Wanita iblis Jilid 34

Jilid 34

DUA BUAH Pukulan sakti saling berbentur. Ruang itu seolah olah dilanda angin puyuh. Beberapa lukisan penghias ruangan itu jatuh berha mburan pecah dilantai. Meja dan kursi berterbangan….

Tring….diantara kegaduhan itu terdengar gemerincing senjata beradu, Pedang Ceng Hun terpapas kutung oleh pedang Tek Cin.

Terdengar  dua  buah  suara.  Yang   satu  suara   orang me lantangkan Omitohud. Dan yang lain suara bentakan penuh amarah. Tay Ih siansu melesat ke muka Ciok Sam kong. Dan seorang pemuda menyerang Tek Cin dengan pedang. Tek Cin tajam sekali pendengarannya. Begitu mendengar sambaran angin dingin mena mpar dirinya, cepat ia berputar diri dan me mbabatkan Pek kau kia m.

Kembali terdengar gemer incing suara senjata beradu. Dan pedang pemuda itu terpapas kutung!

Tetapi rupanya pemuda itu nekad benar, Sekalipun pedangnya kutung, ia tak gentar. Separuh pedang yang masih dipegangnya itu segera ditaburkan seperti senjata rahasia dan orangnya loncat menerjang.

“Huh, engkau minta mati. Jangan salahkan aku bertindak ganas!” bentak Tek C in seraya menghindari timpukan pedang kutung dan diteruskan me nabas bahu orang.

Pemuda itu tak menyangka sama sekali bahwa jago tua Kong-tong-pay itu me mpunyai gerak perobahan yang sedemikian cepat. Buru buru ia e mpos se mangat dan buang tubuhnya kebelakang. Cret…. baju bahu kiri terpapas dan darah segar menye mbur keluar….

“Ha ha ha,” Tiba tiba Ceng Hun totiang tertawa menghina, “ganas benar ilmu pedang lo cianpwe itu!”

Jika saat itu Tek Cin gerakkan lagi pedangnya, pemuda itu tentu melayang jiwanya. Tetapi begitu mendengar cemohan Ccng Hun totiang.

Tay Ih siansu menghadang Ciok Sam kong ujarnya, “Harap lo cianpwe suka me mandang muka pinceng dan jangan turun tangan. Kita sekalian bertujuan sama hendak menyelamatkan Siau-lim-si. Siapapun yang terluka. Lohu merasa menyesal seakli!”

Dalam pada berkata kata itu Tay Ih siansu me mbayangi gerak gerik Ciok Sa m-kong: Jika jago tua Swat san pay itu berkeras headak turun tangan, Tay Ih pun  terpaksa  akan mer intangi. Setelah kekacauan dalam ruang itu surut tampak Ceng Hun totiang berdiri dibelakang Pak- koay dan Lam koay. Tangan kiri me lindungi dada, tangan kanan menceka l sebatang pedang pendek dan matanya tetap me mandang lekat pada Tek Cin.

Ternyata pedang pendek dari ketua Ceng sia pay itu disebut Liu- Sing-ngo kia m. Merupakan senjata rahasia yang termasyhur didunia persilatan. Tetapi pedang pendek itu tak dilumuri racun.Kelihayannya terletak pada ilmu timpuknya. Sekaligus kelima pedang itu dapat ditimpuk serentak. Gerak ancamannya meliputi seto mbak luasnya. Merupakan senjata rahasia yang paling sukar dihindari musuh.

Dalam kedudukan sebagai ketua Ceng sia-Pay, kemarahan Ceng  Hun  totiang  sudah  memunca k  sehinggal  ia   perlu me mpers iapkan senjata maut itu. Ia anggap keadaan sukar diredakan dengan penjelasan kata-kata lagi.

Pemuda   yang   terluka   bahu   kanannya   tadi,   masih me mandang Tek Cin dengan marah.

Tiba-tiba terdengar Thian  Cu toting, ketua Kun-Lun- pay,berseru dengan tandas, “Gurumu sekalian, hanya salah faham. Jika bertempur ini terus berlangsung, tentu menimbulkan korban dan per musuhan yang tak diinginkan. Hayo mundur!”

Ternyata pertempuran antara Ciok Sam kong, Tek Cin lawan Ceng Hun totiang itu, telah menimbulkan kegaduhan dari mur id- mur id yang berada di luar ruangan. Hampir saja terjadi pertempuran sendiri diantara mur id murid itu. Untung Tay Ih siansu dan Tian Ce totiang datang pada saat yang tepat, sehingga pertempuran itu dapat dicegah.

Dengan dingin Tek Cin menatap Ceng Hun totiang, serunya, “Kudengar Liu Siang ngo kiam dari Ceng sia pay itu disohorkan orang sebagai senjata rahasia no mor satu. Bahwa hari ini aku beruntung sekali dapat menyaksikannya.” Ternyata pemuda yang terluka bahunya itu adalah Tio Gan, mur id Ceng Hun totiang. Setelah melihat ketegangan mereda dan luka mur idnya tak berapa berat. barulah Ceng Hun totiang menyimpan pedang pendeknya.

“Sekalipun dengan kepandaian rendah tak ma mpu mencapai tangga yang tinggi, tetapi sekiranya locianpwe ingin menguji, kelak pinto teatu akan mepertunjukkan per mainan jelek itu kepada lo cianpwe, agar lo cianpwe suka me mberi petunjuk!” seru ketua Ceng sia-pay itu sa mbil tertawa hambar

Begitu melangkah masuk, Thian Ce totiang geleng geleng kepala, “Saudara-saudara adalah tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi. mengapa tak dapat mengendalikan diri dalam pertikaian?”

Tay Ih siansu diam diam merasa tak puas dengan sikap orang yang sok bijaksana sendiri, tentu juga tak dapat menghindarkan diri dari ke marahan juga.

Tiba tiba keuta Siau lim si itu teringat sesuatu. Ia segera bertanya kepada Ciok Sam kong, “Dimana kah Pui tayhiap sekarang ini?”

Sambil me mandang ke arah mur id- mur id yang berada di luar, Jago Swat-San pay itu gelengkan kepala, “Entah ke mana dia tadi!”

Berkata Tay Ih siansu dengan nada bersungguh, “Lohu teringat kaan beberapa hal. Setelah lohu renungkan, kini lohu dapat menarik kesimpulan yang jelas tentang Pui tayhiap itu sama sekali bukan mata mata dari Beng gak!”

Mulut Ciok Sam kong bergerak hendak bicara tapi tak jadi.

Tek Cin pun berbatuk batuk kecil la lu berkata, “Jika taysu datang sedikit lambat lagi, aku tentu dapat  menikmati kesaktian dari senjata Liu-sing-ngo- kiam partai Ceng Sia pay yang termasyur itu. Ah, sayang benar!” Ceng Hun totiang tahu bahwa jago Kong Tong pay itu sengaja hendak mengacau pe mbicaraan. Tetapi ia pura-pura tak dengar dan hendak berpaling ke arah Lam koay dan Pak koay.

Dalam pada itu Thian Ce totiang mengha mpir i ke samping Tek Cin dan berbisik “Lo cianpwe….”

“Ah, jangan keliwat sungkan. Kita  sama-sama bukan sekaum, aktu tak berani menerima panggilan begitu dari toheng!” tukas Tek Cin.

Ketua Kun Lun pay tertawa, “Ah, kita datang kemari  dengan suatu tujuan untuk me mbantu Siau-lim-si. Karena nyatanya bahwa tindakan wanita siluman dari Beng-gak bukan hanya semata-mata di tujukan pada Siau lim-s i tetapi kepada dunia persilatan seluruhnya. Oleh karena itu lebih nyata pula pentingnya persatuan kita. Apabila Sebelum  musuh  datang kita sudah saling berte mpur sendiri, bukankah kita akan menjadi le mah dan mudah di hancurkan musuh?”

“Ucapan toheng me mang benar, justru karena itu  kita harus melakukan pada mata-mata dalam tubuh kita!” kata Tek Cin

“Tetapi setelah pinto renungkan sedala m-dala mnya, nyatalah Pui tayhiap itu bukan seorang mata-mata….”

“Lohupun sependapat de mikian,” cepat Tay In siansu mendukung.

Tek Cin terkejut karena perobahan sikap ketua Kun-lun-pay itu tak di duga sama sekali. Dan kalau Kun-lun pay berpihak kepada golongan yang mendukung Siu- la m, jelas kekuatannya tentu lebih unggul….

Mulut jago tua dari Kong tong pay itu berkomat  ka mit tetapi tak mengucapkan perkataan suatu apa. Ketika me lihat Siu lam tak berada dalam ruangan situ. Tay Ih terkejut dan menanyakan kepada Tek Cin. Tetapi jago Kong tOng-pay itu menyahut tak tahu.

“Eh, apakah yang lo cianpwe cekal itu?” Tay Ih Siansu terkejut.

“Sebilah pedang pusaka!”

“Pedang itu adalah pusaka milik gereja Siau- lim-s i. Lohu telah menyerahkan kepada Put tayhiap demi untuk me mba las Dudinya….”

“Pedang pusaka berhak di miliki setiap oraug. Aku tak mengerti asal usul pedang ini. Tetapi me mang benar kudapatkan dan budak She Pui itu!” sahut Tek Cin.

“Kalau pedang itu dari Pui tayhiap. tentu tahu juga dimana orangnya sekarang!” kata Tay Ih siansu.

“Me mang tadi kulihatnya bahkan bertempur dan dapat merebut pedangnya. Tetapi setelah itu, entah kemana dia,” jawab Tek C in.

Tiba-tiba Ceng Hun totiang menyeletuk “Pui tayhiap tidak dibawa orang keluar dari gereja ini! Biarlah pinto tanyakan pada murid- mur id diluar ruangan.”

Tiba  tiba  seorang  paderi  bergegas  gegas  masuk   dan me mbisiki beberapa patah kata kepada Tay Ih-s iansu.

“Oh….” Tay Ih siansu terkejut dan menyuruh paderi itu lekas mengejar. Paderi itu pun buru-buru lari keluar.

Tay Ih SianSu menatap Ciok Sam kong :

“Apakah dua orang yang membawa Pui tayhiap itu anak mur id Swat san pay?”

Jago tua itu me mandang keluar. Ternyata me mang dua orang mur id Swat-San-pay tak tampak. Dengan tak jelas, Ciok Sam kong me mberi jawaban kepada pertanyaan Tay Ih. Perobahan pendirian Thian Ce totiang dan sikap Tay Ih siansu, menyebabkan Tek Cin dan Ciok Sam kong tak berani berkeras kepala lagi.

Me mandang kearah Lam- koay dan Pak-koay. tiba tiba Ceng Hun totiang berkata bisik-bisik, “Kedua tokoh itu rupanya akan segera bangun. Jika kita berada disini rasanya kurang enak. Baiklah lo-siansu suruh beberapa paderi menjaga ruangan ini agar persemedian kedua tokoh ini tak terganggu.”

Tay Ih siansu mengiakan. Ia segera melangkah keluar. Ciok Sim-kong, Tek C io terpaksa mengikuti. Dan yang terakhir adalah Ceng Hun totiang sendiri.

“Sebaiknya kita berkumpul di ruang besar untuk merundingkan cara menghadapi Beng gak. Jika  ternyata mereka tak datang, kita pun tak dapat tinggal diam  tetapi leoih baik kita menuju ke Beng gak untuk me nghancurkan sarang mereka,” kata Ceng Hun totiang kepada Tay Ih siansu.

Ketua Siau lim si itu sedang cemas me mikirkan lenyapnya Siu la m. Maka ia hanya sembarangan saja menyahut dan menyetujui usul ketua Ceng sia pay itu. Tay Ih pun tak lupa menyuruh e mpat orang paderi yang berilmu tinggi untuk menjaga di ruang yang dite mpati La m- koay dan Pak koay.

Dia m-dia m Giok Sa m- kong me mandang Ceng Hun totiang dan me mbatin, “Ah, apakah orang ini hendak me lindungi aku dari ke mungkinan menga muknya Lam koay dan Pak-koay? Entah bagaimana maksud sesungguhnya!”

Ketika tiba di ruang besar ternyata yang belum ta mpak hanya ronbongan dari Tiam-jong Pay. Tay Ih siansu segera suruh mur idnya mengundang.

Suasana perjamuan ke mbali dimulai lagi. Hidangan barupun disiapkan pula. Tetapi dalam perjamuan itu ada orang yang tampak gelisah. Yang kesatu, adalah Tay Ih siansu. Tak henti- hentinya tuan rumah itu me mandang kearah pintu seperti sedang menunggu sesuatu. Dan yang kedua adalah Ciok Sam- kong serta Thong-soh Tek Cin mengerat gelap seperti menanti datangnya badai.

Hanya Ceng Hun totiang dan Thiak Tie totiang yang tampak tenang dan saling bercakap cakap dengan suara pelahan.

Cau Yan hui, ketua wanita dari Tiam jong pay, tak mengerti akan kelainan wajah beberapa tokoh itu sedang rombongan mur id mur id, masing mas ing duduk menurut tempatnya semula.

Tiba tiba seorang paderi Siau lim si bergegas mengha mpiri Tay Ih siansu untuk memberi laporan, “Pui tayhiap tak dapat dikete mukan, sedang kedua orang yang me mbawanya itu, telah dibunuh orang. Mayatnya dile mpar diluar gereja!”

“Hii, apakah yang telah terjadi?” Ciu Yan hui berseru.

Ciok Sam- kong serentak berbangkit, “Bagaimana kesaktian kedua orang itu?”

“Rupanya terkena pukulan atau tutukan jari yang kuat. Tubuhnya tak terdapat suatu luka apapun!” kata paderi Siau lim si itu.

“Dima na mayat mereka? Lekas bawa aku kesana!” Ciok Sam Kong maju mengha mpir i. Tetapi paderi Siau lim si itu diam saja. Rupanya ia menunggu perintah dan Tay Ih Siansu dulu.

Ciok Sam kong me mandang Tay Ih siansu dengan gelisah. Katanya kepada Ceng Hun totiang dan lain la in. “Toheng sekalian, marilah kita bersa ma-sama melihat kesana!”

Ceng Hun totiang berbangkit, mengiakan. Begitupula Thian Ce totiang, Tek Cin dan Cau Yan Hui. Mereka mengikuti paderi Siau Lim si tadi menuju ke luar gereja.

Tiba disebuah tikungan gunung, paderi itu menunjuk, “Disanalah mayat kedua orang itu dile mpar!” Ciok Sam kong lari mengha mpir i. Sekalian orang terpaksa mengikut inya. Ah, benarlah kedua murid Swat san pay itu sudah terkapar menjadi mayat. Wajah mereka pucat lesi.

Ciok sam Kong me mer iksanya. Ketika hendak me mba likkan tubuh mayat yang disebelah kanan  untuk menyelidiki  sebab ke matiannya. tiba tiba paderi Siau lim si tadi me ndesis kaget. Ciok sam Kong pun tertegun.

“Mengapa? “tanya Tay Ih siansu.

Paderi itu menghela napas, “Tadi je las kedua mayat itu tidur tengkurap. Mengapa sekarang berjarar? Dan pula….” tiba tiba ia hentikan o mo ngannya.

Kedua murid yang menyertai Ciok Sa m-ko ng itu ter masuk mur id pilihan dari Swat-San-pay. Ia malu dan marah sekali karena kedua mur id itu telah dibunuh orang.

“Mengapa? Lekas bilang!” bentaknya.

Pun Tay Ih segera suruh murid Siau lim-si mengingat perlahan-lahan apa yang diketahuinya.

“Murid tak berani….” tiba-tiba tubuh paderi itu menggigil dan bluk….! ia jatuh rubuh.

Sekalian orang terkejut.

“Saudara-saudara, lekas pergi!” tiba tiba Ceng Hun totiang berseru dengan bengis seraya loncat seto mbak jauhnya.

Karena rombongan itu tokoh tokoh yang me miliki kepandaian sakti, begitu mendengar seruan ketua Ceng sia pay, mereka serempa k loncat sa mpai seto mbak jauhnya.

Ciok Sa m-kong deliki mata kepada Ceng Hun totiang, “Mengapa engkau berteriak me mbuat orang kaget!”

“Ketika kecil, pinto sering ikut guru mencari obat-obatan….” “Cari obat dengan peristiwa ini ada hubungan apa?” tukas

Ciok Sam kong. Karena jago tua Swat-san-pay itu selalu bersikap kasar kepadanya, akhirnya Ceng Hun marah juga. Sahutnya dingin, “Jika tak percaya silahkan engkau me ncobanya!”

Karena tidak dapat menghindar, akhirnya Ciok Sam- kong mengha mpiri lagi mayat murid nya.

Thong soh Tek Cin me mandang Ceng Hun totiang. Ia hendak berseru mencegah Ciok Sam kong. Tetapi tak jadi. Bahkan ia malah ikut pada jago tua dari Swat-San pay itu.

Tay In siansu sudah pernah menyaksikan keganasan racun dari gerombo lan Beng gak. Tapi sepintas pandang, ia tidak  me lihat tanda-tanda mayat kedua Swat-san-pay itu terkena racun.

“Toheng, apa toheng me mbaui sesuatu?” tanyanya agak meragu kepada Ceng Hun.

“Di ujung t ikungan itu. diantara gundukan batu dan se mak Semak rumput, kemungkinan terdapat musuh yang bersembunyi. Dan pintopun seperti mencium bau obat yang di tebarkan diatas gunduk batu dan rumput. Apa bila angin berhembus, obat racun itu akan bertebaran. Jika agak la ma berada disitu, orang tentu terkena racun itu,” kata Ceng Hun totiang.

“Ih, keterangan toheng memang tepat,” kata Can Yan hui ketua Tiam jong pay. “tetapi mengapa anak murid Siau- lim si itu mendadak rubuh?”

Ketua wanita itu sengaja bicara keras agar Ciok Sam kong dan Tek Cin dapat mendengar.

Benarlah!  Ciok  Sam  kongpun  berhenti  dan   berpaling me mandang Can Yan-hui. Tetapi pada lain saat, jago tua dari Swat san-pay itu teruskan langkahnya ke muka.

Ceng Hun totiang me nghela napas; “Menurut he mat pinto, di dalam gundukan batu berumput itu tentu terdapat musuh tangguh. Kematian dari suhu (paderi) Siau lim si tadi, mung kin terkena sejata rahasia yang halus dan beracun!”

Tay Ih siansu menyatakan sependapat. sedang disana Ciok Sam kon pun sudah  ha mpir  tiba  dite mpat  kedua  mayat mur idnya. Tetapi tiba tiba ia berhenti. Jelas bahwa makin depat jago tua Swat San pay makin ce mas.

Thong soh Tek Cin segera gunakan ilmu me nyusup suara berkata kepada jago Swat-san pay, “Harap Ciok heng jangan terlalu gegabah! Ima m hidung kerbau sangat me mpunyai hidung tajam. Ucapannyapun kurasa beralasaan!”

Ciok Sam Long pun menyahut dengan  ilmu  menyusup suara juga. “Meang kata-katanya itu bukan se mbarangan. Tetapi dalam saat dan tempat seperti sekarang ini, aku seperti naik di punggung harimau, apa boleh buat…. “

“Tek heng, harap suka me mbantu mengawasi keadaan di sekeliling.” katanya pula.

Tek Cin me mber ikan kesediaannya. Tiba tiba Ciok Sam kong berpaling dan minta pada Tek Cin supaya jangan ikut maju. “Jangan kita berdua terancam bahaya se mua!”

Tek Cin menganjurkan agar jago Swat san pay itu menutup pernafasan apabila maju ke muka. Untuk menghindari serangan racun musuh.

Ciok sam kong mengiakan. Sekali loncat ia me layang ke tempat kedua mayat mur idnya. Ia sudah mengadakan penjagaan. Menutup pernafasan. Begitu tiba di gunduk batu dan gerombol rumput, ia segera mengadakan penyelidikan.

Tiba tiba sebuah bendan melayang kearahnya. Benda itu sehalus bulu kerbau besarnya. Untunglah Ciok Sam Kong saat itu tumpahkan seluruh perhatian, menga mati dan mendengar setiap berakan yang betapa kecilnya.

Cepat ia ayunkan tangan kanan untuk mena mpar serangan gelap itu. Benda itu jatuh lenyap dalam gerumbul rumput. Rumput bergetar dan mengha mbur kan debu putih se maca m kabut.

“Ciok lo cianpwe,! harap mundur!” seru Tay Ih siansu.

Ciok sam kong kebutkan lengan baju lalu dengan gerak Ciam Liong seng  thian  atau  naga  menjulang  kelangit,  ia  me layang semapai dua to mbak tinggi dan diatas udara ia gunakan ilmu Pat poh teng gong, suatau ginkang yang sakti, me layang turun sa mpai 3 to mbak jauhnya.

Tiba-tiba Ceng Hun totiang melepaskan dua buah hantaman kemuka seraya berseru perlahan, “Tempat ini tidak aman lagi, lebih baik kita menyingkir!”

Ketika Ciok Sam kong melayang tadi, Tek Cinpun ikut apungkan tubuh. Dan serempa k pada saat itu rombongan tokoh-tokoh tadipun loncat sa mpa i lima tomba k jauhnya.

Selekas turun ditanah, Ciok Sam kong hendak bicara tetapi tak jadi.

Dengan nada bersungguh, Ceng Hun totiang me mberi peringatan kepada jago Swat San pay itu, “Mungkin pakaian lo cianpwe terlekat racun! Lekas baik lo cianpwe tetap berjaga diri”

Thong-soh Tek Cin menyeletuk, “Ah, cara menggunakan racun semaca m itu, me mang baru perta ma kali ini kulihat. Walaupun sudah menje lajahi e mpat belas wilayah, tetapi belum pernah ku bersua dengan cara begini.”

Cau Yan Hui mengela napas “Dikuatirkan Pui tayhiap tentu takkan tertolong dari racun ganas itu. Baiklah kita lepaskan semua rencana mencarinya. Yang penting sekarang kita harus cepat merundingkan cara untuk menghadapi musuh!”

Thian Ce totiang gelengkan kepala, “Jika berhadapan dengan tomba k dan pedang, mas ih me layani untuk melayani. Tetapi cara wanita siluman dari Beng gak menggunakan racun begini sukarlah untuk kita jaga!” Tay Ih siansu menghe la napas dan berkata dengan rawan, “Rasa kecewa yang pernah ku derita sela ma hidup ini, adalah karena ttak dapat meno long Pui tayhiap!”

“Ah, karena lo siansu berkata begitu, sekarang aku teringat kana suatu hal….” kata Thian Ce totiang. Ia me mandang kesekeliling penjuru, lalu tersenyum, “Tadi ketika Ciok dan Tek lo cianpwe hendak mencelakai Lam koay dan Pak koay, walaupun tidak jadi. Tetapi kedua lokoay itu tentu tak mau tinggal dia m!”

Tay Ih siansu hanya mengangguk-angguk kepala.

Thian Ce totiang me lanjutkan pula, “Jika gero mbolan Beng gak yang menebarkan racun, jelas mereka tentu masih berada disekitar gereja Siau-lim si. Dengan begitu, keadaan kita runyam sekali. Dari dalam menghadapi anca man La m-koay Pak-koay. Dari luar gerombo lan Beng gak. Benar jumlah kita cukup banyak. Tetapi karena harus dipecah dua, kekuatan kita tentu berkurang. Maksud Pinto….”

Sejenak ia me mandang kepada sekian orang untuk mencari kesan. Katanya, “Lebih dulu kita harus me mbas mi kedua La m- koay Pak koay itu baru ke mudian kita kerahkan tenaga untuk menghadapi gero mbo lan Beng gak!”

Thong soh Tak Cin serentak menyambut setuju, “Betul, totiang me mpunyai pandangan tajam dan kebijaksanaan seorang ketua partay!”

Tiba tiba Thian Ce totiang me mandang Ceng Hun.

Tanyanya “Bagaimanakah pendapat toheng?”

“Menilik keadaan, me mang rencana itu tepat, Hanya kalau menurut pendapat pinto, rencana itu mengandung bahaya besar. Kita beberapa orang ini belum tentu ma mpu menandingi kesaktian Lam koay dan Pak koay, Jika rencana  me mbunuh kedua lokoay itu gagal, kita akan bertambah musuh lagi!” ke mbali Tay Ih siansu mendukung pernyataan ketua Ceng- sia-pay itu.

Akhirnya Ciok Sa m-kong me mbuka mulut, “Kalau hanya omongan saja, sudah sejak tadi telah kulaksanakan. Yang penting sekarang kita harus menentukan keputusan terhadap Lam- koay Pak-koay”.

Ceng Hun totiang dari partay Ceng sia pay menyatakan pendapatnya. Daripada bersusah payah me mbunuh La m- koay dan Pak koay, lebih baik berusaha mendapatkan bantuannya untuk menghadapi Beng gak.

Rupanya Thian Ce totiang dari Kun-lun pay setuju dan ia minta agar ketua Ceng sia pay itu suka me mbuat rencana.

Setelah merenung sebentar, Ceng Hun totiang berkata, “Baiklah, pinto hendak mene mui kedua tokoh itu. Mudah mudahan  pinto   dapatme mbujuk   mereka   supaya    suka me mbantu fihak kita!”

“Bagaimana kalau mereka tak mau?” tanya Ciok Sam kong. “Apabila begitu, terserah saja bagaimana keputusan

saudara saudara sekalian. Pinto tak akan merintangi.” sahut ketua Ceng sia pay.

Rupanya Thain Ce totiang masih kuatir. Tetapi karena tiada jalan lain yang lebih baik, maka ia serahkan kepada usaha Ceng Hun totiang.

Thong Soh Tek Cin me mberi pendapatnya.  “Terhadap tokoh se maca m Lam koay dan Pak koay, tak perlu kita harus berpegang pada tata kesopanan. Kalau satu lawan satu, jelas tiada seorang pun diantara kita yang dapat  mengalahkan. Maka bila nanti terjadi bentrokan terpaksa kita  harus mengeroyoknya!”

“ah, rencana Ceng Hun totiang tadi me mang paling baik. Kita selesaikan dulu persoalan Lam koay dan Pak koay itu. Mereka mau menjadi kawan atau lawan. Setelah itu baru kita bersatu menghadapi Beng gak!” kata Cau Yan hui dari partay Tiam jong pay.

“Pinto pun berpendapat de mikian.” kata Thian Ce totiang. “Kita tugaskan masing- mas ing e mpat orang murid  yang berilmu tinggi untuk menjaga diruang Hong tiang si itu. Kemudian kita tunggu hasil pe mbicaraan Ceng Hun toheng dengan Lam koay dan Pek koay. Jika hasilnya nihil, kita serempak me nyerbu kedua orang itu!”

Thong soh Tek Cin mengangguk dan me muji buah pikiran ketua Kun lun pay itu. Kemudian ia berpaling kepada Tay Ih siansu, “Entah bagaimana pendapat siansu?”

Sebelum menjabat ketua Siau lim si, Tay Ih  lebih banyak me mbena m diri dalam soal pelajaran agama. Dia jarang sekali keluar ke masyarakat ramai. Maka tak tahulah ia tentang seluk beluk tipu siasat. Mengingat bahwa yang  mengatur  rencana itu adalah para ketua partai persilatan, Tay Ih siansu pun hanya setuju saja.

Thian Ce totiang segera mengakhir i pembicaraan itu. Ia mengusulkan agar keputusan itu segera dilakukan. “Sebelum hari ma la m, Lam koay dan Pak koay itu haru sudah diselesaikan. Karena menilik gelagatya gerombolan Beng  gak itu belum meninggalkan gereja ini. ke mungkinan besar mala m ini mereka akan datang menyerang!”

Rupanya Ciok Sam kong masih me mikirkan mayat kedua mur idnya. Ia mendesak supaya segera menuju ke tempat Lam koay dan Pak koay. Setelah itu baru mengurus ketiga mayat.

Tiba tiba Ceng Hun totiang berkata dengan nada  berat “Pinto me mpunyai firasat akan terjadi peristiwa hebat. Peristiwa yang menghancur kan seluruh dunia persilatan….”

Sambil berkata, ketua Ceng-sia pay itu segera melangkah keluar. Sekalian orangpun segera mengikutinya. Ketika tiba di luar ruang Hong-tiang-s i, Ceng Hun totiang diam saja melihat Ciok Sam kong uplek bicara dengan Thian Ce totiang dan Tek Cin untuk merancang rencana menghadapi Lam koay dan Pak koay. Setelah mereka selesai barulah ketua Ceng sia pay itu berkata. “Apakah pinto seorang diri yang masuk atau dengan beberapa orang?”

“Aku bersedia mene manimu masuk!” kata Cau Yan hui. Ketua Tiam Jong pay itu seorang wanita yang cantik,  tetapi me miliki ilmu iwekang yang sakti.

Ceng Hun totiang tersenyum. Keduanya segera menuju ke kamar Lam koay dan Pak koay. Tak lama ke mudian e mpat belas tokoh tokoh daru partay Kun lun pay, Ceng sia pay, Khong tong pay dan siau lim pay segera menyusul. Dibawah pimpinan Ciok Sam kong, Thian Ce totang dan Tek Cin, mereka mengatur penjagaan kuat di luar ruangan. Tay Ih siansu tak diminta untuk me mimpin penjagaan itu karena ketua Siau lim-si itu ta mpaknya sungkan terhadap La m- koay,

Ketika Ceng Hun totiang dan Cau Yan-hui masuk, ternyata Lam- koay dan Pak koay sudah terjaga dari se medhinya.

Kedua mo mok yang telah me mbunuh berpuluh puluh jiwa manus ia tanpa berkedip mata saat itu seperti lahir menjadi manus ia baru. Wajah mereka tampak berseri ramah.  Begitu me lihat Ceng Hun totiang, mereka menyambut dengan anggukan kepala.

Ketua Ceng Sia-pay itu menjura me mberi hor mat, “Pinto menghaturkan sela mat atas selesainya persemedian lo  cianpwe berdua.”

Lam- koay menyahut dengan tertawa tawar “Jika tadi totiang tak mencegah mereka, saat ini aku dan Ui lo-koay tentu sudah mati!”

Ceng Hun totiang tersenyum. Cepat  ia  alihkan pembicaraan, “Ketika pinto bera ma i mela kukan pe meriksaan di luar gereja, teryata rombongan  Beng gak masih belum meninggalkan gereja ini.”

“Soal ini me mang sudah kami perhitungkan. Maka bukan hal yang mengherankan,” Sahut Pak-koay.

Cau  Yau  huipun  ikut  me mbujuk,  “Lo-cianpwe  berdua me miliki kepandaian yang sakti sekali. Ka mi sangat berharap agar locianpwe berdua sudi me mbantu ka mi untuk menghadapi Beng-gak.”

“Maaf inilah nona Cau Yan-hui, ketua Tia m-jong-pay,” buru- buru Ceng Hun totiang me mperkena lkannya kepada kedua lokoay.

Pak-koay tertawa, “Memang benar seorang ketua partai persilatan itu berkedudukan tinggi tetapi bagiku tidak berarti apa-apa!”

Wajah Cau-hui berubah. Agak penasaran, “Kemasyhuran nama La m-koay dan Pak-koay, belum tentu di pandang mata oleh Tiam jong pay!”

Pak-koay tertawa dingin, Ia hendak buka mulut tetapi di cegah Lam-koay. Lam koay menatap Ceng Hun  totiang. ujarnya, “Apakah maksud  kalian  berdua  akan  minta  ka mi me mbantu?”

“Benar.” sahut Ceng Hun totiang, “Soal ini menyangkut seluruh  dunia  persilatan,  Mohon  locianpwe   berdua  sudi me luluskan.”

Lam koay tiba-tiba tertawa nyaring, seru nya, “Jika kami berdua tidak melulus kan, bukankah kalian hendak me mbunuh kami?”

Dengan cerdik sekali Ceng Hun totiang mengelakan pertanyaan itu dan dialihkan pada soal semula,  “Wanita siluman Beng gak itu merencanakan untuk me lenyapkan seluruh tokoh persilatan yang ternama. Lo cianpwe berduapun tak terkecuali!” Tak henti-hentinya mata Lam koay berkeliaran me mandang keluar. Rupanya ia sudah mencium bau tentang persiapan diluar.

Tiba-tiba Pak koay berbangkit dan me mberi isyarat tangan kepada Ceng Hun totiang.

“Lam koay dan Pak koay selamanya tidak suka menerima tekanan orang, Kami akan me mbantu atau tidak, nanti sampai waktunya akan kami putuskan. Mengingat tadi engkau telah me lindungi ka mi berdua, maka aku tak mau me mbongkar siasat yang terkandung dalam hati kalian. Silahkan tinggalkan ruangan ini!”

Ceng Hun totiang terbungkan. Terpaksa ia me langkah keluar, Cau Yan huipun mengikuti.

Tiba-tiba Pak koay berseru pula, “Ceng Hun totiang, apakah peristiwa ngeri yang akan terjadi didalam ruangan ini, harap toheng jangan ikut ca mpur. Jangan melibatkan diri dalam peristiwa itu nanti!”

Ceng Hun totiang kerutkan alis dan menghe la napas, “Jika lo cianpwe tak ma u menerima permintaan pinto, pintopun tak dapat mema ksa dan mohon diri.” Ketua Ceng sia-pay memberi hormat.

“Tak dapat mengantar,” kata Pak-koay.

“Ah, tak apalah,” sahut ketua Ceng sia  pay seraya rangkapkan kedua tangannya kedada me mberi hor mat seraya berseru-, “Pinto doakan lo cianpwe berdua sehat sehat selalu!” Habis berkata, ia berputar diri terus melangkah keluar.

Thian Ce totiang, Ciok Sam kong  dan Tek Cin sudah menunggu diluar ruangan sekeliling ruang itu sudah dijaga ketat. Dua puluh e mpat jago jago dari tiap tiap partay persilatan telah siap bertempur.

“Bagaimana?” Ciok Sam kong cepat menegur Ceng Hun totiang, “apakah kalian berdua berhasil me mbujuknya?” Cau Yan hui gelengkan kepala, “Lam koay dan Pok koay, rupanya sudah tahu rencana kita. Dalam ucapannya mereka telah menyinggung nyinggung tindakan kita ini.”

Seketika wajah Ceng Hun totiang ta mpak mengerut gelap tetapi tak bicara apa apa.

Thian Ce totiang kerutkan alis dan bertanya kepada Ceng Hun, “Ceng Hun toheng….?”

“Ya?” sahut ketua Ceng sia pay itu

“Karena kedua lokoay itu sudah mengetahui, bagaikan anak panah yang sudah dipasang diatas busur, terpaksa harus dilaksanakan.!”

Tetapi pinto merasa tindakan itu kurang tepat…. “

“Engkau menyesal?” tegur Ciok Sam kong. Sambil menengadah me mandang kelangit yang awan putih, ketua Ceng sia pay itu berat-, “Rencana kita itu rupanya akan gagal. Pada saat kita sedang bertempur melawan kedua Lo koay itu, pihak Beng gak tentu akan muncul me nghancurkan kita semua….”

“Ah, engkau terlalu me mandang tinggi, sekali kepada kedua lokoay itu!” Tek Cin tokoh tua dari Kong tong pay menukasnya.

“Tidak, pinto sama sekali tak menyanjung  kedua  lokoay itu,” bantah Ceng Hun totiang, “tetapi me mang suatu kenyataan. Siapakah diantara kita yang dapat menang dengan mereka jika bertempur satu lawan satu….”

Ketua Ceng sia pay itu berhenti sejenak.lalu berkata pula, “Tadi secara diam pinto telah menga mati wajah kedua tokoh itu. Walau pun mukanya hampir tertutup oleh ra mbut, tetapi masih tampak je las sinar matanya yang luar biasa tajamnya. Suatu pertanda bahwa mereka telah mencapai tingkat baru dalam  ilmu  Iwekang.   Jelas   mere ka   telah   me mperoleh ke majuan setingkat lebih tinggi lagi….” Seketika teringatlah Tek Cin akan perbuatan ketua Ceng sia-pay yang mencegahnya membunuh Lam koay dan Pak koay tadi. Dan mur kalah tokoh Kong tong pay itu.

“Jika tadi saudara tak mencegahnya, saat ini kedua lokoay itu tentu sudah berta masya ke alam baka!” ia menyindir.

Kuatir kedua orang itu akan bercekcok lagi, buru  buru Thian Ce totiang menyela, “Peristiwa yang lalu, tak perlu kita angkat lagi. Yang penting kita harus menghadapi keadaan sekarang ini Oleh karena persiapan sudah begiu jauh, bagaimana pendapat toheng?”

Ketua  Ceng  Sia  pay  tak  segera  menyahut   melainkan me mandang kepada beberapa orang, Ke mudian baru ia berkata, “Menurut hemat pinto, kita harus bertindak menurut sasaran  yang  terarah.  Karena  setiap  tindakan  itu   akan me mbawa akibat pada seluruh dunia persilatan. Harap jangan salah faham. Pinto tak kenal dan tak ada hubungan apa apa dengan kedua tokoh itu. Dan pinto pun takkan bicara untuk me mbe la mereka. Tapi pinto hendak bicara menur ut kenyataan saja. Musuh kita yang sesungguhnya ia lah Beng gak, bukan kedua lo koay itu. Maka jika saudara tetap akan  me mbunuh mereka, lebih baik tunggu apabila sudah selesai mene mpur Beng gak. rasanya pun masih belum terla mbat!”

Rupanya Thian Ce terpengaruh juga akan ucapan ketua Ceng sia pay itu. Beberapa  jenak  ia  merenung.  Ke mudian me minta pendapat dari Cau Yan hui ketua Tiam jong-pay.

Ketua Tiam jong-pay itu walaupun sudah ha mpir empat puluh tahun umurnya tapi masih belum menikah maka sebutannyapun masih nona.

Ia kerutkan sepasang alisnya yang bagus,  merenung. Sampa i la ma baru berkata, “Ah, kiranya pernyataan Ceng Ha toheng itu me mang beralasan juga. Tapi sebalikannya, pun ada bahaya juga. Ialah apabila kita sedang bertempur dengan Beng gak la lu tiba tiba kedua lokoay nu menyerang kita, bukankah kita akan celaka? Tentang kemungkinan ini, entah apakah Ceng Hun sudah me mperhitungkannya.?”

Ketua Ceng Sia pay tertawa rawan, ujarnya-; “Kebalikannya jika kita sedang bertempur dengan  Lam koay dan Pak koay lalu Beng gak menyerang dengan tiba tiba, lalu bagaimanakah tindakan kita? Sekarang ini  masih  ada  kesempatan  untuk  me mpertimbangkan hal itu….”

Tiba tiba terdengar suara tertawa lantang me mutuskan ucapan Ceng Hun totiang.

Tokoh tokoh itu terkejut dan berpalirg ke belakang. Astaga….kiranya Lam  koay  dan  Pak  koay  tegak  berjajar dia mbang pintu ruang! Barisan murid mur id partay persilatan segera menghunus senjata dan mengepungnya.

Berkata Ciok Sam kong kepada Ceng Hun “Rupanya keadaan sudah tak dapat dicegah lagi, Jika tak bertindak, tentu salah!”

Ceng Hun me mandang seksa ma kepada Lam koay dan Pak koay. Tanpak sikap kedua tokoh itu seperti tak me ngacuhkan keadaan disekelilingnya.

Dalam saat seperti itu. Ceng Hun tak dapat tinggal diam lagi. Ia menganggukkan kepala “Keadaan sudah begini, kita harus bertindak menurut gelagat!”

Sekalipun ia menentang tindakan mengge mpur Lam koay dan Pak koay, tapi dalam me nghadapi penentuan, ia telah berubah tegas. Cepat ia mendahului maju mengha mpiri.

“Menghadapi mo mok seganas itu, tak perlu kita berpegang pada segala peraturan dunia persilatan lagi. Sekali berte mpur, kita maju mengeroyok. Nona Cau harap me mbantu Ceng Hun totiang menghadapi satu. Thian Ce totiang bersiap me mberi bantuan pada fihak yang me merlukan….” kata Ciok Sam kong dengan berbisik. Kata Tek Cin, “Kalau jadi bertempur, ku harap saudara keluarkan masing masing kepandaian. Sebaiknya  dalam seratus jurus sudah dapat menyelesaikan mere ka!”

“Ayo, kita cepat membantu  Ceng Hun to-heng itu,” Thian Ce totiang menyeletuk.

Keempat tokoh itu segera bergegas maju.

Ceng Hun totiang me lintas diantara barisan murid- mur id partai persilatan itu. Ia berhenti tiga langkah di hadapan Lam- koay dan Pak-koay.

“Apakah lo-cianpwe berdua hendak tinggalkan ruangan ini?” serunya sa mbil me mberi hor mat.

Lam koay me mandang kearah barisan jago jago partai persilatan itu dan balas bertanya, “Apakah ma ksud kalian suruh orang orang itu menghunus senjata dan mengepung ruangan ini?”

Dengan cerdik Ceng Hun totiang me mberi jawaban, “Tadi karena mengetahui jejak orang Beng-ga k masih berkeliaran disekitar gereja ini.”

“Apakah hubungan hal itu dengan tindakan kalian mengepung ruang ini?” tukas Pek- koay.

“Pinto dan beberapa saudara memutuskan, sebelum orang Beng-gak pergi dari gunung ini sebaiknya lo cianpwe berdua jangan tinggalkan ruang ini….”

“Mengapa?” tukas Lam koay tertawa tawar.

Saat itu Ciok Sam kong, Tek Cin, Thian Ce totiang dan lain lain orang sudah tiba. Tek Cin yang menghunus pedang Pek kau-kia m, cepat menyeletuk, “Sebabnya sederhana sekali. Dikuatirkan kalian berdua bersekutu dengan fihak Beng gak maka untuk menjaga ke mungkinan itu, terpaksa ka mi minta kalian supaya beristirahat lagi barang beberapa hari!” Pak koay tertawa dingin, ujarnya, “Ah,  memang  sukar untuk menjadi orang baik itu. Shin loji, jika tak  me mberi sedikit hajaran, mereka tentu menganggap kita takut!”

Lam koay menghela napas. Ia berkata perlahan kepada Ceng Hun totiang, “Jika beberapa hari yang lalu, soal ini tentu menimbulkan ke marahanku. Tetapi sekarang hatiku sudah tawar….” ia alihkan  pandangannya kepada barisan yang mengepung itu, katanya pula, “Sekalian orang orang itu maju berbareng, tak mungkin menang. Jangan mimpi hendak menahan ka mi dalam ruangan ini. Lekas mundurlah!.”

Lam koay dan Pak-koay sudah ter masyur sebagai mo mok ganas yang tak peduli segala alasan. Biasanya mereka bertindak menurut sekehendak hatinya. Kebiasaan me mbunuh sudah mendarah daging. Tetapi ucapan mereka pada saat itu benar- benar mengherankan.

Thian Ce totiang dan kawan- kawannya tercengang cengang….

Ceng Hun totiang menghela napas, “Sikap lo-cianpwe berdua ini, Sungguh me mbuat kami malu dalam hati. Pinto mohon maaf dan terima kasih….”

Ketua Ceng-sia-pay itu me mberi hor mat, la lu me langkah pergi. Ia berpaling kepada Thian Ce totiang,  “Toheng,  mari kita pergi! Jangan mengganggu ketenangan kedua lo-cianpwe itu!”

Thian Ce totiang bersangsi. Tetapi pada  lain  saat  iapun me mber i hor mat kepada kedua lo koay itu, “Maaf, kami mengganggu ketenangan lo-cianpwe berdua!”

Karena kedua tokoh tulang punggung itu mundur, terpaksa Ciok Sam- kong dan Tek Cin mengikuti jejak mereka, keduanya berputar tubuh hendak me langkah pergi.

“Tunggu!” tiba-tiba Pak-koay berteriak.

Thian Ce totiang dan kawan- kawannya berhenti. “Tinggalkan pedangmu itu!” Pak- koay me mber i perintah kepada Tek Cin.

Jago Kong tong pay itu berpaling kepada Ciok Sa m-ko ng, sahutnya;  “Pedang  ini  milik  Siau-  lim  si,   entah  apa   maks udmu?”

Pak koay me mbentak marah, “Pedang itu oleh paderi Tay Ih telah diserahkan kepada adikku. Barang yang sudah diberikan masakan akan diminta ke mbali?”

Jago Lam- koay marah karena mendengar jawaban Tek Cin tadi. Ia tertawa dingin, “Ka mu ke se mbilan partai itu adalah partai-partai yang tergolong Ceng-cong-pay ( aliran putih ) biasanya menjunjung keperwiraan. Tetapi me ngapa bertindak demikian nyata? Jelas pedang itu engkau rampas, tetapi mengapa tak berani me ngaku?”

Dampratan tajam itu me mbuat muka Tek Cin  merah padam. Dia pun marah, “Aku me mpunyai ke ma mpuan untuk mera mpasnya. Mengapa aku harus malu?”

Pak  koay  tertawa  nyaring,  “Shin  loji,  aku  tak  tahan  me lihatnya….” Sekonyong-konyong ia menerjang Tek Cin.

Sebagai tokoh angkatan tua dari Kong-tong-pay, sudah tentu Tek Cin me mpunyai pengala man yang luas di dunia persilatan. Waktu  menjawab  tadi,  diapun  sudah  menduga ke mungkinan kedua lokoay itu akan menyerangnya. Maka dian-dia m ia sudah berjaga jaga. Begitu Pak-koay menerjang, iapun cepat menya mbut dengan tabasan pedang.

Pek-kau-kia m me mang benar benar pedang pusaka yang tiada tara tajamnya. Sekalipun berhati angkuh, teapi Pak-koay tak berani juga menangkis- Ia tutukkan dua buah jari kanan. Serangkum angin kuat menahan laju pedang dan serempak dengan itu ia ulurkan tangan kiri untuk mencengkera m siku lengan Tek Cin. Tek Cin terkejut dan loncat mundur. Dengan gunakan cara apa saja, ia merasa tidak sanggup menangkis serangan lawan yang luar biasa anehnya itu.

“Hm, cobalah rasakan bagaimana rasanya pukulan Hian peng ciang ku ini!” Pak-koay mendengus dan tamparkan tangan kanan.

Disaksikan oleh sekian banyak tokoh tokoh, mau t idak mau Tek Cin harus menangkis. Ia pindahkan pedang ketangan kiri dan menyongsong dengan tangan kanan.

Terdengar letupan maca m api terbenam di air. Angin keras bergolak golak. Beberapa orang yang berada didekat situ, menggigil kedinginan.

Tek Cin mundur lagi dua langkah lalu me nyerang dengan jurus Tiang bong keng-thian atau pelangi me lintas langit.

Kiranya dalam adu tenaga pukulan tadi, ia merasa kalah sakti. Ia harus mengguna kan kese mpurnaannya dalam ilmu pedang untuk me nghadapi lawan.

Lima jurus yang dilancarkan berturut-turut oleh jago Kong tong pay itu segera menimbulkan sinar pedang  yang bergulung gulung laksana bianglala.

Pertempuran itu merupa kan pertempuran yang menentukan mati  hidupnya. Maka sekali serang, ia pun keluarkan ilmu pedang istime wa dari Kong tong pay yang disebut Thian- kan sa-cap lak- kiam atau tiga puluh enam pedang Mayapada. Sinar pedang bagaikan arus sungai bengawan yang meluncur deras….

Walaupun Kong tong pay itu termasuk e mpat besar dari partay persilatan yang termasyur ilmu pedangnya, tetapi ilmu pedang partay itu merupakan suatu aliran tersendiri. Sehingga ketika menyaksikan per mainan pedang dari jago tua Kong- tong-pay itu, Thian Ce totiang dari partay Kun lun-pay dan Ceng Hun totiang ketua Ceng sia-pay, dua tokoh pedang yang termasyhur mau tak mau ter mangu heran juga. Dia m-dia m kedua tokoh itu me mperhatikan gerakan pedang Tek Cin.

Tetapi tubuh Pak koay seperti bayangan yang berlincahan dalam sinar bianglala. Tokoh itu gunakan pukulan dan tutukan jari untuk menghalau serangan pedang.

Sepuluh  jurus  ke mudian,  tiba  tiba  Pak  koay  tertawa me manjang lalu berseru lantang, “Ah, tangan, tangan, mengapa engkau harus berlumuran darah lagi walaupun hati rindu akan kebaikan budi?”

Ia menutup ucapannya dengan sebuah hantaman yang dahsyat. Sesaat  lingkaran  pedang  terpecah,  tiba  tiba  ia  me la mbung sa mpai tiga to mbak tingginya, ke mudian berjumpa litan dan dengan kepala dibawah, ia menukik turun menyerang lawan.

Tek Cin cepat menyongsongkan dengan ujung pedang dalam jurus Ya-hwa-Soh thian atau Api ganas membakar langit.

Tetapi tiba tiba Pak-koay lepaskan dua buah pukulan dahsyat. Lantai bertebaran keempat  penjuru  dan  dengan me minjam tenaga pukulan itu ia bergeliat me la mbung keatas lagi. Berjumpa litan lain menendang lengan kanan lawan.

Uh…. Tek Cin mendengus kaget. Tangannya kesemutan, pedang Pek-kau kiam terle mpar keudara.

Terdengar suitan nyaring sesosok tubuh melambung keatas menya mbar pedang pusaka itu. Dan sere mpak dengan itu pula terdengar sebuah suitan nyaring lagi,  disusul dengan lain sosok tubuh yang mence lat keluar.

Lam koay Pak koay ternyata sudah lenyap dari ruang itu….

Tek Cin, jago tua Kong tong pay yang bermula  garang sekali sikapnya, tak dapat berbuat apa apa ketika melihat  kedua tokoh itu me loloskan diri. Setelah termenung beberapa saat, baru ia menghela napas, “Ke masyuran nama Lam koay Pak koay ternyata memang nyata….” Wajah jago Kong tong-pay itu berkabut malu dan sesal.

Saat itu barulah Ceng Hun totiang menumpahkan  isi  hatinya, “Rupanya kedua mo mok yang menggetarkan dunia persilatan itu sudab mendapat kesadaran batin! Dengan demikian tampak setitik sinar cerah dalam awan hitam yang menutupi dunia persilatan!”

Oleh karena ketua Ceng sia pay itu seolah olah berkata sendiri menumpahkan is i hatinya, maka orangpun tak mengerti apa yang dima ksudkannya.

“Toheng, ke manakah gerangan kedua lokoay itu?” tanya Thian Ce totiang,. Agaknya ketua Kun-lun-pay itupun terpesona menyaksikan kesaktian kedua tokoh itu.

Ceng Hun tertawa, “Dalam dunia yang begini luas bebas, bagaimana dapat mengetahui jejak mereka? Tetapi satu hal yang pinto dapat memastikan. Lam koay dan Pak koay saat ini bukan lagi merupakan  mo mok  yang ganas. Bagi dunia persilatan hal itu suatu berkah!”

“Ceng Hun toheng, aku mohon tanya,” Cau Yan-hui berkata dengan suara pelahan.

Ceng Hun totiang me mpersilahkannya.

“Apakah Pui tayhiap itu benar benar sudah mati?” tanya ketua Tia m-jong pay itu.

Ceng Hun totiang merenung sampa i la ma baru menyahut, “Menurut perasaan pinto. Pui tayhiap itu masih hidup. Tetapi entah disembunyikan dimana.”

Tiba tiba Thian Ce totiang teringat akan usaha yang pernah dilakukan Siu lam untuk menda maikan tantangannya dengan Lam koay dan Pak koay. Menurut kesan pinto. rupanya Pui tayhiap itu me mbawa hubungan erat sekali dengan Lam koay, Pak koay,” ia menyeletuk.

“Kalau begitu, dia seorang pemuda baik. Kecurigaan kita kepadanya itu, tentu membuatnya kecewa,” kata Cau Yan-hui. Ceng Hun hanya tersenyum lalu perlahan-lahan ayunkan langkah. Ciok Sam kong  dah Tek Cin sekalipun merasa kehilangan muka tapi mereka menyadari bahwa kesaktian kedua lo koay itu me mang jauh diatas mereka.

“Ceng Hun toheng,” tiba-tiba Cau Yan-hui menyusul ketua Ceng sia-pay itu. “Apakah Pui tayhiap itu benar benar belum mati? Ah, jika kuingat, aku merasa menyesali tindakanku padanya!”

Ceng Hun menatap wanita itu dengan berkilat-kilat, ujarnya, “Pertanyaan itu sukar pinto jawab…., tetapi semoga dia tidak kurang suatu apa….”

Tiba tiba ia dikejutkan oleh dering ge mer incingan senjata beradu. Ceng Hun cepat cepat mengha mpir i.

“Apakah orang Beng gak datang menyerang?” Cau Yan- huipun agak gugup dan lari mendahului Ceng Hun.

“Sukar dikata,” jawab ketua Ceng-sia-pay, “Dalam saat dan tempat seperti sekarang, setiap saat pecah  pertempuran maut!”

Ciok Sa m-kong Tek Cin dan kawan-kawan pun  bergegas lari menyusul. Setelah membe lok beberapa bangunan, tiba di gedung ketiga, mereka terkejut melibat seorang nona baju hitam sedang bertempur melawan e mpat orang paderi Siau- lim-s i.

Pedang nona baju hitam itu laksana seekor naga yang bercengkerama diatas samudera. Menghambur kan gumpalan air yang sukar dihindari. Tay Ih siansu berdiri di muka gedung itu sa mbil bersiap dengan tongkat sian ciangnya. Di sa mpingnya terdapat empat- lima paderi yang telah me nderita luka.

Sekali enjot tubuh, Ceng Hun totiang melesat  masuk kedalam ruang dan me layang di-sa mping Tay Ih siansu.

“Siapakah nona baju hitam itu?” tanyanya kepada Tay Ih siansu.

“Entahlah,” sahut ketua Siau lim si itu. “Mengapa tak menanyainya?”

“Dia tak mau mengaku….” Tay Ih siansu berhenti sejenak lalu berkata pula, “Dia seorang diri masuk ke mari. Ber mula paderi-paderi mengira dia anak murid Tia m-jong-pay maka di biarkan saja. Tetapi dia terus masuk  kegedung  kedua sehingga di tegur oleh mur id murid Siau- lim si yang bertugas disitu. Tetapi bukan menyahut, ia malah menda mprat dan menyerang. Lima paderi di lukainya. Setelah itu ia terus menerobos kegedung ketiga. Ah….tak kira gereja ini batal meajadi tempat yang kotor….”

Ceng Hun totiang mendapat kesan bahwa ketua Siau-lim-li itu merasa kurang senang atas kedatangan tokoh-tokoh persilatan. Mungkin karena beradanya rombongan  partai- partai persilatan itu maka gereja timbul pertengkaran dan pertempuran tak berkesudahan.

Ceng Hun totiang malo loskan pedang, katanya, “Biarlah pinto menanyainya!”

Sekali loncat, ketua Ceng Sia pay itupun sudah tiba  ditempat pertempuran dan me mbentaknya, “Harap sekalian taysu menyingkir dulu-Pinto akan me nyambut pedangnya.”

Sebagai  seorang  ketua,  Ceng  Hun  totiang   me mang  me mpunyai wibawa. Apalagi ke empat paderi Siau-lim-sie itu sudah tak kuat menahan serangan sinona baju hitam. Mereka segera mundur. Sambil me nusuk kedada Ceng Han totiang me mbentak, “Dalam gereja terdapat seorang itu ima m tua. Mau apa kau, hai!”

Ceng Hun tebarkan pedangnya dalam jurus Thui-san tia m- hay atau Mendorong gunung Menembus laut, Seraya menyahut, “Pinto Ceng Hun….”

Sret, sret. sret…. nona itu kiblatkan pedangnya untuk mendesak mundur Ceng Hun, baru ia me mbuka mulut pula, “Apa itu Ceng Hun atau Hong Hun! Aka tak peduli, aku hendak mencari dia!”

Ceng Hun artinya awan biru. Hong Hun artinya awan merah.

Ceng Hun totiang walaupun mas ih muda terapi  lapang dada dan penuh toleransi. Sekali pun dihina, ia tetap sabar.

“Siapakah yang hendak nona cari itu?” serunya.

Tiba-tiba nona itu hentikan pedengnya, “Ih.  rupanya engkau seorang yang tahu aturan!”

Ceng Hun totiang hanya tersenyum, “Asal nona mau mengatakan  orang  itu,   pinto   tentu   akan   me mbantu  me mber itahukan!”

“Aku hendak mencari Pui Siu-la m!”

Ceng Hun totiang terbeliak kaget. “Pui Siu- la m….” “Mengapa? Ada orang me mber itahukan kepadaku bahwa

dia berada dalam gereja ini. Jangan coba bicara bohong!”

Sejenak Ceng Han berpaling ke arah Tay Ih siansu lalu katanya pula; “Maaf, siapakah na ma nona yang terhormat?”

“Na maku Tan Hian Song ” Sahutnya dengan nada kekanak- kanakan.

“Masih me mpunyai hubungan apakah nona dengan Pui tayhiap itu?” Mendapat pertanyaan itu, Hian-song tertegun. Berselang beberapa saat kemudian baru ia menyahut, “Lekas suruh dia keluar! Aku me ncarinya dengan a mah payah!”

Ceng Hun totiang batuk-batuk kecil  untuk menutupi kegetaran hatinya. Kemudian berkata, “Tetapi saat ini dia sudah tak berada dalam gereja sini.”

Wajah Hian Song yang bermula cerah tiba-tiba mengerat gelap, “Ke manakah dia?”

Ceng Hun totiang benar benar sulit menjawab pertanyaan itu Maka sa mpa i beberapa saat ia diam saja. Menilik terus terangnya dara iu me mberi keterangan, jelas tentu seorang dara yang belum berpengala man luas. Dan justeru inilah yang me mbuat ketua Ceng sia pay itu merasa sukar. Jika hendak  me mboho nginya, me mang dapat mengenyahkan dara itu. Tetapi sebagai  seorang  ketua  persilatan,  hati  nuraninya  me larang untuk berdusta!

“Hai, mengapa engkau diam saja? Apakah engkau merancang siasat me mbohongi aku?” tegur Hian song karena Ceng Hun tidak cepat menyahut.

“Sela ma hidup pinto tak pernah berdusta!” “Lalu ke manakah dia?”

“Mungkin di bawa lari oleh orang Beng gak, Jejaknya belum terang!” setelah menimang beberapa lama barulah ketua Ceng sia-pay itu me mperoleh kata kata jawaban.

Hian song terlongong. Beberapa butir air mata menetes turun. Ujarnya rawan, “Orang Beng gak benci sekali kepadanya. Jika dia sa mpai jatuh ketangan mereka, tentu di bunuh!”

“O mitohud!” tiba tiba Tay Ih  siansu  mengha mpir i, dan me mber i hor mat, “Nona tentu lelah karena habis mene mpuh perjalanan jauh. Harap beristirahat dulu di gereja ini.” Hian song gelengkan kepala, “Aku tidak lelah.”

Kemudian me mandang Ceng Hun totiang dara itu bertanya pula, “Apakah engkau menyaksikan sendiri dia dilarikan orang Beng gak?”

“Jauhkah te mpat itu?” tanya Hian song.

“Tidak, dekat dari sini,” Sahut Ceng Hun totiang.

Tiba tiba Hian-song lemparkan pedangnya, dan me mberi bormat. “Kuminta engkau suka me mbawaku kesana.”

Ceng Hun tak menduga kalau nona itu akan me ngajukan permintaan semaca m itu. Te mpat mayat itu merupakan daerah berbahaya, penuh dengan hawa yang mengandung racun. Sekalipun tokoh sakti, pun sukar untuk menjaga diri.

Sampa i beberapa saat, ketua Ceng sia pay itu baru dapat menyahut “Sekalipun dekat, tetpai tempat itu  berbahaya sekali. Jika nona tetap hendak kesana, lebih dulu pinto hendak mengajukan sebuah syarat.”

“syarat apa?” tanya Hian Song.

“Sederhana sekali.” sahut Ceng Hun totiang, “jika tiba ditempat itu nona hanya boleh melihat dari jarak jauh, hangan mende katinya!”

Hian Song menghela napas dan mengiakan. Ia me mungut pula peadang yang dile mpar tadi.

Ceng Hun totiang berpaling ke arah Tay Ih Siansu, Ciok  Sam kong, Tek Cin dan lainnya. Ia me mberi hor mat kepada mereka, “Harap saudara saudara menunggu disini sebentar. Pinto hendak mengantar ke te mpat mayat….”

Kemudian ketua Ceng Sia pay itu mengha mpir i Cau Yan, katanya “Pinto hendak minta nona, ke sana maukah?”

Ketua Tiam jong pay itu mengangguk. Demikian mereka segera berangkat. Cepat sekali mereka sudah tiba didaerah maut itu. Menunjuk pada tiga  sosok  mayat yang terkapar diujung tikungan gunungan. Ceng Hun totiang berkata, “Disekeliling tikungan gunung itu, rumput dan batu mengandung taburan racun….”

Hian Seng mendengus lalu melangkah ke- muka.

“Dibalik batu itu kemungkinan mus uh yang berse mbunyi disitu. Mereka menaburkan ber macam maca m senjata rahasia beracun. Harap nona jangan menghimpir i dekat dekat!” kata Cau Yan hui.

Setelah menga mati bahwa ketiga mayat itu tak terdapat Pui Siu la m. Hian song kerutkan alis, “Apakah Pui suhengku diculik disini?”

“Benar….” tiba tiba Ceng Hun tak lanjutkan ucapannya. “Harap kalian tunggu disini, aku hendak me mer iksanya,”

Hian-song terus loncat menuju kete mpat itu.

“Jangan, nona!” Ceng Hun kaget dan mengejar. Pikirnya, sebelum mencapai te mpat itu tentu dapat mengejar si dara. Tapi alangkah terkejutnya kstika ia tak ma mpu mengejar si dara yang Saat itu sudah tiba di muka ketiga mayat.

“Toheng, berhentilah!” Cap Yan hui loncat kesisi Ceng Hun, “jika nona itu sampai mati  kena racun, itulah  salahnya  sendiri”.

Ceng Hun totiang menghe la napas; “Jika  tak kubawanya  ke mari, dia  tentu   takkan   menga la mi   nasib   yang menger ikan….”

Sambil me ncongkel ketiga sosok mayat, Hian  song lanjutkan langkah menuju kedalam le mbah.

“Hai, toheng, tampaknya nyonya itu tak takut racun!” Cau Yan hui ter mangu. Tetapi Ceng Hun totiang rupanya tak mendengar kata-kata ketua Tiam jong pay. Seluruh perhatiannya tercurah pada gerak-gerik Hian-Song.

“Budak pere mpuan   itu   benar-benar   mengherankan!” ke mbali Cau Yan hui berseru.

Ceng Hun totiang berpaling, “Pinto me mbawa pil pe munah racun, buatan Ceng sia pay yang istimewa. Pinto hendak menyelidiki daerah mati itu. PintO hendak minta bantuan nona.    Bila    terjadi    sesuatu     pada     pinto.     Sukalah me mber itahukan kepada anak mur id Ceng sia pay. Suruh mereka lekas ke mbali ke Ceng sia pay. Sebelum tinggalkan gunung, pinto sudah mengatur segala sesuatu yang perlu bertindak menurut surat pesan pinto itu, tentulah partay Ceng sia-pay takkan mengala mi kegoncangan suatu apa!”

Ia mengeluarkan sebuah gin-pay atau lencana perak dan diberikan kepada Cau Yan hui, katanya pula, “Asal nona tunjukan gin-pay ini, murid- murid Ceng sia pay tentu takkan ragu lagi “

Ceng Hun totiang le mpar kan gin pay itu dan terus loncat ke muka. Dalam dua kali loncatan saja, ia sudah tiba dite mpat mayat.

Me mandang bayangan jago Ceng sia pay itu, diam diam timbul rasa kagum dalam Cau Yan hui pikirnya, “Partay partay persilatan tak mengenal pribadinya. Hanya karena dia menerima jabatan ketua partay Ceng sia pay maka timbul dugaan yang tak baik sehingga partay partay persilatan itu putuskan hubungan dengan Ceng sia pay. Tetapi ketika timbul peristiwa Beng gak. dialah yang mempe lopori datang ke Siau lim si. Dan ternyata dalam setiap langkah yang direncanakan, Selalu tepat dan bijaksana.”

Pada saat itu Ceng Hun totiang sudah tiba ditempat bahaya. Sewaktu loncat tadi, ia sudah menelan pil anti racun. Iapun menutup pernapasannya, melintasi ketiga sosok mayat lalu terus me masuki le mbah.

Kedua samping jalan le mbah itu terdiri dari karang yang tingginya tak kurang dari sepuluh to mba k. rumput tunbuh setinggi perut orang. Disana sini penuh bertaburan batu batu yang runcing dan aneh bentuknya. Lembah itu kecuali rumput, tiada ditumbuhi pohon sa ma tekali.

“Jika Beng gak  tebarkan  racun  dalam  le mbah  ini  lalu me mikat paderi Siau- lim si supaya masuk mencari mereka, jelas paderi paderi siau-lim si tentu binasa se mua….” diam diam ketua Ceng sia-pay itu menimang.

Ceng  Hun  mencabut   pedang  la lu  melangkah  kedalam le mbah. Dia seorang yang keras hati, cerdik dan berani. Makin menje lajah masuk, Sikapnya makin berhati hati.

Hian Song tadi pergi lebih dulu kira kira  seper minum teh  la manya. Untuk mencari jejaknya sebenarnya tak susah. Tetapi ternyata dalam le mbah padang rumput itu. Ceng Hun totiang tak dapat mene mukan jejak darah itu.

Mau tak mau, Ceng Hun yang biasanya tenang, saat itu menjadi gelisah Walaupun le mbah itu luasnya seratusan tombak, tetapi bagi seorang berilmu tinggi seperti Ceng Hun. dalam waktu singkat tentu sudah dapat menyelidiki seluruh tempat itu.

Diam diam ketua Ceng-sia-pay itu makin ce mas. Disa mping mencari si dara, iapun harus berhati hati melindungi diri terhadap bahaya racun.

Berjalan kira kira lima to mbak jauhnya, ia sudah mencapai separuh lebih dari le mbah itu. Namun Hian song tetap tak dikete mukan. Bayang bayang ngeri segera mencengkram perasaannya.  Makin  keras  dugaannya  bahwa  lembah  itu me mang dijadikan tempat persembunyian orang Beng gak. Hian-Song ke mungkinan benar benar sudah jatuh ketangan mereka. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar