Wanita iblis Jilid 28

Jilid 28

KERAGUAN itu menyebabkan ia me mandang lebih la ma lagi kepada si wanita baju kuning lalu berkata dengan nada dingin: “Pengetahuan beng-cu luas sekali. Me mang pedangku ini pedang Pek-kau kia m!” Wanita baju kuning menyahut: “Pedang itu ter masuk pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Pinjamkanlah kepadaku se mala m saja untuk me mbas mi kawanan paderi Siau-lim-si ”

Menengadah ke langit me mandang bintang-bintang yang bertaburan, ia berkata seorang diri: “Ah, masih ada waktu beberapa saat lagi. Sebelum lewat pukul satu, kami takkan turun tangan!”

“Harap beng-cu berhenti. Jika masih terus me langkah  maju, jangan salahkan aku ”

Wanita itu menatap wajah Siu- lam dengan lekat-le kat: '“Engkau mau apa-apa?”

Siu-la m rasakan pandangan mata wanita itu setajam pisau sehingga menimbulkan rasa gemetar dalam hati. Mau tak mau ia mundur selangkah lagi: “Maaf, aku terpaksa bertindak!”

Wanita cantik baju kuning itu tertawa tawar. Perlahan- lahan ia beralih me mandang ke arah La m-koay dan Pak- koay. Ancaman Siu-la m tak diacuhkan.

Tiba-tiba mata Siu-la m tertumbuk akan suatu pemandangan yang aneh. Dari jauh muncul titik-tit ik sinar hijau yang berkelip- kelip ma cam phosporus atau api setan.

Cepat sekali puluhan api biru itu tiba di muka gereja Siau- lim-s i. Siu- lam terkejut dan cepat dapat menduga.

“Bukankah percikan api biru yang mendatangi itu anak buah bengcu?” tanyanya kepada wanita itu.

Tetapi mata si wanita baju kuning tetap melekat kepada Lam- koay dan Pak- koay. Ia hanya menyahut seenaknya saja: “Benar!”

Tiba-tiba dari dalam gereja terdengar suara tambur dipalu keras  sehingga  suaranya  berkumandang  jauh  sa mpai  ke  le mbah. Wanita baju kuning itupun kerutkan alisnya. Kini ia beralih me mandang Tay Ih siansu, tegurnya: “Menilik  sikapmu, kiranya engkaulah yang me megang pimpinan gereja ini?”

Dengan wajah bersungguh, Tay Ih menyahut: “Tak perlu engkau tanyakan siapa Ioni. Tetapi segala urusan Siau-lim-s i, loni dapat me mutuskan!”

Wanita baju kuning tertawa dingin: “Hanya tinggal sedikit saja waktunya, apakah engkau belum menga mbil keputusan?”

“Loni tak mengerti apa arti ucapan li-sicu! ”

“Dengan begitu rupanya engkau hendak me mpertaruhkan jiwa dari seluruh paderi Siau- lim si dan me mutuskan untuk bertempur?” seru wanita baju kuning itu.

“Siau-lim-s i sudah beratus tahun berdiri. Entah berapakah Siau-lim-si me ngala mi badai percobaan, tetapi nyatanya sampai sekarang masih tetap berdiri. Loni percaya, li-sicu tentu sudah berusaha sepenuh tenaga untuk mengerahkan seluruh anak buah Beng-ga k, namun Siau- lim-s i pun akan berusaha supaya jangan sampai lebur di tangan li- sicu!”

Kembali wanita baju kuning itu tertawa dingin. Melirik ke arah Lam-koay dan Pak-koay, ia berseru: “Ah, rupanya engkau menganda lkan kedua orang itu untuk me mpertahankan Siau- lim-s i?”

Lam- koay dan Pak-koay sejak tadi hanya berdiam diri saja. Saat itu rupanya Pak-koay Ui Lian tak dapat bersabar lagi. la tertawa dingin, serunya: “Sesuka hatimu kalau engkau hendak jual lagak di depan orang lain, tetapi di hadapanku jangan banyak tingkah!”

“Jika ingatanku tak salah, bukankah kalian ini yang disebut Lam- koay dan Pak- koay?” seru si wanita baju kuning.

“Kalau benar lalu bagaimana?” sahut La m-koay. “La m-koay dan Pak-koay sejak dahulu ibarat air dan dan minyak yang tak dapat berkumpul. Aneh, mengapa hari ini kalian begitu mesra?''

“Orang muda mengapa begitu tak kenal adat kalau bicara!” dengus Pak-koay.

Tiba-tiba wanita baju kuning itu tertawa mengejek: “Kupanggil lo-cianpwe pada kalian hanya sekedar me menuhi tata kesopanan saja. Tetapi jangan kira kalau aku takut denganmu berdua!”

Dia m-dia m Siu-la m me mbatin: “Rahasia diri ketua Beng-gak ini, hanya terdengar dalam cerita-cerita orang  saja. Bagaimana keadaan yang sebenarnya, mungkin sedikit sekali orang persilatan yang tahu. Agaknya Lam-koay dan Pak-koay ini tahu tentang diri wanita itu. Ah, ini suatu  kesempatan untuk menyelidiki!”

Setelah me mperoleh pe mikiran itu segera ia bertanya kapada Lam- koay: “Shin toako, apakah engkau tahu tentang riwayat wanita itu?”

Ia tak mau bertanya kepada Pak-koay Ui Lian karena tokoh itu bersikap tak baik kepadanya. Ia kuatir akan mendapat jawaban yang getas.

Lam- koay Shin Ki tertawa nyaring: “Adik yang baik, pertanyaanmu tepat sekali. Selain engkoh, kiranya dewasa ini tiada orang yang tahu akan r iwayatnya ”

Pak-koay mendengus dingin: “Ha, jangan suka me nepuk dada. Masih ada orang lain yang tahu juga!”

“Lalu apa maksudmu?” La m- koay murka.

Sambil mengusap janggutnya, Pak-koay tertawa mengejek: “Sela ma aku hadir, jangan harap kau dapat menepuk dada!” Melihat mereka hendak bertengkar buru-buru Siu-la m menyeletuk: “Shin toako, siaute benar-benar ingin selekasnya mengetahui hal itu.”

Lam- koay tertawa dingin: “Jangan kuatir tentang pertengkaran mulut ini. Kami berdua sudah berpuluh tahun adu mulut, adu kepandaian. Ha ha… asal toako mas ih hidup, jangan harap si tua Ui Lian itu ma mpu menjadi raja di dunia persilatan….”

“Jika Ui tua ini belum mat i, kau pun jangan mimpi dapat bersimaharajale la di dunia persilatan!” teriak Pak-koay Ui Lian.

“Tak apa, toh kita harus ada salah satu yang mati!” sahut Lam- koay Shin Ki.

“Entah siapakah nanti!” sa mbut Pak-koay.

Wanita cantik baju kuning yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba  mendengus dingin:   “Hm,   jika   kalian   hendak  me mbantu Siau-lim-si, jelaslah kalau La m-koay dan Pak-koay kedua-duanya akan binasa se mua!”

Sekali pun Lo Hian hidup lagi, dia tak nanti berani berlaku kurang adat di hadapanku. Apalagi kau seorang perempuan muda berani me mandang rendah kepadaku!” teriak Pak-koay dengan marah.

Wanita baju kuning itu tertawa  mengikik:  “Dahulu bukankah kalian berdua sewaktu mengeroyok si ima m hidung kerbau, hanya mampu bertahan sa mpai seratus jurus saja? Tetapi sekarang seratus jurus aku hendak menjadikan kalian berdua bangkai yang tak bernyawa lagi!”

Lam- koay dan Pak-koay benar-benar murka sekali mendengar hinaan itu. Dengan dan rambut kedua tokoh itu sampai meregang kaku. Rupanya kedua tokoh itu hendak turun tangan…. Saat itu kegentingan makin me muncak. Siu-la m menyadari bahwa sekali kedua tokoh La m-koay dan Pak-koay turun tangan, tentu akan berjuang mati- matian.

Tetapi pertempuran itu bukanlah merupakan soal pertempuran me mperebutkan nama antara Lam-koay Pak- koay lawan ketua Beng-gak, tapi menyangkut nasib seluruh kaum persilatan. Maka Siu-la m me mpunyai  rencana  untuk me mikat rombongan Beng-gak ke dalam gereja. Di sana, delapan ratus paderi Siau-lim-s i sudah siap dengan barisan Lo- han-tin. Daripada bertempur satu persatu, lebih baik rombongan Beng-ga k itu dihancurkan dalam barisan itu.

“Edaran bengcu dengan jarum untuk mengundang segenap kaum persilatan hadir ke Beng-gak ternyata suatu perangkap untuk menghancurkan mereka agar bengcu dapat menguasai dunia persilatan. Rencana itu benar-benar ganas sekali.”

Baru Siu-la m belum me lanjutkan kata-katanya, tiba-tiba wanita baju kuning itu la mbaikan tangannya dan menukas: “Majulah selangkah ke mar i!”

Di luar kehendaknya, tiba-tiba Siu-la m rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh suatu gelombang tenaga kuat  sehingga ia melangkah maju selangkah.

Saat itu dia hanya terpisah tiga-empat langkah dari wanita cantik itu. Hawa harum yang semerbak dari pakaian wanita baju kuning itu menda mpar ke hidungnya sehingga ia seperti orang mabuk.

Tiba-tiba terdengar nyanyian keagamaan yang  dilantangkan oleh paderi-paderi Siau-lim-si. Ber mula nadanya rendah dan pelahan tetapi makin la ma makin me lengking tinggi. Dalam ma lam yang sunyi seperti saat itu, nyanyian itu berkumandang jauh sekali. Penuh dengan doa puji kewelasan budi tetapi pun mengandung suatu pancaran hawa yang perkasa. Ketika nyanyian bersama dari paderi-paderi itu bersa ma, kedua puluh e mpat paderi pilihan yang berada di belakang Tay Ih dan Tay To siansu, seketika seperti terbangun semangatnya.

Wanita baju kuning itu kerutkan dahi dan berseru nyaring; “Saat ini hanya tinggal seperminuman teh dari waktu yang telah kami janjikan. Kalian masih me mpunyai kese mpatan untuk   me mpertimbangkan   keputusan   menyerah   atau  me lawan!”

Nadanya tandas dan tajam sehingga mene mbus ge muruh kumandang nyanyian, langsung menyusup ke dalam telinga setiap orang.

Buru-buru Tay Ih siansu kerahkan tenaga mur ni untuk menahan getaran hatinya. Kemudian berserulah ia menjawab: “Sejak gereja Siau-lim-s i didirikan oleh kakek guru Tat Mo sucou,  sudah  beratus  tahun   menyebarkan   dharmanya. Me mang sudah berulang kali Siau-lim-si menga la mi badai goncangan, tetapi selama itu tak pernah menyerah kepada musuh.”

Wanita baju kuning berpaling ke belakang. Ta mpak gerombo lan sinar hijau tadi sudah tiba pada jarak satu li. Kini samar-sa mar kelihatan bahwa hamburan sinar hijau itu merupakan sosok-sosok tubuh orang.

Wanita baju kuning itu tertawa dingin, serunya: “Jika tiada kedua La m-koay dan Pak-koay ini, ke mungkinan kalian tentu tak berani menentang kehendak Beng-ga k. Karena sedangkan Tay Hong yang menjadi ketua Siau-lim-si saja pun tak berani kepadaku. Kalian kan tahu sendiri. Tentunya tak perlu aku bicara panjang lebar, kalian sudah harus sadar. Sekali lagi kuberi peringatan yang terakhir, apabila lonceng berbunyi satu kali, pe mbunuhan besar-besaran segera akan berlangsung. Semua paderi Siau-lim-si besar kecil tua muda takkan diberi hidup lagi. Pikirlah dahulu masak- masa k sesal kemudian tak berguna!” Siu-la m tertawa dingin, sambutnya: “Siau- lim-s i sudah bersedia menya mbut…” ia menengadahkan kepala dan menghe la napas, katanya lebih lanjut: “Ke mungkinan akan merupakan suatu pertempuran yang paling  mengerikan. Tetapi bagaimana kesudahannya, masih sukar ditentukan. Delapan ratus paderi Siau- lim-s i yang berkepandaian tinggi, telah bertekad bulat  untuk  menyerahkan  jiwa  raga  de mi me mbe la gereja. Mereka telah mengikhlaskan nyawa. Apabila partay-partay persilatan lain, pun segera akan mengirim bala bantuan ”

Siu-la m sengaja me ma mer kan kekuatan itu agar dapat mengganggu ketenangan musuh itu dan me mbesarkan semangat kawan- kawannya.

Wanita baju kuning itu tertawa melengking, serunya: “Bagus, jika jago-jago partay persilatan itu segera tiba kemari, itulah lebih baik karena dapat menghe mat waktu dan tenaga untukmencarinya.”

Sekonyong-konyong  wanita   itu   gerakkan   tangan menya mbar lengan kanan Siu- la m. Gerakannya secepat kilat.

Namun Siu- lam sekarang bukanlah Siu- lam pada beberapa waktu yang lalu ketika datang ke gunnng Beng-gak. Apalagi ia sudah bersiap. Dua kali tersedot oleh la mbaian tangan Wanita tadi, ia telah meningkatkan  kewaspadaan dan kekuatan. Secepat  wanita  itu  gerakkan  tangan,  Siu-la mpun  cepat  me loncat mundur dua tiga langkah. Pedang Pek-kau-kia m sudah tergenggam di tangannya.

Wanita baju kuning itu tertegun. Pada lain saat ia tertawa hambar: “Bagus, ma mpu  menghindar dari cengkra manku, berarti kepandaianmu cukup berharga!”

Siu-la m mengangkat tangan memberi hor mat: “Ah, jangan kelewat me muji. Rasanya saat ini sudah saatnya. Kami akan menunggu di dalam gereja!” habis berkata ia terus berpaling kepada Tay Ih siansu: “Siansu, mari kita masuk ke dala m!” Ternyata pejabat ketua Siau-lim-s i itupun me mpunyai rencana yang sama dengan Siu- la m.

Bertempur di luar gereja tidak menguntungkan. Jika terkepung  musuh,  tentu  sukar  masuk   ke   dalam   gereja ke mbali. Di dalam gereja dapat mengerahkan barisan untuk mene mbus kekuatan musuh. Maka ia me ngiyakan.

Tay To siansu segera me mber itahukan perintah Tay Ih siansu kepada sekalian ro mbo ngan paderi. Tay To sendiri segera kerahkan tenaga murni. Tadi karena terpengaruh oleh kecantikan wanita itu, se mangatnya hampir me layang. Maka sekarang tidak berani lagi me mandang wanita baju kuning itu.

Nyanyian dari gereja tadi, banyak membantu menyegarkan semangat rombo ngan paderi yang mengikuti Tay Ih siansu. Betapapun wanita baju kuning itu hendak me mpengaruhi mereka dengan kecantikan wajahnya yang ce merlang dan senyumnya yang meruntuhkan iman, na mun ro mbongan paderi itu tetap teguh laksana baja.

Sambil bersiap dengan pedang Pek-kau-kia m, Siu- lam berkata bisik-bisik kepada Tay Ih: “Harap lo-siansu me mimpin para paderi masuk ke dalam gereja. Biarlah wanpwe bersama Shin dan Ui locianpwe yang mengawal di belakang!”

Tay Ih percaya kepada anak muda itu.Selain me miliki silat tinggi pun cerdik. Apalagi dite mani oleh La m- koay dan Pak- koay. Tentu takkan mender ita. Maka segera ia menyahut:”Baiklah, akan kulaksanakan perintahmu, Pui sicu! ”

Siu-la m tertegun, serunya tergesa: “Ah, ucapan lo-siansu kelewat berat, wanpwe sungguh tak berani mener ima!”

Tetapi Tay Ih tak mau me layani. Segera ia memimpin anak buahnya masuk ke dalam gereja.

Siu-la mpun mundur e mpat langkah, berdiri di sa mping Lam- koay dan Pak- koay. Wanita baju kuning itu tertawa dingin: “Tak usah kalian begitu tegang. Beng-gak gakcu selalu me nepati ucapannya. Selama belum pukul satu aku belum turun tangan!”

Ketika me mandang ke muka, Siu-la m melihat  rombongan api hijau tadi sudah berada sepuluhan tombak jauhnya. Setiap api hijau yang ternyata sebuah lentera diiringi lima puluhan orang yang berpakaian warna-warni, merah, kuning, biru, putih, hitam. Wajah merekapun bercontrengan macam setan. Rombongan itu berhenti di belakang tandu kuning.

Siu-la m segera menduga bahwa ro mbongan anak buah Beng-gak itu dibagi menjadi lima buah ro mbongan. Tiap rombongan dipimpin oleh lentera. Karena setiap rombongan mengenakan pakaian sewarna, maka mereka sudah dikenali.

Dia m-dia m Siu-la m heran mengapa mereka tak dibagi dalam e mpat ro mbongan. Karena e mpat itu mudah dan leluasa untuk menghadapi serangan musuh dari e mpat jurusan. Tetapi ia yakin pemecahan barisan menjadi lima rombongan itu tentu mengandung arti.

Ketika mengerling mata, Siu-lam dapatkan La m-koay dan Pak-koay tengah terkesiap me mandang wanita baju kuning tadi. Pandangannya maca m orang terkena pesona. Diam-dia m Siu-la m heran, pikirnya: Ditilik dari pe mbicaraan kedua tokoh itu tadi, mereka agaknya pernah bertempur dengan Lo Hian. Dan wanita itu tentu menyaksikan pertempuran itu. Sebagai tokoh yang lebih tua tetapi tampaknya kedua tokoh itu jeri terhadang wanita baju kuning tentulah ada sebab musababnya!”

Bermula Siu lam hendak me minta penjelasan tetapi karena me lihat wajah La m- koay dan Pak-koay amat tegang, tak berani ia me mbuka mulut bertanya.

Tetapi nyanyian dari dalam gereja itupun mas ih berkumandang. Dan nyanyian itu benar-benar memberi ketenangan. Kemudian Siu- lam melihat Tay ih siansu dan rombongannya sudah masuk ke dalam gereja.

Dan saat itu ma lam ma kin larut. Segera ia berseru nyaring: “Siau-lim-s i sudah menyiapkan barisan Lo-han-tin menunggu kedatangan bengcu!”

Rupanya  wanita   yang   menjadi  ketua   Beng-gak   itu me mpunyai kesan bahwa Siau-lim-si me mang bukan te mpat sembarang yang mudah diinjak- injak. Dan kehadiran La m- koay, Pak-koay di situ pun di luar perhitungannya. Maka ia tampak berdiri tegak tak bicara apa-apa.

Ketika Siu- lam berseru itu, barulah ia tersadar. Serunya dingin; “Mungkin masih ada beberapa saat lagi sebelum pukul satu mala m itu tiba. Dan sela manya aku selalu menepati janji. Sebelum  kentongan  berbunyi   satu   kali,   silahkan  kalian me mpers iapkan segala apa saja. Aku takkan menyerang. Dan andaikata engkau takut, silahkan mundur ke dalam gereja dan siapkan pertahanan yang engkau rasa ma mpu melawan serangan Beng-gak!”

Siu-la m berpaling pada Lam- koay dan-Pak-koay. Diajaknya kedua tokoh itu masuk ke dalam gereja.

Kedua tokoh itupun me ngikuti mas uk juga.

Sikap kedua tokoh aneh itu jauh berlainan dari perangai mereka yang biasanya. Hal itu menyebabkan Siu-la m agak heran: “Aneh, mengapa begitu bertemu dengan wanita baju kuning sikapnya yang congkak mendadak turun beberapa derajat. Rupanya kedua tokoh itu jeri kepada ketua Beng-gak. Ah, Lo Hian benar-benar sakti sekali. Orangnya sudah lenyap berpuluh tahun, tapi namanya tetap ditakuti orang. Bahkan mur idnypun ikut ditakuti,” pikirnya.

Dalam pada itu, tibalah mereka di muka pintu gereja. Sekonyong-konyong terdengar suara lengking wanita pe mberi perintah. Dan seketika terdengarlah murid melengking- lengking tinggi seperti hantu menangis di pekuburan ”

Suara itu bercampur baur dengan nyanyian gereja, merupakan perpaduan musik yang me mbisingkan telinga karena tidak serasi sekali.

Siu-la m berhenti dan berpaling ke belakang. Ta mpak kelima rombongan Beng-gak yang berbeda-beda seragamnya itu, mulai bergerak ke arah gereja. Tetapi wanita baju kuning itu tetap tak bergerak, begitu pula para pengiringnya.

Tay Ih siansu, demi menjaga kesela matan Siu- la m, begitu anak muda itu tiba di muka pintu, Tay Ih segera siapkan duapuluh  satu  anak   murid   Siauilim-sie   untuk   menjaga  ke mungkinan orang Beng-ga k akan bergerak menyerang.

Tapi ternyata wanita baju kuning itu tak me mper lihatkan tanda menurunkan tangan secara gelap.

Saat itu Siu- lam berhenti lagi di depan pintu untuk meneropong kekuatan musuh. Tetapi segera ia ditarik masuk oleh Tay Ih siansu: “Pui sicu. musuh sudah berada di luar, lebih baik jangan lengah!”

Siu-la m tertawa dan menanyakan bagaimana persiapan yang telah diatur Tay Ih. Kemudian ia me minta keterangan tentang tugas yang harus dilakukannya.

Kata Tay Ih: “Sicu bersa ma Shin dan Ui cianpwe, tetap merupakan poros penting untuk menyambut musuh. Kalah menangnya pertempuran nanti, sebagian besar tergantung pada kalian bertiga. Dalam hal itu, loni  tak ma mpu menetapkan tugas-tugas sicu bertiga. Terserah bagaimana sicu hendak mengatur sendiri!”

Siu-la m me mandang ke arah kedua tokoh aneh itu dan berkata dengan nada bersungguh: “Karena locianpwe berdua sudah berjanji hendak me mbantu aku dan saat ini musuh sudah tiba di depan mata, maka sekali lagi kuharap lo-cianpwe berdua benar-benar menepati janji danme mbantu dengan seluruh tenaga!”

Lam- koay Shin Ki deliki mata. “Sudah tentu! Karena kita berdua sudah bagai kakak beradik, dengan sendirinya aku tentu akan me mbantu segenap tenaga!”

Sebaliknya dengan tertawa dingin Pak-koay Ui Lian mendengus: “Sekali aku sudah berjanji hendak me mbantumu, tetapi tiada disertai syarat harus dengan seluruh tenagaku!”

Siu-la m kerutkan alis, pikirnya: “Dalam pertempuran nanti, walaupun inti kekuataan Siau-lim-si terletak pada barisan Lo- han-tin tetapi pada akhirnya di dalam menghadapi ketua Beng-gak dan beberapa anak buahnya yang sakti, tentu harus menganda lkan kesaktian. Dengan demikian La m- koay dan Pak-koay merupakan tenaga-tenaga penting yang akan menentukan kalah menangnya pertempuran ini. Jika aku tak dapat me mbujuk Ui Lian supaya me mbantu dengan sepenuh tenaga. Karena kalau hanya Lam-koay Shin Ki seorang saja, sukarlah untuk mengatasi musuh.”

Serentak timbullah pikiran Siu-la m, ujarnya sambil tertawa dingin: “Jika lo-cianpwe takut kepada wanita ketua Beng-gak itu, akupun tak berani me maksa dan marilah kuantarkan lo- cianpwe beristirahat lagi di dalam ka mar batu!”

Mendengar itu mata Pak-koay Ui Lian me mbalik: “Apa? Engkau hendak menjebloskan aku ke dalam ruang batu di bawah tanah itu lagi?”

“Benar!” sahut Siu- la m, “de mi kepentingan lo-cianpwe, aku sungguh kuatir kalau locianpwe berada di luar!”

Pak-koay Ui Lian tertawa nyaring: “Engkau me mang dapat me mbebaskan aku, tetapi jika hendak menjeblos kan diriku ke dalam penjara terkutuk itu, jangan harap engkau ma mpu!” Sia-la mpun balas tertawa nyaring: “Seorang manusia yang tak pegang janji, tentu akan ditertawakan orang. Dan setelah mati, pun tetap akan menjadi buah tertawaan….”

Ia menengadah kepala dan tertawa pula:

“Jika dia hanya seorang manusia biasa, itu tak mengapa. Tetapi jika dia seorang tokoh persilatan yang ternama, tentu lain halnya. Semua kaum persilatan tentu akan mendekap hidung, menutup telinga jika mendengar na manya disebut….”

“Keparat! Siapa yang berani menertawakan aku!” teriak Pak-koay Ui Lian.

“Saat ini ada seseorang!” sahut Siu-la m dengan sere mpak. “Siapa!” Ui Lian  menjerit  kalap seraya menghantam. Tetapi

Siu-la m   sudah   bersiap-siap.    Begitu   melihat    dia  hendak

gerakkan tangan, cepat ia lindungkan tangan ke dada, siap untuk menangkis.

Tiba-tiba terdengar deru angin menyambur dan pada lain saat terdengar jeritan ngeri disusul oleh sesosok tubuh yang terkapar di ambang pintu. Ternyata korban itu adalah seorang anak buah Beng-gak dalam rombongan barisan ber muka setan. Mulut dan hidung mengeluar kan darah,  tubuh meregang kaku dan jiwanya amblas.

Ternyata Pak-koay  Ui  Lian  dalam  marahnya  telah  menga muk. Tetapi pukulannya itu tidak ditujukan kepada Siu- lam mela inkan ke arah barisan anak buah Beng-gak. Hasilnya seorang anak buah Beng-gak telah mati seketika.

Siu-la m dia m-dia m girang karena sudah dapat menundukkan hati Pak-koay. Hanya karena watak tokoh  itu me mang aneh, sekalipun hatinya sudah menur ut, tetapi mulutnya tetap berat untuk menarik ke mbali pernyataan yangtelah diucapkan tadi. Yang jelas Pak-koay Ui Lian sudah menyatakan akan me mbantu Siu-la m dengan sepenuh tenaga. Buru-buru Siu- lam menghaturkan hor mat, serunya: “Terima kasih atas ketajaman pendengaran lo-cianpwe yang luar biasa. Jika lo-cianpwe tak bertindak, tentu salah satu dari kita akan menjadi korban perbuatan serangan gelap dari anak buah Beng-gak itu!”

Dia m-dia m Pak-koay Ui Lian bangga mendengar pujian itu namun sikapnya tetap sedingin es. Habis mendengus, ia palingkan muka.

Berkat kecerdasan otaknya, tahulah sekarang Siu- lam akan watak kedua tokoh aneh itu. Dia tak menghiraukan  sikap tawar dari Pak-koay itu. Kemudian berkata kepada Tay Ih siansu: “Kami akan menjaga di belakang pintu. Hendak ka mi lihat dulu, siapakah yang pertama masuk nanti!”

Tiba-tiba La m-koay Shin Ki berkata: “Wanita baju kuning itu me mang murid pewaris dari Lo  Hian. Dan  dia  merupakan mur id tunggal dari Lo Hian. Ketika dahulu kami bertanding dengan Lo Hian, dia masih seorang anak pere mpuan berumur dua belas tiga belas tahun. Tidak nyana sekarang sudah begitu besar begitu kasar. Jika tadi dia tak mengingat peristiwa pertempuran itu, tentu aku tak dapat mengenalinya lagi….”

Pak-koay Ui Lian pun tertawa menyambuti: “Pertandingan lawan Lo Hian itu sudah terjadi empat atau lima puluh tahun yang lampu. Sudah tentu budak perempuan itu sudah  menjadi wanita berambut putih!”

“Tetapi na mpaknya dia masih se muda orang yang berumur dua puluhan tahun saja. Apakah dia bukan budak perempuan itu?”

“Ilmu kepandaian Lo Hian, tergolong pada ilmu kekerasan yang ganas. Ilmu itu menguta makan pe meliharaan  tubuh agar awet muda dan tetap gagah. Karena budak pere mpuan itu mur idnya, sudah tentu mendapat pelajaran dalam ilmu menjaga awet muda itu. Mungkin dua puluh tahun lagi dia akan tetap semuda itu ta mpaknya!”

Kali ini karena merasa ucapan Pak-koay itu beralasan, Lam- koay Shin Ki tak dapat me mbantunya lagi. Ia tertawa dan berkata    seorang   diri:    “Dua    puluh   tahun   lagi?   Ah,  ke mungkinan dia ma lah lebih muda lagi ta mpaknya….”

“Brak…” tiba-tiba terdengar pintu gerbang yang bercat merah itu terpentang. Dan seketika muncullah seorang lelaki tua berambut dan berjenggot putih, matanya tinggal sebuah, tegak berdiri mence kal sebatang pedang pusaka. Ah… itulah Siau Yau-cu, jago pedang no mor wahid dari Bu-tong-pay.

Di belakang jago tua itu ber muncullan Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun, Bu-ing-s in-kun Pek Co-gi, Sin-to Lo Kun, Sa m-kia m- it- pit Tio Hong- kwat, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, It-ciang-tin- sam-siang Ngo Cong-han, Tui-hong-t iau Ngo Cong-gi dan lain- lain jago dari daerah Kanglam dan Kangpak.

Rombongan jago-jago sakti yang ternama itu adalah anggota rombongan yag dahulu menggempur  Beng-gak. Tetapi saat itu ternyata telah ditundukkan ketua Beng-gak dan dipergunakan mere ka untuk me njadi  barisan  pelopor mengge mpur Siua-lim-si.

Betapa hebat dan ganas rencana wanita baju kuning itu. Jelas ia hendak me ngorbankan jago-jago sakti itu supaya mene mpur barisan Siau-lim-s i. Apabila Siau- lim-s i sudah kepayahan, barulah wanita baju kuning itu turun tangan menyelesaikan….

Siu-la m me nghela napas, serunya: “Siasat yang keji dan terkutuk!”

Mendengar ucapan itu, Tay Ih siansu segera menduga bahwa pemuda itu tentu kenal akan rombongan yang datang itu. Maka segera ia menanyakan apakah Siu-la m kenal akan mereka. “Benar, wanpwe sudah kenal,” Siu-la m mengiyakan, “Mereka adalah para jago sakti yang dahulu hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Thay-san dan ke mudian ikut mengge mpur Beng-gak. Tetapi rupanya mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak dan hendak mengge mpur Siau- lim-s i! Ah, entah dengan cara bagaimana ketua Beng-ga k itu dapat menundukkan mereka sehingga mereka sa mpai lupa diri!”

“Jika begitu mere ka adalah tokoh terke muka dalam dunia persilatan dewasa ini?” Tay Ih siansu terkejut.

“Benar, yang mempe lopori di muka itu adalah tokoh tua  ahli pedang Bu-tong-pay yang berna ma Siau Yau- cu ”

Tay Ih siansu terkesiap: “Ah, sudah la ma loni mendengar namanya. Tak nyana beliau telah jatuh ke dalam perangkap Beng-gak!”

“Dan le laki tua yang tampaknya seperti orang gunung itu adalah tokoh persilatan yang termasyur sebagai manusia yang berhati dingin Su Boh-tun!”

“Apa?” Tay Ih siansu terkejut, “Dia juga takluk pada Beng- gak?”

“Dan dua orang pendek ge muk itu adalah jago tua dari Se- gak yang me miliki ilmu pukulan sakti Bu-ing-s in-kun yakni Pek Co-gi namanya. Pukulannya itu sa ma sekali tak me ngeluarkan suara sehingga orang sukar menjaganya!” Siu-lam lanjutkan keterangannya. 

Tay Ih siansu menghela napas, ujarnya: “Ah. jika menilik wajahnya, mereka itu terang terkena semacam obat bius hingga kehilangan kesadaran pikirannya ”

Tiba-tiba terdengar suara melengking taja m. Macam siulan bukan siulan, suitan pun bukan  suitan.  Suara aneh itu timbul di antara kumandang nyanyian gereja dan nyanyian hantu menangis dari rombongan anak buah Beng-gak. Dan begitu suara aneh itu melengking, Siau Yau-cu dan ro mbongannya segera bergerak menyerbu.

Tay To siansu cepat loncat menyongsong, serunya: “Siaute sudah lama mendengar tentang ilmu  pedang  Bu-tong-pay yang sakti. Biarlah siaute yang menyambutnya lebih dulu!”

Tay To segera putar tongkat sianciangnya dengan deras sekali. Tetapi Siau Yau-cu tawar saja melihatnya. Pedang tiba- tiba dihentakkan dengan gaya menusuk.

Terjadi benturan antara ujung pedang dengan tongkat sianciang. Tetapi anehnya benturan yang keras itu sama sekali tak mengeluar kan suara. Tetapi tahu-tahu kuda-kuda kaki Tay To siansu terkisar setengah langkah. Sedang Siau  Yau-cu tetap tegak dengan kokoh di tempatnya.

Melihat itu, Tay Ih siansu menghela napas dan berseru: “Harap sute mundur, dia bukan tandinganmu. Biarlah siau- heng yang menghadapinya.”

Ternyata gerakan pedang Siau Yau-cu tadi menggunakan jurus ilmu pedang yang disebut  Hoa-liong-tia m-ceng  atau me lukis naga menitik matanya. Gerakan itu suatu jurus untuk me minjam tenaga orang. Dengan demikian gerakan tongkat Tay To yang mengguna kan tenaga dahsyat itu telah dipinjam untuk mendorong dirinya. Begitu tongkat menyapu angin, tubuh Tay To segera ikut terhuyung setengah langkah.

Dengan muka merah, Tay  To siansu segera mundur.  Tay  Ih siansupun segera maju dengan tenang sa mbil mengangkat tongkat sianciangnya.

Siau Yau-cu lintangkan pedang di muka dada. Dipandangnya Tay Ih siansu dengan mata berkilat. Wajah  jago pedang angkatan tua dari Bu-tong itu me mbeku dingin seperti mayat.

Tay Ih siansu berhenti tepat di hadapan jago Bu-tong-pay itu. Ia berdiri tegak sa mbil lintangkan tongkat ke arah dada. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, sekali pandang tahulah ia akan keadaan lawan. Menilik wajah Siau Yau-cu  yang sedemikian dingin itu, Tay Ih siansu diam mengagumi. Gelar Dewa pedang yang diagungkan kepada Siau Yau-cu ternyata me mang bukan gelaran kosong. Sikap dan kerut wajah yang dingin itu me mang merupakan sikap per mulaan dari jurus ilmu pedang taraf tinggi. Buru-buru pejabat ketua Siau-lim-si itupun tenangkan diri. Tegak bersiap menungguh perkembangan.

Ilmu pedang merupakan ilmu silat bersenjata yang paling sukar diyakinkan. Gerak permainannya  memer lukan penyatuan semangat dan tenaga. Apabila sudah mencapai taraf tinggi, memang hebatnya bukan alang kepalang. Tiada setitik lubang betapapun kecilnya yang tidak dapat disusupi dengan ujung pedang. Dan  apabila  sudah  mencapai kesempur naan  ilmu,   pedang   dapat   diluncurkan   untuk  me mbunuh musuh yang terpisah beberapa tombak jauhnya.

Siau Yau-cu me miliki otak yang cerdas. Maka dalam usia dua puluh tahun lebih saja, ia mendapat gelar sebagai Kiam- seng atau Dewa pedang. Gelar itu tak diperoleh  dengan mudah tapi ditebus dengan latihan tekun sampai belasan tahun.

Sedang Tay Ih siansu walaupun tak meyakinkan ilmu pedang, tapi dia telah mencapai taraf tinggi dalam me maha mi ilmu kesaktian partai Siau-lim-s i. Maka sekali lihat, ia sudah dapat menilai ilmu pedang Siau Yau-cu. Memang  benar jago tua Bu-tong-pay itu sudah sempurna ilmu pedangnya.

Saat itu kedua jago tua itu masing- masing hanya terpisah empat lima langkah. Masing- masing saling me nunggu.

Siu-la m keliarkan pandangan. Dilihatnya La m-koay dan Pak-koay mencurahkan pandangannya kepada Siau Yau-cu. Jelas kedua tokoh itu me mpunyai kesan bahwa Siau Yau-cu merupakan musuh yang tak boleh dipandang r ingan. Wajah Tay Ih siansu pun makin serius. Matanya melekat kepada pedang Siau Yau-cu.

Saat itu suara nyanyian gereja dan mus ik ro mbongan Beng- gak masih tetap mengiakan-ngikan tak karuan.

Sesaat kemudian ta mpak Siau Yau-cu mula i mengangkat pedangnya pelahan-lahan. Sekali me langkah ma ju, pedang berkiblat bagai kilat merekah angkasa dan tahu-tahu orangnya sudah mundar ke tempat semula lagi. Maju mainkan pedang dan menyurut mundur ke mbali ke tempatnya semula itu, dilakukan hanya dalam waktu sekejap mata.

Gebrak  pertama  itu  dilakukan  cepat  sekali,   tanpa menge luarkan suara apa-apa dan tanpa terjadi benturan senjata .

Tapi ketika Siu-la m berpaling me mandang Tay Ih siansu, terkejutnya bukan kepalang. Pejabat ketua Siau-lim-s i itu masih tegak berdiri dengan rentangan tongkatnya. Tapi pada lengan jubahnya yang gombyor itu  berhias  dengan  lubang me manjang sa mpa i e mpat lima dim. Sa mar-samar ta mpak bekas darah pada lengannya.

Jelas bahwa serangan pertama dari jago pedang Bu-tong- pay itu telah berhasil me lukai lengan Tay Ih siausu.

Siu-la m kerutkan alis, pikirnya: “Sejak mendapat pelajaran ilmu pedang dari Tan lo-cianpwe dan ilmu pedang Tat-mo- kiam dari Kak Bong taysu, sampai sekarang aku belum mendapat lawan untuk berlatih. Mengingat Siau Yau-cu itu digelari sebagai dewa pedang, ilmu pedangnya tentu hebat sekali. Mengapa tak kuhadapinya untuk menguji ilmu pedang yang telah kupelajari itu?”

Gairah hatinya timbul seketika sehingga ia lupa akan segala bahaya. Sambil me mutar pedang Pek-kau-kia m, ia segera loncat maju dan tegak berdiri  di  depan  Tay  Ih  Siansu.  Ia me minta ijin kepada ketua Siau- lim-s i itu agar diberi kesempatan untuk menghadapi Siau Yau-cu. “Ilmu pedangnya hebat sekali, Pui sicu...” baru Tay Ih siansu berkata begitu, Siu- lam sudah menukasnya: “Ya, wanpwe me mang sudah kenal dengannya. Harap lo- cianpwe jangan kuatir!”

Tay Ih siansu menghela napas: “Jika mala m ini dina makan adu kepandaian, loni me mang sudah kalah,” ia mundur beberapa langkah.

Sembilan pasang sikap dan lencangkan pedang ke atas. Siu-la m me mber i hormat: “Apakah sejak berpisah dahulu, Siau lo-cianpwe sehat-sehat saja?

Siau Yau-cu menghe la napas tetapi tak menyahut.

Siu-la m tertawa dingin: “Lo-cianpwe termasyhur di dunia persilatan sebagai Kim-seng ja man ini. Tetapi me ngapa lo- cianpwe begitu mengecewakan, tak menjaga na ma dan rela bekerja pada Beng-gak?

Siau Yau-cu mur ka dan bibirnya gemetar keras tetapi kata- katanya yang sedia diluncurkan itu ditelannya ke mbali.

Siu-la m heran mengapa jago tua itu tak mau bicara. Sekali lagi ia berseru dengan nyaring: “Apakah lo-cianpwe sudah tuli?”

Sebagai penyahutan, Siau Yau-cu segera menusukkan pedangnya kepada Siu-la m. Gerakannya pelahan-lahan.

Siu-la m segera gunakan jurus Wan-to hoan-hun, dari bawah pedang Pek-kau-kia m dibalikkan menabas ke atas. Tetapi tiba-tiba pedang Siau Yau-cu mengendap ke bawah dan serempak dengan itu bergerak cepat sekali menabas lengan kanan Siu-la m.

Perubahan dari bertahan la lu balas menyerang itu, seolah- olah dilakukan dalam sebuah gerakan yang langsung. Na ma Dewa pedang benar-benar layak untuknya. Siau lam kerutkan alis dan mundur selangkah. Cepat juga Siu-la m bergerak, tetapi pedang Siau Yau-cu ternyata lebih cepat. Sinar berkelebat,  hawa  dingin  me mbaur  dan  ketika me mer iksa ke bawah, ternyata lengan baju Siu- lam tergurat pecah, darah bercucuran ke tanah.

Lam- koay Shin Ki kerutkan kening dan berseru menanya: “Apakah luka adik itu berat?”

Me mang perangai tokoh itu dingin. Walaupun pertanyaan itu bersifat rasa sayang, tetapi nadanya tetap sedingin es.

Siu-la m kerahkan tenaga murni. Tetapi masih dapat menyalur ke tangan. Jadi lukanya itu tak begitu berbahaya. Sahutnya:   “Terima   kasih  toako.    Aku    masih    dapat mene mpur nya!”

Sehabis berkata ia terus  mengangkat  pedang  lagi  dan  me luncurlah Pek-kau- kiam dalam jurus Peng-ho-gui-tong atau sungai es menca ir.

Jurus itu merupakan salah satu ilmu pedang istimewa dari Bu-tong-pay. Sudah tentu Siau Yau-cu cukup paha m. Sebenarnya dengan mudah ia dapat memecahkannya. Tetapi  ia terkejut karena ilmu pedang simpanan partay Bu-tong-pay itu yang tak pernah diajarkan kepada orang, dapat dima inkan oleh si anak muda.

Hanya sekejap ia tertegun tetapi pedang Siu-lam sudah mengha mburkannya. Dan Siau Yau-cu tak keburu menangkisnya lagi ma ka terpaksa ia mengisar dua langkah ke samping untuk menghindar.

Dari Tan lo-ciannwe, kakek si dara Hian-song, Siu-lam telah mendapat banyak sekali pelajaran ilmu pedang dari berbagai partay persilatan. Dan karena Tan lo-cianpwe sudah segera menutup mata, maka Siu- lam tak keburu lagi mendapat keterangan dari mana asal-usul pelajaran yarg diterimanya itu. Dia hanya tahu menggunakan tetapi tak tahu asalnya. Maka begitu melihat Siau Yau-cu me nghindar, ia segera merubah gerakan pedangnya dengan gerak menabas, Dan tanpa disadari gerak itu ter masuk jurus ilmu pedang istimewa dari partay Kun-lun-pay yang disebut Loh-jit-sia-ciau atau  Mata condong ke barat. Jurus yang khusus untuk mengejar musuh. Cepat bagai kilat menyambar  sehingga sekalipun seorang jago sakti juga sukar untuk menghindar kan serangan itu.

Mata Siau Yau-cu yang tajam segera mengetahui bahwa pedang anak muda itu sebuah pedang pusaka yang dapat menabas senjata musuh. Ia tak berani menangkis  dan terpaksa menyurut mundur tiga langkah.

Tetapi bagaimanapun juga, Siau Yau-cu adalah tokoh tua yang digelari sebagai seorang Dewa pedang ja man itu. Dua buah serangan lawan, telah menyadarkan pandangannya. Ia tak boleh me mandang rendah kepada anak muda itu. Maka sebelum anak muda itu lancarkan serangan yang ketiga, cepat ia mendahului menyerangnya. Sekaligus itu sebuah jurus yang mengandung tiga tusukan. Menusuk tiga bagian tubuh yang berbahaya.

Sekarang berbaliklah posisinya. Siu-la m terpaksa menar ik pedangnya untuk melindungi diri. Dengan begitu ia berbalik menjadi pihak yang diserang lagi.

Siau Yau-cu telah lancarkan jurus ganas.  Dan walaupun  me miliki berbagai ilmu pedang istimewa, tetapi dalam hal tenaga dan pengalaman, Siu- lam kalah jauh sekali. Setelah sepuluh jurus ia terdesak dan tak mampu mela kukan serangan balasan lagi.

Melihat itu gelisahlah Tay Ih siansu. Segera ia me langkah hendak mengganti. Tetapi pedang Siau Yau-cu mencurahkan laksana hujan lebat. Anginnya mengha mbur sa mpai beberapa langkah sehingga Tay Ih siansu tak dapat  mencari kesempatan untuk menggant i Siu-la m. Tiba-tiba La m-koay berpaling kepada Pak-koay, serunya: “Gelar Dewa pedang itu me mang layak diberikan kepada Siau Yau-cu. Kukuatir adikku itu bukan tandingannya!”

“Mungkin dalam sepuluh jurus lagi dia tentu tak kuat bertahan!” sahut Pak-koay Ui Lian.

Tapi La m- koay tertawa dingin: “Ah, belum tentu. Siau Yau- cu   itu   hanya   mengandalkan  tenaga   dala mnya   untuk me mpero leh ke menangan...” Tiba-tiba Siu-la m mengge mbor keras. Pedang Pek-kau-kia m tiba-tiba me lancar dahsyat. Dari bertahan ia berganti mengirim serangan balasan. Itulah jurus Jiau-to-co-hoa yang istimewa saktinya. Laksana bunga api pecah berhamburan di udara, seketika Siau Yau-cu menjadi kaget dan mundur.

Sayang Siu-la m belum selesai me maha mi ilmu pedang istimewa itu. Pada saat ujung pedang sudah me mbayangi dada lawan, ia tak mau meneruskan menusuk tapi menghentikannya.

Siau Yau-cu tertegun. Sesaat kemudian ia baru menyerang menabas lengan Siu-la m dengan jurus Hun-hoa hud- liu atau Menyiak bunga mengebut pohon itu.

Siu-la m terdesak mundur selangkah lagi.

“Berhenti!” tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari arah belakang. Nadanya tajam sekali sehingga telinga orang seperti tertusuk benda tajam.

Siau Yau-cu dan Siu- lam sa ma-sa ma berhenti.

Ternyata yang berseru itu adalah wanita baju kuning atau ketua Beng-gak. Ia mengha mpiri dengan langkah yang le mah gemulai. Goyang pinggulnya, me mikat mata.

Siau Yau-cu menyisih ke samping me mberi ja lan, ternyata wanita baju kuning itu berhenti di depan Siu- la m. Ditatapnya wajah anak muda itu tajam, tanyanya: “Siapa yang mengajarkan kau ilmu pedang yang kau lancarkan tadi?” “Jika aku meno lak me mberi keterangan?” jawab Siu- la m.

Ketua Beng-gak itu tertawa dingin: “Segala ucapanku, tak pernah orang berani membentak. Jika kau berani,  cobalah saja. Tapi jangan kau menyesal nanti. Karena sekalipun kau akan me mberitahukan, tetap sudah terla mbat….”

Siu-la m tertawa: “Aku paling-paling hanya mati? Apakah yang harus kutakutkan?”

Wajah   wanita   baju   kuning    tiba-tiba    mena mpilkan ke marahan: “Engkau kepingin mati? Ah, jangan harap engkau dapat menikmati ke matianmu dengan enak!”

Sejenak Siu- lam merenung, lalu katanya:

“Kupercaya, bengcu tentu dapat membuat diriku mati tidak, hidup pun tidak! Tetapi harap bengcu menyadari, bahwa aku tak suka dan tak mau tunduk di bawah ancamanmu! Karena kenal akan jurus per mainan pedangku tadi, bengcu pasti mengetahui sumbernya. Jika bengcu ingin me ngetahui siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu padaku, aku pun mengharap bengcu meluluskan  beberapa  pertanyaanku. Tetapi pertempuran mala m ini bagaimanapun juga, harus dilangsungkan sa mpai ada yang menang dan kalah. Karena bengcu tak mengungkat hal itu, ka mipun terpaksa akan bertempur sampai mati. Namun kalah menang itu bukanlah kekuasaan manus ia. Harap bengcu suka merenungkan ucapanku ini. Dan ketahuilah, bahwa ancaman bengcu itu, tak mungkin akan me mbuat hatiku menyerah!”

Wanita baju kuning itu menganggukkan kepalanya: “Di antara angkatan anak muda, belum pernah ada yang berani bicara padaku seperti kau. Walaupun kata-katamu itu sudah harus mendapat hukuman, tetapi kata-katamu itu cukup beralasan!”

Tampaknya wanita itu berumur dua puluhan tahun lebih. Tetapi nadanya yang begitu angkuh, tak sesuai dengan umurnya. “Kalau begitu, bengcu me luluskan?” tanya Siu- la m.

Sejenak wanita  baju  kuning  me mandang  ke  sekeliling, ke mudian berkata: “Semua orang yang berada di sini tak mungkin hidup lagi sa mpai jam tiga mala m ini. Biarlah mereka mendengarkan keteranganmu!”

Siu-la m tersenyum, ujarnya: “Yang kuma inkan tadi adalah jurus Jiau-toh-coa-hoa. Tentulah bengcu paham juga bahwa jurus itu merupakan jurus untuk menundukkan musuh. Tetapi rasanya bengcu tentu lebih paham dan tahu di mana kekurangan-kekurangan per mainanku tadi!”

“Benar!” sahut wanita baju kuning itu, “me mang yang engkau mainkan itu jurus Jiau-toh-co-hoa. Di sa mping masih banyak gerak perubahannya yang engkau kurang mahir, juga jurus itu mas ih ada kelanjutannya yang kaya dengan gerak perubahan indah!”

“Entah dari manakah asalnya ilmu  pedang itu?” tanya Siu- la m.

Wanita baju kuning tertawa dingin: “Ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang no mor wahid dalam ja man ini. Sudah tentu tidak sembarangan orang dapat beruntung mendapatkannya!”

Dia m-dia m Siu- lam me mbatin: “Jika jurus itu bukan berasal dari partai persilatan yang manapun juga, tentu berasal dari seorang sakti yang menciptakannya sendiri.”

Wanita baju kuning itu berkata pula: “Pada masa sekarang, kecuali aku, seharusnya tak ada orang lain lagi yang ma mpu me ma inkan  ilmu  pedang  itu.  Entah  dari   mana   engkau me mpero leh pelajaran itu?”

Teringat akan kakek Tan yang telah terkubur dalam tanah salju,  hatinya   berduka.   Menengadah   ke   atas,   ia menghe mbuskan napas: “Seorang kakek she Tan tetapi entah siapa na manya...” “Mengapa tidak menanyakan?” tegur si wanita baju kuning.

“Kakek itu keras kepala sekali. Apa yang tak dikatakan, percuma saja hendak menanyakan. Tetapi kalau dia hendak menyuruh dan kau berani me mbantah, celakalah engkau!” kata Siu-la m.

“Tetapi engkau tentu masih ingat rupanya, bukan?”

Siu-la m menghela napas perlahan, ujarnya: “Dia seorang kakek yangmender ita. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka dan tak dapat diobati lagi. Seorang tua yang sudah lanjut usianya dan dirundung sakit, tentu menimbulkan kesan bahwa setiap saat dia dapat meninggal dunia. Tetapi dia  me miliki ilmu kesaktian yang tinggi dan  pengala man  yang luas.  Dia me mang tak mau me mber itahukan kepada sebuah rahasia dari penyakit yang dideritanyaselama berpuluh-puluh tahun itu. Memang suatu hal yang tak masuk akal tetapi nyatanya me mang begitu. Separuh tubuhnya sudah lumpuh, setiap hari ia harus keraskan hati untuk menderita siksaan mela kukan penyaluran darah….”

Tiba-tiba wanita baju kuning itu menengadah me mandang lagit. Tanpa me mandang Siu-la m ia berseru: “Bukankah wajahnya terdapat sebuah bekas luka berat?”

“Ya, me mang ada dan agaknya bekas luka senjata tajam. Bekas luka itu hampir menyelubungi separuh mukanya. Di kala mender ita luka dulu dia tentu sangat menderita sekali!”

Wanita  baju  kuning  yang  berwajah  dingin   itu   tetap me mandang langit, lalu berseru lagi:  “Teruskan ceritamu! Selama dua puluh tahun, baru sekali ini aku me mpunyai kesabaran untuk mendengar orang bercerita!”

“Tiap hari penyakitnya itu tentu kambuh dan apabila terus kambuh, dia seperti mati. Dalam saat-saat itu, sekalipun orang yang  tak  ma mpu  menyembe lih  ayam  saja,  tentu  dapat me mbaco knya mati….” Siu-la m berhenti.

“Teruskan ...!” seru wanita itu.

“Sebenarnya pertemuanku dengan Tan 1o-cianpwe itu hanya secara kebetulan karena sebelumnya ka mi tak saling kenal. Dia telah mengajarkan banyak sekali ilmu kesaktian kepadaku. Justru Jiauw-toh-co-hoa tadi, pun Tan lo-cianpwe yang mengajarkan. Sayang aku tak dapat mengingat se mua karena sebelum se mpat me mahami, beliau sudah keburu menutup mata!”

“Dima na dia dikubur?”

Siu-la m terdia m. Beberapa saat kemudian baru kedengaran ia   berkata:”Maaf,   hal   itu   terpaksa    aku    tak    dapat me mber itahukan. Tan lo-cianpwe benar-benar seorang  manus ia yang ajaib. Memiliki kepandaian yang sakti tetapi ia tak dikenal oleh kaum persilatan. Mempunyai pengetahuan tinggi dalam ilmu pengobatan tetapi tak dapat menyembuhkan lukanya sendiri. Mungkin pada masa sekarang, tiada seorangpun yang tahu asal-usulnya!”

Tiba-tiba wanita baju kuning berpaling dan berkilat-kilat menatap Siu- la m, ujarnya: “Benar, yang mengetahui tentang riwayatnya, mungkin hanya aku seorang!”

“Akupun me mpunyai anggapan begitu juga!”

Wanita baju kuning itu tertawa dingin: “Engkau cukup cerdik! Sayang jiwamu hanya tinggal beberapa jam saja. Sekalipun engkau akan kubunuh yang terakhir sendiri tetapi tetap engkau tak dapat menikmati matahari esok pagi!”

Siu-la m tertawa tawar: “Mati hidup, sudah tak kupikirkan lagi...” Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan pertanyaan: “Sekarang giliranku untuk mengajukan pert anyaan kepadamu!”

“Tanyalah!” Dengan suara tinggi melantang, Siu- lam segera berseru: “Berpuluh-puluh tahun yang lalu, wanita berkerudung kain hitam yang malang me lintang di dunia persilatan dan digelari kaum persilatan sebagai wanita siluman, apakah bukan bengcu sendiri?”

Wanita baju kuning itu me ngangguk: “Benar!”

“Bukankah Tan lo-cianpwe itu suheng dari beng-cu sendiri?”

Sepasang mata wanita ketua Beng-gak itu berkilat-kilat tajam lalu me nyahut dingin: “Tajam benar penilaianmu!”

“Bukankah beng-cu dan Tan lo-cianpwe itu  sa ma-sama mur id dari Lo Hian?” tanya pula Siu-la m dengan nada serius.

Wanita baju kuning itu tertawa dingin: “Engkau dapat menebak dengan jitu se mua. Rasanya tak perlu harus kujawab lagi!”

Sekonyong-konyong ia mengangkat tangan ke  atas  dan dila mbaikan. Serentak berpuluh-puluh anak buah Beng-gak maju bergerak. Siau Yau-cu me mpelopori menyerang dengan jurus Pek-sat-lok-gan. Di tangan jago pedang kawakan seperti Siau  Yau-cu,  jurus  Peng-sat-lok-gan  atau  burung  belibis me layang turun ke tanah pasir, telah berubah menjadi sebuah serangan yang dahsyat sekali.

Tring… cepat-cepat Siu-la m gunakan Pek-kau-kia m menangkis la lu menyurut mundur ke tempat Tay Ih siansu, bisiknya: “Kita mundur ke dalam barisan Lo-han-tin. Kerahkan seluruh kekuatan barisan untuk menghadapi pertempuran yang menentukan nanti!”

Belum Tay Ih menyahut, tiba-tiba dadanya terhunjam sebuah tinju sehingga ia terhuyung lima langkah. Untung sebelumnya ia sudah bersiap lebih dulu. Sekalipun terpukul berat tetapi tidak sa mpai terluka dala m. Siu-la m segera lancarkan jurus Sing-ho-to-kwa atau Bintang lima sakti terjungkir untuk menyerang Su Bo-tun yang me mukul Tay Ih siansu itu, sa mbil berseru me mperingatkan ketua Siau-lim-s i: “Lo-s iansu, harap hati-hati terhadap pukulan Bu-ing-s in-kun dari Pek Co-gi. Dia bertubuh pendek gemuk, mudah dikenali...”

Belum selesai berkata, terdengar Pak-koay Ui Lian mendengus dingin dan tubuhnya tergetar. Jelas ia telah menerima sebuah pukulan Bu- ing-s in-kun dari jarak jauh.

Pukulan itu telah menimbulkan ke marahan Pak-koay. Dengan mengge mbor keras segera ia balas menghantam. Hebat benar pukulannya itu. Segulung hawa dingin yang dahsyat segera melanda.

Melihat kedahsyatan pukulan Pak- koay, seketika timbullah pemikiran dalam hati Siu-la m: “Beng-gak telah kerahkan kekuatan untuk mengge mpur Siau-lim-si. Pertempuran mala m ini, kalah atau menang, tentu akan menimbulkan pe mbunuhan yang ngeri. Jika dengan ilmu pedang Tat- mo-sa m-kia m ajaran Kak Bong taysu, aku bersatu padu dengan kesaktian kedua tokoh aneh itu, lalu me ngajak musuh bertanding satu lawan satu, mungkin dapat menyelamatkan pe mbunuhan besar- besaran ini ”

Baru ia berpikir begitu, wanita baju kuning sudah turun tangan. Sekali tangannya mena mpar serangkum tenaga halus menyongsong pukulan dingin Hian-peng-ciang dari Pak-koay.

Dalam pada itu Su Bo-tun pun gunakan gerak kaki Chit- seng-tun-heng untuk menyelinap dari tusukan Siu-la m, lalu menerjang Tay Ih.

Suara mus ik yang menusuk telinga tadipun  me lengking lagi. Kelima barisan aneka manus ia aneh dari Beng-gak segera bergerak  menyerbu.  Melihat  itu   Lam-koay   Shin   Ki mengge mbor keras dan lepaskan sebuah pukulan panas Cek- yan-ciang ke arah si wanita baju kuning. Wanita baju kuning mendengus dingin. Ia kebutkan tangan kiri untuk menangkis. Lalu dengan kedua buah jari tangan kanan ia me mbuat gerakan menutuk dari jauh kepada La m- koay.

Lam- koay Shin Ki, manus ia aneh yang berwatak angkuh dan bersikap dingin, begitu me lihat wanita baju kuning itu menutuk dengan jari, wajahnya serentak berubah dan buru- buru loncat ke sa mping.

Melihat itu Siu- lam terkejut dalam hati. Mengapa La m- koay yang sedemikian saktinya jerih juga terhadap ketua Beng-gak itu? Kalau tidak dahulu pernah menderita kekalahan, tentu tak mungkin La m-koay begitu ketakutan. De mikian pikirnya.

“Kita mundur ke dalam gereja!” seru Tay Ih.

Melihat barisan anak buah Beng-gak sudah bergerak, Siu- lam menyadari bahwa ketegangan sudah meruncing benar- benar. Pertempuran dahsyat segera pecah. Rencananyapun gagal. Karena para paderipun sudah siap te mpur, akhirnya Siu-la m me mutuskan, biarlah mereka berte mpur. Ia akan bertindak menurut perke mbangan.

Dengan keputusan itu, ia mencabut Pek- kau-kia m dan dengan mengge mbor keras, ia lancarkan jurus Se-lay-co-im atau Suara doa dari barat. Jurus yang dahsyat itu mema ksa Siau Yau-cu dan Su Bo-tun mundur.

Menyaksikan per ma inan pedang anak muda itu, si wanita baju kuning tertarik perhatiannya. Dipandangnya anak muda itu dengan penuh perhatian.

Setelah mengundurkan kedua tokoh sakti, Siu- lam me lesat ke samping La m-koay dan Pak-koay: “Lo-han-t in, barisan Siau-lim-si yang termasyhur sudah siap te mpur. Marilah kita masuk ke dalam gereja untuk menunggu perke mbangan lebih jauh.” Kedua tokoh yang angkuh itu, rupanya menyadari bahwa pertempuran mala m itu, tak dapat hanya mereka berdua yang mengatasi. Setelah saling bertukar pandang, keduanya segera mundur ke dalam gereja. Sedangkan Siu-la m mengawal di belakang dengan pedang terhunus.

Tiba-tiba terdengar suara genta bertalu me manjang. Suaranya yang bergema nyaring, telah menindas suara nyanyian para paderi dan musik brengsek dari anak buah Beng-gak.

Dari jarak tiga to mbak dalam pintu besar gereja, tiba-tiba menyala sebatang obor besar. Sinarnya yang terang- benderang meliputi dua tombak jauhnya.

Dua belas paderi berjubah kelabu, siap berbaris dalam bentuk PAT atau segi tiga. Wajah mereka tampak keren (serius) sekali. Yang enam orang yang mencekal tongkat sian- ciang dan yang enam orang bergolok kwat-to.  Ditimpa li cahaya obor, golok mereka itu  berkilat-kilat  menyilaukan mata.

Begitu ro mbongan Tay Ih siansu masuk, barisan itu segera menyis ih me mber i jalan. Ternyata barisan di belakang itu masih terdapat berpuluh-puluh batang obor yang meliputi sejauh empat puluh tomba k. Pemandangan saat itu menyerupai lautan obor yang tiada ta mpak ujungnya.

Obor dan barisan paderi itu, mene mpati jarak tertentu secara teratur. Berpuluh-puluh sosok tubuh dan sinar golok dalam suatu barisan besar yang teratur rapi dan rapat, benar- benar menimbulkan rasa seram dan berwibawa.

Bahkan La m-koay dan Pak- koay, tokoh yang aneh dan angkuh, ketika menyaksikan barisan Siau- limisi saat itu, mau tak mau mengagumi juga.

Demikian juga dangan wanita ketua Beng-gak. Ia terkesiap me lihat keperbawaan barisan Siau-lim-si. Segera ia me mberi isyarat agar kelima barisan Beng-ga k itu berhenti dulu. Setelah menga mati barisan Siau-lim-si beberapa jenak, wanita baju kuning itu mela mba i ke kedua muridnya supaya datang.

Nona baju biru dan baju merah bergegas mengha mpiri suhunya: “Apakah yang hendak suhu perintahkan?”

Wanita baju kuning itu menghela napas pelahan, serunya: “Dengan persiapan itu jelas bahwa Siau-lim-si sudah bertekad me lawan sampai hancur binasa. Ke munculan kedua La m- koay dan Pak-koay me mbantu Siau- lim-si itu, sungguh di luar dugaan. Barisan Lo-han-tin sudah la ma termasyhur sakti. Ternyata pertempuran mala m ini tak se mudah seperti yang kukira. Segeralah kalian siapkan Chit-tok-sin-tong (tabung berisi tujuh jenis racun) Begitu berhasil menyusup ke dalam barisan mereka, segera nyalakan dupa Bi-sin-hiang (dupa pelenyap kesadaran). Serang dengan ganas agar nyali mereka runtuh baru kemudian hancurkan barisan Lo-han-tin mere ka!”

Dengan hor mat kedua nona itu mengiyakan.

“Walaupun pe muda yang bersenjata pedang itu tak berapa sakti, tapi dia banyak akal siasat dan me miliki per mainan pedang yang luar biasa. Rupanya seperti dia yang me megang peranan di belakang layar. Jika bertemu dengan anak muda itu, jangan dilepas begitu saja!” kata ketua Beng-ga k itu pula.

Saat itu Tay Ih siansu bersama Siu-la m dan rombongannya, telah masuk sejauh lima to mbak, tapi ternyata pihak Beng-gak masih belum mulai menyerang.

Karena heran, ia berhenti dan berpaling ke belakang. Tampak barisan Beng-gak me mbawa sesuatu yang aneh. Tangan mereka mencekal senjata tetapi tangan kiri masing- masing me mbawa sebuah benda sebesar telur itik  yang hampir setengah meter panjangnya.

Tiba-tiba genta bertalu dengan nyaring sekali. Barisan Lo- han-tin segera bergerak. Kiranya tiga kali bunyi genta itu, merupakan tanda ko mando barisan. Barisan paderi itu ma kin cepat bergerak dan dalam waktu beberapa kejap saja mereka sudah lenyap. Pintu yang bermula penuh dengan barisan garang, saat itu penuh dengan bayangan paderi Siau-lim-si yang bergerak-gerak.

“Toako, harap perlahan dulu, aku hendak mohon keterangan,” bisik Siu- lam kepada La m- koay Shin Ki.

“Mengapa?” La m- koay berhenti. “Toako banyak pengalaman, kiranya tahu benda apakah yang dibawa anak buah Beng-gak itu?”

Sejenak Lam- koay lepaskan pandangan ke arah rombongan Beng-gak, ke mudian jawabnya: “Seperti se maca m dupa wangi!”

“Hm, apakah mereka hendak me mbius paderi Siau- lim-si dengan dupa wangi?” Siu- lam heran.

“Lo Hian si hidung kerbau itu me mang pintar menciptakan yang aneh-aneh. Karena budak perempuan itu anak muridnya, tentu menerima ilmu pelajarannya juga!”

“Sudah beratus tahun Siau-lim-s i merupakan  pimpinan dunia persilatan di Tiong-goan. Sekali- kali bukan setiap paderi Siau-lim-si itu sakti, tetapi rata-rata mereka me miliki kepandaian kiranya ma mpu untuk menahan serangan barisan Beng-gak itu. Apalagi Siau-lim-si telah menpersiapkan barisan Lo-han-tin. Jika hendak menyerbu Siau- lim-si, Beng-gak tentu harus me mbayar mahal. Tetapi celakalah jika mereka menggunakan akal licik, me mbius dulu, baru ke mudian menyerang, kita tentu kalah!” Kata Siu-la m.

Lam- koay tertegun sejenak, ujarnya: “Tentang ilmu obat- obatan, aku kurang paha m.”

“Maksudku apakah toako tak dapat menemikan akal untuk menghadapi siasat mereka itu?” tanya Siu-la m.

Lam- koay Shin Ki gelengkan kepala: “Ah, bo hwat… bo hwat….” Bo hwat artinya tiada berdaya lagi.

Saat itu Tay Ih siansu dan rombongannya pun berhenti. Mereka me mandang ke arah ro mbo ngan anak buah Beng-gak yang me mbawa benda aneh itu. Wajah mere ka mengerut gelisah. Apa yang ditanyakan Siu-lam itu, pun didengarnya. Dan mereka juga tidak me mpunyai daya untuk menghadapi serangan rombongan Beng-ga k itu.

Tiba-tiba Siu-la m berpaling kepada Tay Ih siansu dan bertanya: “Apakah barisan Lo-han-tin ini dapat bergerak maju mundur?”

Sahut Tay Ih siansu: “Selain gerak perubahan di dalam menghadapi serangan musuh, Lo- han-tin pun ma mpu bergerak dengan le luasa menurut perintah yang dikehendaki!”

“Bagus!” Seru Siu la m.

Tay Ih siansu menang sudah me mpunyai kesan baik terhadap anak muda itu. Na mun ia tak tahu apa yang direncanakan Siu- lam saat itu. Maka ia segera menanyakan apakah Siu-la m sudah me mpunyai rencana untuk menghadapi serangan dupa pe mbius barisan Beng-gak.

“Jika mereka me mang hendak mengguna kan cara keji itu, me mang sukar untuk kita larang. Kita hanya harus mencari jalan untuk menggagalkan siasat mereka itu!” kata Siu- la m.

Tay Ih siansu mendesak agar pe muda itu segera mengatakan apa rencana yang telah disiapkan.

Sejenak merenung Siu- lam berkata dengan berat: “Adakah rencanaku ini dapat berhasil masih sukar dikata. Tetapi tiada jeleknya kita coba juga. Harap lo-siansu segera mengeluarkan perintah. Demi menyela matkan ke matian yang sia-sia. Lo-han- tin mundur dan perlahan-lahan me mencar.  Menggunakan kesempatan barisan sedang beristirahat itu, sebagian dari anggota barisan itu supaya me mpersiapkan air itu kita  akan me mada mkan api Yalah api dari dupa yang mereka nyalakan itu. Adakah cara ini dapat berhasil atau tidak, aku tak berani me mastikan. Tetapi daripada tiada cara apa-apa, baiklah kita coba cara itu!”

Tay Ih siansu menghela napas: “Walaupun cara itu bukan buah pikiran baru, tetapi dalam saat-saat yang genting, Pui sicu dapat mene mukannya, jelas menanda kan sicu me miliki kecerdasan yang melebihi orang biasa. Baiklah loni  segera akan mengeluarkan perintah supaya kedua sute yang mengepala i barisan itu segera me laksanakan rencana itu!”

Pada saat itu kelima barisan Beng-gak yang terdiri dan bermaca m- maca m ma nusia aneh, mulai bergerak maju. Tangan kanan mereka mencekal senjata dan tangan kiri mengacungkan sebuah benda yang mengeluar kan asap. Mereka berbaris dengan rapi dalam lima jajaran menur ut pakaian seragam masing- mas ing barisan. Selekas wanita baju kuning me mber i perintah, kelima barisan itu segera akan menyerbu.

Tetapi si wanita baju kuning mas ih enak-ena k me mandang ke langit. Mulutnya berkomat-ka mit bicara seorang diri sedang dua buah jari tangan kanannya menggurat-gurat ke atas.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar