Wanita iblis Jilid 27

Jilid 27

TETAPI setelah berte mu denganmu, tiba-tiba kurasakan semua peristiwa itu sudah la mpau. Seratus kali bahkan seribu kali kuceritakan, pun tiada gunanya. Karena itu tak ingin lagi kukatakan. Ya, aku takkan mengatakannya lagi! ”

“Mengapa?” tanya Siu-la m.

“Sesungguhnya kedatanganku ke Siau-lim-si sini mencarimu, juga suatu hal yang tiada artinya. Mati hidup itu hanya semacam awan di langit. Betapa besar nama seseorang dan betapa tinggi kedudukan seseorang, akhirnya pasti akan mati laksana sebutir pasir jatuh di dalam lautan. Ah, jika saja semula sudah kusadari hal itu, tentu aku takkan me ncarimu lagi!”

“Siau-heng benar-benar tak mengerti ma ksud sumoay.”

Hui- ing kisarkan tubuh, serunya: “Aku hendak pergi, harap suheng suka me nyisih.”

Tetapi Siu-la m malah lintangkan tangannya menghadang, serunya: “Sudah beberapa bulan kita tak bertemu. Banyak sekali yang hendak kukatakan. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa hendak pergi?”

Hui- ing menyurut mundur lagi, serunya: “Cukuplah! Yang lalu telah berlalu. Dan yang akan datang, belum dapat kita ketahui. Apa yang harus dibicarakan lagi?”

“Siau-heng hendak berkata banyak sekali.”

“Jika aku tak suka mendengarkan?” kata Hui- ing dengan nada berat.

Siu-la m tertegun: “Apakah benar-benar sumoay membenci siau-heng? Dan me mutus kan hubungan kita? Aku Pui Siu ”

“Jangan mengatakan hal itu! Engkau me megang janjimu tadi atau tidak?” tukas Hui- ing. Sama sekali Siu- lam tak menyangka bahwa sumoaynya yang dahulu begitu le mah le mbut, tiba-tiba berubah menjadi sedemikian dingin. Hanya beberapa bulan tanpa berjumpa tampaknya sumoay itu sudah berubah sa ma sekali. Agaknya sumoay itu tercengkam dalam dunia kebatinan dimana ia dapat menyadari arti diri pada hidup ini. Hidup yang tak lebih merupakan suatu bayangan kosong.

Karena terbenam dalam menilai diri sang sumoay, Siu-la m sampai lupa untuk menjawab.

Hui- ing tertawa dingin, serunya pula: “Tadi engkau sudah berjanji hanya bertemu sebentar lalu pergi. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak menyeret aku dalam pe mbicaraan yang berlarut-larut? Hm, menyingkir lah, aku hendak pergi!”

Tanpa me mbuka lengan baju yang menutupi mukanya, gadis itu mula i ayunkan kakinya, menyapu kaki Siu- la m.

Siu-la m terkejut. Buru-buru ia menyingkir ke samping dua langkah. Dan cepat sekali Hui- ing sudah me lesat keluar. Kemudian ia me mbisiki gadis yang menghunus pedang tadi: “Cici, halanglah ia !”

Gadis baju hitam itu mengiyakan dan cepat menghadang di depan pintu. sekali gerak, ia sudah lancarkan dua buah serangan. Cepat dahsyat bukan kepalang. Jika hal itu terjadi beberapa bulan yang la lu, Siu- lam pasti sudah terluka.

Sehabis menyerang, gadis itu segera loncat keluar dan menyusul Hui-ing.

Dengan kerahkan se mangatnya, Siu-lam segera mengejarnya seraya berseru nyaring: “Hai, penjagaan gereja sangat ketat sekali. Jika  sumoay  hendak pergi, biarlah kuantarkan keluar!”

“Tak usah, dapat datang kemari sudah tentu  kamipun dapat pergi keluar sendiri!” sahut si gadis hitam bersenjata pedang itu dengan dingin. Mereka bergerak dengan cepat sekali. Dalam pada bicara itu, mereka sudah keluar dari hutan.

Saat itu hujan sudah berhenti sama sekali. Langit penuh dengan bintang. Tiba-tiba e mpat sosok tubuh yang mengenakan jubah paderi dan mencekal tongkat, muncul berjajar-jajar menghadang di tengah jalan.

“Berhenti!” terdengar salah seorang paderi me mbentak seraya menyapu dengan tongkatnya.

Tapi dengan suatu gerakan yang lemah ge mula i, gadis itu menghindar ke sa mping terus lari maju. Sa ma sekali  ia  tak  me mandang mata atas serangan paderi itu.

Dan gadis bersenjata pedang yang berada di belakangnya, segera ayunkan tubuh me lenting ke udara, terus melayang turun ke muka.

Paderi yang menyerang itu marah sekali karena diperlakukan sede mikian hina. Ia menyerang lagi dengan sekuat tenaga.

Dalam menghadapi serangan maut itu, Hui-ing tetap menutupi mukanya sambil berputar-putar menghindar ke samping. Gerakannya lincah dan indah sekali. Selain menghindar serangan tongkat, pun ia maju  menerjang keempat paderi yang la in.

Gerakan yang luar biasa anehnya itu menyebabkan keempat paderi penghadang itu, tergetar hatinya.

Pada saat ke empat paderi itu terkesiap, tiba-tiba si gadis baju hitam sudah tiba. Sekali kiblatkan pedangnya kekanan- kiri, ia menyerang dua orang paderi. Kedua paderi itu cepat mengangkat tongkatnya untuk menangkis.

Hui- ing menggeliatkan  tubuh  dan  tahu-tahu  tubuhnya me luncur ke muka. Dua orang paderi yang lainnya cepat-cepat menghadangnya dengan tongkat, tetapi mereka hanya menghadang angin belaka. Hui- ing laksana sesosok bayangan yang sukar dija mah....

Kebalikannya gadis baju hitam pengawal Hui-ing itu tak berhasil menerobos dari hadangan paderi Siau-lim-s i. Gadis itu segera putar pedangnya. Hebat sekali gerakan pedang nona itu sehingga kedua paderi penghadangnya jadi kelabakan menjaga diri.

Pada lain saat Siu- lam tiba di situ. Sambil me mberi hor mat ia berseru nyaring kepada kee mpat paderi itu: “Harap taysu berempat suka me mberi jalan kepada nona itu!”

Me mang kepada Siu-la m paderi Siau-lim-s i a mat mengindahkan. Setelah menangkis, merekapun menyisih ke samping me mberi ja lan.

Gadis baju hitam mendengus dingin. Tanpa berpaling muka ia menda mprat Siu-la m: “Huh, jangan usilan. Siapa minta engkau me mbantu!”

Sekali enjot kaki, tubuhnya mela mbung ke udara. Setelah me layang turun, terus lari menyusul Hui- ing.

Siu-la m me mberi keterangan kepada kee mpat padri bahwa kedua nona itu bukanlah anak buah Beng- gak. Ia kuatir keempat paderi itu salah paham. Habis me mber i penjelasan iapun segera lari menyusul.

Ketika Siu- lam dapat menyusul ternyata Hui-ing dan gadis baju hitam itu sedang bertempur dengan belasan paderi Siau- lim-s i.

Hui- ing tetap menutupi mukanya dengan lengan baju. Ia hanya menggunakan tangan kiri untuk melawan pengeroyoknya. Tetapi gerakan tubuhnya luar biasa anehnya. Gadis itu berlincahan laksana kupu-kupu ditingkah taburan senjata.

Tetapi si gadis baju hitam tetap mengandalkan per mainan pedangnya yang ganas sekali. Menyerang dan menangkis. Setiap jurus per mainan pedangnya selalu mengandung bencana maut sehingga musuh terpaksa waspada.

Pada saat Siu-la m hendak berseru menghent ikan pertempuran itu, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya: “Sumoay dapat bergerak bebas lepas dalam kepungan musuh, tentulah berkat ilmu gerakan kaki Cit-sing-tun-heng ajaran Siu-chiu- kiau-in Su Bo-tun. Dalam waktu beberapa bulan saja ia sudah me maha mi ilmu pelajaran yang sesakti itu, sungguh mengagumkan sekali. Tetapi entah siapakah gadis baju hitam yang bersamanya itu. Mengapa ilmu pedangnya begitu ganas?

Akhirnya ia me mutuskan untuk me lihat dulu. Siapa tahu mungkin ia dapat me mperoleh sesuatu jejak untuk menetapkan aliran dari gadis baju hitam itu.

Ia batalkan niatnya untuk mencegah. Dan dengan penuh perhatian dia matinyalah per mainan pedang gadis itu.

Tiba-tiba gadis baju hitam itu merubah per mainan pedangnya. Ia kembangkan jurus serangan yang luar biasa cepat dan dahsyatnya. Sinar pedangnya bagaikan bunga api berhamburan di udara!

“Uh!” terdengar erangan tertahan dari seorang paderi. Tiba-tiba paderi itu le mparkan tongkatnya dan mundur beberapa langkah. Tangan kirinya mendekap lengan  kanan dan orangnya berlutut ke tanah. Darah menye mbur keluar!

“Hm, ilmu pedang nona itu me mang luar biasa ganasnya. Jika dilanjutkan, beberapa paderi akan menjadi korban lagi!” dia m-dia m Siu- lam me nimang.

Dan tepat pada saat ia menimang itu,  terdengarlah pula dua buah erangan tertahan. Dua orang paderi rubuh menjadi korban pedang nona itu.

Setiap turunkan pedangnya, tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Maka setiap korbannya tentu menderita luka parah sekali. “Celaka, jika aku tak lekas-le kas bertindak, paderi-paderi Siau-lim-si  tentu   akan   terluka   semua,”   de mikian   ia   me mutus kan.

Tepat pada saat itu, kembali seorang paderi rubuh. Tanpa berayal lagi Siu-Iam terus mencabut pedang Pek-kau-kia m lalu loncat ke muka. Sambil me mutar pedangnya dengan jurus Tan-hong-liau-hun,  ia  berseru  bengis:  “Mengapa   engkau me lukai paderi Siau- lim-si yang tak me mpunyai dendam dengan engkau!”

Sekalipun hatinya panas, tetapi ia tetap menjaga perasaan Ciu Hui-ing, agar jangan  salah paham. Maka  serangan pedangnya itupun agak la mbat..

“Hm, engkau tidak puas? silahkan  mencoba sendiri!” dengus nona baju hitam itu seraya menarik pedangnya untuk digeliatkan me mbalik ke arah Siu- la m.

Gerak me mba likkan pedang itu sudah mengandung dua jurus serangan yang dahsyat sekali sehingga Siu- lam terpaksa mundur dua langkah.

Dalam pada itu rombongan paderi yang telah kehilangan empat kawannya, menjadi murka. Tiga orang paderi serentak menyerang. Yang dua dengan tongkat sian-ciang, yang seorang dengan golok kwat-to.

Siu-la m agak sibuk. la tak ingin melihat para paderi Siau- lim-s i menjadi korban lagi tetapi iapun menjaga jangan sampai menyinggung perasaan sumoaynya.

“Nona, menghindarlah ke sa mping! ” akhirnya ia berseru kepada nona baju hitam itu.

Tetapi ternyata nona itu bukan menurut anjuran Siu- la m, kebalikannya ma lah kerahkan se mangat, menangkis dengan pedangnya. Tring, terdengar dering senjata beradu dahsyat. Begitu tongkat seorang paderi yang menyerang dari sebelah kiri terpental, dengan me minja m tenaga, benturan pedang itu, si gadis baju hitam terus loncat ke samping beberapa meter jauhnya.

“Bagus!” dia m-dia m Siu- lam me muji dalam hati me lihat kelincahan nona itu.

Tapi rasa kagumnya itu cepat buyar ketika si nona baju hitam me mbentak dengan dingin: “Jangan cari muka! Hm, jika tak me mandang muka moay-moayku, dua buah serangan tadi, kau tentu sudah rubuh berlumuran darah.”

Melihat beberapa paderi yang rubuh di tanah itu hati Siu- lam berduka. Berserulah ia dengan nyaring: “Gereja Siau-lim- si me mpunyai na ma yang harum di dunia persilatan. Mengapa sumoay hendak mengikat per musuhan dengan mereka? Sudah empat paderi yang  kalian  lukai.  Biarlah  siau-heng  yang  me mpertanggung-jawabkan peristiwa ini. Harap sumoay berhenti berte mpur!”

Gadis baju hitam itu ketawa dingin: “Moay- moay, congkak benar suhengmu itu. Biarlah cici me mberinya pelajaran, ya?”

Nadanya seperti orang minta ijin tapi nyatanya tanpa menunggu penyahutan Hui-ing lagi gadis baju hitam itu kiblatkan pedangnya kian ke mari sehingga dua orang paderi yang mendekatinya, terpaksa mundur.

Hui- ing tiba-tiba menghela napas, serunya: “Cici,  marilah kita pergi!” Habis berkata berputar-putar dua kali dan menyelinap keluar dari kepungan.

Siu-la m pun me minta para paderi supaya hentikan penyerangannya dan me mberi jalan kepada kedua nona itu.

Karena para paderi itu mengindahkan Siu-la m, merekapun segera berhenti dan mengerumuni kee mpat kawannya yang terluka tadi.

Keempat paderi yang terluka itu, sepatahpun tidak mengerang kesakitan. Dan paderi-paderi yang mengerumuninya itu pun tak mengucurkan air mata. Mereka tegak berdiri dengan merangkapkan kedua tangan. Hanya wajah mereka mena mpilkan kedukaan yang dala m.

Siu-la m menghela napas: “Harap taysu sekalian menunggu di sini dulu, aku hendak me nghantar kedua nona itu. Taysu yang terluka parah, jangan bergerak dulu agar lukanya tidak begitu parah.”

Habis berkata ia terus lari mcnyusul Hui-ing dan gadis baju hitam tadi.

Saat itu hujan sudah reda dan sekalian paderipun sudah siap di masing- masing pos. Mereka mulai bersiap mengadakan penjagaan.

Baru sepuluh to mbak jauhnya Siu- lam menyusul, tampak kedua gadis itu berte mpur lagi dengan rombongan paderi yang berjaga di situ.

Karena takut nona baju hitam itu akan me lancarkan serangan-serangan pedang yang ganas, Siu-la m segera loncat menahan pedang si nona baju hita m. Ke mudian berseru perlahan kepada para  paderi:  “Harap  suhu  sekalian  suka  ke mbali ke pos masing- mas ing. Biarlah aku yang mengantarkan kedua nona ini keluar.”

Paderi-paderi itu hentikan serangannya lalu berpencaran menye mbunyikan diri dalam te mpat.

Si gadis baju hitam menarik pedangnya seraya menegur Siu-la m: “Apa maksudmu me ngikuti ka mi?”

“Aku hendak mengantar kalian ”

“Hah, tak perlu, lebih baik engkau kemba li saja!” tukas gadis baju hitam dengan je mu.

Siu-la m menerangkan bahwa keadaan gereja Siau-lim-si saat itu genting sekali. Setiap lima meter terdapat sebuah pos penjagaan. Jika tak diantar keluar, kedua nona itu tentu akan menga la mi beberapa rintangan. “Hmm, kawanan paderi itu ma mpu mengha langi perjalanan kami?” gadis baju hitam itu mengejek.

Dengan agak menyindir, Siu- lam berkata: “Me mang ilmu pedang nona luar biasa sekali. Tetapi apabila sa mpai bertemu dengan paderi Siau-lim-si golongan ko-chiu, belum tentu nona dapat mengatasi. Yang menghadang tadi, hanya murid- murid Siau-lim-si tingkat angkatan kedua dan ketiga saja...”

Siu-la m berhenti sejenak untuk batuk-batuk kecil, ke mudian katanya pula: “Adalah karena me mandang muka sumoayku, maka tadi aku selalu bersikap sungkan pada mu….”

Nona baju hitam itu tertawa ngikik. Nadanya penuh ejakan dan ke marahan.

Siu-la m kurang puas me lihat sikap nona itu, serunya: “Jangankan paderi angkatan ko-chiu, bahkan denganku yang rendah ini, belum tentu nona dapat menang. Bahwa mengapa aku tidak bertindak tadi, bukanlah karena jeri terhadap kepandaian nona….”

“Cici, mari kita pergi!” tiba-tiba Hui- ing berseru.

Sambil bolang-balingkan pedangnya, nona baju hitam itu berseru: “Jika tidak kuatir menyinggung perasaan Hui-ing moay- moay, mala m ini tentu sudah kuberimu hajaran!”

“Dan kalau menghindari agar sumoay jangan salah paham jangan harap mala m ini engkau ma mpu keluar dari gereja ini. Hm... tindakanmu melukai e mpat paderi tadi, tentu tak akan diiarkan begitu saja!”

Rupanya marahlah nona baju hitam itu mendengar kata- kata Siu-la m, serunya: “Cabutlah pedangmu!  Jika tidak kuberimu sedikit hajaran, engkau me mang takkan tahu tingginya langit dan lebarnya dunia!”

Sesungguhnya Siu-la m tidak enak hati kepada para paderi Siau-lim-si. Sudah jelas nona baju hitam itu telah melukai empat paderi, tetapi Siu-lam tetap sungkan dan bahkan masih begitu baik hati hendak me ngantar mereka ke luar.

Tetapi karena nona baju hitam itu baik sikap dan ucapannya mengunjukkan keso mbongan, akhirnya Siu-la m tak dapat menguasai ke marahannya lagi.  Tring. ia mencabut pedang Pek-kau- kia m.

Dengan me mandang muka sumoayku, mar ilah kita bermain- main hanya tiga jurus saja!” serunya.

“Tiga jurus hanya berlangsung dalam sekiblat gerakan saja. Bagaimana dapat menghasilkan kalah dan menangnya?” sahut gadis itu.

“Dalam tiga jurus itu, aku akan mengalah untuk yang dua jurus, dan hanya akan balas menyerang untuk yang sejurus. Sekalipun tidak dapat ditentukan kalah menangnya, tetapi dalam hati kita dapat menila i siapa yang lebih unggul….”

“So mbong benar engkau!” da mprat nona baju hitam itu dengan marah. Dan ke marahannya segera ditumpahkan dengan sebuah tusukan yang berjurus Thiat-ki-tho-jut atau barisan kuda keluar tiba-tiba.

Siu-la m terkejut menyaksikan kecepatan pedang si nona. Dengan mengerahkan se mangat ia cepat menghindar ke samping.

Tetapi hai... ia sendiri terkejut ketika  gerakan yang dimaksud hanya untuk loncat ke samping itu ternyata di luar dugaan hasilnya. Tubuhnya begitu ringan sekali hingga gerakan ke sa mping itu me lengtingkan dirinya jauh sa mpai beberapa meter. Ia benar-benar tak mengerti dan heran sekali....

Nona baju hitam itu juga terkejut menyaksikan ilmu ginkang atau meringankan tubuh dari pe muda itu sede mikian luar biasanya. Baru pertama kali itu ia menyaksikan ilmu ginkang yang begitu hebat. Dia m-dia m ia tak berani me mandang rendah lagi dan berlaku hati-hati. Dengan jurus Liong-heng- it-hang, ia menerjang.

Jurus ita merupa kan sebuah jurus ilmu pedang yang harus dila mbari dengan ilmu ginkang yang tinggi. Karena orang dan pedangnya seolah-olah menjadi satu, me layang ke arah musuh.

Lagi-lagi Siu- lam terkejut atas kedahsyatan dan kecepatan nona itu menyerang. Dia pun tak berani me mandang r ingan. Cepat ia me lenting seto mbak tingginya.

Karena dua kali serangannya tak mendapat hasil,  gadis baju  hitam  itu  ma kin marah.   Tetapi  tatkala  ia   hendak me lancarkan  serangannya  lagi  tiba-tiba  Siu-lam  berseru me mber i peringatan: “Harap nona hati-hati!”

Sambil loncat menerjang, Siu-la m taburkan Pek-kau-kia m dalam jurus Se-lay-co-im. Dari udara berha mburanlah ribuan bintang mencurah ke arah kepala nona itu.

Melihat dirinya seperti ditimpali oleh gunung pedang yang roboh, kejut nona itu bukan alang-kepalang. Dengan kerahkan seluruh tenaganya, ia putar pedangnya menyongsong.

Siu-la m benci kepada perbuatan si nona yang telah melukai empat paderi tadi. Tiba-tiba taburan sinar pedangnya berubah menjadi sebuah gumpalan pelangi dan me mbelah langit.

Tring… terdengar dering dahsyat. Pedang si nona  baju hitam itu kutung menjadi dua!

Siu-la m menarik pulang pedangnya dan loncat mundur seraya berseru merendah: “Maaf!”

Menarik pulang pedangnya yang sudah kutung itu, si nona baju hitam berseru dengan dingin: “Tiga tahun lagi, aku tentu akan menuntut balas atas  peristiwa  kutungnya  pedangku ma lam ini!” “Engkau sudah me lukai e mpat paderi Siau-lim-s i, apakah mereka akan me mbiarkan engkau begitu saja?”

“Jika Siau-lim-si hendak menuntut balas, silahkan mencari aku. Nah, aku hendak pergi!” berputar tubuh, nona baju hitam itu segera lari.

Hui- ing yang menyaksikan pertempuran itu dari samping, segera lari menyusul kawannya.

Karena kuatir mereka akan dicegat oleh paderi-pader i yang menjaga gereja, Siu-la m segera menyusul juga. Setiap bertemu dengan ro mbongan paderi yang hendak menghadang, Siu- lam segera berseru meminta mereka agar me mber i jalan kepada kedua nona itu.

Setiba di luar gereja, Hui- ing hentikan larinya. Tetapi ia tetap berdiri me mbe lakangi Siu- la m. Tak mau ia berhadapan muka.

“Beberapa bulan tak berjumpa, suheng sungguh garang sekali. Kawanan paderi di sini  mengindahkan kepada mu. Kiranya suheng tentu sudah menjadi mur id Siau- lim-si yang berkedudukan t inggi!” serunya.

“Jangan salah paham, sumoay. Siau-heng sa ma sekali bukan mur id Siau-lim-s i!”

“Jika engkau benar-benar mau mencukur ra mbut me njadi paderi, alangkah bagusnya!”

“Mengapa?” Siu- lam terkesiap heran.

Hui- ing merasa agak kelepasan o mong. Buru-buru ia berganti nada: “Ah, tak apa-apa. Kuanggap seorang yang berkelana di dunia persilatan tentu tiada berte mpat tinggal yang menentu. Kiranya lebih baik mencukur ra mbut masuk gereja, menuntut kehidupan yang suci dan tenang!”

Siu lam tertawa tawar. “Melewati hari-har i sedih di dalam goa, menyebabkan hati sumoay kosong dan menyela mi soal kebatinan. Tapi siau-heng tetap tak dapat melupakan soal budi dan denda m. Ke matian suhu dan subo yang mengenaskan, tiada sesaatpun kulupakan. Sebelum hutang darah itu terbalas, hatiku takkan tenteram.”

Agaknya Hui-ing terpengaruh oleh ucapan Siu-lam. Ia menghe la napas panjang: “Ah, aku berterima kasih sekali bahwa suheng tetap teringat akan sakit hati orang tuaku ”

Siu-la m tertawa panjang, serunya: “Guru dan mur id adalah serupa dengan ayah dan anak. Terhadap musuh orang tua, kita tak dapat hidup di bawah kolong langit, itu sudah menjadi tugas kewajibanku, harap sumoay jangan ”

Tiba-tiba Hui-ing berputar diri. Merogoh ke dalam baju, ia menge luarkan sele mbar sutera putih lalu dilemparkan kepada Siu-la m.

“Di atas sutera putih itu, telah kucatat tentang ilmu Chit- sing-tun-heng dengan jelas. Dan kuberi juga ga mbarnya. Dengan kecerdasan suheng, kiranya dalam tiga e mpat hari saja tentu sudah dapat me maha mi. Asal suheng mau meyakinkan dengan sungguh-sungguh, tentu dapat menggunakannya dengan hebat.”

Siu-la m me mungut sutera itu dan menghaturkan terima kasih.

“Tak usah terima kasih,” kata Hui-ing, “mala m ini  kami telah melukai e mpat orang paderi, harap suheng suka menyelesaikan peristiwa itu!”

Siu-la m berjanji akan me mbereskannya.

Ttba-tiba Hui- ing bantingkan kakinya: “Harap suheng menjaga diri baik-baik, lain kali kita berjumpa lagi!”

“Nanti dulu!” buru-buru Siu- lam berseru ketika Hui- ing berputar diri hendak pergi. “Apa yang suheng perlu katakan lagi?” tanya Hui-ing yang selalu tetap menutup muka nya dengan lengan baju.

“Kedatangan sumoay selain hendak mengetahui keadaan siau-heng, pun juga akan me mberikan ajaran ilmu Chit-sing- tun-heng-tin, siau-heng….”

“Ah, jika engkau tak ingatkan, aku tentu lupa bahwa ilmu Chit-sing-tun-heng-tin itu adalah ilmu ciptaan Su Bo-tun yang paling    dibanggakan.    Maka     setelah    suheng     dapat me maha minya, sebaiknya sutera putih itu dihancurkan saja agar jangan sampa i jatuh ke lain orang!” kata Hui- ing.

Kata Siu-la m: “Siu-ciu- kiau- in Su Bo-tun sudah tunduk pada Beng-gak. Dia bakal me njadi salah seorang musuh kita yang tangguh.”

Rupanya Hui-ing terkesiap mendengar tentang tokoh itu, serunya agak tergetar: “Entah benar atau tidak Su Bo-tun menggabung pada Beng-gak, tetapi ilmu ajaran itu tak boleh jatuh pada orang la in!”

Siu-la m mengiyakan.

“Baik, akupun segera moho n diri!” serentak berputar tubuh Hui- ingpun sudah me lesat setombak jauhnya.

Tunggu!” teriak Siu-la m seraya loncat menyusulnya, “dari ribuan li jauhnya sumoay datang kemar i, apakah hanya begini saja terus hendak pergi?”

“Habis, apakah aku disuruh tinggal di gereja para paderi itu?”

Mendengar jawaban yang agak getas itu, Siu-lam tertegun. Kemudian ia menghela napas: “Jika sumoay tetap hendak pergi, akupun tak berani menghalangi. Tetapi maukah sumoay lepaskan lengan baju yang menutupi muka sumoay itu agar siau-heng dapat melihat wajah sumoay?” Tiba-tiba Hui-ing tertawa tinggi. Nadanya penuh kedukaan dan kerawanan.

“Mengapa engkau tertawa?” Siu lam terkejut.

“Bukankah engkau mas ih ingat jelas bagaimana wajahku itu?” seru Hui-ing.

“Senyum tawa dan wajahmu, selalu terukir dalam benakku!” sahut Siu- la m.

Hui- ing menghe la napas: “Kalau sudah ingat jelas, perlu apa kau hendak melihatnya lagi?”

Siu-la m terkesiap. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benaknya: “Sumoay, apakah wajahmu mender ita… sesuatu….”

“Jangan bicara tak karuan!” bentak Hui-ing terus lari.

Melihat caranya Hui-ing ke mudian dengan kalap Siu- lam tak berani mengejar. Ia khawatir sumoaynya akan salah paham. Maka ia hanya berseru saja: “Sumoay,  bolehkah  aku mendapat  tahu  ala mat mu?   Nanti   setelah   aku   selesai me mba laskan sakit hati suhu dan subo, aku  akan  menjenguk ”

Dari jauh Hui- ing menyahut: “Tak perlu! Dalam kehidupan sekarang, aku tidakkan berjumpa lagi dengan engkau!”

Siu-la m menengadah me mandang cakrawala. Hatinya terasa hampa, penuh dengan kedukaan. Untuk me longgarkan perasaan itu, ia menghela napas panjang.

Saat itu sudah menjelang tengah ma la m. Tiba-tiba dari belakang terdengar derap langkah orang mendatangi. Ia tersentak dari la munannya dan segera berputar diri.

Ternyata yang datang itu Tay Ih siansu beserta Tay To siansu. Dari derap langkahnya yang berat, jelas kedua paderi Siau-lim-si itu sedang dirundung keresahan batin. “Apakah kedua li-s icu tadi sudah pergi?” tanya Tay Ih siansu.

Siu-la m me mberi hor mat dan minta kepada paderi pimpinan Siau- lim-si itu agar jangan mengimbangi tindakan kedua gadis tadi.

“Entah masih ada hubungan apakah kedua li-sicu  itu dengan Pui sicu?” tanya Tay To.

“Ceriteranya panjang sekali. Tetapi salah seorang dari mereka adalah  sumoayku.  Hanya  gadis  baju  hitam  yang me lukai kee mpat murid Siau- lim-sie itu, wanpwe tak kenal. Dan yang jelas sumoay wanpwe itupun me mpunyai dendam besar kepada Beng-gak. Keterangan yang lebih jelas, biarlah kelak wanpwe haturkan lagi.”

Tay Ih siansu tertawa: “Meski kee mpat paderi itu terluka, tetapi untung tiada yang melayang jiwanya. Sekalian paderi Siau-lim-si a mat berterima kasih sekali atas bantuan Pui sicu. Sekalipun terjadi beberapa murid me ndapat luka tetapi janganlah Pui sicu gelisah. Mereka tak akan penasaran kepada sicu.”

Siu-la m me nghaturkan terima kasih  atas kepercayaan yang diberikan kepadanya.

“Sekarang sudah mendekati tengah mala m. Pertempuran yang menentukan hidup atau matinya gereja  Siau-lim-si segera akan dimulai. Malam ini merupakan mala m yang paling mender ita bagi Siau-Iim-si. Kami, seluruh paderi anak murid Siau-lim-si tak akan melupakan budi bantuan Pui sicu kepada Siau-lim-si. Maka  lupakan segala peristiwa kecil yang tak berarti itu dan marilah kita hadapi musuh dengan persatuan tekad!”

Selain dipandang sebagai paderi angkatan tua yang berkedudukan tinggi di gereja Siau- lim-s i, pun Tay Ih siansu itu juga sangat diindahkan dalam dunia persilatan. “Hidup matinya gereja Siau-lim-si, berarti juga hidup matinya dunia persilatan. Tetapi nyatanya saat  ini  hanya anak mur id Siau-lim-si yang me mikul beban menghadapi bencana itu…” kata Siu- la m.

Sejenak ia me mandang ke cakrawala dan menghela napas panjang. Kemudian katanya: “Menurut he mat wanpwe, jika Siau-lim-si gagal me mberantas bencana ini, dunia persilatan pasti akan mengala mi perubahan besar. Sembilan partay persilatan pasti takkan terhindar dari kehancuran. Pertempuran ma lam ini sebenarnya merupakan penentuan nasib dari dunia persilatan. Kesembilan partai persilatan itu seharusnya mengir im para jagonya untuk bersa ma-sama menghadapi musuh. Tetapi nyatanya, mereka hanya berpeluk tangan saja, me mbiarkan Siau- lim-si berjuang seorang diri!”

Tay Ih siansu tertawa: “Tetapi Pui sicu tak boleh menyesali mereka karena kedatangan Beng-gak itu secara tiba-tiba sehingga loni tak se mpat mengundang mereka.”

Tetapi Siu- lam tetap tak puas dengan sikap partay-partay persilatan yang begitu dingin: “Setiap partay persilatan tentu me mpunyai anak murid yang berkelana di dunia persilatan. Kalau peristiwa sebesar ini mereka sampa i tidak mendengar dan tak mengetahui, suagguh menggelikan sekali!”

Melihat anak muda itu makin penasaran, akhirnya Tay Ih  me mintanya supaya beristirahat dulu me mulangkan tenaga.

Siu-la m menghaturkan terima kasih, lalu ma ju me langkah pergi. Pada setiap ujung dan sudut di seluruh gereja itu, Siu- lam tentu melihat kelo mpo k-kelo mpok paderi yang menjaga dengan ketat sekali. Siu- lam menyatakan pujiannya kepada Tay Ih yang telah mengatur persiapan begitu rapat.

Tay To siansu menerangkan: “Tiga ratus batang obor telah dipersiapkan. Setiap obor dapat me mberi penerangan seluas lima to mbak. Jika tiga ratus batang obor itu serempak disulut, gereja Siau-lim-s i tentu akan terang benderang seperti siang hari. Kecuali Beng-ga k me mbas mi seluruh paderi Siau- lim-s i, tentu tidak mungkin mereka dapat menerobos masuk  ke dalam gereja ini!”

Tay Ih siansu pun me mberi penjelasan juga: “Loni telah minta Tay Lip dan Tay To sute, untuk me mimpin barisan Lo- han-tin. Dan loni minta kepada kedua sute itu supaya me milih empat puluh delapan anak murid dari angkatan kedua dan ketiga. Dipecah dalam dua regu dan masing- masing merupakan kelo mpok yang setiap saat harus memberi bantuan kepada bagian yang genting.”

Siu-la m me muji cara paderi itu mengatur persiapan.

“Ke mudian loni dan Tay To sute, masing- masing me mimpin dua belas anak murid untuk menya mbut kedatangan rombongan Beng-gak.  Sebagai  tuan  rumah  kita  harus menya mbut mereka dengan baik ke mudian baru berte mpur!”

“Sungguh tak kecewa menjadi pe mimpin partai persilatan golongan Ceng-pay!” Siu- lam me muji.

Kemudian Tay Ih minta agar Siu- lam yang me mbawa kedua tokoh La m- koay dan Pak- koay menghadapi musuh.

Dalam pada berbicara itu merekapun tiba di ruang Hong- tiang-si. Tay Ih siansu me mpersilahkan Siu-la m berist irahat. Bila ada sesuatu perubahan, tentu akan segera diberitahukan.

Ketika masuk ke dalam ruang, ternyata Lam-koay dan Pak- koay masih duduk menyalurkan napas. Begitu pe muda itu masuk, kedua tokoh itupun me mbuka mata dan menabur ke arah wajah Siu- la m.

“Hebat juga ilmu pedang gadis baju hitam tadi!” seru Pak- koay Ui Lian.

Siu-la m tertegun, serunya: “Apakah locianpwe menyaksikan?” Lam- koay Shin Ki mendengus: “Hm, apa-apaan locianpwe- locianpwe saja! Masih muda begitu mengapa kau sangat pelupa sekali!”

“Apakah yang wanpwe lupakan?”

“Tatkala engkau me mbuka tali pengikatku, telah kuberi penjelasan kepadamu. Kita akan menjadi saudara dan saling berbasa engkoh adik,” seru La m-koay.

Dia m-dia m Siu- lam me mbatin. Saat itu me merlukan tenaga mereka. Apa yang tak me mberatkan, baiklah  menurutkan permintaan mereka saja.

“Shin loko, terimalah hor matku!” katanya seraya me mberi hormat.

Orang aneh Shin Khi tertawa gelak: “Bagus, adik  yang baik!”

Kiranya setelah menyusul Siu-la m dan me lihat kedua nona itu dapat menerobos kepungan paderi Siau- lim-s i, buru-buru ke mbali ke dalam ka marnya. Itulah sebabnya maka mereka dapat menyaksikan jelas gerak-gerik Siu-la m.

Pak-koay Ui Lian tertawa dingin: “Hm, si tua si muda, apa guna….”

“Peduli apa engkau!” Shin Khi marah.

“Justeru aku hendak me mperdulikan, mau apa engkau?” tantang Ui Lian terus me lesat dan menghanta m.

Kuatir kedua manusia aneh itu akan berkelahi, buru-buru Siu-la m mencegah: “Harap cianpwe berdua bicara secara baik- baik, jangan lah sedikit-sedikit terus berkelahi!”

Dalam berkata itu, ia gunakan sebelah tangan untuk menangkis tamparan Pak-koay Ui Lian.  Krak... Siu-la m tergempur. Karena jaraknya dekat dengan La m-koay, maka ketika tersurut mundur ia berada di sa mping Shin Ki. Tiba-tiba La m-koay Shin Ki ulurkan tangan kanan meraba punggung Siu-la m. Seketika Siu-la m rasakan serangkum hawa me mbaur ke dalam tubuhnya. Dan diluar kehendaknya, lwekangnya telah me mancar keluar dan... tahu-tahu tangan Siu-la m mendorong me mbalas ta mparan Pak- koay.

Pak-koay tertawa dingin Ia segera dorongkan tangan kanannya dengan tenaga yang keras.

Seketika terjadi adu tenaga. Dan ternyata Siu-la m dapat menahan Pak-koay.

Walaupun La m-koay Shin Ki me mancarkan lwekang, tetapi sebenarnya lwekang Siu-lam sendiri sudah dapat menyambut serangan Pak-koay. Maka La m- koay Shin Ki tak merasa sama sekali.

Pak-koay Ui Lian marah sekali. Dengan tertawa dingin ia menyerang dengan saluran lwekang yang lebih hebat.

Walaupun tokoh berhati dingin dan congkak itu ganas sekali, tetapi setelah dijebloskan dalam penjara di bawah tanah selama berpuluh tahun, keganasannya  banyak menurun. Apalagi dia m-dia m ingat akan budi pertolongan Siu- la m. Maka dalam me lakukan serangan itu ia lancarkan dengan perlahan saja.

Sekalipun begitu cukuplah sudah me mbuat  Siu- lam mender ita. Seketika ia  rasakan  tubuhnya  seperti  dilanda gelo mbang lwekang yang hebat sehingga ha mpir saja ia tak kuat bertahan lagi. Darah bergolak, jantung berdebar dan napas sesak sekali.

Kiranya dia lelah lupa bahwa La m- koay Shin Ki me mberi bantuan penyaluran lwekang. Maka ia menghadapi  serangan Ui Lian seorang diri saja.

Tadi karena Siu-la m berjuang seorang diri Lam- koay Shin Ki tak merasa suatu apa. Ia senggang. Tetapi kesenggangan itu segera menimbulkan la muna. la teringat akan ilmu pedang gadis baju hitam tadi. Rasa-rasanya ia pernah melihat ilmu pedang itu. Tetapi karena sudah berpuluh tahun hidup dalam penjara di bawah tanah, hampir ia tak ingat lagi semua peristiwa yang terjadi sebelumnya.

Demikianlah  La m- koay  Shin  Ki   layangkan   pikirannya me la mun. Dan karena me la mun itu ia lupa bahwa pada saat itu ia tengah me mbantu Siu- lam mengadu lwekang dengan Pak-koay. Ia menjadi gelagapan Setelah Siu-la m terdorong mundur.

“Jangan takut, adik!” serunya seraya serentak pancarkan lwekangnya.

Seketika Siu- lam rasakan perutnya panas. Hawa panas itu me luap ke atas, terus ke lengan. Tubuhnya yang sudah miring tadi, pun lurus ke mba li.

Pak-koay Ui Lian sudah menggunakan  enam bagian lwekangnya. Karena lawan bukan saja dapat bertahan pun  ma lah balas menyerang iapun buru-buru mena mbah lwekangnya.

Tiba-tiba Siu- lam mendapat pikiran: “Tak la ma lagi tengah ma lam segera tiba. Aku lelah sekali. Baiklah kupinjam saat- saat mereka adu Iwekang untuk beristirahat. Setelah tenagaku pulih baru nanti mencari daya untuk me lerai mere ka !”

Siu-la m segera melaksanakan rencananya. Saat itu kedua tokoh sedang ngotot adu lwekang.  Masing- masing  telah mena mbahi lwekangnya na mun tetap belum ada yang menang dan kalah.

Pada lain saat, kedua tokoh itu merasa tak enak hati. Di tengah  mereka  terdapat  si  anak   muda.   Jika  mereka mena mbahkan saluran lwekangnya, tentu anak muda itu yang akan hancur. Oleh karena itu mere ka tak mau mena mbahkan lwekangnya lagi. Dalam keadaan begitu, di luar dugaan Siu- lam telah mendapat keuntungan. Dan menggunakan pancaran lwekang kedua tokoh itu untuk mene mbus beberapa jalan darah dalam tubuhnya yang selama ini belum dapat disaluri lwekang.

Berselang beberapa saat, tenaga Siu-lam pulih ke mbali. Tetapi ketika ia me mbuka mata terkejutlah ia. Ternyata wajah Pak-koay yang biasanya dingin angkuh, saat itu mengerut kedukaan.

Tetapi ketika ia hendak menegur, tiba-tiba di luar ruangan terdengar derap kaki seorang paderi kecil lari mendatangi. Paderi kecil itu me mberi hor mat dan berkata: “Musuh sudah muncul. Beberapa supeh, susiok sudah menyambut keluar. Aku diperintahkan ke mari mengundang sicu bertiga….”

Serentak teringatlah Siu-la m akan pesan Kak Bong taysu si paderi tua. Buru-buru ia berseru kepada kedua tokoh yang tengah mengadu lwekang itu: “Harap jiwi berdua berhenti!”

Lam- koay dan Pak- koay mendengus, tetapi tiada menghentikan pancaran Iwekangnya.

Kiranya kedua tokoh itu sudah menggunakan se mbilan bagian Iwekangnya. Siapapun sukar untuk berhenti Karena  jika salah seorang menghentikan pancarannya, dia pasti akan mender ita luka dala m.

Siu-la m me ngingsut ke sa mping. Ia hendak menyelinap keluar dari lingkaran lwekang kedua tokoh itu.

Tetapi begitu tubuhnya bergerak, segera ia merasa ulu hatinya seperti mau pecah. Buru-buru ia berhenti lagi.

Karena lwekang kedua tokoh itu berimbang maka dapatlah Siu-la m menyalur kan secara berimbang. Tetapi begitu ia berkisar ke sa mping, seketika terasa kesakitan.

“'Tay Ih supeh telah pesan aku supaya mengantarkan jiwi bertiga. Pertempuran itu genting sekali ma ka supeh sangat mengharap jiwi bertiga me mbantu.  Saat ini supeh telah me mbawa beberapa suheng yang berilmu tinggi menunggu kedatangan musuh di luar pintu gereja!” kata paderi kecil itu pula.

Siu-la m gelisah. Tetapi kedua tokoh itu tetap tak mau hentikan pancaran lwekang. Dalam gugupnya Siu-la m segera me minta La m- koay Shin Ki supaya berhenti lebih dahulu.

Lam- koay Shin Ki juga tak kurang ganas dan anehnya dari Pak-koay. Dalam sejarah perjalanan hidupnya, penuhlah dengan peristiwa-peristiwa berdarah dari beberapa tokoh yang menjadi korbannya. Selama ini belum pernah ia tertarik pada orang dan belum pernah pula berbahasa engkoh adik dengan orang.

Dia telah me mpero leh ilmu kesaktian yang hebat dan telah pula mendapat na ma yang termahsyur. Akan tetapi diapun menga la mi kehidupan yang sunyi. Dia tak pernah mencintai seseorang. Hidupnya selalu diliputi oleh kesepian dan derita.

Seruan Siu- lam yang me manggilnya engkoh tadi, benar- benar telah menyentuh sanubarinya.

Dia merasa bahwa di dalam dunia ternyata masih ada seorang yang mau menga kuinya  sebagai  saudara.  Ia menghe la napas panjang….

“Adik, hati-hatilah, aku hendak menarik Iwekangku!” serunya seraya mulai menghentikan pancaran lwekangnya dengan pclahan.

Pak-koay Ui Lian me mperhatikan dengan seksama. Ia mendapat kesan bahwa La m- koay Shin Ki tadi belum seluruhnya mengeluar kan lwekangnya. Sepuluh tahun yang lalu, keduanya sama-sama diagungkan dunia  persilatan sebagai mo mo k yang sakti. Keduanya sama-sama me miliki ilmu pukulan Cek-yan-ciang dan Hian-ping-ciang yang termashyur. Dan berpuluh-puluh tahun ke mudian kesaktian keduanya masih tetap berimbang. Dia m-dia m jago dari utara itu menghela napas. la merasa bahwa dalam sekarang, tak mungkin ia dapat me menangkan La m- koay.

Akhirnya iapun menarik lagi lwekangnya. Siu-la m berbangkit dan me mber i hor mat pada kedua tokoh itu: “Shin toako dan Ui locianpwe. Harap menyalurkan napas dulu lalu kita akan keluar menyambut kedatangan orang Beng-gak!”

Lam- koay Shin Ki loncat bangun seketika. “Uh, perlu apa harus menyalurkan napas, sekarang juga berangkat!”

Pak-koay Ui Lian pun tak mau unjuk kele mahan. Ia juga loncat bangun.

“Tapi anak buah Beng-ga k masing- mas ing me miliki kepandaian sakti. Teruta ma pemimpinnya, ilmu kepandaiannya telah mencapai kesempurnaan. Baiklah jiwi berdua kemba li bernapas untuk me mulihkan kesegaran semangat baru nanti kita menyambut mereka,” Siu-la m agak gelisah.

Lam- koay Shin Ki tertawa tergelak: “Tak perlu saudara mence maskan diriku. Percayalah, berjalan seratus langkah saja, tenagaku tentu sudah pulih ke mba li!”

Pak-koay Ui Lianpun menya mbutnya: “Itu bukan hal yang mengherankan. Tak perlu dipamer kan pada seorang yang masih hijau!”

Kuatir keduanya  akan  cekcok  lagi,  buru-buru  Siu- lam me minta agar Lam- koay Shin Ki jangan me ladeni ucapan Pak- koay Ui Lian. Dan La m- koay pun menur ut.

Namun Pak- koay Ui Lian masih mengo mel: ''Huh, apa itu lo-cianpwe atau tidak lo-cianpwe. Apakah mulutmu tidak kaku mengatakan itu?”

Siu-la m tertegun, Tersipu-sipu ia me mberi hor mat: “Jika wanpwe salah, harap lo-cianpwe suka me mberi maaf!” Tetapi Pak-koay segera berpaling muka dan pura-pura tak mau me lihatnya. Siu-lam hanya ketawa lalu ayunkan langkah. Setelah saling bertukar pandang, kedua tokoh itu segera mengikut i Siu-la m.

Malam itu langit tiada bulan me lainkan bertabur bintang.

Angin pegunungan menghe mbus, pohon hutan berderaian.

Tay Ih siansu bersama Tay To telah siap di ambang pintu gereja bersama dua puluh orang anak mur idnya yang dipilih dari angkatan kedua dan ketiga.

Melihat kedatangan Siu- la m, pejabat ketua Siau-lim-s i itu segera menyambut: “Ah, me mbikin repot sicu bertiga saja!”

Siu-la m balas me mberi hor mat tetapi tak mengucap apa- apa.  Sebaliknya  La m-koay   dan   Pak- koay   menengadah me mandang langit, tak mau mengacuhkan sa ma sekali.

Tetapi karena Tay Ih siansu tahu akan perangai kedua tokoh itu, iapun tak mau menarik panjang urusan tata kesopanan itu. Bertanyalah ia dengan bisik-bis ik kepada  Siu- la m: “Saat ini sudah tengah ma la m, mengapa orang Beng-gak belum ta mpak muncul?”

“Menurut pendapat wanpwe, tak mungkin orang Beng-gak itu akan ingkar janji....” belum se mpat ia menyelesaikan kata- katanya, tiba-tiba terdengar suara harpa berbunyi. Harpa itu me lengking tinggi maca m iblis menangis. Apalagi di saat tengah ma lam seperti itu. Makin menyeramkan sekali.

“Itulah mereka!” kata Siu- la m, “tempo hari wanpwee pun pernah mendengar suara mus ik se maca m itu ketika di Beng- gak!”

Me mandang ke sekeliling, tampa k anak mur id Siau- lim-si yang berada di situ, sama mengenakan pakaian warna warni. Kecuali Tay Ih siansu dan Tay To siansu yang tetap mengenakan jubah paderi, kedua puluh e mpat anak murid Siau-lim-si itu sama mengenakan pakaian ringkas warna kelabu tua. Mereka sama me mbeka l senjata dan senjata rahasia lainnya. Ada yang menyelip golok kwat-to, pedang pendek, tongkat sian-ciang. Dan yang paling aneh adalah senjata yang disiapkan oleh dua orang paderi muda. Yang seorang membawa senjata berbentuk seperti bunga  teratai dan yang seorang membawa senjata semaca m sekop tujuh batang jumlahnya.

Sebenarnya para paderi Siau-lim-si t idak pernah menggunakan senjata rahasia. Hal itu mengunjukkan bahwa Siau-lim-si telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menya mbut musuh. Mereka akan berjuang mati- mat ian.

Suara musik maca m ringkikan iblis itu makin la ma makin dekat. Dan pada lain saat dari dalam hutan siong di sebelah muka muncul tiga buah lentera berwarna hijau.

Tay Ih siansu beri isyarat tangan dan kedua puluh empat paderi murid Siau-lim-si itu segera berpencaran.

Siu-la m berkata bisik-bisik: “Anak buah yang meniup seruling dan me metik harpa itu, wajahnya seram seperti bangsa setan.”

Tay Ih siansu berpaling menatap anak muda itu, ujarnya: “Apabila mereka muncul, harap Pui sicu yang bicara. Apabila perlu, baru loniakan ikut bicara.”

Sambil merabah ke arah pedang Pek-kau-kia m yang tersangkut di bahunya, Siu-la m menghe la napas sesal: “Sayang sekali, pedang pemberian locianpwe yang sebatang telah hilang ”

“Ceng-liong- kiam dan Pek-kau-kia m sudah menjadi milik Pui sicu. Loni tak berhak mengur us lagi.”

Dalam pada itu suara musik tadi pun berhenti. Tetapi keempat lentera hijau tadi cepat-cepat mengha mpir i datang.

Kiranya kee mpat lentera hijau itu mengiringkan sebuah tandu yang beratap kuning. Empat lelaki gagah perkasa me manggul tandu itu. Wajah mereka bercontrengan tak keruan bentuknya. Dalam beberapa kejap saja, tandu itu sudah tiba.

Keempat tukang tandu wajahnya dilumuri bedak merah dan putih. Dan mereka masing- mas ing menceka l sebatang tongkat gok-song-pang. Dalam ma lam sesunyi itu, mereka ta mpak makin menyeramkan sekali.

Di belakang tandu kuning itu, terdapat berpuluh-puluh pengiring yang terbagi menjadi dua deret. Masing-masing mengawal tandu dari sebelah kanan dan kiri.

Dan pada kedua sa mping tandu itu, terdapat dua orang gadis yang cantik sekali. Yang di sebelah kanan seorang gadis berpakaian warna merah, mencekal kebut hud-tim dan punggung menyanggul pedang pusaka Ceng-liong-kiarn milik Siu-la m.

Di dalam ro mbongan Beng-gak itu Siu-la m tak mendapatkan Bwe Hong-swat si nona baju putih. Kalau demikian, cerita si nona baju merah bahwa Hong-swat telah mati dalam kawah gunung berapi, me mang benar. Dia m-dia m pemuda itu menghela  napas.  Sebertik  kedukaan  telah menge mbang dalam sanubarinya.

Tiba-tiba dari dalam tandu terdengar suara wanita berseru: “Suruh mereka mengutus orang  wakil  yang  berhak  penuh, ke mari menghadap aku!”

Hebat benar kata-kata wanita dalam tandu itu. Seolah-olah sekian banyak paderi Siau- lim-s i dan Siu- la m, tak dipandang mata sa ma sekali.

Tay Ih siansu me mpersilahkan Siu- lam yang tampil ke muka.

Tetapi Siu- lam me nolak. Sebagai pejabat ketua Siau-lim-s i, selayaknya Tay Ih siansu yang maju. Ketua Siau-lim-s i itu tersenyum: “Kalau begitu mar ilah kita berdua bersama-sa ma mene muinya!”

Siu lam mengiyakan. Tetapi baru berapa langkah, tiba-tiba ia berhenti. Pikirnva: “Ah, tak boleh kita dikuasai mereka….”

“Lo-siansu, sebaiknya suruh dia saja yang datang kepada kita,” katanya kepada Tay Ih.

Tay Ih siansu tertawa. Pada waktu ia hendak me mbuka mulut, tiba-tiba si nona baju biru yang berdiri di sebelah kiri tandu, berseru nyaring: “Hai, apakah di antara kalian sudah tak ada manusia yang mas ih hidup…. ?”

Tay Ih siansupun menyahut dengan nyaring: “Harap li-s icu jangan menyinggung perasaan orang.”

Nona baju merah tertawa dingin: “Sebelum terang tanah nanti, jangan harap gereja Siau-lim-s i terdapat manusia hidup. Toh kalian bakal mati se mua ma ka, tak apalah kalau dima ki sedikit dulu!”

Terhadap nona yang bermulut tajam itu, Tay Ih siansu benar-benar tak dapat menjawab.

Rupanya Siu-la m tahu akan perasaan Tay lh. Sebagai seorang paderi berkedudukan tinggi sudah tentu Tay Ih tidak mau menurunkan gengsi untuk melayani seorang nona yang tak kenal aturan se maca m itu.

Akhirnya ia terpaksa mena mpilkan diri, serunya: “Siapa yang akan mati, belumlah dapat diketahui. Sebelum berbukti, diharap nona jangan kelewat bicara meliar!”

Si nona baju biru me lengking: “Ke matian sudah berada di depan mata, masih tiada tahu aturan! Tidak usah banyak mulut, lekas suruh paderi itu keluar berbicara!”

Siu-la m menengadah ke langit dan tertawa nyaring: “Budak bermulut tajam, karena engkau tak berhak bicara, maka suruhlah suhumu keluar bicara!” “Siapa yang bernyali besar itu?” tiba-tiba dalam tandu terdengar suara lemah dingin dari seorang wanita.

“Pe muda liar yang me mikat sa m-sumoay tempo hari,” si nona baju biru menyahut dengan hor mat sekali.

Kain penutup tandu tersingkap dan keluar seorang wanita baju kuning. Wanita itu cantik sekali.

“Hong-swat me mpunyai mata tajam sekali. Tak pernah ia tertarik pada orang lelaki. Bahwa seorang gadis se maca m Hong-swat sampai tertarik perhatiannya dan berani mengkhianati aku, aku wajib melihat  bagaimana  tampang muka pe muda itu!”

Dari nada ucapannya itu, jelas bahwa si putih Hong-s wat me mang pernah disayang suhunya.

Kemunculan  wanita  cantik  dari   tandu   itu   telah mengge mpar kan sekalian paderi Siau-lim-si. Dalam bayangan mereka, wanita pemimpin Beng-ga k yang ganas itu tentulah seorang wanita yang berwajah seram sekali. Tetapi siapa tahu, orang yang ganas dan kejam sekali itu ternyata hanya seorang wanita yang cantik sekali. Kecantikan wanita itu jauh me lebihi kedua mur idnya, si nona baju merah dan baju biru.

Kira kira tiga e mpat meter di depan Siu-la m, wanita cantik itu berhenti. Ia mela mba ikan tangannya  kepada  Siu-la m: “Ke marilah, aku hendak meneliti dirimu dengan seksa ma!”

Le mah ge mula i la mba ian tangan wanita itu, tetapi ternyata hebatnya bukan kepalang. Paderi yang berjajar di belakang Tay Ih siansu, tersirap darah mereka. Bahkan Tay To sendiri pun berubah semangatnya. Hanya Tay Ih siansu yang hebat lwekangnya, tetap dapat menguasai dirinya.

Siu-la m maju t iga langkah.

Melihat pe muda itu berhenti, Wanita cantik kerutkan alis dan berkata dengan dingin: “Di dalam dunia tiada manusia yang berani menentang perintahku! Karena kusuruh kau maju ke hadapanku, tentu aku tak mau mence lakai dirimu. Terhadap seorang budak semaca m kau, perlu apa aku harus menggunakan tipu mus lihat!”

Kalau ditilik wajahnya, wanita cantik itu baru berusia dua puluhan tahun umurnya. Tapi nada ucapannya garang sekali.

Sambil kerahkan se mangat, Siu-la m menyahut: “Menilik nada ucapanmu, kau tentulah pemimpin Beng-gak!”

Si cantik itu tertawa me lengking: “Benar!”

“Waktu berkunjung ke Beng-gak dahulu, aku tak sempat bertemu dengan pemimpin Beng-ga k. Tak kira ma lam ini aku dapat menjumpainya!”

Wanita cantik itu kerutkan alis tetapi tak berkata apa-apa. Agaknya ia tak mau menurunkan gengsinya untuk adu mulut dengan seorang pe muda.

Tiba-tiba Siu- lam tertawa nyaring: “Sejak lolos dan neraka Beng gak, aku sudah tak memikir soal mati hidup lagi. Jika Gak-cu mengira begitu, terang salah hitung!”

Sambil me mandang ke arah La m-koay dan Pak-koay, wanita cantik itu berseru: “Hm, nyalimu besar sekali berani menentang aku!”

“Ah, Gak-cu salah paha m.”

Ketua Beng-gak yang cantik itu maju selangkah ke hadapan Siu-la m.

“Siapa na ma mu?” wanita cantik itu tiba-tiba me langkah maju.

“Pui Siu- la m!”

Wanita itu maju selangkah lagi dan bertanya dingin: “Kau kenal Bwe Hong-swat?” “Tidak hanya kenal, tetapi pun me mpunyai sumpah menjadi kawan hidup sampai aki nini,” tiba-tiba Siu-la m merasa telah kelepasan o mong. Namun sudah terlanjur.

Sebenarnya ia hendak membikin panas hati orang, maka sembarangan saja ia menyahut. Diluar kesadaran ia telah menyesal karena kelepasan o mong. Tetapi tak apalah. Karena nona itu toh sudah meninggal dunia.

Wanita cantik itu tertawa dingin: “Tahukah engkau bahwa dia sudah mati terkubur di dalam perut gunung berapi?”

“Tentu engkau yang menyebabkannya!” sahut Siu- la m.

Wanita itu tersenyum: “Sudah banyak tahun tiada orang yang berani bersikap sekasar engkau kepadaku. Nyalimu sungguh  besar.  Hendak   kutawanmu   hidup-hidup   dan kuce mplungkan ke dalam bawah gunung berapi itu, agar benar-benar merupakan sejoli yang sehidup se mati!”

Kata-kata yang tak sengaja dilepaskan oleh wanita cantik itu, ternyata me mpunyai akibat baik bagi Siu- la m. Karena dengan begitu anak buah Beng-gak tak berani melukainya.

Pada saat Siu-lam berbicara dengan si wanita cantik  berbaju kuning itu, Tay Ih siansu berpaling kepada  para paderi. Melihat mereka sampa i menumpahkan perhatian kepada wanita cantik itu, Tay Ih menghe la napas.

Segera ia membisiki Tay To: “Harap sute masuk ke dalam gereja dan suruh mereka menyanyikan doa-doa kitab suci. Nyanyikan berulang-ulang sa mpai nanti musuh mundur atau seluruh paderi Siau- lim-s i hancur binasa se mua!”

Mendengar perintah sang suheng yang bernada keras itu, tergetarlah hati Tay To siansu. Ia segera melakukan perintah. Kiranya Tay To sendiripun terpikat semangatnya oleh wajah cantik baju kuning yang gilang gemilang itu. Ucapan Tay Ih siansu bagaikan lonceng bergema menyadarkan semangatnya yang terhanyut itu. Buru-buru ia melangkah masuk ke dalam gereja bersama ro mbongan paderi.

Dalam pada itu si wanita baju kuning me langkah maju setindak lagi sehingga Siu lam terpaksa mundur dua langkah dan mencabut pedang Pek- kau-kia m.

Dalam ma lam yang pekat, pedang pusaka itu me mancarkan sinar berkilauan.

Senyum tawa yang menghias wajah wanita itu lenyap berganti dengan kerut wajah yang menampilkan  kerut pembunuhan. Dipandangnya pedang Siu-la m dengan berapi- api ke mudian tertawa ha mbar: “Ah, tak kiranya pedang Pek kau-kia m jatuh ke dalam tanganmu!”

Siu-la m terkejut dalam hati. Mengapa begitu luas pengetahuan dan pengalaman wanita tua itu. Sekali lihat saja ia sudah tahu na ma pedang yang dicekalnya. Padahal pedang Pek-kau-kia m itu sudah puluhan tahun tak pernah muncul di dunia persilatan.

Mencapai pada pemikiran itu, Siu-la m me mpunyai perasaan heran tercampur ragu. Jika benar wanita cantik itu ketua dari Beng-gak, tentu dia sudah berumur enam puluhan tahun. Sekalipun wanita itu me miliki lwekang yang sempurna, tak mungkin dia dapat menjaga awet muda dan me melihara kecantikannya yang masih sedemikian menyilaukan?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar