. Asal kalian minum, kalian tentu akan menur ut perintahku tanpa penasaran. Karena kalian akan menjadi manus ia patung yang kehilangan daya ingatan dan lupa malu sama sekali!”

sekonyong-konyong terdengar suara menggelegar yang dahsyat macam benda berat menghanta m dinding karang.

“Rupanya ada orang datang. Jika nona suka melepaskan kami, kami bersedia me mbantu nona menghadapi  musuh!” Giok sa m-kong batuk batuk.

Bermula dara itu me mang terkesiap mendengar suara dahsyat itu tetapi pada lain saat ia ta mpak tenang ke mbali. Katanya dengan tawar, “Tak apa, pintu cukup kokoh, tak perlu kalian kustir.” Ia mengeluarkan sebuah botol kuma la dan  menuang tiga biji pil warna merah. Katanya, “Pil merah ini disebuat san-hun- tan atau Pil Pe mbuyar jiwa. Jika orang me minumnya tentu akan kehilangan ingatan. Dewasa ini entah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah me minumnya dan tunduk dibawah perintah Beng gak. Jika tak percaya, silahkan kalian mencobanya!”

Wajah dara itu tetap sedingin es sehingga sukar diketahui bagaimana getaran perasaannya. Walaupun banyak pengalamannya na mun Ciok sa m-ko ng bertiga tak ma mpu menaks ir bagaimana perasaan dara itu yang sesungguhnya. Ketiga tokoh itu saling berpandangan satu sa ma la in.

Getaran dahsyat tadi berulang-ulang terdengar lagi. Rupanya orang yang melakukan ge mpuran itu bertekad keras hendak menjebolkan pintu batu.

sidara sejenak berpaling me mandang Kat Hong, serunya, “Jangan bergerak! Pintu itu kokoh sekali. Biarkan mereka mengge mpur sa mpai tiga hari tiga mala m, tak mungkin dapat menjebo lkan!”

Kemudian dara itu pelahan-lahan mengha mpiri Ciok sam- kong bertiga. Tiba tiba ia wenjiwir telinga Tek Cin, “Karena engkau yang lebih dulu sadarkan diri, engkaulah yang minum pil ini dulu!”

Bukan kepalang kejut Tek Cin. Tanpa banyak pikir ia serentak berseru, “Nanti dulu nona. Ya. aku meluluskan permintaanmu! ”

“Hm, me mang aku tak takut engkau takkan me luluskan!” sekali tepuk ia menutuk  jalan darah jago  tua  itu  lalu  mengha mpiri Ciok sa m-kong, “Engkau berani minum pil ini atau tidak?”

“Minum obat tak bersangkut paut dengan keberanian. Walaupun aku sudah tua dan tak takut mati, tetapi aku tak dapat me minumnya!” “Setan bernyali kecil….” damprat sidara seraya menutuk jalan darah tokoh tua itu. Lalu mengha mpiri Cau Yan-hui.

“Kita  sesama  kaum  wanita,”  katanya,  “aku  tak   mau me mbikin susah kepadamu. silahkan engkau pilih mana. Mau minnm pil sendiri atau ingin diperlakukan seperti kedua orang yang ku tutuk jalan darah sau im dan sau-yang?”

Walaupun Cau Yan-hui itu seorang pendekar wanita yang keras hati tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tak urung hatinya bergetar juga. Ia menghela napas, “Dalam keadaan mati tak dapat, hidup pun tak bisa seperti ini, terpaksa aku menyerahkan dibawah kekuasaanmu….”

“Jika tak me ma ndang karena sesa ma kaum wanita, tentu tak kuajak engkau berunding begini!” sahut si dara.

“Aku belum je las bagaimana kalau minum pil dan bagaimana kalau engkau tutuk jalan darahku. Karena engkau suruh aku me milih, sukalah menjelaskan dulu bagaimana akibat dari kedua pilihan itu,” kata Cau Yan-hui.

“Kalau minta dijelaskan kedua duanya me mang tak enak akibatnya. Minum pil akan kehilangan daya ingatan.  selama tak minum obatpenawarannya, tentu tetap menjadi ha mbaku seumur hidup. Hanya ada sedikit keuntungan, selama itu engkau takkan menderita suatu kesakitan apa-apa?”

“Dan kalau ditutuk ja lan darah sau im dan sau-yang itu?” tanya Cau Yan-hui.

“Itu me mang lain akibatnya,” kata sidara.  “Sekalipun engkau masih me mpunyai ingatan, tetapi engkau akan mender ita siksaan kesakitan yang hebat. setiap dua jam sekali, harus kuurut supaya jalan darahmu yang tertutuk itu tidak macet darahnya. Tetapi penderitaan itu luar biasa sakitnya. Urat-urat nadi dalam tubuh akan me nyurut seperti yang diremas re mas sakitnya….” “Minum pil dan merusakkan urat nadi, dua-duanya serupa. Eagkau sungguh sungguh berhati ganas sekali!” seru Cau Yao hui.

“Peristiwa ganas yang kusaksikan, jauh lebih hebat  dari saat ini,” sahut sidara dengan tangkas.

“Bukankah tujuanmu hendak me mperbudak kami supaya menurut perintahmu? Tetapi sekalipun engkau rusakkan urat nadi kami, ingatan ka mi masih terang….”

“Hm, tetapi aku tak percaya kalau orang mampu bertahan dari siksaan urat nadi yang telah di rusak itu. Jika tidak percaya, silahkan coba!”

“Silahkanl” sahut Cau Yan-hui dengan gagah.

“Engkau sendiri yang me milih!” kata si-dara seraya terus menutuk dua buah jalan darah tetua wanita dari  Tiam jong pay itu. Kemudian me lepaskan tali ikatan mereka bertiga.

sslama itu Ciok sam kong diam diam telah kerahkan peredaran darahnya. Ternyata ia merasa tak berapa sakit. Maka cepat-cepat ia gunakan ilmu ‘Menyusup suara’ me mbisiki Tek Cin. supaya pada saat si dara membuka tali  ikatan mereka, harus serentak di serang dan di r ingkus ke mudian di paksa agar me mbuka jalan darah mereka yang di tutuknya itu.

Maka pada saat si dara melepaskan tali ikatan mereka, Ciok sam-ko ng cepat bertindak menghanta m dara itu.

Tetapi dara i’u tertawa dingin, “Hm, me mang telah kuduga kalian tentu akan nekad mengadu jiwa. ternyata dugaanku benar!”

sambil berkata dara itu gerakkan jarinya untuk menutuk. Ciok Sam kong mundur selangkah.

Selagi si dara tengah menghadapi Ciok Sam kong, Tek Cin cepat menghantam punggungnya. Tetapi dengan tenang, dara itu totokkan jarinya ke belakang, mengarah jalan darah pada siku lengan Tek C in.

Gerakan dara itu memang luar biasa anehnya. Jarinya  selalu mengarah ja lan darah orang.

Tek Cinpun terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.

Cau Yan hui mencabut pedangnya tetapi masih ragu ragu dan tak jadi menyerang.

“Cau Cianbgun, kita toh sudah dikuasainya, mengapa masih me megang tata susila pertempuran lagi? Hayo maju!” seru Ciok Sam kong.

“Jika kita me mbunuhnya, siapakah yang mau  meno long kita jika jalan darah kita yang tertutuk itu mulai merangsang!” sahut Cau Yan hui.

“Mengapa Cau ciangbun berbanyak hati?  Tangkap  dan siksa dia. masakan dia tak mau me mbuka ja lan darah kita!” seru Ciok sam kong dengan garang walaupun sesungguhnya hatinya gentar terhadap dara itu. Ia menyadari bahwa  iimu silat dan ilmu tutukan dara itu me mpunyai aliran tersendiri. Berbeda dengan ilmu yang terdapat dikalangan persilatan pada umumnya.

sambil mendesak mundur Ciok sam- kong dan Tek Cin. dara baju putih itu berseru me manggil Kat Hong supaya datang kepadanya.

Kat Hong mengiakan. Dihantamnya Ciok sa m- kong. sudah tentu jago tua itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan kiri seraya berseru me mper ingati, “Hai, apa kau gila?”

“Seorang lelaki sekali berkata tentu akan melaksanakan,” sahut Kat Hong. “Aku sudah berjanji akan turut perintahnya, mana aku tak mau ingkar janji!” Dua buah pukulan ke mba li dilontarkannya!” sambil menangkis. Ciok sam kong berseru, “Kita beberapa orang, bersama-sama datang dan bersama-sa ma mender ita nasib yang sama. Mengapa saudara berjanji mengha mba kepadanya, karena takut mendapat anca man?”

Terdengar suara deburan yang dahsyat sampai tiga kali sehingga mengganggu kata kata Ciok sa m- kong.

Dara itu kerutkan alis. serentak ia mer ubah gaya pukulannya dengan jurus yang aneh.

Hanya dalam sepuluh jurus saja, tentulah Tek Cin akan rubuh. Melihat itu Ciok sam kong segera bertindak.

si dara menghindar kesa mping dan berseru “Bagus, bagus, me mang aku belum tahu sa mpai dimana hasil yang kujumpai dalam ilmu peryaikinanku. Kalau hanya seorang, memang bukan lawanku. Kalian maju berbareng, dapat me mberi kesempatan kepadaku untuk mencoba kepandaianku yang kupelajari itu!”

Dalam pada berkata kata itu, tiba tiba ia merobah gerakan tubuhnya. Dengan gerak putaran yang cepat sekali, ia sudah menyusup di tengah kedua jago tua itu. Tinju me mukul jari menutuk.

Menyaksikan gerak si dara yang sangat aneh itu, dia m- diam Cau Yan hui terkejut. Ia merasa walaupun berbekal pedang percuma saja menghadapi gaya serangan si dara. sedikitpun tak me mber i kese mpatan orang untuk me ma inkan pedangnya.

Me mandang ke sebelah sana, tampak Kat Hong berte mpur sendiri melawan Ciok sa m- kong. Menilik jalannya pertempuran yang begitu seru, sukar untuk selesai dalam waktu yang singkat,

Tetapi ketua wanita dari Tiam  jong-pay  itu  tak  sempat me mecah perhatiannya lagi.  Ia harus waspada terhadap serangan si dara yang luar biasa anehnya. Dan walaupun maju bersa ma Tek Cin, tetapi akhirnya tetap terdesak oleh dara itu. suatu hal yang benar-benar membuatnya tak habis herannya.

“Hati-hatilah!” t iba-tiba dara baju putih itu mendengus dingin dan menya mbar lengan Cau Yan-hui.

Cau Yan-hui turunkan lengannya kebawah lalu balikkan pedangnya keatas, menabas dan menusuk.

Tetapi tiba tiba tangan sidara yang diulurkan itu tiba tiba diputar dan dengan gerak cepat yang luar biasa, ia mencengkeram siku lengan Cau Yan hui. seketika itu juga Cau Yan hui rasakan siku lengannya yang kanan kesemutan. Tahu- tahu pedangnya sudah beralih ke tangan si dara.

Ketua wanita partay Tiam jong pay itu tercengang. Wajahnya merah ke malu- ma luan. Ia menyurut mundur dua langkah, serunya, “Seumur hidup  belum  pernah  aku  kalah me lawan musuh. Tetapi hari ini senjataku dapat direbut musuh, aku ma lu untuk hidup di dunia!”

Dia adalah seorang ketua dari partay persilatan yang ternama. Pedangnya dapat direbut Orang, merupakan suatu hinaan yang besar baginya. Baik terhadap pribadinya maupun gengsi partay Tiam jong pay, hal itu merupa kan noda yang tak terperkirakan besarnya. Daripada hidup menanggung ma lu, lebih baik ia mat i saja.

Dua kali dara itu bolang-balingkan pedang untuk mengundurkan Ciok sam kong dan Tek Cin lalu menjawab Cau Yan-hui, “Jika engkau ingin mati,  akupun  tidak  dapat  mengha langi. Hanya saja perlu kuberitahukan kepadamu. Ilmu yang kugunakan untuk merebut pedangmu itu adalah ajaran dari Dewa silat Lo  Hian.  Di-dunia  persilatan  yang  ma mpu me mecahkan ilmu serangan itu, hanya beberapa orang saja.”

Dalam pada berkata itu, si dara taburkan pedangnya menjadi suatu lingkaran sinar yang berhamburan me menuhi penjuru. Tek Cin gelagapan tak mmapu menangkis. Cret!…. Tiba-tiba ia rasakan kepalanya silir. Ah, segumpal ra mbutnya kena terpapas pedang si dara!

Ilmu pedang yang aneh dari dara itu menyadarkan Tek Cin. Bahwa jika terus menerus me mbiarkan dirinya di serang cara begitu, akhirnya ia tentu terluka di ujung pedang.

“Harap berhenti dulu, nona! Aku hendak berunding!” serunya.

Dara itupun hentikan gerakan pedangnya. Ia menengadah me mandang langit ruangan. Mulutnya berko mak ke mik bicara seorang diri.

Mulut menyungging senyum tertawa. Rupanya ia terkenang akan suatu peristiwa yang me ngge mbira kan.

Dia jarang tertawa. Wajahnya selalu me mbeku dingin- Tetapi apabila sekali ia tertawa, ah…. , benar-benar menyerupai kuntum bunga yang tengah me kar. sedap dan mengesankan!

setua itu Tek Cin belum menikah dan tak pernah bergaul dengan wanita. Tetapi toh, saat melihat wajah si dara mengulum tawa, semangatnya melayang-layang juga. Cepat- cepat ia berseru, “Nona….”

Dara  itu  tersadar  dari  la munannya  dan  wajahnyapun ke mbali sedingin es, serunya, “Apakah kalian sudah menyadari tak dapat me lawan aku?”

Melihat Tek Cin dan Cau Yan-hui berhenti menyerang, Ciok sam kongpun mendesak Kat Hong lalu berseru  supaya  pemuda itu berhenti dulu. Jago tua dari swat-san-pay itu sudah kewalahan me nghadapi serangan Kat Hong yang menggunakan ber maca m ma cam ilmu pukulan istimewa. Hanya karena menganda lkan tenaga dala mnya yang kuat, maka Ciok sam kong mas ih dapar bertahan.

Kat Hong berpaling ke arah sidara lalu mengha mpiri dan berdiri di sa mpingnya. Kata Tek Cin, “Ilmu pedangmu tadi, benar benar belum kulihat seumur hidup….”

“Jangan bicara yang tidak perlu! Kalian menyerah atau tidak!” bentak dara itu.

Tek Cin kerutkan alis, sahutnya, “Engkau mengatakan bahwa ilmu pedangmu itu berasal dari Lo Hian, benarkah itu?”

“Sudah tentu sungguh….” tiba-tiba dara itu hentikan kata – katanya karena mendengar suara deburan pada pintu batu itu mengge legar tiada hentinya. “Mereka mengge mpur alat perkakas di luar pintu,” katanya.

saat itu terdengar derap langkah orang masuk. Rupanya pintu telah dapat di jebloskan. sekalian orang menunggu dengan tegang. siapa gerangan yang masuk itu….

Langkah kaki itu berhenti dan di a mbang pintu muncullah sesosok tubuh pendek. Aha…. kiranya si orang pendek baju hitam!

Entah dari mana, tetapi saat itu secercah cahaya merekah kedalam ruangan sehingga ruangan itu agak terang dan dapat terlihat keadaannya. Dari rambut me manjang kebahunya dapatlah diketahui bahwa orang pendek yang mukanya berlumur kotoran itu, ternyata seorang wanita.

Tangannya mencekal sebatang pedang. mata me mandang lekat-lekat kepada beberapa tokoh yang berada dalam ruang situ. Masing masing saling berpandangan tanpa berkata suatu apa. Beberapa saat kemudian, tiba tiba dara berbaju putih mengangsur kan pedang kepada Ciu Yan hui. “Terimalah pedangmu dan jagalah dia mbang pintu!”

Cau Yan hui tertegun. Tetap pada lain saat ia menya mbuti pedang itu terus melangkah kepintu. Siorang pendek mundur kebelakang dan melenyapkan diri.

Sejenak me mandang kepada Tek Cin dan Ciok Sam kong, si dara baju putih berkata, “Mereka dapat membobo lkan pintu tetapi sayang datang terlambat dan tak dapat melihat wajah  Lo Hian”.

Kemudian ia tertawa dingin, katanya pula, “Tempat jenazah Lo Hian berada disebuah ka mar rahasia yang diperlengkapi dengan alat perkakas istimewa. Tanpa kutunjukkan tak mungkin mereka akan mene mukannya!”

Ucapan itu tampaknya seperti ditujukan kepada Ciok sam- kong dan Tek Cin tetapi pun seperti diperdengarkan kepada orang pendek tadi.

“Nona, apakah jenazah Lo Hian benar-benar berada diperut gunung ini?” tanya Ciok sa m-kong.

“Bagaimanakah keputusan  kalian?  Jika  kalian  tak  mau me mbantu aku menghadapi mus uh yang saat ini sudah berada diluar, akupun tak mau me maksa. Hm siapakah yang me mbocor kan rahasia Telaga Darah itu? Pada akhir akhir ini me mang banyak sekali tokoh tokoh persilatan yang masuk ketempat ini. Rupanya dalam goa rahasia dalam perut gunung sini bakal terjadi pertempuran berdarah….

Berhenti sejenak. Ia melanjutkan kata-katanya. “Telah kulepaskan kelima binatang yang menjaga Telaga  Darah.  selain akan terjadi pertempuran  antara  manus ia  lawan manus ia, pun akan dimeriahkan dengan ikut sertanya lima maca m binatang ganas yang jarang muncul didunia.”

Tiba-tiba diluar ruangan terdengar lengking suara tertawa, “Ih, apakah bukan sa m-sumoay, Engkau belum meningga l?”

Dara itu agak terkejut.

“Siapa!” bentaknya dengan nyaring.

“Ai, mengapa engkau tak kenal lagi suaraku lagi?” teriak orang diluar ruangan itu.

Wajah dara baju putih tenang kembali, serunya, “Apakah ji- suci?” Diluar terdengar suara tertawa melengking lalu orang itu berkata, “Karena sama sa ma di besarkan sejak kecil mula, tentu saja sumoay takkan melupa kan suara sucimu itu!”

Habis berkata, diambang pintu muncul seorang nona baju merah. Tangan mencekal kebut Hud-tim dan punggung menyanggul sebatang pedang.

Wajah si dara baju putih yang dingin itu rampak berkerinyutan. Rupanya ia sedang mengalami pergolakan batin.

setelah beberapa saat saling beradu pandang, akhirnya nona baju merah itulah yang me mbuka mulut lebih dulu, “Ah, Hong swat sumoay. sejak kau dipaksa suhu untuk terjun kedalam perut gunung berapi, siang mala m tidak putus- putusnya ku berdoa agar kau dilindungi dari ma lapetaka Ah. kiranya sumoay me mang me mpunyai rejeki besar sehingga selamat tidak kurang suatu apa….”

“Ah, menyesal karena me mbuat suci repot saja.” sahut si dara Hong-swat.

Nona baju merah itu me mandang beberapa saat kepada Ciok sam- kong bertiga lalu tanyanya kepada Bwee Hong swat, “Mereka tentulah jago jago silat yang ternama. Apakah perlu kubantu sumoay untuk melenyapkan mere ka?”

“Ah, tak berani kubikin repot suci!” buru-buru Bwee Hong- Swat berkata. “Jika hendak me mbunuh mereka,  akupun sanggup!”

Nona baju merah itu kerutkan alisnya, Mau marah tetapi masih ditahan. Katanya “Hong-swat sumoay, akupun sudah diusir oleh toa-suci….”

“Benarkah?” Bwee Hong swat menegas.

“Toa suci berhati keja m. Karena iri hati melihat sumoay disayang suhu, diam diam dia pernah berunding dengan aku untuk mencari jalan menyingkiikan kau….” “Seharusnya dia berge mbira karena cita- citanya terkabul.” sahut Bwee Hong-swat. “Hm, mungkin dia mengira aku tentu sudah mati di dalam kawah api itu….”

Mata nona baju merah itu berkeliaran sejenak lalu perlahan lahan melangkah maju. Dengan tertawa-tawa ia berseru, “Karena tertimpa ke malangan, sumoay malah me mperoleh rejeki besar dapat masuk kedalam Telaga Darah ini.”

Bwee Hong-swat menyahut adem, “Telinga ku tidak tuli. Jika ji suci hendak bicara apa-apa silahkan mengatakan dari situ saja!”

Wajah si nona baju merah itu berobah lalu berseru, “Apakah sumoay pernah menghitung berapa la ma sumoay telah pergi itu?”

“Mengapa?”

“Karena kita tak minum obat lagi, bila tiba saatnya, wajah sumoay yang cantik itu tentu akan lenyap dan…. dan akan berobah menjadi seorang wanita jelek!”

Wajah Bwee Hong swat yang dingin mengeriut kerawanan. Tetapi kerawanan itu cepat terhapus dan berkatalah dia dengan tawar, “Kalau me mang menjadi buruk, biarlah buruk!”

Bwee Hong-swat berhenti sejenak lalu berkata  pula, “Benar, me mang disini Telaga Darah itu. sayang kalian datang terlambat. Lo Hian sudah menutup mata….”

“Kalau begitu, sumoay pernah berjumpa dengan orangtua sakti itu?” si nona baju merah berseru tegang.

“Ya, atas kemurahan hati beliau,  aku  diterima  me njadi mur idnya!”

Nona baju merah  itu tertawa, “Ah, besar sekali rejeki sumoay. Benar-benar membuat orang  mengir i….  ”  ia menghe la napas panjang,lalu, “Menurut cerita dunia persilatan, Lo Hian itu seorang tokoh yang hampir mencapai tingkat kedewaan. Dengan diterima menjadi mur idnya tentunya, ilmu kepandaian sumoay tentu bukan seolah-olah saktinya….”

Tiba tiba terdengar bentakan nyaring yang me mutuskan kata kata nona baju merah itu. Dan sere mpak dengan itu sekonyong-konyong Bwee Hong swat rasakan tubuhnya tergetar….

Wajah nona baju merah itupun ikut berubah. Ia me mbisiki Bwee Hong swat, “Sam sumoay, ada orang yang datang lagi, Rupanya saat ini banyak sekali orang berbondong bondong datang ke tempat ini!”

Bwee Hong swat tegak me matung. Ia tengah merenung dan tak mengacuhkan kata-kata sucinya.

Terdengar suara debur senjata menghantam. Rupanya diluar ruangan telah terjadi pertempuran dahsyat. Dan serempak dengan itu Ciok sa m-kong pun tertawa gelak gelak.

“Mengapa kau tertawa?” bentak Bwee Hong swat.

Jago tua dari swat sanpay itu hentikan tertawanya dan menyahut, “Terus terang saja, yang ikut aku masuk kedalam Telaga Darah ini banyak sekali jumlahnya. Kemungkinan mereka tentu mencari ke mari….”

“Kalian sudah ketemu, lalu mau apa?”

“Saat ini keadaan sudah jelas. sebagai murid satu satunya yang mendapat ilmu warisan Lo Hian, nona akan menjadi sasaran orang. Bahkan suci nona itu sendiripun menaks ir pada nona. Betapapun saktinya nona tetapi karena nona hanya seorang diri, tentulah sukar menghadapi lawan yang  berjumlah begitu banyak….”

Jago tua itu berpaling kepada Tek Cin, katanya, “Jika nona sudi me mbagikan sedikit kepada kami dari barang barang peninggalan Lo Hian itu, atau me mberi kesempatan agar ka mi dapat ikut me mpelajari barang-barang peninggalan Lo Hian. Tentulah dengan sepenuh hati kami akan me mbantu nona menghadapi musuh itu!”

Bwee Hong swat sejenak meredupkan mata  sahutnya, “Sepenanak nasi la manya, urat nadi kalian yang kututuk itu tentu akan bekerja. Disitulah nanti kalian akan meraung-raung seperti babi hendak di se mbelih. Ha, coba sajalah nanti kalau kalian ingin tahu bagaimana rasanya orang yang tak bisa mati, tak bisa hidup!”

suara dering senjata beradu di luar ruang berlangsung terus dan hiruk kacau. Rupanya pertempuran itu tidak dua orang tapi telah meningkat besar besaran.

setelah merenung sesaat, nona baju merah  tiba-tiba berputar tahuh dan lari keluar.

sekali lagi Bwee Hong swat menatap Ciok sam kong bertiga dan berseru menegasi, “Kalian ingin mati atau ingin hidup…. Jika ingin hidup harus menur ut perintahku. Tetapi jika kalian yakin dapat hidup dalam perut gunung itu serta tak takut akan keadaan gunung yang penuh dengan berbagai maca m hawa aneh dan kelima binatang ganas itu, silahkan….”

Tiba-tiba nona baju merah tadi muncul lagi. Wajahnya  mena mpa k kece masan, “Sam sumoay, celaka!”

“Mengapa   begitu  ketakutan?”  tegur Bwee Hong swat dingin.

“Su….suhu….”

Mendengar itu, terkejut jugalah Bwee Hong swat.  Baru buru ia menegas, “Su….” tiba ia berganti ucapan, “Dia datang juga?”

saat itu si nona baju merah mulai tenang ke mbali. Ia menghe la napas, “Walaupun belum me lihat suhu, tetapi kudapati toa-suci me mbawa banyak sekali anak buahnya….” “Tentulah ketika masuk ke mari, kalian meninggalkan jejak yang dapat diketahui mere ka!” kata Bwee Hong swat.

Nona baju merah itu merenung, ujarnya, “Jika toa-suci muncul, tentulah suhu akan ikut datang juga. Jika kita  suci  dan sumoay  tak  mau  melupakan  dendam  dan  budi  yang la mpau dan tak mau  bersatu  padu,  tentu akas  mengala mi ke matian yang mengenaskan!”

Perlahan-lahan Bwee Hong swat me mbela kangkan tubuhnya. “Pada waktu meninggalkan Beng gak  berapa banyak anak buah yang suci bawa serta?”

Maka nona baju merah itu berkilat-kilat me mancarkan hawa pembunuhan. Ke mudian menyahut dengan dingin, “Kita berdua sama sama sepsrguruan dan sama sama me mpelajari ilmu silat.  Apa  yang  engkau  miliki,  tentu  tak   dapat menge labuhi aku. Dengan itikad baik aku ajak kau berunding untuk bersama sa ma me lawan musuh. Tetapi kau begitu angkuh padaku. sekali pun aku telah melanggar perintah suhu dan dia m-dia m masuk ke dalam Telaga Darah sini, tetapi resminya aku belum meninggalkan perguruan. Asal aku rela menerima sedikit makian dan hukuman suhu, lalu me mbantu toa suci untuk menangkapmu, tentulah aku akan mendapat pengampunan!”

Tiba-tiba Bwee Hong swat berputar tubuh, Matanya berkilat menatap nona baju merah itu dan katanya perlahan-lahan, “Walaupun sesama perguruan tetapi kepandaianmu tak menang dari aku. Apalagi sekarang, engkau bukan tandinganku lagi. Hm, kecuali engkau mau tunduk pada perintahku, silahkan engkau me milih jalan sendiri dan dengan saling me ngurus!”

suara gemerincing senjata ma kin la ma ma kin nyaring. Tentulah pertempuran meningkat lebih  seru dan sengit. Rupanya rombongan jago-jago Beng gak tetap tertahan tak dapat maju. Bwee Hong swat heran. setelah merenung sejenak, ia berkata, “Siapakah yang bertempur dengan toa suci itu?”

si nona baju merah menyahut tawar, “Mungkin engkau anggap  aku  hanya  seorang.   Dan   karenanya   engkau mere mehkan kekuatanku. Hm, bukan O mong besar. Asal dengan suhu sendiri yang datang, aku dan anak buahku dapat menghadapi toa-suci dan ro mbongannya itu!”

“Dari mana engkau mengumpulkan sekian banyak anak buah itu?” tanya Bwee Hong swat.

Tiba-tiba  nona  baju  merah  itu  tertawa   nyaring   dan me mandang. sa mpai la ma baru kuma ndang tertawanya berhenti.

“Apa yang engkau tertawakan?” tegur Bwee Hong swat marah.

“Jika  sumoay  tak   mengingatkan,   tentulah   aku   lupa me mber itahukan kepada mu. Anak buahku itu walaupun hanya tiga orang, tetapi istimewa se mua. Diantaranya terdapat juga kekasih sam sumoay itu….”

“Pui Siu- la m….!” Bwee Hong-swat terbeliak kaget.

“Benar, me mang Pui siu-la m. Dia telah ku beri minum obat penghilang kesadaran dan sekarang mengha mba kepadaku”.

Tanpa menunggu nona baju merah itu menyelesaikan kata- katanya, Bwee Hong swat terus menerobos lari keluar.

“Tunggu!” tiba-tiba nona baju merah me mbentak, “apakah hendak me mbabi buta meno long?”

“Mengapa?” seru Bwee Hong-swat.

“Lebih baik engkau hapuskan keinginan itu. Jika  aku  tak me mbuat persiapan, masak berani  me mberitahukan kepadamu. Asal engkau me mbuka tali pengikat tubuhnya, dia tentu mati seketika!” sekonyong konyong Bwee Hong-swat melesat  ke muka sucinya itu, “Mengingat kita  sesama perguruan, aku tak sampai hati me mbunuhmu….”

Tiba-tiba terdengar jeritan me lengking taja m. Bwee Hong swat dan nona baju merah itu serempa k berseru kaget, “Hai, apakah toa suci terluka?”

suara dering senjata beradu itupun sirap. Tetapi diluar ruangan terdengar derap kaki orang yang deras dan pada lain saat muncullah e mpat orang.

Orang yang muncul didepan bertubuh kecil berpakaian warna hitam dan mence kal sebatang pedang. Dibelakang tampak….Pui siu-la m, orang ketiga, lucu wujudnya. Rambut dan jenggotnya seperti dipasang orang, harya tinggal separoh. Mukanya penuh kotoran sehingga tak dapat dikenali orang. Orang yang keempat, rambutnya terurai kusut  masai, kumisnya me manjang menutup mulut dan mence kal sebatang tongkat bambu.

setelah menyapukan pandang matanya kepada sekalian orang yang berada dalam ruang itu, siorang pendek baju hitam lekatkan matanya kearah Bwee Hong-swat.

Mata Bwee Hong-swat yang tajam segera melihat bahwa tubuh kee mpat orang itu terikat oleh tali yang halus sekali.

“Pui Siu- la m,” ia tertawa hambar.

siu-la m pun tertawa tawar dan tak mengucapkan apa-apa. “Sa m-sumoay, toa-suci mundur dengan me mbawa luka.

Dikuatirkan suhu akan segera datang!” kata nona baju merah. “Lepaskan dulu ikatan mereka!” seru Bwee Hong swat.

Kedua saudara seperguruan itu sahut-menyahut, entah sedang melakukan tawar- menawar apa. Tiba-tiba mulut orang pendek berko mat ka mit tetapi tak terdengar berkata apa saja. sedangkan Pui Siu-la m mengangguk tetapi tetap tak bicara Ternyata orang pendek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hian-song yang telah me makan obat bius dari si nona baju merah. Hian song gunakan ilmu menyusup suara untuk bertanya apakah dara baju putih itu Bwee Hong swat. Dan siu-la m pun menganggukkan kepalanya.

Tiba tiba Ciok sa m-kong berteriak, “Ceng Hun totiang….”

Lelaki yang berambut dan jenggot pendek itu agak termangu, serunya, “Kapankah Cau-to yu dan lo cianpwee berdua masuk kedalam Telaga Darah sini? Apakah Thian Ce totiang dan Tay Ih siansu belum datang?”

“Uh, Tay Ih dan Thian Ce serta muridmu Tio Gan telah kesingsal ja lan dengan kami. Mereka me mang sudah berada diperut gunung sini tetapi entah berada dimana?” sahut Ciok sam- kong.

sekonyong-konyong Bwee Hong-swat menyelinap ke muka Siu-la m dan hendak me mbuka tali pengikatnya.

“Eh!” tiba-tiba Hian song menabalkan pedangnya, Dua gumpal ha mburan sinar pedang, me maksa Bwee Hong-swat mundur selangkah.

Hian-song  tahu  bahwa  dara  baju  putih  itu  hendak meno long siu-la m tetapi ia ce mburu dan menyerangnya.

Nona baju merah  itu tertawa dingin, “Apakah sumoay sungguh-sungguh hendak ber musuhan dengan aku?”

Bwee Hong  swat  menyahut  dingin,  “Jika  kau  tak  mau me mbuka tali pengikatnya, jangan sesalkan aku tak ingat hubungan saudara seperguruan lagi!”

Ternyata pertempuran dahsyat yang berlangsung diluar ruangan tadi, adalah antara Hian-song dan orang-orang Beng gak. Diam-dia m nona baju merah itu menyadari baik dalam ilmu pedang maupun pukulan, dara Hian song itu lebih unggul dari dirinya. Dengan me mpunyai pe mbantu dara sesakti itu, si nona baju merah me mperhitungkan tentu dapat menghadapi Bwee Hong-swat. setelah me mperhitungkan kekuatannya, berserulah nona baju merah itu dengan dingin . “Kalau sumoay tak mau ingat akan persaudaraan, Jangan salahkan aku sebagai suci akan berlaku keja m….” berpaling kepada Hian-song ia me mber i perintah, “Berilah ia hajaran!”

Hian-song yang hilang kesadaran pikiran itu mengia kan dan terus menyerang Bwee Hong swat.

Bwee Hong swat menghindar. Me mandang sebentar ke arah sin lam lalu menber i perintah juga kepada Cau Yan hui, “Layanilah dara itu!”

Cau Yan hui hanya memandang ke arah Ciok sam kong dan Tek Cin tetapi tidak bertindak apa apa.

suatu psristiwa aneh telah terjadi. Dalam anggapan Ciok sam kong berriga, Ceng Hun totiang dan Siu-lam tentu terbius obat sehingga mau menurut perintah si nona baju merah. Tapi siu-la m dan Ceng Hun pun menyangka kalau Ciok sam kong bertiga sudah di bius Bwee Hong swat.

Hian-song menyerang Bwee Hong swat lagi, tapi di cegah Siu-la m, “Adik song, mundur lah!”

“Mengapa?” dara itu me narik pedang bertanya.

“Hm, engkau kuatir melukainya?” tiba tiba nona baju merah itu tertawa dan serentak putar diri, kebutkan budtim kepada siu-la m.

Wut wut wut….pakaian  Siu- lam  berha mburan  ke mana ke mana. Darah mengucur deras….

Bwee Hong-swat mengerut iba. Bibirnya bergerak-gerak hendak bicara tetapi tak jadi.

“Jangan me mukulnya!” tiba-tiba Hian-song me lengking dan lari mengha mpir i.

“Hmm, aku dapat me mbunuhnya dengan seketika!” dengus si baju merah. Dua tetes air mata menitik dipelupuk Hian sOng, ujarnya, “Aku sudah mendengar perintah mu dan melakukan apa yang engkau suruh. Mengapa engkau mas ih me mukulnya?”

“Ji-suci!” tiba-tiba Bwee Hong-s wat la mbaikan tangannya.

Nona baju merah itu tertawa mengikik, serunya, “Mengapa engkau me manggil aku?”

“Engkau kan hanya menginginkan barang-barang Lo Hian.

Mari kutunjukkan”.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar