Wanita iblis Jilid 24

Jilid 24

MENURUTKAN petunjuk Kak Bong, setelah mencapai tiga ratus langkah tibalah dia pada sebatang pohon siong kate.  Dan benarlah di bawah pohon siong itu terdapat sebuah pintu yang dipahat dengan lukisan.

Setelah kerapkan tenaga, Siu-lam segera mendorong batu itu. Tetapi batu itu kuatnya bukan main sehingga tak dapat bergerak.

Siu-la m percaya bahwa tak mungkin Kak Bong taysu akan menipunya. Maka sekali lagi ia kerahkan tenaga mendorongnya. Tetapi walaupun sudah dicobanya beberapa kali, tetap gagal. Namun ia tak putus asa. Ia tak henti- hentinya mendorongnya ke kanan kiri dan akhirnya alat  rahasia itupun bergerak. Serentak dengan bunyi berderak- derak keras, pintu batu itupun terbuka.

Siu-la m cepat loncat menyusup ke dalam pintu batu dan menyusur lorong. Tiga tombak jauhnya, tiba-tiba cuaca gelap. Ah, pintu batu itu tertutup kembali. Kira-kira seratus tombak jauhnya, lorong itu terpecah menjadi dua persimpangan,  ke  kanan dan ke  kiri.  Siu-la m me milih simpang kanan. Kira-kira t iga e mpat puluh to mbak jauhnya, lorong makin se mpit dan terdengarlah suara helaan napas orang yang berat.

Siu-la m tahu bahwa dia kini sudah dekat pada penjara tempat Ji-koay. Diam-dia m ia kerahkan tenaga siap sedia dan sengaja berjalan dengan langkah berat.

Setelah me mbe lok dua langkah tikungan, tiba-tiba suasana terang dan tampaklah sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di atas pintu batu itu terdapat sebuah jendela. Napas orang itu me mancar keluar dari jendela tersebut.

Dengan perlahan-lahan Siu-la m me ngha mpir i dan menengo k ke dalam pintu. Seorang lelaki tengah duduk bersandar pada dinding dan tidur mendengkur. Rambutnya terurai panjang menutup mukanya. Pakaiannya compang- camping. Punggungnya menyanggul sebuah borgol sebesar roda kereta. Di sebelah kanan-kiri ruang terdapat dua buah lubang hawa dan penerangan.

Siu-la m segera mengetuk pintu: “Aku yang rendah Siu- la m, hendak berkunjng kepada tuan.”

Tiba-tiba orang aneh itu berbangkit. Sepasang matanya berkilat-kilat me mancar kan api: “Engkau paderi Siau-lim-si?”

“Bukan…” sahut Siu-la m. Diputusnya rantai pintu dan mendorongnya lalu melangkah masuk.

Orang aneh itu tertawa gelak-gelak. Ia duduk kembali bersandar pada dinding ruang.

“Beberapa puluh tahun yang la lu, orang persilatan tentu rontok nyalinya kalau mendengar na maku. Aku gemar minum hati orang dengan arak. Engkau sungguh  seorang  budak yang bernyali besar berani datang ke ka mar ku sini!” Siu-la m tersenyum. Dia m- diam kerahkan tenaga dalam berjaga-jaga. Kemudian pura-pura seperti tidak terjadi apa- apa, ia duduk tenang berhadapan dengan orang aneh itu.

“Berapa la makah lo-cianpwe berada di dalam ruang ini?” tanyanya diiringi tertawa.

Dari celah-celah ra mbutnya yang kusut masai, terpancarlah sinar dingin dari sepasang mata orang aneh itu. Rupanya dia mengawasi Siu-la m taja m-tajam. Kemudian  berkata:  “Lebih la ma sedikit dari umur nya!”

“Ah, tentu kesepian sekali,” kata Siu-la m.

Orang aneh itu mendengus dingin dan me nda mprat: “Paderi bangsat itu telah menjebloskan aku di sini sa mpai belasan tahun. Hm, jika aku bebas, kelak tentu  akan  kucarinya untuk me mbayar hutan ini!”

Siu-la m tersenyum: “Sudah berpuluh tahun lo-cianpwe tak berdaya untuk keluar dari sini. Dikuatirkan seumur hiduppun sukar untuk meninggalkan tempat ini.”

Orang aneh itu tertawa nyaring: “Ah, tak lama lagi! Tiga tahun kemudian aku tentu ma mpu  menghancur kan tali pengikat ulat sutera ini dan tinggalkan neraka sini!”

“Wanpwe pernah mendengar kata orang. Tali dari ulat sutera  itu  kerasnya  bukan  main.  Senjata  tajampun  tak  ma mpu  me mutuskannya.  Bagaimana  lo-cianpwe  hendak me mutus kannya?”

Orang aneh itu t iba-tiba tertawa dingin: “Sudah berpuluh tahun aku berada di sini. Tiap hari yang kupikirkan hanyalah cara untuk me mutus tali ini. Masakan sela ma itu tak berhasil mene mukannya!”

Dengan kata-kata itu dia hendak menyatakan bahwa ia sudah me mpunyai rencana untuk melepas kan sepasang tangannya yang kurus tinggal tulang itu dari ikatan tali ulat sutera. Siu-la m mencur i lihat ke arah tali pengikat orang aneh itu. Ah, benarlah. Tali pengikat tangannya sudah tiga perempat bagian putus. Yang seperempat bagian ia sanggup melakukan dalam waktu t iga tahun lagi. Hal itu me mang bukan mustahil.

Siu-la m seorang pe muda yang berotak cerdas. Ia baru mencari ja lan supaya orang aneh itu marah padanya. Ia berganti me mandang ke arah kaki orang aneh. Ternyata kaki orang itupun masih terikat  dengan tali urat  sutera.  Tiba-tiba ia tertawa nyaring.

Orang aneh itu rupanya marah karena ditertawakan. Dengan mata berapi-api ia me mbentak:  “Apa yang kau tertawakan?” Bentakan itu dibarengi dengan gerakan kedua tangannya yang berjari kuku panjang, menyerang Siu- la m.

Siu-la m me mang sudah bersedia. Pada waktunya hendak masuk, dia m-dia m ia telah me matahkan sebatang dahan pohon siong yang dise mbunyikan dalam bajunya. Sambil menghindar ia sudah mengeluarkan dahan pohon itu. “Harap lo-cianpwe jangan marah  dulu. Dengarkanlah  wanpwe hendak bicara. Habis itu boleh berkelahi kalau me mang lo- cianpwe menghenda ki begitu!”

Orang aneh itu ternyata mau hentikan serangannya. Katanya dingin: “Jika kau tak dapat menerangkan kenapa kau tertawa, kau harus tinggal di sini sela ma tiga tahun mene mani aku!”

“Maaf, wanpwe terpaksa tak dapat melulus kan,” kata Siu-  la m, “Tiga tahun hanya sekejap mata. Untuk mene mani lo- cianpwe di sini sebetulnya tak mengapa. Tetapi jika lo- cianpwe tetap tak dapat tinggalkan tempat ini, apakah wanpwe juga harus me ne mani sela manya.”

Orang aneh itu mendengus dingin. Seketika tampak dia hendak angot perangainya. Siu-lam segera mendahului: “Jangan keburu mengumbar a marah dulu. Cobalah pikirkan. Kalau tali pengikat tangan saja me merlukan waktu beberapa puluh tahun, bukankah harus menggunakan waktu berpuluh tahun lagi untuk me mutuskan tali pengikat kaki?”

Orang aneh itu tertegun dan jatuhkan diri duduk di tanah. Dengan suara rawan ia berkata: “Benar, ah… kenapa dalam berpuluh tahun ini aku tak sa mpa i pada pemikiran begitu?”

“Rasanya sia-sialah jerih payah lo-cianpwe sela ma ini. Lo- cianpwe hanya me mikir kan bagian tangan tetapi lupa akan pengikat kaki!”

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang nyaring sekali: “Benar, seumur hidup kita takkan ma mpu keluar dari neraka ini!”

Siu-la m terkejut. Tetapi ia segera menyadari bahwa di sebelah ruang itu memang masih terdapat seorang tahanan lagi. Jelas bahwa dinding ruang penjara itu kerasnya seperti baja, tetapi ternyata orang di  ruang  sebelah  mas ih  dapat me lantangkan suara yang menggetarkan. Dapat dibayangkan betapa dahsyat tenaga dalam yang dimilikinya.

Siu-la m terkejut. Dia m-dia m ia mengagumi tenaga dalam orang itu, dan makin keraslah nafsunya untuk menggunakan tenaga kedua orang itu.

“Wanpwe tahu cara me lepaskan tali ikatan. Tetapi entah apakah lo-cianpwe berdua ber maksud hendak tinggalkan tempat penjara ini?” serunya nyaring.

Sahut orang aneh yang mukanya  tertutup rambut itu dengan dingin: “Sudah tentu ingin sekali….”

Siu-la m sengaja menghela napas: “Tak sukar wanpwe untuk melepaskan tali pengikat itu. Tetapi yang sukar adalah lo-cianpwe untuk me luluskan per mintaan wanpwe….”

Orang  aneh  itu  tertawa   dingin:   “Apa   kau   hendak me lepaskan tali pengikatku, karena hendak me nggunakan tenagaku?” “Ah, wanpwe tak berani mengatakan karena kuatir lo- cianpwe salah paham. Ditilik dari nama dan kedudukan lo- cianpwe yang termasyhur dalam dunia persilatan, tentulah lo- cianpwe sukar untuk me luluskan per mintaan wanpwe itu. Ah, tak perlu kita bicarakan lagi urusan ini. Selamat tinggal! Siu- lam me mber i hor mat dan lalu me langkah pergi.

“Berhenti!” t iba-tiba orang aneh itu berteriak dan loncat menerka m Siu-la m.

Siu-la m sudah siap menghadapi ke mungkinan itu. Berputar diri ia mainkan dahan ce mara dengan jurus Jiau-toh-co-hoa. Selingkar sinar hijau, merintangi terjangan orang aneh itu.

Jiau-toh-ci-hua ajaran kakek Hian-song me mang luar biasa saktinya. Gerakan yang aneh luar biasa telah me maksa si orang aneh menarik lagi tangannya. Ia berjumpalitan di udara dan melayang balik ke te mpat se mula.

Siu-la m terkejut dan kagum sekali. Sekalipun punggungnya menyanggul borgol yang beratnya ratusan kati, tapi gerakan orang aneh itu tetap lincah sekali.

“Hanya ginkang yang beginilah yang layak mengge mparkan dunia!” dia m-dia m Siu-la m me muji.

Setelah tegak di tanah, berserulah orang aneh itu lantang: “Jangan pergi kau, budak. Katakanlah apa permintaanmu!”

Dia m-dia m Siu- lam girang dalam hati. Orang aneh itu mulai masuk ke dalam perangkapnya. Sengaja  ia  bersikap jual mahal, katanya: “Ah, tak ada gunanya. Toh engkau nanti tak mau melulus kan!”

“Katakanlah!” teriak orang aneh itu makin bernafsu, “Jika tidak menyulitkan saja, aku tentu bersedia meluluskan!”

Siu-la m menimang. Karena dipenjara selama berpuluh tahun, orang aneh itu sudah agak berkurang sifat-sifat keliarannya. “Wanpwe bukan mur id Siau-lim-si tetapi wanpwe pernah menerima budi dari seorang lo-cianpwe Siau-lim-si. Setelah meno long  jiwa  wanpwe,  lo-siansu  itu  mengajarkan  cara me lepaskan tali pengikat lo-cianpwe di sini. Dan wanpwe disuruh datang ke mari untuk me lepaskan lo-cianpwe berdua….”

Siu-la m sengaja berhenti sebentar la lu me lanjutkan lagi: “Ah, untuk apa menanyakan na ma lo-cianpwe apakah dugaan ini La m- koay atau Pak-koay?”

“Aku La m-koay Shin Ki!”

“Ah, kiranya Shin lo-cianpwe!”

Rupanya orang aneh Lam- koay Shin Ki itu ge mbira sekali karena dipanggil dengan sebutan hor mat oleh Siu- la m. Tertawalah ia gelak-gelak: “Lekas bilang, kemungkinan besar aku tentu meluluskan!”

Siu-la m tertawa.

“Tiba di gereja ini, ternyata Siau-lim-si tengah diserang musuh yang kuat. Para paderi dan anak murid Siau-lim-si tak ma mpu  me nghadapi  mereka.   Wanpwe  bermula  hendak me mbantu, tetapi wanpwe segera teringat akan pesan lo- cianpwe di sini. Maka wanpwe bergegas-gegas datang kemari untuk melepaskan tali pengikat lo-cianpwe. Apabila nanti lo- cianpwe masih mendenda m dan menyerang murid- murid Siau- lim-s i, wanpwelah yang paling bertanggung jawab. Selain dianggap sebagai orang yang tak tahu me mbalas budi pun seorang yang berdosa terhadap Siau-lim-s i!”

Lam- koay Shin Ki merenung sejenak lalu berkata: “Jika benar-benar engkau mampu me lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini, aku sanggup me mbantu untuk mengalahkan musuh Siau-lim-s i. Tetapi setelah itu, aku tetap hendak mencari paderi Kak Seng untuk menyelesaikan perhitungan selama berpuluh tahun ini!” Dia m-dia m Siu-la m me mbatin: Yang dimaksud Kak Seng taysu tentu toa-suheng dari Kak Bong dan Kak Hui taysu. Ah, biarlah. Tak perlu kuberitahukan bahwa Kak Seng siansu sudah meningga l.

Ia segera menjawab: “Terserah kalau lo-cianpwe hendak mencari Kak Seng siansu. Wanpwe tak dapat  mencegah. Tetapi bagi kaum persilatan, budi dan dendam harus dibedakan yang jelas. Baik, mari kita tetapkan janji  kita. Karena lo-cianpwe sudah setuju me mbantu wanpwe untuk menghancur kan musuh- musuh Siau-lim-si, mari wanpwe segera lepaskan tali pengikat tangan dan kaki lo-cianpwe.”

Siu-la m mengha mpiri, berjongkok dan mulai  melepaskan tali pengikat dari urat sutera yang terpasang pada tangan dan kaki La m-koay. Walaupun sudah diajari oleh Kak Bong siansu tetapi  karena  tali  itu  le mbut  sekali  ma ka   setengah  jam ke mudian baru ia berhasil mengurainya.

Sambil me nghapus keringat di dahi, Siu-la m tertawa: “Harap lo-cianpwe bersabar. Wanpwe akan membuka tali pengikat pada kaki lo-cianpwe.”

Lam- koay Shin Ki diam saja. Ia me mandang anak muda itu dengan pandang berterima kasih.

Setelah bebas, Lam-koay Shin Ki mengha mbur kan tertawa yang nyaring sekali. Dinding tembo k tergetar dan telinga serasa pekak. Lama sekali ia lepaskan kesesakan dadanya selama berpuluh tahun itu, dalam sebuah tertawa panjang yang me makan waktu ha mpir seperempat jam la manya.

Siu-la m mengikuti gerak-gerik orang aneh itu dengan penuh kewaspadaan. Ia kuatir apabila penderitaan selama berpuluh tahun itu akan lebih me njadikan dia seorang manusia yang lebih ganas.

Tetapi ternyata setelah puas tertawa, Shin Ki lalu duduk bersemedhi. Kedua matanya dipeja mkan dan mulailah ia me lakukan penyaluran darah. Tak berselang berapa la ma, ubun-ubun kepalanya menguap hawa panas.

Siu-la m terkejut: “Ah, bukan main lwekang orang ini!”

Tiba-tiba La m-koay Shin Ki me mbuka mata dan me manggil: “Engkoh kecil, harap menyingkir ke sa mping!”

Siu-la m segera mundur ke a mbang pintu. Tiba-tiba La m- koay merang sekuat-kuatnya. Sekali kedua  bahunya  bergerak, besi borgolan yang menelikung punggungnya putus menjadi dua dan jatuh berkerontangan di lantai. Kemudian ia mengha mpiri Siu-la m.

Karena berpuluh tahun disekap dalam penjara yang kurang sinar matahari, wajah orang aneh itupun pucat seperti mayat. Dan rambutnya yang tak terawatt memanjang itu, mena mbah keseraman.

“Dia seorang ganas. Hatinya sukar diduga. Lebih baik kujaga,” dia m-dia m Siu-la m bersiap-siap.

Begitu tiba di samping Siu- la m, Lam- koay Shin Ki segera ulurkan tangannya yang kurus mencengkeram tangan Siu-la m.

“Aku Shin Ki, belum pernah menerima budi orang. Budi pertolonganmu me lepaskan tali pengikat tanganku itu, merupakan budi yang takkan kulupakan seumur hidup!” kata Shin Ki.

Siu-la m terkesiap, serunya: “Apakah maksud lo-cianpwe?” Lam- koay Shin Ki tertawa lebar: “Maksudku, setelah kucari

Kak Seng dan mene mpurnya, kita angkat saudara.”

Siu-la m menghela napas longgar: “Ah, kiranya begitu. Tetapi mana wanpwe sembabat menjadi saudara angkat lo- cianpwe?”

Lam- koay Shin Ki marah. “Seumur hidup aku belum pernah menerima budi orang. Engkau telah meno long aku, apakah itu bukan berarti melepas budi? Jika engkau menolak maksudku, terpaksa engkau harus kubunuh!”

Siu-la m merenung sejenak, ujarnya: “Baiklah kita basmi dulu musuh- musuh Siau-lim-si itu barulah nanti kita bicarakan lagi!”

Ternyata dalam hati kecilnya, Siu- lam enggan menerima tawaran Lam- koay. Ia tahu nama orang aneh itu ter masyhur sekali. Apabila dia mengangkat saudara dengan orang itu ia pasti dipandang rendah oleh dunia persilatan golongan putih. Maka ia sengaja menunda persoalan itu.

Tetapi tiba-tiba Shin Ki mencengkera m lebih keras. Siu-lam terkejut. Ia rasakan tangannya seperti dijepit kait besi. Ia hendak mengerahkan tenaga perlawanan, tetapi kalah dulu. Shin Ki sudah menguasainya.

“Engkau hanya me mpunyai pilihan, menerima permintaanku atau mati!” dengus orang aneh itu.

Siu-la m menimang. Manusia La m- koay itu ganas dan telengas.   Apa  yang  dikatakan  tentu  dilakukan.   Na mun me luluskan permintaan karena di bawah ancaman, Siu-lam merasa kehilangan kegagahannya sebagai seorang lelaki. Tetapi ah, jika menola k, ia pasti mat i….

Sebelum ia dapat menga mbil keputusan, tiba-tiba La m- koay Shin Ki kendorkan cengkeramannya.

“Hm, tenaga dalammu terpaut jauh sekali dengan aku. Jika kubunuh dengan cara begini, engkau pasti menjadi setan penasaran. Hayo, kita cari tempat yang lapang untuk adu kepandaian. Biarlah engkau mati dengan puas!” kata Lam- koay seraya hendak me langkah pergi. Belum Siu- lam menyahut, tiba-tiba terdengar suara orang berseru dengan nada dingin: “Ha, buyung. Jika engkau ingin hidup, kemar ilah dan bukalah tali pengikatku. Di kolong jagad ini, kecuali aku Pak- koay Ui Lian, tiada seorang manus ia yang ma mpu melawan kesaktian La m- koay dengan ilmu lwekangnya Kiang-goan-gi- kang dan pukulan Cek-yang-ciang!”

Siu-la m kerutkan dahi. Ia merasa, melepas seorang Lam- koay sudah cukup berbahaya apalagi melepaskan  seorang Pak-koay lagi….

Lam- koay Shin Ki tertawa nyaring: “Hei, Ui lokoay, tunggulah    duapuluh    tahun    lagi,     nanti     kudatang  me lepaskanmu!”

Tiba-tiba terlintas dalam benak Siu- la m. Ia telah berjanji untuk melaksanakan permintaannya kedua paderi Kak Bong dan Kak  Hui  siansu.  Demi  menghadapi  keganasan  gerombo lan Beng-gak yang hendak menghancur kan Siau-lim- si, ia harus mengesa mpingkan segala perasaan pribadi. Kak Bong siansu telah menyuruhnya melepaskan La m- koay dan Pak-koay.

“Shin lokoay, kalau engkau takut nanti ada manus ia yang dapat mengalahkan engkau, rintangilah anak muda itu supaya jangan dapat melepaskan aku…” tiba-tiba Pak- koay Ui Lian berseru mengejek.

“Huh, apa kau kira kau takut kepada mu?”

Lam- koay Shin Ki menggeram: “Terserah kalau dia  mau  me lepaskan engkau. Aku takkan mengha langinya!”

Pak-koay Ui Lian tertawa dan berseru kepada Siu-la m: “Buyung, jika engkau benar-benar mau melepaskan aku, jangan kuatir La m-koay dapat mencela kai dirimu….”

Nada tertawanya macam burung hantu me manggil- manggil mayat dalam kuburan. Ucapannya nyaring, setiap patah kata me lengking tajam me mekakkan telinga. Jelas bahwa dia hendak me ma merkan kesaktiannya kepada Siu- lam mela lui hamburan tertawa.

Belum se mpat Siu- lam menyahut, suara Pak-koay sudah me lengking lagi: “Ketahuilah, buyung. Di dalam dunia, hanya aku seorang yang ma mpu menandingi La m-koay Shin Ki. Tak perduli saat ini dia bersumpah apa saja kepadamu tetapi pada saat dia ingat bahwa ada kemungkinan engkau datang ke mari me lepaskan aku, dia tentu segera me mbunuhmu. Tetapi apabila sekarang engkau melepaskan aku, kelak pikiran La m- koay untuk me mbunuhmu, tentu tak ada lagi. Percayalah, sekalipun dia seorang maha ganas, tetapi dia merasa berhutang budi kepadamu. Asal jangan bertindak hal yang kelewat me mbuatnya marah, dia tentu takkan mence lakakan dirimu! ”

Hanya   berhenti   sejenak,   Pak-koay    Ui    Lian    terus me lanjutkan kata-katanya lagi: “Apalagi engkau me mpunyai rencana untuk me mbantu Siau-lim-si. Meskipun La m- koay Shin Ki sakti, tenaga satu orang itu terbatas. Jika engkau lepaskan aku, ho, sekali La m-koay dan Pak-koay bersatu padu, siapakah manus ia di dunia yang sanggup me lawannya….”

Siu-la m anggap pernyataan Pak-koay itu benar. Melepaskan keduanya, akan merupakan dua keseimbangan yang menindas diri mere ka satu sa ma la in.

“Shin lo-cianpwe, bagaimana dengan pribadi Pak-koay Ui Lian itu?” ia bertanya kepada Lam- koay Shin Ki.

Sengaja Siu-la m berseru dengan nyaring agar terdengar Pak-koay Ui Lian. Dengan begitu tentulah La m-koay Shin Ki sungkan me larangnya.

Sahut Lam-koay dengan dingin: “Jika paderi tua itu menyuruh engkau lepaskan ka mi berdua, lepaskanlah dia!”

Kesempatan itu tak disia-sia kan Siu- la m. Segera ia loncat ke ruang sebelah. Tapi tak dapat melihat pintunya. Rupanya Pak-koay tahu kesukaran pemuda itu. Maka berserulah ia: “Ka mar tempatku tadi, ada sebuah pintu batu. Doronglah pintu itu dan masuklah sepuluh langkah ke kiri. Di situlah te mpat penjara Pak- koay Ui Lian!”

Setelah menurutkan petunjuk La m- koay, benar juga, Siu- lam telah tiba di sebuah ruangan. Seorang manusia  aneh yang rambutnya terurai panjang tengah duduk bersila dengan tangan dan kaki terikat.

“Adakah lo-cianpwe ini Pak- koay Ui Lian?” seru Siu- lam sambil beri hor mat.

Orang berambut putih itu mengangkat  wajahnya.  Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam, menatap Siu-la m. Dan menyahutlah ia pelahan-lahan: “Benar, aku Ui Lian.”

Siu-la m tak berani beradu pandang dengan orang itu. Cepat ia mengha mpiri, tali ulat sutera yang mengikat tangannya lalu kakinya.

Pekerjaan itu me makan waktu lebih kurang setengah jam.

Selama itu ia tak mau berkata lagi.

Setelah bebas, Pak-koay Ui Lian tertawa sekeras-kerasnya: “Ho, kukira seumur hidup aku harus tinggal dalam neraka ini. Benar-benar aku tak mengira akan bebas pada hari ini!”

Ia melangkah keluar tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia teringat akan Siu- la m.

“Buyung, atas pertolonganmu me lepaskan tali pengikat tangan dan  kakiku,  aku  takkan  me lupakan.  Aku  bersedia me luluskan tiga buah permintaanmu. Setelah itu, kita sudah tidak punya ikatan budi lagi. Adakah kita nanti menjadi kawan atau lawan, tergantung bagaimana anggapanku terhadapmu!”

Siu-la m tertawa, sahutnya: “Pertama, ingin aku mengetahui bagaimana ruang yang berdinding setebal ini, lo-cianpwe dapat mengetahui gerak-gerikku dengan Shin Ki lo-cianpwe?” Pak-koay Ui Lian tertawa keras: “Jika pertanyaan itu kujawab, berarti aku sudah me luluskan sebuah permintaanmu. Dan kau hanya berhak mengajukan dua buah permintaan saja!”

“Sudah tentu,” sahut Siu-la m, “apa yang kutanyakan ini takkan me mbuang percuma saja bantuan lo-cianpwe.”

Pak-koay Ui Lian tertawa lagi, serunya: “Bagus buyung kau pintar bicara! Tetapi benarkah kau takkan menyesal menggunakan kese mpatan pertama hanya dengan bertanya soal itu?”

“Seumur hidup wanpwe tak pernah menyesali apa yang telah wanpwe ucapkan!”

Pak-koay Ui Lian geleng-geleng kepala tertawa: “Sebenarnya soal semudah itu tak kau tanyakan lagi. Asal kau mau perhatikan ruang ini dengan teliti, kau tentu akan mendapat jawabannya!”

Siu-la m terkejut. Ia me mandang ke segenap sudut dan ah… kira-kira satu tombak di atas dinding ruang, ia melihat sebuah lubang sebesar je mpo k tangan.

“Tolol…!” dia m-dia m Siu-la m me maki dirinya sendiri mengapa mengajukan pertanyaan tadi. Kini ia mendapat pelajaran, bahwa dalam menghadapi sesuatu tak boleh pikirannya terpengaruh oleh rasa kekaguman yang berlebih- lebihan sehingga mengaba ikan semua perhatiannya.

Namun sudah terlanjur, iapun berseru dengan garang: “Oh, kiranya begitu. Kukira lo-cianpwe gunakan ilmu Thian-thong- gan!”

Sambil mengurut jenggotnya yang putih panjang, berkatalah Pak-koay Ui Lian dengan girang: “Pelajaran pertama ini, kau untung separuh rugi separuh. Rugi, karena suatu apa, aku telah memenuhi salah sebuah dari tiga permintaanmu. Tetapi untung, karena kesalahan itu akan merupakan pelajaran   pahit   bagimu   untuk   selanjutnya  me mpertimbangkan se masak- masaknya sebelum mengajukan permintaan!”

Siu-la m hanya tersenyum. Ia mendahului jalan keluar. Sedang Pak-koay Ui Lian mas ih tegak bersandar pada dinding ruangan.  Wajahnya   tegang   dan   matanya   berkilat-kilat me mandang ke depan pintu.

Sambil me mbungkuk, Siu-la m me mpersilahkan orang aneh itu keluar.

“Lekas me nyingkir!” tiba-tiba La m- koay Shin Ki me mberi isyarat tangan kepadanya.

Me mang Siu- lam selalu waspada. Melihat wajah  orang aneh dari selatan (Lam- koay), tahulah Siu-la m tentu terjadi sesuatu. Buru-buru ia loncat ke sudut.

Baru ia berdiri tegak, tahu-tahu orang aneh dari utara (Pak- koay) Ui Lian sudah keluar dari pintu penjara itu.

“Shin lokoay, entah selama beberapa puluh tahun ini, sampai di manakah tenaga sakti Kian-goan-khi- kang dan pukulan Cek-yan-ciang itu,” seru Pak-koay Ui Lian.

“Jika kau ingin tahu, boleh cobalah!” sahut Lam-koay  Shin Ki dengan dingin.

“Bagus, bagus!” seru Pak-koay Ui Lian seraya mengangkat tangan dan mendorong ke muka.

Saat itu Siu-la m rasakan serangkum hawa dingin me mbaur dari gerak pukulan orang aneh itu, dia m-dia m ia terkejut.

“Ui-heng, pukulanmu Hian-ping- ciang, entah bertambah hebat berapa kali lipat dari dulu?” La m-koay Shin Ki tertawa dingin seraya menyongsong dengan tangan kanan.

Dan serangkum hawa panas segera mengha mbur dari pukulan orang aneh itu. Angin berhawa dingin dan angin berhawa panas segera saling melanda. Ruangan batu seperti diamuk oleh deru angin keras.

Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian tertawa mengakak: “Huh, Shin- heng, pukulanmu juga jauh lebih dahsyat dari dahulu.”

“Harap lo-cianpwe hentikan adu tenaga. Wanpwe hendak berkata!” sambil berseru Siu-la m terus loncat ke tengah- tengah kedua orang aneh itu.

“Lo-cianpwe berdua sudah menyanggupi wanpwe  untuk me mbantu Siau-lim-si. Saat ini musuh mungkin sudah berada dalam  gereja.  Jika  lo-cianpwe   berdua   hendak   menguji ke majuan pukulan lo-cianpwe, tiada sasaran yang lebih tepat daripada musuh yang datang menyerang itu!” seru Siu-la m pula.

Lam- koay Shin Ki mendengus: “Ui-heng,  jika engkau menganggap bahwa pukulanmu Hian-ping-ciang  itu merupakan penakluk dari pukulanku Cek-yan-ciang, kita tentuka saja di suatu tempat yang sepi di mana kita dapat mengadu kesaktian dengan tenang!”

Pak-koay Ui Lian tertawa: “Agaknya kita berdua ini seperti minyak dengan air. Sukar untuk hidup bersama dalam dunia persilatan. Cepat atau lambat, kita tentu akan berhadapan dalam suatu pertempuran adu jiwa….”

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula: “Tetapi aku hendak mengatakan sepatah kata. Dan ini me mang perlu kukatakan di muka!”

“Silahkan,” kata La m- koay Shin Ki, “apapun yang Ui-heng kehendaki, aku tentu bersedia melayani!”

“Sebenarnya bukan suatu hal yang sulit. Ialah sebelum kita bertempur, lebih dulu kita harus mencari Kak Seng taysu  untuk menuntut balas tindakannya yang telah memenjarakan kita sela ma berpuluh-puluh tahun ini. Walaupun sela ma dalam penjara itu kita juga me mperoleh ke majuan tetapi tentu kalah pesat dengan ke majuan yang dicapai Kak Seng taysu. Dengan   tanganku    seorang,    kurasa    sukar    untuk menga lahkannya. Kalau kita berdua mene mpurnya, tentu harapan besar dapat memba las sakit hati kita itu. Setelah itu baru kita cari suatu tempat untuk menentukan siapa yang berhak di dunia ini!” kata Pak-koay Ui Lian.

“Lo-cianpwe berdua sudah berjanji sanggup me mbantu wanpwe untuk mengusir musuh yang menyerang Siau-lim-s i. Tentang budi dan dendam di antara lo-cianpwe berdua, hendaknya dirunding lagi setelah urusan saat ini selesai!” buru-buru Siu-la m mendesak.

Berkata Pak-koay Ui Lian dengan tandas: “Aku tak perduli lawan atau kawan, pokoknya akan menghantam setiap orang yang engkau perintahkan!”

“Terima kasih, lo-cianpwe. Itulah yang tepat!” sahut Siu- lam dengan gembira lalu mendahului lari keluar.

Dengan cepat ketiga orang itu sudah tiba di persimpangan lorong. Setelah mene liti sejenak, Siu-la m segera menga mbil jalan yang mencapai Ciang- keng-kwat atau ruang perpustakaan gereja Siau-lim-si.

Lorong di bawah tanah itu me mang suatu lorong yang dicipta ala m. Ke mudian diperbaiki oleh ketua Siau-lim-si menjadi se maca m tit ian tangga yang mendaki ke atas.

Dalam pada berjalan mendaki itu, Siu-la m tak lepas dari suatu rasa cemas. Kedua orang aneh itu seperti air dengan minyak. Watak mereka pun aneh sekali. Apabila tiba-tiba mereka kumat penyakitnya, tentu keadaan akan menjadi runyam. Tetapi demi kepentingan menyela matkan Siau- lim-s i, Siu-la m mengesa mpingkan kesemuanya itu. Pikirannya hanya tertuju satu….

“Huh…” tiba-tiba ia berteriak tertahan ketika  kakinya menginjak te mpat kosong sehingga hampir saja ia terjerumus jatuh. Ah, kiranya ia sudah tiba di  ujung  titian.  Di hadapannya kini terbentang sebuah tanah datar seluas satu tombak.

“Harap lo-cianpwe suka menunggu sebentar. Wanpwe hendak minta pintu!” kata Siu-la m kepada kedua orang aneh itu.

Dengan teliti  ia  me mandang  ke  sekeliling.  Akhirnya  ia me lihat sebuah batu yang menonjo l. Cepat ia mengha mpiri dan menar ik batu itu. Sebuah lubang pintu segera terbuka. Tapi serentak dengan terbukanya pintu itu, hidungnya tersambar hawa anyir dari darah orang. Ah, seorang paderi jubah biru tampak menggeletak menjadi mayat.

Kedua tangan paderi itu me megang erat-erat pada pintu batu. Darah pada punggungnya sudah membe ku hita m. Lantaipun penuh dengan noda darah. Tentulah dia mender ita luka berat lalu hendak melo loskan diri dari pintu terowongan itu. Tetapi dikejar musuh dan dihantam mati.

Pemandangan itu menyebabkan Siu-la m bergidik. Tiba-tiba ia teringat akan kematian suhunya yang mengenaskan dahulu. Kemudian ia teringat akan luka kedua paderi tua yang telah menyuruhnya me lepaskan kedua La m-koay dan Pak-koay itu. Ah, apakah Siau-lim-si sudah hancur? Apakah ia datang terlambat?

Dengan langkah berat, ia ayunkan langkah. Ia merasa seperti orang yang memanggul suatu beban yang maha berat. Kesanggupannya untuk me laksanakan pesan kedua paderi tua Kak Bong dan Kak Hui merupakan  suatu perintah maut. Karena terang gerombo lan Beng-gak a mat tangguh sekali.

Tidak de mikian dengan La m-koay dan Pak-koay. Mereka tidak mengacuhkan suatu apa. Mereka berseri  gembira karena bebas dari penjara di bawah tanah. Siapa gerombolan Beng-gak dan bagaimana keganasan mereka, setitikpun tak dihiraukan. Mereka tiba  di sebuah  ruang  yang luas.  Penuh  dengan le mari dan rak buku.

Siu-la m menghe la napas panjang. Untuk melonggarkan rasa  cemas  yang   menghimpit   dadanya.   Ke mudian   ia me langkah keluar.

Timbul setitik harapan dalam hatinya. Mudah-mudahan kejadian ngeri dalam ruang perpustakaan itu, dikarenakan serangan mendadak dari pihak Beng- gak.

Dia teringat akan barisan Lo-han-tin gereja Siau-lim-s i yang termasyhur. Kiranya barisan itu tentu tak sa mpa i hancur.

Semangat Siu-la m bangkit pula. Segera ia lari keluar.

Walaupun kedua orang aneh itu me mpunyai watak yang aneh, tetapi mereka adalah tokoh-tokoh yang  ternama. Dalam soal janji, mere ka sangat mengindahkan. Mereka pun mengikut i Siu-la m.

Sekeluarnya dari ruangan perpustakaan, Siu-la m hanya menjumpai bangunan-bangunan yang sudah menjadi tumpukan puing. Gereja sunyi-senyap seperti  sebuah kuburan.

Me mandang ke sekeliling, ia tak melihat seorang paderipun jua.

“Te mpat ini  merupakan pusat kesibukan para paderi.  Jika di sini tiada tampa k seorang paderipun juga, apakah gereja ini benar-benar telah ditumpas gerombolan Beng-gak?” dia m- diam Siu-la m terkejut.

Tetapi anehnya, ia tak melihat sesosok mayatpun juga. Segera ia menuju ke  muka.  Merupakan ruang besar kedua dari gereja Siau-lim-s i. Ia tertegun ketika me ndengar suara orang berdoa dengan nada berat. Ketika me mandang  ke muka, kejutnya bukan kepalang. Di hala man luas dari ruang besar kedua itu, tujuh delapan ratus paderi tengah duduk bersila. Mereka merangkap kedua tangan dan masing- masing peja mkan mata. Wajah mereka mengerut kedukaan dala m.

Dari alis mereka yang mengerut  naik, mengunjukkan mereka seperti tawanan yang penasaran  karena  tak  dapat me lawan perintah yang sewenang-wenang…..

Siu-la m menghela napas panjang. Segera ia melintasi sebuah pintu bundar dan mengha mpir i ke hala man.

Lam- koay dan Pak-koay saling bertukar pandang lalu mengikut i jejak Siu- la m.

Kawanan paderi yang duduk pada deretan muka,  segera me mbuka dan me mandang Siu- la m. Begitu mereka melihat kedua orang aneh di belakang Siu-la m, mereka terbelalak. Tetapi pada lain kilas, wajah mereka ke mba li mena mpilkan kedukaan lagi.

Dalam keheranannya melihat kawanan paderi itu, Siu- lam berpaling ke arah ruang besar. Di tengah ruangan tampak ketua gereja Siau-lim-s i yang sekarang yakni Tay Hong siansu. Di sebelah kanan kirinya, tegak rombongan paderi tingkat tinggi. Antara lain terdapat Tay Ih, Tay Goan, Tay To  dan lain-la in.

Yang me mbuat Siu- lam terkejut sekali ialah tiga sosok mayat yang menggeletak di tengah ruangan. Ia kenal salah seorang korban itu ialah Tay Hui siansu, pejabat ketua Siau- lim-s i ketika Tay Hong siansu hilang di gunung Beng-gak. Sedang mayat yang lainnya, ia tak kenal. Yang jelas mereka berdua ialah paderi-paderi Siau-lim-s i yang berusia  tua. Diduga tentu paderi angkatan gelar Tay.

Melihat Siu- la m, Tay Hong siansu segera menegur keras: “Ruang ini merupakan ruang permusyawarahan gereja Siau- lim-s i. Kecuali anak mur id gereja, orang luar tak diperkenankan hadir. Pui sicu belum mendapat undangan, ini berarti menyalahi peraturan gereja. Tapi mengingat usia mu masih muda dan juga pernah menolong loni maka kali  ini kuberi kelonggaran. Harap segera keluar dari ruang ini!”

Siu-la m tertegun. Memandang ke arah Tay Ih siansu dan Tay To siansu, tampak wajah mere ka pun mena mpilkan kedukaan dan penasaran yang dalam. Tak ubah seperti rombongan paderi yang berkumpul di hala man itu.

“Walaupun yang dua itu tak kuketahui siapa orangnya, tapi mayat yang satu jelas adalah Tay Hui siansu. Tay Hui berkedudukan tinggi dalam gereja Siau-lim-s i. Bahkan dia menjabat sebagai ketua gereja ketika Tay Hong siansu  tak ada. Tapi kenapa jenazahnya dibiarkan terkapar  di  lantai? Dan kenapa wajah semua paderi bermura m durja? Mereka seperti tak puas dengan keadaan yang dihadapinya namun tak kuasa me mbantah. Ah, tentu terjadi sesuatu yang tak wajar!” dia m-dia m Siu- lam me nimang dalam hati.

Siu-la m berotak tajam. Keadaan yang tak wajar itu cepat  menarik perhatiannya. Ia tak menjawab teguran Tay  Hong tadi, juga tak menuruti perintahnya. Dipandangnya ketua Siau-lim-si itu dengan tak berkesiap.

Wajah Tay Hong berubah gelap, serunya: “Apa ma ksudmu me mandang begitu rupa kepadaku? Sudah kuberi kelonggaran  tak kukenakan  hukuman   atas   tindakanmu me masuki te mpat terlarang ini. Mengapa kau tak mau lekas pergi dan bahkan me mandang aku begitu rupa?”

Setelah mengawasi wajah Tay Hong siansu dengan seksama, Siu-la m tak me lihat sesuatu yang  mencurigakan. Tay Hong siansu tetap serupa dengan Tay Hong siansu yang tempo hari me mimpin ro mbo ngan orang gagah mengge mpur Beng-gak.

Tiba-tiba Siu-la m teringat akan kelihayan orang Beng-gak. Bukan suatu mustahil Beng- gak telah mengir im seorang yang wajahnya mirip sekali dengan Tay Hong siansu, untuk mengobra k-abrik gereja Siau-lim-si. Pihak Beng- gak tahu bahwa kawanan paderi Siau- lim-si patuh sekali kepada ketuanya.

“Ah, tetapi dugaan itu belum bertandakan bukti-bukt i. Sukar untuk menjatuhkan tuduhan seperti itu,” akhirnya Siu- lam menarik kesimpulan.

Karena terjepit oleh perasaan dan kenyataan tentang diri Tay Hong, maka Siu-la m tegak tertegun.

“Jika benar orang itu Tay Hong siansu, memang sebagai orang luar aku tak berhak mencampur i urusan rumah tangga gereja. Tetapi menilik keadaan gereja sudah tak karuan, sungguh tak sampa i hatiku me ninggalkan ruang ini,” Siu-la m masih tetap menimang.

Melirik ke arah Tay To siansu, ia dapatkan wajah paderi menunjukkan kedukaan hebat. Sepasang mata paderi itu berkilat-kilat dan berulang kali me mandang kepadanya dengan sorot mata mengharap bantuan.

Isyarat pancaran mata Tay To siansu itu menyadarkan Siu- la m. Sesuai dengan dugaannya, me mang keadaan saat itu tak wajar. Suasana ruang besar diliputi oleh se maca m hawa pembunuhan.

“Jika wanpwe tak mau pergi?” akhirnya ia menjawab perintah Tay Hong siansu tadi.

Marahlah ketua Siau-lim-si itu, serunya: “Gereja Siau- lim-si masakan  me mbiarkan   kau    bertindak    liar.    Jika   kau me mbangkang, jangan salahkan loni bertindak keras kepadamu!”

Siu-la m tertawa: “Sejak berpisah dengan taysu di Beng-gak dulu, tak sedetikpun pikiranku lepas dari peristiwa Beng-gak itu. Wanpwe selalu me mikir kan kesela matan kaum persilatan dan ingin sekali menuturkan peristiwa yang wanpwe alami kepada taysu….” “Loni sedang mengada kan pe mbersihan dalam gereja, tak sempat mendengar ocehanmu…!” bentak ketua Siau- lim-si itu.

Ia segera suruh dua orang paderi jubah kuning yang  berada di belakang untuk mengus ir Siu-la m.

Sekali melesat kedua paderi itu tiba di hadapan Siu- la m.

Kedua paderi itu paderi dari golongan Tay. Tetapi anehnya walaupun mereka perintahkan mengusir, tetapi ketika berhadapan dengan Siu-lam, mereka menundukkan kepala. Setitikpun mere ka tak mengunjukkan ke marahan kepada pemuda itu.

Melihat itu Siu- lam segera memberi hor mat kepada Tay Hong siansu. Serunya sambil tertawa: “Lo-cianpwe seorang angkatan tua yang diindahkan kaum persilatan. Wanpwe bukan  murid   Siau-lim-s i.   Terhadap  lo-cianpwe,   wanpwe me mang menaruh pengindahan tetapi bukannya takut!”

Tay Hong siansu gerakkan tangan memberi perintah  kepada kedua paderi jubah kuning itu: “Lekas tindaklah dia….”

Seperti patung bernyawa, kedua paderi itu mengiyakan dan serempak me nghantam Siu-la m.

Siu-la m menghindar pukulan kedua paderi it uterus melesat ke tengah ruangan. Diangkatnya mayat Tay  Hui siansu. Ternyata dada pejabat ketua itu terdapat luka tusukan senjata tajam yang mene mbus sa mpai ke punggung. Sedang badik yang mencabut nyawa paderi itu masih tetap menancap di dadanya.

Kedua paderi jubah kuning yang gagal me mukul itu, segera berputar tubuh dan loncat menerjang Siu-la m lagi.

“Berhenti!” t iba-tiba La m- koay Shin Ki yang berdiri di samping kiri pintu, me mbentak seraya lepaskan pukulan dari jauh. Salah seorang paderi jubah kuning yang baru loncat ke tempat Siu-la m, tiba-tiba rasakan punggungnya dilanda oleh serangkum angin kuat. Buru-buru ia menge mpos se mangat dan cepat-cepat turun ke tanah ke mudian me nghantam.

Cepat sekali paderi itu mengadakan reaksi. Tetapi betapapun ia tetap kalah cepat dengan angin pukulan La m- koay Shin Ki. Begitu tiba di lantai, tubuhnya terhuyung- huyung mundur dua langkah dan, huak… mulutnya menguak darah segar lalu jatuhlah ia terduduk di lantai.

Melihat La m-koay mendahului turun tangan dan berhasil merubuhkan seorang paderi, Pak-koay Ui Lian pun tak mau ketinggalan. Sa mbil tertawa mer ingkik, ia mena mpar dengan lengan bajunya.

Paderi jubah kuning satunya yang menyerang Siu-lam dari samping kiri, seketika rasakan dirinya dilanda oleh serangkum hawa dingin. Ia menggigil dan rubuh ke tanah….

Melihat itu berserulah Tay Hong siansu dengan  marah: “Hai, siapa yang berani me lukai paderi Siau- lim-s i?”

“Pernah apa engkau dengan si paderi tua Kak Seng?” Pak- koay Ui Lian balas bertanya.

Mendengar orang menyebut tentang diri mendiang suhunya, Tay Hong siansu terkesiap: “Kak Seng taysu adalah mendiang guru loni!”

Lam- koay Shin Ki tertawa nyaring: “Jika betul begitu, engkau termasuk musuh ka mi!”

Tay Hong siansu me mang belum pernah diberi tahu suhunya tentang kedua orang aneh La m-koay dan Pak-koay itu. Maka ia tak kenal siapa kedua tokoh aneh tersebut.

Tiba-tiba Siu-la m yang masih me meriksa mayat Tay Hui siansu berkata: “Harap locianpwe berdua jangan tergesa turun tangan dulu. Ijinkanlah wanpwe menyelidiki peristiwa ini sampai jelas!” Kedua tokoh aneh itu hanya bertukar pandang dan tak mengucap apa-apa.

“Apakah lo-siansu ini meninggal karena bunuh diri?” tanya Siu-la m kepada Tay Hong siansu.

Sahut Tay Hong dengan dingin: “Urusan rumah tangga gereja, mana boleh orang lain ikut turut ca mpur. Tay Goan sute, lekas usir orang-orang itu!”

Tay   Goan   siansu   itu   mengangkat   muka,   sejenak  me mandang   kepada   Siu-la m   lalu   perlahan-lahan mengha mpirinya.

Melihat sikap siansu itu, tahulah Siu-la m bahwa orang sesungguhnya tak bermaksud hendak turun tangan. Hanya karena tunduk pada perintah terpaksa Tay Goan siansu bertindak.

“Apakah yang sesungguhnya terjadi dalam ruang permusyawarahan ini? Sunyi tapi suasananya tegang sekali. Dan tampaknya segenap paderi yang hadir di sini, me menda m rasa tidak puas terhadap Tay Hong siansu…” dia m-dia m Siu- lam me mbatin.

Saat itu Tay Goan siansu sudah tiba di hadapan Siu- la m. Paderi itu me mberi hor mat dan berkata: “Pui sicu, maafkan loni bertindak kurang ajar terhadap sicu!”

Singkat kata-katanya, tapi nadanya penuh rasa kedukaan yang dalam.

“Harap jangan tergesa-gesa turun tangan, lo-siansu. Harap lo-siansu suka me mperkenankan  wanpwe  bicara!” kata  Siu- la m.

Tay Goan siansu tertawa getir: “Jika Pui sicu hendak mengatakan sesuatu, silahkan berhadapan dengan ketua gereja ini. Peraturan Siau-lim-si keras sekali. Semua paderi harus tunduk pada perintah ketua gereja. Ini sudah turun- temurun sejak dulu kala. Percuma sicu hendak mengatakannya kepada loni karena toh, loni tak dapat  menga mbil keputusan apa-apa!”

Mendengar itu, tertawalah Tay Hong siansu dengan sinis. Kemudian ia mengacungkan tongkat kepe mimpinan gereja yang  disebut  tongkat  Liok-gio k-hud-ciang   (tongkat   batu ke mala hijau), serunya nyaring: “”Kepala bagian Kian-wan Tay Goan siansu, sengaja hendak me mbantah perintah. Berarti menyalahi peraturan. Hukumannya harus segera me mbunuh diri.”

Tay Goan tertawa hambar. Cepat ia berputar diri menghadap Tay Hong. Serunya:

“Entah Ciang-bun-jin suheng berdasarkan pasal berapa dari peraturan hukuman bunuh diri itu!”

Tay Hong siansu agak terkesiap, bentaknya:

“Berani me mbangkang kepada ketua, sudah termasuk salah satu pasal yang dapat dijatuhi hukuman mat i. Maka dalam kedudukan sebagai ketua Siau-lim-s i, sekarang kujatuhi engkau hukuman supaya menghantam ubun-ubun kepala mu sendiri….”

Tiba-tiba seorang paderi tua yang berada di samping, serentak berbangkit, serunya: “Dalam kedudukan sebagai ketua bagian hokum, loni hendak me mbela kesalahan Tay Goan sute. Ciang-bun sute telah  menjatuhkan  hukuman secara tidak adil. Sebagai salah seorang kepala bagian yang tergolong dalam kelima tianglo, walaupun berani me mbantah perintah ketua, tetapi Tay Goan sute tak dapat dijatuhi hukuman mat i!”

Ketika Siu-la m berpaling mengawas i, ternyata yang bicara itu adalah Tay Ih siansu.

Mata Tay Hong siansu berkilat me mandang kepada Tay Ih, serunya: “Atas nama tongkat Liok-giok-hud- leng, loni me mutus kan supaya Tay Goan sute segera menghabisi jiwanya sendiri dengan menghantam ubun-ubun kepalanya!”

Tay Hong menyertai ucapannya dengan menggerak- gerakkan tongkat kuma la  hijau  itu.  Sekalian  paderi  yang me lihat tongkat kuma la itu serempak menundukkan  kepala dan pejamkan mata. Tay Ih siansu pun mendekap tangan lalu mundur tiga tindak ke belakang.

Tay Goan siansu dengan lantang menjawab: “O mitohud! Suheng  dengan  gunakan  kekuasaan   Liok-giok-hud-ciang me mer intahkan loni supaya bunuh diri? Ah, sudah tentu loni tidak berani me langgar perintah itu…. Para suheng sekalian, sute mohon maaf!” Ucapan itu dibarengi dengan suatu gerakan menghantam batok kepalanya sendiri. Prak… Tay Goan siansu rubuh ma ndi darah di tanah.

Siu-la m terkejut sekali. Ia tak menyangka Tay Goan akan menga mbil keputusan begitu pendek. Karena ia tengah menyanggah mayat Tay Hui siansu, maka ia tak keburu mencegah perbuatan Tay Goan. Ia menjer it tertahan….

Sebaliknya wajah Tay Hong siansu tidak berubah, seolah- olah tak terjadi sesuatu. Kemudian ia mengangkat  tongkat Liok- giok- hud-ciang dan berseru nyaring: “Tay Ih suheng, harap mener ima a manat Liok-giok-hud-ciang!”

Tay Ih siansu seorang paderi tua yang penuh dengan toleransi besar. Selain ilmu silat, ia pun me mpunyai pengetahuan ilmu kebatinan yang tinggi. Tetapi demi melihat suasana bunuh-me mbunuh antara sesama suheng dan sute, ia tak dapat menahan getaran hatinya lagi. Dua tit ik air mata menetes turun.

“Apakah Ciang-bun-hong-tiang hendak perintahkan kepadaku?” tanyanya.

“Suheng adalah ko- chiu utama  dari paderi Siau- lim-si angkatan ketiga. Terimalah a manat tongkat Liok-gio k-hud- ciang ini. Dalam lima puluh jurus harus dapat me mbunuh orang yang berani menyelundup ke tempat terlarang sini….”

“Jika dalam lima puluh jurus siau-heng gagal menga lahkan mereka…?”

“Jika gagal, harap menebus dosa dengan ke matian!” tukas Tay Hong siansu.

Tay Ih siansu pejamkan mata. Wajahnya mengerut gelap. “Jika siau-heng menolak a manat Liok-giok-hud- ciang itu, bagaimana kah hukumannya?”

“Duduk menghadap ke utara, mencabut golok dan bunuh diri!”

“Itulah,” sahut Tay Ih tak gentar, “paling-pa ling hanya mati. Siau-heng me mberanikan diri sekali ini untuk meno lak amanat Liok-giok-hud-ciang!”

Habis berkata ia terus berputar tubuh. Duduk menghadap ke arah utara.

Tay Hong marah. Ia mengha mpiri   perlahan-lahan. “Suheng berani menola k a manat Liok-giok-hud-ciang? Sungguh suatu perbuatan yang mema lukan para sucou gereja Siau-lim-si!”

Sahut Tay Ih: “Ciangbun sute, hendaknya jangan menyebut-nyebut tentang para leluhur guru….”

Ia menghela napas panjang, ke mudian berkata lagi: “Tak perlu menyebut para leluhur kita. Cukup terhadap suhu kita saja. Beliau telah melimpahkan kepada mu  budi yang besar dan menumpahkan seluruh harapannya.  Toa-suheng  kita, pun de mi kepentinganmu telah meninggalkan gereja ini sehingga sa mpai sekarang sudah berpuluh tahun t iada beritanya lagi….”

Rupanya Tay Hong tersentuh hatinya mendengar kata-kata suhengnya itu. Ia ter menung dia m. Tiba-tiba Tay Ih siansu berbangkit bangun,  ujarnya: “Adalah karena kepercayaan suhu, maka peraturan Siau-lim-si yang turun-temurun telah dilanggar. Pengangkatan sute sebagai ciangbunjin adalah melanggar peraturan itu. Berat  nian kewajiban yang sute harus lakukan. Jika sute tak dapat menge mbangluaskan na ma Siau- lim-si,  itu  sudah  berarti  me langgar kepercayaan insu (guru yang berbudi). Apalagi jika sute sampai bertindak menumpas gereja ini, entah bagaimana sute kelak akan me mpertanggungjawabkan apabila sute besok menghadap insu di alam baka!”

Wajah Tay Hong mengerut  dalam.  Tetapi dari pancaran seri wajahnya, agaknya ia sadar tak sadar akan ucapan suhengnya itu. Dipandangnya Tay Ih siansu dengan taja m. Sekonyong-konyong ketua Siau- lim-si itu mengangkat tongkat Liok- giok- hud-ciang terus diayunkan ke kepala Tay Ih siansu.

Sesungguhnya Tay Ih siansu sudah mengetahui sikap sutenya itu. Akan tetapi karena ia kuatir akan merusakkan tongkat pusaka gereja, ma ka ia tak berani melawan dan hanya tundukkan kepala menant i ke matian.

Tetapi Siu-la m sudah siap. Tak mau ia melihat seorang paderi berilmu harus mengorbankan jiwanya secara sia-sia. Cepat ia melesat maju. Tangan kanan  me nghantam  Tay Hong, tangan kiri menya mbar tongkat Liok-gio k-hud-ciang.

Tay Hong menghindar ke samping. Ia turunkan tongkat untuk menutuk perut Siu- la m. Tetapi anak muda itupun tak kurang gesitnya. Ia miringkan tubuh seraya menerjang maju. Setelah terhindar dari ujung tongkat, ia segera lepaskan dua buah pukulan.

Untuk yang kedua kalinya Tay Hong terpaksa harus menghindari serangan kilat dari pe muda itu.

Siu-la m tak mau lanjutkan serangannya. Ia memandang ke arah sekalian paderi yang hadir di ruang itu. Tampak wajah mereka mena mpilkan ke mura man dan kegelisahan. Jelas mereka tak tahu apa yang harus dilakukan saat itu.

Tay Hong siansu me mutar tongkat kumala dan berseru nyaring: “Tay Ih suheng, lekas usir budak ini keluar!”

Tay Ih merenung sejenak. Akhirnya ia melangkah pelahan- lahan dan menghardik Siu-la m: “Segenap murid Siau- lim-s i, selalu taat kepada amanat  tongkat  Liok-giok-hud-ciang. Begitu tongkat itu muncul berarti sa ma dengan para leluhur cousu Siau-lim-si mena mpakkan diri. Perbawa kekuasaannya mut lak sekali….”

Siu-la m tertawa hambar: “Tetapi aku bukan murid Siau-lim- si. Rasanya aku tak perlu harus mentaati a manat tongkat pusaka itu….”

“Tetapi sebagai mur id Siau- lim-si, loni tak boleh tidak harus taat akan amanat tongkat Liok-gio k-hud-ciang itu!” tukas Tay Ih.

“Apakah ma ksud lo-cianpwe hendak mengus ir wanpwe dari ruang ini?” Siu-la m menegas.

“Loni sukar me mbantah a manat Liok-gio k-hud-ciang.

Harap Pui-s icu suka me maklumi!”

Me mandang ke arah Tay Hong siansu, Siu-la m me lihat mata ketua Siau- lim-s i berkilat-kilat bengis sekali. Jelas ketua Siau-lim-si itu bergerak hendak mengenyahkannya dari ruang itu. Na mun jika ia keluar dari situ, jelas tentu berpuluh korban akan jatuh. Bukan saja paderi golongan angkatan Tay, pun beratus-ratus paderi yang berada di halaman, akan tumpas binasa karena mentaati amanat Liok-giok-hud- ciang yang gila- gilaan.

Apabila dugaan Siu-la m tak meleset, Siau-lim-s i pasti akan lenyap dari dunia persilatan. Sebuah partai persilatan yang telah harum na manya selama beratus-ratus tahun, dalam sekejap mata saja akan habis ludas. Siu-la m berdiri bulu ro manya ketika  me mbayangkan peristiwa ngeri se maca m itu.

“Ah, biarlah aku menyalahi Siau- li-s i dan tak mau keluar dari ruangan ini daripada harus me lihat Siau- lim-si hancur lebur!” akhirnya ia me nga mbil keputusan.

“Jika wanpwe tak bersedia meninggalkan ruang ini?” tanyanya kepada Tay Ih siansu.

Tay Ih menghela napas panjang, ujarnya:

“Karena loni tak dapat me mbantah a manat dan sicu tak mau me ninggalkan ruang ini, terpaksa loni akan menyalahi sicu!”

Siu-la m berpaling ke arah La m- koay dan Pak-koay lalu berkata dengan sungguh-sungguh: “Ratusan tahun yang lalu, gereja Siau-lim-si ter masyhur sebagai pembasmi kejahatan. Baik golongan putih maupun hitam, se mua mengindahkan Siau-lim-si. Tetapi keadaan saat ini ternyata berlainan.  Jika aku pergi dari ruang ini dikuatirkan Siau-lim-s i ini akan hancur. Mungkin sejak saat ini nama Siau- lim-si itu akan terhapus dalam dunia persilatan!”

Siu-la m mengucapkan kata-katanya dengan lantang sekali. Setiap patah kata bagai pisau tajam menusuk ulu hati sekalian paderi Siau-lim-si. Tay Ih siansu berubah wajahnya. Dia tundukkan kepala, rangkapkan kedua tangan dan mengucap Omitohud!

Melihat  sekalian   paderi   tergerak    hatinya,    Siu-la m me lanjutkan kata-katanya lagi: “Siau-lim-si ter masyhur karena peraturannya yang keras. Tetapi masalah dunia ini,  tidak abadi sifatnya. Saat ini keadaannya berbahaya sekali. Menyangkut kelangsungan hidup atau kehancuran Siau- lim-s i. Dalam keadaan segmenting itu, rasanya sekalian leluhur Siau- lim-s i yang bersemayam di alam baka tentu takkan menyalahkan, apabila para cianpwe suhu melanggar peraturan itu!” Dari ucapan itu, Siu-lam hendak me mberi bisikan kepada sekalian paderi bahwa dalam keadaan genting seperti saat itu, tak perlulah kiranya harus mengikat diri pada peraturan- peraturan tongkat Liok-giok-hud-ciang atau kedudukan Ciang- bun-jin (ketua)….

Dia m-dia m Tay Ih siansu me mbatin: “Tujuan Tay Hong sute sudah jelas. Dengan mengandalkan kekuasaan tongkat Liok- giok- hud-ciang dan kedudukan sebagai Ciang-bun-jin, ia hendak menghancur kan Siau- lim-s i. Dan tampaknya pribadi Tay Hong sute jauh berbeda dengan yang lalu. Tentu terjadi sesuatu pada dirinya. Dalam keadaan seperti saat ini hanya aku dalam kedudukanku sebagai suheng, dapat melawannya. Jika hal itu me mang dianggap melanggar peraturan gereja, biarlah kelak kutebus dengan ke matian. Dengan begitu Siau- lim-s i takkan kehilangan gengsinya!”

Benih perlawanan mulai tumbuh, tetapi serempak dengan itu naluri kepatuhan akan peraturan gereja, pun mencengkeram hatinya. Dua maca m perasaan yang saling bertentangan, bergolak hebat dalam batinnya.

Keadaan dalam ruang musyawarah itupun sunyi senyap….

Tiba-tiba terdengar suara tertawa semaca m burung hantu mengukuk. Itulah suara tertawa seram dari Pak-koay Ui Lian.

“Buyung, perlu apa kau r ibut-ribut?”

Cepat Siu-lam berpaling ke arah tokoh aneh itu: “Bukankah lo-cianpwe berdua sudah me maha mi arti kata-kata bahwa janji seorang ksatria itu sungguh teguh, seperti tegak gunung Thaysan. Karena lo-cianpwe sudah sungguh me mbantuku, kuharap lo-cianpwe menepati janji itu!”

Pak-koay Ui Lian mendengus:  “Hm,  setelah  selesai menuna ikan janjiku itu, tentu akan kuberimu hajaran.”

Sekonyong-konyong terdengar suara musik mengalun. Dan serentak dengan itu berubahlah Tay Hong siansu. Sambil me mutar tongkat Liok-giok-hud- ciang ia segera menerjang Siu-la m sa mbil berseru me merintahkan sekalian paderi: “Lekas bunuh orang ini!”

Di bawah perintah dari tongkat pusaka gereja, sekalian paderi yang hadir di situ sere mpak hendak bergerak.

Tetapi Tay Ih siansu cepat mencegahnya: “Harap sekalian sute jangan tergesa-gesa  turun tangan dulu. Biarlah  dosa  me lawan a manat tongkat Liok-giok- hud-ciang suheng yang me mikulnya. Jelaslah sudah bahwa perangai Tay Hong sute telah berubah. Rupanya seperti telah dikuasai orang. De mi kepentingan Siau-lim-si, kita harus menyelidiki hal itu sejelas- jelasnya. Setelah hal itu jelas, barulah nanti suheng akan menebus dosa di hadapan arwah se mua leluhur Siau-lim-si!”

Yang hadir dalam ruangan, kebanyakan adalah paderi golongan gelar Tay. Jika bukan ketua bagian tentulah berkedudukan sebagai tianglo atau penilik gereja.

Dalam hati mereka sudah marah sekali menyaksikan perbuatan Tay Hong yang dengan mengandalkan kekuasaan tongkat  pusaka  dan  kedudukannya  sebagai  ketua   telah me mbunuh Tay Hui, Tay Goan, Tay Seng dan Tay Hi. Tetapi karena kepatuhannya akan peraturan gereja, mereka hanya dapat marah tapi tak berani me nyatakan apa-apa. Maka seruan Tay Ih yang bersedia me mpelopor i perlawanan terhadap tongkat Liok-giok-hud-ciang itu, ternyata mendapat sambutan yang baik. Merekapun hentikan langkah.

Tay Ih me mpunyai kedudukan yang tinggi dalam kalangan paderi golongan gelar Tay. Bahkan ketua Siau-lim-si yang sekarang, yakni Tay Hong, adalah sutenya. Sekalian murid Siau-lim-si menaruh perindahan tinggi kepadanya. Anjuran  Tay Ih itu cepat mendapat sambutan menyetujui.

Suara alunan musik itu makin la ma makin dekat. Dan beberapa saat kemudian sudah berada di luar ruangan besar. Saat itupun pertempuran antara Tay Hong lawan Siu- la m, pun sudah mencapai babak genting. Selain mengge mpur dengan tongkat kumala pun Tay Hong menyerempaki dengan gerakan jari dan pukulan untuk menyerang lawan.

Siu-la m lebih banyak bertahan daripada menyerang. Dia menyadari bahwa sekalipun para paderi itu tak puas dengan tindakan Tay Hong, tetapi jika ia sampai me lukai ketua Siau- lim-s i itu, tentu akan menimbulkan ke marahan sekalian paderi.

Tay Ih dan sekalian paderi yang hadir di situ, hanya diam me lihati pertempuran itu saja. Mereka tak me mbantu Tay Hong, pun tidak mau menghentikan perte mpuran itu.

Duapuluh jurus serangan telah dilancarkan Tay Hong namun kese muanya itu dapat dihindari Siu- la m.

Selama dalam perte mpuran itu, sekalian paderi me ndapat kesan bahwa ilmu kepandaian Tay Hong siansu jauh sekali bedanya dengan dahulu. Walaupun  serangannya tetap menggunakan  ilmu  ajaran   Siau-lim-si,   tetapi  gerakannya la mbat dan tidak bertenaga. Maka  dapatlah serangan- serangan itu dipatahkan Siu- la m.

Siu-la m sendiripun me mpunyai kesan de mikian. Ia heran mengapa Tay Hong sekarang tidak lagi sesakti seperti di kala paderi itu me mimpin serangan ke Beng-gak.

Saat itu benar-benar suara alunan musik sudah berada di luar ruangan. Nadanya makin menga lun cepat dan nyaring. Dan seperti mengikuti ira ma musik itu, gerakan Tay Hong pun makin gencar dan saru. Jelas bahwa ketua Siau-lim-s i itu  telah dipengaruhi oleh suara mus ik di luar.

Setelah mendengar dengan seksama, tiba-tiba Siu-la m merasa seperti pernah me ndengar bunyi musik itu. Dan serentak dengan itu teringatlah ia aka nasal-usul musik itu. Seketika tergetarlah hatinya. Wut, wut, ia lancarkan dua buah pukulan dahsyat. Setelah mengundurkan Tay Hong, segera ia berseru kepada kawanan paderi: “Ketua Siau- lim-si telah dikuasai orang Beng-gak. Musik yang melengking tajam itu, berasal dari gerombolan Beng-gak. Jika  sekalian toa-suhu tetap mengikat pada peraturan Siau-lim-si, rela me matuhi amanat Liok-gio k-hud- ciang, kehancuran gereja Siau- lim-s i pasti segera tiba!”

Dalam pada berkata itu, Siu-la m pun sudah menetapkan rencana. Ia gunakan jurus ajaran dari kakek Hian-song. Dan mulailah ia melakukan serangan balasan yang gencar. Tay Hong seketika terdesak mundur.

“Pui sicu, harap suka me mber i kelonggaran!” seru Tay Ih siansu.

“Jangan kuatir taysu, tak nanti ciangbunjin Siau- lim-s i akan kucelakai!” Siu-la m me mberi penegasan.

Cepat ia mengganti serangannya dengan jurus hud-hwat- bu-pian. Tangan kiri menganca m mencengkeram dada Tay Hong. Tangan kanan nyelonong dari  sa mping  menyambar siku lengan lawan. Sekali mene kan sekuat-kuatnya, tongkat Liok- giok- hud-ciang sudah berpindah ke tangannya dan cepat- cepat ia melesat mundur.

Sekalian paderi terkesiap kaget. Melihat tongkat pusaka Siau-lim-si direbut orang, mereka sere mpak hendak menyerbu. Bahkan Tay Ih siansu yang tadi jelas menentang Tay Hong, saat itupun mendahului menyerang Siu- lam dengan jurus Hud-hun-te-sing.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar