Wanita iblis Jilid 35

Jilid 35

AKHIRNYA ia me mperoleh akal untuk mengelabui darimana dara itu. Ia harus berteriak menmanggil dara itu sekeras- kerasnya.

Tapi sebelum ia melaksanakan rencananya, tiba-tiba dari balik sebuah batu aneh yang. terlelak disisi kanan, terdengar suara helaan napas….

Ceng Hun totiang buru buru tenangkan pikirannya dan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Ia merogoh keluar dua batang pedang pendek. Dengan dua pedang pendek ditangan kiri dan pedang panjang ditangan kanan, ia menatap kearah batu aneh itu dan me mbentak, “Siapa itu!”

Dari balik batu aneh itu menyembul sebuah sebuah wajah yang tertutup rambut. Sepasang matanya yang besar bundar me mandang Ceng Hun lekat-lekat.

Sebesar besarnya nyali Ceng Hun, tetapi pada saat seperti itu, ia hampir kehilangan daya perlawanan lagi. Perasaan yang tajam, menduga bahwa disekelilingnya tentu terdapat orang Beng gak yang me mbayanginya. Mungkin anak mur id, mungkin ketua Beng gak sendiri.

Ceng Hun totiang me mandang kesekeliling dengan taja m. Sampa i beberapa saat ia tak membuka mulut tetapi diam diam siap sedia menjaga segala ke mungkinan.

Sepeminum teh lamanya, kepala yang  menyembul  dari balik batu itu, tiba tiba menyurut kebalik batu lagi. Rupanya orang itu tak sabar lagi menghadapi ketenangan Ceng Hun totiang, Tetapi sebagai gantinya, dari balik batu itu tiba-tiba bertebaran bubuk putih yang pecah berhamburan menjadi biji- biji bundar yang kecil sekali.

Cepat Ceng Hun menyadari bahwa bubuk bubuk pupur itu tentulah racun yang berbisa sekali. Sekali tersedot kedalam mulut, ia tentu rubuh binasa. atau pingsan, lalu ditangkap musuh.

Dengan sebat sekali Ceng Hun totiang loncat kesamping sambil menghe mbuskan napasnya keluar. Tebaran pupur beracun itu tertiup jatuh.

“Siapa itu?” t iba tiba dari balik batu aneh itu terdengar lengking seorang wanita.

“Mencelakai orang dengan obat racun, bukan laku seorang gagah. nona berani menegur, mengapa tak berani muncul keluar?” seru Ceng Hun.

Tiada penyahutan terdengar. Tetapi gerumbul rumput tampak bergerak gerak. Terang orang itu bersembunyi disitu dan hendak menyingkir.

Ceng Hun tertawa dingin, “Le mbah ini dikelilingi dinding gunung. Hanya sebuah jalan keluar. Asal kubakar tempat ini, bagaimana kah engkau hendak melarikan diri?”

Ancaman Ceng Hun itu berhasil me mbuat orang jeri.

Perlahan lahan orang itu berdiri.

gerumbul rumput panjang, tampa k seorang wanita yang cantik jelita.

Ceng Hun mengagumi kecantikan wanita itu tetapi iapun  me mperhatikan bahwa sepasang mata wanita itu, me mancar sinar api, api yang tajam.

“Apakah nona orang Beng-gak?” tegurnya.

Sepasang mata bundar dan sicantik berkicup kicup dan mulutnya nyungging tawa, “Kalau benar, la lu bagaimana?” “Sudah la ma pinto mendengar bahwa ilmu dari Beng  gak itu luar biasa aneh….”

nona itu tertawa, “Karenanya masa engkau hendak mencoba beberapa jurus, bukan?

Melihat sikap dan nada ucapan nona cantik itu mengandung daya pemikat yang keras, diam diam Ceng Hun me mpertinggi kewaspadaan. Sahutnya dengan tegas, “Benar, pinto me mang me mpunyai ma ksud begitu!”

Tiba-tiba  nona  itu  mengangkat  tangan  kanannya  dan me la mbai, “Datanglah lebih dekat ke mari. Aku hendak berunding dengan kau!”

Sikapnya mesra  sekali  seperti  terhadap  orang  sahabat la ma.

Walaupun cerdas dan gagah, tetapi Ceng Hun belum pernah menghadapi perist iwa seperti itu dalam hidupnya. Ia tertegun.

Gadis itu bertepuk tangan tiga kali dan berseru pula, “Jangan kuatir, ke marilah!”

Tetapi Ceng Hun totiang tetap bersangsi.

“Eh, apakah engkau masih merasa kuatir? Akan kuangkat kedua tanganku, masakan engkau mas ih takut?” kembali gadis itu berseru ra mah.

“Dari sini kita dapat bicara dengan jelas. Silahkan bicara, aku dapat mendengar dengan terang!” kata Ceng Hun.

“Yang hendak kubicarakan kepadamu ini, penting sekali dengan takut, Jika engkau me luluskan, kita akan menjadi sahabat yang bersama tujuan….”

“Jika aku tak me luluskan?”

nona baju merah itu tertawa kecil, “Menurut perasaanku, engkau takkan meno lak. Soal itu penting sekali artinya. Dapat merubah keadaan dunia  persilatan dan dapat menjadikan engkau seorang jago nomor satu dalam dunia persilatan!”

Sebenarnya tertarik juga Ceng Hun akan ucapan nona itu.

Tetapi ia seorang yang berhati hati.

“Kita baru saja kenal dan kebetulan saling bermusuhan.

Mengapa nona me mpercayai diriku?” tanyanya.

“Suatau pertanyaan yang tepat.” sahut nona baju merah itu. “Sebenarnya aku sedang menderita luka dalam yang parah. Maka terpaksa me minta kepada mu. Jika tidak terluka, engkau sudah terluka ditanganku!”

Tiba-tiba Ceng Hun teringat akan Hian-song, serunya, “Tadi ke manakah perginya gadis baju hitam itu?”

nona baju biru itu mendengus, “Jika tadi aku tak salah menilai kepandaian budak baju hitam itu, tentu takkan terluka begini!”

Ia berhenti sejenak la lu berkata pula, “Dia kutabur dengan obat bius. Tetapi sebelum rubuh dia menghanta m sekuat- kuatnya sehingga aku menderita luka parah ini.”

“Apakah engkau telah me mbunuhnya?” cepat Ceng Hun bertanya.

“Belum. dia berada dibalik batu sini. Ke marilah, engkau tentu mene mukannya!”

Diam diam Ceng Hun kerahkan iwekang untuk melindungi tubuh. Setelah mengia kan ia me langkah maju perlahan-lahan. Dengan pedang ditangan kanan dia menyibak gerumpul rumput. Sedang tangan kiri tetap menyiapkan kedua batang pedang pendek.

Ternyata nona baju merah itu me mang pegang janji. Ia mengangkat kedua tangannya keatas. Setelah Ceng Hun tiba disisinya, baru ia berkata, “Tanganku pegal, boleh kuturunkan!” Ketika me lihat nona itu tak me mbekal senjtaa, Ceng Hun pun mengangguk, serunya, “Jika nona hendak menggunakan siasat mencelaka i aku, mungkin berhasil. Tetapi  nonapun tentu tak terluput dari akibat pe mba lasanku!”

nona baju merah perlahan-lahan turunkan tangannya, “Lukaku parah sekali. TAdi sewaktu menaburkan obat racun, lukaku tergoncang. Jika saat ini engkau hendak me mbunuhku, mudah sekali.

“Pinto tak pernah mencelakai orang yang sedang menderita kesukaran!” sahut Ceng Hun seraya me mbabat rumput.

Dan alangkah terkejutnya ketika di balik batu itu terdapat Hian song menggeletak di sa mping Siu la m.

“Apakah mereka masih dapat ditolong?” serunya agak gugup, saat itu ia dapat melihat jelas keadaan si nona baju merah. Dimuka nona itu terletak sebilah pedang pusaka yang berkilat-kilat dan sebuah benda aneh macam tanduk rusa, serta seorang aneh yang rambutnya terurai kusut.

Me mandang kearah orang aneh itu, bertanyalah nona baju merah itu kepada Ceng Hun totiang, “Kenalkah engkau pada orang itu?”

Ceng Hun me mandang  orang itu dengan seksa ma, Kemudian menyatakan tidak kenal.

“Tahukah engkau akan seorang yang berna ma Ti- kicu Gan Leng Poh?”

“Seorang tabib yang termahsur di seluruh dunia persilatan. sudah la ma pinto mengaguminya,” jawab Ceng Hun.

“Aku letih sekali, mari kita duduk ber-o mong o mong.” tiba- tiba nona itu gelisah dan terus duduk, “inilah tabib Gan Leng poh yang engkau kagumi itu!”

Ceng Hun menga matinya lagi dengan cer mat.  Dalam gumpalan rambut yang kusut masai itu tersembunyi sebuah wajah yang berpanca indera penuh wibawa. Diam diam ketua Ceng-sia pay itu heran mengapa hari ini ber munculan beberapa peristiwa yang aneh.

“Ke mashyuran Gan Leng poh itu bukan karena sakti dalam ilmu pengobatan tetapipun sakti dalam ilmu silat. Maaf, bukan pinto me mandang rendah nona. Tetapi dalam soal menggunakan obat racun dan kepandaian silat, rasanya nona sukar untuk menandinginya “

nona itu tertawa hambat; “Saat ini aku sedang terluka parah.   Tiada  berdaya    sama    sekali.    Baiklah    dengan me mbicarakan soal ilmu Silat….” ia berhenti sejenak lalu berkata pula:

“Masih ada sebuah hal yang dapat, kuberitahukan kepadamu. Ialah saat ini jika engkau hendak me mbunuh, semudah orang me mbalikkan telapak tangannya. Asal engkau menusuk, aku tentu mati. Tetapi kupercaya engkau tentu tak mau me mbunuh aku!”

“Sekalipun tak mau mencelakai  orang  yang  sedang mender ita, tetapi pinto pun tetap melihat gelagat. dengan terlalu yakin pada anggapanmu sendiri,” sahut Ceng Hun.

nona itu tertawa, “Aku tak percaya di dunia ini terdapat orang yang tak berhati me mikirkan kepentingan diri seodiri….”

Ia berhenti sejenak lalu berkata lagi, “Harap suka tolong mengurut kan jalan darah didadaku ini. Aku akan segera mati keengapan….”

Ceng Hun batuk batuk, serunya, “wanita dan pria tak boleh campur dekat dekat. Apalagi pinto seorang ima m….”

Napas nona itu ma kin terengah engah, serunya, “Apa artinya mencukur ra mbut  masuk  menjadi   pertapa  apabila me lihat orang terancam bahaya tetapi tak mau me mberi pertolongan?” “Berikanlah obat pe munah kepadaku lebih dulu setelah kau tolong nona itu akan kuminta di mengurut dada mu.”

“Terla mbat….” tiba tiba nona baju merah itu me lengking lalu muntahkan segumpal darah segar.

Melihat itu tak sa mpa i hati Ceng Hun. Segera ia maju mengha mpiri dan segera lekatkan tangan kanannya kedada Sinona. Ia salurkan iwekang untuk menenangkan darah sinona yang bergolak keras,

“Lekas turut dadanya dan buah dada kanan kiri. Aku akan muntah darah lagi….”

Ceng Hun hanya me mikir kan untuk menolo ng orang. Diluar kesadarannya, iapun mela kukan perintah nona itu. Ketika menyenuh buah dada nona itu, hatinya tergetar dan buru- buru menarik tangannya!

nona itu meratap ratap, “Luka dalam tubuhku mulai menyerang lagi, aduh sakitnya….” Ceng Hun ter mangu. Seumur hidup belum pernah ia menga la mi perist iwa semaca m itu. Ia terpukau. Tetapi karena mendengar rint ihan nona itu, batinya tak tega. Terpaksa ia ulurkan tangan mengurut dada nona itu.

Hawa wangi me mbaur dari tubuh nona itu. Ditambah pula dengan  erang   mulutnya  yang   meruntuhkan   semangat, me mbuat darah Ceng Hun,  Iman yang sejak kecil sudah masuk kedalam biara itu, menjadi bergolak keras.

Pada saat Ceng Hun kelelap dalam buaian perasaan, tiba- tiba nona baju merah itu balikan tangan dan secepat kilat ia menutuk.

Karena tak menyangka sama sekali, Ceng Hun tak keburu menghindar lagi. Jalan darah bahu kanannya kena terkutuk.

nona itu cepat berbangkit bangun sambil menyambar pedang lalu ditujukan keleher ketua Ceng sia pay itu. “Coba kau terka, aku dapat atau tidak me mbunuhmu!” serunya tertawa.

Dari anginnya yang dingin. Ceng Hun menyadari bahwa pedang sinona itu bukan pedang biasa, melainkan  pedang yang luar biasa tajamnya. Sedikit saja nona itu gunakan tenaga, lehernya tentu putus. Tapi hawa dingin pedang itu- pun segera dapat membuyarkan perasaannya yang melayang tadi.

“Mati hidup, bukan soal bagi pinto!” ia tertawa ha mbar. nona itu tiba-tiba menarik kerrbali pedangnya.

“Apa   kau   sudah   tahu    kalau    kau    tentu    takkan me mbunuhmu?” ia tertawa.

Ceng Hong bingung me lihat sikap  aneh dari nona itu. Mengancam dan bersahabat. Pedang dan senyum, tak tahu ia bagaimana menjawabnya,

nona baju merah itu tertawa mengikik, “Bagaimana harus bicara?”

“Pinto tak tahu bagaimana harus bicara.”

nona itu menghe la napas, ujarnya, “Tak perlu engkau takut. Bahwa aku hendak mengajakmu berunding dengan soal penting, me mang bukan berdusta. Jika kau setuju, kita dapat bekerja sama. Dan apabila berhasil, seumur hidup takkan habis kita nikmati. Tetapi kalau engkau menolak terpaksa kubunuh!”

Sambil dia m-dia m mengerahkan Iwekang untuk me mbuka jalan daranya yang tertutuk berkatalah ketua Ceng Sia pay itu, “Silahkan bilang  dulu, apakah soal itu agar pinto dapat menimbangnya!”

“Tahukah engkau tentang berita mengena i peta Telaga darah?” tanya sinona.

“Kalau tahu?” “Didalam telaga darah itu terdapat pusaka peninggalan Lo Hian. Siapa yang mendapatkannya, tentu dapat merajai dunia persilatan….”

Ceng Hun menjawab dingin, “Peta itu hanya desas desus belaka. Tiada seorangpun yang pernah melihatnya….”

“Sekalipun belum pernah melibat, tetapi aku tahu tentang peta pusaka itu!” sahut si nona,

Dalam pada itu diam diam Ceng Hun totiang tetap berusaha untuk melepaskan jalan darahnya yang  tertutuk. Dua kali ia mengerahkan iwekang,  tetapi  masih  belum berhasil. Diam diam ia terkejut.

“Desas desus hanya semacam kabar burung dengan mudah me mpercayainya. Mungkin dikabarkan juga bahwa Lo Hian itu masih hidup!” buru- buru Ceng Hun totiang me mbuka mulut agar dengan diketahui usahanya mengerahkan tenaga dalamnya itu.

Tiba-tiba wajah nona baju merah  itu berubah gelap; “Benar, me mang Lo Hian masih belum me ninggal. Dan dalam beberapa hari ini datang ke Siauw lim-s i….”

Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Jika Lo Hian tak muncul, Siauw lim Si tentu sudah rata dengan tanah!”

Ceng Hun totiang tergetar hatinya. Namun ia berusaha sekuatnya untuk mengendalikan diri dan berseru menegas, “Benarkah itu?”

“sudah tentu benar!” sabut si nyonya baju biru seraya mengatupkan  mata,  “uh,   dengan  coba   berusaha   untuk me lepaskan jalan darahmu yang tertutuk itu. Sia sia sajalah. Ilmu tutukanku merupa kan ilmu istimewa dari Beng gak. Kecuali aku yang me mbantu, jangan  harap  engkau  dapat me mebebaskan dirimu!”

Ceng Hun totiang anggap peringatan si nona me mang benar. Bukan anca man kosong. Ia hanya tertawa hambar. “Aku hendak bicara secara sungguh-sungguh dengan kau,” kata si nona pula, “setiap patah kataku ini me mang timbul dari kesungguhan sanubariku karena  suasana  sekarang  ini  tak me mungkinkan kita melakukan hal seorang diri.*

Ia berhenti untuk mengalihkan pandang kearah Siu la m, ujarnya, “Sebenarnya aku akan me minta bantuannya, tetapi dia keras kepala sekali….”

“Jika dia mau mendengar perkataanku sa mpa i me lesai, kupercaya dia tentu bersedia kerjasama dengan aku,” katanya lebih jauh.

Melihat kesungguhan wajah nona itu, diam diam Ceng Hun totiang mulai tertarik perhatiannya.

“Soal apakah itu? Pui tayhiap me mang seorang pe muda perwira. Mungkin dia tak mau menerima tekanan dan bujukanmu!” kata ima m itu,

“Soal ini sebenarnya menguntungkan kedua belah fihak. Apalagi masih dapat menggunakannya untuk kepentingan dunia persilatan!” kata nona,

“Sedemikian pentingkah hal itu?”

“Benar,” sinona mengia kan, “suhuku  bercita-cita keras untuk menguasai dunia persilatan. Dia sudah berpuluh tahun menyiapkan rencananya itu. Anak buah Beng gak  tersebar luas di seluruh wilayah Kang la m, Kan pak, disegenap penjuru bahkan sa mpai diluar perbatasan….”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi “Entah apakah kalian me mperhatikan kejadian-kejadian didunia persilatan selama ini. Me mang tampaknya suasana dunia persilatan tenang, tapi diam-dia m banyak tokoh tokoh sakti yang menghilang dan tak ketahuan jejak. Tokoh tokoh itu meliputi bajak-bajak laut yang kena maan, anak mur id ke se mbilan partay persilatan, kepala penyamun dari dunia Lok-lim dan jago jago terkenal dimasing masing daerah.” Ceng Hun totiang mengangguk, “Benar, hal itu me mang pernah pinto dengar!”

“Me mang banyak orang mengira bahwa hilangnya tokoh- tokoh itu mungkin karena meninggal dunia. Tetapi sebenarnya mereka telah menggabungkan diri ke Beng gak. Nasib mereka me mang mengenaskan sekali”.

Makin la ma Ceng Hun totiang makin tertarik mendengar perkataan nona itu, Akhirnya ia tak sadar dan menyeletuk, “Bagaimana nasib mere ka itu?”

nona itu tertawa menggerincing ujarnya.

“Kebanyakan mereka menjadi linglung pikirannya akibat di racuni. Mereka lupa asal-usul dirinya, lenyap perasaan panca inderanya dan berobah menjadi se maca m manus ia boneka….”

Diam diam Ceng Hun tergetar dalam hati. Itulah sebabnya maka Siau-lim si yang begitu ter masyhut sebagai benteng tokoh tokoh sakti, tak ma mpu juga menahan serangan Beng gak. Kiranya satiap anak buah Beng gak itu terdiri dari tokoh ternama.

“Setelah menjadi manusia linglung, masakan mereka masih dapat berkelahi?” Ceng Hun mas ih pura-pura tanya.

nona baju biru itu mengatakan bahwa sekalipun kesadaran pikirannya sudah lenyap, tapi orang orang tawanan itu masih tetap sakti dalam ilmu silatnya, “Mereka tunduk pada perintah dan berani menerjang segala maca m bahaya, Coba bayangkanlah. Kalau beratus ratus jago persilatan yang sakti menyerbu satu partai silat, kecuali Siau lim si, partai mana yang ma mpu me nahan arus serbuan Beng-gak itu?” seru si- nona.

Dia m-dia m Ceng Hun totiang me ngakui kebenaran kata- kata nona itu.

“Di sa mping itu, setiap orang tawanan itu pun telah mendapat pelajaran untuk melo ntarkan senjata rahasia. Antara lain api beracun, pupur, jarum dan lain lain yang kesemuanya di beri racun. Musuh yang bagaimana saktinya pun, tak mungkin terlepas dan tangan guruku….”

nona itu tertawa, lalu berkata pula, “Menilik sikap dan dandananmu, engkau tentu bukan tokoh yang rendah kedudukan, Entah dari golongan mana sajakah?”

Setelah merenung sejenak, Ceng Hun mengatakan bahwa dirinya adalah ketua partai Ceng sia pay yang sekarang.

“Au….maaf, maaf Kiranya seorang ketua persilatan,” seru nona itu.

Ceng Hun totiang mengucapkan kata-kata merendah dan minta nona itu dengan terlalu me muji dirinya.

“Ah, memang bagi pandanganku, seorang ketua persilatan itu bukanlah manus ia yang berlebih-lebihan. Karena di Beng gak, banyak sekali terdapat ketua-ketua partay maupun himpunan persilatan. Aku sudah biasa dengan hal itu….”

Tiba-tiba wajah nona itu mengerut  dingin “Nasibmu, dikuatirkan takkan berbeda dengan mereka. Kecuali apabila engkau mau me luluskan untuk kerja sa ma dengan aku!”

“Menurut keterangmu, sudah berpuluh tahun gurumu mergadakan persiapan itu. Tetapi mengapa sebelum berhasil sudah ke mbali pulang ke Beng gak?” tanya Ceng Hun.

nona itu tertawa dingin, sahutnya, “Baiklah, Akan kuceritakan apa yang kuketahui kepada mu. Toh engkau takkan dapat meninggalkan te mpat ini kecuali engkau mau menyetujui usulku tadi!”

Ia menyingkap rambutnya yang terurai ke-bahu, lalu, “Guruku tak takut pada siapa saja, Sekalipun ke sembilan partay itu bersatu, tetap takkan menang dengan guruku. Didunia ini, hanya seorang yang ia paling  takuti. Ialah terhadap kakek guru Lo-hian. Itulah sebabnya maka  guru cepat cepat menarik mundur anak buahnya dari Siau-lim si ketika tiba tiba mendengar seruling kakek guruku. Hanya aku seorang diri di tinggal disini untuk me mata matai gerak gerik orang Siau hm si!”

Ceng Hun makin tertarik. Ia hendak menyelidiki lebih lanjut rahasia mereka. Maka ia gunakan siasat mengulur kan waktu agar kawan-kawannya datang.

“Jangan jangan suara seruling itu bukan Lo Hian yang meniup?” tanyanya.

“Huh, guruku adalah bukan tokoh sembarangan  sudah tentu ia dapat me mbedakan nada seruling dari kakek guru Lo Hian dengan suara seruling lainnya. Seruling  dari kakek guru itu dapat menyemburkan beberapa maca m paduan nada. Jauh berlainan dengan seruling biasa. Sekalipun bukan kakek guru sendiri yang datang, tetapi yang pasti seruling itu adalah milik kakek guru. Maka gurupun cepat-cepat pulang ke Beng gak….”

“Jika Lo Hian itu benar belum meninggal, apa guna gurumu pulang Ke Beng gak?”

nona itu merenung beberapa saat. Tanyanya, “Jawab lebih dulu, engkau bersedia kerja sama dengan aku atau  tidak? Nanti akan kuberi tahukan hal itu lebih lanjut!”

“Beritahukan    dulu    soal    itu     baru     nanti     pinto me mpertimbangkan setuju atau tidak!”

“Kita bersa ma-sa ma masuk ke Telaga darah  mencari pusaka itu!”

“Hanya terbatas pada sebuah soal itu saja?” Ceng Hun menegas.

nona itu tiba tiba tertawa mengikik, “sudah tentu tak terbatas itu saja!”

“Ingin pinto mendengar penjelasan nona “

Berkata nona itu tanpa ma lu- malu, “Jika engkau bersedia bersamaku mencari pusaka itu tentu aku takkan mengecewakan engkau. Selain akan me mbagi rata pusaka itu, akupun bersedia menyerahkan jiwa dan raga….”

Sungguh tak terduga oleh Ceng Hun bahwa sinona bakal mengucapkan kata begitu. Sesaat terpukaulah ketua Ceng sia pay itu.

“Pinto adalah seorang pertapa. Seumur hidup  takkan menikah,” akhirnya Ceng Hun berkata.

nona itu mendengus dingin, “Huh, sejak dahulu kala hingga sekarang, orang gagah maupun pahlawan mana kah yang tak menga la mi kehidupan ro ma ntis. Aku tak percaya kalau ucapanmu benar-benar keluar dari lubuk sanubarimu.”

“Pinto sejak kecil telah me nghisap ajaran suhu. Tinggalkan debu dunia, menutup  diri dari segala persoalan duniawi, termasuk urusan wanita. Bagaimana nona dapat ge mbira dengan orang se maca m aku!”

Cret, tiba-tiba pedang nona baju merah itu me mapas jenggot Ceng Hun yang memanjang ke dada, lalu berkata “Lebih dulu kupotong jenggot mu baru lalu kuminta engkau berganti dengan pakaian orang biasa….”

Bukan kepalang ce mas Ceng Hun. Dia serentak membentak dengan keras, “Diluar le mbah telah menunggu paderi paderi Siau lim-s i. Asal pinto berseru nyaring, tentu segera mereka datang kemar i.”

“Bentakanmu ini, apakah tak cukup keras? Karena ternyata engkau tiada ber maksud kerja-sa ma dengan aku dan menipuku me mberi keterangan keterangan. Maka tak dapat aku biarkan engkau lagi!” nona itu berbangkit perlahan-lahan lalu me nusuk ke dada Ceng Hun.

Ceng Hun totiang yang sudah siap, segera menghindar kesamping. Tapi karena jalan darahnya masih tertutuk, gerakannyapun lamban. Serempak dengan tertawa mengikik dan nona itu-jubah ketua Ceng-sia pay, itupun pecah dan lolos separuh.

Tapi dikarenakan nona itu mender ita luka dalam yang parah, maka setelah me nusuk dua kali, tubuhnyapun terhuyung dan sesaat kemudian ia muntah darah.

Ceng Hun totiang cepat ayunkan kaki  dan rubuhlah nona itu terpelanting kebelakang. Tapi nona itu masih sadar pikirannya. Begitu jatuh cepat berguling-guling menyerang Ceng Hun.

Pedangnya sudah terlepas jatuh. Ia menyerang dengan tangan kosong dan sedang menderita luka dalam yang parah.

Sedang Ceng Hun totiang jalan darahnya masih tertutuk. Gerakannya tak bebas. Ia tahu sinona merangsangnya, tapi ia tak berdaya menghindar.

Sesungguhnya keadaan nona itu sudah amat parah. Tapi dengan tahan rasa sakit ia tetap menyerbu Ceng Hun totiang. Sekali kedua tangannya menarik, terdengarlah  jubah  Ceng Hun robek besar. Rupanya ia masih belum puas. Ke mbali ia mecobai lagi sa mpai dua kali baru berhenti.

Dengan bersandar pada batu karang dan napas terengah- engah, ia berseru, “Hayo, berteriaklah me manggil kawanan paderi Siau- lim-s i itu….”

Karena jalan darahnya tertotok maka peredaran darah  Ceng Hun totiang tidak lancar. Lengan kirinya terasa sakit. Gerakan menyapu dengan kaki tadi makin menghabiskan tenaganya. oleh karena itulah maka ia tak dapat me mbela diri atau menghindar dari serangan si nona yang merobek robek jubahnya.

Suasana saat itu me mang tak sedap dipandang. Setelah berpikir beberapa saat, Ceng Hun  tak berani berteriak. Keadaannya saat itu benar  benar  me malukan.  Jika  anak mur idnya yang biasanya sangat menghor mat dan patuh kepadanya, melihat keadaannya sudah  tentu  mereka  akan me mpunyai penilaian lain. Kebesaran nama Ceng sia pay dan kewibawaannya sebagai ketua, tentu atau merosot.

Tindakan nona itu ternyata me mberi siksaan yang jauh, lebih hebat dari tusukan pedang, Ceng Hun tak dapat berdaya lagi….

Kembali nona itu melengking dengan perlahan, “Apabila kudengar derap kaki orang mendatangi ke mari, segera akan kutelanjangi dirimu dan akupun akan rebah di sa mpingmu.”

Bukan kepalang terkaget Ceng Hun, “Jika mereka datang mencari kesini sendiri, bagaimana pinto dapat mencegahnya?”

nona itu kembali muntah darah. Perlahan lahan ia mengisar tubuhnya mendekat, serunya, “Aku terluka parah, harapanku tipis. Tetapi aku tak rela mati begini saja….”

Tiba tsba tergeraklah hati Ceng Han. Ia menawarkan bantuannya untuk mengobati.

“Bagus, dengau begitu kita nanti dapat bersama-sama masuk ke Telaga – Darah me ncari pusaka….”

“Jika pinso tak suka pergi?”

“Biarlah kawanan paderi Siau- lim si menyaksikan dirimu telanjang tidur bersanding dengan wanita cantik. Dan biarlah anak murid Ceng sia pay menyaksikan t ingkah laku gurunya yang tak senonoh!”

Ssbagai seorang ketua dari sebuah partai yang ternama. sudah tentu Ceng Hun harus menjaga gengsinya…. Ia tak mau dirinya   dipergoki   dalam   keadaan   yang   begitu   a mat me ma lukan.

Akhirnya tiada jalan lain dari pada menerima syarat yang di ajukan si nona. Ia menghela napas, ujarnya, “Baiklah,  buka duiu ja lan darahku, baru  nanti  akan  kubantu  mengobati luka mu.” nona itu tertawa girang, “Ucapanmu itu terbalik. Engkau yang mesti lebih dulu me ngobati  lukaku,  baru  aku  dapat me mbuka ja lan darahmu!”

“Pinto percaya ucapan nona!” tanpa ragu lagi ketua Ceng sia-pay itu segera mengambil sebuah botol kuma la dan menuang dua butir pil putih, “Minumlah  pil ini untuk menenangkan darahmu. Setelah itu baru minum obat penyembuh luka!”

Tanpa ragu ragu lagi nona itu terus menelan kedua pil itu. Sambil pejamkan sepasang matanya,ia berkata “Di dalam Telaga Darah itu, tersimpan harta pusaka yang tak ternilai dan obat obat yang mujijat dari Lo Hian….”

Tiba-tiba nona itu me mbuka mata. Dua titik air mata menetes turun. Dengan nada yang penuh haru, ia berkata, “Cobalah pandang aku dengan seksama. Apakah aku ini cantik atau tidak?”

Perubahan sikap nona itu, sukar di duga. pertanyaan semaca m itu, tidak pernah di duga Ceng Hun totiang. Hanya karena pertanyaan itu di tanyakan dengan nada mesra, menyebabkan Ceng Hun sungkan menola k. Di pandangnyalah wajah si nona.

Wajahnya cantik berseri. Pada raut wajahnya yang berkulit putih, alis hitam mekar, bola mata bersinar dan bibir merah merekah. Dalam keadaan luka yang separah itu, masih wajahnya tetap menampilkan kecantikan  dari  bunga  yang  me kar di mus im semi….”

“nona me miliki kecantikan yang sukar dicari tandingannya….” akhirnya Ceng Hun totiang berseru perlahan.

nona itu tersenyum rawan, “Sekali aku tinggalkan Beng-gak atau berani mengkhianati guruku, dalam waktu tiga bulan, wajahku yang cantik ini segera akan lenyap dan berganti dengan wajah seorang nenek yang penuh keriput.” “nona mas ih muda, bagaikan bunga mula i mekar. Bagaimana dalam beberapa hari saja dapat berubah msnjadi seorang nenek tua?”

“Justeru itulah yang hendak kuberitahukan kepada mu!” “Pinto bersedia mendengarkan,!”

“Kakek guruku Lo Hian itu, walaupun di puja ssuagai  manus ia luar biasa. Tapi kepandaiannya selalu meninggalkan bencana besar pada manusia. Sebagai pewaris dari  kakek guru, gurukupun me miliki kepandaian ilmu  obat-obatan. Tetapi guru seorang yang penuh kecurigaan. Sekalipun terhadap diriku yang sudah menjadi mur idnya sejak kecil, tapi dia tak mau percaya seluruhnya. Untuk itu ia punya rencana menundukkan murid muridnya. Kami di berinya  minum semaca m pil. Menurut katanya pil itu dapat merubah wajah kami menjadi cantik. Dan me mang benar. Setelah  minum obat, kulitku menjadi  lebih halus, wajah bertambah cantik sekali. Tetapi sebenarnya kami telan ter minum racun. Setiap tiga bulan harus minum obat itu lagi. Jika tidak wajah ka mi akan layu dan me ngeriput tua!”

Ceng Hud termenung beberapa saat, ujarnya” “Memang dalam ilmu obat-obatan, hal itu bukanlah mustahil!”

“Ketika suhu me mberi tahu hal itu, Ka mi bere mpat saudara seperguruanku tak percaya. Kami anggap suhu hanya main gertak untuk menakut nakuti muridnya.  Aku dan Sam moay, Si- moay, karena masih kecil, Sekalipun tak percaya tetapi tetap me minum obat itu. Hanya Toa suci ka mi diam diam telah menyimpan obat itu dan tak digunakannya!”

Bicara sampai disini, napas nona itu me mburu keras sehingga tak dapat me lanjutkan kata katanya.

Saat itu tampaknya Ceng Hun totiang tertarik akan penuturan si nona. Maka bertanyalah ia dengan serentak, “Apakah toa toa suco itu segera berubah menjadi seorang nenek tua?” “Dengan mata  kepala sendiri ku saksikan bagaimana wajahnya yang semula segar seperti bunga mekar itu, tiba- tiba berobah layu pucat dan penuh dengan kwriput-keriput, Kemudian kulitnyapun berubah menjadi kuning kehitam- hitaman. toa suci gugup dan buru buru menelan obat itu!”

“Seteluh minum obat, apakah wajahnya muda kembali?” tanya Ceng Hun.

“Tidak! Sekalipun sudah me minum habis obat itu semua, wajahnya tetap layu dan tak dapat menjadi muda lagi. Karena kehilangan kecantikannva, toa suci menangis sa mpai sehari semala m….”

“Mengapa suhumu tak me nolongnya?”

“Mengapa tidak!” sahut sinona, “toa suci mengajak kami bertiga menghadap suhu. Dengan berlutut dan meratap ratap kasihan sampa i setengah hari, toa suci me mohon a mpun kepada suhu. tetapt suhu tetap diam saja. Karena putus asa toa suci menga mbil keputusan bunuh diri. Pada detik detik terakhir, ia masih sempat berpesan dan minta kepada kami bertiga, supaya mengenangkan wajahnya yang dahulu….”

“Seorang gadis yang cantik kemudian tiba tiba berobah menjadi seorang nenek yang jelek sudah tentu mender ita goncangan batin yanh hebat,” kata Ceng Hun totiang.

nona baju merah me mandang kepada ketua Ceng sia-pay itu, ujarnya pula, “Walaupun menerima pesan toa-Suci, tetapi yang me mbekas dalam kenangan ka mi bertiga saudara, hanyalah toa-Suci yang berwajah buruk. Sesungguhnya toa suci seorang yang baik budi.  Ketika  masih  hidup,  toa  suci me mbimbing kami bertiga supaya hidup rukun dan tolong meno long. Tetapi sejak ia meninggal, kami bertiga menjadi terpecah belah. Masing masing berusaha untuk menga mbil muka pada suhu. Dengan demikian la mbat laun persatuan dan ikatan persaudaraan kami bertiga menjadi renggang. Tampaknya kedua su moayku itu menghor mati aku. Tetapi dalam hati mereka, mengandung dendam kebencian kepadaku. Jika mungkin, masing mas ing menginginkan supaya yang lain dihukum mat i oleh suhu!”

“Diantara sesama saudara seperguruan mengapa harus saling bunuh me mbunuh, celaka mencelakai?” kata Ceng Hun totiang.

nona baju merah melanjutkan pula ceritanya, “Sejak Sam sumoay me mbantu kekasihnya lolos dari Beng gak, hal itu diketahui dan dilaporkan jie-sumoay kepada suhn. Sejak peristiwa itu, hubungan ka mi bertiga ma kin me mburuk. Sam sumoay me mang paling disayang suhu. Tetapi karena berani me mbantu pe muda itu, suhu menjatuhkan hukuman suruh dia loncat ke dalam perut gunung berapi. Kini kee mpat saudara seperguruan itu, hanya tinggal aku dan jie su- moay berdua….”

Sepasang mata nona itu tiba-tiba me mancarkan  sinar dendam  kebencian  yang   menyala-nyala,   ujarnya   pula, “Ke mudian jie-sumoay yang berhati penuh dengki dan ir i hati itu, tumpahkan kedengkiannya kepadaku. Di hadapan suhu ia sembur kan lidahnya yang berscun untuk mencela kai diriku. Ia mengatakan kepada suhu bahwa aku diam-dia m telah bersekongkol dengan sam-sumoay untuk berontak. Celakanya, suhu percaya saja. Suhu juga mencuriga i aku, ma ka aku diperintahkan supaya tinggal disini dan mela kukan penyelidikan ke gereja Siau lim-s i. Suhu tak menetapkan berapa lama aku harus pulang dan tidak pula member i obat pil lagi. Padahal, menurut peraturan, kira-kira sebulan lebih sedikit, aku harus minum obat itu lagi. Jika tidak, ah….”

“Oleh karena itu maka engkau ingin lekas-le kas masuk ke Telaga Darah mencari peninggalan Lo Hian agar engkau dapat menjaga kecantikan wajahmu, bukan?” seru Ceng Hun totiang.

“Jika tidak  me mpunyai  tujuan,  masakan  aku  berani mene mpuh bahaya sedemikian besar? Dengan tak sengaja, kebetulan pernah kudengar suhu mengatakan bahwa kakek guru Lo Hian telah me mbuat lima butir pil mukjijad. Hanya pil mujizad itulah yang dapat menghindarkan kami dari bencana pil pengawet muda dari Suhu itu….”

Ceng Hun mengeluarkan dua butir pil dan diberikan kepada si nona, “Cobalah engkau menelan pil ini dan kerahkan pernapasan. Rasakan apakah lukamu bertambah baik atau tidak. Pinto percaya pil buatan Ceng sia pay ini tentu dapat mengobati luka mu. Tetapi daya kekuatannya tergantung dari tinggi rendahnya Iwe- kang seseorang.”

Begitu menyambut pil, sinona terus menelannya. Katanya, “Sekalipun lukaku parah, sekali asal aku dapat beristirahat selama tiga hari tentu akan se mbuh. Yang penting sekarang ini adalah keputusanmu. Engkau setuju atau tidak bersama sama aku mencari pusaka itu ke Telaga Darah….”

Ia berhenti dan berpaling kearah tabib Gan Leng poh, “Dunia persilatan mengatakan bahwa dia me mpunyai hubungan guru dan murid dengan Lo Hian. Oleh karena itu hendak kubawanya serta kesana….”

Ceng Hun tertawa dingin, “Sekian la ma nona berbicara tentang Telaga-darah, tetapi apakah nona tahu letak tempat itu?”

“Mengapa tidak?” Sahut nona itu, “mungkin dalam dunia hanya  aku  seoraag  yang  tahu  tempat  itu.  Hm,  jika  tak me mpunyai pegangan, masakan aku berani bicara sembarangan?”

Ceng Hun tertarik juga.

“Jika nona dapat mengatakan sehingga menimbulkan keyakinan pinto. pinto pasti akan me ne mani nona kesana!” katanya.

“Soal itu menyangkut nyawaku, bagaimana aku berani bergurau!” sahut si nona. Kemudian ia menge luarkan sehelai peta sutera. Katanya; “Silahkan engkau me lihatnya!”

Ceng Hun berkilat-kilat me mandangnya “Pinto  me mang pernah  mendengar  tentang  peta  itu.  Kabarnya  peta   itu me mang ciptaan Lo Hian. Entah aseli atau tidak….Eh, kalau sudah la ma miliki peta itu, mengapa sejak dulu nona tidak mencari kesana?”

Si nona tertawa dingin, “Hmm jika dari dulu peta itu sudah ditanganku, dunia persilatan tentu tak seperti sekarang keadaannya!”

“Ah. nona bicara benar!” sahut  Cang  Hun  totiang  terus me mandang peta itu dengan lekat.

Ssbuah peta yang penuh dilingkari dengan silang  silang garis hitam. Ada yang tebal ada yang tipis sepintas pandang seperti benang ruwet. Ditengah peta itu terdapat sebuah titik putih dan beberapa deret huruf yang berbunyi:

“Tiga puncak melingkup pusaka Lima binatang ganas menjaga pil Angin jahat, hawa me mbara

Terjal, peluh, penuh bahaya Rahasia besar jaman purba Dilarang se mbarang mengangkara Berarti masuk Telaga Darah Jangan penasaran remuk binasa.”

“Apakah peta itu benar ditulis Lo Hian?” tanya Ceng Hun beberapa saat kemudian.

“sudah tentu!” sahut sinona, “jika lain tak mungkin dapat menulis rangkaian kata kata yang sehebat ini….” cepat cepat menyimpan peta itu lagi lalu bertanya, “Apakah sekarang kau percaya keteranganku?’”

“Sekalipun punya peta, tapi tetap belum jelas di mana letak tempat itu. Apakah kita harus mencari kesegenap penjuru dunia? Bukankah seperti orang mencari jarum didalam laut?” Sahut sinona baju merah  dengan tandas “Sebelum mendapatkan peta ini, me mang aku tak tahu dimana letak Telaga Darah itu. Dan aku pun tak percaya akan desas desus itu. Tapi setelah me miliki peta ini, kpercayaanku timbul sepenuhnya. Bukan saja didunia me mang terdapat tempat yang disebut telaga darah, pun tempat itu aku paham letaknya.  Maka  dalam  usaha  mencar i  te mpat  itu,   aku me mpunyai keyakinan tentu berhasil.,”

Agaknya Ceng Hun  tertarik oleh kata kata nona itu, serunya, “Dimanakah te mpat itu?”

“Ini? Ah, asal kau setuju untuk me mbantu aku, tentu akan kubawa ka mu kesana!”

Ceng   Hun  totiang   katupkan   mata,   katanya    sesaat ke mudian, “Ah, hatiku yang setenang air telah nona aduk aduk. Tek kiranya kalau dua hal Nama dan Keuntungan itu benar benar suatu hal yang menguasai hati manus ia. Sebelum muk swa (meninggal) suhu pesan kepada pinto agat didalam menghadapi persoalan yang pelik harus menimbang sa mpai masak,  baru   me mutuskan-Kasihlah   waktu   untuk   pinto me mikirkan hal itu, baru nanti pinto dapat memberi keputusan setuju atau tidak!”

“Tak perlu banyak pikir!” tukas sinona, “keadaan saat ini  tak me mbenarkan engkau harus banyak pikir lagi! Yang kita hadapi adalah dua pilihan antara hidup dan mati!”

Tetapi ketua Ceng sia-pay itu tetap pejamkan mata dan tak menghiraukan kata-kata sinona.

Keadaan dalam le mbah itu hening senyap.

Ketika siona berpaling me mandang Gan Leng poh ternyata tabib yang pikirannya berubah gila itu tengah me mandangnya juga dengan terlongong- longong.

Sinona terkesiap. Ia agak heran melihat pancaran  mata tabib itu. Jika beberapa waktu tadi tampak berkeliaran seperti me mber ingas, tetapi saat itu mata sitabib mula i tenang dan me mancarkan sinar.

“Huh, apakah kesadaran orang itu dapat pulih kembali?” diam diam ia me mbatin.

Serempak me mungut pedang ditanah, mata  nona itu berkilat kilat me mancarkan sinar pembunuhan. Sekali mulut Ceng Hun mengatakan tak bersedia pergi, ia segera akan menabasnya. Setelah itu Siu lam, Hian-Song dan Gan Leng-po akan dibunuh se mua….

Tiba tiba tampa k mulut Ceng Hun  totiang merekah senyuman dan matanya terkatup terbuka lalu dipeja mkan lagi, serunya, “Pinto me luluskan permintaanmu!”

nona itu menya mbut dengan tertawa dingin, “Memang sudah kuduga engkau tentu me luluskan!”

“Eh, bagaimana engkau dapat menduga begitu?” Ceng Hun totiang heran.

“Kalau tak percaya bahwa seseorang itu tak sayang akan jiwanya…. “

Ceng Hun mendengus dingin, “Pinto me mberanikan  diri me langgar anggapan umum, untuk me luluskan permintaan nona mencari Telaga darah itu. Tetapi tujuan kita masing masing berbeda!”

“Dalam hal apa?”

“Tujuan pinto itu. pertama, untuk mengungkap rahasia yang menyelimuti diri Lo Hian agar dunia persilatan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dan kedua, dan benda benda peninggalan Lo Hian itu, pinto hendak meyakinkan tentang ilmu obat-obatan untuk meno long umat nanusia!”

nona itu tertawa, “Hm, se mudah itukah? Baik. jika nanti mene mukan resep resep tentang pengobatan. tentu akan kuserahkan kepada mu!” “Nah, seharusnya engkau me mbuka jalan darahku yang masih tertutup ini,” kata Ceng Hun

“Bagaimana aku dapat me mpercayaimu?”

Mendengar itu merahlah wajah Ceng  Hun,  “Sekali  pinto me luluskan, tentu takkan menyesal. Jika engkau mas ih begitu banyak kecurigaan, perlu apa minta pinto meluluskan permintaan mu.”

nona itu tertawa, “Mengapa engkau ribut-ribut! Dalam hidupku, kecuali toa suciku yang sudah meningga l itu, aku tak pernah me mpercayai orang lagi. Bukankah kita  baru saja kenal? apakah engkau hendak me ma ksa aku supaya percaya penuh kepada mu?”

Cret…. sekonyong konyong nona itu gerakan pedangnya me mapas ra mbut Ceng Hun yang panjang.

Ketua Ceng-sia-pay itu menyadari bahwa nona itu sudah hampir separoh sembuh dari lukanya. Jika ia menangkis, tentu akan terbunuh. Maka ia diam saja.

nona itu tertawa, “Sekarang tentu tiada orang yang mengenali dirimu lagi!”

Ceng Hun totiang hanya menghela napas, “Tentunya sekarang engkau mau me mbuka jalan darahku.”

nona itu gelengkan kepala, “Tidak, masih ada dua buah syarat lagi. Setelah engkau meluluskan barulah kubuka jalan darahmu!”

“Katakanlah!”

“Sebelum masuk ke Telaga Darah itu, jangna mengatakan hal itu kepada siapapun juga!”

Ceng Hun kerutkan dahi, sahutnya, “Baiklah. lalu yang kedua?” “Sela ma dalam perjalaaan, engkau harus menurut perintahku Bersumpahlah lebih dulu bahwa engkau akan mentaati ke dua syarat itu, baru kubuka ja lan darahmu!”

“Bagaimana sumpah yang harus kulakukan?” “Masakan bersumpah saja harus perlu aku ajarkan?”

Kata Ceng Hun, “Seumur hidup, pinto selalu pegang kata. Belum pernah orang tidak percaya padaku apalagi suruh aku bersumpah”

“kali ini engkau harus melanggar kebiasaan itu,” si nona baju biru tertawa, “engkau harus bersumpah begini: Ceng Hun totiang ketua Cing Sia pay dengan ini bersumpah  akan menurut permintaan dari Ba Ang ngo. Jika sampa i melanggar, biarlah di tumpas oleh langit dan bumi,”

Ceng Hun totiang merenung beberapa saat,  Akhirnya  ia me lakukan sumpah itu juga.

Ba Ang-ngo tertawa gemerincing, “Sejak saat ini  kita  berdua menjadi sababat yang saling me mbagi suka dan duka”

“Adalah karena keadaan me maksa ma ka pinto melakukan hal ini. Tetapi kerja sa ma kita ini hanya terbatas sampai pada mencari pusaka itu. Urusan Telaga-Darah sudah selesai, kita ke mbali kejalan masing masing. Jika hendak me ma ksa pinto menyertai engkau berkecimpung dalam debu kotoran dunia, pinto lebih baik mati sekarang saja!”

Bi Ang ngo tertawa., “Sejak dahulu kala sa mpai sekarang, entah berapa banyak orang gagah yang jatuh dalam le mbah asmara Aku tak percaya kalau engkau seorang manusia yang berhati baja. JiKa engkau yakin takkan terpengaruh oleh kecantikanku. Setelah peristiwa Telaga Darah selesai, tentu kubebaskan engkau ke mba li ke asalmu lagi!”

Nada nona itu sangat yakin sekali. seolah olah orang sudah berada didalam gengga mannya. Setelah tertegun sejenak, ia turunkan pedangnya dan berkata dengan nada yang lembut, “Lekas kerahkan hawa- murni, akan kubuka jalan darahmu itu”

Dan mulailah nona itu menutuk dan mengurut jalan darah Ceng Hun yang yang tertutuk.  Ketua  Ceng  sia-pay  itu  mera mkan mata dan kerahkan peredaran darahnya. Serangkum hawa harum me mbaur hidungnya terus menyusup kedalam hati. Dan telinganya menangkap suara hembusan napas yang halus….

Sejak kecil Ceng Hun sudah masuk menjadi ima m. Sekalipun sudah me miliki latihan yang kuat. tetapi pada saat itu tak urung hatinya berguncang keras, untunglah buru buru ia menyadari apa yang telan terjadi dan segera tenangkan semangatnya.

Kira kira seperminum teh la manya, barulah jalan darah yang tertutup itu mulai lancar lagi.

“Jalan darahmu sudah lancar. lekas kerahkan peredaran darah dan marilah kita lekas berangkat!” tiba-tiba Ba Ang ngo berseru.

Ceng Hun  me lakukan   perintah  itu.  Ternyata  lukanya me mang sudah nor ma l ke mba li, Beberapa saat kemudian barulah ia me mbuka mata.

“Bagaimana dengan kedua anak muda itu?” tanyanya seraya berpaling me mandang kearah Siu lam dan Hian song.

“Lebih baik di bunuh saja? daripada menimbulkan  bahaya di ke mudian hari!” Sahut Ang ngo.

Ceng Hun terkesiap. Diam ia me mbatin “nona itu terlalu ganas sekali. Apa yang dia katakan tentu di laksanakan. Saat itu kedua anak muda itu sedang dalam keadaan tidak berdaya. Jika nona ini benar benar bertindak, mereka berdua tentu binasa. Jika kutentang, kemungkinan nona itu malah akan marah. Lebih baik kugunakan siasat untuk melindungi kedua pemuda itu”

Ia segera tertawa hambar, “Dalam perjalanan ke Telaga Darah kali ini, kita tentu akan menghadapi banyak bahaya. Kedua anak muda itu me miliki kepandaian yang tinggi. Jika dapat membawa mereka ikut serta tentu dapat membantu usaha kita.”

Ang-ngo Termenung beberapa saat,  kemudian  katanya, “me mbawa mereka, me mang dapat me mberi bantuan kepada kita. Tetapi jika mereka tersadar dan tak mau tunduk, tentu akan menimbulkan banyak kesulitan.”

“Ah, ketua Beng gak mahir sekali dalam ilmu racun. Tentunya engkau juga me mbekal obat yang dapat me mbuat kesadaran pikiran mereka….”

Ba Ang ngo tersenyum, “Sayang obat itu sudah habis. Tetapi aku me mpunyai daya agar mereka tak dapat melawan lagi!”

“Dengan cara bagaima na?”

Ang ngo berbangkit dan mengeluarkan seutas tali sebesar jari kelingking, “Hendak kuikat mereka lalu kututuk jalan darah lengan kanannya, kemudian kupaksa mereka minum obat racun. Tak mungkin mereka dapat melawan lagi!”

Karena kuatir kalau mencegah dapat menimbulkan kecurigaan nona itu, maka Ceng Huu diam saja.

Ang ngo segera mengikat lengan Siu lam dan lengan kiri Hian song jadi satu. Kemudian ia berpaling kearah Gao leng noh dan berkata seorang diri, “Diapun harus diikat juga!”

“Bagus, kalau diikat bertiga, tentu sukar merontah lagi ” seru Ceng Hun  totiang,  tapi  tali  itu  begitu  kecil,  apakah ma mpu me mbuat mere ka tak berdaya?” Ang ngo tertawa, “Tak apa. Tali ini bukan se mbarang tali.

Sekalipun ditabas dengan pedang pusaka, tak nanti putus!”

Dengan cepat Aag ngo telah memikat, ketiga orang itu jadi satu. Setelah itu ia berdiri dan berkata, “Mari, kita berangkat!”

Ia mengeluarkan obat pemunah dan disusupkan kehidung Siu-la m dan Hian song, Kemudian menutuk jalan darah kedua anak muda itu.

Terdengar Hian song menghe la napas dan ia sadar lebih dulu. Oleh karena jalan darah Seng-si-hian-kawannya sedah terbuka maka dia me miliki perasaan yang lebih tajam dan orang biasa. Begitu ia me mbuka mata, cepat cepat ia duduk.

Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa dai dari  arah belakang me landa serangkum hawa dingin kearah kedadanya.

Hian song me miliki indra dan reaksi yang luar biasa cepatnya. Sambil duduk ia me la mbang keatas dan tamparkan tangan kanannya ke belakang.

Tapi auh….ia mengeluh karena tangan kanan terasa sakit sekali. Kini baru ia menyadari bahwa lengan kirinya telah ditutuk orang dan diikat Mau tak mau dara itu jatuh terduduk lagi.

Ketika menga mati, ternyata leher dam lengan kiri  diikat oleh seutas tali dan dihubungan dengan tubuh Siu la m. Dan karena gerakan Hian Song itu. maka Siu lampun terbangun. perlahan lahan anak muda itu me mbuka matanya.

Sejak beberapa waktu mengalami peristiwa peristiwa yang bebat, Siu lam me miliki pandangan yang luas tentang bencana bencana yang terdapat dalam dunia persilatan. Dalam menghadapi sesuatu, ia dapat bersikap tenang, tidak lekas lekas ketakutan.

Lebih dahulu ia me mandang kesekeliling- nya. Lalu pelahan lahan duduk, Dipandangnya Hian Song dan menghela napas pelahan, ujarnya, “Kapan engkau datang?” Pertanyaan singkat itu penuh bernada keharuan.

Belum Hian-Song menjawab. Ang ngo sudah menyeletuk, “Bahu kanan kalian telah kututuk dan kuikat kalian dengan tali ulat sutera. Ikatan pengencang tali tepat pada jalan darah yang kututuk. Asal kutarik tali itu, lengan kiri kalian tentu lunglai. Meskipun kalian me mpunyai sepasang lengan, tetapi seperti lumpuh….”

Siu-la m alihkan pandang matanya kepada mur id kedua dari Beng gak yang berna ma Bu-Ang ngo itu.

“Apa maksudmu mencela kai ka mi berdua?” tegur Siu- la m. “Engkau keras kepala sekali!” sahut Ang-ngO, “jika mau

saat ini dapat kubunuh kalian berdua!”

“Bunuhlah! Mati lebih enak daripada menderita siksaan begini,” jawab Siu la m.

Ang-ngo tertawa, “Ah, kali ini engkau salah duga….”

“nona menyadari bahwa dalam perjalanan mencari pusaka ke Telaga Darah, tentu akan menghadapi berbagai bahaya. Maka kalian diminta untuk ikut me mbantu kesana. Begitu sudah masuk kedalam tempat itu, kalian  tentu akan di lepaskan. Tiada lain pilihan lagi, harap kalian menimbang semasak masaknya dan menga mbil keputusan!” seru Ceng Hun totiang.

Siu-la m terkesiap. Rasanya ia tak asing dengan nada suara orang itu. Tetapi ia lupa entah dima na.

Kiranya setelah jubah dan rambutnya di gunduli Ang ngo, Ceng Hun totiang benar-benar bersalin menjadi seorang manus ia baru. Seorang ketua sebuah partay persilatan yang termasyur, saat ini keadaannya sungguh mengenaskan.

Sekarang tak dapat mengenal Ceng  Hun  totiang,  tetapi dia m-dia m Siu- lam dapat mengerti ucapannya. Akhirnya ia me mutus kan. Ia harus berani mener ima kenyataan saat itu dan ikut serta pada mereka. Mudah mudahan  dalam perkembangan selanjutnya, akan muncul kese mpatan dimana ia dapat merubah keadaannya

Ba Ang-ngo girang karena Siu lam me mutuskan. nona itu tak sampai hati untuk me mberi kedua anak madi itu racun pembius lagi.

“Lebih baik. kita segera berangkat!” Ceng Hun menyeletuk dan bahkan terus berbangkit.

Karena melihat Siu lam tak mengadakan perlawanan, Hian- songpun tak mau berontak.

“Apakah kita akan mengikuti perjalanan mereka?” tanyanya bisik bisik, Siu-la m banya mengangguk.

Bagi Siu-la m, bahaya yang dihadapinya saat itu, bukanlah bahaya yang luar biasa. Ia pernah menghadapi bihaya yang jauh lebih hebat dari keadaan saat itu. Yang penting, selama masih dapat me melihara jiwa, tentulah masih ada harapan untuk me loloskan diri. Sekalipun lengannya tertutuk, tetapi tenaganya masih utuh. Dan lagi pula iapun tertarik juga akan kepergian Ang ngo ke Telaga Darah.

Belum berapa la ma kee mpat orang itu tinggalkan le mbah. Muncul ro mbo ngan Tay Ih Siansu dengan Tek Cin, Ciok Sam kong, Cau Yan hui, Tio Gan dan lain lain kele mbah situ.

Karena menunggu sa mpai sekian la ma belum juga Ceng Hun totiang muncul dari le mbah, Cau Yan hui segera ke mba li masuk kedalam gereja dan me laporkan hal itu kepada Tay Ih siansu.

Dalam perist iwa yang sepenting itu. tak berani Tay Ih siausu bertindak seorang diri segera ia mengundang Tek Cin, Ciok Sam kong untuk berunding. Dan oleh karena hal itu menyangkut partay Ceng sia-pay, maka Tay Ih siansu pun mengundang mereka. Tio Gan mewakili gurunya. Dalam perte muan itu, Cau Yan hui segera menuturkan peristiwa Ceng Hun totiang menyelidiki kedalam le mbah- Tetapi saat itu tak kunjung muncul lagi.

Mendengar gurunya lenyap, Tio Gan serentak menyatakan hendak me masuki le mbah itu.

Setelah ketemu batunya, sesunguhnya Ciok Sam kong tak berani gegabah lagi. Tetapi ia ma lu kalau mengunjuk sikap ketakutan. Ia ikut juga.

Tay Ih siansu menjaga gengsi gereja Siau lim si. Jika ia tak berniat ikut masuk kele mbah, selain menyesal terhadap Ceng Hun totiang, pun ia kuatir partaynya Gereja Siau-lim-si akan di tertawakan orang. Akhirnya iapun bersedia turut,

Demikian halnya dengan Thong soh Tek Cin. Walaupun dalam hati tak senang akan peribadi Ceng Hun, tetapi karena sekalian orang akan pergi kedalam le mbah, iapun  terpaksa ikut juga.

Karena  mence maskan  kesela matan  suhunya,   Tio Gan me mpe lopori menerjang kedalam le mbah. Dan ketika melihat pemuda itu tak kurang suatu apa, Ciok Sam kong dan kawan- kawannya segera masuk kedalam lembah.

Kiranya obat bubukan yang dipasang dimulut le mbah oleh Ang ngo, telah berhamburan lenyap karena dihe mbus angin. Itulah sebabnya maka rombongan  Tay Ih tak menjumpai barang sebuah bahaya apapun.

Karena rumput dalam le mbah itu tumbuh setinggi pinggang orang, Tio Gan kuatir kalau mus uh bersembunyi disitu Maka ia cepat mencabut pedang dan me mbabati rumput rumput itu sambil berteriak me manggil suhunya.

Tetapi hanya kumandang suaranya yang bergemuruh dari empat penjuru.

Kata Tay Ih siansu, “Lembah tandus ini luasnya belasan tombak persegi. Ceng Hun to hong tentu sudah mendengar panggilanmu itu. sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa Ceng Hun ke mungkinan besar tentu terancam bahaya. Tetapi ia sungkan untuk menyampa ikan berita duka itu. Karena tak tahu apa yang harus di lakukan, terpaksa Tay  Ih Siansu tak me lanjutkan ucapannya. 

Ketua Siau-lim-s i pun sependapat. Rumput rumput liar yang setinggi perut manusia itu segera dibabati sampai bersih. Pada saat Tay Ih Siansu gunakan tongkatnya untuk bantu menyingkap gerumbul rumput.  Tiba-tiba  sebatang  pedang me layang keudara dari gerumbul rumput.

Dengan tangkas, Ciok Sam Kong menyambut pedang gelap utu. Sedang Tio Gan terus loncat kemuka diikuti Tay Ih siansu. Thong soh Tek Cin.

Disa mping sebuah batu besar, rumput rumput banyak yang rebah. RAmbut kepala dan ra mbut jenggot berha mburan diatasnya.

Tio Gan berjongkok me meriksa gerumbul rumput dibalik batu besar itu. Tay Ih Siansu dan Ciok Sam Kong  pun mengha mpiri. Dilihatnya anak muda dari Ceng sia Pay itu tenang me mer iksa dengan teliti tanah sekitar batu besar itu.

“apa yang kau lihat?” tegur Tek Cin.

Murid Ceng sia pay itu berbangkit  perlahan-lahan, sahutnya, “Syukurlah guruku belum tertimpa bahaya!”

“Dari mana kau tahu?” Tanya Ciok Sam kong.

“Dibawah batu itu suhu telah tinggalkan pertandaan rahasia dari partay kami. Sudah tentu kuketahui artinya.” sahut Tio Gan.

“Dalam tanda rahasia itu, selain mengatakan tak mender ita bahaya, apalagi yang guru sicu berikan kepada sicu?” tanya Tay Ih siansu.

“Suhu me mberi petunju ke mana ia pergi!” “kalau begitu, baiklah kita segera menyusulnya.” kata ketua Siau lim si.

Thian Ce totiang mendukung pernyataan Tay Ih siansu itu. “Dalam pada me mberi petunjuk arah yang ditujunya itu,

suhupun menyelipkan beberapa patah kata-kata rahasia….”

“Apakah itu? Lekas katakan! Hm, engkau seorang anak muda, tetapi mengapa sudah menuntut kebiasaan menyimpan rahasia!” tegur Ciok sam kong.

Mengingat keadaan gurunya  terpaksa  Tio Gan  menekan ke marahannya. Kembali ia berjongkok dan me mer iksa lagi beberapa jenak. Setelah itu ia menerangkan, “Dalam pesan rahasia itu, suhu mengatakan bahwa rombongan yang akan menyusulnya jangan lebih dari lima orang saja….”

“Apa sebabnya?” seru Tek Cin.

“Maaf, dalam hal ini, wanpwe tak mengetahui apa yang di maks udkan,” jawab Tio Gan.

Mendengar penyahutan itu, tiba-tiba Thian Ce totiang tertawa nyaring, “Bagus! Setiap langkah dan gerak-gerik Ceng Hun toheng, tampaknya disertai dengan perhitungan. Tay Ih siansu, Ciok dan Tek berdua lo cianpwe, serta Can toyu, pinto dan orang yang menunjukkan jalan, bukankah tepat sekali berjumlah enam orang? Bukankah Ceng Hun totiang bermaksud agar kita  jangan  me mbawa  serta  anak  anak mur id?”

“Benar,” kata Tay Ih siansu, “memang Ceng Hun toheng seorang yang cermat. Dia tentu memperhitungkan kekuatan orang yang hendak di kejarnya itu!”

“Masakan kita menurut perintahnya saja?” Ciok Sa m- kong menyeletuk.

“Bukan begitu,” cepat Cau Yan hui menanggapi, “Dengan mata kepala sendiri kusaksikan bahwa Ceng Hun toyu itu masuk ke dalam le mbah. Jika dia mengajukan per mintaan ini, tentulah bukan tiada dasarnya. Rasanya apabila kita berenam menyusul, sekalipun berhadapan dengan musuh tangguh, tentu dapat mengatasi juga!”

“Eh, bukan aku takut. Tetapi dengan  menuruti petunjuknya, bukankah kita akan kehilangan harga sebagai ketua partai persilatan?” bantah Ciok Sam kong.

Thian Ce totiang dari partai Kun lun pay mendukung Cau Yan- hui ketua Tia m-jong pay. Ia menyatakan bahwa pada saat itu hendaknya dengan menonjolkan kedudukan diri masing   mas ing.  Dia   percaya   Ceng   Hun   tentu   sudah me mperhitungkan kekuatan lawan.

Juga Tay Ih Siansu mendukung. Akhirnya Ciok Sam kong terpaksa mengalah. Ke mudian ia menatap Tio Gan dan berseru dengan nada bengis “Urusan ini penting sekali. Harap engkau jangan ma in- main!”

“Sandi rahasia dari partaiku, masakan aku tak tahu. Harap lo-cianpwe jangan sangsi,” Sahut anak muda itu.

Tay Ih siansu mengusulkan supaya segera berangkat saat itu juga. Dan larilah Tio Gan menur ut arah petunjuk yang di berikan suhunya. setelah me mesan kepada dua orang paderi, Tay Ih siansu segera menyusul. Rupanya Tio Gan tak mau unjuk kele mahan di hadapan para cianpwe dan ketua partai- partai persilatan. Ia kerahkan tenaga lari sekencang- kencangnya. Dalam beberapa kejap saja, dia sudah mencapai jarak dua puluh li.

Rupanya Ciok Sim kong mas ih me menda m rasa tak puas terhadap partai Ceng sia pay

“Berhenti dulu.” tiba tiba tokoh tua Swat san pay itu  berseru kepada Tio Gan, “apakah sela ma dalam perjalanan ini engkau masih mene mukan tanda rahasia dari gurumu?” Tio Gan berhenti dan berpaling; “Tidak, tetapi wanpwe percaya tentu tidak salah jalan. Tanda rahasia yang di tinggalkan Suhu itu, jelas sekali. Yang salah adalah lo cianpwe mengapa tak mengerti tanda tanda itu!.”

Karena masih muda, Tio Gan mas ih berdarah panas dan tak tahan lagi mendengar ucapan tokoh Swat-san-pay itu.

Karena tak menduga, Ciok Sam kong tertegun. Tetapi karena Tio Gan dapat mengatur kata katanya sedemikian  rupa,   ia   tak   berbuat   apa   apa   untuk    menumpahkan ke marahannya, ia menghantam sebuah batu besar. Bum….! Puncak batu yang menonjo l, berha mburan ke e mpat penjuru.

Tek Cin kerutkan kening. Ditatapnya Tio Gan dengan segera dan berserulah ia dengan nada dingin, “Nanti apabila bertemu dengan Ceng Hun totiang, tentu akan kutegurnya mengapa dia me manja kan mur idnya menjadi liar!”

“Ah, mengapa lo cianpwe berdua meladeni seorang anak muda,” tiba tiba Cau Yan hui me nyesali. Tampaknya ketua Tiam jong pay itu me mpunyai kesan baik terhadap Ceng Hun. Dalam ucapannya seolah olah ia me lindungi Tio Gan.

Tay Ih siansu cepat alihkan pe mbicaraan dan me minta penjelasan Tio Gan, “Kalau tiada melihat tanda rahasia Ceng Hun totiang, bagaimana akan mencari jejaknya?”

Tio Gan merenung beberapa saat, kemudian berkata dengan nada bersungguh, “Harap lo  cianpwe  sekalian  sudi me mpercayai wanpwe. Jika wanpwe salah dan mengecewakan lo cianpwe, wanpwe bersedia bunuh diri di hadapan lo- cianpwe sekalian!”

“Omitohud…. Tak perlu sicu mela kukan hal itu!” seru Tay Ih siansu.

Tio Gan tidak menyahut, Ia melanjutkan perjalanan lagi. Kira kira sepuluh li jauhnya tibalah dimulut jalan gunung. Tiba tiba ia berjongkok  lagi dibawah sebatang pohon siong dan  me mer iksa dengan teliti.

“Apakah mene mukan tanda rahasia dari gurumu lagi?” seru Thian Ce totiang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar