Wanita iblis Jilid 20

Jilid 20

KEMUDIAN mereka ma kan pagi. Selesai ma kan wanita itu me mber ikan ciri-ciri anaknya kepada Siu- la m. Ialah siku lengan kanan gadis itu terdapat bekas luka terkena pisau pemotong kayu. Ia minta apabila Siu-la m berjumpa dengan anak itu, supaya disuruh pulang mene mui ibunya.

Ketika beristirahat dalam biliknya, Siu-la m merenungkan peristiwa yang baru diala minya itu. Ke manakah lenyapnya Hian-song….

Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. Bahwa dalam pertemuan di Beng-gak itu boleh dikata seluruh rombongan orang gagah telah binasa. Dikuatirkan pihak Beng-gak akan menggunakan kese mpatan untuk menghancurkan pusat partai-partai persilatan. Karena dipastikan bahwa partai-partai persilatan tentu belum mengetahui berita ke matian ketua dan tokoh mereka yang binasa di Beng-ga k….

“Ah, aku harus me mberitahukan berita itu kepada partai- partai persilatan agar mereka dapat berjaga-jaga!” tiba-tiba ia me mbulatkan tekad. Ia mencoba mengerahkan napas, ternyata luka yang dideritanya itu hanya luka luar.

Segera ia keluar mene mui kedua sua mi isteri pemilik gubuk dan menyatakan kalau saat  itu  juga  ia  hendak  minta  diri me lanjutkan perjalanan.

Sudah tentu kedua suami isteri itu mencegah. Tetapi Siu- lam tetap pada keputusannya. Ia mengatakan bahwa ia masih me mpunyai urusan yang penting sekali maka terpaksa  ia harus pergi hari itu juga.

“Nanti dulu tuan,” tiba-tiba wanita tua mencegahnya, “anakku itu berna ma  Bong- lian.  Jika  bertemu  harap  tuan me mber itahu kepadanya bahwa ayah bundanya sangat mengharap-harap sekali kedatangannya!”

Siu-la m mengiakan la lu melangkah pergi. Tetapi tiba-tiba ia berhenti lagi dan menanyakan na ma kedua orang tua itu.

Ternyata pak tua itu bernama Hun  Kim-seng. Setelah mendapat keterangan, Siu-la m pun segera pergi. Setelah turun dari puncak gunung yang sukar dilalui, hampir petang ia sudah tiba di jalan besar.

Kini ia harus berpikir lagi. Ia menduga saat itu pihak Beng- gak tentu sudah mengir imkan anak  buahnya  untuk  mengobra k-abrik   markas   partai-partai   persilatan.   Harus ke manakah ia lebih dulu. Setelah me mikir beberapa saat, akhirnya ia me mutuskan untuk menuju ke markas partai Siau- lim di gunung Ko-san lebih dulu. Ia anggap Siau-lim-s i sebagai partai pemimpin. Dan kedua kalinya ia hendak menyelidiki tentang diri si tabib Gan Leng-po yang dibawa Tay  Hong siansu ke Siau- lim-s i untuk diobati.

Setelah peristiwa Beng-gak, kini ia merasa betapa pentingnya peta Telaga Darah itu. Sayang peta itu sudah lenyap bersama Hian-song.

Ia melaksanakan rencana dengan segera. Menjelang tengah hari, tibalah ia di kaki gunung Ko-san. Ia mencari sebuah tempat yang sepi untuk ma kan bekal ransumnya. Setelah itu baru ia menda ki ke atas.

Siau-lim-si merupakan sebuah gereja besar yang termasyhur. Bangunan gereja meliputi daerah sepuluh buah puncak gunung. Murid- mur idnya berjumlah besar kecil. Peraturan keras dan tertib.

Ketika tiba di pintu gerbang gereja, Siu-lam melihat sebuah papan yang bertuliskan tiga buah huruf besar “SIAU LIM SI”.

Seorang paderi pertengahan umur segera menyambutnya, “Apakah sicu hendak bersembahyang?”

Siu-la m gelengkan kepala, “Tidak, aku me mpunyai urusan penting sekali mohon berte mu dengan Hong-tiang (ketua). Sukalah taysu menyampaikan kepada beliau.”

Paderi jubah abu-abu itu sejenak me mandang Siu- lam lalu kerutkan dahi, “Urusan apakah yang sicu hendak beritakan itu? Apakah tak dapat diterima kecuali Hong-tiang?” “Aku yang rendah adalah Pui Siu-la m, baru saja lolos dari Beng-gak….”

Mendengar itu seketika berubahlah wajah paderi itu, ujarnya, “Silahkan  sicu  duduk, pinceng  segera  hendak menya mpaikan pada Hong-tiang!” dia terus masuk dan Siu- lam me langkah ke dalam ruangan.

Rupanya di dalam gereja sudah diadakan persiapan. Delapan paderi jubah kelabu, berpencaran menjaga  di belakang dan kanan kiri pintu. Masing- masing me ncekal tongkat sian-ciang.

Siu-la m agak meragu tetapi akhirnya ia terus masuk juga. Melihat itu   buru-buru   paderi   penyambut   tetamu   tadi me mbur u, serunya, “Marilah pinceng tunjukkan jalan!”

Tiba-tiba ia berputar tubuh dan melangkah ke sebuah gang yang terletak di samping gang itu menuju ke sebuah hutan kecil yang penuh ditumbuhi rumput-rumput runcing dan pohon-pohon bunga.

Cepat sekali paderi itu sudah melintasi lapangan rumput, taman bunga lalu masuk ke hutan kecil. Di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok batu merah.

Paderi itu la mbatkan langkahnya dan berbisik kepada Siu-  la m, “Pondok itu tempat hong-tiang menerima tetamu. Sicu seorang tetamu dari jauh, silahkan duduk dulu. Akn pinceng laporkan pada hong-tiang!”

Tiba-tiba mundur dua langkah lalu me mber i hor mat kepada Siu-la m, “Silahkan sicu masuk!”

Siu-la m terkesiap melihat perubahan paderi itu. Sejenak meragu, ia terus masuk ke dalam pondok. Paderi itu tak ikut masuk. Ia menunggu di luar seraya berkata, “Di dalam pondok tersedia hidangan. Jika lapar, silahkan sicu dahar.” Habis berkata paderi itu terus pergi. Dia m-dia m Siu- lam me mbatin, “Siau- lim-si dikabarkan sebagai partai terkemuka dalam dunia persilatan. Partai-partai Siau-lim-si sesa ma me miliki kepandaian sakti. Peraturannya keras dan tertib, apa yang dilakukan oleh paderi tadi me mang menimbulkan kesan yang aneh!”

Siu-la m melihat pondok itu berpintu hita m. Kedua daun pintu bertuliskan huruf-huruf e mas yang berbunyi Ing-ping dan  Siau-han.  Begitu  mendorong  pintu,  segera   Siu-lam me mbau hawa yang harum. Ia terkesiap.

Didapatinya dekat dinding ruang pondok terdapat sebuah meja pat-sian (delapan segi), di tengahnya teletak sebuah tong-thing (te mpat perasapan dari te mbaga). Bau harum tadi berasal dari asap tong-thing itu. Di samping thong-ting, terdapat poci porselen, cawan kuma la yang diatur rapi sekali. Selain dua buah kursi bambu, terdapat juga sebuah tempat tidur ba mbu. Tetapi pondok itu kosong t idak ada orangnya.

Tiba-tiba Siu-la m merasa letih sekali. Begitu duduk di tempat tidur, dia terus pulas.

Ketika me mbuka mata, dilihatnya seorang paderi tinggi besar duduk di hadapannya. Dan pondok itupun diterangi oleh lilin. Kiranya saat itu sudah ma lam hari.

Siu-la m mengucap dan berkata seorang diri, “Eh, bagaimana ini?”

“Omitohud,” seru paderi itu. “Loni berna ma Tay Hui, kepala dari bagian ruang Tat-mo-wan sini….”

Siu-la m me lonjak bangun, “Ruang penyambut tetamu itu penuh dengan asap bius.”

Paderi itu gelengkan kepala tertawa, “Harap sicu jangan kuatir. Siau-lim-si tak nanti menyimpan segala maca m obat bius yang tak halal.”

“Mengapa setelah me mbau asap itu aku segera tak ingat diri?” Paderi itu menghe la napas, “Ah, sicu tentu letih setelah mengadakan perjalanan jauh. Asap dalam ruang ini me mang mengandung asap harum yang me mbuat orang tidur tetapi sama sekali tak mengandung bahaya!”

Siu-la m coba melakukan pernapasan. Ternyata ia tak merasa  sesuatu  apa.  Kecurigaannya   lenyap.   Tetapi   ia  me mbantah,  “Sebuah  partai  besar,  mengapa   Siau-lim-si me lakukan penyambutan secara begini?”

Wajah Tay Hui agak berubah, “Jika sicu bukan datang dari Beng-gak, tentu kami takkan menyambut begini. Adalah karena…” ia tak melanjutkan bicaranya dan menghela napas.

“Apa? Apakah sudah ada orang Beng-gak yang lebih dulu datang ke sini?” Siu-la m kaget.

Tay Hui mengangguk, “Inilah sejak beratus-ratus tahun pertama kali Siau-lim-si mengala mi kekalahan. Dengan hormat kami menyambut tapi mereka dia m-dia m telah gunakan obat bius sehingga delapan belas orang Siau-lim-si tingkat hou- hwat telah diculiknya…” Tay Hui batuk-batuk sejenak, katanya pula, “ke mudian mere ka dilepas lagi!”

Siu-la m terkejut. Dia m-dia m ia merangkai dugaan. Bahwa menilik gerak-gerik Tay Hui, tentulah ada sebuah pusaka gereja itu yang telah dibawa kabur orang.

“Ah, kalau begitu kedatanganku ini terla mbat…”  kata Siu- la m.

Wajah paderi itu berubah serius, “Loni hendak me ngajukan sedikit pertanyaan, entah bagaimana pendapat sicu.”

Setelah Siu-la m me mperlihatkan, Tay Hui  berkata,  “Sicu me mpunyai hubungan apa dengan Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa, entah apakah sicu suka me mberitahukan?”

“Sa ma sekali tidak me mpunyai hubungan apa-apa!” Tay Hui merogoh keluar sebuah kim-pay (lencana  emas) dari jubahnya, “Jika sicu tak mempunyai hubungan apa-apa dengan wanita siluman itu, dari mana kah sicu me mperoleh kim-pay ini?”

Kim-pay itu ternyata adalah milik dari sumoaynya. Setelah Siu-la m menghe la napas, ujarnya, “Kim-pay itu adalah milik sumoayku. Sudah lama kusimpan benda itu dan tak pernah kuberitahukan. Bahkan kepada Tay Hong siansu, pun belum kulaporkan…” dua titik air mata menetes dari matanya.

“Bagaimana dengan ciang-bun suheng kami itu?” bisik Tay Hui.

Siu-la m tertegun, serunya, “Apa? Apakah orang-orang Beng-gak itu tak me mberitahukan kepada lo-s iansu?”

“Belum, orang itu bergegas sekali sehingga loni belum sempat me mbicarakan tentang peristiwa di Beng-ga k!”

“Bagaimana potongan wajah orang itu?” Siu- lam mulai curiga.

“Mengenakan  baju  panjang,  menyanggal  pedang  dan me me lihara jenggot putih. Umur nya antara lima puluhan tahun!”

“Apakah raut wajahnya tidak me mpunyai ciri-cir i aneh?” Tanya Siu-la m pula.

“Sayang loni tak begitu me mperhatikan. Tetapi loni sudah mengirim t iga orang paderi dari Tat- mo-wan sini, masing- masing me mbawa sepuluh mur id, untuk mengejarnya. Asal dia belum keluar dari daerah Tiong-goan saja, dalam lima hari tentu sudah datang laporannya!”

Siu-la m menghe la napas perlahan, kemudian dengan nada sarat ia berkata, “Terlebih dulu aku hendak menyampaikan berita buruk kepada lo-s iansu….” Tubuh ketua ruang Tat- mo-wan bergetar. Cepat ia menukas, “Apakah ciang-bung suheng kami mendapat halangan…?”

Siu-la m menghela napas, “Ciang-bun dari Siau-lim-si telah terperangkap ke dalam ruang Hui- lun-tian. Nasibnya belum ketahuan. Dan rombongan tiga puluh enam murid Siau-lim-si yang menyertai perjalanannya telah binasa semuanya….”

“Apa…? Ketiga puluh enam murid gereja kami itu mati semua?” Tay Hui terkejut.

“Jago-jago persilatan yang hadir dalam pertemuan Beng- gak itu, boleh dikata hampir se mua binasa. Yang berhasil lolos dari neraka Beng-gak itu hanya empat orang saja. Tetapi yang nyata masih hidup saat ini hanya seorang. Yang tiga, belum ketahuan nasibnya!”

Tay Hui siansu rangkapkan kedua tangan dan peja mkan mata. Mulutnya berke mat-ke mit me manjatkan doa.

Beberapa saat kemudian barulah ia me mbuka mata lagi, ujarnya, “Jika hal itu benar, inilah yang pertama kali sejak berdirinya Siau-lim-si, gereja ini menderita ma lapetaka yang paling mengerikan!”

“Kusaksikan dengan mata kepala sendiri  tentang kebinasaan ketiga puluh enam murid- mur id Siau-lim-si itu. Tetapi tentang nasib Tay Hong siansu, aku tak mengetahui maka tak berani mengatakan apa-apa,” kata Siu- la m.

Tay Hui siansu perlahan-lahan berbangkit, ujarnya, “Sekalipun saat ini buat se mentara loni menjadi pejabat kepala Siau-lim-si, tetapi tak berani menga mbil putusan tentang masalah ini. Jika sicu yakin akan kebenaran laporan sicu ini, segera loni hendak me manggil rapat para tiang-lo, merundingkan urusan ini!” Dengan tegas Siu- lam menyatakan bahwa apa yang ia beritakan tadi, me mang benar-benar suatu kenyataan. Di hadapan siapa ia berani me mber i keterangan itu.

Tay Hui segera menje mput sebuah palu kayu terus hendak ditabuhkan pada lonceng di atas meja. Tetapi tiba-tiba ia batalkan, katanya, “Sudah selama tiga puluh tahun ini lonceng itu tak pernah ditabuh. Begitu dibunyikan, semua kepala ruangan dan para tianglo, segera akan berkumpul  dalam ruang Gi- it-thia. Jarang sekali hal itu terjadi apabila t iada peristiwa yang amat penting. Sekali  lagi harap Pui sicu suka me mpertimbangkan. Ini bukan urusan ma in- main. Apabila sampai keliru me mbunyikan lonceng itu, loni tak berani menanggung jawab akibatnya!”

“Harap lo-s iansu jangan kuatir.…”

Wajah Tay Hui mengerut gelap, katanya, “Loni benar-benar tak mengert dari perguruan manakah Pui sicu ini. Kalau sekian banyak tokoh-tokoh sakti binasa di le mbah Beng-gak, mengapa sicu sendiri dapat lolos? Dengan demikian, sicu tentu me miliki kesaktian yang luar biasa!”

Siu-la m me nghela napas perlahan, “Ah, me mang tak dapat kusesalkan kecurigaan lo-siansu!”

Pemuda itu segera menutur kan apa yang dialami sela ma masuk ke dalam le mbah Beng-gak.

Walau kurang jelas tentang diri pe muda itu, na mun karena pemuda itu dapat me mbawa kan penuturannya dengan jelas dan teratur, sungkan juga Tay Hui untuk menanyakan riwayat dari Siu-la m. Tanpa ragu-ragu lagi ia menabuh lonceng itu!

Begitu me lengking, segera dua orang paderi kecil berlari- lari masuk dan me mberi hor mat, “Apakah yang suhu hendak titahkan?”

“Siarkan bahwa lonceng Ken-sin-ciong telah berbunyi!” sahut Tay Hui siansu. Kedua paderi kecil  itu segera melakukan perintah. Sementara itu Tay Hui mo ndar- mandir dalam ruang pondok. Rupanya banyak sekali hal yang dipikirkan penjabat kepala Siau-lim-si itu.

Tiba-tiba ia berhenti dan berpaling pada Siu- la m, “Menurut sicu, nasib ciang-bun suheng loni ke mungkinan besar sangat buruk?”

Sekali lagi Siu-la m mengatakan bahwa setelah menerobos keluar dari ruang Hui-lun-tian ia tak tahu lagi bagaimana keadaan Tay Hong siansu.

Tay Hui menghela napas panjang. Menatap sebuah patung Tat Mo (pendiri Siau-lim-s i) yang berada di dinding, dia m-dia m ia berkata, “Sejak gereja Siau-lim-si didirikan Tat Mo sucou, sudah berganti pimpinan sa mpai dua puluh delapan angkatan. Meskipun selama ia mengala mi badai taufan, tetapi tidaklah seperti saat ini di mana ciang-bun-jin (ketua) telah mender ita nasib yang tak berketentuan. Dikuatirkan rapat para tiang-lo nantipun takkan menghasilkan sesuatu rencana yang dapat mengatasi keadaan ini.”

Siu-la m teringat akan si tabib Gan Leng-po, segera ia menanyakan, “Dalam pertemuan para orang gagah di gunung Beng-gak, Tay Hong siansu telah mengir im tabib gila Gan Leng-po ke gereja Siau-lim-si. Entah di manakah orang itu sekarang?”

“Bukankah orang itu agak sinting?” tanya Tay Hui. Siu- lam mengiyakan.

“Karena penyakitnya belum se mbuh, dia dite mpatkan di ruang Kwat-ci-wan. Terpaksa ia tak boleh bergerak ke mana- mana dulu!”

Siu-la m menyatakan apakah sekiranya diijinkan untuk menjenguk orang itu. Tetapi pejabat ketua gereja itu mengatakan bahwa saat itu sudah larut mala m. Apalagi seluruh murid Siau-lim-si akan rapat me mbicarakan urusan penting itu.

Saat itu terdengar lonceng bertalu-talu. Tay Hui mengajak Siu-la m segera menuju ke ruang Gi-su-tian.

Siu-la m terkejut. Ia seorang tamu, bagaimana  dapat menghadiri rapat gereja.

“Jika tiada urusan yang luar biasa penting lonceng Ken-sin- cong takkan dibunyikan. Dalam rapat nanti, harap Pui sicu menutur kan lagi peristiwa di Beng-gak kepada rapat,” kata Tay Hui seraya melangkah keluar.

Keadaan dalam gereja itu, penuh dengan ruang-ruang besar dan lorong-lorong yang berliku-liku. Karena Tay Hui berjalan cepat, maka Siu- lam tak se mpat me mperhatikan keadaan sepanjang yang dilaluinya. Akhirnya tibalah mereka di sebuah ruang besar. Ternyata di dalam ruang besar itu tampak terang benderang dan penuh dengan paderi-paderi. Begitu me lihat kedatangan Tay Hui mereka sa ma me mberi hormat.

Selama me masuki ruang besar itu, Siu-la m me mperhatikan wajah dan sikap paderi-paderi itu ta mpak tegang. Tay Hui duduk di sebuah kursi yang terletak di tengah, menghadapi sebuah meja dari kayu pohon siong. Di kanan kiri meja itu berderet-deret dua belas kursi yang mas ih kosong.

Melihat suasana begitu tegang, Siu-la m tak berani duduk. Akhirnya Tay Hui me mpersilahkannya duduk di sebelahnya. Beberapa saat kemudian kursi-kurs i kosong tadipun sudah penuh orang. Mereka terdiri dari paderi-paderi tua yang paling muda berumur lima puluhan tahun.  Selebihnya  rata-rata sudah lanjut usianya. Dari sinar matanya yang tajam, jelas mereka itu me miliki ilmu lwekang yang tinggi.

Dia m-dia m Siu- lam menimang, “Kedua belas kursi itu tentu sebelumnya sudah dipersiapkan me nurut tingkat kedudukan masing- masing. Karena ada sebuah kursi yang kududuki, tentulah ada seorang paderi yang tidak dapat tempat!”

Dia m-dia m iapun me mperhatikan juga keadaan dalam ruang itu. Jelas bahwa se mua kursi telah diatur menur ut bentuk tertentu. Merupakan sebuah lingkaran yang rapi dan rapat. Tidak seorangpun dapat memasuki ke tengah siding, pun tidak seorangpun yang dapat keluar dari ruang itu. Sayang Siu-la m tak mengerti ma kna daripada tempat duduk yang diatur dalam rapat itu.

Sesaat kemudian berkatalah Tay Hui siansu, “Pui sicu ini telah datang dengan membawa berita yang buruk. Ciang-bun- jin kita angkatan yang ke dua puluh delapan, tak ketentuan nasibnya di Beng-gak. Ketiga puluh enam mur id yang mengantarnya, pun semua telah binasa….”

Seketika ge muruhlah ruang Gi-su-thia. Seluruh paderi yang hadir sa ma merangkapkan kedua tangannya dan peja mkan mata seperti orang berdoa.

Beberapa saat kemudian, seorang paderi tua berjubah  putih yang duduk paling depan di deretan kiri, tiba-tiba berbangkit.

“Ciang-bun-jin berilmu tinggi, me miliki ilmu lwekang yang sempurna. Tak mungkin dia mendapat kesulitan. Sute sebagai pejabat ciang-bun-jin, tentu sudah me mpunyai bukti  yang kuat tentang berita itu. Apakah sute sudi me mberitahukan kepada ka mi se mua?” 

Tay Hui menghor mat paderi tua itu. Setelah me mberi hormat, berkatalah ia, “Pui sicu ini, datang  dari  jauh.  Ia mene mpuh perjalanan siang ma la m. Tentulah dia takkan gegabah berani se mbarangan bicara!”

Siu-la m berbangkit. Setelah memberi hor mat kepada hadirin, berserulah ia, “Wanpwe mohon Tanya, kursi suhu siapakah yang wanpwe duduki ini?” Sekalian mata  me mandangnya tetapi tiada seorangpun yang menyahut. Ternyata kursi itu adalah tempat bagi Tay Hui siansu. Tetapi karena dia telah diserahi oleh suhengnya (Tay Hong siansu) sebagai pejabat pimpinan gereja, maka ia duduk di kursi ketua.

Dia m-dia m Siu- lam menyadari kekeliruannya dan minta maaf, tetapi tiada seorangpun yang menjawab. Dia tertegun. Beberapa saat kemudian berkata, “Aku datang dari Beng- gak….”

Tiba-tiba sebuah suara parau menyeletuk dari deretan kursi sebelah kiri, “Loni sudah menjelajah seluruh gunung  ternama di segenap tanah air, namun belum pernah loni mendengar gunung yang berna ma Beng-gak!”

“Beng-gak berada dalam lingkungan pegunungan Thay-san. Terpisah seratusan li dari puncak Beng-gwat-ciang. Karena jalannya sukar dilalui, penuh hutan belukar yang lebat, maka sukar diketemukan!” sahut Siu- la m.

Tay Hui siansu me minta agar pemuda itu suka menuturkan pengalamannya sekali lagi.

Siu-la m mengiyakan. Lalu ia menuturkan sekali lagi pengalamannya sela ma ikut dalam ro mbongan orang-orang gagah yang dipimpin Tay Hong siansu mendatangi pesta maut di Beng-gak. Se mua ia ceritakan sejelas-jelasnya. Tetapi mengenai Bwe Hong-swat me mberinya pil penolak racun dari peta yang disimpan Hian-song, ia tak mau mengatakan.

Segenap paderi Siau-lim-s i telah mendengar kan cerita itu dengan teliti dan kritis sekali. Belum Siu-la m habis bercerita seorang paderi menyeletuk pertanyaan, “Sin Ciong  tojin adalah ketua Bu-tong-pay yang sakti dan termasyhur di penjuru tanah air. Adalah karena diberi minum pil wasiat dari Bu-tong-pay maka kedua saudara Kat dapat tertolong jiwanya. Tetapi entah mengapa Pui sicu dan nona Tan itu tidak terkena racun orang Beng-gak. Apakah sicu berdua lebih sakti dari Sin Ciong totiang?”

Terhadap pertanyaan semacam itu, me mang Siu-la m sudah siap. Tetapi karena dikuatirkan menimbulkan kecurigaan hadirin, Siu- lam terpaksa merenung sejenak untuk me ngatur jawaban.

“Berkata bantuan dari seorang ko-chiu Beng-gak yang secara diam-dia m telah me mberi obat penawar, barulah aku dapat selamat!” sahutnya ke mudian.

“Dia t idak puas me lihat keganasan ketua Beng-gak,  dan dia m-dia m mengandung ma ksud hendak kembali lurus. Itulah sebabnya ia mau me mberi bantuan kepadaku!”

Paderi tua yang bertanya itu, duduk di sebelah selatan. Wajahnya merah mengenakan jubah warna kuning telur. Umurnya lebih dari lima puluh tahun. Menilik  te mpat duduknya, dia tentu mempunyai tingkatan yang tinggi dalam gereja Siau-lim-si.

“Kalau orang itu benar me mpunyai maksud untuk ke mbali ke jalan lurus, mengapa dia tak mau menolong se mua orang gagah dan hanya kepada sicu berdua saja?” kemba li orang itu berseru. Maksudnya, jika orang itu bersungguh-sungguh hendak ke mba li ke ja lan lurus mengapa tak mau minta pertolongan Sin Ciong tojin saja daripada hendak menolong dua orang anak muda yang tak terkenal.

Pertanyaan itu telah menimbulkan reaksi. Sekalian paderi Siau-lim-si timbul kecurigaannya kepada Siu-la m. Beratus- ratus mata mencurahkan kepada pemuda itu.

Dalam gugupnya Siu-la m menyahut, “Orang itu seorang gadis!”

Paderi jubah kuning telur itu kerutkan  dahi.  Dia  hendak me mbuka mulut tetapi tidak jadi. Sebagai seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya, ia tak leluasa untuk mengungkapkan hubungan antara pria  dan wanita. Tapi penyahutan Siu-la m itu me mang me mbuat orang curiga.

“Siapakah gadis itu?” sesaat kemudian paderi jubah kuning itu bertanya pula.

Walaupun Siu-la m sudah menduga akan menerima pertanyaan itu, namun di depan siding paderi Siau- lim-s i yang begitu serius mau tak mau ia terkesiap juga. Setelah beberapa saat kemudian baru ia dapat menyahut  agak la mpias,  “Dia mur id dari ketua Beng-gak!”

Seketika berisiklah ruang sidang. Jawaban pe muda itu sangat  tak terduga-duga.  Tetapi   pada   beberapa   saat   ke mudian, suasana ke mba li tenang.

Paderi yang duduk di muka pada deretan sebelah kanan, serentak bangkit. Dia mengenakan jubah biru.  Ujarnya, “Bagaimana sicu dapat mengenal murid Beng-gak itu?”

Siu-la m menyadari bahwa pertanyaan itu mengandung kecurigaan kepada dirinya. Serempak iapun bangkit dengan marah, “Kedatanganku  ke mari  ini  hanya  perlu  untuk menya mpaikan berita. Sama sekali tak mengharap atas bantuan toa-suhu sekalian. Percaya atau tidak, terserah saja. Maaf, aku hendak mohon diri karena masih ada urusan lain!”

Habis  berkata   pemuda   itu   me mber i   hormat   terus me langkah keluar.

Dari deretan tempat duduk yang ditempati oleh ro mbongan paderi, masing- mas ing me mpunyai kedudukan. Jika  buka kepala ruang tentulah termasuk golongan tiang- lo (sesepuh). Mereka atas tindakan Siu-la m, tapi mereka diam saja. Adalah barisan paderi yang duduk  di  barisan  tengah,  tak ma mpu me mbiarkan. Mereka bergerak dan berjajar menjadi sebuah dinding penutup jalan. Siu-la m berhenti. Dia matinya barisan penghadang itu. Hanya  ada  dua  macam  jalan.   Menerjang   atau   loncat me la mpaui kepala mere ka.

“Omitohud,” seru Tay Hui siansu. “Pui sicu harap tunggu sebentar lagi, loni hendak bicara.”

Walaupun marah terhadap rombongan paderi  yang mengha langinya tapi Siu-la m tak berniat hendak bertempur. Iapun berhenti ketika diminta Tay Hui siansu.

“Taysu hendak me mberi petunjuk apa?” tanyanya.

Tay Hui minta pe muda itu ke mbali ke te mpat duduknya dulu. Setelah itu barulah penjabat ketua Siau- lim-s i berdiri, “Hingga sekarang, belum pernah terjadi seorang ketuanya sampai tiada ketahuan nasibnya. Berita yang sicu bawa itu, benar-benar merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah kehidupan Siau- lim-si. Adalah karena luapan perasaan maka terdapat beberapa yang agak keras. Dalam hal ini harap sicu suka berlapang dada!”

Kata-kata yang dibawakan penuh keramahan itu, me mbuat Siu-la m sungkan juga. Ia tak menyalahkan sikap para paderi Siau-lim-si yang mencurigai dirinya.

Tay Hui gelengkan kepala, “Tay Hong suheng, merupakan tunas yang paling ce mer lang dalam Siau- lim-s i. Kecerdasan dan kesaktiannya yang melebihi orang. Bahwa dia sa mpai tertimpa masih yang tiada ketentuan itu, selain merupakan suatu hinaan bagi gereja Siau-lim-si, pun benar-benar merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan….”

Paderi tua yang duduk pada paderi pertama di sebelah kanan tiba-tiba bangkit, “Atas kesungguhan hati dari Pui sicu yang  tak  segan  mene mpuh  perjalanan   jauh   untuk menya mpaikan berita itu, mur id Siau-lim-si angkatang ketiga, sangat berterima kasih.” Buru-buru Siu-la m me mberi hor mat dan mengucapkan kata-kata merendah.

Paderi tua itu menghela napas pelahan, ujarnya pula, “Malapetaka yang menimpa ketua Siau-lim-s i dari Beng-gak itu, selain merupakan  suatu noda bagi Siau-lim-si, pun merupakan suatu peristiwa yang sangat mengge mparkan dunia persilatan!”

Sahut Siu-la m, “Siau-lim-s i telah dianggap sebagai bintang Pak-tau (pe mimpin) dunia persilatan. Telah berabad-abad menegakkan keadilan dan me mbela kebenaran, me mpe lopori perjuangan untuk perike manus iaan!”

Tay Hui pun menanggapi, “Siau- lim tak berani me nepuk dada sebagai pembe la keadilan dan kebenaran, tetapi kiranya kaum persilatan tentu sudah mengetahui sendiri peraturan dan pantangan-pantangan mur id Siau-lim-s i. Keadaan sekarang ini, bukan hanya menyangkut  kepentingan Siau-lim- si saja, melainkan mengenai hidup matinya dunia  persilatan dan kesejahteraan rakyat. Harap Pui sicu suka me mberi keterangan seadanya agar kami dapat me mpunyai gambaran jelas untuk menentukan langkah selanjutnya.”

Kata Siu-la m, “Apa yang wanpwe tuturkan tadi, adalah apa yang wanpwe saksikan dan ala mi sendiri. Satupun tak wanpwe rahasiakan. Kalau toh ada satu dua bagian yang wanpwe sengaja lewatkan, karena mengenai sedikit hubungan pribadi wanpwe. Tapi hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang penting….”

Dia menengadah dan menghela napas panjang. Katanya lebih jauh, “Keadaan Beng-gak itu me mang serba aneh. Baik orang, pakaian, maupun tempatnya. Mereka  sama mengenakan kedok muka. Rupanya ketua Beng-gak me mang sengaja hendak menjadikan mar kas Beng-gak itu seolah-olah seperti istana iblis. Dan orang-orang yang berwajah aneh itu semua me miliki kepandaian sakti. Wanpwe pernah bertempur dengan mereka. Walaupun menderita luka yang bagaimana parahnya, mereka pantang me ngeluh sakit!”

Tay Hui berpaling ke arah seorang paderi tua  berjubah putih yang di deret muka sebelah kanan.  Bisiknya,  “Suheng me miliki pandangan yang luas. Setiap kali Ciang-bun suheng tentu minta pendapat suheng. Bagaimana kiranya pendapat suheng dalam peristiwa ini?”

Paderi tua itu pejamkan mata. Sesaat kemudian berkatalah ia, “Keadaan dewasa ini benar-benar di luar ke ma mpuan kita. Rasanya lebih baik kita mengundang  kedua susiok supaya turun gunung.”

Siu-la m tertegun. Dipandangnya paderi itu dengan cer mat. Seorang paderi tua yang beralis tebal dan putih, wajahnya penuh lekuk-lekuk, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun. Dia m-dia m Siu- lam heran. Kalau paderi itu sudah sedemikian tuanya, tentulah susioknya (paman guru) sudah berumur lebih dari seabad.

Tay Hui siansu menghela napas pelahan, “Kedua susiok itu sudah tiga puluh tahun menutup diri dari soal keduniawian. Entah apakah kedua beliau itu suka turun gunung lagi.”

Paderi jubah kuning telur yang duduk tak jauh dari Siu-la m, tiba-tiba ia berdiri, “Untuk mengganggu   kedua  susiok, menurut pandangan siaute, adalah tidak tepat. Kedua susiok kita sudah mendekati kese mpurnaan, apabila sa mpai terganggu tentu akan besar akibatnya. Salah-salah bisa tertimpa bencana co- hwe-jip- mo (rusak jas maninya)!”

“Jika tidak mengganggu kedua susiok, lalu bagaimana pendapat sute?” tanya Tay Hui.

Paderi jubah kuning telur itu merenung sejenak lalu berkata, “Menurut hematku, lebih baik kita kerahkan ko-chiu Siau-lim-si untuk menyusul ke Beng-gak. Lebih dulu kita  selidiki keadaan Tay Hong suheng, kemudian kita pancing orang Beng-gak dalam barisan Lo-han-tin agar dapat menangkapnya hidup-hidup….”

Paderi jubah putih tadi gelengkan kepala, “Menurut sute, bagaimana kepandaian sute dibanding dengan Tay Hong suheng?”

Dengan merendah, paderi jubah kuning telur itu mengakui kalah sakti.

“Itulah,” kata paderi jubah putih “di antara murid- mur id Siau-lim-si dewasa ini, Tay Hong sutelah yang paling cemerlang. Baik dalam ilmu kesaktian maupun dalam pelajaran keagamaan. Keenam mur id- mur id berpangkat hou- hwat yang menyertai itu, merupakan murid- murid pilihan dari ruang Tat- mo-wan….”

Mata paderi berjubah putih itu berkilat-kilat me mandang Siu-la m, katanya lebih lanjut, “Jika apa  yang dikatakan Pui sicu ini benar, maka ketiga puluh enam mur id hou-hwat itu sudah binasa se mua. Cobalah kita  renungkan.  Di  antara mur id- mur id tingkatan ketiga dari gereja Siau-lim-si sekarang ini, siapakah yang ma mpu menyama i kepandaian mereka….”

“Pendapat suheng me mang benar,” kata Tay Hui.

Paderi tua jubah putih itu menghe la napas, “Tay Hong sute telah me mimpin mur id- mur id hou- hwat dan mengetuai rapat besar kaum gagah.  Sebelum  pergi,  rupanya  sute  sudah  me mpunyai firasat bahwa kepergiannya kali ini lebih banyak akan menghadapi bahaya daripada selamat. Maka diam-dia m sute telah berunding dengan aku. Apa yang dibicarakan pada tengah mala m itulah yang me mbuat aku kagum akan kecerdasan dan pandangan Tay Hong sute….”

Paderi tua itu mengerling pandangannya ke  sekeliling ruang. Sekalian paderi ta mpak serius dan tenang.

“Dalam pe mbicaraan tengah mala m itu, pernah kuminta agar dia jangan pergi tetapi aku atau Tay Hui sute saja yang mewakili Siauw- lim-si. Tetapi Tay Hong sute menolak. Kuperingatkan kepadanya bahwa dia adalah pimpinan Siau- lim-s i yang amat dibutuhkan tenaga dan pikirannya oleh gereja ini. Sudah tentu tak boleh sembarangan meninggalkan gereja ini. Karena jika sampa i terjadi sesuatu, bukan saja Siau-lim-si akan kehilangan pemimpin tetapi akan merugikan nama gereja ini. Tetapi lagi-lagi Tay Hong sute tetap pada pendiriannya. Akhirnya ia mengusulkan untuk menguji kepandaian dengan aku. Siapa yang unggul dialah yang akan me mimpin ro mbongan Siau- lim-s i menghadir i undangan Beng- gak. Terus terang saja, sute sekalian, walaupun dalam pelajaran kitab aku sangat mengagumi Tay Hong sute yang lebih pandai dari se mua suhengnya, tetapi dalam ilmu kesaktian kurasa Tay Hong sute belum tentu menang dari aku. Kuterima usulnya itu. Tetapi apa yang terjadi? Hanya dalam sepuluh jurus, ya sepuluh jurus kemudian Tay Hong sute telah gunakan ilmu pukulan sakti Lui-im-ciang, menundukkan tiga maca m ilmu kesaktian yang aku yakinkan selama e mpat puluh tahun yakni tutukan jari Kim-kong-ci, tendangan Koan-im-ciok dan ilmu sakti Lo-han-cit-si….”

Demi mendengar penuturan yang terus terang dari paderi tua jubah putih itu, seketika terkejutlah sekalian paderi yang hadir di situ.

Ilmu jari sakti Kim- kong-ci, tendangan Koan-im-cio k dan pukulan Lo-han-cit-si, merupa kan tiga maca m ilmu istimewa dari tujuh puluh dua buah pusaka Siau-lim-si itu benar-benar merupakan ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia persilatan. Adalah karena saktinya, maka tak mudahlah orang me mpe lajari. Apabila orang dapat memaha mi dua buah saja, maka dia sudah dapat dianggap seorang tokoh yang jarang tandingannya.

Bahwa Tay Hong siansu dalam  sepuluh  jurus  dapat menga lahkan ilmu jari Kim-kong-ci, tendangan Koan-im-ciok dan pukulan Lo-han-chit-si, benar-benar mengge mparkan seluruh sidang! Yang hadir dalam rapat luar biasa gereja Siau- lim-s i saat itu, adalah para paderi mur id Siau-lim-si yang berkedudukan tinggi. Dalam arti kata tinggi ilmu pelajaran agamanya dan tinggi pula ilmu kesaktian silatnya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan Kim-kong-ci, Koan-im- ciok dan Lo-han-chit-si itu. Ha mpir mereka tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Namun karena yang mengatakan itu paderi jubah putih yang menjadi suheng dari ketua Siau-lim-si sekarang, mau tak mau mereka mesti percaya.

Tay Ih siansu, si paderi tua jubah putih itu, menghela napas, ujarnya pula, “Setelah Tay Hong sute menang, maka keputusanpun tetap Loni tak dapat ingkari janji lagi. Kini sute tak mau me mperbincangkan urusan ke Beng-gak lagi dan mulai me mbicarakan tentang kedua susiok kita yang sudah mensucikan diri itu. Pada waktu kedua susiok hendak mulai mensucikan diri, beliau telah meninggalkan pesan. Walaupun hal itu terjadi pada duapuluh tahun berselang, tetapi  Tay Hong sute dapat mengingat tiap patah dengan jelas. Sute menutur kan pesan kedua susiok itu kepada loni….”

Dia m-dia m Siu-la m terkejut. Apa yang disebut Pit-koan-co- sian (berse medhi me ncapai kesempur naan) di kalangan kaum paderi, atau Jip-ting (masuk ke dalam kesunyian) dari kaum ima m (paderi yang me me lihara ra mbut), adalah sama dengan ilmu bersemedi dari kaum persilatan. Dapat bersemedi beberapa jam saja , semangat segar. Bersemedi  beberapa hari, akan me mperoleh kekuatan dan pikiran yang terang sekali. Apalagi kedua paman guru Tay Hong yang sudah bersemedhi sela ma dua puluh tahun. Dapat dibayangkan betapa kesempurnaan ilmu yang akan dicapainya….

“Apakah sebelum pergi, Tay Hong suheng sudah meninggalkan pesan?” tanya Tay Hui siansu.

Tay Ih siansu si paderi jubah putih me ngangguk, “Dia pernah me mber itahu kepada si suheng. Di antara suheng dan sute seperguruannya mungkin sukar untuk mencar i orang yang ma mpu menandingi kepandaiannya. Diapun mengatakan pula bahwa kepergiannya ke Beng-gak itu sukar dira malkan bagaimana akhirnya. Apabila terjadi sesuatu, Tay Hong sute pesan kepadaku agar menasihatkan kepada para  sute sekalian, agar jangan bertindak se mbarangan. Janganlah sute segera mengerahkan seluruh anak mur id mengge mpur Beng- gak. Tay Hong menandaskan bahwa hidup matinya  Siau-lim- si, bukanlah semata-mata hanya mengenai gereja ini. Karena sejak berates-ratus tahun Siau-lim-si merupakan pedo man dari dunia persilatan. Jika Siau-lim-si musnah, dunia persilatan  pasti kacau. Tay Hong sute meminta padaku supaya sute sekalian dapat menahan diri!”

Paderi jubah kuning telur yang usianya paling muda sendiri, berseru, “Menurut pendapat suheng, kita tak perlu mencari jejak Tay Hong suheng yang tak ketahuan itu, bukan?”

“Menurut pesan Tay Hong sute, kita harus tunggu sampai tahun depan bulan tiga, ialah pada saat persemedhian kedua susiok kita sudah selesai, barulah kita mengundang pada kedua beliau itu,” sahut Tay Ih siansu.

Siu-la m menyeletuk, “Tetapi nafsu orang Beng-gak untuk menguasai dunia persilatan, takkan menunggu sa mpai tahun muka. Mungkin mereka segera akan menyerang ke mari!”

Tay Hui siansu serempak berbangkit dan berkata kepada paderi jubah kuning telur, “Tay To sute, harap mene mani Pui sicu ini beristirahat ke ruang Tat-mo-wan!”

Siu-la m tahu bahwa para paderi Siau-lim-si itu hendak merundingkan  soal   yang   penting.   Maka  iapun   segera me langkah keluar. Tay To si paderi jubah kuning telur mengikut inya.

Begitu keluar dari ruang, Tay To percepat langkahnya menyusul ke muka Siu- la m, ujarnya, “Pui sicu,  gereja  ini penuh dengan alat-alat yang berbahaya, harap jangan sembarangan pergi ke mana- mana. Marilah kita ke ruang Tat- mo-wan beristirahat. Sebelum terang tanah, Tay Hui suheng tentu sudah me mbawa keputusan!”

“Mudah- mudahan lekas ada keputusan agar aku lekas-lekas pergi ke lain te mpat,” kata Siu- la m.

Paderi itu menanyakan ke manakah Siu-la m hendak pergi selanjutnya nanti.

Jawab Siu-la m, “Dalam pertempuran di Beng-ga k, sebagian besar orang gagah yang hadir telah hancur binasa. Beruntung aku  dapat  lolos.  Maka   menjadi   kewajibanku   untuk menya mpaikan berita buruk itu kepada masing- mas ing partai, agar mereka dapat bersiap-siap….”

Dia menghe la napas, serunya pula, “Inilah merupakan tujuanku pokok pada dewasa ini!”

“Menurut pendapat Pui sicu, bagaimana  kalau kami kerahkan seluruh anak murid Siau-lim-si untuk mengge mpur Beng-gak?”

“Anak buah Beng-ga k merupakan ma nusia- manus ia yang serba misterius dan ganas. Sedangkan Siau- lim-s i adalah partai pemimpin dari dunia persilatan. Ketujuh puluh dua ilmu kesaktian Siau- lim-si telah diketahui orang dan beratus-ratus tahun telah menggetarkan dunia persilatan. Jika  mengadu kekuatan dengan Beng-gak, me mang sukar dira malkan kesudahannya,” jawab Siu-la m.

Wajah paderi itu agak menggelap, “Dalam hal tipu mus lihat dan senjata rahasia, orang Beng-gak yang lebih ganas itu tentu dapat mengalahkan  Siau- lim-s i. Tetapi jika mereka berani mengadu kesaktian dalam ilmu kepandaian silat dan tetap dapat mengalahkan Siau-lim-si, loni benar-benar tak percaya!” Di antara para tianglo dan ketua-ketua ruang, paderi Tay  To itulah yang paling keras wataknya. Ucapannya sering- sering menusuk hati.

Siu-la m kerutkan dahi. Pikirnya, “Paderi ini sombong sekali. Tak me mandang mata  pada lain orang. Biarlah  kucari kesempatan untuk me mber inya sedikit hajaran agar dia sadar!”

Baru ia hendak me mbuka mulut cari alas an, terdengar paderi Tay To itu berseru, “Pui sicu, pinceng bersyukur bahwa sicu dapat lolos dari Beng- gak….”

“Bukankah itu suatu hal yang mustahil dapat dipercaya?” cepat Siu-la m menangkap isi hati orang.

“Ah, tidak. Pinceng benar-benar girang atas ke mujuran sicu.”

Merekapun tiba di ruang muka Tat Mo-wan. Dua buah lentera merah tergantung pada kedua pintu gerbang, menerangi tiga huruf Tat Mo- wan yang besar.

Saat itu tergeraklah pikiran Siu- la m. Ia menyatakan bahwa Siau-lim-si me miliki tujuh puluh dua buah ilmu kepandaian yang termasyhur. Berapa banyak paderi Tay To itu telah berhasil me mpe lajarinya.

Tay To siansu berpaling me natap Siu-la m dengan tertawa bangga, “Apakah maksud sicu bertanya begitu?”

Siu-la m  tertawa,  “Aku   ingin   me mohon   taysu   suka me mpertunjukkan barang sejurus, agar menambah pengalamanku yang se mpit.”

“Silahkan sicu mengajukan caranya,” cepat Tay To menyahut.

Siu-la m terkesiap. Benar-benar paderi itu congkak sekali. Serentak ia berkata, “Konon kabarnya Siau-lim-s i me miliki sebuah ilmu pukulan sakti yang disebut Peh-poh-sin-kun (ilmu silat sakti seratus langkah). Di dalam ilmu silat itu terdapat jurus Kek-san-ba-gu (pukulan kerbau di balik gunung). Benarkah itu?”

Tay To siansu tertawa, “Walaupun dalam ketujuh puluh dua ilmu kesaktian Siau-lim-si tiada jurus Kek-san-bak-gu dari Peh- po sin-kun, tetapi ada sebuah ilmu yang disebut Sip-hun- ciang. Sama saktinya dengan ilmu pukulan Kek-san-bak-gu.”

“Kiranya taysu tentu sudah menguasai ilmu itu. Ingin benar aku yang rendah menikmatinya.”

Tay To me mandang ke arah kedua lentera yang tergantung pada pintu. Tingginya tak kurang dari seto mbak. Ujarnya, “Kaum pertapa dan agama, sebenarnya menguta makan kesabaran dan ketenangan. Tak bernafsu untuk mengejar keduniawian dan na ma. Tetapi dewasa ini dunia telah dilanda kekacauan dan pembunuhan. Setan-setan dan iblis berkeliaran mencari korban. Demi welas asih yang ka mi junjung, benar- benar ka mi tak dapat melihat kese muanya itu berlangsung terus….”

Berhenti sejenak ia lanjutkan pula, “Sicu telah lolos dari Beng-gak dan jauh-jauh me mer lukan datang ke mar i untuk menya mpaikan berita buruk tentang ciang-bun suheng kami, me mba las budi sicu, pinceng akan mengunjuk per mainan yang jelek….” Habis berkata tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya. Lentera merah sebelah kanan yang tergantung tinggi, bergoyang-goyang dan tiba-tiba pada m!

Dia m-dia m Siu- lam me mbatin, “Ah, makanya paderi ini congkak sekali. Dia me mang sungguh-sungguh me miliki kepandaian.”

Serentak berserulah ia me muji, “Ah, benar-benar ilmu tamparan Sip-hun-ciang yang hebat. Kemasyhuran Siau-lim-si sebagai sumber ilmu kesaktian, me mang bukan kabar bohong!” Dengan berseri gembira dan bangga, Tay To mengucapkan beberapa kata merendah.

Dia m-dia m Siu-la m telah me mutuskan untuk me mberi kesulitan pada paderi itu supaya jangan terlalu congkak. Tetapi akibatnya, ilmu pukulan Sip-hun- ciang  tadi  malah makin me mbuat si paderi bangga sekali.

Tiba-tiba Tay To berkata, “Para kochiu yang datang ke Beng-gak sama binasa semua kecuali sicu seorang. Pui sicu benar-benar seorang yang besar sekali rejekinya!”

“Ah, hal itu hanya secara kebetulan saja.”

Tay To tertawa dingin, katanya pula, “Ah, tak  mungkin suatu peristiwa yang kebetulan. Kalau Pui sicu tak me mpunyai ilmu kepandaian sakti, tak mungkin dapat lolos dari Beng- gak.”

Dia m-dia m Siu-la m me mbatin, rupanya paderi-paderi Siau- lim-s i curiga karena ia lolos dari Beng-ga k. Tetapi mereka tak mau terang-terangan mengatakan….

Seketika timbullah ke marahan Siu-la m. Ia balas tertawa dingin, “Me mang benar, jika aku tak me mpunyai sedikit kepandaian, sekalipun dibantu orang dalam secara diam-dia m, tetapi juga sukar dapat lolos!”

“Nah, Pui sicu seorang yang cepat berpikir, tangkas bicara. Seorang yang jujur dan suka berterus terang. Tetapi entah, apakah sicu tak keberatan untuk me mpertunjukkan barang satu dua macam kepandaian yang sicu miliki itu agar dapat mena mbah pengala man pinceng?”

Wajah Siu-la m serentak berubah gelap. Ia tegak berdiri tak mengucap apa-apa. Rupanya ia tengah menimang. Jelas bahwa ilmu pukulan lwekang Sip-hun-ciang dari paderi itu hebat sekali. Jika apa yang dipertunjukkan lebih rendah dari itu, tentu akan ditertawakan. Ia agak bingung dalam me milih ilmu apa yang pantas dikeluarkan untuk mengimbangi pukulan Sip-hun-ciang.

Melihat pe muda itu diam saja, paderi Tay To tertawa, “Apakah Pui sicu belum dapat menjatuhkan pilihan?”

Merahlah wajah Siu- la m. Ia mengangkat kepala. Ta mpak paderi Tay To me mandangnya dengan dingin. Amarah Siu-la m makin merangsang. Tanpa banyak piker, serentak ia berseru, “Bagaimana kalau kuingin mencoba pukulan toa-suhu?”

Tay To terkesiap, tetapi pada lain saat ia tertawa dingin, “Tangan dan kaki tidak ber mata. Jika  pinceng sa mpai kesalahan melukai sicu, bukankah akan menimbulkan  peristiwa denda m- mendenda m?”

“Walaupun aku ini seorang bodoh, tetapi dari nada ucapan toa-suhu tadi, agaknya toa-suhu tak percaya atas lolosku dari Beng-gak….”

“Benar,” Tay To tertawa, “me mang pinceng agak  heran atas peristiwa  itu.  Dunia  persilatan  penuh   dengan  tipu mus lihat. Gereja ini pernah menderita….”

Jawab Siu-la m, “Ah, toa-suhu terlalu berprasangka. Meskipun dengan cara apa kuberi penjelasan, tentulah sukar dapat diterima. Maka sebaiknya kita saling  menguji kepandaian dulu, baru nanti kita bicara lagi.”

“Baiklah kalau sicu menghenda ki demikian,” kata  paderi Tay To la lu me mpersilahkan pe muda itu me mulai lebih dahulu.

“Harap toa-suhu hati-hati!” sambil berseru Siu-la m  maju me mukul.

Bahu paderi itu bergetar dan orangnya menyingkir  ke samping. Ke mudian ia berdiri tegak sa mbil rangkapkan kedua tangannya.

“Mengapa toa-suhu tak mau me mba las?” seru Siu- la m. “Pui sicu  seorang  tetamu  jauh,  pinceng  hendak menghor mat sa mpa i tiga jurus,” sahut Tay To.

Wajah Siu-la m berubah, serunya, “Harap toa-suhu jangan terlalu me mandang rendah padaku. Janganlah toa-suhu menga lah sampai tiga jurus. Sekali lagi aku hendak menyerang, apabila toa-suhu ma mpu me nghindar, aku bersedia mengaku kalah,” sahut paderi itu tak mau kalah garang.

Siu-la m tertawa tawar, serunya, “Satu dengan sepuluh, terpaut banyak sekali. Hendaknya toa-suhupun jangan kelewat bangga!”

Dalam pada berkata itu, Siu- lam dia m-dia m sudah kerahkan tenaga dalam. Dan habis berkata, segera ia  mengge mbor keras seraya menghantam. Hanta mannya menggunakan jurus Hud-hwat-bu-pian ajaran kakek dari Hian-song yang sakti. Begitu pukulan dilancarkan, segera Tay To rasakan sesuatu yang me mbuatnya kesima kaget. Buru-buru ia apungkan diri loncat beberapa langkah ke belakang.

Tetapi    Siu-la m    tertawa    dingin    dan    cepat-cepat me mbayanginya. Gerak pukulannyapun bertubi-tubi dilancarkan dengan gaya yang berubah-rubah.

Tay To rasakan pukulan anak muda itu mencurah hebat, sebentar  dari  sebelah  kanan  sebentar  dari  kiri   sehingga me mbuat orang berkunang- kunang. Hanya dalam beberapa kejap saja, pukulan anak muda itu sudah mengha mbur  ke arah jalan darah Hian-ki yang berbahaya.

Tay To tercengang. Buru-buru ia peja mkan mata dan berseru, “Ah, pinceng me mpunyai mata tetapi tak mengetahui sicu me miliki kepandaian yang sakti, sehingga….”

Tangan Siu-la m yang sudah menja mah pada dada paderi itu, cepat ditariknya dan mundur dua langkah, “Ah, rupanya toa-suhu me mang sengaja menga lah. Aku berterima kasih sekali.” “Pinceng benar-benar menga ku tunduk. Ucapan sicu, lebih me mbuat pinceng malu sekali!”

“Ah, benar-benar kepandaianku masih kalah jauh dengan toa-suhu,” Siu-la m merendah.

Tay To menghela napas pelahan, “Ah, jika dengan  ilmu sakti yang sicu miliki itu tak dapat mengalahkan orang Beng- gak, terang kalau orang-orang Beng-gak itu memang sakti sekali!”

Siu-la m menerangkan bahwa ilmu kesaktian orang Beng- gak me mang me mpunyai aliran tersendiri. Dita mbah pula dengan cara mereka menghias diri dan berpakaian yang seram-seram, Beng- gak benar-benar merupakan  sebuah daerah iblis.

Kini paderi Tay To berubah sikapnya. Tak berani lagi ia bersikap congkak. Ia segera me mpersilahkan tetamunya masuk.

Ruang Tat-mo-wan merupa kan ruang berlatih silat. Perlengkapan ruang itu sangat seram. Begitu melangkah masuk, empat orang paderi segera menyambut dan me mberi hormat kepada paderi Tay To.

Tay To me mberi pesan, “Pui sicu ini datang dari jauh sekali karena kepentingan gereja Siau-lim-si. Layanilah sebaik- baiknya!”

Keempat paderi itu segera mengantarkan Siu-la m ke sebuah kamar. Lima buah lilin dan hidangan telah disiapkan. Setelah keempat paderi itu minta diri, Siu- lam segera makan ke mudian baru tidur. Lilin dipada mkan dan ia duduk bersemedhi.

Berkat lwekangnya makin maju, dalam beberapa waktu saja, Siu-lam sudah pulih kesegarannya. Ia tak perlu tidur dan me lainkan me lanjutkan se medhi. Tetapi karena teringat akan peristiwa-peristiwa yang dialaminya, menjelang pagi baru ia dapat bersemedhi dengan pikiran kosong.

Turun dari pe mbaringan ternyata hari sudah tinggi. Dan ternyata paderi Tay To sudah menunggu sejak tadi.

“Tay Hui suheng hendak mengundang sicu ke Kwat-si-wan untuk mene mui seorang sahabat,” kata Tay To.

“Apakah orang itu agak  limbung  pikirannya?” tanya Siu- la m.

“Entah, pinceng tak jelas keadaan orang itu. Tetapi ruang Kwat-si-wan merupakan ruang pengadilan dari gereja ini. Bahwa Tay Hui suheng hendak menunggu sicu di Kwat-si-wan, tentulah menyangkut urusan yang penting!”

Demikian keduanya segera menuju ke ruang Kwat-si-wan. Di sinilah persidangan, pengadilan dan hukuman diputuskan. Tak seorangpun diperbolehkan masuk ke dalam ruang itu, sekalipun anak murid Siau- lim sendiri.

Setiap paseban atau gedung ruangan, didirikan di sebuah halaman yang luas. Merupakan sebuah gedung bangunan tersendiri. Setiap paseban, diurus di bawah pimpinan seorang paderi. Di antara sekian paseban-paseban, di antaranya paseban Tat Mo-wan dan Kwat-si-wan inilah yang paling keras peraturannya. Sekalipun anak mur id Siau-lim-s i sendiri, tak boleh me masuki ruang atau paseban tersebut kalau tak mendapat panggilan. Keliling Tat Mo-wan dan Kwat-si-wan ditutup dengan pagar te mbok dan dijaga ketat. Halamannya ditanami pohon siong yang berusia satu abad.

Sebuah bangunan batu yang merupakan bagian kamar penjara dari Kwat-si-wan, tampak di antara gerumbul pohon di dekat ruang paseban.

Tay To me mbawa Siu- lam masuk dan menuju ke sebuah ruangan yang temboknya berwarna kuning tua. Jika waktu berada dalam ruangan Gi-su-thia (te mpat rapat) tadi Tay To garang sekali sikapnya, tetapi saat itu dia berubah sopan- santun sekali.

“Pui sicu telah datang,” serunya dengan hor mat.

Dari dalam ka mar terdengar suara Tay Hui menyahut perlahan, “Silahkan sute ke mbali.”

Dengan serta merta Tay To minta diri me mpersilahkan Siu- lam masuk.

Siu-la m dan Tay Hui siansu dite mani Tay Ih siansu. Kedua paderi tua itu ta mpak serius. Mereka duduk di atas dua buah permadani. Siu-la m pun dipersilahkan duduk.

Dinding ruang itu ditutup dengan kain layar warna kuning tua juga. Tay Hui bertepuk tangan dan layar kuning tersingkap.   Dua   orang   paderi   bertubuh   kekar   masuk me mbawa seorang pria  tua yang berpakaian compang- camping dan mukanya kotor, rambut kusut dan jenggot panjang.

“Kenalkah Pui sicu kepada orang itu?” tanya Tay Hui. Siu-la m gelengkan kepala dan mengatakan tak kenal.

“Harap sicu menga mati secara teliti lagi. Orang itu la ma sekali me ngasingkan diri, mungkin perangainya berubah.”

Tapi Siu- lam tetap menyatakan tak kenal.

“Apakah orang itu bukan Gan Leng-po ang sicu sebut itu?” tiba-tiba Tay Ih siansu berseru.

“Aku telah beberapa kali berte mu muka dengan Gan Leng- po. Dalam keadaan bagaimanapun, tak mungkin aku lupa. Jelas dia bukan Gan Leng-po,” sahut Siu- lam dengan tegas.

Tay Hui siansu serentak bangkit dan me mber i isyarat kepada kedua paderi itu supaya membawa orang tersebut keluar. Tay Hui segera mengajak Tay  Ih  keluar.  Tay  Ih  siansu me mpers ilahkan Siu-la m supaya ikut. Walaupun tak tahu apa maks ud kedua paderi pimpinan tertinggi dari Siau- lim-s i itu, namun Siu-la m mengikuti juga.

Ternyata mereka menuju ke pondok yang diperuntukkan tempat tahanan.  Tay  Ih  siansu  mengeluarkan  kunci  dan me mbuka pondok itu. Di luar dugaan, ternyata keadaan dalam pondok itu bersih sekali. Seorang lelaki tua yang jenggotnya putih menjula i sampa i ke dada, duduk bersila di sudut ruangan.

“Gan Leng-po…” serentak Siu- lam berseru perlahan dan buru-buru lari mengha mpir i ke mudian me mberi hor mat. Ia merasa bersalah terhadap tabib tua itu. Teruta ma ia ikut bertanggung jawab atas keadaan si tabib yang menjadi orang sinting itu.

Dalam hari-hari terakhir ini, Gan Leng-po tampa knya makin tua. Tetapi penyakit gilanya agak baik. Dia duduk diam. Ketika me lihat ketiga orang itu masuk, ia tersenyum tetapi  tetap diam saja. Diapun tak me mperdulikan pe mberian hor mat dari Siu-la m tadi.

Tay Ih siansu berbisik, “Harap Pui sicu maafkan loni. Adalah karena terpaksa oleh keadaan maka loni telah menggunakan sedikit muslihat untuk menguji sicu.”

Siu-la m yang berotak terang, segera mengerti apa yang dimaksudkan orang itu. Dibawanya lelaki tua untuk dikenal oleh Siu-la m tadi hanyalah suatu percobaan buat mengetahui keadaan pemuda itu yang sebenarnya.

Namun Siu- lam seolah-o lah tak mengerti apa yang diucapkan Tay Ih siansu, tanyanya, “Apakah penyakit linglung dari Gan lo-cianpwe ini sudah agak sembuh?”

Tay Hui menghela napas. Ia mengatakan telah berusaha sekuat tenaga. Kesehatan badan tabib itu sudah bertambah maju, tetapi penyakit pikirannya masih belum se mbuh. Kata Siu-la m, “Satu-satunya orang yang mengetahui jelas latar belakang Beng-gak, rasanya hanya orang ini saja. Jika penyakit linglungnya sudah se mbuh, tentu akan me mbantu banyak sekali dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang ini!”

Tay Hui siansu berkata, “Berita yang sicu sampaikan itu, merupakan suatu noda dan hinaan bagi Siau-lim-si sejak gereja ini berdiri ratusan tahun. Semala m loni telah berunding dengan sekalian suheng dan sute. Kami menganggap masalah ini sangat gawat sekali. Suatu kekalahan yang kita derita, berarti ke musnahan bagi dunia persilatan….”

Pejabat ketua Siau-lim-si itu menghe la napas, ujar selanjutnya, “Terus terang kukatakan kepada sicu bahwa di antara paderi golongan loni yang me maka i gelar Tay, Tay Hong suhenglah yang paling t inggi kepandaiannya.  Begitu pula ketiga puluh enam paderi hou-hwat yang menyertai kepergiannya itu, adalah pilihan dari anak mur id Siau-lim-si tingkat ketiga dewasa ini. Yang masih berada dalam ribuan paderi, tetapi jikalau berhadapan dengan pihak Beng-gak, tentu hanya ibarat anai-anai me mbentur api saja. Loni dan para suheng sute sekalian telah me mutuskan untuk menggunakan Ki-kin-coan-im (menyusupkan suara mela lui getaran urat nadi) menyampa ikan berita buruk ini kepada paman guru….”

“Bukankah kedua lo-cianpwe itu masih  belum menyelesaikan perse medhiannya?” tanya Siu- la m.

“Apa boleh buat, keadaan me maksa ka mi untuk mengganggu ketenangan kedua susiok itu,” Tay Hui menghela napas.

“Karena tugasku menyampaikan berita sudah selesai, maka aku hendak mohon diri,” kata Siu-la m.

“Ilmu Ki- kin- coan-im dapat tidaknya sampa i pada kedua lo- cianpwe, masih belum kami ketahui. Sebaiknya sicu suka tinggal beberapa hari lagi baru nanti kita putuskan lagi,” sahut Tay Ih siansu.

Dia m-dia m Siu-la m me mbatin, “Ah, Siau-lim-si benar-benar merupakan sumber ilmu kesaktian yang sukar sekali diketahui ukurannya. Ilmu meluncur kan hawa dalam lewat jalan darah, benar-benar sejenis ilmu yang baru pertama kali ini kudengar. Entah apa yang disebut dengan ilmu Ki-kin-coan- im itu. Tetapi yang jelas bersemedhi sa mpai berpuluh tahun, benar-benar suatu keanehan yang sukar dipercaya. Ah, kiranya aku tentu akan mendapat banyak sekali pengala man apabila tinggal beberapa hari lagi di gereja ini.”

Akhirnya ia menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di gereja itu beberapa hari lagi.

Tay Ih segera mengajak keluar dari  pondok  itu.  Setelah me lalui beberapa buah ruang dan hala man, mereka berjalan me lalui sebuah jalan kecil yang penuh ditumbuhi rumput dan bunga-bunga hutan. Walaupun sebuah bangunan yang luas sekali, tetapi keadaan dalam gereja Siau-lim-si itu terawat bersih. Hanya di tempat yang mereka tengah lalui itu rupanya me mang tak mendapat pengurusan.

Saat itu mereka tiba di sebuah hutan kecil yang terdiri dari pohon bambu se mua. Hutan bambu itu agak menar ik perhatian. Setiap pohon bambu tampaknya ditanam dalam jarak tertentu dan bersilang selisih seperti sebuah barisan.

Tay Hui tundukkan kepala. Mulutnya berkema k-ke mik mengucap doa. Setelah itu baru melangkah ke dalam hutan itu.

“Harap Pui sicu mengikuti di belakang loni, agar jangan tersesat jalan,” kata Tay Ih.

Dia m-dia m Siu-la m me mbatin bahwa hutan pohon ba mbu itu tentu bukan hutan biasa. Kemungkinan merupa kan sebuah barisan. Atau mungkin dalam hutan itu penuh dipasangi alat- alat rahasia. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dinding te mbok yang buntu dan rusak. Pintunya yang sudah kumul warnanya, tampak tertutup rapat. Dua kali Tay Hui siansu mengetuk. Setelah menanti beberapa saat, tiba-tiba ia berpaling dan berbisik kepada Tay Ih siansu, “Sudah berapa tahun kita tak datang ke sini?”

“Mungkin sudah tiga tahun. Kita datang sekali bersama Tay Hong sute,” sahut Tay Ih.

“Ah, dalam waktu tiga tahun, banyak sekali perubahan tempat ini. Entah apakah kera putih yang biasa mengantar buah-buahan itu mas ih hidup?” tanya Tay Hui pula.

“Baiklah sute ketuk sekali! Apabila tak ada tanggapan suatu apa baru kita masuk!”

Tay Hui segera melakukan per mintaan suhengnya. Dia mengetuk dua kali. Ternyata pintu tetap tak ada reaksi suatu apa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar