Wanita iblis Jilid 17

Jilid 17

TIBA-TIBA dari belakang kedua orang tinggi besar itu terdengar suara orang melengking, “Sudahlah, jangan bertempur, berhentilah!”

Kedua orang tinggi besar itu menurut perintah. Mereka menarik tongkat dan tegak berdiri di sa mping.

Seorang nona baju biru yang me mbawa senjata  aneh maca m tanduk rusa, muncul di hadapan kedua orang tinggi besar. Dengan wajah berseri tawa, berserulah nona itu, “Paderi tua dan kau Tok-gan- kui (Setan mata satu yakni Siau Yau-cu), dengarlah aku hendak bicara….”

“Apa maksudmu?” tegur Siau Yau-cu.

“Le mbah ini se mpit sekali. Jika tak biasa bertempur di sini, tentu tak dapat menge mbangkan kepandaiannya….”

Dia m-dia m Siau Yau-cu me mbenar kan kata-kata nona itu.

Namun ia menyahut dingin, “Apakah maksud nona?”

Jawab nona baju biru itu, “Meskipun tuan berdua sakti, tetapi sukar rasanya untuk melintasi hadangan-hadangan dalam le mbah ini.”

“Hm, hendaknya nona jangan bicara berputar-putar,” dengus Siau Yau-cu, “harap lekas katakan apa maksud nona!”

Nona baju biru  itu  tertawa,  “Jika  tuan  berdua  hendak  me lintasi jalanan ini, harap mundur dan ke mbali ke te mpat semula dulu. Setelah ka mi bertiga menyeberang keluar, barulah tuan berdua masuk ke dalam le mbah….”

Ah, kiranya berputar-putar sampai sekian la ma, nona itu hanya menghendaki kedua tokoh itu mundur keluar le mbah.

Siau Yau-cu tertawa hambar, “Ah, lebih baik nona  saja yang mundur ke mbali dan ka mi yang melintasi lebih dulu!”

“Omitohud!” tiba-tiba Tay Hong berseru,  “Hud-co ampunilah mur id hendak me mbuka pantangan me mbunuh!”

Dengan kerahkan tenaga lwekang, ia melangkah ke muka. Tongkatnya tiba-tiba bergerak dalam jurus  Tit-to-ui-liong (luruk menjo lok naga kuning), menusuk ke arah salah seorang lelaki tinggi yang berdiri me nyambar karang gunung sebelah kiri.

Orang tinggi besar itu cepat-cepat gerakkan tongkat gok- song-pangnya untuk menghanta m tongkat orang. Tay Hong adalah ketua Siau-lim-s i. Dia sebenarnya memiliki kepandaian sakti dan lwekang yang tinggi. Tetapi sebagai seorang paderi yang saleh, ia selalu ber murah hati dan menjunjung  perike manus ian.  Tetapi  saat  itu   karena mence maskan kesela matan Su Bo-tun, ma ka ia bertindak keras.

Tring, tangkisan orang tinggi besar  itu  tak ma mpu mengha lang tongkat Tay Hong. Ujung tongkat ketua Siau-lim- si tetap langsung menusuk la mbung si tinggi besar. Huak… mulutnya muntah darah dan orangnya terpental beberapa meter di belakang si nona baju biru!

Seumur hidup jarang Tay Hong turun tangan seganas itu. Bahwa sekali gerak ia me mbinasakan jiwa si tinggi besar, paderi Siau-lim-si itu terkesiap sendiri dan buru-buru mengucap omitohud. Serunya, “Jika kalian berdua tetap tak mau menyingkir, jangan salahkan loni berlaku ganas!”

Ucapan itu ditutup dengan tusukan ujung tongkat kepada si tinggi besar yang berada di sebelah kanan. Hanya saja, kali ini ia cuma gunakan separoh tenaganya.

“Le mbah ini me mang se mpit tetapi tak ada barisan terpendam. Jika kita tak ke mbali, kawan-kawan tentu akan menyusul ke mari. Lebih baik kita berdua masuk,” kata Siau Yau-cu.

Setelah merenung sejenak, Tay Hongpun menyetujui. Begitulah kedua tokoh itu segera melintasi pintu batu. Tiba di ujung padang rumput, mereka berhadapan dengan sebuah pintu batu lagi. Pada pintu batu itu tertulis tiga huruf besar: Seng-su-bun atau Pintu Mati-hidup.

Si nona baju putih Bwe Hong-swat tegak berdiri di a mbang pintu dengan me me luk senjata giok-ci. Siau Yau-cu hendak menyelidiki keadaan tempat itu melalui Bwe Hong-swat. Tetapi wajah nona baju putih itu sedingin wajah sebuah patung….

Tay Hong me mandang  ke dalam pintu. Ta mpak di dalamnya penuh dengan bangunan gedung, merupakan sebuah dunia tersendiri. Diam-dia m Tay Hong menimang, “Ah, jangan-jangan tempat ini terdapat barisan pendam. Hanya saja Bwe Hong-s wat tak le luasa untuk me mberi isyarat!”

Tay Hong yang cerdik segera mengambil sikap seperti tak kenal   nona   itu.   Sambil   me lintangkan   tongkatnya,   ia me mbentak keras, “Harap nona suka menyis ih!” Ia menutup kata-katanya dengan gerak jurus Ngo-tiang-bit-san, tongkat dihantamkan ke kepala si nona.

Bwe Hong-swat berkisar diri dan menyisih ke sa mping kiri sampai t iga langkah ke mudian berseru dingin, “Silahkan masuk!”

“Omitohud!” seru Tay Hong seraya me langkah masuk. Seruan omitohud itu dila mbari dengan tenaga lwekang yang me mbuat telinga pekak.

Siau Yau-cu pun mengimbangi dengan bersuit nyaring lalu ikut masuk.

Di dalam pintu Sen-si-bun itu ternyata sebuah pemandangan la in. Barisan manusia- manusia aneh yang wajah dan dandanannya menyerupai setan, tegak berjajar- jajar di kedua sa mping jalan. Masing- masing me ncekal senjata. Tetapi manusia- manusia itu tak me ngacuhkan kedatangan Tay Hong dan Siau Yau-cu.

Dengan keliarkan mata dalam sekejap saja Siau Yau-cu sudah dapat mengetahui jumlah barisan manusia- manusia aneh itu tak kurang dari e mpat puluhan. Dia m-dia m ia terkejut, pikirnya, “Jika mereka sakti se mua dan kita hanya dua orang tentu sukar untuk menghadapi mereka!”

Tay Hong tenang-tenang saja. Ia tak menghiraukan barisan orang-orang aneh itu. Ia terus melangkah maju dan barulah berhenti ketika ia terhalang oleh sebuah ruang besar. Di samping ruang itu berjajar kedelapan gadis baju putih.  Masing- masing menceka l sebatang bian-to atau golok tipis.

Pintu ruang besar itu terkancing rapat. Di atasnya terdapat delapan buah tulisan:

“Barang siapa masuk selangkah saja, tentu bakal hancur binasa!”

Sejenak me mandang kedelapan gadis baju putih itu, berserulah Tay Hong, “Apakah pe mimpin kalian berada dalam ruang ini?”

Kedelapan gadis itu tertawa. Serempak  mereka  mundur tiga langkah dan me mber i jalan. Dan pintu bercat hitam itupun tiba-tiba mengatup sendiri tetapi sebelum menutup rapat, kembali berhenti. Lubang celah di tengah kedua daun pintu hanya cukup untuk dilalui seorang.

Me mandang ke dalam, Tay Hong me lihat sebuah ruang yang gelap gulita. Diam-dia m ia heran dan tak mengerti apakah yang direncanakan wanita siluman itu.

Tengah ia merenung, tiba-tiba dari dalam ruang terdengar suara orang bernada lembut sekali, “Paderi tua, mengapa kau ragu-ragu tidak masuk? Apakah kau takut?”

Dia m-dia m  Tay  Hong  menimang.  Jika   ia  tak   berani me masuki ruang itu tentu akan ditertawakan orang dan nama Siau-lim-si pasti akan jatuh. Maka setelah menetapkan keputusan segera ia me langkah ma ju. Tiba-tiba Siau Yau-cu loncat mendahuluinya. Melihat jago Bu-tong-pay itu sudah menerobos masuk, maka  kedelapan  gadis   baju   putih   itupun   tertawa-tawa me mandang kepada Tay Hong. Sudah tentu Tay Hong marah. Ia duga kawanan gadis itu tentu menertawakan dirinya yang tak berani masuk.

“Siau-heng, jangan masuk seorang diri, tunggulah loni!” setelah mengerahkan tenaga dalam segera ia ayunkan tongkatnya menghanta m daun pintu.

Bummm! Terdengar ledakan keras tetapi daun pintu bercat hitam itu tetap tidak bergeming. Kiranya daun pintu itu terbuat daripada besi baja yang kokoh sekali.

“Taysu, lekas menje mput sekalian kawan-kawan kita. Kekuatan kita tipis sekali, dikuatirkan tak dapat mengatasi keadaan!” seru Siau Yau-cu dari dala m.

Dia m-dia m Tay Hong me mbenarkan ucapan jago tua Bu- tong-pay itu. Jika pintu besi itu dapat bergerak me mbuka sendiri, tentulah juga dapat menutup sendiri.

Sekalipun di dalam ruang tiada terdapat barisan mus uh, tetapi dengan ditutup dalam pintu baja sekuat itu, tentu keduanya tak mungkin dapat keluar lagi.  Lebih baik ia mengundang   ro mbongannya  untuk   bera mai-ra mai mengge mpur pintu itu.

“Siu-heng, harap lekas keluar. Pada saat dan tempat ini, bukanlah waktunya untuk unjuk kegagahan!” seru Tay Hong kepada Siau Yau-cu.

Terdengar suara orang tertawa mengikik tetapi suara Siau Yau-cu tak terdengar sa ma sekali. Beberapa saat ke mudian, suara tertawa itupun berhenti dan ruangpun ke mbali sunyi.

Kembali kedelapan gadis baju putih itu me mandang Tay Hong seraya tersenyum ewah. Ketua Siau- lim-s i terkesiap, serunya dingin, “Jika kalian menggunakan siasat iblis, terpaksa loni bertindak!” Mendengar itu sekonyong-ko nyong kedelapan gadis itu bergerak-gerak menar i. Le mah ge mulai tubuhnya menyertai gerak tariannya yang indah, benar-benar sangat menarik. Karena sejak kecil tak pernah bergaul dengan kaum wanita dan tak pernah melihat tarian yang seindah itu berdebar- debarlah hati Tay Hong siansu.

Tetapi dia seorang paderi yang tinggi kebatinannya. Buru- buru ia tenangkan kegoncangan hati dan dengan me mbentak keras segera gunakan jurus Lat-sog-ngo-gak, ia menyerang kawanan gadis itu.

Kedelapan gadis itu terkejut dan cepat-cepat mundur ke samping. Tetapi setelah dapat menghindar i tongkat Tay Hong, merekapun maju menyerang dengan bian-to.

Tay Hong mendengus. Tongkat dibolang-balingkan  ke kanan dan ke kiri. Dalam sekejap saja ia telah lancarkan dua belas jurus serangan. Kedelapan gadis itu terpaksa harus mundur….

Tiba-tiba terdengar salah seorang dari mereka tertawa mengikik. Sekali tangan kiri bergerak maka terlepaskan pakaiannya putih. Saat itu ia hanya mengenakan celana dalam warna merah. Ketujuh kawannya pun mengikuti juga. Mereka lepaskan baju dan t inggal me ma kai celana dalam warna merah….

Tay Hong tertegun. Dia m-dia m ia me maki kawanan gadis yang tak punya malu itu. Tetapi karena ia betrayal gerakan tongkatnya pun agak kendor. Empat gadis itu menerjang maju seraya me mbaurkan hawa harum. Kee mpat golok tipis mereka berhamburan me nyerang jalan darah berbahaya di tubuh Tay Hong.

Tay Hong agak terkejut. Buru-buru ia pusatkan semangatnya dan sapukan tongkatnya. Keempat gadis yang menyerang itupun terpaksa mundur lagi. Kini kawanan gadis setengah telanjang itu berputar-putar menarikan bian-tonya untuk menyerang. Bermula Tay  Hong tak merasakan apa-apa, tetapi selang belasan jurus ke mudian tiba-tiba ia rasakan sesuatu yang tidak wajar. Dalam pandangannya kedelapan gadis itu benar-benar  menarik. Selain me miliki tarian golok yang merupakan  jurus-jurus serangan yang berbahaya, pun gerakan tubuh mereka sangat indah sekali. Perlahan-lahan tongkat ketua Siau-lim-si itupun makin kendor gerakannya….

Me mang hebat sekali kedelapan gadis itu. Selain me miliki wajah yang cantik jelita, pun gerak tarian bersama yang indah gemulai itu selalu diiringi dengan senyum yang menawan. Seorang paderi saleh seperti Tay Hong siansu, hampir saja tergoncang perasaannya. Untung dalam saat-saat yang berbahaya itu, Tay Hong dapat tersadar. Buru-buru ia berseru ‘Omitohud’. Sa mbil peja mkan kedua mata ia mainkan tongkat dalam ilmu Cap-pik- lo-han-ciang-hwat yang sakti. Ilmu permainan tongkat itu merupakan ilmu istimewa dari partai Siau-lim-si. Dima inkan oleh seorang tokoh semacam Tay Hong siansu, ilmu yang benar-benar sedahsyat gunung rubuh!

Ketua Siau-lim-s i itu tetap pejamkan kedua matanya sehingga pe musatan pikirannya lebih penuh. Pikiran terpusatkan, gerakan tongkatnyapun makin dahsyat.

Kedelapan gadis setengah telanjang itu tertawa mengejek karena me lihat tingkah laku paderi Siau- lim-s i itu. Masakan orang bertempur dengan mata mera m? Ah, dalam sepuluh jurus saja paderi itu tentu sudah dapat diringkus. De mikian pikiran mereka.

Tetapi apa yang mereka hadapi saat itu, benar-benar mengejutkan. Tubuh ketua Siau- lim-si itu seolah-olah tertutup oleh    bayangan    tongkat.    Sedikitpun    t iada     lubang kele mahannya. Di samping  itu,  pun  tongkat  si paderi makin la ma malah se makin menyerang gencar sekali. Kedelapan gadis bersenjata bian-to itu, dipaksa harus mundur dalam lingkaran setombak jauhnya. Mereka tak ma mpu mengisar maju walau pun hanya sejari!

Setelah dua puluh jurus la manya, Tay Hong merasa pikirannya sudah tenang. Tiba-tiba ia me mbuka mata dan dengan mengge mbor keras ia jurus Sin-liong-tiau-siu atau Naga sakti terpenggal kepalanya, ia hantam golok seorang gadis hingga terpental ke udara. Golok bian-to me mang tipis dan tajam luar biasa. Tetapi karena tongkat sian-ciang itu terbuat dari baja murni dan berat  sekali,  golok bian-to  tak ma mpu me mapasnya malah terpental jatuh!

Setelah me mperoleh hasil, semangat Tay Hong semakin menyala. Ia balikkan tongkat dengan jurus To-coan-im-yang (me mutar balik Im dan Yang) dan dapat menghanta m lepas golok dari gadis yang berkedudukan di sebelah tenggara. Dan me luncur ia lancarkan tiga kali serangan tongkat. Seketika kepungan kedelapan gadis itu menjadi kacau balau. Asal Tay Hong lanjutkan lagi serangannya, kedelapan gadis itu tentu terluka….

Tiba-tiba dari dalam ruang besar yang gelap terdengar lengkingan nyaring, “Kalian bukan tandingan paderi tua itu. Lekas mundur!”

Kedelapan gadis itupun mundur.

Kembali suara dari dalam ruang gelap itu melengking lagi, “Dapat me menangkan dengan beberapa pelayanku, masih belum termasuk sakti. Siau-lim-si adalah partai termasyhur dan dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan. Jika berani, masuklah ke ruang Hwe- lun-tian ini! ”

Tay Hong sejenak berpaling ke belakang. Ta mpa k Bwe Hong-swat masih tegak me me luk senjatanya Giok-ci. Sedangkan rombo ngan orang gagah di luar le mbah tadi masih belum ta mpak muncul. Dia m-dia m ketua Siau-lim-si resah….

Le mbah sempit itu hanya cukup dilalui dua orang. Jika orang Beng-gak menugaskan jago-jagonya yang sakti untuk menjaga mulut le mbah itu, tentu sukar bagi rombongan orang gagah untuk menerobos masuk. Dan mengapa Siau Yau-cu yang dipandang sebagai tokoh dewa pedang, begitu masuk ke dalam ruang Hwe-lun-tian lantas tak kedengaran suaranya lagi? Demikian pertanyaan-pertanyaan yang mencengka m dalam benak Tay Hong saat itu.

“Paderi tua, apakah kau takut?” ke mbali orang di dalam ruang gelap itu me lengking dengan tertawa mengejek.

Tay Hong benar-benar gelisah. Tidak masuk, kuatir akan ditertawakan. Berarti pula na ma Siau- lim-s i akan jatuh. Na mun masuk, ia kuatir masih akan me masang perangkap  yang ganas.

Ketua Siau-lim-s i itu ragu-ragu tak dapat segera mengambil keputusan….

Kembali suara lengking tertawa dari ruang itu terdengar pula, “Paderi tua, jika takut janganlah masuk. Segeralah berlutut di depan pintu dan me mberi hor mat t iga kali kepadaku….”

“Ho, kau anggap loni ini orang apa?” teriak Tay Hong dengan gusar, “Sekalipun ruang Hwe-lan-t ian ini merupakan gunung golok hutan pedang, loni tetap akan masuk juga!”

Dengan lintangkan tongkat sian-ciang, paderi Siau-lim-s i itu segera melangkah masuk. Bum… begitu masuk, pintu besipun segera mengatup rapat ruang gelap gulita sekali sehingga tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri.

Tay Hong kerahkan lwekang untuk  me lindungi  diri  lalu me mandang ke sekeliling. Berkat lwekangnya yang tinggi, penglihatannyapun tajam sekali. Cepat ia segera dapat melihat keadaan ruang itu.

Pada dinding sebelah muka, terdapat sebuah ranjang dari batu pualam hijau. Di atas ranjang itu duduk bersila seorang wanita berpakaian pertapa, tetapi wajahnya diselubungi kain kerudung warna hitam. Siau Yau-cu dan Su Bo-tun  tak  nampak berada di ruang situ. Entah di mana mereka.

Pada keempat ujung t iang, ditaruh sebuah pot bunga yang menyiarkan bau harum, kecuali pot bunga, ranjang pualam dan wanita berkerudung, lain- lain benda tak terdapat dalam ruangan itu.

Dia m-dia m Tay Hong heran, pikirnya, “Menilik sikapnya, wanita berkerudung itu bukan seperti orang yang habis bertempur. Tetapi mengapa Siau Yau-cu tak kelihatan?”

Tay Hong me mandang ke sebelah muka lalu berseru, “Apakah nona yang menjadi tuan ruma h di sini?”

Wanita itu perlahan-lahan me nyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya. Seketika ruangan yang gelap gulita itu menjadi terang benderang menyilaukan mata. Sebuah wajah yang cantik jelita menonjo l gilang-ge milang….

Kiranya sinar terang itu berasal dari untaian per mata yang dilekatkan pada kain kepalanya. Di antara roncean berpuluh- puluh per mata itu, paling depan sendiri adalah sebutir mustika sebesar buah kelengkeng. Sinarnya paling terang sendiri.

“Benar!” sahutnya dengan suara hening.

Betapapun kuat iman Tay Hong, namun tak urung tergetar juga hatinya melihat kecantikan wajah wanita itu. Betul-betul  ia kerahkan se mangatnya untuk menguasai dirinya. Setelah ia bertanya pula, “Kemanakah orang yang masuk ke sini tadi?”

Jawab wanita itu dengan nada melengking genit, “Ruang Hwe-lun-tian merupakan ruanga peleburan nyawa. Begitu masuk, mana dapat keluar lagi? Kedua sahabatmu itu telah terbenam dalam lautan derita siksaan yang hebat. Setelah mereka sadar akan kesalahannya dan bersedia bernaung dalam Beng-gak, barulah mereka dapat keluar dari laut penderitaan itu.” “Alam pelebur jiwa dari kar ma manusia, adalah ajaran yang diturunkan oleh Budha kepada manusia, agar kita manusia sadar akan kesalahan dan menuju ke jalan yang terang. Masakan kau layak me mbicarakan hal itu?”

Wanita cantik itu tertawa, “Ruang ini meskipun luas, tetapi tak ada alat perkakasnya apa-apa. Jika tak percaya, silahkan kau periksa di mana kedua sahabatmu itu.”

Me mang justeru hal itu yang mengherankan Tay Hong. Pikirnya, “Apakah Su Bo-tun juga masuk ke sini, itu masih belum jelas. Tetapi ternyata tadi Siau Yau-cu terang masuk ke sini. Mengapa dia tak tampa k sa ma sekali?”

Namun Tay Hong adalah seorang paderi yang cerdik sekali. Setelah merenung sejenak, tiba-tiba ia tersadar. Iapun tertawa dingin, “Jika gak-cu me masang alat rahasia di tengah ruang ini dan menggerakkan pada saat orang sedang lengah….”

Tiba-tiba   wanita    berpakaian    pertapa    itu    tertawa me lengking. Sekali tangannya melontar, pakaiannya berhamburan ke sa mping dan tubuhnya tak me makai selembar pakaianpun juga.

Sejak kecil Tay Hong sudah masuk gereja. Tak pernah ia bergaul dengan kaum wanita. Menyaksikan pe mandangan yang demikian ‘menyeramkan’ itu serentak Tay Hong segera berseru, “Omitohud!” lalu melengos  ke  sa mping  tak  mau  me mandang lagi.

Kemudian ia berseru nyaring, “Gak-cu  mengir im jarum untuk mengundang sekalian orang gagah. Apakah tujuan gak- cu? Gak-cu ter masuk ketua sebuah partai persilatan. Apakah perbuatan gak-cu bertelanjang itu tak merendahkan kedudukan gak-cu?”

Serangkum  angin  harum   me mbaur   dan   wanita   itu me lenking lagi, “Paderi tua, orang hidup paling la ma hanya seratus tahun!” Nadanya lemah le mbut, suaranya merdu sehingga semangat Tay Hong tergerak. Dia m-dia m ia terkejut dan tak berani mendengarkan lagi.  Serentak ia mengge mbor dan menyerang dengan tongkatnya!

Serentak dengan taburan angin tongkat yang menderu dahsyat, terdengarlah lengking tertawa wanita itu mengiang- ngiang lenyap bersama lenyapnya angin sa mbaran tongkat.

Tay Hong terkejut dan me mandang ke muka lagi, kawanan gadis telanjang itupun lenyap!

Ruanganpun seketika hening lagi.

Dalam pada itu Tay Hong pun menimang-nimang dalam hati, “Di dalam ruang ini entah berapa banyak alat-alat rahasia yang dipasang. Betapapun tinggi kepandaianku, tetapi aku hanya seorang diri. Tentu  tak  mungkin  ma mpu  menahan gelo mbang bahaya yang begitu banyak. Baiklah kubobolkan pintu besi dulu agar sekalian kawan-kawan dapat masuk!”

Secepat menetapkan  rencana,  ketua  Siau-lim-s i  itupun me lesat ke muka pintu dan ayunkan tongkat besinya. Buummm!! Terdengar  ledakan   dahsyat   macam   gunung me letus. Pintu tak apa-apa sebaliknya Tay Hong rasakan tangannya tergetar. Mau tak mau ia harus mengeluh.

Tiba-tiba terdengar lengking suara wanita tadi dari ujung ruang, “Paderi tua, apakah kau masih tak menyerah? Apakah kau ingin berkumpul dengan kedua kawanmu yang sedang mender ita siksaan itu….”

Dada Tay Hong serasa diledak ke marahan. Merogoh ke dalam baju, ia menje mput sebatang kim-pa (se maca m alat mus ic pang disebut kecer) lalu mencurahkan  perhatian mencari di mana si wanita berada.

Tetapi dia adalah seorang ketua gereja besar. Biasanya, jangakan pakai senjata rahasia sedang me mbawanya saja ia tak pernah. Tetapi dalam menghadapi keadaan seperti saat itu ia terpaksa menggunakannya. Karena dalam te mpat itulah akan ditentukan nasib dunia persilatan.

Dalam me mutuskan me mbe kal senjata itu atau tidak, ia harus  mengadakan  perdebatan  dalam  hati.   Akhirnya   ia me mutus kan untuk me mbe kal dua belas batang kim-pa.

Dengan tegang ia me nunggu setiap gerakan. Begitu si wanita telanjang muncul lagi, segera akan ia tabur dengan kim-pa.

Tiba-tiba terdengar lengking suara tertawa wanita itu. Tetapi bukan dari sudut ruang melainkan seperti dari belakang ruang.

“Ih, ih, kau hendak menggunakan senjata rahasia?”

Tay Hong yang sudah siap, begitu mendengar arah datangnya suara itu, cepat-cepat menaburkan kim-panya. Kim-pa meluncur menimbulkan bunyi bersuit-suit yang tajam. Cring! Kim-pa itu me mbentur dinding dan menyusup ke dalamnya.

Kecer e mas atau kim-pa itu terbuat dari bahan baja murni yang lunak, Empat tepinya  tajam  sekali.   Sekalipun  orang me miliki ilmu kebal Kim-ciong-toh, Thiat-poh-san dan lain- lain kekebalan, juga sukar untuk terhindar dari t impahan kim-pa tersebut!

Begitu selesaikan melo ntarkan sebuah kim-pa, tangannya kiripun sudah merogoh dua buah kim-pa lagi.

Dari lain sudut ruang, terdengar suara seorang gadis berseru dengan nada dingin, “Karena kau tak menyadari kesesatanmu, terpaksa aku pun tak mau banyak bicara lagi! ”

Tay Hong menajamkan pandangan matanya tetapi tak tampak suatu apa. Agaknya suara itu seperti berasal dari dalam te mbok. Tay Hng tak mau menimpuk. Ia tegak berdiri dengan bersiap-siap. Matanya diarahkan ke ujung ruang. Asal wanita telanjang itu muncul, tentu segera akan disambut dengan taburan kim-pa.

Sayup-sayup terdengar suara berderakan. Dan ranjang batu di sudut dinding ta mpak bergerak pelahan-lahan. Tak berapa lama, dari tengah ranjang batu muncul sebuah kim- ting (te mpat pedupaan dari e mas). Setelah ranjang batu itu berhenti berputar, di tengahnya tampak sebuah kim-t ing. Besarnya tak kurang dari satu setengah meter. Kim-ting itu berkepul-kepul me mecahkan asap….

Sambil mengawasi kesemuanya itu, diam-dia m Tay Hong sudah menetapkan rencana. Jika alat-alat rahasia dalam ruang itu tak dihancurkan tentu sukarlah dirinya keluar. Begitu ranjang berhenti berputar, iapun segera mengha mpiri. Takut kalau lantai terdapat alat-alat rahasianya, ia berjalan dengan pelahan-lahan.

Tuan-tuan hidungnya me mbau bau harum se merbak dan seketika itu ia rasakan kepalanya pusing, tubuhnya terhuyung- huyung mau jatuh.

Dan berbareng  itu  terdengarlah  suara  orang  tertawa  me lengking, “Lekas lepaskan senjatamu dan kau mas ih ada harapan hidup. Kau sudah menghirup racun wangi Cit-tok- hiang yang ganas.”

Pada saat Tay Hong hendak menyahut, tiba-tiba ia teringat. Jika ia bicara, racun wangi itu tentu akan tersedot masuk ke dalam tubuhnya. Maka cepat-cepat ia menutup pernapasan dan tak mau menjawab. Setelah itu ia kerahkan tenaga murni untuk mengha lau racun dalam tubuhnya!

Pada saat ketua Siau-lim-si itu sedang berjuang  keras untuk menghalau racun, adalah rombongan orang gagah yang berada di tengah le mbah itu mulai sadara menunggu kedatangan Tay  Hong  dan Siau Yau-cu yang sampai sekian  la ma tak kembali. Dengan dipelototi Sin Cong tojin ketua Bu- tong-pay, rombongan orang gagah itupun segera  melangkah ke depan.

Baru beberapa belas langkah, tiba-tiba terdengar getaran keras. Dari kedua samping dinding karang tiba-tiba me luncur keluar dua bilah papan besi yang menutup jalan.

Sin Cong tojin me mperhitungkan bahwa ia ma mpu loncat me lewati papan besi yang tingginya ha mpir dua to mbak itu. Maka setelah menge mpos se mangatnya, ia putar pedang dan me la mbung ke atas. Cret, ia hinggap di puncak papan besi itu tak terdapat rintangan suatu apa.

Dengan me mbo lang-balingkan pedang selaku isyarat, ia berseru, “Di belakang papan besi tak ada rintangannya. Silahkan saudara-saudara loncat ke atas papan ini!” habis berkata iapun terus melayang ke bawah dan melangkah ke depan.

Kedua belah papan besi itu meskipun tak terlalu tinggi, tetapi licin dan tajam sekali. Jika tak me miliki ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin ma mpu berdiri di atas papan itu tanpa terluka.

Ilmu silat itu me mang tiada batasnya. Tak mungkin seseorang dapat menguasai seluruhnya dengan se mpurna. Ada yang hanya sakti dalam ilmu gin- kang, ada pula yang menguta makan kese mpurnaan ilmu lwekang, ada yang hebat dalam ilmu gwa-kang (tenaga luar), ada yang mempunyai pukulan sakti yang maut, ada yang sakti dalam ilmu pedang, ada lagi yang tiada tandingannya dalam ilmu melepas senjata rahasia dan la in-lain.

Rombongan orang gagah yang datang ke Beng-gak itu, demikian juga keadaannya. Walaupun mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang ternama, tetapi tidak se mua orang sakti dalam ilmu gin- kang atau meringankan tubuh. Karenanya  hanya   sebagian   saja   yang   ma mpu  loncat me la mpaui papan besi itu. Kira-kira ada masih dua puluhan orang yang tidak dapat mengutamakan ilmu tenaga luar (gwa- kang). Ilmu ber ma in senjata, kebanyakan me merlukan ilmu gwa-kang yang tinggi.

Oleh karena tak mampu melo mpati, maka rombo ngan jago- jago gwa-kang itu segera mengge mpur papan besi dengan senjatanya masing- masing. Seketika terdengar deburan dahsyat macam gunung meletus….

Setelah melayang turun di tanah, Sin Ciong tojin segera lari ke muka. Pada saat ia hendak keluar dari mulut le mbah, tiba- tiba seorang nona baju merah menghadang di jalan. Nona itu me manggul sebatang pedang dan tangannya mencekal sebuah hud-tim.

Begitu muncul dan me mbentak, nona baju merah itu terus menyerang Sin Ciong tojin dengan pedangnya.

Sin Ciong tojin berlari cepat sekali, dan nona itupun muncul dengan mendadak. Keduanya belum se mpat melihat jelas masing- masing pihak. Pedang si nona menabur  dan pedang Sin Ciongpun melayang. Trang, tring, tring, terdengar dentring senjata beradu keras. Setelah menghalau pedang si nona, Sin Ciong lancarkan serangan balasan sekaligus tiga jurus.

“Hebat benar ilmu pedangmu, ima m tua!” seru nona baju merah seraya tertawa. Iapun mainkan pedang dengan gencar dan rapi. Bertubi-tubi ia menyerang sampai tiga belas kali.

Tetapi Sin C iong tojin adalah ketua dari partai Bu-tong-pay yang termasyhur dalam ilmu pedang. Ia me mang telah mencapai tingkat se mpurna dalam ilmu pedang. Sekalipun serangan si  nona  selebat  hujan  mencurah,  namun  tidak  ma mpu mendesaknya mundur setengah langkah sekalipun! Semua serangan dapat dihalaunya.

Pada saat kedua orang itu masih bertempur seru, rombongan orang gagahpun tiba. Tapi karena le mbah batu itu sempit sekali, maka sudah dipenuhi oleh baying-bayang kedua orang yang bertempur itu sehingga ro mbongan orang gagah tak dapat me mber bantuan.

Sambil bertempur, nona baju merah itu lepaskan pandangan pada sekalian orang gagah. Serunya dengan tertawa, “Harap tuan-tuan bersabar menunggu giliran. Pintu akhirat mas ih tetap terbuka menunggu kedatangan tuan-tuan. Sebaiknya dalam menunggu giliran ini, tuan-tuan suka merenungkan ke mba li kepada masa muda yang lalu. Di mana tuan-tuan tentu pernah mengalami peristiwa yang indah dan romantis….”

Sin Ciong tojin mengge mbor sekuatnya, “Siluman perempuan yang hina, jangan mengoceh tak keruan!” pedang tiba-tiba berkilat dengan dahsyatnya.

Amukan ketua Bu-tong-pay itu mengejutkan sekalian orang gagah. Baru sekarang mereka benar menyaksikan betapa hebat ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur itu.

Seketika tubuh si nona terbungkus oleh sinar pedang. Rupanya malu juga Sin Ciong karena berhadapan dengan seorang nona tak terkenal saja, ia tak ma mpu menjatuhkan.

“Jika dia sa mpai ma mpu melayani aku seratus jurus, nama Bu-tong-pay tentu akan merosot ditertawakan orang,” pikir Sin Ciong.

Maka setelah menga mbil keputusan, ia kerahkan ilmu lwekangnya ke batang pedang. Setiap tabasan dan gerakan pedangnya tentu mengandung hamburan lwekang yang hebat keliwat-liwat.

Rupanya hal itu dimaklumi juga oleh si nona baju merah. Ia rasakan setiap sambaran pedang lawan tentu mengha mbur tenaga hebat. Diam-dia m ia menima ng, “Rupanya ima m hidung kerbau ini sakti dalam ilmu pedang dan lwekang. Menilik gelagatnya, tipis harapanku untuk mengalahkannya.” Kini ia berganti siasat untuk bertahan diri. Di sa mping itu tak henti-hentinya ia menggoda dengan ucapan-ucapan yang mengejek, “Ima m tua, apakah kau sungguh-sungguh hendak mengadu jiwa dengan aku?”

Tetapi Sin Ciong tojin tak mau menggubr is. Dia tetap curahkan seluruh perhatiannya dalam serangan pedangnya. Serangannya pun makin la ma makin dahsyat.

Setelah dapat bertahan sampai delapan sembilan  jurus, mau tak mau akhirnya nona itu merasa tak kuat juga. Lingkaran pedangnyapun makin la ma ma kin menyempit kecil.

Bertempur dalam le mbah batu yang sesempit itu me mang sukar sekali. Gerak-geriknya sangat terpancang, tak leluasa untuk berlincahan menghindar. De mikianlah pada pihak yang menyerang. Segala jurus permainan yang sakti pun tak leluasa dike mbangkan.

Ilmu kepandaian nona itu me mpunyai gaya aneh dan penuh ragam. Tetapi ia tidak leluasa untuk mengembangkan. Kebalikannya, ketua Bu-tong-pay itu me miliki lwekang yang jauh lebih tinggi dari si nona. Ilmu pedangnyapun istimewa sekali.

Si nona rupanya menyadari kele mahannya. Makin la ma ia ma kin terdesak kewalahan.

“Lepas!” tiba-tiba terdengar Sin Ciong me mbentak keras.

Pedang berkiblat menabas lawan. Hebat dan cepatnya bukan seolah-olah.

Karena sempit dan kedua sa mpingnya terhalang karang, si nona tak mungkin menghindar. Satu-satunya jalan hanya menyurut ke belakang. Tetapi karena cepatnya pedang lawan, ia terpaksa menangkis.

Tring,,,, tubuh si nona melengkung, kaki menyurut mundur dua langkah. Pedang Sin Ciong saling  melekat dengan pedangnya. Dua kali ia berusaha untuk me nghalau pedang lawan tetapi tak berhasil.

Saat itu Sin Ciong tojin benar-benar sudah terangsang hawa pembunuhan. Dengan tertawa seram, ia perkeras tekanannya dan berhasil mengendap turun dua tiga dim lagi.

Wajah si nona tampak pucat. Butir-butir keringat mulai menga mbng di dahinya….

Saat itu perhatian sekalian orang gagah ditumpahkan pada adu lwekang yang disalurkan melalui pedang antara Sin Ciong tojin dan si nona baju merah.

Dalam pada itu beberapa orang yang agak kurang tinggi gin-kangnya dan tak dapat loncat ke atas papan besi, telah dibantu oleh kawan-kawannya dengan ditarik tambang. Akhirnya merekapun berhasil me lewati papan besi itu.

Sementara pedang si nona baju merah tampa k makin la ma makin menur un ke bawah. Terpisah dari kepalanya hanya beberapa jari saja. Kepala nona itu sudah basah kuyup dengan keringat begitu pula pakaiannya.

Tetapi  Sin   Ciong   tojin   sendiripun   juga   banyak menge luarkan tenaga. Ubun-ubun kepalanya menguap dan keringatpun mulai mengucur.

Siu-la m dan Hian-song yang menyaksikan adu lwekang itu, menarik kesimpulan bahwa dalam beberapa saat kemudian, si nona baju merah tentu akan kalah….

Tiba-tiba dari belakang nona baju merah  itu melesat sesosok  bayangan.   Gerakannya   macam  burung   walet me luncur dari udara.

“Hai, mereka hendak me mbantu…!” Hian-song berteriak terus enjot tubuhnya menyongsong.

Suatu adegan yang mendebarkan telah terjadi. Pada saat pendatang itu melayang di atas kepala kedua orang yang sedang bertempur, Hian-songpun sudah me nebangnya. Jadi Hian-song dan pendatang baru itu adu kesaktian di atas  kepala kedua orang yang tengah mengadu tenaga.

Tring… terdengar dering senjata beradu dan kedua sosok bayangan itupun masing- mas ing mencelat ke belakang.

Setelah keduanya tegak di tanah, barulah sekalian orang mengetahui bahwa ternyata yang digempur Hian-song itu si nona baju biru atau mur id ke-satu dari ketua Beng-gak!

Siu-la m buru-buru mengha mpiri Hian-song; “Sumoay, apakah kau terluka?”

Si dara berpaling me mberi senyum kepada pe muda itu, sahutnya, “Tidak!”

Si nona baju biru  setelah  berdiam  diri  sejenak  untuk  me mulangkan napas, lalu berseru, “Sumoay, harap mundur. Biar cici yang menghadapi mereka!”

Saat itu si nona baju merah atau murid ke-dua dari ketua Beng-gak sedang menderita tekanan hebat dari ketua Bu- tong-pay. Walaupun mendapat perintah dari sucinya, tetapi ia tak ma mpu me lepaskan diri dari gencetan musuh….

Makin deras butir-butir keringat yang me mbanjir turun dari nona baju merah itu. Napasnyapun terengah-engah dan pedang Sin Ciong tojin ma kin me nurun sesenti de mi sesenti. Saat itu mata pedang hanya terpisah sejari tangan dari  muka si nona.

Melihat sumoaynya terancam bahaya, cepat-cepat si baju biru mengeluar kan senjatanya yang aneh seperti tanduk rusa, menyanggah pedang Sin Ciong.

Seketika pedang  ketua  Bu-tong-pay  itupun  macet   tak ma mpu menurun lagi.

Si nona baju merah menghela napas longgar, serunya, “Toa-suci, apakah te mponya sudah cukup panjang?” “Cukup,” sahut si nona baju biru, “kita mundur pelahan- lahan!”

Pembicaraan kedua nona itu terdengar jelas tetapi sekalian orang gagah tak mengerti apa yang mereka ma ksudkan.

Sedang Sin Ciong tojinpun menimang dalam hati, “Ah, tenaga lwekang kedua nona ini me mang hebat. Jika kuteruskan adu kekuatan dengan mereka, ke mungkinan aku tak dapat bertahan lama.”

Secepat kilat, ketua Bu-tong-pay itu menga mbil keputusan. Dengan kerahkan tenaganya ia menyentakkan pedangnya dan bubarlah ketiga senjata yang saling melekat itu….

Begitu lawan menarik pulang pedangnya, si nona baju merahpun cepat-cepat menyelinap ke belakang toa-sucinya.

Saat itu rombongan orang gagah hanya terpisah dua-tiga meter dari mulut le mbah. Mereka hendak menyerbu ke dalam le mbah itu.

Sambil me mutar pedang untuk me lindungi diri, sejenak Sin Ciong tojin berpaling ke belakang. Ketika tampak ro mbongan orang gagah mengikut inya, diam-dia m ia me mbatin, “Karena Tay Hong siansu sudah masuk ke dalam le mbah, saat itu rupanya mereka me mpercayakan pimpinan kepadaku….”

Semangat ketua Bu-tong-pay serentak menyala. Tanpa disadari pedang telah dima inkan dalam jurus ilmu pedang simpanan partai Bu-tong-pay, yakni ilmu pedang Thay-kek- hui-kia m yang hebat.

Tay-kek-hui- kiam merupakan ilmu pedang warisan dari partai Bu-tong-pay. Selain me mpunyai gaya dan gerak perubahan yang luar biasa anehnya pun mempunyai daya kegunaan yang istimewa, yakni me minja m tenaga lawan untuk menghantam lawan. Ilmu pedang itu sebetulnya khusus untuk menghadapi lawan yang lebih kuat. Ilmu pedang yang dila mbari dengan lwekang Im-ji- kang atau lwekang Im yang bersifat lunak. Merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari partai Bu-tong-pay. Setiap  angkatan ketua baru, hanya diajarkan kepada dua orang anak mur id Bu-tong-pay. Ialah kepada ketua partai dan murid yang dipandang paling cerdas dan berbakat atau kepada murid yang telah berjasa besar kepada partai.

Setelah ketua Bu-tong-pay itu melancarkan tiga jurus berantai dari ilmu pedang Thay-kek-hui-kia m maka si nona baju biru menjadi kelabakan. Akhirnya terpaksa ia melolos pedangnya juga. Sebelah tangan mencekal pedang, barulah ia dapat bertahan diri. Sekalipun begitu ia tetap terdesak mundur.

Melihat betapa gencar dan dahsyat serangan pedang ketua Bu-tong-pay itu dia m-dia m nona baju biru heran-heran kagum. Namun ia menghias kegentaran hatinya dengan senyum simpul, “Aduh, tak kira kalau seorang ima m  tua hidung kerbau seperti kau ternyata me miliki kepandaian yang begini hebat. Sayang kau seorang pertapaan, seumur hidup tentuk takkan mencar i isteri!”

Mulutnya menggoda, tetapi kedua senjatanya tetap bergerak makin seru untuk menahan desakan pedang lawan.

“Kau anggap pinto ini orang apa? Masakan sudi bergurau dengan perempuan siluman seperti maca mmu!” teriak Sin Ciong tojin dengan marah sekali seraya perhebat permainan pedangnya.

Nona baju biru itupun mencurahkan  seluruh kepandaiannya. Tetapi ma kin la ma ma kin merasa payah. Betapapun ia menge luarkan jurus-jurus yang aneh dan istimewa, tetapi selalu didahului oleh pedang lawan. Ia ma kin terkejut, pikirnya, “Ah, mengapa  sedemikian hebat ilmu pedang ima m tua ini? Mengapa pedangnya selalu me mbayangi dan mendahului gerak senjataku? Kalau pertempuran ini dilanjutkan, mungkin aku tak kuat bertahan sampai seratus jurus….” Tengah nona baju biru itu menimang-nimang bagaimana tindakan yang akan dilakukan tiba-tiba dari belakang terdengar si nona baju merah berseru, “Toa-suci, barisan sudah disiapkan. Lepaskan saja mere ka dan cepatlah masuk!”

Si biru mengiakan terus buru-buru menyurut mundur. Tetapi ujung pedang Sin C iong tojin tetap me mbayangi dan menusuk ke dada nona itu.

Nona baju biru  menghindar ke samping terus  loncat mundur dan lari keluar le mbah.

Sin Ciong tojin me mburu sa mpai di mulut le mbah. Dia tak mau terus mengejar si nona, me lainkan berhenti untuk menyelidiki keadaan di luar le mbah itu.

Ternyata di luar lembah telah berjajar sebuah barisan dari anak buah Beng-ga k yang wajahnya  dicontreng  dengan maca m- maca m warna dan mengenakan pakaian yang aneh- aneh. Si nona baju biru masuk ke dalam barisan itu.

Barisan orang-orang aneh itu mengenakan topi  dan senjata-senjata yang berbentuk aneh juga. Ada yang seperti tusuk garu, ada yang jarang digunakan orang persilatan.

Setelah adu kepandaian kedua nona tadi, kini Sin Ciong tojin tak berani me mandang rendah pada kekuatan Beng-gak. Ia tegak berdiri mengawasi barisan itu. Lebih dulu ia hendak meneropong, barisan apakah  yang  dihadangkan  lawan  itu ke mudian setelah  mengetahui  na manya  barulah   ia mengge mpurnya.

Tetapi sampa i beberapa jenak, belum juga ia mengetahui nama barisan itu. Jelas bukan jenis barisan Pat-kwa-kiu- kiong- tin, bukan pula barisan Ngo-heng-seng- khik-tin. Ketua Bu- tong-pay yang sakti ilmu pedangnya itu benar-benar tak mengetahui barisan apa yang dihadapinya itu. Saat itu sekalian ro mbongan orang gagah sudah siap di luar le mbah. Masing- masing siap dengan senjatanya. Setiap saat akan menyerbu.

Dalam pada itu dia m-dia m si nona baju biru kerahkan semangatnya. Karena lwekangnya tinggi, maka dalam beberapa   saat   saja   ia   sudah   segar   kembali.    Sambil me mbo lang-balingkan senjatanya tanduk  rusa,  ia  berseru me lengking, “Ima m hidung kerbau, jangan bersikap sok tahu! Sekalipun kau mengawasi tiga  hari  tiga  mala m,  tak  nanti ma mpu mengetahui rahasia barisan Ngo-kui-tin ini!”

Ngo-kui-tin berarti lima maca m setan. Atas kata-kata si nona itu, Sin Ciong tojin seperti disadarkan. Dari warna muka anggota barisan samar-samar ia dapatlah Sin Ciong mengetahui sedikit rahasia barisan itu.

Kiranya manus ia- manusia aneh yang menjaga barisan itu mukanya dilumuri bedak lima maca m warna. Karena bercampur baur untuk sesaat me mang sukar dibedakan. Tetapi setelah me mperhatikan, barulah Sin Ciong tojin mengetahui bahwa wajah anggota barisan itu terbagi atas warna merah, kuning, biru, putih, dan hita m.

Sam- kia m- it-pit Tio Hong- kwat maju me ndekati Sin Ciong tojin dan berbisik, “Apakah totiang sudah mengetahui rahasia perubahan barisan itu?”

Wajah ketua Bu-tong-pay itu agak ke merah- merahan. Ia gelengkan kepala dan mengatakan belum.

“Jika kita terus-menerus hanya menghadapi saja, kiranya kurang menguntungkan. Jumlah orang kita ha mpir seimbang dengan mereka. Sekalipun kita terkurung di dalam barisan, rasanya kita masih dapat bertahan. Kita tetapkan rencana, setiap orang menghadapi seorang musuh, jangan berganti lain musuh. Sekalipun barisan Ngo- kui-t in itu banyak sekali perubahannya, tetapi asal satu demi satu kita bayangi terus, masakan mereka ma mpu bergerak!” kata Tio Hong- kwat. Dia m-dia m Sin C iong tojin menimang. Saat itu sekalian orang   gagah   sudah   siap   tempur.   Jika  ia   mencegah,  ke mungkinan akan menimbulkan rasa tak puas mereka. Akhirnya ia me mberi ko mando.

“Karena saudara-saudara ingin menyerbu barisan mereka, pintopun tak dapat menghalangi. Tetapi sa mpai saat ini pinto belum dapat mengetahui bagaima na rahasia barisan itu. Maka dalam penyerbuan nanti, sebaiknya kita pecah menjadi lima kelo mpo k yang satu dengan yang lain  harus  saling  dapat me mber i bantuan!” kata ketua Bu-tong-pay itu.

Kemudian ia mengangkat  pedang dan berseru nyaring, “Hayo, kita serbu!”

Yang paling tak sabar lagi adalah ro mbongan anak mur id Siau-lim-si. Mereka benar-benar mence maskan ketua mereka yang berada di dalam sarang musuh. Maka begitu mendengar ko mando Sin Ciong, merekapun serentak bergerak menerjang!

Tiba-tiba jumlah delapan belas orang ima m jubah merah menyelinap keluar dari sa mping kanan Sin Ciong tojin. Mereka masing- masing menghunus golok kwat-to. Dan dari sa mping kiri ketua Bu-tong-pay itupun muncul lagi delapan belas orang ima m jubah kuning dengan me mbawa tongkat sin-ciang. Kedua barisan ima m itu dengan wajah bengis, melangkah maju.

Sam- kia m- it-pit Tio Hong-kwat dengan mencekal pit di tangan kiri dan tangan kanan me megang pedang, pun segera mene mpati di tengah kedua barisan.

It-ciang-tin-sa m-siang Ngo Cong-han, Tui-hong-tiau Ngo Cong-gi, Kiu-sing-tui-hun Kau Ciu-hiong, It-pit-boan-thian Kat Thian-beng dan Thian Hong totiang segera mengikuti di belakang Tio Hong-kwat.

Kedua jago pedang dari partai Ceng-shia-pay Siong Hong dan Siong Gwat, Thian Heng totiang dari partai Kun-lun-pay, bersama lima belas tokoh sakti lainnya juga menyerbu ke muka.

Sin Ciong tojin beserta anak murid  Bu-tong-pay,  Sin-kun Pek Co-gi jago tua dari Tibet dan yang lainnya tetap berada di luar barisan.

Demikian ro mbongan orang gagah segera mulai bergerak. Yang pertama-ta ma bentrok dengan barisan orang Beng-gak adalah kedua barisan paderi Siau- lim-si. Segera terjadi pertempuran gempar, golok menya mbar-nyambar dan tongkat menderu-deru….

Begitu tiba, Tio Hong- kwat segera menyerang seorang musuh yang mengenakan pakaian hitam. Ia sabatkan pedang dengan jurus Hwat-jo-hun-coa sedang pit lurus me nusuk dada.

Manusia aneh berpakaian hitam itu, tenang-tenang mengangkat garu baja untuk menangkis. Tring, tring  terdengar dua buah benturan keras….

Tio Hong-kwat terkejut. Dia m-dia m ia berpikir, “Orang ini hanya salah seorang anak buah Beng-gak yang tergolong kerucuk, tetapi tenaganya sudah sedemikian hebat!”

Tetapi Tio Hong-kwat tak sempat menimang lebih lanjut karena saat itu si orang aneh baju hitam sudah lancarkan serangan balasan sampai tiga kali. Terpaksa ia putar pedang dan pit untuk menangkis. Sehabis itu, ia  menyurut  mundur dua langkah. Me mindahkan pedang ke tangan kiri dan tangan kanannya merogoh sebatang pedang pandak dari dalam baju.

Pedang pandak itu berkilat-kilat tajam. Jelas dari  bahan baja murni yang terpilih. Setiap batang pedang tangkainya diberi alat pelindung tangan. Alat itu diikat dengan tali kawat yang halus. Pada saat Tio Hong-kwat mengeluar kan senjata baru itu, Ngo Cong-han dan Ngo Cong-gi menyelinap dari sa mping kanan-kir inya, terus menyerbu ke muka.

Tetapi berbareng dengan itu, dari barisan Beng-ga k pun me lesat seorang manusia aneh berpakaian merah. Dengan golok kui-thau-to ia menya mbut kedatangan musuh.

Terjadi bentrokan hebat antara Tio Hong-kwat dengan si orang aneh baju merah. Keduanya sama-sama me layang di udara. Tio Hong- kwat mainkan senjata pitnya dalam jurus Ki- hong-teng-ka (burung cenderawasih mela mbung naga menjulang).

Orang aneh baju merah itu menyapu dengan goloknya. Terdengar dering senjata beradu keras dan kedua orang  itupun sa ma-sa ma melayang turun ke tanah.

Pada   saat   melayang   itu,    Tio    Hong-kwat    sempat me mperhatikan   seorang   aneh    baju    kuning    tengah  me mandangnya lekat. Orang aneh baju kuning itu me ncekal sepasang tombak panjang. Ta mpaknya orang itu siap hendak menyerang.

Melihat itu cepat-cepat Tio Hong-kwat  empos semangatnya. Sekali menggeliat ia mela mbung ke udara lagi. Sepasang pedang pandak yang berada di tangan kanan, tiba- tiba ditaburkan.

Manusia aneh baju kuning tadi, telah kehilangan arah pandangannya karena lawan (Tio Hong-kwat) me luncur turun. Apalagi di sekelilingnya penuh dengan ha mburan senjata kawan-kawannya yang sedang bertempur dengan ro mbongan lawan. Dering gemerincing suara senjata saling beradu, telah me me kakkan telinganya ia tak dapat menangkap sepasang pedang pandak yang dilepas Tio Hong- kwat. Tahu-tahu punggungnya tersusup ujung pedang. Sakitnya bukan kepalang…. Ternyata Tio Hong-kwat berhasil menusuk punggung orang aneh  baju   kuning   itu.   Ia   gunakan   ilmu   Cian-kin-tui (me mberatkan tubuh) meluncur turun sa mbil me mutar pit di tangan kiri untuk me lindungi diri. Begitu menginjak tanah cepat ia sentakkan tangan kanan dan pedang yang bersarang di punggung si orang baju kuning menyembur darah dan orangnyapun segera rubuh.

Kiranya sepasang pedang pandak Tio Hong-kwat itu diikuti dengan tali kawat yang halus. Begitu ditaburkan, dapat ditarik ke mbali lagi.

Ada sesuatu yang mengherankan Tio Hong-kwat. Yang sekaligus terkena tusukan maut dan rubuh, tetapi orang baju kuning itu sepatahpun tak menge luarkan r intihan.

Melihat seorang kawannya rubuh, orang baju merah yang bertempur dengan Tio Hong- kwat tadi segera menyerbu lagi. Ia hantamkan golok menabas kepala Tio Hong-kwat dengan jurus Thay-san-ya-ting. Berbareng itu mulutnya bersuit-suit aneh. Suitan itu rupanya  sebuah  komando.  Karena  sesaat ke mudian barisan Ngo-kui-tin segera bergerak-gerak….

Tring, Tio Hong- kwat menangkis dengan pit.  Tetapi ketika pit beradu dengan  golok,  ia  rasakan  tangannya  bergetar. Dia m-dia m ia terkejut atas tenaga orang yang sedemikian kuatnya.

Tetapi sebelum orang baju merah itu menyusuli lagi serangan yang kedua, barisan Ngo-kui-tin sudah mulai bergerak-gerak merobah formas inya. Buru-buru orang baju merah itu menerjang masuk. Seorang kawannya yang berbaju biru, ikut menerjang sa mbil tusukkan ujung garu kepada Tio Hong-kwat.

Tio Hong- kwat gunakan jurus Ji-hong-si-pit untuk menangkis lalu menyerang dengan jurus Siau-ci-thian- la m. Tetapi habis menyerang orang baju biru itu terus melesat ke samping. Tusukan pit Tio Hong-kwat telah disambut oleh seorang baju hitam. Begitu Tio Hong-kwat menangkis dan  balas menyerang, orang itupun sudah melesat mundur dan diganti oleh lain kawannya.

Gerak menyerang dan menghindar secara bergantian itu telah dilancarkan dengan rapi, cepat dan dahsyat. Gerak-gerak mereka seperti rantai yang tak henti- hentinya melibat lawan.

Tio Hong- kwat yang berada dalam barisan musuh di bagian paling dalam sendiri, telah mender ita tekanan yang paling berat. Didapatinya barisan Ngo-kui-tin itu bergerak dengan cepat dan rapat sekali. Setiap anggota barisan yang terdiri dari manus ia- manusia aneh berpakaian warna-warni itu, masing- masing me miliki kepandaian yang sakti.

Saat itu Tio Hong- kwat benar-benar dalam keadaan yang sulit. Kepungan barisan Ngo-kui-tin.

Bahkan untuk berkisar ke kanan-kir i saja ia tak me mpunyai kesempatan lagi.

Pertempuran itu telah berlangsung beberapa saat dan Tio Hong-kwat tak tahu entah sudah me layani beberapa banyak lawan. Tetapi yang jelas ia terpancing di tempat tak dapat bergerak karena terkepung rapat oleh barisan Ngo-kui-tin.

Dalam pertempuran itu makin la ma makin terasa suatu keanehan. Di antara lima maca m warna muka orang-orang aneh itu, hanya yang bermuka dan berbaju merahlah yang tak henti-hentinya bercuit-cuit seperti suara tikus. Tetapi mereka yang berbaju kuning, biru, putih dan hitam, tampaknya seperti orang gagu se mua.

Sin Ciong tojin yang mengawasi perte mpuran itu, terkejut karena mendapatkan rombongan kawan-kawan tak dapat menerobos barisan musuh. Ia mendapat kesan bahwa anggota-anggota barisan Ngo-kui-tin itu sakti-sakti se mua. Rupanya mereka sengaja diperintah untuk menghadang masuknya ro mbongan orang gagah ke dalam le mbah. Dalam pada itu tampak si nona baju biru dan baju merah tetap berada di tengah barisan tetapi tak ikut turun tangan.

Makin me mperhatikan, Sin Ciong makin mendala m kesannya, bahwa anggota-anggota Ngokui-tin itu ternyata bukan se mbarang tokoh. Jelas mereka itu tergolong jago-jago sakti kelas satu. Apalagi mereka telah dilebur dalam sebuah kesatuan barisan yang dahsyat. Pembawaannya sudah tentu hebat bukan kepalang!

“Apakah mereka anak murid Beng-gak? Ah, kalau benar anak buah Beng-gak sede mikian  saktinya,  me mang  sukar me menangkan Beng- gak,” ia menima ng dalam hati.

Tiba-tiba dari belakang barisan, muncul seorang gadis baju putih se mbari menge mpit senjata giok-ci. Ia mengha mpiri si nona baju biru dan setelah membisiki beberapa patah kat, lalu muncul ke sa mping.

Nona baju biru mengangguk la lu mengangkat senjatanya tinggi-tinggi ke atas. Sekonyong-konyong barisan Ngo-kui-tin itu menyiak ke kanan dan ke kiri. Mereka berbaris dengan rapi pada kedua sa mping. Di tengah-tengah terbuka sebuah jalan.

Si nona baju biru segera ayunkan langkah me lintasi jalan itu. Sementara si nona baju merah dan si baju putih segera mengikut i di belakangnya.

Rombongan orang gagahpun terpaksa hentikan serangannya. Kira-kira dua tiga meter jaraknya, si nona baju biru berhenti. Serunya, “Paderi tua Siau-lim-si itu, sudah terjeblos dalam ruangan Hwe-lun-tian. Lalu siapakah yang menjadi pimpinan ro mbongan kalian?”

Sekalian orang me mandang kepada ketua Bu-tong-pay. Sin Ciong totiang tertegun. Ia merasa, sekalian orang gagah secara resmi belum me mintanya menjadi pimpinan. “Sudahlah, jangan banyak aksi,” tiba-tiba si nona baju biru me lengking tertawa, “anggap saja kau yang menjadi gantinya pimpinan ro mbonganmu!”

Sin Ciong tojin tampil ke muka dan me mbentaknya, “Pinto tak pernah bergurau, harap nona bicara yang sopan agar jangan dipandang sebagai pere mpuan rendah!”

Si nona baju biru itu ma lah tertawa mengikik, “Sebenarnya aku me mang bukan seorang gadis pingitan. Boleh saja kau hendak mengatakan apa saja!”

“Apa yang nona hendak katakan, silahkan,” kata Sin Ciong tojin.

Sejenak nona itu me mandang kepada sekalian orang gagah ke mudian berkata, “Kedua orang tua bangka dan paderi tua itu sudah terjeblos dalam ruang pelebur Hwe-lun-tian dan sedang mender ita siksaan….”

Tiba-tiba kata-kata nona itu terputus oleh kaum sere mpak dari sekalian paderi Siau-lim-si yang mengucapkan doa keselamatan untuk ketua mereka.

Betapapun dingin dan kejam hati si nona baju biru, na mun ketika mendengar rombongan paderi itu me lantangkan doa- doa keagamaan, tak urung hati nuraninya tersentuh juga.

Doa itu berlangsung beberapa saat. Selama itu Siu- lam termenung- menung. Sejak terjadi pertempuran dengan barisan Ngo-kui-tin, ia tetap tidak mau turun tangan.  Kiranya ia sedang bingung me mikirkan sesuatu, yakni tentang peta Telaga Darah yang ada pada Hian-song. Ia tak mau ikut menyerbu karena kuatir dara itupun akan ikut. Jikalau sa mpai tertawan Beng-gak, bukankah peta pusaka itu akan jatuh juga ke tangan musuh?

Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menyebabkan ia tertegun tidak ikut bergerak. Hian-songpun juga ikut dia m. Setelah nyanyian pemanjatan doa itu selesai, hati Siu-la m pun ikut tenang. Entah bagaimana semangat keperwiraannya timbul seketika. Ketika  me mandang ke muka dilihatnya kawanan orang aneh dari barisan Ngo- kui-tin itu t iba-tiba jadi hiruk-pikuk seperti orang kebingungan.

Melihat itu si nona baju biru terkejut. Wajahnya berubah seketika. Untunglah nyanyian itu segera berhenti sehingga kegelisahan orang-orang aneh itupun sirap juga.

Tiba-tiba ketua Bu-tong-pay mencabut pedang dan bersuit nyaring, “Tay Hong siansu adalah paderi saleh yang berilmu tinggi, mana kita dapat merela kan dia berkorban untuk kita? Jika nona tidak ada lain urusan, pinto segera hendak menerobos barisan!”

Si nona baju biru tertawa, “Bagaimana gerak perubahan Ngo-kui-tin, kiranya kalian tentu sudah me lihatnya. Dengan kepandaian yang kalian miliki, tentulah sukar untuk menerobosnya. Tetapi….”

“Tetapi bagaimana?” sa mbut Sin Ciong.

“Tetapi sekarang tak perlu kalian berkelahi lagi.”

“Pinto tak percaya kalau tak ma mpu menerobos Ngo-kui- tin,” seru Sin Ciong. Tapi dia m-dia m dalam hati ketua Bu-tong- pay itu mas ih meragu. Walaupun sela ma me mperhatikan pertempuran   tadi   ia   sudah   mene mukan   cara    untuk me mecahkannya, tetapi ia belum yakin pene muan itu akan berhasil.

Kembali nona baju biru itu tertawa melengking, “Guru telah menge luarkan perintah, mengutus  kami bertiga saudara mengantar kalian ke ruang Hwe- lun-tian!”

Dia m-dia m ketua Bu-tong-pay tercekat hatinya. Menilik sikap dan nada bicara nona itu begitu longgar, ia kuatir jangan-jangan Tay Hong siansu, Su Bo-tun dan pa man gurunya Siau Yau-cu benar-benar sudah terjebak dalam perangkap mereka. Tetapi ketua Bu-tong-pay itu tak mau mengunjuk kegelisahannya. Dengan lantang ia menyahut, “Jangankan hanya sebuah ruang Hwe-lun-t ian yang kecil sekalipun golok hutan pedang, akupun tidak gentar. Silahkan nona me mbawa kami ke sana!”

Demikian ketiga nona itu segera berjalan diikuti oleh rombongan orang gagah. Setelah melintasi barisan Ngo-kui-tin dan sebuah padang rumput yang panjang, tibalah mereka di muka sebuah pintu batu yang bertulisan tiga huruf Seng-si- bun (pintu ke matian).

Begitu me masuki pintu itu, seketika pe mandangannya berubah. Kawanan manusia aneh yang berjajar menjaga pintu itu, sudah tak ta mpak. Suasananyapun tak menyeramkan lagi.

Mereka me masuki sebuah ruang besar dari batu marmer hijau. Pada kedua samping ruang itu, berjajar delapan orang gadis baju putih  tak  me ma kai  sepatu.  Masing- masing mence kal sebatang golok t ipis bian-to.

Begitu pintu gedung dibuka, ruangan dalam penuh dengan lilin yang mengepulkan asap tebal sehingga keadaan dalam ruang itu tak kelihatan jelas. Kedelapan gadis baju putih itu segera mundur.

Nona baju biru terus me langkah ke dalam ruang. Tetapi begitu tiba di tengah, bayangannya lenyap ditelan ke melut asap.

Nona baju merahpun segera mengikuti sucinya. Tiba di tengah ruang, tiba-tiba ia berpaling dan  menghentikan langkah. Dengan kebut pertapaannya ia mengebut-ngebut asap yang menyelubungi dirinya. Sepintas pandang, seolah- olah seperti seorang dewi kahyangan yang turun dari awan.

Si nona baju putih begitu me langkah masuk ke  pintu segera berpaling dan berkata pada rombongan orang gagah, “Setelah masuk pintu Seng-si-bun, harap kalian masuk ke ruang Hwe-lun-tian ini!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar