Wanita iblis Jilid 32

Jilid 32

LAM koay tertawa,  “Tetapi  engkau  belum  la ma mencebur kan diri dalam gelanggang me mbangun ke masyuran nama. Seperti matahari pagi yang baru menjulang keatas. Mengapa nyalimu sudah runtuh?”

Tiba tiba Siu lam bangun dan berkata dengan nada serius, “Shin toako dan Ui locianpwe! Maaf, kalau aku lancang mulut. Nama dan ke masyuran kalian berdua sudah cukup besar. Tetapi apakah yang kalian peroleh sela ma ini? Me mbunuh orang, hanya suatu perbuatan yang menuruti nafsu kegagahan. Demi untuk mengejar na ma itu kalian selalu hidup dalam gelanggang adu jiwa….”

Pak koay mendengus, “Hm, masih muda tetapi sudah loyo tak berguna iagi!”

Siu lam tertawa tawar, “Ucapan Ui locianpwe terlalu berat sekali, Wanpwe bendak me nyatakan sesuatu, tetapi entah diperkenankan tidak?”

“Katakanlah!” seru Pak koay.

“Bagaimana menurut anggapan Ui locianpwe tentang ilmu kepandaian locianpwe sendiri?”

Pak koay menyahut dingin, “Seumur hidup belum pernah aku menerima pertanyaan semaca m itu.” Ia berhenti sejenak, katanya pula, “Dibawah dua tiga orang, diatas sepuluh ratusan ribu orang!”

“Tetapi dalam peristiwa se mala m Wanpwe mengetahui, locianpwe dua kali lolos dari ke matian!”

Pak koay tertegun, “Jangan ngaco belo” Tetapi Siu lam berkata pula dengan wajah serius, “Ketika  locianpwe terkurung dalam ka mar batu, apabila orang me mbakar ka mar itu apakah locianpwe bisa lolos dari kebinasaan?”

“Hm, dan yang kedua kali?” dengus Pak- koay. Dengan ucapan itu, diam diam ia sudah mengakui ungkapan Siu lam yang pertama itu.

“Se mala m ketika ketua Beng gak me lepaskan jaring itu. Jika Tay Ih siansu dan para paderi Siau- lim si tak ada me mberi pertolongan dan melindungi locianpwe,  apakah  locianpwe  ma mpu juga lolos dari ke matian?” kata Siu-la m dengan tegas.

Pat-koay mendengus tak dapat berkata apa-apa. ke mudian Siu lam berpaling kearah Lam koay, “Jika tidak karena kepandaian Ceng Hun totiang dapat ilmu pengobatan, sekalipun toako ma mpu keluar dari jaring itu, tetapi apakah dapat terhindar dari racun maut?”

Lam- koay  tersenyum,  “Tetapi  jika  ka mi  bertiga   tidak me mber i bantuan, apakah gereja Siau lim-si ini masih dapat berdiri Seperti saat ini? Ribuan paderi tentu akan  sudah hancur lebur se mua!”

“Benar, toako,” Sahut Siu-la m, “kegagahan itu tiada berharga, kemasyuran namapun hanya menjemukan. Para paderi Siau-lim-s i de mi untuk me mpertahankan ke masyuran nama gerejanya yang sudah berdiri sejak ratusan tahun itu, sekalipun tahu tak dapat melawan musuh, tetapi mereka  nekad hendak mengadu jiwa. Demikian juga dengan kedua lo- cianpwe. Demi menjaga ke masyuran na ma, setiap berkata tentu terus hendak me mukul dan me mbunuh. Me mang tak dapat disangkal, nama Lam- koay dan Pak koay itu sangat cemerlang sekali. Setiap kaum persilatan baik dari golongan putih dan hitam didaerah Kang-la m Kang pak, apa bila mendengar na ma locianpwe berdua tentu mengkerut nyalinya. Tetapi apakah yang kalian peroleh karena kewibawaan itu? Sepanjang hidup kalian berdua tiada me mpunyai barang seorang Sababat yang terpercaya….”

Tiba tiba Pak koay berbangkit serentak dan me mbentak. “Mengapa engkau terus menerus mengoceh tak henti hentinya?”

Siu-la m hanya ganda tertawa, “Kata kata jujur yang berdasar kenyataan, tentu locianpwe  tak  suka  mendengar. Me mang saat itu sekali gerakan tangan saja, locianpwe tentu dapat me mbunuh diriku. Tetapi hatiku tetap me mbaja seperti mulutku. Jika tak kuutarakan tentu tak enak!”

Lam- koay mengerling pandangan kepada Pak koay, serunya, “Dalam hidup kita, memang jarang mendengar orang yang bicara seperti itu. Bersabarlah sedikit untuk mendengarkannya!”

Terpaksa Pak-koay duduk, gerutunya “Lekas selesaikan pembicaraanmu, kesabaranku terbatas!”

Siu lam hanya tersenyum. “Tadi disebabkan sepatah dua patah kata saja, locianpwe telah bentrok dengan Thien Ce totiang lalu mengadakan tantangan bertempur di puncak Siau- si hong. Apakah perlunya hal itu hanya terjadi kalau locianpwe dan Thien Ce totiang tidak dipaksa menjaga ke masyhuran nama

masing mas ing? Bukankah sebenarnya  locianpwe  tidak  me mpunyai dendam per musuhan dengan orang kun lun pay? Bukankah hal itu terjadi hanya karena sepatah dua patah kata yang tak berarti? Peristiwa semacam itu, entah beratus kali locianpwe berdua ini bukan tokoh-to koh termasyur, tentu takkan bertindak begitu, sedikit terus menantang, terus main bunuh?”

Lam koay berpaling kepada Pak-koay pula, “Baru pertama kali ini kita mendengar orang berkata kata semaca m ini kepada ka mi. Hm, me mang kita berdua ini aneh!  Kalau kumpul tentu saling maki saling pukul-pukulan sampa i tole tole. Kebiasaan itu bukan setahun dua tahun dan sampai detik ini kita tetap me lakukan tanpa kesudahan.  Sebenarnya  jika me mang saling menghendaki jiwa masing- mas ing, kita dapat mencari kese mpatan untuk me lakukan secara menggelap. Tetapi selama itu, kita selalu bercekcok dan berkelahi secara jujur dan terus terang. Apakah sebabnya? Hm, benar benar aku sendiri tak mengerti!”

Lam koay tertawa dingin, “Jika tak ada Pak koay memang aku tentu menjagoi dunia!”

“Setiap    saat    aku     mengandung     pikiran     untuk me mbunuhmu!” sahut Pak koay. “Akupun  me mpunyai  perasaan   de mikian.   Jika  t idak me lenyapkan Pak-koay aku tentu tak dapat mengunyah makanan dengan tenang!” jawab Lam koay.

“Ho, itulah suatu bukti lagi,” tiba-tiba Siu lam menyeletuk. “Masih muda tetapi banyak mulut? Apa yang engkau

katakan buktimu!” bentak Pak koay.

“Bahwa ke masyuran nama itu suatu hal yang menje mukan orang….” Siu lam  menghela  napas,  “Berpuluh  puluh  tahun la manya kalian berdua selalu berkumpul tetapi mengandung maks ud hendak saling me mbunuh. Alasannya amat sederhana karena kalian berdua menganggap semua jago-jago didunia persilaian itu tak dapat menandingi kesaktian kalian berdua. Oleh karena itu kalian masing mas ing saling me mbenci, saling mengandung maks ud tujuan untuk me lenyapkan yang satu tetapi aneh, kalian tak menggunakan cara-cara pengecut untuk me laksanakan rencana jahat itu….”

“Setan alas,” Pak koay tertawa dingin, “itukan bukan suatu alasan! Jangan bicara tidak karuan, nanti kesabaranku keburu habis!”

“Menurut  he mat wanpwe,”  kata  Siu   la m,   “meskipun me mpunyai pandangan hidup yang berbeda, tetapi bertahun tahun saling bergaul dan bertahun pula sering bersatu padu menghadapi musuh di sa mping sering berkelahi sendiri, tanpa kalian sadari, kalian telah terikat dalam tali persahabatan yang mesra. Mungkin rasa persababatan itu tak dapat kalian nyatakan dengan kata kata. Atau mungkin kalian tidak mau mengakui. Tetapi yang jelas, bergaul sela ma berpuluh puluh tahun itu telah melahir kan sesuatu rasa ikatan batin yang kuat….”

Tiba tiba Pak-koay menengadah me mandang wuwungan rumah dan berkata seorang diri:

“Huh, apakah hal itu me mang benar? Aku me mang tak pernah berkata ramah dengan Shin-Lo koay, tetapi apabila me lihat dia dalam kesukaran, entah bagaimana aku tentu merasa harus me mbantunya….”

Tiba-tiba ia berpaling ke arah Lam- koay, “Shin lo koay, sebenarnya aku me mpunyai sesuatu yang kusimpan dalam hatiku. sekarang terpaksa hendak kuutarakan kepada mu!”

Lam koay Shin Ki tertawa dingin. “Katakanlah.!”

“Sela ma kita bergaul, me mang dia m-dia m kita tentu saling bersiap-siap untuk mencelakai. Tetapi entah bagaimana, sebenarnya aku me mpunyai sepuluh kali kese mpatan untuk me lakukan penyerangan gelap kepadamu. Dan bahkan sudah tiga kali tanganku sudah kuangkat tetapi tak jadi….” kata Pak- koay.

“Ah, itu tak mengherankan,” Sahut Lam- koay, “akupun demikian. Bahkan kese mpatan yang kudapat itu, jauh lebih banyak dari kau.”

“Dunia mengatakan bahwa ka mi berdua La m-koay dan Pak koay sebagai manusia yang berwatak aneh dan dingin. Tindak tanduk kita selalu tak menurut aturan umum, Hanya me mburu nafsu amarah, tak dapat  me mbedakan  salah  dan  benar,  Me mang kuakui kebenaran kata-kata orang itu!” kata Pak- koay.

“Eh, akupun juga menga kui,” kata La m- koay.

“Nah,  mengapa  kulepaskan   kese mpatan   baik   untuk me mbunuhmu itu?” tanya Pan koay kemudian.

“Ah, aku tak jelas,” Sahut La m- koay, “me mang bertahun- tahun akupun dihinggapi pertanyaan semacam itu. Tetapi selalu tak dapat menemukan jawabannya….”

“Hm, apakah dalam hatinya benar-benar mengandung rasa kasih sayang?” kata Pak-koay.

“Ah, mungkin benar juga!” seru La m-koay “locianpwe berdua telah mengobrak-abrik dunia persilatan dengan sepak terjang  yang  ganas,  dingin  dan  maembawa ke mauan sendiri. Hal itu rupanya masih mele kat dan masih dige mari oleh locianpwe berdua,” Siu lam menyeletuk.

“Apakah itu jelek?” tanya Pak-koay.

“Berita pang sudah menjadi  buah bibir setiap kaum persilatan dan yang menerima gelar itu sendiripun merasa tak menyesal. Sehingga dapat dikatakan, Hati dingin dan keganasan, rupanya telah menjadi tujuan hidup locianpwe. Maka sekalipun sesungguhnya dalam nurani lo-cianpwe sudah tumbuh rasa kasih sayang, tetapi tetap locianpwe tak mau mengakui!” sahut Siu la m.

Rupanya analisa Siu-la m itu bagaikan pisau tajam yang msngungkap isi hati kedua tokoh aneh itu.

Setelah merenung beberapa jenak, berkatalah Pak koay, “Me mang dalam hidupku, aka hanya me mikir kan bagaimana supaya dapat meyakinkan suatu ilmu yang maha sakti. Agar aku dapat menguasai dunia persilatan dan tiada yang ma mpu me lawanku. Setitikpun aku tak me mikirkan soal soal yang engkau sebutkan itu”

Siu-la m tersenyum “Kepandaian lo cianpwe berdua sesungguhnya sudah mencapai tingkat yang paling tinggi. Jika hendak paksakan diri mencapai tingkat yang tak mungkin dikalahkan orang, rasanya sukar….”

“Benar,” kata La m-koay, “me mang sela ma dijebluskan dalam tahanan di bawah tanah itu, Setiap hari kulatih diri dalam ilmu kesaktian. Cita-citaku sekeluarnya dari tahanan itu akan kuaduk-aduk dunia persilatan lagi. Tetapi ah, ternyata aku berhadapan dengan kenyataaa yang tak sesuai dengan rencanaku itu,” jago aneh itu menghela napas dengan napas rawan.

“Ah, janganlah toako cepat putus asa.” kata Siu- la m. “Kepandaian dan ke mashuran na ma toako serta Ui locianpwe, sudah tersiar luas di dunia persilatan. Banyak orang yang ingin mencapai kepandaian tinggi, tetapi sedikit saja yang berhasil. Me mang aku sendiri berkat me mpero leh peristiwa luar biasa, telah mendapat ilmu pelajaran yang sakti. Tetapi di dalam menghadapi pertempuran dengan musuh yang tangguh tak dapat kembangkan pelajaran itu. itulah sebabnya aku tak dapat mengalahkan mus uh….”

Berbenti sejenak, Siu-la m berkata pula, “Usia locianpwe sudah mencapai batas yang tertentu. Menghadapi keadaan tubuh yang sudah berkurang daya kekuatannya itu, maaf, sekali-pun locianpwe berdua menyiksa diri sa mpai sepuluh tahun lagi, juga tak mungkin mencapai tingkat yang  lebih tinggi lagi!”

“Engkau benar, aku me mang sudah tua,” seru La m-koay.

Tiba tiba Pak-koay mengacungkan tinju-nya kanan dan berteriak kalap; “Di dunia banyak orang yang lebih sakti dari kami berdua apakah mereka sejak lahir sudah sakti”? Hm, jika engkau tak ma mpu menerangkan, awas tentu kubunuh kau dengan pukulan Hian ping ciang!”

Namun tenang tenang saja Siu-la m menyahut, “Dalam soal ilmu kesaktian, me mang tergantung dari bakat dan guru. tokoh berbakat me mang bukannya tak ada, Andaikata lo cianpwe suka merenungkan diri Lo Hian itu, mungkin tak ada kesangsian lagi….”

Pak-koay turunkan tinjunya, serunya, “Jika dulu aku sudah mengetahui hal itu, tentu tak sampai kucurahkan seluruh hidupku untuk mengejar ilmu kesaktian tinggi….”

Tiba-tiba ia tertawa nyaring dan berseru pula, “Dalam sepanjang hidup, kecuali Shin lo koay. aku hanya me mpunyai seorang sababat, Hampir delapan puluh tahun la manya aku bergelimpangan dalam darah dan mayat. Entah berapa ratus jiwa yang mati dan berapa ribu orang yang terluka di bawah tanganku. Dan kese muanya itu tak pernah kusesalkan, ah….” Berpaling kepada La m- koay, ia berseru; “Belasan tahun bergaul tetapi selama itu tak pernah kita bersahabat tetapi saling curiga dan saling berprasangka buruk.”

Lam- koay tertawa nyaring, “Ha ha ha,, Ui lokoay, akhirnya terbuka pikiranmu.”

Tiba tiba ia hentikan tertawanya dan mengerenyut dahi. Ternyata karena terlalu gembira ia tertawa kuat kuat sehingga lukanya merekah “Hai, Shin lo- koay, maukah kubantu dengan Iwekang untuk menghentikan pengaliran darahmu?” sa mbil mengusap darah pada luka sahabatnya, Pak koay berkata.

Tetapi Pak-koay mengatakan hanya luka kecil. Pak koay tak mau me maksa. Ia suruh Siu-la m juga beristirahat karena lukanya baru se mbuh. Anak muda itupun me nurut.

Suasana dalam ka mar situ, ke mbali sepi. Tetapi yang nyata kedua tokoh itu lelah mengala mi sikap dan jiwa setelah mendengar penjelasan Siu la m.

Baberapa saat kemudian Siu lam melirik ke sa mping. Dilihatnya kedua tokoh itu sedang berse medhi. Dahi mereka tak lagi mengeriput tegang tetapi penuh penjara keda maian yang tenang

Ketika me mbuka  mata,  ternyata  sinar  matahari  sudah me menuhi ruang. Tay Ih siansu berdiri disisi ranjang dan Lam koay Pak koay tegak didepan jendela me mandang matahari.

Dengan berbisik, Tay Ih menanyakan tentang kesehatan anak   muda   itu.   Setelah   mengatakan   lukanya   banyak ke majuan, Siu-la m segera menanyakan tentang Thian Ce totiang.

Ketua  Siau-lim  si  itu  menghela   napas,   “Lo-hu  telah me mpers iapkan sebuah ruangan tersendiri untuk ro mbongan Kun lun pay….”

“Wanpwe dengar ilmu pedang Kan lun pay itu ter masyur sekali didunia persilatan. Termasuk salah satu dari keempat partai Toa kia m-pay. sudah lama wanpwe ingin sekali berjumpa dengan Thian Ce totiang, entah apakah sudi menerima Wanpwe atau tidak!”

Tay Ih menyatakan bahwa Siu-la m baru sembuh  tak baiklah kalau berjalan kemana- maiia, Tetapi Siu-la m menyatakan kalau sudah baik.

Tay Ih berpaling. Ta mpa k Lam koay dan Pak koay masih tegak berjajar dan bercakap-cakap, Tapi entah apa yang dibicarakan mcreka.

“locianpwe, maukah locianpwe menolo ng wanpwe  untuk me mber itahukan kepada Thian Ce totiang tentang permohonan wanpwe itu. Apabila beliau meluluskan, wanpwe segera akan menghadapinya!” kata Siu-la m pula.

Tay In menyatakan jika memang Siu-la m sangat perlu sekali, ia bsrsedia mengundang ketua Kun lun-pay itu datang kesitu.

Siu lam buru- buru turun dari ranjang dan me langkah keluar. Tay Ih pun mengikut inya.

“Apakah Pui sicu begitu terburu buru menjumpai Thian Ce totiang karena urusan kedua locianpwe itu?” tanyanya.

Siu-la m mengiakan, “Kedua locianpwe itu sudah bergaul beberapa berpuluh tahun. Walau-pun tampaknya selalu bertengkar, tetapi sebenarnya mereka saling sayang. Jika Pak koay berkelahi. sudah tentu Lam koay tak mau tinggal dia m, Tantangan antara Thian Ce totiang dengan Pak koay itu. pada hakekatnya Thian Ce totiang lawan kedua Pak-koay dan Lam koay.”

“Lohupun me nce maskan hal itu. sudah berulang-ulang lohu menasehati Thian Ce totiang, tetapi rupanya dia tetap tak mau menga lah. Rupanya pertandingan itu tak mungkin dibatalkan lagi,” kata Tay Ih. “Wanpwepun de mi mencegah pertumpahan darah itu maka hendak mene mui Thian Ce totiang,” kata Siu- la m.

Tay Ih gelengkan kepala, “Ah, rasanya sukar.”

“Asal Thian Ce totiang meluluskan, wanpwelah yang akan mengatasi kedua locianpwe itu.”

Tay Ih tertegun, “Benarkab ucapan sicu itu?”

“Jika wanpwe tak me mpunyai keyakinan dapat menasehati Pak dan Lam lo-cianpwe, masakan wanpwe berani mengatakan begitu!”

Tay Ih me muji Siu- la m, seorang pemuda  yang memiliki ilmu tinggi dan pandangan luas.

Kelak dunia persilatan pasti muncul seorang pe mimpin muda yang dapat menyelamatkan kekacauan.

Mereka tiba disebuah ruangan yang bersih, Seorang pemuda yang mengenakan jubah ima m dan menyoren pedang, tegak menjaga pintu. Ketika me lihat kedatangan Tay Ih siansu, buru-buru ia beri hor mat.

“Apakah Suhu sicu didala m?” tanya Tay-Ih “Suhu sedang bersemedhi. Apakah Lo-sian su hendak menjumpainya? “

Tay Ih mengia kan dan minta pe muda itu segera melapor kedala m. Tak berapa lama, keluarlah Thian   Ce  totiang  menya mbut. Setelah saling beri hormat,  mereka  masuk kedala m. Ruangan sebuah gedung yang luas dan dikelilingi pagar tembok yang kokoh.

Dihala man ta mpak e mpat orang ima m muda berdiri dengan menghunus pedang, Rupanya mereka tengah berlatih ilmu pedang. Setelah tamu datang, buru mere ka berhenti.

Setelah me mpersilahkan duduk, Thian  Ce Totiangpun menanyakan ma ksud kunjungan Tay Ih Siansu dan Siu-la m. “Pui sicu ini. mohon hendak bicara dengan totiang.” kata Tay Ih.

“Wanpwe sudah la ma mendengar akan kehebatan ilmu pedang Kun lun pay?” buru buru Siu- lam berkata.

“Ah. sicu keliwat me muji,” kata Thian Ce.

“locianpwe seorang ketua partai termasyur. Dalam ilmu pedang tentu sudah mencapai tingkat yang tinggi. oleh karena itu ingin sekali wanpwe mohon pelajaran ilmu pedang dari locianpwe barang sejurus dua jurus saja,” kata Siu-la m.

Ucapan Siu lam yang langsung tanpa tedeng aling aling itu telah menimbulkan ke marahan Thian Ce, Namun sebagai seorang ketua partai persilatan yang besar, ia bersikap sabar, ucapnya, “Ah, kepandaian pinto hanya terbatas. Kemungkinan tentu akan mengecewakan harapan sicu.”

Siu lam tersenyum, “Kun lun, Bu-tong. Cengsi dan Go bi, merupakan e mpat Toa- kiam pay yang terbesar didunia persilatan. Konon kabarnya ilmu pedang dari kee mpat partay itu tergolong ilmu pelajaran Ceng pay (putih). Tetapi entah partay mana yang sesungguhnya me miliki aliran ilmu pedang Ceng pay itu.”

Thian Ce totiang menyahut dingin, “Masing masing partay menpunyai  kelebihan  dan   kekurangan.   Ada   yang menguta makan pelajaran yang serba aneh. Ada pula yang menguta makan gerak kecepatan dan kaganasan, Pinto seorang yang tak ternama, bagaimana berani menilai ilmu pedang setiap partay persilatan.”

“Dengan begitu kecuali sa ma sa ma ter masyhur, pun ilmu pedang kee mpat Toa kiam pay itu juga ha mpir berimbang,” kata Siu-la m pula

“Ah, tak berani pinto mengadakan penilaian.”

“Kalau begitu, wanpwe pun tak berani mendesak juga….” Thian Ce totiang serentak berbangkit, “Agaknya pinto harus bersembahyang, Jika Pui sicu tak ada lain urusan, pinto tak berani menahan lebih la ma.”

Cara ketua Kun Lun pay mengusir secara halus kepada tamunya itu, bukan saja Siu-la m merasa tersinggung, pun Tay Ih siansu juga kurang puas. Ketua Siau lim-s i itu segera berbangkit dan me mber i sala m, “Baiklah, lohu tak berani mengganggu lagi.,,….”

“Jangan tergesa gesa dulu, losiansu,” cepat Siu-la m menukas, “wanpwe masih ada sedikit urusan hendak mohon petunjuk Thian ce totiang.

Sikap anak  muda  yang  keras  kepala  itu,  benar  benar me mbuat Thian Ce tociang tidak berdaya. Sebagai seorang ketua partay ternama, ia tetap harus berlaku sabar. Dan tertawalah ia dengan sikap yang tak wajar; “Ah, karena Pui Sicu begitu me mperhatikan pinto terpaksa  pinto  pun  akan me ladeni.”

Siu-la m tersenyum seperti tak terjadi sesuatu apa. Ujarnya, “Jika ilmu pedang dari keempat Toa kia m-pay itu berimbang, sudah tentu kepandaian murid merekapun ha mpir sejajar.”

Ucapan anak muda itu  benar-benar  tak dapat dimengerti ke mana tujuannya. Tay Ih siansu berbatuk batuk kecil dan berseru, “Pui Sicu….”

“Ah, jika lo sianSu hendak me mberi petunjuk wanpwe mohon supaya lain waktu lagi kita bicarakan, Saat itu waktu berharga sekali. Wanpwe hendak mohon pelajaran pada Thian Ce lo-cianpwe.”

Berobahlah wajah Thian Ce lo seketika, “Apakah tayhiap benar benar hendak me mpersulit pinto….”

Dan demi menjaga gengsinya sebagai ketua partay, Thian Ce totiang tertawa ringan, ujarnya lebih lanjut, “Dalam ilmu silat, yang terutama mengandalkan bakat. Dan kedua tergantung dari guru. Maka sekalipun sesa ma perguruan, tetapi berbeda juga tingkat kepandaiannya. Ini  tergantung dari bakat masing- masing!”

“Apakah sejak seratus tahun  ini,  didalam kee mpat  Toa- kia m-pay pernah muncul mur id yang berbakat ce mer lang?” tanya Siu-la m.

“Apakah kau hendak me nyelidiki pinto?”

“Ah, tidak.Wanpwe hanya bersungguh hati hendak mohon pelajaran saja,” Sahut Siu- la m.

“Diantara e mpat Toa kiam pay, sejak seratus tahun yang terakhir ini hanya Siau yau cu yang tergolong berbakat cemerlang”

“Pernahkah lo-cianpwe berte mu dengan Siau-yau-cu?” tanya Siu-la m pula.

“Pada masa kee mpat partay pedang itu mengadu kesaktian untuk merebut kedudukan, pinto masih belum menyelesaikan pelajaran maka tak se mpat berte mu.”

Siu-la m menghe la napas panjang. Serentak ia berbangkit dan menjurah, “Bagaimana hasil dari pertandingan kee mpat partay pedang itu?”

“Masing- mas ing me nderita korban!” “Bagaimana peristiwa itu terjadi?”

Sesungguhnya Thian Ce totiang tak puas atas sikap Siu lam

yang bertanya begitu melilit. Tetapi me lihat perbawa dan wajah pemuda itu terpaksa ia tertawa hambar, “Hanya soal merebut na ma saja.”

“Me mang na ma itu menyusahkan orang. Jika  tingkat kepandaian kee mpat partay itu tidak seimbang,  tentulah takkan menimbulkan perist iwa mengadu ilmu pedang!” kata Siu-la m. Sebagai seorang paderi yang berkebatinan tinggi, sudah tentu Thian Ce segera dapat menangkap is i hati Siu- la m. Ia kerutkan dahi.

Terdengar pula Siu lam menghela napas, ujarnya, “Kepandaian ke masyuran na ma totiang jejajar dengan Pak koay dan Lam koay. Oleh karena itu kedua belah tak tahan mendengar sepatah dua patah kata yang dianggap menusuk perasaan. Cukup sepatah kata yang tak berarti saja sudah dapat me mbakar hati mas ing mas ing….”

Wajah Thian Ce berobah gelap. Ditatapnya Tay Ih siansu dan Siu- lam dengan tajam.

Siu lam segera menjurah me mber i hor mat ujarnya;”Jika totiang suka mengalah, sudah tentu kemarahan itu tak perlu terjadi.”

Wajah Thian Ce makin mengerut gelap, suatu pertanda bahwa hatinya bergolak. Tetapi ia diam saja.

Kata Siu-la m pula, “Harap locianpwe suka maafkan wanpwe. Dalam pertempuran nanti, sukar dibayangkan akibatnya. Locianpwe belum tentu menang, pun Pak koay Ui Lian juga belum pasti menang. Masing- masing t idak yakin akan menang. Tetapi yang jelas, pertempuran itu tentu akan mengakibatkan hasil yang mengerikan….”

“Apakah kedatanganmu ke mari karena hal itu?” tanya Thian Ce totiang.

“Kedatangan wanpwe ke mari, pertama  untuk menghaturkan hor mat kepada lo cianpwe yang sudah la ma wanpwe kagumi, Dan kedua kalinya, hendak mohon locianpwe sudi me mberi pelajaran ilmu pedang barang sejurus, agar harapan wanpwe tak kecewa.”

Dia m-dia m Tay Ih kagum atas kecerdikan Siu- lam dalam menggunakan kata-kata untuk menasehatkan Thian Ce lo agar supaya suka me mbatalkan pertandingan dengan Pak-koay. Setelah merenung beberapa jenak, berkatalah Thian Ce totiang dengan pelahan, “Soal jaga na ma, pinto tak terlalu menghiraukan. Tetapi dengan tindakan me mbatalkan perjanjian itu, bukankah kebesaran nama Kun lun pay akan tumpas ditangan pinto? Jika Lam koay dan Pak koay me mang me mpunyai maksud untuk me lepaskan maksudnya, pintopun bersedia menghapus perjanjian itu. Tetapi jika menghenda ki pinto supaya minta dama i kepada mereka, maaf, lebih kaik pinto melanjut kan pertandingan itu saja!”

“Jika locianpwe suka me mberi muka kepada wanpwe, Wanpwe bersedia untuk menasehati kedua locianpwe itu”.

Thian Ce kerutkan dahi. Tetapi sebelum sa mpai me mbuka mulut, Siu lam sudah mendahului, “Ucapan lotiang itu sudah wanpwe anggap berlaku. Biarlah wanpwe yang menasehati ke-dua locianpwe itu. Oleh karena lo-cianpwe saat ini masih akan semedhi, Wanpwepun tak berani menggangu lagi dan mohon diri,” habis berkata ia terus melangkah keluar.

Tay Ih siansupun me mberi hor mat dan menghaturkan terima kasih atas perhatian Thian Ce yang telah memer lukan datang ke Siau- lim- Si.

Terhadap ketua Siau-lim Si ini, Thian Ce me mang menaruh perindahan. Buru-buru ia balas me mberi hor mat, “Tujuan siluman pere mpuan Beng-gak itu hendak menguasai dunia persilatan.  Dan   ternyata   Siau   lim-   si- lah   yang   telah me mpe lopori bertindak menghadapi mereka. Pinto menyesal sekali telah datang terlambat. Dalam hal ini pinto benar-benar harus minta maaf kepada lo-siansu.”

“Ah, toheng jangan me mpunyai anggapan begitu. Lohu tetap berterima kasih kepada to-heng,” kata Tay Ih seraya terus berputar tubuh dan menyusul Siu- la m.

Thian Ce mengantar sampai dia mbang pintu lalu ke mbali kedalam ka marnya lagi. Tay Ih cepat menyusul Siu- lam yang sudah beberapa tombak jauhnya. Kepada anak muda itu Tay Ih  me mberi pujian yang tinggi.

“Dengan kepandaian bicara, dapatlah sicu meredakan penumpahan darah itu. Tentang Shin dan Ui kedua locianpwe itu,lohu serahkan kepada sicu untuk me nguruinya!” kata Tay Ih.

Siu lam mengiakan. Sebagai tuan ruma h, me mang sudah menjadi kewajiban Tay Ih untuk menyambut dan me layani kedatangan rombongan partay partay yang sudah tiba ke Siau-lim-si.

“Tentang Shin dan Ui lo cianpwe, serahkan saja kepada wanpwe, tetapi wanpwe mo hon taysu juga suka menasehatkan Thian Ce totiang agar  benar  benar  jangan me lanjutkkan rencana pertandingan itu,” kata Siu la m.

Demikian mereka berpisah. Ketika melalui ruang pertempuran se mala m, hati Siu lam rawan sekali. Dengan langkah berat ia menuju keruang Yu Ceng Siansu.

didalam ruang perse median itu, Lam koay Shin Ki dan Pak koay Ui Lian masih duduk bersedia. Kedua mo mo k ganas yang me mbunuh  jiwa   manusia   tanpa   berkedip   mata,   itu  mena mpa kan kerut wajah yang ra mah.

Kuatir   mengganggu  ketenangan    mereka,    Siu    lam me langkah dengan berjingkat jingkat ha mpiri tempat t idurnya.

Pak koay me mbuka mata dan me natap Siu-la m, tegurnya ramah, “Siau-hengte….,.”

Sebutan Siau hengte atau adik kecil yang meluncur dari mulut Pak Koay itu, adalah yang pertama kali dan diucapkan dengan nada yang ra mah.

“Lo cianpwe….” saking terkejutnya, Siu-la m terbata bata. Pak koay gelengkan kepala; “Sudah berpuluh tahun aku berkumpul dengan Shin lokoay. Tapi selama itu kami selalu bercekcok dan bertengkar. Adalah setelah menerima penjelasanmu, kami menjadi sadar dan terang akan kericuhan selama itu. Aku benar benar terima kasib sekali atas bantuanmu….”

Lam koaypun tersenyum, “Sesungguhnya selama berpuluh tahun bergaul itu, kami berdua sudah saling bantu me mbantu. Tapi dikarenakan masing masing berkeras kepala untuk mengejar nafsu. Keagungan diri, masing masing saling menganggap sebagai musuh yang terberat, maka terus menerus bersikap bermusuhan….”

Sekejap, ia menyapukan pandangan kepada Siu- la m, ujarnya, “Pui hengte tadi, telah mem-buka hati ka mi berdua. Menyingkap dinding yang selalu me mbatasi kita berdua. Cobalah kau renungkan, sela ma ini dalam bertengkar dan bertempur, kitapun selalu bantu me mbantu!”

Pak koay pun menghela napas panjang, “Ah, jika dulu kita sudah menghapus dinding itu dan benar benar saling tukar menukar kepandaian, ah, Saat ini kita tentu sudah jauh lebih sakti….”

Kemudisn ia mengatakan kepada Siu lam bahwa jika dari dulu sudi berte mu dan mendengar penjelasan anak muda itu, tentu keadaan dunia persilatan sudah berlainan.

“Benar, jika hal itu terjadi pada tigap uluh tahun berselang, tentulah Kak Seng Taysu tak akan menjebloskan kita ke dalam penjara tanah. Dan dunia persilatanpun tentu akan berobah riwayatnya!” kata La m-koay.

Pak-koay ke mbali menghe la napas, ujarnya, “Shin lokoay, teringat aku akan sebuah hal yang penting. Ketika masih berada dalam tahanan, siang mala m kupikirkan hal itu, tetapi tak dapat kupecahkan jawabannya.” “Eh…. akupun juga me mikirkan sesuatu. Entah apakah yang kita pikirkan itu soal yang sama. Cobalah engkau katakan lebih dulu,” sambut La m- koay.

“Seumur hidup kita mengabdikan diri mati matian meyakinkan ilmu silat. Tetapi senjata kita tak terhindar dan ketuaan, berpenyakitan dan ke matian. Jika tak ditolong oleh Pui hengte ini, kemungkinan kita tentu akan melewatkan sisa hidup di dalam penjara tanah itu!”

“Ah, itu serupa benar dengan pikiranku!” seru Lam koay.

Kata Pak koay pula, “Kita malang melintang didunia persilatan, mati matian me mburu ilmu silat, apakah sebenarnya yang kita cari itu? Apakah hanya supaya tokoh tokoh aliran Hitam dan putih itu takut kepada kita?”

“Hai pikiran semaca m itu sudah berpuluh tahun berselang tumbuh dalam otakku. Tetapi sela ma itu aku tak dapat menghapus kan nafsu untuk menangkan setiap tokoh persilatan….” kata Lam koay.

Tiba tiba Pak koay berbangkit. Sa mbil mengurut urut jenggotnya yang putih, berserulah ia “Ah, sudah tua, sudah tua, Kemasyuran nama jerih payah memupuk  kepandaian silat, akhirnya ikut usang bersa ma dengan ketuaan umur, dan kesemuanya itu hanya ha mpa!” 

Lam koay pun ikut mengangkat kepala dan tersenyum, “Sejak dahulu hingga kini, entah sudah berapa banyak orang orang pandai. Tapi merekapun takkan terhindar dari kematian. Mengapa Ui heng mengeluh duka? Kenapa Ui-beng bersedih hati? jangan khawatir, Sekalianpun dialam baka, aku tetap akan mene manimu!”

Terkesiap Pak koay mendengar pernyataan itu. Menatap wajah sahabatnya, ia mengha mpir i dan perlahan lahan, ulurkan lengannya, Lam koay pun ulurkan tangan menyambut, Demikianlah, kedua tokoh besar yang menggetarkan dunia persilatan, yang selalu me mbawa nafsunya sendiri ingin menang, akhirnya saling berjabatan tangan dengan mesra. Keduanya saling berpandangan, tersenyum dan mengalirkan beberapa tetes air mata….”

Siu-la m yang se mpat me mperhatikan keadaan kedua tokoh itu, diam diam heran mengapa mereka menangis. Ia tak tahu apakah mereka menangisi perjalanan hidup mereka yang penuh gejolak dan bergelimangan dosa. Ataukah mereka menangisi kesalahan mereka diwaktu muda sehingga setelah tua mereka hanya menga la mi kenyataan yang hampa.

Siu-la m me ngha mpir i dan mengucapkan beberapa kata syukur untuk menghibur persatuan kedua tokoh ini.

“Ah, kesalahan kesalahan diwaktu muda, baru sekarang setelah tua kita ketahui, Engkau banyak me mbantu kepada kami,” kata Pak-koay

Siu lam hanya tersenyum, ujarnya, “Me mang wanpwe sendiri juga me mpunyai kesadaran begitu. Setahun yang lain, wanpwe bercita-cita untuk mengangkat na ma di dunia persilatan, tetapi sekarang setelah menyaksikan peristiwa- peristiwa yang menyedihkan, cita cita lenyap seketika. Wanpwe hanya ingin mengerjakan sedikit hal di dunia persilatan dan setelah itu wanpwe akan mengundurkan diri hidup me nyepi menentra mkan pikiran!”

Pak koay tertawa gelak-gelak, “Shin lo-koay, tak perlu kiranya menduka kan peristiwa yang telah la mpau. Kedukaan orang orang tua semaca m kita ini, ternyata mencelakakan Pui hengte yang masih muda. Adalah karena terpengaruh oleh keadaan kita maka se mangat Pui hengte menjadi  menurun dan api cita-citanya padam!”

Tiba-tiba Lam koay loncat dan me natap Siu la m, “Aku dan saudara Ui, selama berpuluh tahun berkecimpung di dunia persilatan, hanya mengejar nama dan  kepentingan  pribadi. Tak dapat membeda kan salah dan benar. Hanya bertindak menurut sesuka hati. Selama itu, entah berapa banyak jiwa yang telah melayang, entah berapa banyak darah yang telah bergenangan. Tetapi ah, kesemuanya itu tak dapat meninggalkan na ma harum bagi angkatan dike mudian hari. Takkan abadi sela ma la manya. Disebabkan karena hal itulah maka kami kecewa dan menyesal tak terhingga”.

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula:

“Huh, pil dari ima m hidung kerbau itu hebat juga. Setelah setengah hari menyalurkan darah, kurasa lukaku sudah separoh bagian sembuh. menilik gelagatnya mungkin dalam lima tahun lagi aku takkan mati….”.

“Ah, toako memiliki kepandaian sakti. Tiga puluh tahun lagi tentu masih dapat hidup,” kata Siu-la m.

“Ho, aku tak berani mengharap hidup sa mpai tiga puluh tahun lagi. Kecuali dibunuh orang, dapat tambah umur sa mpai lima tahun saja aku sudah puas. Tetapi berapa tahun kesempatan  hidupku  itu,  tetap   akan   kugunakan   untuk me mbantu eugkau me lakukan suatu pekerjaan besar.”

Tersipu-sipu Siu-la m menjura me mber i hor mat menghaturkan terima kasih.

“Akupun juga me mpunyai maksud begitu!” tiba tiba Pak- koay berseru.

Kedua tokoh itu menghela napas, ujar mereka, “Ah, kami berdua Lam koay dan Pak koay, selama ini merupakan mo mok yang paling ditakuti orang. Adalah setelah kami tua, kami berjumpa  dengan  seorang  pe muda  yang  selain   pernah me mber i pertolongan, pun juga telah menyadarkan kami dari kesesatan hidup sela ma berpulug tahun. Jika  Pui  hengte meno lak balas budi kami, berarti tak mau menerima ikatan persaudaraan dari ka mi berdua.”

Siu-la m tercengang, katanya, “Tetapi wanpwe kuatir  tak ma mpu me menuhi harapan toako berdua!” Lam- koay Shin Ki tertawa, Ia menegaskan bahwa bersama Pak-koay ia sudah me mutuskan, Dalam sisa bantuannya itu mereka hendak me lakukan suatu pekerjaan yang berguna dan meninggalkan kesan baik bagi keseluruhan yang akan datang.

Siu-la m diam diam me mbatin. Jika meno lak kedua tokoh aneh itu tentu marah. Akhirnya ia menyahut, “Ah, banyak terima kasih atas kesediaan toako berdua. Tetapi sesungguhnya aku tak mengandung cita cita untuk menjagoi dunia persilatan, tidak ingin me ndirikan partai persilatan. Asal dapat melakukan sesuatu yang berguna untuk  dunia persilatan, kiranya hatiku sudah puas.”

“Apapun yang hendak kau kerjakan, kami berdua sanggup me mbantu sa mpai berhasil!” Lam koay me mber i penegasan lebih lanjut.

Tiba tiba Siu lam berpaling menatap Pak koay, serunya dengan tandas, “Saat ini Siao te hendak mohon bantuan Ui heng!”

Pak koay tersenyum, “Apakah bukan mengenai urusan pertandinganku dengan ima m hidung kerbau dari partay Kun lun pay itu?”

“Benar, Kun lun pay merupakan partay Ceng pay. Hanya dikarenakan sepatah dua patah kata saja, lalu menimbulkan keonaran besar, Sesungguhnya patut disayangkan. Mohon Ui lo-heng sudi me ma ndang  muka  siau te  dan  rela menghapus kan pertandingan itu!”

Setelah merenung sejenak, berkatalah Pak koay; “Jika Pui hengte menangkap  hal  itu  kurang  layak,  akupun  takkan me lanjutkannya!”

Serta merta Sin-la m menghaturkan terima kasih kepada jago tua itu.

Tiba-tiba Pak-koay betpaling kepada La m-koay, serunya, “Shin lokoay berapa usiamu sekarang? Pui hengte paling muda, tak usah kita sebut. Tetapi diantara kita berdua, Siapakah yang lebih tua? Dengan begitu kita dapat berbahasa dengan sebutan yang tepat!”

“Ah, tak usah menghitung umur!” Sahut Lam koay,” anggaplah engkau yang lebih tua. Orang menyebut Lam koay Pak koay. Menurut deretan, sudah selayaknya engkau yang menjadi Toako!”

“Tidak, kita harus menurutkan umur yang sebenarnya, agar tidak salah!” bantah Pak koay.

“Baiklah,” akhirnya Lam koay mengalah, “coba kuhitungnya dulu. Menghitung umur lebih sukar dari pada menghitung jumlah orang yang sudah kubunuh sela ma ini!”

Pak-koay berkata, “Tahun ini aku berumur kira kna seratus satu tahun!”

Lam koay percaya akan ucapan orang, Ia  pun menerangkan umurnya, “Kalau aku sembilan puluh se mbilan tahun! Kalau engkau menghitung benar, engkau lebih tua dua tahun!”

“Kalau begitu aku yang menjadi toako!”

Siu-la m ge mbira melihat perubahan besar dari kedua tokoh aneh itu. Buru-buru ia me mberi hor mat dan menyebut toako kepada Pak koay, me manggil jiko kepada Lam koay.

Sambil me mbe lai kepala Siu-la m yang berlutut dihadapannya, Pak koay berlinang-linang kata, “Sam te, seumur hidup baru pertama kali ini aku menerima penghormatan orang yang  penuh  dengan  ketulusan  hati. Me mang banyak yang me mberi hor mat, tetapi dalam hati mereka menmenda m kebencian kepadaku. Mereka berlutut karena minta a mpun supaya jangan dibunuh….”

Kembali Pak-koay menghela napas, “Aku sudah tua, sembarang saat bisa mati  dengan mendadak.  Sepanjang hidup, tanganku ini penuh berlumuran darah yang anyir. Ah, sebarusnya aku sudah  mati.  Tetapi  rupanya  Tuhan  masih me mperpanjang nyawaku. Kemungkinan di hari tua seperti saat ini, diharuskan berjumpa dengan kau.

Tak perlu kedukaan segala peristiwa yang lalu karena hal itu tak mungkin dapat ke mba li. Tetapi hendak kutebus kesalahan-kesalahan itu dengan suatu perbuatan yang baik. Aku hendak me mbantumu melakukan suatu pekerjaan yang berguna, tetapi sekarang sudah insyaf. Sam te, penghormatanmu kepadaku itu berarti suatu kewajiban bagiku untuk me mbantu cita citamu!”

Demikianlah dikala ruang itu penuh dengan suasana kedama ian dan kebahagiaan, Tay Ih siansu tiba-tiba muncul. Ketua Siau-lim-s i itu menanyakan tentang luka Siu-la m.

Setelah pemuda itu mengiakan bahwa lukanya sudah bertambah baik, Tay Ih menerangkan pula, “Entah bagaimana partay persilatan sudah mendengar juga tentang penyerangan Beng gak pada Siau-lim-s i. kini mereka berbondong-bondong datang kemar i untuk me mberi bantuan, Dalam perja muan untuk menghor mati kedatangan mereka,  lohupun menerangkan bahwa berkat bantuan Pui sicu dan kedua Lam pak lo-cianpwe maka Siau lim si dapat terhindar dari kehancuran.”

“Tetapi yang penting, adalah semangat berani berkorban dari anak mur id Siau-lim si. Bukan se mata-mata menggantungkan Wanpwe,” kata Siu- lam merendah.

“Mereka kagum atas perjuangan Pui sicu maka  mereka ingin sekali berjumpa dengan sicu,” kata Tay Ih lebih lanjut.

Siu-la m mengucapkan kata kata yang merendah, “Sesungguhnya  lohu  tak  berani  mengganggu  sicu. Tetapi

apabila nanti jika sicu suka menjumpa i mereka,” kata Tay Ih. Kemudian ia berkata pula dengan bisik-bisik, “Shin dan  Ui kedua lo cianpwe itu ter masyur sekali didunia persilatan. Rasanya  tiada   seorang  persilatan  yang   tak  kenal dengan namanya. Entah apakah dapat mengundang mereka untuk bertemu dengan tetamu tetamu.”

Belum Siu lam me nyahut, Pak koay sudah  mendahului, “Tak perlu. Lam koay dan Pak koay sudah tua…. Biarlah adik kita yang muda itu yang mewa kili kita!”

“Baiklah, jika jiwi tak suka, lohu pun tak berani me ma ksa,” kata Tay Ih, kemudian ia berkata kepada Siu- la m, “Dari sembilan partai persilatan, kini sudah lima partai yang datang. Bahkan yang datang para ketuanya sendiri. Mereka sama menantikan kehadiran sicu”

Siu lam mengiakan dan segera mengikuti Tay Ih menuju keruang besar dimana diselenggarakan perja muan untuk menghor mat i kedatangan para ketua partay persilatan.

Lima buah me ja besar telah disiapkan di ruang perja muan. Pada meja ditengah tampak duduk Ceng Hun totiang ketua Ceng Sia-pay, Thian Ce totiang ketua Kun  lun-pay, seorang  tua kurus berjubah biru, seorang wanita pertengahan umur berpakaian serba putih dan seorang lelaki berwajah segar kekanak kanakan dan mengenakan pakaian warna hita m.

Sedang pada empat meja lainnya, ditempati oleh tokoh tokoh yang mengenakan seragam beraneka warna. Terdiri dari orang-orang muda, ima m, paderi dan dua orang gadis berpakaian hijau.

Sin lam hanya kenal Ceng Hun totiang dari Ceng-sia pay serta Thian Ce ketua Kun-lun pay dan To Gan, murid Ceng- Sia-pay yang mengiringi Ceng Hun totiang

Pertama tama Siu lam menganggukkan kepala kepada Tio Gan dan tertegun berhenti. Ia tak dapat  membedakan tingkatan dan para hadirin dan tahu harus me nga mbil te mpat duduk di sebelah mana. Tay Ih mengha mpiri kesa mping Siu lam dan berseru nyaring me mper kenalkan pe muda itu kepada para tetamu, “Inilah Pui sicu yang lohu katakan tadi.”

Seluruh mata hadirin, saat itu tercurah kepada Siu lam. Ada yang me mberi hor mat dengan anggukkan kepala ada yang dengan sembah tangan.

Siu lam tersipu sipu me mbalas hor mat. Ia minta Tay Ih supaya dikenalkan kepada beberapa tokoh ternama yang hadir disitu.

Melihat Tay Ih siansu begitu menghor mat kepada pemuda itu, terpaksa para ketua partay persilatan berdiri dari tempat duduknya.

“Pui tayhiap,” Thian Ce totiang lebih dulu me mberi sala m.

Ceng Hun totiangpun ikut me mberi sala m. Ke mudian berturut turut orang tua kurus  berjubah biru, wanita berpakaian putih dan orang tua berwajah kekanak kanakan, pun ikut berdiri.

“Inilah Ciok Sam kong locianpwe dari partay Swat san pay,” Tay Ih me mperkena lkan orang tua berjubah kurus.

Siu lam segera menjura me mberi hor mat. “Sungguh menyesal sekali karena aku terla mbat datang sehingga tak dapat menyaksikan kegagahan Pui tayhiap mene mpur gerombo lan Beng gak,” kata ketua Swat san pay itu.

Merah muka Siu lam mendengar ucapan itu, sahutnya, “Ah, Tay Ih siansu terlalu memuji, sesungguhnya wanpwe tak punya kepandaian yang berani.”

Kemudian Tay Ih siansu me mperkenalkan wanita baju putih, “Dan li sicu ini adalah Can Yan-hui ketua angkatan ketujuh dari partay Tiam jong-pay!”

Kembali Siu-la m menjura kepada wanita itu. Ia me mberi hor mat. “Ah, janganlah Pui tayhiap keliwat merendah. Dari Tay Ih siansu aku sudah mendengar tentang kegagahanmu,” kata Can Yan hui.

Lalu Tay Ih me mperkenalkan orang tua berwajah kekanak- kanakan sebagai Thong-Soh Tek Cin, dari partay Kong tong- pay. Kepada orang tua  berwajah kekanak kanakan  itu,  Siu  la m-pun menghaturkan hor mat.

Tek Cin bergelar Thong sah atau orang tua berwajah anak, tertawa, “Sejak mengundurkan diri dari dunia persilatan selama dua puluhan tahun, ternyata dunia persilatan telah menga la mi perobahan besar. Dalam dunia persilatan kini muncul pula seorang tunas muda yang ce mer lang.”

“Ah, locianpwe keliwat me muji,” Siu-la m merendah diri.

Tay Ih siansu mengangkat cawan arak dan mengajak hadirin untuk minum selaku pernyataan terima kasih Siau-lim  si kepada mere ka.

Hadirin segera bersama sama meneguk cawannya.

“Ah, mengapa Lam koay dan Pak-koay tak tampak hadir?” tiba tiba Thong-soh Tek Cin nyeletuk.

Tay Ih Siansu menyatakan bahwa karena sudah la ma tak campur dengan dunia persilatan ma ka kedua tokoh itu tak suka berjumpa dengan orang.

Tek Oh tertawa dingin, “Dua puluh tahun berselang, aku pernah berjumpa dengan mere ka. Ternyata watak mereka yang aneh, tetap tak berubah.”

Berhenti sejenak, tokoh Kong-To ng-pay itu berkata pula, “Pada waktu wanita siluman bersenjata Chit-jiau-Soh itu muncul didunia persilatan, aku kebetulan masih dalam masa bertapa. Maka tak dapat menghadapi wanita siluman itu.

Maka ketika mendengar wanita siluman itu muncul lagi, aku segera me minta kepada sutit selaku ketua partay Kong soh- pay, untuk segera mengirim ro mbo ngan ke Tiong-goan. Tetapi ternyata tetap terlambat, tetap tak dapat berjumpa dengan wanita siluman itu….”

Ucapan orang tua itu bernada tinggi. Seolah olah menganggap sekalian hadirin sebagai orang yang lebih rendah dan muda tingkatannya.

Karena tiada orang yang menyambut, maka Tay Ih siansu selaku tuan rumah segera berseru, “Atas kesudian locianpwe jauh jauh datang ke mari, lohu menghaturkan terima kasih tak terhingga!”

Tiba tiba Ciok Sam kong menyeletuk, “Jika Teng heng hendak berjumpa dengan wanita itu, tidaklah sukar….”

“Harap Ciok-hong me mberi petunjuk,” sa mbut Tek Cin dengan bergelora.

“Diantara para hadirin, kiranya Tek honglah yang tertua,  jika Tek- hong berani, aku bersedia menemani Tek hong untuk pergi ke Beng gak dan berhadapan dengan wanita siluman itu!”

Rupanya kedua tokoh tua itu me mbanggakan kedudukannya sebagai angkatan tua kepada hadirin.

Wanita berpakaian putih atau Can Yan hui ketua Tiam jong pay kerutkan alis dan tertawa kepada Ceng Hun totiang, “To heng yang datang lebih dulu dari kami, apakah beruntung menjumpai wanita Beng-ga k itu?”

Ceng Hun totiang ketua Ceng-sia-pay tertawa!

“Sekalipun pinto datang terlebih dahulu, tetapi waktu itu rombongan Beng gak sudah mengundur kan diri dan Siau lim si.” sabut ima m itu

Tiba tiba wajahnya berobah serius, ujar-nya, “Tetapi pinto telah menyaksikan pe mandangan yang ngeri sekali. Ialah diruang perte mpuran penuh bergelimpangun mayat….” Tek Cin serentak berbangkit dan berseru nyaring- “Apakah wanita siluman itu masih berada disekitar gunung sini?”

Belum Tay Ih siantu menyahut, Ciok Sam Kong dari Swat- san pay sudah menyeletuk, “Menurut perhitunganku,  wanita itu tentu belum pergi jauh. Ke mungkinan masih berse mbunyi di sekitar gereja Siau lim si sini. Maksudku….. ” ia berbenti sejenak me mandang kepada Tay Ih sian Su, katanya, “minta siansu mengerahkan anak murid yang tangguh untuk berpencaran mencari. Begitu terdapat jejaknya, harap segera ke mbali me mberi  kabar.   Aku   tak   percaya   wanita   itu me mpunyai tiga kepala enam  tangan yang t iada tandingannya!”

Sekalipun Thong sah Tek Cin dan Ciok Sam kong bukan tergolong ketua partay, tetapi kedudukan mereka dalam partay masing masing, melebihi ketuanya. Memang jarang partay persilatan yang masih me mpunyai tokoh tokoh tua angkatan lama. Dan kedatangan kedua tokoh itu wewakili ketua partaynya yang menjadi mur id keponakan mere ka.

Tay Ih siansu merenung sejenak. Teringat akan jalannya pertempuran sema la m, diam-dima ketua Siau Lim si itu agak gelisah. Sekalipun mendapat bantuan Siu lam dan kedua Lam Koay Pak Koay, tetapi Siau Lim Si tetap mender ita kerugian besar dari serangan Beng gak. Dan sesungguhnya Siau Lim si sudah akan hancur apabila dalam detik detik ke menangan, rombongan Beng gak mendadak mengundur kan diri karena mendengar suara seruling.

“Ya, suara seruling itulah yang menjadi kunci rahasia dari pengunduran Beng gak. Siapa kah kiranya seruling misterius itu?”

Lagi pula kedatangan si nona baju putih yang tak disangka sangka itu. Jelas nona itu datang dengan maksud baik karena hendak me mbantu. Melihat ketua Siau Lim si itu diam saja, diam diam Thong soh Tek Cin marah. Ia anggap ketua Siau Lim si itu tak mengindahkan Ciok sam kong.

Akhirnya karena tak dapat menahan perasaannya. Thong goh Tok Cin menegur,  “Apakah taysu sudah mendapat keputusan?”

Seluruh hadirin me meperhatikan ketua Siau Lim si yang terus menerus berdiam diri itu. Rupanya Tay Ih agak gugup dan menghela napas, “Ah, lohu sedang me mikirkan suatu hal yang aneh….” tiba-tiba ia merasa kelepasan ngo mong. Maka cepat ia berhenti.

Wajah Ciok Sam Kong berubah. serunya dingin “Entah mengenai soal apasaja. apakah dapat lohu katakan?”

Dari nadanya jelas bahwa tokoh swat san pay mengunjuk rasa tak puas terhadap tuan rumah.

Tay Ih siansu tak pernah bohong. Dibawah tekanan pandangan mata dan kata dari Ciok San Kong, akhirnya ketua siau Lim si itu menghe la napas “Lohu merasa heran atas peristiwa yang terjadi semalam. Jelas bahwa rombongan Beng gak sudah ha mpir me ncapai ke menangan.

Tapi entah bagai mana mereka tiba-tiba  mengundurkan diri. Jika pertempuran itu berlangsung sejam lagi, Siau lim si itu pasti sudah hancur….”

Dia berhenti sejenak me mandang kepada Siu La m, katanya lebih lanjut “Pada saat itu Pui sicu ini sudah mender ita luka, Lam Koay dan Pak koay berdua locienpwe juga sudah terluka. anak mur id siau lim si sudah banyak yang binasa. Keadaan sudah genting sekali….” kemba li berhenti sebentar,  lalu menya mbung ke mbali “Diluar dugaan, wanita  Beng gak itu me mber i perintah kepada ro mbongannya supaya mundur!”

Penuturan itu mengejut kan sekalian hadirin. Hanya Ceng Hun totiang yang tersenyum ha mbar. Diantar kalangan ketua partay partay persilatan, dia termasuk yang paling muda sendiri usianya, sesungguhnya umur itu tak penting. Yang penting adalah kedudukan. Sebagai ketua, walaupun tua umurnya, tapi ia sa ma derajatnya dengan lain la in ketua persilatan.

Tetapi sudah menjadi peraturan yang berlaku didunia persilata. Ialah tentang adanya isitadat yang memisahkan antara golongan tua dan muda itu sangat keras sekali.

Peristiwa Ceng Hun totiang menggantikan yang lebih tua sebagai ketua partaynya, memang tersiar luas didunia persilatan. Hal itu menimbulkan berbagai tafsiran. Can ketambahan pula dengan sikap Ceng Hun totiang yang angkuh tak menghiraukan segala reaksi dan sikap lain- lain partay menjadi renggang.

Kembali pada suasana perjamuan, saat itu Tay Ih siansu berkata  “Dengan  adanya  peristiwa   yang   tak  wajar   itu, ke mungkinan besar lohu juga, ro mbongan Beng gak itu tentu belum pulang. Siapa tahu nanti mala m mereka akan ke mba li menyerang lagi!”

Setelah me mandang ke seluruh hadiriin tiba t iba Ciok Sam kong tertawa keras “Pada waktu ketua siau lim si mencundangi partay partay persilatan untuk bermusyawarah digunung Thay san, saat itu aku bersama Ciang bun sutit sedang menyaksikan semaca m ilmu baru. Maka pada  waktu itu tak sempat datang menghadir i. Konon kabarnya banyaklah tokoh tokoh persilatan yang hadir dalam pertemuan itu. Tetapi ke mana saja gerangan mereka itu sekarang?”

Masih tetap me mandang Siu lim, Tay Ih siansu menjawab “para orang gagah yang hadir di Thay san itu, sebagian besar telah jatuh ketangan Beng gak. Hanya Pui sicu seorang  ini  saja yang dapat melo loskan diri.!” Ciok Sam kong me ma ndang Siu lam dengan dingin, serunya “Bukahkah yang hadir kala itu terdiri dari tokoh tokoh ternama? Mengapa begitu tiada berguna?”

Siu lam menghela napas:” Jika menilik yang hadir dalam pertempuran di Thay san saat itu, memang termasuk tokoh tokoh yang ternama. Kecuali Tay Hong siansu dari Siau lim si, terdapat juga Siay Yau cu dari Bu-tong py, Siu Chiu Kiau su Su Boh tun, Bu ing sin kun Pek Co Gi dari She Gak, Sam siang ko chiu, pe mimpin wilayah utara Kau Cin Hong, Thian Heng totiang dan Thian Jio totiang dari Kun Lun pau….”

Tiba tiba Theng sih Tek Cin menggebrak meja. “Hey tokoh tokoh itu!”

“ha mpir seratus tokoh tokoh yang tergabung dalam rombongan pengge mpur Beng gakt elah binasa, sebagian kecil menyerah!” kata Siu lam pula.

“Yang lain lain tak perlu dibicarakan dulu. Lalu bagaimana dengan Siau Yau cu?” tanya Ciok Sam ong.

“siau Yau cu locianpwe menyerah pada Beng gak….”

Serentak berbangkitlah Tiok Sam kong dan berseru marah “Jangan mengoceh se maumu sendiri! Siapakah Siau Yau cu itu? masakan dia manusia yang takut mat i!”

Siu lam menyahut tenang “Keterangan wanpwe menurut kenyataan. Jika lo cianpwe tak percaya, wanpwepun tak dapat berbuat sesuatu apa. Untunglah hari masih sangat panjang, tentulah lo cianpwe dapat menyelidiki kebenarannya!”

“Lohu me mperkuat keterangan Pui sicu. Karena dalam pertempuran ke maren mala m, jelas  bahwa  Siau  Yau  cu  me mang ikut dalam ro mbongan Beng gak!”

Thong soh Tek Cin mengusap jantungnya. Sesaat kemudian ia berkata, “Shiu chiu kiau in So Buh Tun, apakah dia benar benar juga menyerah pada Beng gak?” “Benar” sahur Siu la m. “me mang Su lo cianpwe itu berwatak aneh sekali. Tetapi ketika dalam pertemuan di Thay san, dia sudah sadar. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya untuk melakukan suatu pekerjaan yang berguna bagi dunia persilatan. Sayang dalam pertempuran di Beng gak, dia telah ditundukkan dan menyerah pada musuh….”

Thian Ce totiang dari Kun lun Pay tiba tiba berbangkit, serunya dengan serius, “Mengenai kematian kedua sute kami Thian Seng dan Thian Jio, apakah Pui tayhiap menyaksikan sendiri?”

Siu lam tidak segera menyahut, mela inkan merenung. Seolah olah me ngingat lagi peristiwa di Beng gak te mpo hari. Kemudian baru ia berkata, “Sekalipun wanpwe tidak begitu ingat lagi akan kedua totiang itu, tetapi sejauh ingatanku, dari kun lun pay hanya hadir dua orang wakil. Bukankah kedua totiang itu kira kira berumur e mpat puluhan tahun?”

“Benar! Apakah mereka terbunuh?” nada Thian Ce semakin serius.

“Jika Kun Lun Pay hanya mengirim dua jago, wanpwe dapat me mastikan, kedua totiang itu sudah binasa!” sahut Siu lam tegas.

Gemetar tubuh Thian Ce totiang mendengar  keterangan itu. Tiba tiba ia menengadahkan kepala dan tertawa nyaring, “Sejak dahulu, beberapa gelintir panglima ternama yang dapat pulang dengan selamat? Oho, kematian kedua suteku  itu benar benar tak me malukan na ma Kun Lun Pay!”

Nada totiang itu gentar, menandakan hatinya bergolak keras.

Siu lam berpaling me mandang Ceng Hun “totiang juga mengirim dua jago ke Thay san?”

Ceng Hun totiang mengehela napas, “Apakah mere ka juga binasa dalam pertempuran itu?” “Jika tidak salah, rasanya kedua  jago  Ceng  sia  pay  itu  me ma mki na ma SIONG….”

“Ya. Siong Hong dan Siong Gwat, dua murid Ceng sia pay yang berkepandaian tinggi. kala itu pinto masih menyelesaikan pembuatan obat, terpaksa tak dapat menghadiri perte muan di Thay san.” kata Ceng Hun totiang.

Siu kam menghe la napas, “Ah, mereka telah binasa semua. Lebih dahulu mereka terkena racun, setelah tenaganya lumpuh, baru dibunuh!”

Ceng Hun totiang tundukkan kepala dan berkata perlahan, “Pui tayhiap me mbuktikan apa yang pinto duga. Kenyataan itu me mang pahit, tetapi pinto tetap berterima kasih  atas keterangan tayhiap.”

Hening seketika ruang perja muan itu. Sekalian hadirin tertegun mendengar cerita duka yang dibawakan Siu la m.

Beberapa saat kemudian, Siu lam berkata  pula, “Sebenarnya aku maish me nyimpan suatu hal yang mengejutkan perasaan. Tetapi sukar untuk mengutarakannya….”

“Lekas katakan, jangan main simpan simpanan!” teriak Thong soh Tek Cin.

“Diantara para hadirin disini, siapakah yang dari partay Bu tong pay? Lebih dahulu aku hendak me nyatakan ikut berduka cita!”

Sekalian mata hadirin tertumpah pada Siu La m. Tapi tiada seorang pun yang me mberi jawaban.

Tiba-tiba Ceng Hun totiang dari partay Ceng Sia pay mengangkat kepala dan dengan wajah bersungguh ia berseru, “Apakah mengenai diri Sin Ciong to heng itu? Bagaimana dia?”

Diam diam  Siu  lam  terkejut.  Waktu  mendengar  berita ke matian  kedua  saudara  Siong  Hong,  Siong  Gwat, tidaklah sedemikian rawan hati Ceng Hun totiang seperti mendengar berita buruk tentang diri Sin Ciong totiang. Diam diam Siu lam menduga, tentulah ada hubungan erat antara Ceng Hun  dengan Sin Ciong.

Brak…. Ciok Sam kong menggebra k meja, “Bilanglah!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar