Wanita iblis Jilid 19

Jilid 19

DALAM BEBERAPA SAAT kemudian, tibalah mereka di mulut le mbah. Hian-song yang sedikitpun tak ta mpak letih, segera menyerbu. Empat orang aneh menghadangnya. Sret, sret, sebelum mereka se mpat bergerak, pedang si dara sudah merubuh yang dua orang. Sret, sret, sekali lagi Hian-song kiblatkan pedangnya, kedua orang aneh itu yang  satu terpapas lengannya yang satu terbelah kutung badannya.

Hian-song benar-benar hebat sekali.

Dengan tenaga saktinya, dapatlah Sin Ciong menekan berkembangnya racun dalam tubuhnya. Sekalipun ia menyadari bahwa cara itu hanya dapat bertahan untuk sementara waktu saja, tapi tiada lain jalan baginya. Di mana ada kemungkinan, walaupun hanya beberapa saat, ia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Ketua Bu-tong-pay itu mengikut i di belakang si dara.

Saat itu papan besi yang menghalang di le mbah telah tak tampak. Le mbah sunyi senyap. Kecuali kee mpat orang aneh itu, tak tampak seorang pun menghadang lagi.

Siong Hong dan Siong Gwat dengan me manggul kedua putra Kat Thian-beng, tetap mengikuti Sin Ciong tojin. Di belakang mereka Siu- lam masih tetap menghadang ketiga nona murid Beng-ga k di luar lembah.

Dalam berte mpur dengan Siu- la m, si nona baju merah mendapatkan bahwa dalam  waktu  singkat  Siu-la m  telah me mpero leh ke majuan  yang pesat sekali. Tetapi sebagai orang yang berhati tinggi, si  nona  baju  merah  tetap  tak me mandang mata kepada Siu-la m. Alangkah  kejutnya ketika ia tertumpuk akan kenyataan! Berapa bulan yang lalu, salah satu dari ketiga nona itu, dapat mengalahkan Siu-la m. Tapi saat itu  ternyata  mampu  me lawan  mereka  bertiga.  Yang me mbuat nona baju merah itu terkejut heran adalah ilmu pedang Siu-la m itu dalam banyak hal terdapat banyak persamaannya dengan mereka bertiga. Tapi dalam hal gerakan perubahannya, Siu-la m bahkan lebih unggul sedikit!

Melihat ro mbongan Sin C iong tojin dapat melintasi le mbah, si nona baju biru marah sekali. Dengan berteriak  nyaring ia ma inkan pedangnya ma kin gencar untuk mengimbangi kedahsyatan senjata tanduk rusa dari si nona baju merah….

Sebaliknya Bwe Hong-swat dia m-dia m ge mbira sekali menyaksikan ke majuan Siu- la m. Tapi ia tetap masih kuatir akan kese mpatan pemuda itu. Kedua sucinya menga muk hebat sekali. Setiap gerakan senjatanya dilambari dengan tenaga dalam yang penuh. Sekali mengena sasarannya, tak dapat disangsikan lagi tubuh Siu- lam pasti hancur lebur!

Dalam hati ia mence maskan kesela matan Siu- la m, tetapi agar jangan diketahui oleh kedua sucinya, terpaksa ia harus me lancarkan serangan yang seru. Demikianlah kedua senjata giok-cinya diputar dan dima inkan laksana sepasang naga yang menya mbar-nyambar….

Hian-song terus  melangkah  keluar  dari  le mbah.  Di  luar le mbah ternyata tiada penghadang lagi. Tetapi ketika berpaling dan me lihat Siu- lam masih bertempur seru dengan ketiga nona Beng-gak, ia segera minta kepada Sin Ciong tojin dan rombongan supaya menunggu sebentar. Sekali melesat dara itu masuk ke dalam lembah lagi dan berseru nyaring, “Engkoh La m, jangan takut, aku datang me mbantumu!”

Dengan jurus Long- coang-liu-sat atau Ombak bergulung menda mpar pasir, ia segera maju menyerang. Tetapi yang menjadi sasaran pertama adalah Bwe Hong-s wat! Bwe Hong-swat menangkis dengan giok-ci kiri la lu giok-ci di tangan kanan balas menyerang dua kali.

Sekalipun ilmu pedang Siu- lam sakti, tetapi tenaganya tetap terbatas. Sekian lama bertempur melawan ketiga nona, dia merasa letih sekali. Jika tak memiliki ilmu pedang Jiau-toh- co-hoa yang luar biasa itu, ke mungkinan dia tentu sudah kalah.

Tetapi setelah Hian-song ikut me mbantu, keadaanpun berubah. Iwekang yang dimiliki Hian-song sejak jalan darah Seng-si-hian- kwatnya terbuka, laksana sumber air yang tak pernah kering. Bahkan makin la ma dara itu ma lah ma kin gagah dan serangannya makin mengganas. Ketiga murid Beng-gak benar-benar tak berdaya untuk maju setengah langkah saja.

Tiba-tiba Siu-la m menggerung. Ia keluarkan jurus Jiau-toh- co-hoa lagi. Melihat itu si nona baju biru dan Bwe Hong-swat terpaksa mundur. Tetapi si nona baju merah penasaran sekali. Setiap kali pe muda itu menge luarkan jurus itu, tentu dapat mendesak. Hal itu benar me mbuatnya mendongko l. Maka untuk serangan Siu- lam kali ini, dia benar-benar tak mau mundur. Kebut hud-tim di tangan kiri dan pedang pusaka di tangan kanan, serentak ditaburkan untuk menyongsong serangan Siu-la m.

Gumpalan sinar kebut dan pedang yang me mancar tiba-tiba terbenam dalam kepungan sinar pedang Siu- la m. Saat itu barulah si nona baju merah terkejut dan bergegas-gegas hendak menarik pedangnya dan mundur.

Ia bergerak dengan cepat tapi tetap terlambat. Wut, wut, segumpa l rambut kepalanya berhamburan jatuh kena terpapas….

Sebenarnya   dalam   jurus   Jiau-toh-co-hoa   itu   masih me mpunyai perubahan yang aneh dan tak habis-habisnya. Sayang Siu-lam hanya dapat mengingat separuh jurus saja. Andaikata ia dapat menguasai seluruh jurus penuh, ketiga nona itu tentu tadi sudah rubuh.

Setelah me mperoleh hasil, Siu- lam segera berseru kepada Hian-song, “Adik Song, lekas mundur,” cepat  ia  ulurkan tangan menarik ujung lengan baju si dara terus diajak lari.

Rambutnya terpapas, menyebabkan semangat nona baju merah terbang. Ia tegak termangu di mulut le mbah. Ketika Siu-la m dan Hian-song lari, iapun hanya mengawasinya saja. Dan karena ia berdiri di tengah mulut le mbah, maka si nona baju birupun terhalang jalannya. Sedangkan Bwe Hong-swat yang sengaja mengulur waktu, pun tak ma u mengejar.

Si nona baju biru me ngawasi wajah si nona baju merah. Melihat nona baju merah itu tegak me matung, buru-buru ia menda mpratnya, “Huh, budak gila! Mengapa tak lekas mengejar dan tegak terlongong- longong saja!”

Si nona baju merah gelagapan. Dengan mendengus, ia segera lari mengejar.

Sin Ciong heran me lihat mengapa Siu-la m dan Hian-song tak kurang suatu apa. Cepat ia menyongsong dengan pertanyaan, “Apakah kalian tak merasakan apa-apa dalam tubuh kalian?”

Siu-la m gelengkan kepala.

Sin Ciong tojin merenung sejenak la lu berkata, “Biarlah aku yang menghadang orang  Beng-gak.  Harap  kalian   berdua  me lindungi kedua to-heng dari Ceng-sia-pay keluar dari neraka sini!”

Dan tanpa menunggu jawaban Siu-la m ketua Bu-tong-pay itu terus putar pedangnya menyambut ketiga nona murid Beng-gak.

Pek Co-gi merasa telah mengeluarkan  banyak tenaga sehingga racun dalam tubuhnya merangsang keras. Dia menyadari kalau tak dapat bertahan lama. Maka berkatalah ia kepada  kedua   ima m   dari   Ceng-sia-pay,   “Jiwi  berdua me mpunyai beban tugas yang penting. Harap me laksanakan dengan sekuat tenaga. Usahakan sekuat-kuatnya agar kedua pemuda  Kat  itu  dapat  lolos  dari  tempat  ini.  Aku  hendak me mbantu Sin Ciong toheng….”

Jago tua dari Tibet itu menutup kata-katanya dengan loncat ke mbali ke dalam le mbah. Sebelum orang-orangnya tiba, ia sudah lepaskan dua buah pukulan Bu-ing-s in- kun ke arah ketiga nona Beng-gak.

Karena selama me manggul kedua pemuda, kedua jago Ceng-sia-pay itu belum bertempur dengan musuh, maka bekerjanya racun dalam tubuh merekapun agak la mbat. Mereka menyadari pada setiap detik amat berharga sekali. Maka segera mereka mengajak Siu- lam dan Hian-song lanjutkan perjalanan.

Bermula Siu- lam agak heran menyaksikan gerak-gerik Sin Ciong tojin dan Pek Co-gi dengan kedua tokoh Ceng-sia-pay. Tetapi karena kedua tokoh Ceng-sia-pay itu sudah mendahului lari dengan pesat, terpaksa Siu-la m dan Hian-songpun lari mengikut i mereka.

Siong Hong dan Siong Gwat terus kencangkan larinya sambil me ma ndang ke sekeliling untuk mencari jalan keluar. Tak berapa jenak mereka sudah lari sejauh beberapa li.  Saat itu mereka tiba di padang bunga.

Tiba-tiba sesosok bayangan me lesat dari tengah-tengah padang bunga. Dua orang gadis baju hijau muncul menghadang dengan pedang terhunus.

Siong Gwat segera mencabut pedangnya terus menyerang gadis baju hijau yang di sebelah kiri. Tetapi gadis itu tak mau menangkis mela inkan menghindar mundur. Sebaliknya gadis baju hijau yang di sebelah kanan segera maju menangkis. Melihat itu Siu- lam berseru, “Harap totiang berdua jaga baik-baik kedua saudara itu, biarlah aku yang menghadapi kedua nona ini.”

Kalau dia hanya bicara saja tetapi Hian-song sudah mendahului menyerang kedua nona penghadangnya itu.

Gadis baju hijau yang sebelah kanan segera gunakan jurus Hwe-hong-wu- liu, menangkis serangan Hian-song. Tetapi Hian-song cepat berputar tubuh sa mbil menarik pedang dan tiba-tiba balikkan tangannya ke belakang menabas dengan jurus Thian-gwa-lay-hun atau dari luar langit timbul awan.

Tepat pada saat itu terdengar jeritan ngeri.  Hian-song  cepat berpaling dan dilihatnya gadis baju hijau di sebelah kiri tadi tiba-tiba telah menusuk punggung gadis baju hijau yang menangkis serangan Hian-song. Ujung pedang tembus sa mpai ke luar dada.

Sudah tentu Siu- lam dan Hian-song kesima. Dipandanganya gadis baju hijau itu dengan tak berkesiap.

Gadis baju hijau itu mencabut pedangnya yang mene mbus dada kawannya lalu me mbersihkan darah pada batang pedang. Setelah itu ia bertanya, “Siapakah yang me mpunyai nama she Pui?”

Siu-la m tertegun, sahutnya, “Akulah!”

Gadis baju hijau sejenak menga mat-a mati Siu-la m lalu berkata pula, “Apakah kau yang berna ma Pui Siu-la m?”

Siu-la m mengiyakan.

“Jalanan di muka penuh dengan alat rahasia dan juga jago- jago sakti. Di le mbah ini terdapat sebuah jalan keluar. Jika tuan-tuan hendak melo loskan diri, hanya jalan itu yang merupakan satu-satunya jalan keluar,” kata si nona.

“Siapa kau?” tegur Siu- la m. Nona baju hijau menyahut perlahan, “Aku disuruh ke mari oleh nona Bwe. Tempo tinggal sedikit, marilah tuan-tuan ikut aku!” ia tendang mayat kawannya tadi ke dalam padang bunga lalu lari ke muka.

Siu-la m mengajak Siong Hong dan Siong Gwat mengikuti nona itu.

Rupanya gadis baju hijau itu paham keadaan te mpat di gunung Beng-gak. Ia me lintasi padang bunga.

Saat itu racun dalam tubuh kedua tokoh Ceng-sia-pay sudah bekerja. Kaki dan tangan mereka terasa lemas tak bertenaga. Menggendong orang, dirasakan berat sekali. Keringat bercucuran me mbasahi tubuh mereka. Wajah merekapun mulai biru. Tetapi dengan keraskan hati mereka tetap lari.

Rupanya gadis baju hijau itu juga tegang sekali. Tahu bagaimana keadaan kedua ima m Ceng-sia-pay namun ia tetap tidak kendorkan larinya.

Siu-la m tetap mengikuti di belakang nona itu. Ia telah bersiap-siap. Begitu nona itu hendak menyeleweng, segera akan ditindaknya.

Sepenanak nasi la manya, barulah mereka keluar dari padang bunga. Nona itu berpaling kepada Siong Hong dan Siong Gwat, “Harap totiang berdua tahankan diri sebentar lagi. Kita sudah hampir terhindar dari bahaya!”

Ia terus lari menuju ke sebuah lembah yang lebih senyap. Siu-la m mula i curiga. Si nona guna pedang untuk menyiak semak belukar yang menyubur di le mbah itu. Kira-kira dua li jauhnya ia menghela napas dan berhenti. Katanya kepada Siu- la m, “Jika gerak-gerik kita tidak diketahui penjaga-penjaga yang bersembunyi di dalam padang bunga tadi, itulah sudah beruntung!” “Apakah kecuali nona, tiada lain anak buah Beng-gak yang tahu jalan ini?” tanya Siu- la m.

Nona itu menerangkan bahwa le mbahitu sebuah le mbah mati.

Jika le mbah mati, mengapa nona me mbawa ka mi ke sini?” Tanya Siu-la m curiga.

“Ah, mengapa engkau begitu terburu-buru menukas keteranganku?” sahut si nona. “Dalam le mbah mati terdapat sebuah terowongan yang merupakan mulut gunung berapi. Tetapi sudah berpuluh tahun gunung itu tidak me ngeluarkan api lagi!”

Siu-la m terkejut dan dia m-dia m menda mprat nona itu karena hendak menggunakan gunung api untuk mence lakai mereka.

Karena  tak me mpunyai  pengala man,  nona   itu  tetap me lanjutkan keterangannya dengan tenang, “Nona Bwe suruh aku mengantar kalian ke mulut gunung berapi itu. Menurut kata nona Bwe hanya mulut gunung berapi itu merupakan satu-satunya jalan keluar!”

“Tetapi bukankah bagian dala mnya masih panas sekali?

Jika masuk, dikuatirkan tak dapat keluar lagi….”

Nona itu gelengkan kepala, “Tentang hal itu aku tak tahu. Tetapi nona Bwe hanya me merintahkan supaya aku membawa tuan-tuan masuk ke dalam terowongan itu,” dan tanpa menunggu jawaban Siu-la m nona itu terus lanjutkan jalan ke muka lagi.

Siu-la m berpaling. Dilihatnya Siong Hong dan Siong Gwat sudah mandi keringat. Matanya dipejamkan seperti orang  yang sudah tak berse mangat lagi.

“Dalam keadaan begini, harapan hidup tipis sekali. Lebih baik aku mencoba masuk ke dalam terowongan gunung berapi itu,” akhirnya Siu- lam menga mbil putusan dan mengikut i si nona baju hijau.

Hian-song juga me mpunyai pikiran seperti pemuda itu.

Iapun mengikuti Siu- la m.

Saat itu racun dalam tubuh kedua ima m Ceng-sia-pay sudah bekerja dan kedua tokoh itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Merekapun hanya mengikuti ke mana Siu-la m bergerak.

Setelah berjalan satu li jauhnya, tibalah mereka di sebuah dinding karang yang tinggi. Di bawah kaki karang itu terdapat sebuah terowongan kecil.

“Inilah!” seru si nona seraya menunjuk mulut terowongan.

Siu-la m me mandang ke dala m. Liang terowongan gelap sekali sehingga tak dapat diketahui berapa dala mnya.

“Silahkan periksa sendiri, aku hendak ke mbali!” kata gadis itu.

Siu-la m menimang. Jika  gadis itu hendak mencela kai dirinya, tentu dia takkan me mbunuh kawannya sendiri. Tentulah ia benar suruhan Bwe Hong-swat yang berusaha untuk meno longnya.

Berpaling ke belakang ta mpa k kedua ima m dari Ceng-sia- pay sudah lentuk tak bertenaga. Sedang Hian-song seorang dara yang tak berpengalaman. Maka ia harus me mutuskan sendiri apakah akan me masuki terowongan itu atau tidak.

Ia menyadari betapa penting tugas yang terletak di bahunya saat itu. Ia harus menyelamatkan jiwa beberapa orang  itu,  setelah  merenung  beberapa  saat  akhirnya  ia me mutus kan untuk masuk.

“Adik Song, aku yang me mpelopor i di muka, dank au yang menjaga di belakang. Kedua ima m itu rupanya sudah tak tahan!”  kata  Siu-la m.  Ia  terus   menghunus  pedang  dan me langkah masuk.

Me mang pikiran kedua ima m Ceng-sia-pay itu tak terang lagi. Ia hanya menurutkan ke mana Siu-la m langkahkan kaki. Begitu melihat pemuda itu masuk ke dalam terowongan,  mereka pun segera mengikut i.

Lorong  terowongan  gelap  sekali,  sehingga  tak   dapat me lihat jari-jari tangannya sendiri. Lorong terowongan menurun ke bawah kira-kira tiga puluh to mbak jauhnya, lorong yang se mpit t iba-tiba lebih besar. Tetapi berbareng itu terdengar suara gemuruh!

Siu-la m berhenti untuk mencar i arah suara gemuruh itu. Tetapi sampa i sekian jenak, ia tak berhasil mengetahui arahnya. Suara itu sebentar seperti dari sebelah barat, sebentar pindah ke sebelah timur.

Tengah ia menumpahkan perhatian, tiba-tiba terdengar Siong Hong dan Siong Gwat mengerang dan jatuh terkapar di tanah. Kedua pemuda yang digendongnya itupun ikut numprah. Ketika Siu- lam me mer iksa, ternyata Siong Hong sudah putus jiwanya.

Siu-la m terpaksa menolong Kat Hong. Ima m Siong Gwat menghe la napas, “Kedua  pemuda itu sudah ditutuk jalan darahnya. Asal sudah dapat disembuhkan, tentu dapat berjalan sendiri.”

Katanya terputus oleh darah yang muntah dari mulutnya. Siu-la m buru-buru me mberi pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalamnya. “Totiang hendak me mberi pesan apa?”

Ima m dari Ceng-sia-pay itu me mbuka mata dan dapat berkata, “Mereka berdua telah diberi minum pil kim-tan dari Bu-tong-pay. Asal dibuka jalan darahnya yang tertutuk, mereka tentu se mbuh, dalam bungkusan itu tersimpan segala ilmu pelajaran dari tokoh-tokoh yang ikut masuk ke dalam Seng-si-bun. Ilmu itu diberikan kepada kedua pemuda itu agar mereka menyakinkan dengan sungguh-sungguh…” Siong Gwat tojin menga mbil sebuah lencana dari bajunya, “Inilah lencana dari Ceng-sia-pay… yang memiliki lencana ini akan diberi kekuasaan untuk me megang pimpinan Ceng-sia-pay….”

Jago dari Ceng-sia-pay itu tak dapat meneruskan kata- katanya karena muntah darah lagi dan seketika putuslah jiwanya.

Siu-la m me nghela napas, “Adik Song, lepaskanlah, dia sudah meningga l.’

Dara itu menanyakan apa sebab tokoh itu meninggal. Siu- lam mengatakan bahwa mereka mati karena terkena racun.

“Eh, mengapa kita tak terkena racun?”

“Karena kita menelan pil pe munah racun. Kalau tidak kita tentu sudah mati juga!”

“O, jadi ketika di dalam ruang Hwe-lun-tian, kau menyusupkan pil itu ke dalam mulutku?”

Siu-la m mengia kan.

“Dari mana kau me mperoleh pil itu?”

Dia m-dia m Siu-la m me mbatin. Itulah suatu kesempatan agar Hian-song tak me mbenci lagi kepada Bwe Hong-swat. Maka dengan terus terang ia me mberitahukan hal itu.

“Jika  tiada  pil  itu  kita  tentu  sudah  mati,”   Siu-la m mena mbahkan keterangannya.

Bermula Hian-song diam saja tetapi begitu mendengar keterangan Siu-la m yang terakhir, seketika marahlah dara itu, “Jika tahu pil itu pe mberiannya, aku tak sudi minum dan lebih suka mati!”

Siu-la m terkejut dan buru-buru menga lihkan pe mbicaraan, “Sebaiknya kita lekas me mindahkan jenazah kedua ima m ini ke mudian meno long kedua pe muda. Ah, entah apakah pil dari Bu-tong-pay itu dapat menolo ng jiwanya….”

“Huh, kalau obat dari lain orang tidak mujarab kecuali dari adikmu si gadis baju putih itu, ya!” kembali Hian-song merajuk.

Siu-la m hanya tertawa hambar. Tak mau ia me ladeni dara yang sedang  marah-marah  itu.  Ke mudian  ia  cepat-cepat me mber i pertolongan pada kedua pe muda yang masih pingsan.

Beberapa saat kemudian kedengaran Kat  Wi  dapat menghe la napas dan tersadar. Hian-song pun me mbantu menyadarkan Kat Wi. Pe muda itu pun tersadar.

“Tuh, lihat, engkoh La m, siapa bilang pil dari Bu-tong-pay tidak mujarab?” lengking si dara.

Siu-la m menghela napas, ujarnya,  “Sin  Ciong  tojin  rela me mber ikan dua butir pil Bu-tong-pay kepada kedua pemuda ini dan ia sendiri rela untuk mati. Sungguh seorang tokoh yang luhur!”

Kat Hong dan Kat Wi yang baru tersadar terkejut ketika dapatkan dirinya berada dalam sebuah terowongan yang gelap. Tetapi Siu-la m cepat menyabarkan mereka, “Saudara berdua baru saja terlepas dari tutukan, kemungkinan dalam tubuh saudara masih ada racunnya. Sebaiknya jangan bergerak dulu dan menyalurkan darah untuk me ngusir racun itu!”

“Mana ayahku?” tanya Kat Hong.

Me mang pada saat Kat Thian-beng mengala mi nasib yang menggenaskan, buru-buru Sin Ciong tojin menutuk  jalan  darah kedua pemuda itu agar jangan sampai goncang hatinya, maka kedua anak muda itupun tak tahu ke mana sang ayah.

“Sebaiknya saudara me mulangkan napas dulu  dan berusaha untuk mengenyahkan racun dalam tubuh saudara. Nanti tentu akan kuberitahukan semua peristiwa…” Siu-la m me mber i penjelasan, “tempat ini mas ih dalam daerah berbahaya, begitu saudara sudah sembuh, kita harus lekas tinggalkan tempat ini! ”

Kedua saudara Kat itu menurut. Mereka segera duduk bersemedhi menyalurkan darah.

Pil kim-tan yang dibawa Sin Ciong tojin merupakan pil pusaka buatan dari Tio Sa m-ho ng, pendiri partai Bu-tong-pay. Hanya dibuat sebanyak lima butir pil, turun-menurun diserahkan pada Ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay. Pil itu tak boleh digunakan sembarangan kecuali menghadapi suatu peristiwa yang luar biasa. Pada saat diterima oleh Sin Ciong tojin, pil itu hanya tinggal dua butir.

Pil itu me mang mujijat sekali. Begitu kedua pe muda Kat itu menyalur kan napas, mereka segera rasakan dadanya longgar, semangatnya segar. Tiba-tiba mereka muntah- muntah. Tetapi setelah itu tampaknya mereka mulai sehat.

“Kau lapar?” tanya Hian-song yang masih kekanak- kanakan.

“Jangan adik Song,” cegah Siu-lam, “me mang setelah muntah tentu merasa lapar. Tapi bekal yang kita bawa itu tentu sudah mengandung racun. Sebaiknya dibuang saja!”

Dara itu menur ut.

“Ai, kali ini kau benar-benar mendengar kata!” Siu- lam tertawa bergurau.

Hian-song berbangkit dan mengha mpiri dekat pe muda itu. Serunya dengan lemah le mbut, “Engkoh La m… ” Belum selesai ia mengucap tiba-tiba terdengar letusan yang dahsyat dan segumpa l asap tebal menya mbar dari belakang.

Terkejut mereka bukan kepalang. Mereka seolah-olah digodok dalam api. Keringat mengalir seperti anak sungai. Hawa  panas   merangas   cepat   sekali   sehingga   tak menye mpatkan mereka untuk bertahan diri.

Siu-la m cepat kerahkan tenaga dalam untuk menahan panas lalu me manggul kedua saudara Kat terus dibawa.

“Adakah saudara terluka?” tanyanya.

Kedua saudara Kat itu gelengkan kepala. Saat itu racun dalam tubuh mereka sudah sebagian besar hilang. Keadaan berangsur-angsur baik.

“Engkoh La m, aku teringat…” tiba-tiba Hian-song tersenyum.

“Teringat apa?” Tanya Siu-la m heran.

“Nona baju putih itu tak cinta padamu maka ia sengaja suruh orang menjerumuskan kau ke dalam terowongan gunung berapi supaya kita terkubur hidup-hidup!”

Siu-la m tertegun. Dia m-dia m ia mengakui me mang kata- kata si dara itu benar juga. Tetapi pada lain kilas ia teringat. Bahwa jika nona itu benar-benar bermaksud jahat, tak nanti ia me mber i pil penawar racun di ruang Hwe- lun-tian….

“Ah, tetapi kalau dia berbuat begitu, aku malah lega.” Hian- song tertawa lalu mengge lendot di dada Siu-la m.

Sebagai seorang dara yang menjelang alam kedewasaan, sebagai seorang yang sudah sebatang kara, ia anggap Siu-lam itu adalah satu-satunya manusia di dunia yang menjadi tiang andalannya. Maka ia tak senang apaibila si nona baju putih bersikap baik pada Siu- la m.

Siu-la m tergerak hatinya me lihat sikap mesra dari dara itu. Dipeluknya dara itu seraya berbisik, “Cukuplah kalau kau sudah tahu, jangan suka mengada-adakan pikiran apa-apa lagi!”

Tiba-tiba terdengar Kat Hong menghela napas dan berkata pada saudaranya, “Adik, samar-samar aku mas ih ingat bahwa ayah telah dilukai si nona baju merah dalam ruang Hwe-lun- tian!”

“Ya, ya, akupun seperti melihat ayah terluka oleh ketiga siluman pere mpuan itu. Tetapi tiba-tiba jalan darahku ditutuk orang…” sahut Kat Wi dengan menghela napas. Kemudian berpaling ke arah Siu-la m ia berkata, “Apapun yang terjadi harap Pui-heng me mberitahukan terus terang. Toh sudah dalam keadaan begini, tak nanti kami berdua menyesal.”

Siu-la m merenung sejenak lalu berkata, “Sin Ciong totiang telah me mberikan dua butir kim-tan kepada saudara berdua. Kim-tan itu merupakan pil pusaka turun-te murun dari partai Bu-tong-pay. Selain itu, sekalian orang gagah yang ikut masuk ke dalam Hui-lun-t ian telah meningga lkan ilmu kepandaiannya masing- masing kepada saudara berdua. Budi para cianpwe itu sungguh tak ternilai. Mereka telah meletakkan seluruh harapan kepada saudara berdua. Apabila saudara sampai mengecewakan harapan mereka, rasanya Sin Ciong totiang tentu tidak dapat mengaso tenang di alam baka….”

Kedua saudara itu serempak menyahut, “Harap Pui-heng jangan kuatir. Kami berdua pasti takkan mengecewakan harpan Sin Ciong totiang!”

“Kesanggupan saudara itu pasti akan menentramkan hati Sin Ciong totiang yang telah member ikan ilmu pelajarannya agar ilmu itu tak ikut hilang…” Siu- lam berhenti sejenak lalu berkata pula, “Saudara memang benar, ayah saudara memang sudah meningga l….”

Mendengar itu air mata kedua pe muda itu me mbanjir turun. Namun mereka kuatkan hati untuk menahan kedukaan.

Siu-la m menghela napas, “Bukan me lainkan hanya Kat lo- cianpwe,  pun   kecuali   kita   berempat   ini,   yang   lainnya ke mungkinan besar tentu juga sudah tak ada….”

Dengan singkat Siu-la m segera menuturkan apa yang telah terjadi di ruang Hwe-lun-tian. Pada akhirnya ia menandaskan lagi akan  ke muliaan  hati  ketua  Bu-tong-pay  yang  relah me mber ikan pil mujizat itu kepada kedua saudara Kat.

Kat Hong bangkit dan mengaja k adiknya untuk me mberi hormat kepada jenazah Siong Gwat dan Siong Hong,  kedua ima m Ceng-sia-pay yang telah menggendong mereka.

Dengan haru dan khidmat, kedua saudara itu me mberi hormat yang sedalam-dala mnya kepada jenasah kedua tokoh Ceng-sia-pay.

Menunjuk pada buntalan kain di sa mping,  berkatalah Siu- la m, “Buntalan ini terisi ilmu pelajaran sakti dari para lo- cianpwe. Harap saudara berdua menyimpannya baik-baik. Jika sampai hilang berarti akan hilang ilmu kesaktian dari dunia persilatan!”

Kat Hong me mbuka buntalan itu. Tangkai pedang, lengan baju, keping kayu dan benda-benda yang bertuliskan ilmu pelajaran sakti, dibagi dua diberikan kepada adiknya. Setelah menyimpannya baik-baik, berkatalah ia, “Jika berdua sa mpai tertimpa sesuatu bahaya, harap Pui-heng menga mbil buntalan yang kami bawa ini. Sekali- kali jangan sa mpai jatuh di tangan musuh.”

Pemuda itu berbangkit lalu me langkah ke luar. Siu-la m tercengang dan buru-buru mencegahnya, “Saudara Kat, tunggu dulu. Kau hendak ke mana?”

“Mumpung kami masih me mpunyai kekuatan untuk menghadapi musuh, ka mi akan berusaha untuk lolos dari Beng-gak. Jika tidak tentu ka mi di sini akan le mas kelaparan!” sahut Kat Hong.

Siu-la m menghela napas, “Apakah saudara menganggap kepandaian saudara itu lebih unggul dari lo-cianpwe itu?”

Sahut pemuda itu, “Dalam keadaan seperti saat ini, walaupun kepandaian tidak me menuhi syarat, tetapi lebih baik kita berpantang maut sebelum ajal. Mari kita keluar berpencaran dari empat penjuru. Satu saja bisa lolos, sudah beruntung daripada mati se mua!”

“Berani kupastikan bahwa kita ini tiada yang dapat lolos,” kata Siu-la m.

“Jadi ma ksud Pui-heng, lebih baik kita tunggu ke matian di sini saja?”

“Keluar dari terowongan ini jangan harap bisa sela mat. Satu jalan hanyalah terus masuk berusaha mencari lubang yang bisa keluar dari lingkungan Beng-ga k!”

Kat Hong me langkah balik, katanya, “Hawa panas dari semburan asap tadi, tidak mungkin dapat kita tahan… ah, mungkin Pui-heng me miliki lwekang yang ma mpu menahan panas. Tetapi bagi kami berdua saudara, tentu akan mati kepanasan. Daripada menerjang maut lebih  baik kita adu peruntungan untuk me ngge mpur Beng-gak….”

Siu-la m tak leluasa untuk me mber itahukan tentang perintah Bwe Hong-swat kepada bujangnya agar me mbawa ro mbongan keempat pe muda itu menga mbil ja lan dari terowongan di situ. Ia kuatir Hian-song akan merajuk.  Tetapi Siu-la m yakin, bahwa Bwe Hong-swat me mpunyai hati yang kasih saying. Lain dari Hian-song yang berwatak keras dan berterus terang. Kepercayaan Siu-lam terhadap Bwe Hong-swat telah menimbulkan harapan pemuda itu bahwa adanya Bwe Hong- swat menyuruh ambil ja lan melalui  terowongan gunung, tentulah dalam terowongan itu terdapat sebuah jalan lolos.

Setelah merenungkan kese muanya itu, berkatalah Siu-la m, “Saat ini hanya ada dua jalan. Keduanya penuh penderitaan. Keluar dari terowongan dan bertempur dengan orang Beng- gak. Kita kesa mpingkan dulu soal ilmu kepandaian.

Tetapi cukup dengan cara mereka menabur kan racun saja, kita sudah tak ma mpu menandingi.” “Maksud Pui- heng….”

“Maksudku, daripada harus menghadapi orang Beng-gak dengan ke mungkinan tipis, lebih baik kita lanjutkan me nyusur terowongan ini. Kemungkinan terdapat jalan keluar!” kata Siu- la m.

Tetapi Kat Hong tetap menyangsikan kalau terowongan itu dapat menyela matkan mereka.

“Gunung berapi ini sudah berpuluh tahun mati. Tentu terdapat celah-celah lubang pada gumpalan-gumpa lan karang bekas lahar. Memang hanya semburan asap panas tadi yang kita ala mi, tetapi sampa i saat ini kita tak menderita gangguan apa-apa lagi. Coba saudara pikir. Jika me mang gunung berapi ini mas ih bekerja, kita mati tetapi dapatkah orang Beng-gak terhindar dari terjangan lahar maut?”

Akhirnya Kat Hong mengakui dan satu keputusan Siu-la m.

Siu-la m pun segera mengajak mereka berangkat.

Kat Wi menyeletuk bahwa dengan perut kosong, tak mungkin mereka dapat mencapai ujung terowongan yang tak diketahui berapa panjangnya itu.

“Ih,kalau kalian begitu takut mati, lebih baik jangan pergi saja!” Hian-song me nyeletuk dengan mengkal.

Kat Wi marah, “Kalau nona berani, mengapa aku seorang anak lelaki takut? Ayo  berangkat!” ia terus melangkah mendahului Siu-la m.

Siu-la m menceka l lengan anak muda itu, “Harap saudara janga  menurutkan   ke marahan   hati.   Biarlah  aku   yang me mpe lopori di muka!”

Tahu pe muda itu lebih sakti, Kat Wi pun tak mau berkeras kepala. Ia berjalan mengikut i di belakang Siu-la m.

Saat itu setelah cukup duduk menyalur kan napas mereka merasa segar dan tajam penglihatannya. Dilihatnya di sebelah muka hanya gunduk-gunduk karang. Belasan tombak jauhnya, ke mbali mereka harus melintasi sebuah jalan yang sempit. Suara gemur uh itupun terdengar lagi.

Siu-la m berhenti dan pasang pendengaran la lu berjalan perlahan-lahan. Ia tahu bahwa suara menggelegar yang gemuruh itu menandakan bahwa perut gunung terdapat gerakan lava (gejolak lahar). Tetapi tak mau ia me ngatakan hal itu supaya jangan mengecilkan hati kedua saudara Kat.

Maka berjalanlah kee mpat pemuda itu dengan langkah berat dan hati tegang. Tiba-tiba dengan Hian-song menghela napas, “Engkoh Lam, apabila kita berhasil lolos dari perut gunung ini, ke mungkinan kita masih terancam kesulitan- kesulitan lagi!”

“Kesulitan yang bagaimana?”

“Kali ini banyak tokoh persilatan yang binasa di gunung Beng-gak. Hanya kita berempat yang berhasil lolos, dengan begitu murid- mur id mereka tentu akan mencari kita untuk menanyakan tentang ke matian guru-gurunya!” kata Hian- song.

“Ah, janganlah me mikirkan begitu jauh. Yang penting kita sedang menghadapi bahaya, dan tipis ke mungkinan kita dapat selamat,” diam-dia m Siu- lam me nda mprat dara itu. Na mun ia tertawa dan mengiakan kata-kata Hian-song, “Ya, ya, kita  tentu repot tiap hari mener ima tetamu….”

Kat Wi menyeletuk, “Ah,  saudara  berdua  masih  sempat me mikirkan apa yang belum terjadi. Lebih baik kita kesampingkan dulu hal itu.”

“Apa? Kau takut mati” Hian-song tertawa. “Apa kau tak takut?” balas Kat Wi.

“Apa guna kita takut? Dalam keadaan seperti saat ini, kita tak tahu bagaimana nasib kita nanti. Mati atau hidup terserah saja.” “Adik, nona Hian-song benar,” Kat Hong ikut bicara, “apabila gunung berapi ini meletus tak mungkin kita bisa hidup!”

Untuk menghindari perdebatan yang tiada berguna, Siu- lam minta supaya mereka berjalan dengan hati-hati dan cermat. Tiba-tiba terdengar letusan mengge legar yang makin la ma makin dekat. Dan pada lain saat serangkum hawa belerang menye mbur ke dalam terowongan.

Siu-la m terkejut dan lekas-le kas suruh kawan- kawannya menyalur kan lwekang dan rebah di tanah. Tepat pada saat mereka mene lungkup ke tanah, suara letusan itu melayang di atas kepala mereka. Hampir seper minum teh la mannya, suara letusan itu baru hilang.

Untunglah mereka sudah siap lebih dulu. Ketika bangun Kat Wi batuk-batuk karena mulut menyedot bau belerang yang masih me menuhi liang terowongan. Ternyata dia hendak mengusulkan lebih baik ke mbali dan keluar dari terowongan saja lalu bertempur  dengan  orang  Beng-gak.  Tetapi  baru me mbuka mulut sudah batuk-batuk.

Rupanya Siu-la m tahu apa yang hendak dikatakan pe muda itu. Ia menghe la napas dan setengahnya me mberi da mpratan halus, “Beban yang diletakkan para cianpw di atas bahu saudara, amat berat. Jika sampai terjadi apa-apa bukan saja saudara mengecewakan harapan mereka, pun  ilmu kepandaian sakti dari berbagai aliran persilatan akan turut ludas….”

Kat Hong pun menganjurkan agar adiknya menurut i nasihat Siu-la m. Tiba-tiba Kat Wi  berbangkit  dan  rentak  mengajak me lanjutkan lagi.

Selama menyusuri terowongan, angin dan letusan-letusan dahsyat sudah tiada terdengar lagi.  Setelah beberapa  lama  ke mudian, tiba-tiba mere ka tiba di sebuah simpang tiga.

“Pui-heng, kita a mbil jalan yang mana?” tanya Kat Wi. Me mang ketiga simpang jalan itu ha mpir serupa. Sesaat Siu-la m tak dapat menentukan.

“Ah, yang manapun boleh saja. Toh ke manapun kita tetap mati… ” Kat Hong me nghela napas.

“Tetapi ketiga jalan ini tak sama. Angin panas tadi tentu berasal dari salah satu jalan ini. Dan letusan  menggelegar tadi, mengapa tidak terdengar lagi.  Ini dapat me mbantu kita…” kata Siu-la m yang berhenti tiba-tiba karena dikejutkan oleh setiup angin dingin yang mengha mbur dari salah sebuah ketiga jalan.

“Pui-heng, mar i kita ambil dari jalan yang menghe mbus angin dingin ini,” kata Kat Hong.

Tetapi Siu-la m malah duduk berse medhi menyalurkan napas, ujarnya, “Angin dingin ini kelewat dingin. Setelah beberapa lama dalam hawa panas, kemungkinan kita  tak tahan. Lebih baik kita duduk me mulangkan napas dulu.”

Hian-song me mbenarkan. Kedua saudara Kat itupun terpaksa mengikuti.

Tengah mereka duduk bersila, tiba-tiba dari sa mping meniup angin panas lagi. Bahkan lebih panas dari yang tadi, sehingga mereka ber mandi keringat. Angin panas yang segera disusul dengan semburan asap itu berasal dari jalan di sebelah kiri. Di balik ha mburan asap itu ta mpak me mburat sinar api.

“Api! Lekas me nyingkir, gunung ini akan  meletus…” serentak kedua saudara Kat itu menjerit dan loncat bangun terus lari ke salah satu ja lanan.

Me mang saat itu segulung api melanda dari jalanan sebelah kiri yang tepat berada di belakang kedua saudara itu.

Siu-la m me nghantam api itu. Dan dia berhasil mengurangkan semburan api yang melanda dengan cepat. Tetapi itu hanya suatu penundaan karena pada lain saat, api menyerang lebih hebat dan cepat sehingga Siu-la m tak sempat lepaskan tamparan lagi.

Siu lam hendak loncat ke jalan ditengah tetapi serangan api telah me maksa ia mundur dan masuk ke ja lan yang sebelah kanan. Terowongan jalan di situ se mpit dan berliku- liku. Karena serangan api yang panas, terpaksa Hian-song dan Siu- lam lari menyusul terowongan itu. Berulang kali mereka harus mer ingis karena tubuh dan kepala mereka terbentur karang yang menonjo l taja m.

Entah sudah berapa lama mereka mat i- matian melar ikan diri dari serangan api itu. Baru setelah merasa ancaman api itu berkurang, mereka hentikan larinya.

“Adik Song, apakah kau terluka?” tanya Siu- la m.

“Eh, masih bertanya. Lihatlah kepala mu sendiri itu!” Hian- song menga mbil sapu tangan dan menyeka kepala pemuda itu dengan mesra.

“Adik Song, apakah kau sungguh-s ungguh tak terluka?”

Hian-song tertawa, “Sekali kepalaku terantuk karang, aku lantas berhati-hati!”

Siu-la m tertawa gembira. Tetapi diam-dia m ia terkejut. Jelas bahwa kepandaian dara itu ternyata lebih unggul dari dirinya. Ia babak bonyok, tetapi dara itu tak kurang suatu apa. Ia mengajaknya duduk berse medhi lagi.

“Apa kau letih?” tanya Hian-song?

Siu-la m mengatakan bahwa tulang-tulangnya nyeri sekali akibat benturan-benturan pada batu karang.  Kemudian ia mneyatakan penyesalannya karena telah mengajak dara itu ke Beng-gak yang penuh derita.

“Tetapi sela ma dengan kau, segala penderitaan kuterima dengan gembira,” sahut si dara. “Eh, tulangmu di bagian mana yang sakit, mari kuurutnya!” Tanpa tunggu jawaban orang, dara itu terus mengurut urat kaki Siu- la m.

Dipijati oleh tangan yang halis, rassa sakit Siu-la m me njadi mengurang dan tak la ma ke mudian ia tertidur pulas.

Ketika bangun ia melihat  Hian-song duduk bersemedhi pejamkan mata. Dia m-dia m timbul kesan yang mendala m pada hati Siu-lam. Bahwa dara yang sudah sebatang kara itu jelas menganggap dirinya sebagai orang satu-satunya yang menjadi  tiang  sandaran.  Ia   menyesal   bahwa   ia   telah me mbawa-bawa dara itu ke tempat neraka semacam Beng- gak.

“Engkoh La m,  kau  sudah  bangun?”  tiba-tiba  dara  itu me mbuka mata.

Siu-la m mengia kan, “Berapa la ma aku tertidur tadi?”

“Kira- kira satu jam?” sahut Hian-song. “Eh, engkoh La m, mengapa kau menghela napas?”

“Aku me mikir kan kedua saudara Kat tadi. Entah bagaimana dengan mereka,” kata Siu-la m.

“Mereka masuk ke dalam terowongan yang berhawa dingin.

Kemungkinan mere ka tentu tak tahan!”

“Benar, me mang hawa itu luar biasa dinginnya!” “Terowongan yang kita masuki ini, cukup me muaskan.

Tidak dingin tidak panas.”

Siu-la m berbangkit dan segera ajak melanjutkan perjalanan lagi.

Sambil mengikuti di belakang Siu- la m, si dara berseru, “Engkoh La m, bahaya apapun yang akan menghadang di sebelah muka, janganlah kita sampa i bercerai. Sungguh engkoh, aku takut setengah mati kalau berjalan seorang diri dalam terowongan segelap ini! ”  “Tak apa. Terowongan ini tak mungkin ada ular dan binatang berbisa!”

Demikian sa mbil berjalan, keduanya bercakap sa mbil bergurau. Setelah melintasi dua buah tikungan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh maca m o mbak lautan.

“Engkoh La m, apakah kau dapat berenang?”

“Bukan, suara itu bukan  seperti debur  ombak,” kata  Siu- la m.

“Kalau bukan air, habis apa?” “Seperti angin puyuh!”

“Ah, mana mungkin?”

“Me mang benar angin. Inilah yang me mbingungkan!” “Mengapa bingung?  Ini berarti kita bakal lekas dapat

keluar!” sebaliknya Hian-song ma lah ge mbira.

“Tetapi dapat mendengar deru suaranya, mengapa kita tak merasa he mbusan angin itu

sedikitpun juga?”

Hian-song mengatakan tak usah banyak pikir lebih baik berjalan maju lagi.

Beberapa belas tombak jauhnya, deru angin itu makin dahsyat. Namun mereka tetap tak merasa sesuatu he mbusan apa-apa. Tetapi beberapa langkah kemudian, mereka terkejut, ketika deru angin ma kin dekat dan melengking  me nusuk telinga.

Setelah me mbelo k sebuah tikungan lagi, mereka berhadapan dengan sebuah karang buntu yang gelap. Kini Siu-la m baru mengetahui bahwa karang buntu itulah yang menahan masuknya angin ke dalam terowongan. “Engkoh La m, ayo kita ke mba li saja! Karang itu buntu!” tiba-tiba Hian-song berseru.

“Tidak, adik Song. Justru kita sudah hampir dapat lolos dari bahaya!” jawab Siu-la m. Ke mudian ia ajak si dara duduk bersemedhi lagi untuk mengumpulkan tenaga.

Atas permintaan si dara, Siu- lam me mberi penjelasan, “Terowongan ini terletak di perut gunung dan tembus ke darat gunung. Tak mungkin terdapat angin. Angin dahsyat itu tentu berasal dari luar gunung. Dan karang buntu ini pasti tidak berapa tebal!”

Hian-song    girang    mendengar    penjelasan    itu.    Ia me mbayangkan bahwa tak la ma, tentu sudah dapat lolos dari neraka.

“Engkoh La m, ke mana kah kita akan me nuju setelah keluar dari neraka ini?” tanyanya.

“Soal itu belum dapat kupastikan. Yang jelas dunia persilatan tentu akan mendengar berita tentang kematian beberapa tokoh di Beng-gak. Mereka  tentu  takkan  t inggal dia m. Dunia persilatan pasti akan timbul pergolakan hebat…” Siu-la m berhenti sejenak karena didapatinya dara itu sandarkan kepalanya pada  bahunya,  “eh,  adik  Song,  kau me mikir apa?”

“Kubayangkan setelah kita lolos dari sini, apakah kita masih dapat berkumpul terus. Kalau di sini me ma ng terdapat bahan makanan, alangkah baiknya kita terus berada di sini saja.”

Siu-la m terbeliak, ujarnya, “Tetapi adik Song, kita harus berdaya upaya untuk tinggalkan tempat ini. Kita harus lekas- lekas menyampa ikan berita ke matian para tokoh-toko h itu kepada dunia persilatan.”

“Kalau karang ini tidak seperti yang kau bayangkan, lalu bagaimana rencanamu?” tanya si dara pula. Siu-la m mengangkat bahu, “Kalau me mang begitu kita tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi sebelumnya kita harus berusaha!”

Tiba-tiba Hian-song loncat bangun, serunya, “Jalan pikiranmu berlawanan dengan aku. Na mun aku tetap akan menurut rencana!” Habis berkata ia menghanta m karang buntu ini.

Bum… pukulan Hian-song mental dan me mantulkan suara kumandang. Siu- lam terkejut dan menusuk karang itu dengan pedangnya. Suara kumandang itu me lantang pula.

“Engkoh, itu bukan karang betul!” kata Hian-song.

“Benar, seperti karang logam. Aneh, mengapa di dalam perut gunung terdapat dinding karang loga m!”

“Ya, me mang aneh. Padahal te mpat ini jelas belum pernah didatangi orang!” kata si dara.

Karena tak dapat me mecahkan persoalan itu, Siu-la m mengajak duduk berse medhi lagi.

“Ah, kalau benar dinding karang ini dari logam besi, jangan harap kita dapat keluar!” Hian-song tertawa tawar.

“Salah, kalau me mang dinding karang loga m,  kita  malah me mpunyai harapan keluar!”

“Hai, mengapa?” Hian-song heran.

“Kalau dinding loga m, terang dahulu tentu sudah ada orang yang pernah datang ke sini!” kata Siu-la m. Tiba-tiba  ia  rasakan tubuhnya kesemutan. Saking  kagetnya ia loncat beranjak.

Hian-songpun me mpunyai  perasaan  demikian  dan  ikut me lonjak juga. Tetapi setelah turun ke tanah perasaan kesemutan itu hilang. Mereka saling menyatakan apa yang dirasakan tadi. “Celaka, kita bersua setan?” Hian-song menjer it ketakutan, lalu jatuhkan diri ke dada Siu- la m.

Siu-la m menghiburnya. Bahwa di dunia ini sebenarnya tak ada setan. Tetapi belum habis kata-katanya ia rasakan tubuhnya kesemutan lagi sehingga ia berteriak dan me lonjak kaget.

“Celaka, aku bisa mati ketakutan. Hayo, kita pergi!” teriak Hian-song.

Sudah tentu Siu-la m tak mau. Karena sudah sampai di situ, percuma kalau ia harus ke mba li lagi.

“Tidak, adik Song. Tenaga yang me mbuat kita kesemutan itu jelas bukan dari setan…”

“Kalau bukan setan, habis apa?”

“Andaikata setan, pun tetap kalah berbahaya dari orang- orang Beng-gak!”

Demikian kedua anak muda itu termenung beberapa saat. Mereka benar-benar tak mengerti apa-apayang menyebabkan tubuh kese mutan itu.

Saking jengkelnya, Siu-la m mengha mpiri  dinding dan menghanta m sekuat-kuatnya. Bum… dinding tetap tak bergeming tetapi beberapa pasir tampak berha mburan. Buru- buru Siu-la m me meriksa pasir itu. “Ah, ternyata memang bukan pasir biasa me lainkan pasir besi.”

“Engkoh La m, apa yang kau lakukan itu?” “Kita me mpunyai harapan keluar.” “Bagaimana?”

“Dinding itu je las bukan karang besi melainkan gumpalan pasir besi yang membe ku. Walaupun keras tapi karena pasir, tetap dapat dihancurkan. Apa lagi kalau kita perlahan-lahan mengoreknya dengan pedang, tentu akan berlubang!” “Tetapi berapakah tebalnya?”

“Rasanya tak seberapa tebal. Karena kalau tebal sekali tak mungkin kita dapat mendengar suara deru angin gemuruh itu. Adik Song, mungkin sebelum berhasil mengorek sebuah lobang, kita tentu sudah lemas karena lapar. Tapi apa boleh buat, kita tak ada la in daya lagi!”

Hian-song tertawa dan mengatakan dalam keadaan bagaimanapun juga, ia tetap menurut saja pada pemuda itu. Kemudian ia mengeluarkan pedangnya dan mulai me nusuk- nusuk dinding karang. Ah, benar juga. Pasir berhamburan.

Siu-la m pun ikut menusuk dengan pedangnya. Karena keduanya me miliki tenaga sakti ma ka dalam beberapa kejap saja, mereka sudah berhasil me mbuat lobang sebesar setengah meter. Pedang pusaka milik Hian-song, bergurat- gurat ujungnya.

Entah  berapa  lama  mereka   bekerja,   setelah   berhasil me mbuat lobang se meter besarnya, pedang keduanyapun sudah tak karuan wujudnya. Dugaan Siu- lam bahwa dinding karang itu tak berapa tebal, ternyata meleset.

Mereka berhenti untuk berse medi me mulangkan se mangat. Kemudian mereka bekerja lagi. Sampai me mbe lai-bela i rambut si dara, berkatalah Siu-lam dengan rawan, “Adik Song, kalau sekali ini gagal, tak perlu kita bekerja lagi. Ah, aku benar- benar menyesal sekali telah menyebabkan kau menderita. Aku harus minta maaf sebesar-besarnya kepada arwah Tan lo- cianpwe di alam baka….”

Hian-song tertawa menghiburnya, “Kami merasa beruntung karena kakek telah menyerahkan diriku kepada mu. Dan saat ini aku benar-benar bahagia karena dapat sehidup se mati dengan kau!”

Dengan sekuat tenaga dara itu menusukkan pedangnya, uh… ia menjoro k ke muka karena batang pedangnya telah menyusup masuk. “Engkoh La m, kita berhasil mene mbus karang ini!” serunya kaget.

“Benarkah?” Siu- lam berseru girang. Ia pun menusuk. Ah, ternyata pedangnya dapat menyusup tembus pada dindiug karang.

Setelah mencabut pedangnya, Hian-song mengintai pada bekas lubang tusukannya. Ia terkejut karena di luar dinding karang itu ternyata gelap sekali. Entah te mpat apa.

Siu-la mpun mengintai juga. Dia hampir putus asa karena keadaan tempat itu. Tetapi pada lain kilas  ia  menduga tentulah saat itu pada mala m hari.

Ia ke mbali hantamkan pedangnya sehingga lubang itu makin me mbesar dan cukup untuk dimasuki orang.

Segera ia memanjat dan menyusup ke dalam lubang itu. Ketika kakinya hendak melangkah keluar, tiba-tiba ia rasakan menginjak tempat kosong. Karena tak menduga, hilang keseimbangan tubuhnya dan meluncurlah ia ke bawah.

Kejutnya bukan kepalang.  Ia  kuatir  Hian-song  akan menga la mi  nasib  serupa.  Maka  dalam  waktu  tubuhnya me layang    itu,     ia     masih     se mpat     berteriak-teriak me mper ingatkan si dara supaya berhati hati.

Bluk… jatuhlah ia ke sebuah tempat karang yang keras. Untung sebelumnya ia sudah siap menge mpos se mangatnya sehingga tak sa mpa i terluka berat.

“Engkoh La m, kau di mana?” sidara melengking nyaring  dan terus menyusul.

“Aku disini…” baru Siu- lam menyahut tiba-tiba si dara sudah melayang turun di sa mpingnya.

“Engkoh, apa kau tak terluka?” “Tak apalah,” sahut Siu-la m, “tetapi kita berada di mana sekarang ini? Mengapa deru angin puyuh tadi tak kedengaran lagi?”

Mata Hian-song yang tajam dapat melihat pada samping kanan kirinya, merupakan karang dengan di tengahnya sebuah terowongan sempit. Menyerupai sebuah lembah yang dalam.

Sekonyong-konyong terdengar angin  menderu-deru dahsyat seperti badai. Kumandangnya bagai ribuan laskar berkuda menyerbu di medan perang!

Siu lam terkejut dan me langkah mundur. Maksudnya hendak bersandar pada dinding karang. Tetapi badai angin itu meniup dahsyat sekali. Kekuatannya ma mpu menumbangkan sebuah bukit!

Begitu tersambar, Siu-la m tak kuasa bertahan diri lagi. Dalam deru badai dahsyat ia tiba-tiba ia masih mendengar lengking jeritan Hian-song. Tetapi jeritan itu cepat ditelan badai.

“Adik Song…! Siu- lam berteriak. Duk… tiba-tiba tubuhnya terbentur pada dinding karang. Kepalanya seperti dipalu besi. Seketika matanya berkunang-kunang dan tak tahulah ia apa yang terjadi.

Tubuh pe muda itu rubuh ke mudian dida mpar badai raksasa dan melayang-layang bagai layang-layang putus tali di udara….

Entah berapa lamanya Siu-la m dalam keadaan tak sadar itu. Ketika ia me mbuka mata, telinganya segera mendengar suara helaan napas berat, “Ah, kasihan kau nak… kau sudah sadar?”

Siu lam merentang mata. Dipandangnya orang itu dengan seksama. Ah, seorang nenek tua yang duduk di sebuah kursi bambu, di sa mpingnya. Ia sendiri ternyata berbaring di sebuah balai-balai.

Ia berada dalam sebuah ruang gubuk yang bersih. Sinar matahari menerobos masuk dari daun jendela.

“Nenek, tempat apakah ini? Apakah aku masih hidup?” tanyanya heran.

Nenek itu tertawa, “Kau terluka parah sekali, nak. Sudah sehari semala m kau tidur terus. Aii, kau memang  seorang muda yang kuat. Jika seperti aku si nenek tua ini, tentu sudah tidak tertolong lagi!”

Siu-la m hendak bergeliat bangun tetapi dicegah si nenek, “Kau baru tersadar, jangan bergerak dulu. Nanti kua mbilkan bubur untukmu!”

Nenek itu bangkit menyambar tongkat ba mbu yang tersandar di dinding, la lu berjalan ke luar.

Siu-la m meraba kepalanya. Di dapatinya sang kepala sudah dibalut kain, pinggang dan punggungnya terasa sakit.

Serentak teringat ia akan peristiwa yang dialaminya ketika berada dalam perut gunung berapi. Jika dituturkan mungkin orang takkan percaya.

Ia menghela napas. Telinga serasa mas ih terngiang oleh lengkingan jerit Hian-song. Ah, kemana kah gerangan dara itu… seketika darah mendebur keras. Tetapi dengan menahan sakit, ia perlahan- lahan melangkah keluar dari ruangan.

Di luar gubuk, merupakan sebuah halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bungaan. Pemandangan sekeliling penjuru dan angin pegunungan yang berhembus, menimbulkan rasa nyaman yang indah….

Beberapa langkah jauhnya, ia. bingung  ke mana harus mencari Hian-song. Ah, buru-buru ia berputar tubuh hendak bertanya pada nenek yang empunya gubuk. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki  seseorang. Cepat ia berbalik tubuh lagi, ah, ternyata seorang tukang tebang   kayu   kira-kira   berumur   lima    puluhan    tahun, me manggul seonggok kayu bakar.

Siu-la m hendak menegur tetapi tiba-tiba tukang tebang kayu itu terkejut. Meletakkan kayunya, ia buru-buru lari mengha mpiri.

“Hai, tuan luka parah sekali, belum se mbuh. Mengapa keluar ke mana- mana. Ah, temanku ini me mang kurang hati- hati menjaga!” serunya.

Siu-la m mengatakan bahwa ia sendirilah yang diam-dia m telah keluar dari gubuk.

“Ah, kau benar-benar seorang pemuda kuat. Kemarin kau sangat payah sekali, tetapi kini sudah jauh lebih baik!” seru si tukang tebang kayu.

“Paman, maukah pa man menunjukkan te mpat ketika paman me nolong diriku ke mar in?”

Tukang tebang kayu itu mengatakan bahwa Siu-la m mas ih terluka. Di kuatirkan tak dapat mencapai tempat itu. Tetapi Siu-la m mengatakan tiada halangan.

Tukang    tebang    kayu    itu     me ngatakan     hendak  me mber itahukan kawannya dulu. Setelah beberapa jenak masuk ke dalam gubuk, ia keluar dengan me mbawa sebatang tongkat untuk diberikan pada Siu-la m.

Siu lam menghaturkan terima kasih.  Dengan bantuan tongkat, ia berjalan mengikut pe milik gubuk. Berkat Iwekangnya yang tinggi, lukanya sudah banyak berkurang sehingga gerakannyapun ma kin lincah lagi.

Setelah melintasi puncak gunung, tibalah mereka di sebuah tempat yang seram. “Jalanan le mbah itulah yang di sebut Im- hong-koh yang termasyhur. Lembah itu sering timbul angin badai yang dahsyat. Batu dan pohon beterbangan dilandanya. Cobalah lihat keadaan le mbah itu, tuan tentu tahu!”

Melongok ke bawah, tampak le mbah itu ratusan to mbak dalamnya. Dasarnya gelap gulita. Dinding le mbah merupakan karang yang licin dan me landai cura m.

Orang tua itu menghela napas, ujarnya pula, “Im-hong- koh me mang merupakan te mpat yang aneh sekali. Sepanjang dua, tigapuluh li, kedua la mping dinding le mbah tajam sekali. Ah, alam me mang ajaib sekali di dalam menciptakan segala benda di dunia. Jalanan lembah bagian sini hanya selebar sepuluhan tombak. Jika  keadaan  jalan  ini  serupa  dengan  yang  lain, ke mungkinan seluruh le mbah yang luasnya seratus li itu tak terdapat barang suatu tumbuh-tumbuhan apa-apa….”

Lebih jauh orang tua itu menerangkan bahwa angin badai itu luar biasa dinginnya. Maka le mbah itu disebut orang Im- hong-koh (le mbah angin Im atau jahat).

Siu-la m me nanyakan tempat ia dite mukan dalam keadaan tak sadar.

Menuding ke arah sebuah puncak gunung yang terpisah satu li jauhnya, berkatalah penebang  kayu  itu,  “Tuan mengge letak pingsan di bawah batu besar itu!”

“Terima kasih atas pertolongan paman. Tetapi orang yang lainnya?”

“Apa? Kau me mpunyai kawan?”

“Benar, aku bersa ma seorang adikku pere mpuan …. “ Orang itu gelengkan kepala dan berkata dengan mantap,

“Tak perlu aku mencarimu. Bahwa kau dapat sela mat itu sudah seharusnya berterima kasih pada  Tuhan.  Adikmu itu  ke mungkinan sudah lenyap ditelan angin Im-ho ng!” Me mandang jauh ke dalam lembah, beberapa butir air mata Siu-la m mengucur. Kemudian ia berdoa, “Semoga Tuhan me lindunginya agar dia terhindar dari bahaya maut….”

Betapa pedih hati Siu- la m, sukar dilukiskan. Tetapi ketika teringat bahwa kepandaian Hian-song lebih tinggi, ia terhibur. Kalau ia dapat berusaha menyelamatkan diri, tentulah dara itu juga lebih ma mpu.

Tukang tebang kayu itu menanyakan bagaimana  hal ikhwalnya Siu- lam dapat terlanda badai Im-hong.

Dengan singkat Siu- lam menjawab, bahwa salah satu masuk ke dalam le mbah ini !”

Tiba-tiba tukang tebang kayu itu berseru, “Ah, ha mpir aku lupa menerangkan.  Le mbah   Im-ho ng-koh   ini   selain menge luarkan badai dingin, pun juga menghe mbus kan angin yang panas, Jika angin panas itu berhe mbus, segala ma khluk tentu terbakar hangus!”

Dia m-dia m Siu- lam me mutuskan untuk ke mbali ke pondok orang tua itu dulu. Jelas bahwa usaha pencaharian Hian-song, sukar sekali. Maka ia segera mengajak pak tua itu pulang.

Orang tua itu mengangguk. Ia menghela napas, “Le mbah Im-ho ng-koh itu merupakan tenpat aneh nomor satu di dunia. Sekalipun luasnya hanya tiga empat puluh li tetapi penuh dengan keajaiban keajaiban….”

Siu-la m minta supaya orang tua itu suka mencer itakan lebih jauh.

Setelah sejenak mengumpulkan ingatan, orang tua itu bercerita  lebih  lanjut,  “Lembah   ini sebenarnya  merupakan le mbah mati. Tetapi aneh sering me ngeluarkan angin badai. Padahal ujung le mbah merupa kan karang buntu. Entah dari mana angin itu asalnya….”

“Karena adanya angin dingin dan angin panas, iklim dalam le mbah itu setiap saatpun berobah-robah….”

Karena sejak tadi hanya mengatakan tentang badai, maka Siu-la m mendesaknya, “Selain itu, apakah masih terdapat lain keanehan lagi?”

Orang tua menggaruk kepala, katanya, “Ada, ada. Setiap pertengahan tanggal, lembah ini sering muncul gumpalan api warna kebiru-biruan yang bertebaran me menuhi le mbah dan menge luarkan bunyi mendesis maca m suara genderang. Dan di sa mping t iga buah keanehan ini, masih ada keanehan yang keempat yang paling menyeramkan…”

“Apa?” tanya Siu-la m.

“Seekor binatang  aneh  yang mir ip   ular mir ip  naga.

Tubuhnya bersisik merah seperti api.”

“Hai? Ular atau naga?” Siu- lam berteriak kaget.

“Ketika kami datang, makhluk aneh itu tengah merayap masuk ke dalam sebuah goha dan hanya ekornya yang masih berada di luar. Kala itu terang bulan sehingga tampak jelas sekali kulit binatang itu. Yang anehnya, yang mengherankan, tampaknya binatang itu me mpunyai dua buah ekor. Jika benar seekor ular atau naga masakan berekor dua!” kata si tukang tebang kayu.

Dia m-dia m Siu- lam me mbatin, ke mungkinan tukang tebang kayu dan istrinya itu agak silap sehingga mengira binatang itu berekor dua.

“Ke mungkinan binatang itu me mang ada dua ekor,” kata Siu-la m tertawa.

Tukang tebang itu berpaling menghadapi Siu- la m, serunya dengan tegas, “Aku sudah berpuluh tahun. Tak mungkin keliru me lihatnya. Jika toh semacam kelabang, tentulah kelabang yang berumur ribuan tahun!” Siu-la m tak mau berbantah. Setelah me lihat-lihat beberapa saat, mereka pulang. Wanita tua pemilik gubuk menyambut mereka di a mbang pintu. “Kau mas ih berlumuran darah mengapa kau jalan-ja lan. Ayo, lekas masuk, bubur sudah menunggu!”

Siu-la m meoghaturkan terima kasih atas kebaikan nyonya rumah. Wanita itu tertawa rawan, “Ah, sayang anak perempuanku ketika baru berumur t iga tahun telah digondol setan gunung sehingga sampai sekarang lenyap. Entah hidup entah mati!”

“Ho, orang perempuan me mang cupet pikiran. Masakan siang hari ada setan. Yang jelas anak itu tentu dimakan binatang buas!” seru pak tua.

“Kenapa la in anak t idak dimakan? Kenapa hanya makan anakku saja…!” seru wanita itu dengan marah.

Pak tua mengatakan pada Siu- lam bahwa sejak kehilangan anaknya, wanita itu me mang agak linglung, “Dia masih tetap yakin bahwa pada suatu hari, anaknya pasti akan  ketemu lagi!”

Siu-la m menghibur, “Keajaiban me mang sering terjadi.

Anak bibi, mungkin masih hidup!”

Wanita itu gembira sekali. Tiba-tiba ia menghe la  napas, “Ah, jika anak itu ketemu, dia tentu sudah seorang gadis yang cantik.

Pak tua tertawa, “Ha, ha, jangan mela mun. Andaikata  masih hidup, ke mungkinan diapun tak kenal lagi pada mu!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar