Wanita iblis Jilid 21

Jilid 21

SIU LAM menimang dalam hati: “Sela ma dalam perjalanan ke sini tadi, sikap paderi itu tampak hor mat sekali. Tentulah tempat ini merupakan pertapaan paman guru mereka. Kalau mereka berdua begitu menghor mat, itulah karena mereka anak murid Siau- lim-si. Tetapi aku bukan murid Siau- lim-s i, biarlah aku pura-pura tak tahu peraturan di sini.”

Secepat mendapat pikiran, ia terus loncat ke atas dinding tembok. Ternyata di dalam dinding tembo k itu terdapat tiga buah pondok yang berjajar-jajar. Setiap pondok besarnya hampir sa ma dengan tiga buah ka mar. Pondok itu tak terawatt sama sekali. Sekelilingnya penuh ditumbuhi rumput dan alang-alang yang liar. Ruang pondok ditabur dengan batu kerikil sebesar telur. Tiba-tiba Siu-la m agak terkejut. Ia melihat seekor kera putih tengah duduk bersila di atas dahan sebatang pohon siong.

Tay Hui dan Tay Ih tak mencegah tindakan Siu- la m.

Mereka berdiri di depan pintu sa mbil peja mkan mata.

Siu-la m batuk-batuk loncat ke bawah la lu me mbukakan pintu. Tay Hui me mbuka mata dan me mandang pe muda itu marah. Rupanya ia tak senang atas tindakan Siu- lam tetapi tak mengucap apa-apa.

“Omitohud!” Tay Hui berseru seraya melangkah pelahan- lahan ke dala m. Tay Ih siansu me ngikutinya dari belakang. Ketika melihat  kera putih yang duduk bersemedi di atas pohon, kedua paderi itu agak terkesiap dan mengha mpiri.

Ketika dekat, Tay Hui kerutkan dahi tetapi tak mengucap apa-apa. Kini Siu-la m baru mengetahui bahwa kera  putih yang duduk bersemedi di atas pohon itu ternyata sudah mati. Ketika melihat kedua pemimpin gereja Siau-lim-si bersikap amat menghor mat sekali kepada kera putih itu, Siu- lam pun buru-buru ikut me mberi hor mat.

Tay Hui menghela napas pelahan lalu menuju ke pondok yang terletak di tengah. Sebenarnya sebuah pondok yang indah buatannya, tetapi karena tak terurus maka merupakan sebuah pondok yang menyera mkan.

Beberapa langkah di muka pondok tengah itu Tay Hui siansu tiba-tiba berhenti dan berlutut, lalu berseru pelahan- lahan: “Tecu Tay Hui, dengan sangat terpaksa sekali menghadap susiok berdua. Karena bencana yang menimpa gereja Siau-lim-si dewasa ini benar-benar di luar kema mpuan tecu sekalian. Tay Hong suheng telah lenyap di markas Beng- gak. Bagaimana nasib belum  diketahui.  Dunia  persilatan bakal terancam ke musnahan yang ngeri. Tecu atas perintah Tay Hong suheng telah menerima tugas sebagai pejabat ketua Siau-lim-si. Tetapi sayang, karena tecu seorang bodoh, maka tak dapat mengatasi kesulitan ini. De mi untuk menjaga kelangsungan hidup gereja Siau-lim-si dan de mi kesela matan dunia persilatan pada umumnya, terpaksa tecu me mberanikan diri menghadap pada susiok berdua.”

Habis berkata Tay Hui segera me mber i hor mat tiga kali, lalu bangkit dan mendorong daun pintu  pondok.  Securah debu telah berha mburan ke tubuh Tay Hui.

Dengan berbisik-bisik Tay Hui menerangkan pada Siu- lam bahwa pondok itu adalah te mpat pertapaan kedua paman gurunya. Ia minta agar Siu-la m suka me mbatasi diri. Pemuda itu tersipu-sipu mengiyakan.

Perabot dalam pondok itu sederhana sekali. Kecuali sebuah balai-balai dari kayu, tak ada lain perkakas lagi. Sudut ruang penuh dengan sarang galagasi. Dia m-dia m pe muda itu heran karena tak melihat kedua paderi yang dikatakan sebagai paman guru dari Tay Hui dan Tay Ih itu.

Tay Hui dan Tay Ih tegak dengan meneliku tangan. Matanya me mandang ke sekeliling ruang buat mencari sesuatu.

Beberapa saat kemudian, delapan orang paderi me langkah masuk. Siu-la m masih ingat, bahwa  kedelapan orang paderi itu adalah paderi-paderi tingkat tinggi yang ikut hadir dalam rapat gereja di ruang Gi-su-thia tadi mala m. Di antaranya terdapat Tay To siansu, paderi itu masing- masing mencekal sebatang tongkat bambu.

Sejenak setelah me mandang ke arah rombongan paderi yang datang itu, Tay Hui segera melangkah ke sudut ruang. Setelah me mbersihkan debu-debu yang menumpuk tebal, ia mendorong. Tiba-tiba dinding te mbo k mereka dan tampaklah sebuah liang bundar yang kecil.

Rombongan paderi yang datang itu segera menya mbung bambu yang mereka bawa lalu dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat oleh Tay Hui tadi. Setelah selesai, Tay Hui minta rombongan paderi itu ke mbali.

Tay Hui me ngeluarkan sebuah giok-cu (za mrud), dimasukkan ke dalam lubang bambu. Kemudian ia duduk bersemedi di lantai. Setiap sepenanak nasi la manya, paderi  itu me masukkan sebuah giok-ci lagi. Habis me masukkan giok- cu, dia duduk berse medi lagi.

Tak kurang dari lima biji giok-cu telah dimasukkan dalam bambu dan me makan waktu sa mpai dua jam la manya. Tetapi tetap tiada reaksi suatu apa.

Karena kesal melihat itu, Siu-la m segera ikut bersemedi. Ketika sadar, matahari pun sudah mulai condong ke barat. Dilihatnya kedua paderi itu masih tetap bersemedi.  Dia m- diam Siu- lam me muji konsentrasi yang hebat dari kedua pimpinan Siau-lim-si itu! 

Pada saat Siu-lam menarik napas, kejutnya  bukan kepalang. Terasa darah mengha mbur ke dadanya.  Buru-buru ia berusaha untuk menahannya. Kemudian berjalan mondar- mandir dalam ruang itu.

Ruang pondok itu sudah bertahun-tahun tak disapu. Debu menumpuk tebal sekali. Baru dua kali berjalan mondar- mandir, debu berhamburan me menuhi ruangan sehingga jubah kedua paderi itupun berlumuran debu.

Tiba-tiba Siu- lam mendapat pikiran. Sesaat ia lupa akan tempat di situ. Kakinya tak henti-hentinya bergerak sehingga debu makin la ma makin tebal.

Akhirnya Tay Ih tak dapat bersabar lagi, serunya berbisik; “Ha mpir. Pui sicu jangan keras-keras berjalan!”

Tetapi rupanya Siu-la m tak menghiraukan dan terus bergerak-gerak saja. “Ah, rupanya dia tak sabar menunggu maka sengaja menyepak-nyepak debu supaya kita keluar. Ah, lebih baik tak usah menghiraukannya!” bisik Tay Hui.

Tay Ih siansu gelengkan kepala: “Masakan dia sendiri tak terganggu matanya?” Paderi itu segera memandang dengan seksama. Dilihatnya pemuda itu tengah mera m tetapi jari tangannya menggurat-gurat, entah sedang bermain apa.

Kiranya suatu hal yang tak terduga-duga telah dialami Siu- la m. Biasanya jika berse medhi, ia tak dapat mengosongkan pikiran benar-benar. Karena terlalu tercekam oleh pikiran- pikiran yang tak lepas. Kuatir akan kedatangan musuh atau teringat akan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Tetapi saat itu lain sekali halnya. Karena dekat dengan kedua paderi Siau-lim-si, ia tak me mpunyai kekuatiran apa-apa dan lepaslah segala isi hatinya. Dia dapat bersemedhi dengan se mpurna, mengosongkan pikirannya menungga lkan pribadi dalam alam kehampaan.

Ternyata hal itu membawa khasiat yang luar biasa. Bersemedhi dengan benar-benar kosong pikiran menya mai hasilnya dengan berlatih lwekang sela ma berbulan-bulan.

Ketika ia bangun, sebenarnya hawa murni yang masih menebar di tubuhnya itu belum reda.

Karena belum pernah merasakan hal ini maka Siu-la m agak kaget. Tetapi beberapa saat kemudian, ia rasakan tubuhnya nyaman sekali, pikiran terang benderang. Seketika iapun teringat akan jurus Jiau-toh-co-hoa ajaran dari orang tua dalam goa. Ingatannya segera merayap dan menyusuri inti gerak-gerak jurus itu. Makin la ma makin jelaslah ia akan keindahan dan kesaktian yang terpendam dalam ilmu itu. Ibarat orang menggali, makin dalam ia makin mene mukan benda kuno yang t iada ternilai harganya. Terbenamnya Siu-la m ke dalam alam yang baru itu, tanpa disadari, ia telah melakukan gerakan tangan menirukan jurus Jiau-toh-co-hoa….

Melihat pe muda itu tetap bolak-balik  dan melakukan gerakan tangan, kembali Tay Ih berbisik pada Tay Hui: “Rupanya pemuda itu sudah linglung. Mengapa dia  bolak- balik di te mpat yang punya debu….”

“Tetapi agaknya dia sedang mela kukan gerakan ilmu silat,” sahut Tay Hui.

Tay Ih pun mengawasi dengan cermat. Memang  pe muda itu bergerak-gerak secara aneh sekali. Walaupun  kedua paderi itu termasuk jago-jago silat kelas satu, tapi mereka tak mengerti  apa  yang  tengah  dilakukan  pe muda   itu.   Dan me mang gerakan Siu- lam itu tak menyerupai pukulan ilmu silat yang manapun juga.

Baik Tay Hui maupun Tay Ih tercengang. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara halus yang me mancar dari dalam buluh bambu: “Tay Hong sutit? Apa dalam gereja terjadi sesuatu?”

Tay Ih siansu terkejut. Setelah mengga mit Tay Hui, ia segera loncat menyerbu Siu-lam untuk menghent ikan tindakan pemuda itu.

Tay Hui cepat-cepat menyahut melalui buluh ba mbu: “Tecu Tay Hui, mohon maaf sebesar-besarnya karena berani mengganggu susiok berdua.”

Dalam pada itu Tay Ih yang menyerbu Siu-la m tadi, telah menga la mi peristiwa yang mengejutkan. Ketika ia ha mpir dekat  dengan  pemuda  itu,  tiba-tiba   tubuh   pemuda   itu me mancarkan angin tenaga yang mena mpar padanya. Begitu tenaga itu me mbentur badannya, bukan lenyap tapi malah makin dahsyat. Terpaksa Tay Ih menangkisnya.

Siu-la m   tersadar   dari   kelelapannya.   Melihat    debu me menuhi ruang, buru-buru ia hentikan gerakannya dan minta maaf. Tetapi cepat-cepat Tay Ih me mber i isyarat agar pemuda itu jangan buka suara karena dapat mengganggu Tay Hui. Siu-la mpun menurut. Ketika  me mandang  ke arah Tay Hui, dilihatnya pejabat ketua itu tengah bicara.

“Tay Hong suheng dengan tiga puluh enam mur id, telah menuju ke Beng-gak. Ketiga puluh enam murid tingkat hou- hwat itu binasa semua dan Tay Hong suheng tak ketahuan nasibnya. Dalam keadaan terpaksa, tecu bermusyawarahan dengan tianglo….”

Kata-kata Tay Hui itu tak dilanjutkan karena dari buluh bambu terdengar penyahutan. Tay Ih dan Siu-lam pasang pendengaran dengan seksa ma.

Terdengar suara yang lembut maca m nyamuk mengiang: “Ya, ketahuilah. Tengah mala m nanti bersama susiokmu, aku hendak menghentikan perse median. Tetapi waktunya tak boleh lebih dari dua jam. Apa yang hendak kau  ajukan, tulislah se mua agar jangan ada yang kelewatan!”

“Tecu akan mela ksanakan perintah,” dengan khidmad Tay Hui siansu me mberi hor mat lalu bangkit.

Siu-la m ter mangu berapa saat, baru ia menanyakan apakah yang bicara tadi kedua pa man guru kedua paderi itu.

“Benar, yang bicara tadi me mang salah seorang supeh loni,” jawab Tay Hui.

“Berse medi sela ma t iga puluh tahun, benar-benar aneh sekali. Jika tak menyaksikan sendiri, tentu tak mungkin percaya,” kata Siu- la m.

Tay Hui mengaja k mereka keluar. Setelah berada di luar, pejabat ketua Siau-lim-si itu menghe la napas: “Sebelum mendapat jawaban tadi loni me mang tak  yakin.  Sebelum pergi ke Beng-gak, setiap tiga tahun sekali Tay Hong suheng tentu datang kemari. Kecuali mengajak Tay Ih suheng, ada kalanya, lonipun diajak ke mar i….” “Apakah setiap kali juga menggunakan buluh ba mbu untuk bicara?” tanya Siu- la m.

Tay Hui gelengkan kepala: “Tidak, karena pada waktu itu ada kera putih yang menjadi penghubung. Dengan otaknya yang luar biasa cerdasnya, Tay Hong siansu telah dapat menyela mi gerak-gerik dan bahasa kera putih itu. Dengan perantara kera putih itulah maka Tay Hong suheng dapat mengetahui keadaan kedua pa man guru kami. Pun tadi ka mi hendak berbuat begitu, sayang kera putih itu sudah tewas.”

Demikian mereka bertiga segera kembali ke dalam induk gereja. Sebelumnya Tay Hui telah me merintahkan supaya di sekeliling pondok pertapaan kedua paman gurunya itu dijaga keras. Hal itu untuk menghadapi ke mungkinan musuh menyerbu agar jangan sa mpai mengganggu kedua pa man gurunya.

Tay Ih mempers ilahkan Siu-la m beristirahat dan nanti tengah ma lam supaya datang ke ruang Kwat-si-wan lagi.

Karena pakaian Siu-la m kotor, ia minta pinjam  jubah paderi. Tetapi Tay Hui keberatan. Ia  suruh seorang paderi kecil me mbawa Siu- lam ke sebuah desa yang terletak di belakang gereja. Di situ terdapat beberapa perumahan rakyat dan anak sungai.

Tiba di sebuah rumah, tiba-tiba seorang gadis muncul dan menegurnya: “Siapa kau…!”

Gadis itu berusia lebih  kurang delapan belas tahun. Mengenakan baju pendek warna biru, rambutnya dikuncir panjang dan sedang mencekal jarum dan benang. Rupanya ia sedang menjahit.

Walaupun seorang gadis gunung tetapi ia tidak pe ma lu. Begitu me mikat Siu- la m, segera ia menegurnya: “Tuan tentu datang dari jauh, apakah tidak lapar?” Siu-la m geleng kepala dan menanyakan ayah gadis itu. Rupanya gadis itu pernah mener ima pelajaran sastra. Ia mengerti akan pertanyaan Siu-lam yang menggunakan bahasa halus.

“Ayah sedang mencari kayu, adikku sedang mengge mbala. Jika tuan me mbutuhkan apa-apa, silahkan bilang kepadaku,” sahutnya.

“Terima kasih aku tak berani merepotkan nona. Lebih baik aku hendak bertanya pada rumah di seberang itu,” jawab Siu- lam seraya ngeloyor pergi.

Melihat gerak-gerik pe muda itu, si gadis tersenyum dan menggerutu: “Ah, seorang kutu buku!”

Siu-la m tak menghiraukan dan terus mengha mpir i ke gubuk yang satu. Kemudian ia berseru nyaring minta buka pintu.

Dari dalam gubuk muncul seorang wanita muda yang cantik. Siu-la m tercengang dan dia m-dia m mengeluh. Tetapi karena terlanjur sudah mengetuk pintu, terpaksa ia bertanya juga: “Tolong tanya, apakah ayah nona berada di rumah?”

Gadis itu gelengkan kepala, tertawa: “Rumahku di gunung itu. Di sini rumah bibiku!”

Kembali Siu- lam mengulang pertanyaan, apakah ada lain orang lagi di rumah situ. Gadis itu tertawa: “Di dusun daerah gunung yang sepi, penghidupan amat sederhana sekali. Siang hari orang lelaki keluar bekerja. Ah, tuan datang terlalu pagi.”

Siu-la m tak mau terlibat dalam pe mbicaraan lebih panjang lagi. Segera ia minta diri. Tetapi gadis itu mendesaknya: “Eh, tuan me mpunyai keperluan apa?”

Terpaksa Siu- lam menerangkan maks udnya hendak pinjam pakaian. Kalau disetujui, ia bersedia mengganti kerugian dengan uang. “Ah, di tempat terpencil ini, uang tidak berguna lagi. Sekalipun tuan punya banyak uang aku tak berani menerima!” sahut gadis itu.

Siu-la m terkesiap. Dia m-dia m ia me mbatin, ucapan gadis itu ma kin la ma makin tajam. Tentulah bukan sembarang wanita. Ia minta maaf dan buru-buru pergi.

“Tunggu tuan!”  tiba-tiba  wanita   itu   berseru,   “Akan kua mbilkan barang itu!”

Tanpa menunggu penyahutan Siu-la m, gadis itu  terus masuk ke dalam dan berapa la ma muncul me mbawa sebuah bungkusan putih lalu dile mparkan ke arah Siu-la m: “Harap tuan terima!”

Siu-la m hendak menghaturkan terima kasih tetapi wanita itu sudah berputar diri dan masuk ke dalam lagi, lalu menutup pintu. Siu- lam pun segera tinggalkan pondok itu.  Ketika tiba di tepi sungai barulah ia teringat akan me mbuka bungkusan itu. Kejutnya bukan kepalang. Selain berisi pakaian  dalam yang mahal, pun terdapat seperangkat pakaian seorang bu-su (perwira tentara) warna hitam. Bagian dadanya  disulam dengan lukisan naga terbang.

Bermula ia hendak me nge mbalikan saja pakaian itu kepada wanita tadi tetapi mengingat pakaiannya sudah tak keruan, terpaksa ia me makainya juga.

Selain pakaian bu-su, pun terdapat lagi sebuah mantel warna merah dan sepasang sepatu. Begitu me makainya, tampaklah ia lebih gagah.

“Ah, dalam pakaian itu Pui sicu tampa k lebih gagah sekali…” tiba-tiba paderi kecil yang mengantarnya tadi berseru.

Siu-la m ayun tubuhnya melo mpati  sungai itu seraya berseru: “Ah, janganlah siau-suhu keliwat menyanjung diriku!” Mereka pulang ke gereja lagi. Ketika tiba di muka pintu, tiba-tiba Siu-la m berhenti dan bertanya: “Siau-suhu, siapakah yang mene mpati kedua gubuk itu?”

“Mereka sudah la ma tinggal di situ. Aku jarang  sekali keluar gereja. Yang kuketahui gubuk itu dihuni banyak orang. Laki- laki, wanita tua dan muda. Tetapi aku tak tahu asal-usul mereka.”

“Apa siau-suhu tak pernah mendengar apa yang mereka bicarakan?”

“Peraturan gereja keras sekali. Dilarang mencari dengar pembicaraan orang!”

Karena menganggap percuma mencar i keterangan kepada paderi kecil itu, Siu- lam melanjutkan langkahnya masuk gereja. Karena diperlakukan sebagai seorang tetamu terhormat, kawanan paderi Siau-lim-si menaruh hor mat kepadanya.

Paderi kecil itu me mbawa Siu- lam ke sebuah ruang.

Penunggu dan me mpersilahkannya beristirahat.

“Jika perlu apa-apa, harap Pui sicu me manggil pinceng,” kata paderi kecil itu seraya melangkah keluar.

Saat itu pikiran Siu-la m sedang dicurahkan pada peristiwa nanti ma la m. Ialah akan keluarnya kedua tokoh angkatan tua Siau-lim-si dari perse medhiannya yang sudah berlangsung tiga puluh tahun. Tetapi ia bukan anak murid Siau-lim-si.  Tentu  tak diperbolehkan mene mui.

Apa boleh buat, dalam saat ketenggangan itu, ia gunakan untuk bersemedhi. Dalam kelelapan mengosongkan  pikiran itu, ia mulai merenungkan gerakan-gerakan ilmu pedang Jiau- toh-co-hua ajaran kakek dari Hian-song yang sakti itu.

Hari makin kela m. Entah berapa lama ia terbenam dalam persemedhiannya itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berdoa. Ia terkejut dan serentak bangun. Didapatinya Tay Hui siansu tegak di sa mpingnya, dengan wajah ramah, paderi itu tertawa: “Apa saja yang meresahkan pikiran Pui sicu sehingga tak se mpat ma kan ma la m?”

Dalam hati Siu- lam menggerutu, dalam se medinya tadi ia tak berhasil mengingat jurus-jurus ilmu pedang Jiau-toh-co- hua. Mengatakan hal itu kepada Tay Hui, pun percuma saja. Maka ia   menyahut   sembarang   mengatakan   bahwa   ia me mikirkan tentang orang-orang yang tinggal di pondok di belakang gereja itu.

“Apakah pakaian yang sicu kenakan itu pe mberian mereka?”

Siu-la m mengiyakan: “Benar, jika orang dusun, tentu tak mungkin me miliki pakaian begini!”

Jawab Tay Hui: “Me mang mereka bukan orang  dusun biasa, tentu mereka sudah berpuluh tahun tinggal di situ dan hidup dengan tenang.”

“Apakah mereka orang-orang persilatan?”

“Dahulu mereka me mang bersahabat dengan  para angkatan tua gereja ini. Berpuluh-puluh tahun tak terjadi suatu apa. Sebagai orang agama, kami tak mau menca mpuri lain orang, menyelidiki asal-usul mereka!”

Siu-la m mengatakan bahwa ia hanya sekedar saja. Kemudian pejabat ketua Siau-lim-s i itu menerangkan bahwa setelah berunding dengan beberapa suheng dan sutenya, Siu- lam hendak diundang menghadiri pertemuan dengan tokoh tua nanti mala m.

Siu-la m girang sekali.

“Sebenarnya loni tak berani mengganggu sicu.  Tetapi  untuk menjaga ke mungkinan keterangan loni ada yang kurang lengkap, maka dapatlah sicu mena mbahinya….” Maka berangkatlah Tay Hui dengan Siu-la m menuju ke paseban di padang rumput. Penjagaan dilakukan ketat sekali. Setiap lima langkah terdapat penjagaan dan tiap sepuluh langkah sebuah pos penjagaan. Semua paderi bersenjata lengkap seolah-o lah sedang me nunggu kedatangan musuh.

Tay Hui me melopor i berjalan masuk ke dalam paseban yang dikelilingi pagar ba mbu. Di sekeliling ruang paseban itu penuh dengan paderi Siau-lim-si, dari tingkat ketua-ketua paseban, para tianglo, yang menjabat pemilik gereja dan paderi-paderi yang berkedudukan tinggi dalam gereja.

Yang duduk di sebelah muka ialah Tay Ih siansu. Tay To siansu berada di belakangnya. Begitu melihat kedatangan Tay Hui bersa ma Siu- la m, sekalian paderi itu hanya me mberi salam anggukan kepala. Tetapi mereka tetap duduk bersila di tanah.

Setelah menunjuk te mpat bagi Siu- la m, Tay Hui siansupun segera duduk di sebelah Tay Ih.

Suasana di sekeliling pondok yang lebih tepat disebut sanggar pemujaan (tempat bertapa) itu, hening lelap. Jendela dari sanggar itu tetap  terkancing  rapat.  Dalam kepekatan ma la m, kera putih yang duduk bersila di atas dahan pohon itu, makin jelas.

Menengadah ke langit, Siu- lam melihat bintang-bintang sudah berkisar, pertanda sudah lewat tengah  mala m. Berpaling ke arah kawanan paderi, dilihatnya wajah mereka tampak serius. Bibir bergetar-getar seperti sedang berdoa.

Tak berapa la ma ke mudian tiba-tiba terdengar suara mendesis-des is perlahan. Sekalian paderipun mulai me mbuka mata. Beratus-ratus mata mencurahkan ke arah sanggar itu.

Pada lain saat, terdengar suara orang menyebut O-mi-to- hud yang halus. Menyusul terdengar lengking suara maca m bunyi nyamuk me ngaung di telinga: “Tay Hui sutit!” Tay Hui siansu serentak berbangkit dan me mber i hor mat, serunya: “Tecu Tay Hui, bersama sekalian kepala paseban dan para tianglo, berkunjung menghadap supeh dan susiok!”

Dengan tundukkan kepala, Tay Hui siansu me langkah mengha mpiri sanggar. Se mua paderipun mengikut i tindakan pemimpin mereka. Siu-la m berada paling belakang sendiri, mengikut i Tay To siansu.

Tiba di muka pintu, Tay Hui siansu berhenti dan berseru perlahan: “Ijinkanlah tecu masuk.”

“Masuklah!” terdengar penyahutan perlahan dari dalam sanggar.

Dengan hati-hati, Tay Hui melangkah ke dalam sanggar. Sekalian paderipun mengikutinya dengan langkah yang perlahan sekali sehingga tak menimbulkan suara.

Ruang sanggar itu gelap gulita.

Siu-la m me mandang dengan seksa ma. Ta mpa k dua orang lelaki tua duduk bersila menyender pada dinding te mbok ruangan. Yang seorang berambut putih seperti salju, menjulai panjang. Yang seorang berkepala gundul tetapi me melihara jenggot panjang yang masih hita m. Sayang karena ruangan gelap sekali, maka tak dapat melihat wajah mereka dengan jelas.

Adalah orang tua berambut putih yang buka mulut lebih dahulu: “Silahkan kalian duduk!”

Tersipu-sipu sekalian paderi itu me mbungkuk me mberi hormat lalu duduk di lantai.

Lalu orang tua berkepala gundul  mulai  berkata: “Bagaimana dengan Tay Hong sutit?”

“Sa mpai saat ini belum ada beritanya,” sahut Tay Hui. Orang  tua  berambu  putih  itu  menghe la  napas  pelahan:

“Sebelum mulai bertapa,  loni pernah bersama  Tay  Hong  sutit me mbicarakan soal ilmu pelajaran Buddha. Antaranya dia menanyakan tentang keadaan dunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun ini. Pada saat itu dunia persilatan sedang digempar kan oleh desas-desus tentang munculnya tokoh sakti Lo Hian. Loni gelisah mendengar cerita  itu.  Lo Hian cinjin seorang tokoh aneh yang termasyhur sakti sekali, tetapi segala desas desus tentang dirinya itu, belum pernah ada orang yang dapat me mbuktikan.”

Orang tua berambut putih berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Ber maksud hendak mere mehkan tokoh-tokoh angkatan tua, tetapi karena kuatir dia hendak me nggunakan kesaktiannya untuk menundukkan dunia, ma ka loni telah gunakan waktu delapan tahun menge mbara ke mana- mana mencarinya. Loni ingin sekali berte mu muka. Tapi sayang, tiada berhasil….”

Tampak paderi tua itu merasa menyesal  atas kegagalannya. Ia menghela napa pelahan, ujarnya: “Jika  dia tak mengetahui tindakannya itu masih tak  mengapa.  Tapi jelas dia tahu bagaimana aku bolak-balik menje lajah gunung dan hutan belantara hanya perlu untuk mene muinya. Tetapi rupanya dia me mang sengaja tak mau mene mui aku….”

Sebagai seorang paderi angkatan tua yang tinggi kedudukannya, paderi berambut putih itu sangat dihormati sekali oleh sekalian mur id Siau- lim-s i. Sekalipun ucapan tadi belum selesai, na mun tiada seorangpun yang berani bertanya.

Tiba-tiba Siu-la m yang tak kuat menahan keinginan tahu, serentak bertanya: “Bagaimana lo-cianpwe mengetahui bahwa Lo Hian cinjin sengaja tak ma u menjumpai lo-cianpwe?”

Agaknya paderi tua berambut putih itu tengah merenungkan peristiwa yang la mpau. Dia tak mengacuhkan  pertanyaan Siu-la m.

Beberapa saat kemudian baru ia kedengaran  berkata: “Kalau tak salah, telah kute mukan sebuah tulisan di atas batu karang di gunung Kiu-hoa-san. Tulisan  itu  berbunyi menganjur kan aku supaya pulang ke gereja  saja.  Percuma aku  me mbuang  waktu   dan   tenaga   berjerih   payah menge mbara ke mana- mana. Sekalipun berpuluh-puluh gunung kudatangi, tak nanti dapat  mene muinya.”  Begitulah isi tulisan di karang  itu.  Dan jelas bahwa  tulisan itu belum   la ma dibuat. Timbul seketika dugaanku, jika tak berada di sekeliling situ, mustahil dia dapat mengetahui aku bakal  datang ke situ?”

Tiba-tiba Siu- lam nyeletuk: “Wanpwe pernah dengar tentang munculnya Lo Hian pada lima-ena m puluh tahun yang lalu. Jika lo-cianpwe mencari jejaknya pada  tiga  puluhan tahun yang lalu, apakah Lo Hian masih hidup?”

Paderi tua itu menghela napas pelahan: “Jika perkiraan loni tak salah, Lo Hian sa mpa i sekarangpun masih hidup!”

Ucapan itu me mbuat sekalian hadirin terperanjat.

Paderi tua itu melanjutkan kata-katanya lebih jauh: “Sama sekali aku tak ber maksud me mbuat orang terkejut. Tetapi tentang masih hidupnya Lo Hian itu, pun baru saja timbul dalam pikiranku!”

Peristiwa tiga puluh tahun yang la lu, baru saja dia dapat menarik kesimpulan. Sudah tentu kejut sekalian hadirin ma kin me mbesar. Untung karena hadirin di situ seluruhnya paderi mur id- mur id Siau- lim-s i (kecuali Siu-la m), maka merekapun tak menganggap paderi berambut putih itu sedang mengoceh. Walaupun heran tetapi para paderi itu tak berani bertanya.

Siu-la m me mandang ke sekeliling. Ia tahun bahwa hadirin yang berada dalam sanggar itu adalah paderi-paderi murid Siau-lim-si se mua. Paderi berambut putih itu, dewasa ini merupakan tokoh angkatan tua yang paling tinggi kedudukannya. Ketua Siau-lim-si yang sekarang adalah murid keponakannya. Siu-la m me mpunyai kesan bahwa sekalipun janggal ucapannya tetapi para paderi itu tak berani bertanya. Diam- diam ia me mbatin dan menga mbil keputusan untuk bertindak. Hanya saja dialah yang dapat bertindak bebas dari segala rasa takut yang mengindahkan.

Setelah berbatuk-batuk sejenak, berserulah ia dengan nyaring: “Lo-cianpwe, maafkan atas kelancangan wanpwe. Apakah peristiwa yang berlangsung pada tiga puluh tahun berselang, baru sekarang lo-cianpwe dapat menarik kesimpulan?”

“Benar, me mang peristiwa tiga puluh tahun yang lalu itu baru sekarang aku terang. Selama tiga puluh tahun itu, aku selalu menimpahkan kesalahan pada Lo Hian saja!”

“Maaf, sudilah kiranya lo-cianpwe suka me mberi penjelasan yang jelas!”

Tiba-tiba paderi tua itu kedipkan mata dan  menatap ke arah Siu-la m, serunya: “Pinceng hanya punya waktu singkat turun dari sanggar pemujaan. Pinceng tiada punya waktu untuk bicarakan hal-ha l yang tak penting. Mengapa sicu terus-menerus mendesak saja? Tindakan  sicu  itu mengganggu pemusatan pikiran pinceng dalam merenungkan peristiwa tiga puluh tahun itu.”

Paderi tua itu menghela napas dan menukas kata-kata Siu- la m: “Pada saat me lihat tulisan itu, loni marah sekali.  Dalam ke marahan loni terus pulang ke gereja, tak mau menghiraukannya lagi. Bersama sute, loni lalu bertapa selama tiga puluh tahun. Bermula loni kuatir tak dapat melaksanakan rencana itu. Karena sejak dahulu, para paderi angkatan tua, paling la ma hanya kuat bertapa sampai sepuluh tahun saja.”

“Ikrar loni untuk bertapa sampa i tiga puluh tahun itu, sebagian besar disebabkan karena kemarahan loni terhadap  Lo Hian. Loni hendk gunakan waktu bertapa tiga puluh tahun itu untuk meyakinkan ketujuh puluh dua ilmu kesaktian Siau- lim-s i. Selesai bertapa, loni hendak menantang Lo Hian untuk mengadu kesaktian.”

“Tetapi, ah, setelah bertapa selama tiga puluh tahun, dendam perasaan loni ternyata lenyap. Cita-cita untuk  berebut nama, menjadi reda. Tetapi hasil dari pada pertapaan itu, loni makin menyerapi lebih dalam akan ilmu kesaktian pusaka gereja Siau- lim-s i….”

Kini tahulah Siu- lam apa sebab paderi tua itu bertekad untuk bertapa sela ma tiga puluh tahun.

Paderi tua itu berkata pula: “Sejak masuk dalam pertapaan, loni tak tahu lagi tentang segala perubahan yang terjadi di dunia persilatan. Tetapi yang jelas hanya tokoh yang me miliki kesaktian se maca m Lo Hian saja yang ma mpu me ngalahkan Tay Hong sutit. Andaikata bukan Lo Hian sendiripun tentulah mur id yang menjadi pewarisnya….”

“Lo-siansu menebak jitu sekali.  Ketua  Beng-gak  adalah mur id pewarisnya Lo Hian!” seru Siu-la m.

Tay Hui melihat bintang-bintang di langit sudah mulai condong, pertanda hari sudah menjelang terang tanah. Buru- buru ia berseru: “Tay  Hong  suheng  terjebak  di  Beng-gak, me mang sesungguhnya. Tecu amat gelisah sekali karena peristiwa itu, mohon supeh suka me mber i petunjuk bagaimana untuk menyelesaikan peristiwa.”

Paderi tua yang gundul ta mpak merenung. Beberapa saat ke mudian, baru ia berkata: “Jika ketua Beng-gak itu benar- benar mur id Lo Hian maka Lo Hian telah mengabaikan sifat- sifat manus ia. Dia hanya suka pada bakat tetapi lupa bahwa sifat pembawaan manusia itu sukar dirubah. Loni benar-benar ingin berte mu muka dengan orang sakti itu untuk tukar pikiran….”

Paderi gundul merasa kelepasan omong. Ia berhenti dan berganti nada: “Tay Hong sutit merupakan bunga kebanggaan Siau-lim-si. Selain berbakat bagus, cerdas dan bijaksana pun seorang yang me megang teguh keadilan dan kebenaran. Dapat menarik garis tajam antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Di samping itu, dia merupakan bintang ce merlang dari Siau-lim-s i. Tiada seorang pun yang ma mpu menandingi kepandaian dan kesaktiannya!”

Paderi gundul yang jarang bicara, tiba-tiba menyeletuk: “Yang sedang kita hadapi sekarang, rupanya bukan lagi soal hilangnya jejak Tay Hong sutit, tapi ancaman dari pihak Beng- gak akan me ngge mpur gereja Siau-lim-si… ”

“Benar,” sahut Tay Hui siansu, “tecu benar-benar kehilangan paham untuk mengawasi hal itu.  Sedang  Tay Hong suheng yang begitu sakti, hilang lenyap di Beng-gak, apalagi tecu yang lebih rendah kepandaiannya. Benar-benar tecu tak sanggup me mikul beban yang seberat ini!”

Paderi gundul itu berpaling dan berbisik-bisik kepada paderi tua berambut putih: “Soal Tay Hong sutit, kiranya dapat kita pertangguhkan sampai di lain waktu. Tetapi yang penting adalah menjaga kesela matan gereja Siau-lim-si… ” suara paderi itu ma kin perlahan sekali sehingga sukar didengar lagi.

Paderi berambut putih itu menyahut: “Me mang hal itu berbahaya sekali. Apabila dia masih me manjakan sifat- sifatnya yang ganas, tentu hebat sekali akibatnya!”

Kata si paderi gundul: “Empat puluh tahun merupakan jangka waktu yang panjang. Betapa  ganas perangai seseorang, tetapi setelah mela lui waktu sekian la ma, tentulah akan berubah lebih baik.”

Tetapi rupanya paderi tua berambut putih itu menggeleng: “Siauheng me nganggap perangai seseorang itu adalah sifat pembawaannya. Sukar berubah.  Cobalah kita renungkan diri Lo Hian itu sendiri. Dia seorang yang sangat  sakti  tetapi karena sedikit salah langkah dia harus mene mui keakhiran hidup yang menggenaskan!” “Kecuali itu, apakah suheng me mpunyai  rencana  untuk me mpertahankan kelangsungan hidup dari gereja kita ini?” tanya si paderi gundul.

Sepasang mata paderi berambut putih itu berkilat-kilat beberapa saat.  Akhirnya  berkatalah  ia:  “Sute,  harap  sute me lanjutkan pertapaan sute sa mpai tercapai apa yang kita cita-citakan itu. Biarlah suheng yang akan menanggulangi ancaman musuh itu….”

“Ah, mana bisa!” bantah paderi kepala gundul, “Suheng hampir selesai dalam pertapaan. Dari suhenglah nantinya warisan ilmu gereja Siau- lim-s i itu akan me mancarkan sinar kejayaannya kembali. Jika suheng lepaskan pertapaan, selain menghadapi bahaya Co-hwe-jih-mo (darah dalam tubuh binal sehingga orang akan menjadi cacad), pun akan menelantarkan ilmu kesaktian yang suheng telah capai sela ma ini. Apabila suheng sampa i kena apa-apa, berarti suatu kerugian besar bagi  Siau-lim-si. Akibatnya  dunia  persilatanpun   akan mender ita malapetaka. Jika suheng setuju, biarlah sute saja yang tinggal di luar untuk menghadapi kedatangan musuh….”

Paderi rambut putih merenung sejenak, ujarnya kemudian: “Dahulu ketika toa-suheng masih hidup,  dengan seluruh kekuatan dan derita barulah toa-suheng berhasil me mikat Lam- pak-ji- koay dan mengurungnya di belakang gunung. Karena peristiwa itu maka toa-suheng sampai menderita luka berat dan akhirnya menutup mata. Jika  sekarang kita lepaskan kedua tokoh itu, bukankah kita menyalahi pesan toa- suheng. Apalagi kedua orang yang dikurung di belakang gunung itu, belum lenyap kesaktiannya. Begitu keluar dari kurungan, dikuatirkan sifat liar mereka akan ka mbuh lagi. Jika sampai  terjadi  begitu  di  dunia  persilatan  siapakah  yang ma mpu menundukkan mereka? Kesaktian mereka,  belum tentu kalah dengan orang Beng-ga k!” Seenaknya   saja   kedua   tokoh   tua    Siau-lim-si    itu me mperbincangkan peristiwa-perist iwa yang la mpau sehingga Tay Ih dan Tay Hui tak dapat ikut dalam pe mbicaraan.

Paderi gundul menghela napas, ujarnya: “Ji-koay jika masih liar seperti dahulu, tak mungkin mere ka mau tahan mender ita dalam tahanan sela ma berpuluh-puluh tahun. Besok mala m, siaute hendak menjenguk ke tempat mereka. Hendak siaute tinjau, jika mereka sudah dapat merubah perangainya, akan siaute lepaskan. Tetapi jika mereka masih seperti dahulu, biarlah mereka hidup dalam tahanan sela ma-la manya!”

Tampaknya paderi bera mbut putih itu tak mau berbantah dengan sutenya lagi. Berkatalah ia dengan berbisik: “Baiklah, tetapi sebenarnya keyakinanmu saat ini sedang menjelang t itik yang genting. Janganlah bertindak sembarangan. Dan sebaiknya engkau pergi bersa ma Tay Ih sutit ke sana!”

Serta merta Tay Ih siansu me mberi hor mat: “Tecu  akan me lakukan titah supeh. Tetapi di manakah te mpat tahanan kedua Ji-koay itu?”

Paderi berambut putih tiba-tiba merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan sebungkus sutera putih: “Sutera putih ini merupakan peta tempat tahanan mereka!”

Dengan hormat Tay Ih segera menyambuti dan menyimpannya.

“La m-pek-ji-koay, sakti sekali. Mudah- mudahan setelah ditahan selama berpuluh tahun itu. Tetapi bukan mustahil juga, mereka bahkan akan bertambah lebih ganas lagi dari dahulu. Mari kita harus berhati-hati menghadapinya!”

Paderi berambut putih berkata pula: “Kunci e mas dalam sutera putih itu, adalah kunci untuk me mbuka rantai borgolan mereka. Jika perangai mereka sudah berubah baik, bawalah mereka ke ruang Cong-keng-lo  (perpustakaan  gereja). Apabila musuh datang, biarlah mereka akan  berhadapan. Empat puluh tahun yang lalu, kedua Ji-koay pada sepuluh tahun berselang, merupakan jago nomor satu dan no mor dua di dunia persilatan. Kalau sekarang  mere ka  bersatu bahu-  me mbahu, tentu takkan terkalahkan oleh siapapun juga.  Paling celakanya mereka  tentu  dapat  bertahan  diri,  dapat me lindungi gereja ini. Selain itu, penjagaan kita perkuat lagi dengan barisan Lo-han-tin. Kemudian kita kerahkan seluruh tenaga paderi Siau-lim-si lagi. Murid- mur id tingkatan kelas tiga, kita pecah menjadi sepuluh regu.  Tiap  regu dipimpin  oleh murid golongan kelas dua. Apabila mereka sampai terdesak, mereka harus segera mundur dan masuk ke dalam barisan Lo-han-tin. Di sa mping itu harus segera menyuruh salah seorang murid supaya datang kemari dan gunakan ilmu Ki-kin-coan- im untuk me mberitahukan kepadaku….”

Paderi berambut putih berhenti sejenak la lu berkata pula: “Tay Hui sutit me mimpin barisan Lo-han-tin. Barisan yang penuh dengan perubahan itu asal jangan sampai merasa gentar dan kalut, tentu mampu menahan  serangan  musuh yang  manapun  juga. Dengan  begitu  walaupun   kita  tak me mpero leh ke menangan, tetapi pun tak sampai menga la mi kehancuran. Tentang diri Tay Hong sutit, setelah pertapaan kami berdua selesai, tentu akan kami usahakan untuk mencarinya sampa i ketemu!”

Tiba-tiba paderi tua itu kebutkan lengan jubahnya: “Nah, waktunya  sudah  habis.  Aku  tak dapat  tinggal di sini  lebih la ma lagi. Silahkan kalian pulang!”

Tay Hui tersipu-s ipu me mber i hor mat. Sekalian paderi yang ikut hadirpun berlutut me mberi hor mat sambil menyaksikan doa.

Saking kepingin tahu, Siu- lam me lir ik, la lu dilihatnya kedua paderi tua itu pelahan- lahan bangkit dan masuk ke dala m. Tindakannya ringan jatuh ke tanah. Begitu tiba di pintu yang berbentuk bundar, mereka tiba-tiba lenyap.

Berselang beberapa saat ke mudian, barulah ro mbongan paderi itu berhenti berdoa. Tay Hui bangkit, serunya: “Suheng dan sute sekalian, kedua sutiang telah masuk ke dalam sanggar pertapaan lagi. Kitapun harus  tinggalkan tempat agar jangan menggangu ketenangan mereka.”

Demikian ro mbo ngan paderi Siau- lim-s i itu segera tinggalkan sanggar pertapaan dan ke mba li ke dalam gereja. Siu-la m yang berjalan di sebelah belakang, ketika hendak keluar puri pintu sanggar, tiba-tiba teringat harus menutup pintu sanggar. Tetapi ketika ia berpaling ke belakang remang- remang ia melihat  sesosok bayangan melesat  dari dalam sanggar yang terletak di sebelah kanan. Saking kagetnya, hampir saja Siu-la m berteriak.

Tay To siansu yang melihat anak muda itu berhenti di ambang pintu  sanggar  merasa  curiga.  Buru- buru  ia mengha mpirinya: “Mengapa Pui sicu berhenti?”

Untung saat itu Siu-la m sudah pulih dari kekagetannya. Ia menyahut dengan tertawa: “Apakah dalam sanggar pertapaan ini terdapat orang yang melayani keperluan kedua lo- cianpwe?”

Tay To gelengkan kepala: “Menurut pengetahuan loni, di dalam sanggar itu tiada terdapat barang seorang pelayan. Bagaimana?   Apakah    sicu    melihat    sesuatu    yang mencur igakan?”

Siu-la m merenung sejenak lalu mengatakan: “Tidak, marilah, kita pergi!”

Tay Hui dan Tay To telah menyadari bahwa  pemuda  itu  me miliki kesaktian. Tak berani lagi mereka me mandang rendah. Sekalipun agak mencur igai, tetapi mereka tak berani mendesak lebih lanjut.

Ternyata Siu-lam sendiripun kuatir kalau salah lihat sehingga menimbulkan kehebohan. Jika sampai tak  dapat mene mukan bukti apa-apa, tentu akan ditertawakan. Tetapi dia m-dia m ia tetap me mikir kan peristiwa tadi. Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia berpaling dan bertanya pula: “Ah, ke mungkinan sanggar pertapaan yang sedemikian penting itu tak me merlukan penjagaan karena dapat menyinggung perasaan kedua lo-cianpwe tadi!”

Mau tak mau Tay To timbul juga kecurigaannya terhadap anak muda yang selalu menanyakan tentang sanggar pertapaan itu. Namun ia tak berani terang-terangan menegurnya me lainkan dengan tersenyum berkata: “Sekalipun tempat pe mujaan ini penting sekali tetapi sela ma berpuluh tahun tak terjadi peristiwa suatu apa hingga tak perlu diberi penjagaan.”

“Tetapi saat ini lain keadaannya, lebih baik….”

Tay To siansu tertawa: “Harap sicu jangan kuatir. Seluas seratus li dalam lingkungan gereja ini, telah disiapkan penjagaan. Burungpun sukar untuk lolos dari sini.”

Siu-la m tak mau me mbantah. Dia m-dia m ia sangsi apakah tadi tak salah lihat. Saat itu hari sudah menjelang fajar. Bintang-bintang pagipun ma kin kela m. Tay Hui siansu sangat menghor mat anak muda itu. Ia sendiri bersa ma seorang paderi  kecil  mengantar  Siu-la m  ke  ka mar  istirahat  dan me mpers ilahkan anak muda itu mengaso. Sedang ia sendiri lagi pergi.

Setelah menyulut lilin untuk penerangan, paderi kecil itupun segera pergi. Karena lelah Siu-la m segera  rebahkan diri di atas tempat tidur tanpa me mbuka lagi pakaiannya. Tetapi sampai beberapa saat, matanya sukar dibawa tidur. Dia tetap mengenangkan bayangan di sanggar pertapaan tadi.

“Jika mataku yang kabur, taka pa. Tapi jika benar  ada orang yang hendak menyelundup ke sanggar pertapaan itu, apalagi kalau orang jahat, bukankah hebat akibatnya? Sekalipun aku ditertawakan, tapi aku tetap tak dapat berpeluk tangan me mbiarkan hal itu terjadi!”

Ia terus keluar menuju ke ka mar Tay Hui siansu.

Maksudnya hendak menceritakan peristiwa itu. Malam sudah larut sekali. Para paderipun sudah tidur. Gereja Siau-lim-si seolah-o lah tenggelam dalam laut kesunyian.

Tiba di ka mar pejabat ketua Siau-lim-si, nyata Tay Hui siansu sudah tidur. Siu-lam bersangsi sejenak akhirnya diketuknya juga pintu ketua Siau- lim-si.

Tetapi tiada penyahutan suatu apa. Siu-lam batuk-batuk sejenak, lalu berseru: “Lo-siansu, apakah lo-siansu sudah tidur?”

Tetapi ka mar tetap sunyi. Terang kalau ketua Siau- lim-si itu tak ada dalam ruang itu. Tak mungkin seorang tokoh seperti Tay Hui sa mpai terlelap dalam tidur nyenyak.

Dia m-dia m Siu-la m menyesal tak menceritakan terus terang saja tentang bayangan dalam sanggar  pemujaan.  Andaikata ia salah lihat, paling-paling hanya ditertawakan saja. Karena selain Tay Hui siansu, ia tak tahu letak kamar paderi yang lainnya. Dan pada saat tengah mala m seperti itu, tak dapat ia berkeliaran ke mana- mana.

Siu-la m makin gelisah. Jika tak lekas bertindak, ia kuatir akan terjadi peristiwa yang hebat. Buru-buru ia pergi ke sanggar yang dikelilingi pagar ba mbu tadi.

Seorang paderi telah menghadang jalan. Karena tiada waktu untuk me mberi penjelasan lagi, Siu- lam enjot tubuhnya me lo mpati pagar itu.

Krak… ternyata pagar bambu itu sudah banyak yang sudah lapuk. Terinjak kaki, bambu remuk dan Siu- lam ikut me luncur ke bawah. Untung ia cepat-cepat empos tenaganya dan bergeliatan berdiri tegak di tanah.

Me mandang ke muka, tampak ketiga sanggar pertapaan itu terkancing rapat dan  tak kelihatan  tanda-tanda  yang mencur igakan. Dia m-dia m Siu- lam menge luh, barangkali tadi ia sudah salah lihat. Tetapi serentak dengan itu, terlintas dalam ingatannya bagaimana Tay To tadi mengatakan bahwa daerah seluas seratus tombak di sekeliling gereja Siau-lim-si merupakan daerah terlarang. Daerah seluas itu telah dijaga keras. Mengapa sekarang ia tak melihat barang seorang penjaga sama sekali?

Tetapi ah… ia me mpunyai pikiran lain. Ke mungkinan penjagaan paderi Siau-lim-s i itu diatur secara bersembunyi sehingga dia dibiarkan saja masuk ke dalam lingkungan sanggar pertapaan.

Me mikir sa mpai di situ, Siu-la m me mutus kan lebih baik ia lekas-lekas angkat kaki. Tapi baru  melangkah  beberapa tindak, ia ke mbali me mpunyai lain pikiran. “Ah, karena sudah terlanjur datang ke mari, mengapa  aku cepat-cepat?  Lebih baik kuselidiki di sekeliling sanggar pertapaan ini agar kecurigaanku tentang bayangan orang tadi dapat dibuktikan benar atau tidak!”

Ia batal pergi lalu lari menuju ke sanggar di sebelah kanan. Sanggar itu sebuah bangunan terdiri dari tiga  buah  ruang.

Sebuah dengan sanggar  di tengah.   Hanya bedanya, pintu di

sanggar itu dikunci rapat.

“Kalau me masuki sanggar ini, terpaksa harus kurusak kuncinya,” pikir Siu-la m. Tapi ketika hendak menja mah pintu, ia tarik ke mbali tangannya. Ia menuju ke jendela sa mping. Sekali dorong daun jendela terbuka. Debu  berhamburan keluar. Melongok ke dala m, keadaan ruang gelap sekali.

“Entah apa yang tersembunyi dalam ka mar ini. Kalau kumasuki entah bagaimana akibatnya,” pikirnya. Sekalipun menyadari bahwa me masuki ruang itu kurang benar, tetapi dia gelisah me mikirkan bayangan orang tadi.

Akhirnya ia me mutuskan loncat masuk. Karena sudah berpengalaman waktu masuk ke sanggar di tengah, maka waktu me lo mpat ia menutup pernapasannya. Wut… belum kakinya menginjak lantai, serangkum angin keras me landanya. Buru-buru ia menyongsong dengan tinju. Dar… ia tersurut mundur beberapa langkah….

Rupanya setelah mendapat angin, penyerang di dalam kamar itu me lanjutkan lagi. Beberapa pukulan  telah dilancarkan bertubi-tubi…..

Sambil menangkis, Siu- lam berteriak menegur: “Hai, siapa itu? Mengapa masuk ke daerah gereja Siau-lim-s i yang terlarang?”

Teriakan itu menyebabkan orang hentikan serangannya. Karena gelap, Siu-lam tak dapat melihat jelas siapa penyerangnya itu. Tiba-tiba  sesosok  bayangan  melesat keluar. Tampak muka orang itu ditutup dengan kain kerudung hitam.

Siu-la m pun cepat loncat dan menunggu di luar.  Begitu  tiba di ambang pintu, orang itupun menyingkap kain kerudungnya dan ah… ternyata Tay Ih siansu.

“Oh, maaf, kiranya lo-siansu. Maka tak heran kalau aku tak kuat menahan pukulan tadi,” kata Siu-la m.

Paderi itu me mandang Siu- lam dengan tajam, tegurnya: “Mengapa tengah ma lam buta sicu datang ke mari?”

Siu-la m me mberi hor mat: “Ah, lo-s iansu salah paha m.” “Jika loni salah paha m, tak nanti loni hentikan serangan

tadi!”

“Mungkin lo-siansu telah mendengar ucapan Tay To siansu bahwa ma lam ini mungkin akan datang ke mari untuk menyelidiki?”

“Betapapun halnya, jika  sicu  tak  dapat  menerangkan maks ud kedatangan sicu, mungkin sukar untuk menghilangkan kecurigaanku…” paderi itu berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Terus terang saja, dalam ketiga sanggar ini me mang sudah dijaga. Tay Hui sute berada di sanggar yang di tengah….”

“Ah, kalau tahu para siansu sudah mengadakan penjagaan seketat ini, tentu takkan datang ke sini.”

Tay Ih siansu berkata dingin: “Untung sicu masuk ke sanggar sebelah kanan, jika mas uk sanggar di tengah, dikuatirkan sicu tentu sudah hancur.”

Melihat nada dan sikap paderi itu, Siu-la m tahu kalau orang sudah salah paham. Ia segera tertawa: “Ah, lo-siansu salah paham. Maksud wanpwe hanya mengatakan bahwa  kalau tahu penjagaan di sini sudah ketat, tak perlu wanpwe gelisah lagi….”

Kemudian ia menceritakan apa yang dilihatnya. Paderi itu kerutkan alis dan merenung sejenak, katanya: “Jika sicu tadi mengatakan kepada Tay Hui sute, tentu takkan terjadi kesalahan paham begini.”

Siu-la m mendapat kesan bahwa Tay Ih siansu tetap belum percaya penuh atas keterangannya. Ia menghela napas pelahan: “Karena melihat bayangan itu di waktu malam sehingga aku belum yakin, maka aku kuatir kalau me mbikin kacau para siansu saja. Apalagi selama bicara dengan Tay To siansu, siansu tak pernah member itahukan bahwa di sekitar sanggar ini sudah diadakan penjagaan keras….”

“Sekalipun begitu, mengapa Pui sicu  datang  seorang  diri ke mari?”

Jawab  Siu-la m:  “Makin   la ma   wanpwe   ma kin ce mas me mikirkan bayangan itu. Biarlah wanpwe ditertawai, pokok wanpwe harus me mbuktikan kebenaran hal itu de mi untuk keselamatan kedua lo- cianpwe di sini!”

“Sekalipun keterangan sicu cukup lancer tetap masih sukar dapat diterima penuh.” Karena segala keterangan dan penjelasan tetap belum diakui, akhirnya marah juga Siu-la m. Sa mbil me mberi hor mat ia   minta   diri.   Tetapi  baru  berjalan  beberapa   langkah,  ke mudian ia berhenti dan berpaling: “Apakah lo-siansu sudah menyelidiki keadaan ketiga sanggar ini?”

Tay Ih siansu menyahut dingin: “Tak usah sicu banyak pikiran, kami sudah mengadakan penyelidikan yang teliti. Tetapi   tak   dapat   mene mukan   sesuatu   hal   yang mencur igakan.”

Siu-la m menengadah ke udara dan berkata seorang diri: “Ah, kemungkinan aku me mang salah lihat tadi….”

“Atau kami yang banyak curiga,” Tay Ih siansu menyanggapi.

Mendadak Siu-la m mengerut serius: “Tetapi ternyata semuanya sudah jelas. Ya, wanpwe tidak mungkin salah lihat lagi!”

Tay Ih siansu me mpersilahkan supaya pe muda itu  lekas ke mbali beristirahat di ka marnya.

Siu-la m menurut. Ketika mela lui pohon te mpat kera putih (yang sudah mati) duduk di atas dahannya, tiba-tiba Siu-lam menangkap suara ketawa halus yang  melengking  menyusup ke dalam telinganya. Nadanya seperti suara tertawa yang tertahan.

Siu-la m berhenti dan me ma ndang ke atas. Tampa k kera yang sudah menjadi mayat itu terduduk di dahan. Karena di sekelilingnya penuh dengan daun lebat,  maka  ia  tak dapat me lihat apa-apa lagi.

Melihat pe muda itu berhenti pada pohon tempat pertapaan kera putih, Tay Ih siansu marah.

“Di atas pohon siong itu terdapat kera piaraan gereja kami yang sudah mukswa. Pui sicu…” sa mbil berkata, ia bergegas mengha mpiri. Beberapa kali Siu- lam telah mener ima kata-kata yang getas dari paderi itu. Dia m-dia m ia me ngkal. Kini ia mendapat kesempatan untuk mengha mbur kan isi hatinya: “Sayang sekali beberapa pasang mata tetapi tak dapat melihat barang. Jelas musuh bersembunyi di atas pohon siong. Mengapa para ko- chiu di Siau-lim-s i tidak ma mpu mengetahuinya….”

“Apa?” Tay Ih siansu serentak tertegun kaget, “Di atas pohon itu terdapat musuh?”

Karena   sudah   terlanjur   berkata,   terpaksa    Siu-la m me mpertahankan: “Ya, benar…. Memang di dalam  daun pohon yang lebat itu terdapat musuh tangguh.”

“Loni tak percaya!” serentak Tay Ih siansu enjot tubuhnya me layang ke atas dahan pohon itu.

Sambil me ma ndang gerakan paderi Siau-lim-si itu, dia m- diam Siu-la m resah pikirannya. Ya, jika lengking suara tadi bukan suara tertawa orang, kalau di dalam gerumbul daun pohon itu tiada barang seorang musuh, bukankah salah paham terhadap dirinya akan lebih menda la m….

Tepat pada saat itu, terdengar suara orang napas tertahan. Rupanya Tay Ih siansu telah menderita tekanan tenaga dahsyat dan menyusul paderi itu me luncur turun. Dari gerak turunnya yang laju sekali,  jelas kalau paderi itu telah kehilangan keseimbangan tubuhnya….

Melihat itu Siu-la m cepat-cepat loncat menyanggapi tubuh paderi itu. Kemudian bertanya dengan perlahan: “Apakah lo- siansu menderita serangan musuh?”

Tay Ih siansu menghela napas  dan  berdiri.  Wajahnya mena mpil kerut penyesalan, ujarnya: “Loni telah keliru menyangka kepada sicu. Me mang benar di atas dahan pohon itu terdapat musuh yang tangguh. Karena tak berjaga-jaga tadi Loni telah terhantam oleh pukulannya sehingga tak dapat bernapas dan terluncur jatuh….’ Tampak wajah paderi itu mengerut. Rupanya ia telah mender ita luka dala m.

Siu-la m berbisik: “Harap lo-siansu beristirahat dulu. Biarlah aku yang menghadapinya….”

“Harap sicu jangan bertempur di atas pohon itu agar jangan sampai merusa kkan tubuh kera putih itu,” cegah Tay Ih.

Siu-la m mengangguk. Sambil melindungi tubuh dengan saluran tenaga dalam, ia me la mbung ke atas pohon. Tetapi baru kaki akan menyentuh dahan, tiba-tiba ia merasa dilanda oleh gelo mbang tenaga yang amat dahsyat sekali. Asalnya dari gerumbul daun yang lebat.

Karena sudah bersiap maka Siu- lam segera menangkis. Tetapi karena masih me layang di atas dahan, ia tak ma mpu mengerahkan seluruh tenaganya. Begitu terjadi benturan tenaga, Siu-lam rasa jantungnya tergetar keras dan tubuhnya terpental beberapa langkah, kemudian me luncur  jatuh ke bawah lagi….

Melihat itu, walaupun dirinya belum se mbuh, Tay Ih bergegas-gegas mengha mpiri: “Apakah Pui sicu terluka?”

“Masih untung sebelumnya aku sudah berjaga-jaga dulu. Tetapi agaknya musuh lebih  sakti dari aku. Dia dapat menggetarkan jantungku!”

Mereka berdua me mandang lekat-le kat pada pohon siong itu. Takut kalau- kalau musuh itu menyelinap pergi.

Tay Ih me mpunyai kesan baik terhadap pe muda itu karena sikapnya yang terus terang. Berani mengakui kalau musuh lebih t inggi kepandaiannya.

“Dengan berse mbunyi di atas pohon, dia me mpunyai kedudukan yang lebih baik dari kita,” kata Tay Ih, “Tetapi bahwasanya dia ma mpu menyelundup ke dalam penjagaan Siau-lim-si yang sangat ketat, menunjukkan bahwa orang itu selain sakti, pun juga cerdik sekali. Tetapi bagaima napun juga dia tak boleh lolos dari sini….”

“Maksud lo-s iansu…” belum Siu- lam menyelesaikan kata- katanya, tiba-tiba Tay Ih siansu bertepuk tangan t iga kali.

Dari se mak-se mak rumput di sekeliling pagar bambu, muncul tujuh-delapan belas paderi berpakaian hitam.  Ada yang mencekal tongkat sian-ciang, ada yang gelap, memang mereka sukar dilihatnya.

Saat itu baru Siu-la m tahu bahwa di sekeliling sanggar pertapaan tersebut, ternyata setiap pohon, setiap gundukan tanah penuh dengan anak mur id Siau-lim-si.

Tay Ih berkata pelahan-lahan kepada ro mbongan paderi itu: “Di atas pohon siong itu, terdapat musuh yang lihay. Kepunglah pohon itu dengan ketat. Tak perlu menyerang, cukup asal menjaga jangan sampai dia ma mpu lolos.”

Walaupun heran, tetapi kawanan paderi itu melakukan perintah juga. Mereka segera mengepung pohon siong itu dengan rapat.

Rupanya Tay Ih hendak mengepung musuh itu sa mpai nanti terang tanah. Di sa mping itu Tay Ih hendak mengumpulkan seluruh ko-chiu Siau-li-si untuk menangkap musuh itu. Apabila pagi tiba, tentu sukarlah musuh hendak me larikan diri.

Pada saat itu berdatanganlah paderi-paderi angkatan Tay (saudara seperguruan dan setingkat dengan Tay Ih, Tay Hui dan lain-lain). Di antaranya terdapat Tay To siansu, Tay Goan dan Tay Teng yang menjabat sebagai pe milik gereja.

Tay Goan siansu melangkah maju ke dekat Tay Ih, bisiknya pelahan: “Orang kita sudah cukup jumlahnya. Betapapun saktinya musuh, na mun tak mudah lolos dari sergapan kita. Lebih baik kita segera bertindak saja.” Tiba-tiba Tay Ih siansu gerakkan tangan kanan. Dua butir Bok-lia m-cu atau biji-biji tasbih, meluncur ke arah pohon  siong. Cres, cres… terdengar bunyi macam kerikil  menyusup ke dalam lautan pasir….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar