Wanita iblis Jilid 31

Jilid 31

“SUHENG, Kau benar,” sahut Tay To seraya  menyambut pek kau- kiam terus hendak mengha mpiri Lam koay dan Pak koay. Tetapi tiba tiba terdengar runcing le mbut menghe mbus, “Ketua Beng gak, licin bukan kepalang. Sekalipun dia lari karena mendengar tiupan serulingku tapi kuduga dia tentu takkan begitu rela meninggalkan te mpat ini. Dalam waktu singkat, ia tentu akan menyuruh anak buah-nya secara diam diam menyelundup kedalam gereja sini. Harap bersiap siap menjaga ke mungkinan itu….”

Suara runcing le mbut itu tiba tiba berbenti. Rupanya orang itu tengah merenung. beberapa jenak kemudian terdengar ia menghe mbuskan suaranya yang runcing lagi, “Pada saat ini, belum waktunya kuunjukkan diriku. Sebenarnya  aku-pun dapat melepaskan La m- koay dan Pak koay dari jeritan nyaring Thian-jan si agar kedua orang itu dapat me mbantu Siau-lim-si menghadapi musuh. Tetapi karena tampaknya mereka masih mendenda m kepada paderi Siau lim-si, apa-bila dikeluarkan, belum tentu mau me mbantu kalian. Sekalianpun mereka tak mau ikut ca mpur tangan dalam pertempuran, tetapi tetap tak menggunakan fihak Siau-lim-si. Maka untuk se mentara ini, lebih baik tak melepaskan mereka.  Untung mereka berdua berkepandaian tinggi sehingga dapat bertahan diri dari jepitan jaring. Asal mereka tahu bahwa makin meronta semakin jaring itu mengeras, mereka tentu mau berdiam diri  dengan tenang….

“Kojin siapakah yang sudi me mbantu ka mi itu? Maukah kiranya….” baru Tay Ih siansu berseru kepada orang yang tidak kelihatan itu. tiba tiba orang itu sudah menukas, “saat ini kugunakan ilmu menyusup suara untuk bicara dengan kalian berdua. Oleh karena setiap saat ketua Beng gak mungkin akan ke mbali kesini, sebaik-nya segera dilakukan penjagaan ketat. Untuk sementara waktu, barap kalian berdua suka mendengarkan petunjukku, jangan meno lak.”

Kembali orang itu berhenti lalu berkata lagi, “Rupanya pemuda She Pui itu menderita luka berat. Sebaiknya pindahkan dia keka mar rahasla, jangan sa mpai diganggu musuh!”

Tergerak hati Tay Ih atas perintah orang tak kelihatan itu, Namun ia tak leluasa untuk mengucapkan apa apa.

Kembali orang itu gunakan ilmu menyusup suara berkata lebih lanjut, “Kalian berdua harus bersikap seperti yakin dapat mengatasi peristiwa saat ini. Sekalipun anak murid Siau lim si banyak yang jatuh korban keganasan Beng gak tapi rasanya sisa yang masih ada, dapat me mbentuk lagi barisan Lo han- tin. Sebaiknya me milih lagi sejumlah anak mur id agar barisan itu segera dapat dibentuk. Dan nyalakan obor kembali untuk menjaga ke mungkinan musuh mengadakan serangan secara gelap.”

Tay Ih dan Tay To, meskipun merupa kan paderi tua yang berkedudukan tinggi, tapi dalam kekalahan total seperti saat itu, merekapun ha mpir kehilangan kepercayaan diri  lagi. Mereka menganggap petunjuk orang itu me mang tepat. Maka Tay To segera mela kukannya. Disa mping menyusun anggauta barisan Lo ban-tin yang terdiri dari mur id murid pilihan, juga diperintah-kan agar Obor obor yang dipadamkan oleh barisan setan Beng-gak, dinyalakan ke mbali.

Sesaat kemudian terdengar suara tajam itu me lengking lagi, “Barisan manosia- manusia Setan itu, sebenarnya terdiri dari jago jago sakti dunia persilatan. Tetapi mereka telah dikalahkan ketua Beng gak, dipotong lidahnya dan diminumi obat bius sehingga menurut segala perintahnya. maka mereka me miliki kepandaian silat yang tinggi….”

Mendengar itu Tay Ih siansu ge metar dan serta merta ia merangkapkan kedua tangannya mengucap doa Omitohud.

Kembali suara tajam itu melanjut kan bersuara lagi, “Harap lekas pindahkan pe muda itu kesuatu tempat yang aman. Walaupun wanita Beng gak itu licin seperti rupa, tetapi wataknya banyak curiga. Jika tidak me mpunyai bukti-bukti yang nyata, dia tak mau sembarang bergerak. Jika dapat bersikap seolah-olah seperti tak menderita apa-apa, tentu wanita itu akan ragu-ragu dan tanggung tentu tak berani bertindak sembarangan. Nah, sampai disini dulu karena aku tak leluasa bercakap- cakap lebih lanjut dengan kalian.”

Dan suara itupun tak kedengaran lagi.

“Sute, harap bawa Pui sicu keruangan hong tiang,” Tay Ih berbisik pelahan- lahan. Tay To segera menyuruh dua orang paderi me manggul Siu-la m dan me mbawanya masuk.

Dalam pada itu,  berpuluh  puluh  batang  obor  yang dipada mkan oleh barisan setan Beng gak tadi, dan sudah dinyalakan ke mbali, Ruangan terang benderang lagi.

Barisan Lo han-tin yang kocar kacir, telah tersusun kembali. Kobaran-kobaran paderi Siau-lim si yang telah jatuh, disusun rapi dimuka barisan sehingga menimbulkan suasana yang rawan penuh dendam kedukaan.

Tay Ih siansu me langkah pelahan lahan mengitari korban korban itu. Lalu menatap tajam tajam kepada barisan Lo han tin, Wajah setiap anggota barisan Lo ban tin mengunjuk kedukaan     vang     diliputi     kebulatan     tekad     untuk me mpertahankan gereja Siau lim si.

Tay Ih siansu mengela napas lalu pejamkan mata. Diam diam ia telah mengerahkan napas siap menghadapi musuh.

Hala man gereja Siau lim Si yang luar dan penuh dengan beratus ratus paderi, tampak Sunyi senyap seperti suasana kuburan.

Tetapi sa mpai berselang beberapa la ma, tetap tak terjadi suatu perubahan apa-apa. saat itu barulah Tay Ih me mbuka mata dan me mandang kelangit. Ternyata saat itu sudah lewat pukul tiga ma la m. Tak berapa lama lagi tentu hari sudah terang tanah. Tiba-tiba dibawah cahaya obor, tampak sesosok bayangan me luncur mas uk dan mengha mpiri  kete mpat ro mbongan paderi.

Tay Ih sianSu menghela napas, “Aaah, akhirnya datang juga. Pertempuran kali ini entah akan mengorbankan berapa banyak paderi Siau lim-Si lagi….”

Dalam pada itu bayangan orang itu sudah tiba seto mbak dari tempat Tay Ih, dia berhenti.

Ketika Tay Ih siansu me mandangnya ternyata pendatang itu orang pemuda yang berpakaian ringkas warna hita m. Punggungnya menyanggul pedang.

Sambil me mberi hor mat kepada ketua Siau lim-si. pemuda itu berseru nyaring, “Maaf, toa-suhu!”

Tay Ih siansu kerutkan dahi dan me mbalas hor mat, “Siapakah sicu?”

Orang itu pelahan lahan maju mengha mpir i. Kira kira terpisah tiga empat langkah ia berhenti.  Kita  melihat tumpukan mayat paderi Siau-iim Si, tiba-tiba orang itu menjurah dala m-dala m.

“Siapakah sicu?” Tay Ih ulangi pertanyaannya lagi.

Pemuda itu tenang sekali sikapnya. Sambil julurkan sepasang tangan, ia menyahut dengan hormat, “Cayhe adalah Tio Gan, mur id dari partay Ceng sia-pay. Mohon tanya gelaran tay-su yang mulia?”

Setelah mengatakan dirinya siapa, Tay Ih menanyakan apa maks ud kedatangan pemuda itu.

Kata Tio Gan, “Suhuku karena sedang menyelesaikan pembuatan obat, maka t idak dapat menghadiri Eng Hiong tay hwe di gunung Tay-Sin te mpo hari. Tetapi tentang perubahan di-dunia persilatan, di ikutinya dengan penuh perhatian, Konon kabarnya di dunia persilatan dewasa ini, muncul seorang yang gerak-geriknya  menakutkan sekali.   Siang   ma lam   dia mene mpuh parjalanan menuju kedaerah Tionggoan. Setelah pembuatan obat selesai, suhupun msndengar berita itu dan timbul kecurigaannya. Maka  dengan  mengajak  dua  belas mur id, beliau telah turun gunung. rombongan kami dapat mengikut i jejak orang itu sa mpii ke gereja sini. saat ini rombongan kami berada diluar gereja karena sebelum mendapat perkenan dari taysu, ka mi tak berani lancang masuk….”

“Bukankah suhu sicu itu Ceng Hun totiang ketua Ceng-sia- pay?” Tay Ih menghela napas.

“Benar,” Sahut pe muda itu.

“Ah, seorang sahabat lama….” Tay Ih Siansu sejenak menghe la napas, “harap Tio sicu mengundang suhu sicu dan menya mpaikan berita bahwa karena saat ini  Siau-lim-si sedang menghadapi anca man besar dari musuh, terpaksa lohu tak dapat menya mbut keluar….”

“Menilik banyak paderi yang rubuh, tentulah habis terjadi pertempuran  dahsyat.  Baiklah  wanpwe  segera   akan menya mpaikan pada suhu.”

Tio Gan terus berputar tubuh dan lari keluar.

Sebenarnya  Tay  Ih  masih  hendak  bicara,  Ia  hendak  me minta agar pemuda itu menyampaikan kepada rombongan Ceng sia-pay bahwa sebaiknya Ceng-sia-pay lekas-lekas tinggalkan gereja Siau Lim si Saja. Tetapi ternyata Tio Gan habis berkata terus lari keluar sehingga Tay Ih tak se mpat bicara lagi.

Tay Ih siansu menghe la napas rawan. Barisan Lo han tin yang begitu tanggub, akhirnya jebol juga apalagi Ceng sia pay. Bantuan mereka hanya berarti akan mengantar jiwa secara sia-sia saja. Tak berapa la ma, belasan orang berlari-lari disepanjang jalan yang terbentang dimuka gereja. Menilik gerakan mereka, tentulah mereka me mihki ilmu ginkang yang tinggi.

Pada lain kebad, Seorang ima m yang me melihara jenggot panjang dan menyanggul pedang dibelakang bahunya, menerobos masuk ke-dala m. Itulah ima m Ceng Hun, ketua dari partai Ceng-Sia - pay!

Begitu me mandang tumpukan mayat yang menganak-bukit, ketua Ceng sia pay itu menghela napas, serunya penuh sesal, “Ah, pinto datang terla mbat, sungguh a mat menyesal.”

Tay Ih-Siansu rangkapkan kedua tangan me mberi hor mat, “Terima kasih atas kunjungan toheng!”

“Apakah barisan ini barisan Lo han-tin yang  termasyhur itu?” sesaat Ceng Hun totiang bertanya setelah me mandang pada rombo ngan paderi Siau- Lim si yang tengah pecak baris.

Tay Ih mengiakan dengan kata-kata merendah.

“Ta mpaknya musuh sudah dapat dipukul mundur,” kata ketua Cing sia-pay pula.

Tay Ih merenung sejenak, ujarnya, “Musuh keliwat tangguh sehingga gereja kami menderita kerugian besar. Walaupun siaat ini mereka mundur, tetapi setiap saat dapat datang lagi.”

Wajah ketua Ceng-sia pay serentak berubah serius, “Pada pertemuan digunung Thay san yang diselenggarakan Tay Hong toheng. karena sedang me mbuat pil, terpaksa pinto tak dapat menghadir i. Tetapi saat itu pinto mengutus dua orang mur id, Siong Hong dan Siong Gwat untuk mewakili pinto hadir.”

“Apakah mur id toheng itu kini sudah pulang kembali?” cepat cepat Tay Ih menukas ce mas.

“Karena tak ada kabarnya, pinto segera mengirim beberapa mur id pilihan untuk me nyelidiki ke gunung Thay san. Menurut surat mereka yang dikirim dengan burung merpati, didekat gunung Thay san telah muncul gero mbolan manus ia aneh berpakaian serba aneh dan gerak-geriknya serba misterius. Walaupun sudah la ma pinto tak turun gunung, tetapi pinto selalu mengikuti perke mbangan dunia persilatan. Gerombolan manus ia manus ia aneh itu, agaknya belum pernah muncul didalam   persilatan.    Karena    curiga,    pinto    berusaha me mecahkan persoalan itu. Hari kedua pinto terima laporan burung merpati lagi, menyatakan bahwa gerombo lan manusia aneh itu kalau siang hari tidur, mala m berkeliaran. Pinto makin curiga dan akhirnya pinto me mutuskan untuk turun gunung. Karena tergesa-gesa, pinto hanya me milih dua belas murid untuk menyertai pinto, ternyata pinto terlambat setindak juga….”

Tay Ih Siansu menghaturkan terima kasih atas perhatian dan semangat setia kawan ima m Ceng Sia Pay itu.

Tiba-tiba terdengar langkah orang berlari. Ternyata Tay To siansu    muncul    dengan    mandi     keringat.     Tay     Ih me mper kenalkan sutenya itu kepada ketua Ceng Sia Pay dan rombongannya.

Kemudian Tay Ih menanyakan apa sebab sute itu berlari begitu tergesa-gesa.

Dengan menghela napas Tay To melapor kan tentang keadaan Siu Lam yang berbahaya. “Dia tiga kali pingsan, dua kali habis napas. Siaute telah berusaha sekuat tenaga untuk menyalur kan tenaga dalam kepadanya….”

Berita itu seperti palu godam yang menghantam kepala. Namun Tay Ih tetap menekan  tubuhnya yang gemetar, serunya:” apakah sekarang keadaannya sudah cukup baik?”

Diam diam Ceng Hun totiang heran me lihat wajah kedua paderi Siau Lim Si itu. Segera ia bertanya siapakah pe muda she Pui itu. “Boleh dikata dialah yang menjadi tulang punggung  Siau Lim si dalma menghadapi serbuan Beng gak”.  Tay Ih menerangkan.

“selainberjasa  kepada  Siau  Lim  Si,  diapun   telah menyela matkan dunia persilatan dari bencana kehancuran.” kata Tay Ih dengan penuh se mangat.

“Entah dari partai manakah pe muda yang sedemikian saktinya itu? Mungkin pnto  pernah  mendengar  namanya.” ima m Ceng Hun se ma kin heran.

“Dia anak muda yang tak berna ma. Tetapi kali ini jasanya, akan dikenang oleh seluruh kaum persilatan. Na manya akan selalu dipuja oleh setiap anak murid Siau Lim Si.” kata Tay Ih lebih lanjut.

Walau dalam hati tak puas. tetapi Ceng Hun  totiang sungkan untuk me mbantah mereka. Ia batuk-batuk kecil lalu katanya :”Jika kalian berdua begitu me mujinya, tentulah dia seorang yang luar biasa!”

“Tetapi saat ini dia sedang berada dalam keadaan yang gawat sekali. Dalam keadaan jiwanya terancam itu ia  tetap  me mperhatikan kesela matan La m-koay dan Pak-koay!”

Kemasyhuran na ma kedua tokoh aneh itu bukan hanya berkumandang di dunia persilatan Tiong goan, pun jauh sampai di Kwan gwa (luar perbatasan). Sebagai ketua Ceng- sia pay sudah tentu Ceng Hun totiang mendengar juga. Seketika ia terkesiap.

“Apa? Kedua locianpwe itu mas ih hidup?” serunya terkejut Kata Tay Ih Siansu, “Kecuali Pui sicu, kedua tokoh Lam

koay dan Pak koay itupun me mbantu Siau-lim si….”

“Sudah la ma pinto mengagumi na ma kedua tokoh  itu. Entah di ma nakah mereka itu sekarang? Bolehkah pinto menjenguk?” “Omitohud, hal ini….” tiba-tiba Tay Ih tak lanjutkan kata katanya. Ia ingat kedua tokoh itu mas ih terjerat dalam jaring. Jika di- ketahui orang, tentulah akan merugikan na ma mereka.

Tay Ih tidak ingin ketua Ceng-sia pay itu mengetahui keadaan Lam- koay dan pak koay tetapi diapun tak dapat berdusta. Maka sampai beberapa saat, ketua Siau lim si itu tak dapat berkata- kata.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin:

“Ui dan Shin lokoay saat ini sedang terjerat jaring, lebih baik jangan melihatnya!”

Menyusul seorang lain orang, berseru dengan dingin, “Walaupun jaring itu lihay, tetapi aku dan Ui lokoay dapat mengatasinya. Dalam sehari dua hari, aku masih dapat bertahan. Yang penting adalah Pui suteku itu harus lekas di tolong jiwanya. Hm, dia menderita luka berat karena membela Siau-lim-si, Jika kalian tidak ma mpu menyela matkan jiwanya, selekas keluar dari jaring ini, seluruh paderi Siau- lim-s i tentu akan kubunuh. Mereka akan kukorek ulu-hatinya  untuk menye mbahyangi arwah Pui-sute.”

Sahut Tay Ih, “Harap locianpwe  berdua jangan kuatir. Betapapun halnya, lohu tentu akan berdaya sekuat tenaga dan ke ma mpuan lohu untuk meno longnya!”

Ceng Hun totiang berpaling. Ta mpak dibawah sebatang pohon tua, segulung jaring putih terisi dua sosok tubuh. Jaring itu menyurut kecil sekali.

Terdengar suara bernada sinis itu berseru pula, “Hai, ima m hidung kerbau, apa yang kau lihat? Suhu dari Wanita siluman dari Beng gak itu juga serupa dandanannya dengan engkau, Hm, aku sungguh muak me lihat pakaianmu itu!”

Sebagai seorang ketua partai persilatan, Sudah tentu Ceng Hun totiang tak pernah di- maki orang sebagai ima m hidung kerbau. Rombongan anak muridnya telah siap sedia dengan wajah murka. Tetapi Ceng Hun totiang tetap tenang seperti tak terjadi suatu apa.

“Di dunia persilatan. penuh beraneka ragam manus ia, bagaimana hanya tertuju pada pakaian saja?”

kata Tay Ih siansu, “Kedua lo cianpwe itu berwatak aneh.

Harap toheng jangan menaruh di hati.”

Ketua Ceng-sia-pay itu tertawa panjang, “Jangan Lo siansu kuatir, pinto sudah la ma mengagumi kedua lo cianpwe itu. Sekalipun ada kata-kata yang menyinggung, tetap pinto takkan tersinggung!”

Terdengarlah suara tertawa dingin pula, “Segero mbolan paderi dan ima m, me mang hanya gemar bicara hal-ha l yang tak sedap didengar telinga. Pui sute itu sedang menderita luka berbahaya, jiwanya dalam bahaya. Mengapa kalian enak-enak bicara disini, tak lekas-le kas menolo ngnya!”

Ceng Hun totiang tertawa, “Baik, marilah kita lihat kesana. Pinto me mpunyai pil buatan Ceng-sia-pay. Coba saja apakah pil itu dapat meno longnya.”

saat   itu   hari   pun    telah    terang    tanah.    Setelah me mperhitungkan bahwa orang Beng gak tentu  tak datang ke mbali, segera Tay Ih me mbis iki beberapa anak mur idnya supaya mewakili me mimpin barisan Lo-han-tin. Ke mudian suruh delapan paderi me lindungi La m- koay dan Pak- koay. Begitu terjadi perubahan supaya lekas-le kas me mberi kabar. Sedang ia sendiri mengaja k Tay To siansu dan Ceng Hun totiang menuju ke ka mar hong t iang menjenguk keadaan Siu- la m.

Ceng Hun totiang me merintahkan dua belas anak mur idnya untuk  me mbantu  Lo-han-tin,  Ke mudian   hanya   dengan me mbawa Tio Gan seorang, ia mengikuti Tay Ih siansu. Tiba di sebuah ruang yang luarnya penuh berhias pohon bambu dan tanaman-tana man bunga yang aneh, Tay Ih siansu segera me mpersilahkan ketua Ceng-Sia pay masuk.

Merekapun segera melangkah masuk. Ta mpak Siu lam dengan wajah pucat tengah berbaring diatas sebuah bale bale kayu. Kedua matanya dipejamkan. Dua orang paderi menjaga di sa mpingnya.

“Apakah Pui sicu sudah sadar?” buru buru Tay Ih Siansu bertanya.

“Sudah dua kali dia kehabisan napas dan disaluri  hawa murni oleh Tay To susiok ke mudian diurut urut jalan darahnya sehingga napasnya mula i berjalan lagi….”

“Setelah Tay To susiok pergi, apakab dia sadar lagi,” tanya Tay Ih ce mas.

Kedua paderi itu gelengkan kepala, “Belum. dia belum  sadar, tetapi napasnya tetap melancar.”

Tay Ih siansu meraba dadanya. Napasnya Siu lam le mah sekali. Ke mudian ia mengundang Ceng  Hun  totiang  untuk me mer iksa.

Sesungguhnya sudah sejak masuk kedalam ruangan situ, Ceng Hun me mperhatikan keadaan pe muda itu. Tetapi ia sungkan sebelum diminta oleh tuan ruma h.

Setelah me meriksa pergelangan tangan Siu-La m, berkatalah ketua Ceng sia pay itu, “Napasnya lemah sekali, lukanya terlampau parah. Dapat ditolong atau tidak,  akan pinto coba untuk me mber ikannya pil Hui Sim leng tan agar dia sadar dulu. Nanti kita periksa lebih lanjut ke mungkinannya!”

Tay Ih dengan bersungguh minta agar ketua Ceng sia pay itu suka berdaya sekuat tenaga menolo ng Siu la m.

Siu lam diberi minum dua butir pil buatan Ceng sia pay. Tiba tiba Tay Ih teringat akan orang tak kelihatan yang telah menyusupkan suara kepadanya tadi. Tetapi kedua penjaga di ruang situ mengatakan bahwa tiada seorangpun yang datang kesitu.

Ceng Hun totiang tampak tegang sekali. Ia telah mendapat semua permintaan dari ketua Siau lim-si. Itu berarti suatu kepercayaan. Jika pil itu tak dapat menyadarkan Siu  la m, nama Ceng Sia-pay pasti akan ternoda.

Dalam pada itu harapan makin terang Ceng Hun totiang menghe la napas. Tiba tiba ia menepuk jalan darah didada Siu- la m. Siu lam me ngerang dan me mbuka mata perlahan lahan.

Tay Ih siausu girang sekali.

“Dima nakah perempuan siluman Beng gak itu? Apakah dia sudah kabur?” begitu me mbuka mata, Siu lam terus menanyakan soal itu.

“Saat ini hari sudah terang tanah.  Karena  belum datang  ke mbali, tentulah dia sudah pulang ke Beng gak,” kata Tay Ih Siansu.

Siu lam tertawa, “Bagaimanakah dengan kedua lo cianpwe Lam koay dan pak koay?”

“Mereka masih tetap berada dalam jaring. Tetapi t idak mender ita  luka  apa  apa.  lohu tentu  berusaha   untuk meno longnya harap sicu jangan kuatir,” kata Tay Ih siansu.

Siu-Ia m hendak berkata lagi tetapi dicegah Ceng Hun totiang yang menasehatkan supaya jangan banyak bicara dulu.

Berpaling anak muda itu me mandang ketua Ceng sia pay beberapa jenak lain tegurnya dengan suara le mah, “Siapakah totiang?”

Tay Ih siansu segera memperkena lkan ketua Ceng sia pay yang sekarang. Pandai dalam ilmu pengobatan dan luas pengalaman. “Ceng Hun toheng telah me menuhi permintaan lohu untuk meno long sicu.”

“Harap  lo-siancu  jangan  terlalu  me muji.  Pinto   hanya me lakukan apa yang pinto ma mpu saja!”

Tay Ih tergetar hatinya. Ia ingat keterangan Ceng Hun totiang tadi bahwa harapan Sin-lam tipis sekali. Dan ternyata ketika me mandang kearah Siu la m, ternyata anak muda itu pejamkan mata lagi.

Ceng Hun totiang me mberi isyarat mengajak Tay Ih keluar. “Bagaimana keadaannya?” tanya Tay Ih Siansu dengan

berdebar.

“Pinto heran sekali, Sela ma dalam pengala man pinto mengobati orang, baru pertama kali ini menjumpai keadaan yang begini aneh. Dia terluka parah sekali dan seharusnya sudah mati. Tapi anehnya dia mas ih tetap hidup….”

“Sewaktu menderita luka dalam perte mpuran. dia telah minum sebotol pil Siok-beng-tan buatan Siau-lim-si,” Tay Ih segera menuturkan r ingkas  perte mpuran  anak  muda  itu me lawan ketua Beng gak.

“Oh, benarlah. Karena kekuatan pil itu belum lenyap maka dia dapat bertahan….” kata Ceng Hun  totiang.  Kemudian  ia me mandang kelangit dan menghela napas, “Pinto tak berdaya lagi. Andaikata dapat menyembuhkan lukanya, tetapi tenaga dalam pinto pasti habis dan tentu cacad seumur bidup. Tetapi usaha itupun belum pasti akan berhasil menyembuhkannya!”

Tay Ih siansu hanya menyerahkan saja bagaimana baiknya ketua Ceng Sia Pay.

Berkata Ceng Hun totiang :”Menurut hasil pemer iksaan urat nadinya, dikuatirkan dia tak dapat hidup sampai setengah hari lagi. Sekalipun kita tau te mpat obat mukjijat pun temponyapun tentu tak keburu lagi. Taysu sudah menunaikan seluruh tenaga dan pikiran untuk meno longnya. Tetapi hendaknya janganlah taysu jadi patah semangat karena meninggalnya seorang. Karena hal itu membawa akibat pada seluruh dunia persilatan. Dan juga terhadap se mangat perjuangan Siau Lim si me lawan Beng gak!” kata Ceng Hun totiang lebih lanjut.

“Ketua Beng gak selain berkepandaian tinggi juga banyak me miliki akal mus lihat. Dia me mpunyai senjata rahasia yang ganas sekali dan sukar dijaga. Sekali menabur tentu berpuluh- puluh korban akan jatuh. ” kata Tay Ih dengan rawa, sekarang seolah-olah masih terkenang akan peristiwa pertempuran semala m yang mengerikan itu.

“Tapi  betapapun  saktinya  ketua  Beng  Gak   asal   kita me mpersatukan se mua partay partay persilatan besar untuk mengerubut inya, tentulah dapat menumpasnya. Atas nama taysu dan pinto sendiri kita  mengir im undangan keapda sembilan partai persilatan agar mengir im wakilnya kegunung Kosan sini guna mer undingkan rencana bersa ma. Entah bagaimana pendapat taysu?”

Dia m-dia m Tay Ih menimbang. berusan Lo han tin yang begitu hebat pun tak dapat membendung serangan orang Beng gak. Ia sangsi apakah kekuatan sembilan partai persilatan itu ma mpu menga lahkan Beng Gak.

Namun ketua Siau Lim si itu sungkan untuk menyatakan isi hatinya. Beberapa saat dia terdiam saja.

Diantara sembilan partay persilatan Ceng Hun totiang termasuk ketua yang paling muda sendiri usianya. Oleh karena itu, Semangatnya masih berkoabar dan pengala man kurang.Melihat tuan rumah diam saja, dia segera hendak mendesak. Tetapi sebelum me mbuka  mulut, sekonyong- konyong seorang nona cantik berbaju putih muncul dan mengha mpiri dengan langkah perlahan.

“Siapa!” seru ketua Ceng sia Pay itu dengan serentak. Begitupun Tay Ih juga tak kurang kejutnya melihat nona  itu.

Nona itu tenang-tenang saja. Tak mau menyahut dan tetap me langkah perlahan-lahan. sudah tentu Ceng Hun totiang curiga dan marah. Segera ia mengangkat tangannya kiri, siap untuk me mukul.

“Apakah taysu kenal dengan nona itu?” tanyanya kepada Tay Ih siansu.

“lohu tak kenal…. ” tiba-tiba Tay Ih teringat sesuatu dan cepat mencegah Ceng Hun jangan turun tangan dulu, Ia hendak menanyakan diri nona itu.

“Sela mat datang li sicu” kata Tay Ih seraya maju dua langkah dan me mberi hor mat.

Hanya sejenak nona itu melirik kepada ketua Siau Lim si seraya mengucapkan kata-kata me mba las hormat. Tetapi tetap melangkah keruang Hong tio.

“Gereja merupa kan tempat suci. Tak boleh li sicu sembarangan masuk. Harap berhenti!” seru Tay Ih siansu.

Nona baju putih itu menyahut dingin, “jika bukan karena hendak menjenguk seseorang, sekalipun engkau undang, jangan harap aku sudi datang ke mari. Toh gereja ini hanya penuh dengan patung dan arca saja, tiada yang sedap dilihat? “

Habis berkata nona baju putih itu terus menyelip masuk keruang Hong tio(ketua)

Sambil kebutkan lengan jubahnya, berserulah Tay Ih SianSu, “Harao li-sicu menjaga diri, lohu  terpaksa berlaku kurang sopan?”

Serangkum angin kuat, melanda kearah nona itu. Nona itu mengindar dua langkah ke sa mping, seraya berseru dingin, “Lekas menyingkir, aku hendak me mer iksa bigaimana lukanya!”

“Siapa yang li-sicu hendak jenguk?” “Pui Siu- la m!”

“Apa hubungan li Sicu dengannya?”

“Isteri yang belum pernah hidup serumah?”

Tay Ih siansu terkesiap, serunya; “Siapakah na ma nona?” “Aku oraag she Bwe? Eh, engkau paderi tua ini, mengapa

ribut tak keruan saja! Apakah engkau tak merasa je mu?”

Tiba-tiba Tay Ih teringat. Seakan akan Ia pernah mendengar nada suara nona itu te mpo hari. Iapun segera mundur dua langkah, me mberi ja lan.

“Menurut peraturan gereja ini, kaum wanita dilarang masuk keruang kedua apalagi keruang Hong Tio. Tetapi karena Pui sicu telah berjasa kepada Siau lim si, biarlah kelak lohu yang menja lani hukuman gereja dan sekarang silahkan li-sicu masuk….”

Nona baju putih itu tertawa dingin dan menukas ucapan  Tay Ih, “Ketua Beng gak itu, juga seorang wanita. Tetapi mengapa lo Siansu tak mengusir nya keluar!”

Kata kata tajam itu bagai sebilah pisau menusuk ulu hati Tay Ih. seketika wajah pejabat ketua Siau lim si itu merah padam dan tidak dapat berkata sepatahpun juga.

Tetapi serentak dengan itu terlintas sesuatu dalam benak Tay Ih. Ya, tak Salah lagi. Suara nona itulah yang tadi mela lui ilmu menyusup suara Coan im jib bi telah melengking ke telinganya!”

Serentak Tay Ih memberi hor mat dan berseru, “Bukankah li sicu yang tadi me nyusupkan suara kepada lohu?”

“Kalau benar, bagaimana?” tanya nona itu Dalam pada mengajukan pertanyaan itu diam-dia m Tay Ih sudah curahkan perhatiannya untuk meneliti suara orang. Ah benarlah. Memang suara nona itu yang tadi menyusupkan suaranya.    Serta    merta    ia    me mber i    hor mat     dan me mpers ilahkan nona itu masuk.

Dalam pada itu, ketika Tay Ih dan sinona baju putih tukar pembicaraan, dia m-dia m Ceng Hun totiang sudah mengerahkan tenaga dalam ketangannya. Asal sinona itu mcngadakan gerakan yang  mencuriga kan,  segera  ia  akan me mukul nya. Tetapi ternyata Tay Ih malah me mpersilahkan nona itu masuk. Ketua Ceng-sia pay itupun  menyingkir  mundur juga.

Nona  baju  putih  itu   dingin   sekali   sikapnya.   Tanpa me mandang kepada  kedua  ketua   partay   itu,   ia   terus  me langkah masuk, seluruh mata orang orang yang berada dalam ruangan situ, tercurah kepada si nona.

Dengan tenang  ia  mengha mpiri  ranjang  kayu  dan menga mati Siu-la m. Sejenak kerutkan kening,  ia ulurkan tangannya menjamah ubun-ubun kepala pe muda  itu. Beberapa saat kemudian baru tangannya ditarik ke mbali. Kemudian ia berpaling kepada Tay Ih, “Apakah lukanya parah sekali?”

“Benar,” kata Tay Ih siansu, “tetapi Ceng Hun toheng ini mengatakan bahwa lukanya bukan tak dapat ditolong tetapi sayangnya seluruh kepandaian Pui sicu ini nanti,  mungkin akan lenyap dan seumur hidup dia tak dapat meyakinkan ilmu silat lagi!”

Hati hati sekali Tay Ih mengatur kata-katanya agar nona yang mengaku sebagai calon isteri Siu lam itu tak menangis karena mendengar berita menyedihkan itu.

Tetapi diluar dugaan wajah nona itu tetap dingin, sedih atau girang, sama sekali tak dapat diraba orang. Sahut dengan nada dingin, “Dia terluka karena me mbela Siu lim-s i. Kalau dia sa mpai sa mpai me ninggal, bagaimana tindakan Siau lim si? “

Pertanyaan iru tak diduga Tay Ih sehingga pejabat ketua Siau-lim si itu tertegun beberapa saat.

“Budi pertolongan Pui sicu kepada Siau-lim si sebesar gunung. Jika jiwaku dapat diberikan kepadanya, lohu bersedia me mber ikan sisa umur lohu kepada Pui sicu agar dia dapat hidup sa mpa i seratus tahun!”

Berhenti sejenak, paderi Siau-lim si itu me lanjutkan kata- katanya pula; “Sejak didirikan ratusan tahun berselang, belum pernah Siau-lim-Si menerima budi orang. Asal ada obat untuk meno long Pui sicu, seluruh paderi anak murid Siau lim-si dari tingkat tiga sampai kebawah, tentu akan mengerahkan tenaga untuk mencarinya.”

Wajah dingin dari nona itu tiba-tiba merekah  senyum cerah, “Tekad kalian untuk menyelamatkan jiwanya,  andai kata  dia  meninggal,  dia  tentu  akan  meninggal   dengan mera m!”

Tay Ih siansu menghela  napas  perlahan  “Se moga Hud me lindungi jiwanya!”

Tiba-tiba nona itu berputar diri dan merogoh  kedalam bajunya. Ia mengeluarkan sehelai buntelan sutera putih. Dengan hati-hati buntelan itu dibukanya. Ternyata buntelan  itu terdiri dari delapan buah lapisan. Yang terakhir terdapat sebuab botol dari batu kumala putib. Begitu sumbat dibuka, berhamburanlah hawa yang harum sekali.

Ketika Ceng Hun totiang mengawaSi botol kuma la itu, serentak gemetarlah tubuhnya. Wajahnyapun segera berobah.

Tay Ih heran melihat sikap ketua Ceng-Sia-pay  itu.  Tetapi ia sungkan bertanya.

Sejenak nona itu melir ik kearah Ceng Hun totiang. Tiba-tiba ia me mijat hancur botol kuma la itu. Didalam botol terisi sebutir pil merah yang berkilat-kilat dan menyiarkan bau yang luar biasa harumnya.

Dengan dua buah jari tangan kanannya, ia menjemput pil itu. Lalu dengan tangan kirinya me mbuka mulut Siu Lam dan menyusupkan pil itu kedalam tenggorokannya.

“Maaf, li enghiong, Apakah nama pil itu?” tiba-tiba  Ceng Hun totiang bertanya.

Sikap nona itu ke mbali dingin seperti semula dan menyahut

:”Apakah engkau t idak dapat me lihat sendiri?”

“Menurut pengawasan pinto, pil itu agaknya me mpunyai riwayat besar”. kata Ceng Hun.

“Sudah tentu me mpunyai riwaya. Jika pil biasa, me mpunyai khasiat untuk menghidupkan orang yang sudah ha mpir mat i?” balas si nona.

“Oh, kalau begitu Pui sicu me mpunyai harapan tertolong.” seru Tay Ih dengan girang.

Mata nona itu berkilat-kilat. Rupanya hatinya  mulai bergolak. Tetapi dengan cepat ia me meja mkan sepasang matanya untuk mene kan gejolak perasaanya itu. Ke mudian berkata dengan perlahan. “Bagaimana aku tahu karena pil itu bukan buatanku. Jika memang belum takdirnya mati, dia tentu akan se mbuh!”

Tay Ih terkesiap. Ucapan nona itu suatu pernyataan yang tak bertanggung jawab. Jika me mang belum takdirnya mati, sekalipun tidak minum pil dari nona itu Siu Lam pun tentu takkan mati.

Namun Tay Ih tak mau  me mbantah.  Dia  hanya  berdoa me minta Tuhan melindungi jiwa pemuda itu.

Tiba-tiba nona itu me mbuka matanya dan dengan nada dingin minta Tay Ih dan sekalian orang keluar dari ruangan situ :”Silahkan kalian keluar, biarlah aku seorang diri yang menunggunya sampai dia sadar!”

“Apanya yang tak leluasa! Aku istrinnya, tak perlu harus mentaati segala maca m adat pergaulan wanita dan pria!”

“Gereja adalah tempat suci dan ruang Hong-tio itu keras sekali peraturannya….”

Nona baju putih itu kerutkan alis. Berkatalah ia dengan nada kurang senang, “Kalau begitu biarlah dia mati  saja!” Habis berkata ia terus berputar tubuh dan melesat keluar

Tay Ih siansu me mandang keadaan Siu-La m yang masih terkapar di ranjang. Mengingat bagaimana jasa pemuda itu kepada Siau Lim si, akhirnya Tay Ih menghela napas, “li sicu, harap berhenti dulu!”

“Apakah engkau meluluskan?” Nona itu berpaling.

“Pui sicu telah me mberikan jasanya yang besar sekali kepada Siau-Lim Si. Jika tanpa bantuannya, dikhawatirkan gereja ini sudah hancur, Biarlah lohu yang akan menerima hukuman gereja dan me mpersilahkan li sicu mela kukan daya pertolongon.”

“Jika me luluskan, harap segera keluar!”

Tay Ih siansu tersenyum getir. Ia mengajak Ceng Hun totiang keluar. Ketua Ceng sia Pay itu menjemput pecah botol kumala ditanah lalu melangkah keluar. Demikian paderi yang tugasnya jaga Siu Lam diruang Hong Tin itu.

Tiba-tiba nona baju putih itu gunakan ilmu menyusup suara kepada Tay Ih :”Tak perlu terlalu jauh, harap menunggu diluar ruang saja!”

Ketika Tay Ih berpaling ternyata nona baju putih itupun sudah melangkah kedalam ruangan. Tay Ih me mperoleh ketua Ceng Sia Pay beristirahat di kamar yang telah disediakan, sendang ia sendiri ingin jaga diluar ruangan Hong Tin. Ceng Hun totiang tertawa :” Pil merah itu, agaknya suatu obat ajaib yang jarang terdapat di dunia persilatan…. “

“Obat apakah itu?”tanya Tay Ih.

“Sekarang karena belum jelas, pinto tak berani mengatakan pasti. Nanti apabila sudah mendapat bukti bukti, baru pinto beritahukan lagi.” kata Ceng Hun totiang.

Berkata pula ketua Ceng sia  Pay itu “li enghiong itu, walaupun sikapnya dingin dan angkuh, tapi me mpunyai perbawa tinggi. Ke mungkinan dia tentu mengguna kan tenaga murninya untuk menolong sua minya. Dapat dimaklumi apabila dia minta supaya kita  keluar dari ruangan dulu  karena bagaimauapun juga, tentu malu.”

Tay Ih menghaturkan terima kasih atas keterangan ketua Ceng-sia-pay itu. Diam-dia m ia me muji Ceng Hun totiang yang walaupun diantara ketua ketua sembilan partay persilatan, dia yang tergolong paling muda sendiri tetapi dalam menilai sesuatu me mpunyai pandangan yang luas dan taja m.

saat itu hari makin terang. Matahari memancar kan sinarnya yang gemilang. Apa yang terjadi semalam, benar benar bagaikan sebuah impian buruk.

Tay Ih me minta Tay To me mbawa dua orang paderi untuk menjaga ruang siansu.

“Mungkin toheng anggap lohu keliwat ribut,” kata Tay Ih kepadc Ceng Hun totiang.”

tepi pada waktu hari seterang ini, masakan musuh berani menyelundup ke mar i “

“Menilik sikapnya yang dingin dan angkuh, tentu tak mau nona itu sembarang me minta bantuan orang. Karena ia sudah me mbuka mulut, kitapun harus mela ksanakan dengan hati- hati. Pinto anggap berlaku hati- hati me mang tak ada je leknya ” Sahut Ceng Hun totiang. Baru ketua Ceng sia-pay berkata sampai di situ, tiba-tiba dari arah ka mar siansu, terdengar lengkingan suara.  Buru buru Tay Ih pejamkan mata. Sedang Ceng Hun  totiangpun  me mandang awan yang berarak dilangit, tetapi diam- diam ia kerahkan tenaga dalam untuk me njaga diri.

Tio Gan yang berdiri dibelakang Ceng Hun totiang rupanya terpengaruh oleh jeritan dari ruangan siansu itu. Hatinya gelisah dan wajahnya mengerut tegang.

Seperminum teb la manya, barulah lengking suara itu sirap.

Tiba-tiba dari dalam ruangan terdengar suara si nona baju putih menyuruh mere ka masuk.

Rupanya Tio Gan paling terpengaruh oleh lengking suara tadi. Dia cepat mendahului masuk. Sudah tentu Ceng Hun totiang marah. Tetapi ketika ia hendak menda mprat mur id itu, Tay Ih siansu mencegahnya.

Gerak gerik Tio Gan seperti orang yang kehilangan ketenangan pikirannya. Begitu masuk buka mata ia terus mengha mpiri ranjang. Dilihatnya nona baju putih itu duduk diatas ranjang sambil peja mkan mata. Kepalanya basah dengan keringat.

“ah. nona letih sekali. Apakah jiwa Pui tayhiap dapat tertolong?” tanya Tio Gan.

“Siapa tahu dia bisa hidup atau tidak!” sahut si nona dengan dingin.

Tio Gan mer ingis. Untung saat itu Tay Ih siansu dan Ceng Hun totiang sudah masuk. Buru- buru Tio Gan mundur ke belakang gurunya.

Tay Ih terkejut ketika me lihat wajah Siu Lam mulai berkembang merah.  Serunya me muji si nona, “Hanya menganda lkan usaha nona, jiwa Pui sicu dapat diharapkan ditolong.” “dia mati atau hidup bukan soal. Aku tetap akan hidup menjanda.”sebut si nona dengan tawar.

Hening beberapa saat. Tiba-tiba Siu Lam menghe la napas panjang dan perlahan- lahan me mbuka mata.

Ketika matanya tertumbuk si nona baju putih, Siu lam tersirap :”Engkau nona Bwe….”

Nona baju putih itu menge masi ra mbut dan mengusap keringat dikepala, Ujarnya “Apa?”

“Engkau tidak meninggal?” tanya Siu La m.

“Engkau mengharap aku mati? Kalau aku mati, engkau lantas cari la in lagi?”

Ucapan yang miring dengan persetorian antara sepasang suami istri itu, sengaja dilantangkan si nona baju putih didepan orang-orang. Sikapnya pun tidak ma lu- malu.

“Pui Sicu, Nyonya menjengukmu” kata Tay Ih

Siu lam hanya mendesah. Tak tahu apa yang harus dikatakan!

“Nyonya benar-benar hebat dalam pengobatan hingga sicu terlepas dari bahaya maut!” kata Tah Ih pula.

Siu Lam hanya berbatuk-batuk kecil. Dipandangnya Bwe Hong Swat “terima kasih atas pertolonganmu!”

Tay Ih berpaling ke arah Ceng Hoa totiang. Diam diam ia heran mengapa suami istri itu menggunakan panggilan seperti orang asing. Sejak kecil ia sudah masuk gereja sehingga tak mengerti urusan hubungan wanita dan pria. Keterangan Bwe Hong Swat yang mengaku sebagai istri Siu la m. diterima tanpa keraguan.

Ceng Hun menyatakan hendak beristirahat dalam ka mar. Tay Ih menduga, ketua Ceng sia pay itu tentu ada apa-apa. Maka ia segera mengatakan hendak mengantar. “Lohu suruh dua orang hweesio kecil merasakan gadis ini. Jika Pui hujie me mer lukan apa-apa harap suruh saja mereka!”

Bwe Hong Swat mengia kan, Ia terhibur dengan panggilan sebagai Pui Hujin atau nyonya Pui itu, sedang Siu lam hanya mer ingis.

kini dalam ruangan hanya tinggal Siu lam dan Bwe Hong Swat.

Tiba-tiba Siu Lam menghela napas, tegurnya perlahan

:”mengapa engkau me ngatakan kita ini sebagai sua mi istri?”

Nona itu me mandang Siu lam dingin-dingin “Sumpah ditepi kolam yang disaksikan re mbulan menjadikan diriku seumur hidup me njadi istrimu. Matipun akan menjadi setan dari keluarga Pui. Mengapa takut diketahui orang?”

Siu lam terkesiap “Hanya ikatan sumpah itu sudah cukup menetapkan pendirianmu? tetapi tanpa persetujuan dari kedua belah orang tua dan tanpa orang  perantara pula,  bagimana hal itu dapat dianggap sah….”

Bwe Hong Swat tertawa dingin “Ayah bundau sudah lama menutup mata, sudah tentu aku sendiri yang me mutuskan”

“Taruh kata kita kita sudah me langgar adat  istiadat  dan me lakukan perjodohan sendiri, Tetapi sebelum dirayakan dimuka orang banyak bagaimanakah kita dapat mengakui sendiri?”

“Mengapa tidak? Aku tokh sudah menjadi  isterimu. mengapa engkau takut diketahui orang?”

“Ho, tahulah aku apa sebabnya engkau takut. Bukankah engkau takut jika berita itu tersiar didunia persilatan, takkan ada seorang nona lagi yang menyukaimu? Seorang pemuda yang sudah beristri tentu sukar me mikat gadis lain lagi….” pada lain kejab Bwe Hong swat berkata pula :

“Ah, jangan Omong tak karuan!” Bwe Kong twat tertawa hambar; “Tetapi dalam hal itu, jangan kuatir. Aku bukan seorang isteri yang berhati dengki. Asal engkau ma mpu, betapapun isteri yang kau miliki, aku tak perduli,. Toh kita jarang jarang bertemu. Asal aku tetap menjaga na maku sebagai seorang isteri, aku takkan mengikat kebebasanmu….”

Sejenak nona itu berhenti lalu berkata pula, “Yang kumaksudkan jika  engkau  ma mpu  itu  ialah  jika  engkau  ma mpu mendirikan sebuah istana mewah, sekali pun engkau mengera m lima-ena m isteri aku tak peduli…. ” jarang sekali ia tertawa tetapi sekali tertawa, wajah merekah riang laksana bunga mekar….

Siu-la m me nghela napas, “Ah, betapa besar terima kasihku atas perhatianmu itu.”

“Siapa me minta terima kasihmu? Atas kita saling menjaga nama sebagai sua mi isteri saja, bagiku sudah cukup!”

Siu-la m kerutkan dahi, ujarnya, “Sumpah ditepi kolam pada ma lam itu, hanya suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak.”

“Apa? Belum berkumpul sebagai sua mi isteri yang resmi, engkau sudah mengusir aku?” seru sinona.

Karena  lukanya  belum  se mbuh   dan   tenaganya  masih le mah, begitu duduk beberapa lama, Siu-lam rasakan letih sekali. Maka rebahlah ia. Bwe Hong swat segera menyelimutinya. Kemudian ia duduk menjaga di sa mping pemuda itu.

Pada saat sinar matahari mencurah ke dalam jendela, wajah Bwe Hong swat makin ta mpak jelas. Betapa kulitnya yang merah dadu itu merekah segar. Begitu pula sepasang tangannya yang halus….

Ketika bertatapan pandang, Siu-lam  rasakan suatu perasaan yang aneh. Dalam sikap dan wajahnya yang dingin, ternyata sinar mata nona itu me miliki pancaran yang lembut sekali

Siu lam terkesiap Diluar kesadarannya, ia ulurkan tangan mence kal lengan nona itu.

Nona yang bersikap dingin dan gerak-geriknya bebas  mehar itu, pada saat tangannya dicengkeram Siu la m, hatinya berdebar keras, Wajah me mburat merah. Ia meronta lepaskan cekalan orang, serunya, “Perlu apa pegang-pegang tangan, nanti tak sedap dilihat orang!”

Siu lam terkesiap malu. Buru-buru ia tundukkan kepala dan pejamkan mata.

Melihat keadaan pemuda itu, timbullah rasa kasihan Bwe Hong swat. Beberapa saat kemudian ia berbisik, “Aku tokh sudah menjadi isterimu. Sebenarnya akupun tak keberatan menerima ciumanmu. Tapi sesungguhnya aku muak melihat tingkah laku lelaki dan pere mpuan yang saling bersentuhan tubuh….”

Bwe Hong swat menghela napas perlahan, lalu berbicara pula, “Sebenarnya tak tega aku perlakukan kau begini, tetapi aku benar-benar tak tahan. Bencilah aku dan pukullah aku!”

Pernyataan itu di ucapkan penuh dengan getar kemesraan. Siu-la m tergerak hatinya dan begitu me mbuka mata, ia  mence kal tangan kiri nona itu lagi.

Bwe Hong swat berubah Wajahnya. Buru-buru ia hendak menarik tangan kirinya itu tapi pada lain saat ia batalkan niatnya.

“Engkau telah melepas kan  budi  besar  sekali  untuk meno long jiwaku….”

“Aku toh isterimu, sudah seharusnya menolong kau!” tukas Bwe Hong-s wat. “Baik yang telah kau limpahkan itu….” belum Siu- lam menyelesaikan kata-katanya, ia terkejut karena tubuh nona itu terasa gemetar:

“Hai, mengapa engkau ini?” ia menja mah bahu nona itu.

Dengan kerutkan gigi, nona itu  cepat-cepat  pejamkan mata. saat itu Siu lam rasakan pipi si nona dingin sekali dan dahinya bercucuran keringat dingin. Ia ma kin heran, “Eh, apakah kau sakit? Biarlah kupanggil orang untuk….”

“Jangan! Lepaskan tanganmu dan aku tentu segera baik,” baru Bwe Hong-swat berseru.

Walaupun heran, tetapi mau juga Siu-la m lepaskan tangannya.

“Juga tanganmu yang kanan itu agar cepat engkau tarik.

Ih, aku ha mpir pingsan nih!”

Setelah menar ik kedua tangannya, Siu-la m me mandang nona itu dengan terlongong.

Nona itu perlahan-lahan me mbuka mata lagi. Ia menghela napas panjang, “Entah bagaimana, asal bersentuhan dengan orang lelaki, hatiku tentu berdebar keras sekali. Sekalipun engkau sua miku, tetapi juga jangan menceka l aku. Sekali engkau ja mah, napasku serasa sesak sekali!”

Diam diam Siu Lam menimang hati dala m. Jika menilik dari reaksi nona itu, tentulah sikap dan wajahnya yang sedingin es itu me mang bukan dibuat-buat, tetapi me mang lahir dari rasa jasmaniahnya yang aneh.

“Mungkin engkau tak percaya pada kata-kataku.” ucap Bwe Hong Swat, “tetapi aku sendiripun tak mengerti sebabnya….”

Siu Lam berbaring lagi, katanya ” Sudahlah kita bicara lain hal. Bukankah engkau dipaksa suhu mencebur  ke dalam kawah api?”

“Benar! Mengapa engkau tahu?” “Sucimu yang me mber itahukan padaku!”

“Aku telah mengangkat sumpah, tak akan me mberitahukan kepada siapapun apa yang aku lihat. Dan akupun  tak dapat la ma-la ma tinggal disini. Aku harus segera pergi!”

“Hendak ke mana kah engkau? Apakah kelak kita tak dapat bertemu lagi?” tanya Siu Lam

“Seumur hidup Bwe Hong swat adalah menjadi isterimu.

Sudah tentu kelak kita bertemu lagi!” Siu-la m tertawa tawar.

juga wajah Bwe Hong swat yang dingin itu, mereka senyum riang. Katanya, “Aku hendak diri agar perlahan-lahan watakku dapat berubah halus. Silahkan engkau pejamkan mata aku hendak pergi”

Siu lam gundah sekali hatinya. Segera ia pejamkan mata. Tetapi ketika hidungnya terbaur hawa yang harum sekali, ia mau me mbuka mata. Melihat itu berubahlah Wajah Bwe Hong swat. Dengan berteriak keras, ia segera melesat keluar….

Siu-la m tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengantar kepergian nona itu dengan helaan napas yang penuh keheranan.

Dia benar- benar tidak mengerti perangai nona yang seaneh itu. Wajah dan hatinya benar benar me mbuat orang tak mengerti. Dan tidaK terasa, tertidurlah Siu lam dalam kepulasan.

Ketika bangun ternyata dalam ruang itu sudah penuh dengan orang. Tay Ih Siansu, Tay To,  Lam-koay,  Pak koay dan Ceng Hun totiang serta seorang tua berambut putih yang berjubah kuning.

“An, Pui sicu sudah sadar,” Seru Tay Ih siansu. Begitupun Tay To siansu juga  segera menanyakan tentang keadaan Siu la m. Sejenak me mandang kepada sekalian tokoh tokoh yang hadir di sekelilingnya, Siu lam tertawa tawa dan menyatakan bahwa lukanya sudah baik. Tiba-tiba ia bertanya kepada Lam- koay, “Shin toako, apakah lukamu juga sudah baik?”

Lam koay me mandang dingin-dingin kearah Ceng Hun totiang, sahutnya; “Setelah minum obat dari ima m hidung kerbau ini, lukanya hampir se mbuh.”

Demikian watak dari Lam koay. Sekalipun terhadap yang meno longnya, ia tetap dingin sikapnya dan tak mau mengucap terima kasih.

Ceng Hun totiang hanya tersenyum tak berkata apa apa. Dia sudah la ma me ndengar dan mengagumi na ma kedua tokoh aneh itu.

“Ah, Pui sicu mas ih belum pulih, baiklah beristirahat lagi, lohu akan tinggalkan ruang ini dulu,” kata Tay Ih.

Tiba-tiba Siu- lam bangun dan turun dari ranjang, “Kedua totiang ini berwibawa sekali. Tentulah bukan tokoh sembarangan, harap taysu suka me mperkenalkan aku kepadanya.”

“Ah, luka sicu belum pulih sa ma sekali.”

“Jangan kuatir, taysu! “Pui Siu lam tetap mendesak. Dan terpaksa Tay Ih pun me mperkenalkannya kepada ketua Ceng- sia-pay, “Inilah ketua Ceng sia pay yang sekarang, bergelar Ceng Hun totiang!”

Siu lam me mber i hor mat dan  mengucapkan  kata  kata me muji na ma ima m yang ter masyur itu.

Ketua Ceng-sia-paypun balas me mberi hor mat, “Pinto telah mendapat keterangan dan Tay Ih siansu bahwa Pui siauhiap dengan gagah berani telah menyelamatkan seluruh kaum persilatan dan pernah ikut dalam ro mbongan orang gagah untuk mengge mpur Beng gak. Pinto benar benar kagum dan bersyukur sekali atas perkawinan Pui tayhiap.” Tersipu-sipu Siu-la m mengucapkan kata-kata merendah. Kemudian Tay Ih me mper kenalkan ima m jubah kuning kepada Siu-la m, “Inilah ketua Kun- lun-pay Thian Ce toheng!”

Kembali Siu lam me mberi hor mat kepada ima m itu. Ternyata kedua ima m itu bukanlah tokoh se mbarangan. Mungkin setahun yang la mpau, jangan harap Siu lam ma mpu berjumpa muka dengan kedua ketua partai persilatan yang termasyhur itu.

Rupanya Tay Ih siansu tetap menguatirkan keadaan Siu- lam yang belum pulih tenaganya. Ia segera mengajak kedua ima m itu untuk beristirahat keruang Kwat si-wan.

“Ah, semangat Wanpwe cukup segar. Asal totiang Sekalian tak menolak, wanpwe senang sekali me layani,” kata Siu la m.

Tay Ih siansu mencegahnya dan terus hendak berlalu. Tiba tiba Lam- koay menyeletuk, “Aku akan beristrahat diruang Sian-si ini!”

Tay Ih siansu kerutkan dahi, ujarnya, “Tetapi lohu sudah me mbers ihkan sebuah ruang untuk locianpwe….”

“Sela manya jika bilang satu, tentu satu, Tak pernah dua. Aku suka me ma kai ka mar, Siapa yang ma mpu menghalangi!”

Tay Ih tertegun. Ia tak menyangka bahwa orang  begitu liar. Na mun sebagai tuan ruma h ia harus bersikap sabar, ujarnya, “Baiklah jika kedua locianpwe hendak  me ma kai kamar ini, Pui Sicu akan kuminta pindah kelain ka mar.”

“Ah, tak lo siansu sibuk sibuk. Wanpwe akan tinggal bersama satu ruangan dengan Shin toako,” buru buru Siu lam mencegah.

Pak koay pun deliki mata kepada ketua Siau Lim- Si itu, dampratnya, “Hm, walaupun kita bersatu dalam menghadapi wanita siluman tadi, tapi aku dan Shin-lo koay masih belum hilang dendam terhadap Siau lim-si. Nanti apabila luka Shin lokoay sudah baik, kita tentu akan me mbuat perhitungan kepada Siau Lim si lagi!”

Tay Ih hanya tertawa pahit, “Ah, lohu tak ingat lagi, bila sekiranya locianpwe pernah mengikat permusuhan dengan Siau-Lim si”

“Huh, golongan paderi kecil seperti kalian masakan iayah mengikat per musuhan dengan kami berdua!” se mptot Pek koay.

Thian Ce totiang berpaling me mandang kedua tokoh aneh itu, serunya, “Sudah lama Pinto mendengar bahwa Lam koay dan Pak-koay berwatak aneh. Tak dapat membedakan benar dan salah. Ternyata setelah menyaksikan….”

“Lalu bagaima na?” tukas Pak koay.

“Ternyata me mang benar….!” ketua Kun- lun-pay itu tak dapat melanjut kan kata katanya karena tiba tiba Pak koay mena mpar dan me ma kinya, “Ima m hidung kerbau, nyalimu sungguh besar!”

Dengar cepat Thian Ce totiangpun segera ayunkan pukulannya untuk menya mbut. Dua maca m tenaga Iwekang sakti, yang Satu dihamburkan me lalui gerakan Jari dan yang Satu dari taburan tinju, Saling berbentur dan menimbulkan kisaran angin besar. Pakaian sekalian orang yang berada  disitu, berkibar keras.

Tamparannya tak berhasil, Pak koay segera berbangkit. Tetapi cepat Tay Ih siansu melangkah ketengah kedua orang itu dan melerainya. “Harap jiwi kedua suka me mberi muka kepada lohu.”

“Me mberi muka apa!!” tanpa menghiraukan permintaan tuan rumah, Pak koay mena mpar lagi,.

Tay Ih siansu  diam  diam  kerahkan  iwekang.  Cepat  ia me mbe lakangi Pak koay dan gunakan punggungnya untuk menya mbut pukulan orang. Pak koay mendengus. Tiba tiba ia menarik ke mbali tangannya! “Hm, paderi tua, apakah kau minta mati?”

Tay Ih berputar diri dan me mber i, hor mat, “Terima kasih atas kemurahan hati locianpwe.” tiba tiba ia melanjutkan pula, “Jika locianpwe berdua me mang tetap hendak me mbuat perhitungan dendam la ma dengan Siau-lim si, lohupun terpaksa tak dapat menolak. Dendam angkatan tua, memang harus diterima oleh muridnya. Tetapi harap tunggu dulu setelah nanti Shin locianpwe sudah se mbuh dari lukanya!”

Wajah Pak-koay berubah membara. Napsu amarahnya sudah me muncak. Jika sampa i diha mbur kan, keadaan tentu akan menjadi kacau balau.

Melibat itu Siu Lim segera loncat ke muka Pak-koay, ujarnya, “Harap lo-cianpwe jangan marah  dan sukalah mendengarkan sedikit kata-kata wanpwe.”

Sedang Ceng Bun totiangpun segera mengajak Thian Ce totiang keluar. Tay Ih siansu menyusul sampai dia mbang pintu dan berkata kepada ketua Kun lun-pay; “Thian Ce totiang adalah ketua partai Kun Lun pay Ui Locianpwe tokoh yang termasyur di dunia persilatan. Jika  jiwi berdua sa mpai bertengkar, benar-benar lohu merasa sulit.”

Pak koay yang belum hilang marahnya segera tertawa dingin, “Paderi tua. kasih tahu pada ima m hidung kerbau itu. Aku hendak mengge mpur Kun- lun pay. Suruh mereka siapkan semua jago jagonya. Besok pagi tengah hari, tunggulah di puncak gunung ini!”

Tay Ih terkejut, serunya; “Ini….” Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dari arah luar yang jauh terdengar seruan orang yang nyaring, “Besok pagi  tengah hari, pinto akan menunggu seorang diri dipuncak gunung!”

Ternyata penyahutan itu dilantangkan oleh Thian Ce totiang yang mendengar juga akan anca man Pak koay. “Tua bangka, sekali ludah tak boleh dijilat ke mba li. Jika engkau tak datang, aku tentu akan ke Kun lun san untuk mengobra k abrik biara sarangmu!” teriak Pak-koay dengan mur ka.

Wajah Tay Ih berubah dan menghela napas Panjang lalu berputar tubuh pergi. Pejabat ketua Siau-lim-s i benar-benar dalam kesulitan. Ia tahu bahwa Pak Koay dan Thian Ce, merupakan tokoh yang ter masyur. Sekali mereka sudah berjanji, tentu sukar untuk mencegah lagi.

Siu lam pun menyadari kesiulitan itu juga. Karena tak dapat berbuat apa-apa, ia hanya tertawa hambar lari ke mbali ke tempat tidurnya

Keadaan sunyi senyap lagi. Sampai napas orangpun dapat terdengar. Kira kira sepeminum-teh la manya, barulah terdengar Lam- koay me mecah kesunyian, “Pui hengte, bagaimana luka mu sekarang?”

“Sukar dikata” sahut Siu-la m, “tetapi aku sudah menelan sebutir pil yang katanya merupakan obat mukjijat yang tiada tandingannya di dunia.

Sia Lam menghe la napas, ujarnya, “Ah, kemasyuran nama ini me ma ng menje mukan. Jika aku mati tentu terhindar dari kesulitan kesulitan dunia!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar