Wanita iblis Jilid 14

Jilid 14

Tiba-tiba Su Bo-tun berbangkit.  Menengadah memandang ke wuwungan, ia berkata seorang diri: “Seumur hidup, aku hanya tahu pada diriku sendiri, tak peduli pada lain orang. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam tentu kuhimpas. Aku tak mau hutang pada orang, tetapi tak mau me minja mkan orang. Apakah falsafah hidup begitu tak benar….”

Tiba-tiba sepasang matanya membertik cahaya bergemerlapan dan mulutnyapun merekah senyum, serunya: “Ibarat matahari, aku sudah ha mpir condong ke barat. Mungkin hidupku hanya takkan lebih dari 20 tahun  lagi.  Tetapi apakah yang kutinggalkan? Dalam sepanjang hidupku tak pernah kuterima penghargaan dan kesayangan  orang. Dan belum pernah kumenyayangi seseorang…” tiba-tiba ia teringat akan Bwe Hong-s wat gadis baju putih yang berwajah dingin. Dia m-dia m ia me mbatin bahwa gadis itu cocok sekali dengan pribadinya sendiri….

Setelah beberapa saat  ia  termenung  dia m,  tiba-tiba  ia  me mandang pada Tay Hong, serunya: “Dunia persilatan menganggap partai Siau- lim-pay  sebagai pemimpin dunia persilatan. Bagaimanakah pandangan Siau-lim-si terhadap diriku?”

“Jika Su-sicu sungguh-sungguh hendak bertanya, loni tentu senang sekali me mberitahukan!”

“Jangan kepalang tanggung. Bilanglah, baik  atau buruk aku tetap akan mendengarkan!”

Kata Tay Hong siansu: “Menurut kesan yang loni peroleh, dunia persilatan pada umumnya menila i Su-s icu dengan 16 patah kata.”

“Apakah itu?” tanya Su Bo-tun.

“Seorang pendekar yang aneh. Bersikap tawar, puas diri. Tiada perasaan, kurang nafsu. Enggan bergaul, e moh keluarga!”

Seketika tertawalah Su Bo-tun tergelak-gelak:  “Delapan kata yang dibagian muka, rupanya siansu sengaja hendak menyanjung aku. Tetapi delapan kata yang terakhir, memang tepat. Tiada kecintaan, kurang nafsu, enggan bergaul, e moh berkeluarga. Me mang sa mpai setua ini aku belum kawin dan tak me mikirkan keturunan. Yang kupikirkan hanya soal baik dan buruk, tidak menghiraukan salah atau benar. Hidup seorang diri, tanpa kawan tanpa keluarga. Dan tak pernah kulakukan sesuatu yang akan dikenang orang,” ia berhenti sejenak, lalu me lanjutkan pula.

“Sayang kedua orang tuaku sudah  menutup  mata. Sehingga tak dapat kuberbakti lagi. Dalam usia setua ini, soal berkeluarga akan kupertangguhkan sampai kelak pada penjelmaan yang akan datang lagi…” tiba-tiba wajahnya mengerut sungguh, katanya lebih  jauh, “Hanya terhadap masalah terakhir itu akan kulakukan dengan sepenuh tenaga. Agar dikenang oleh angkatan yang akan datang!”

Tay Hong mengucapkan  beberapa patah kata pujian: “Keputusan Su-sicu merupa kan kebahagiaan bagi seluruh kaum persilatan!”

Su Bo-tun menghe la napas: “Telah kukatakan tadi bahwa pendirian hidupku akan mengasingkan diri dari dunia ra mai. Tetapi me lihat tindakan gadis baju putih yang rela melukai diri sendiri de mi untuk menyela matkan kaum persilatan, tergeraklah hatiku. Ah, wajah  gadis itu  serta  sikapnya sedingin dan setawar sikapku. Tetapi hatinya ternyata lebih sadar dari aku. Aku benar-benar malu!”

Tay Hong cepat perintahkan paderi kecil untuk  siapkan meja perja muan lagi. Kemudian hadirin mulai menikmati hidangan lagi. Tay Hong berdiri mengangkat cawan, serunya: “Atas pernyataan Su-sicu yang bertekad hendak me mbantu dunia persilatan dari bencana ke musnahan, marilah loni ajak minum bersama-sa ma untuk merayakan peristiwa itu!”

Su Bo-tun tersipu-sipu, ujarnya: “Ah, lo-siansu kelewat menyanjung diriku. Seumur hidup aku belum pernah berbuat kebaikan apa-apa. Sudah hampir berumur 80 tahun, di mana sebelah kakiku sudah ongkang-ongkang di liang kubur, aku mendapat rejeki untuk me lakukan sesuatu demi kepentingan orang banyak. Dalam hal itu, aku tak pantas menerima pujian dari saudara-saudara terutama lo-siansu!”

Hampir sekalian hadirin tak percaya. Tetapi apa yang disaksikan saat itu me mang suatu kenyataan Siu-chiu- kiu-in Su Bo-tun tokoh yang termasyhur berhati dingin, tiba-tiba telah berubah menjadi seorang ma nusia yang berse mangat keluhuran!

Perjamuan itu telah terkacau ha mpir dua jam la manya akibat ke munculan tabib Gan Leng-po, si gadis baju putih Bwe Hong-swat dan si kakek gemuk pendek dari Tibet. Setelah suasana reda, kini  perja muan  berlangsung  pula   dengan  mer iah. Sebagai tuan rumah, Tay Hong sibuk mengangkat cawan arak untuk menghor mat setiap tokoh.

Setelah perjamuan selesai, maka mulailah  mereka menginjak pembicaraan tentang rencana untuk menghadapi Beng-gak.

Kata Siau Yau-cu: “Dia m-dia m tadi telah kupikirkan. Kurasa kedatangan gadis baju putih itu sungguh-sungguh secara mendadak sekali. Walaupun kita tak me ma ndangnya sebagai musuh, tetapi tiada jeleknya kita menaruh kewaspadaan!”

“Siau lo-cianpwe benar! Walaupun kita  tak boleh berprasangka jelek terhadap orang, tetapi tak boleh kita lengah…” sahut Tay Hong.

Tiba-tiba si kakek pendek berbangkit, serunya: “Aku tak dapat tinggal lama-la ma di sini. Jika kalian sudah menetapkan waktunya hendak menuju ke Beng-gak, biarlah aku si kakek  tua ini menjadi pelopor pertama untuk menghadapi wanita itu. Aku akan menanti sa mpa i 10 hari ini. Apabila sa mpai sela ma itu belum juga berangkat ke Beng-gak, maaf, akupun terus akan pulang saja!”

Dia m-dia m Tay Hong me mutus kan jangan sa mpa i kakek pendek yang me miliki pukulan sakti Bu-ing-sin- kun sa mpai pergi. Segera ia menerangkan bahwa sebelum 10 hari tentu sudah menuju ke Beng-gak.

Kakek itu tertawa gembira: “Le mbah Coat-beng-koh jarang terdengar namanya. Te mpat itu justeru me mbangkitkan kegembiraanku!”

Mendengar tokoh aneh itu suka tinggal di situ Tay Hong gembira sekali. Suasana pertemuan yang tadi begitu panas karena tercengkam oleh rasa curiga mencur igai, saat itu telah tenang penuh dengan rasa kesatuan dan persatuan.

Tay Hong mengulangi pertanyaan kepada Su Bo-tun dan minta jago Coh-yang-ping itu mengura ikan rencananya menghadapi Beng-gak.

“Ah, sebenarnya hal itu bukan kepandaian sejati,” sahut Su Bo-tun, “maks udku begini. Kita pilih 6 orang tokoh bersama aku menjadi 7 orang. Hendak kuberikan pelajaran  tentang ilmu langkah Chit-s ing-tun-heng. Dengan ilmu itulah nanti kita beramai-ra mai menghadapi ketua Beng-gak….”

Tay Hong kejut-kejut girang. Ia memuji kehebatan ilmu yang tiada keduanya di dunia persilatan itu.

Su Bo-tun hanya ganda tertawa: “Orang-orang hanya mengira bahwa ilmu Chit-sing-tun-heng itu khusus diperuntukkan untuk menghindari serangan.  Tetapi mereka tak mengerti bahwa sebenarnya ilmu itupun dapat dipergunakan untuk menyerang. Asal sudah dapat menyelami keindahan ilmu itu, kita tentu akan me mpunyai sebuah barisan yang sakti. Baik dalam pertahanan maupun dalam serangan. Pilihan 6 tokoh itu sebaiknya dari cabang persilatan yang berlainan sumbernya. Setelah menguasai gerak langkah Chit- sing-tun-heng, mas ing- masing dipersilahkan untuk menyerang dengan kepandaian sakti masing- masing. Dalam keadaan begitu, mus uh yang betapa saktinya, pun tentu akan kewalahan…” ia berhenti sejenak lalu katanya pula:  “Sebaiknya silahkan lo-s iansu yang me milih tokoh-to koh itu!” Tay Hong tertegun. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab. Me mang tampaknya sederhana, tetapi prakteknya tak mudah untuk me milih keenam tokoh itu.

Rupanya Siau Yau-cu mengetahui kesulitan Tay Hong. Ia berbangkit, serunya: “Keadaan kita sekarang adalah senasib sependeritaan. Apa yang kita hadapi adalah mengenai mati hidupnya dunia persilatan. Asal kita dapat mengatasi bencana ini, generasi yang akan datang tentu lebih a man dan tenang. Sekurang-kurangnya kita dapat melenyapkan ma lapetaka yang hebat…” ia berhenti sejenak: “Ilmu gerak langkah Chit-sing- tun-heng dari Su-heng itu, memang sudah  termasyhur  di dunia persilatan. Untuk menentukan siapa yang patut dipilih menjadi anggota barisan itu, me mang sulit. Maka kusarankan lebih baik Su-heng dan Tay Hong siansu berunding untuk menetapkan pilihan itu!”

Sekalian hadirin tiada me mbuat reaksi apa-apa.  Dalam pada itu Tay Hongpun menimang. Jika meno lak, urusan tentu akan berlarut-larut panjang. Akhirnya ia menerima usul Siau Yau-cu itu.

Setelah merenung beberapa saat, ketua Siau-lim-s i itu berseru: “Dengan me mberanikan diri loni me mpersilahkan Kat Thian-beng sicu, berdua saudara Ngo, Tio It-ping sicu, Thian Hong tootiang berenam dengan dita mbah Su-heng sendiri, agar segera dapat me mpelajari gerak langkah Chit-seng-tun- heng itu. Apakah saudara-saudara me mpunyai lain pendapat lagi?”

Kat Thian-beng me ma ng sudah kenal baik dengan Tay Hong. Tak mau ia menyulit kan sahabatnya itu. Serentak ia berbangkit dan menyatakan persetujuannya. Juga Kiu-sing- tui-hun Kau Cin-hong, kedua saudara Ngo Cong-han Ngo Cong-gi serta Thian Hong totiang dan Sa m-kia m-it-pit Tio Hong-kwat mendukung pernyataan Kat Thian-beng.

Atas pertanyaan Tay Hong, kapan dimulai me mpelajari ilmu Chit-sing-tun-heng itu Su Bo-tun tertawa: “Jika hendak menyakinkan se mpurna, mungkin akan berlangsung 10 tahun. Tetapi jika hanya untuk mela kukan pengepungan bersa ma, dalam 7 hari saja, sudah cukup.”

Demikianlah setelah tercapai persepakatan, Tay Hong segera me mpersilahkan hadirin beristirahat. Untuk itu telah disediakan ruangan-ruangan tetamu.

Paderi kecil yang bertugas me mbawa tetamu-tetamu ke kamar yang disediakan, mengha mpir i Siu- lam dan Hian-song. Ia mengatakan kedua pemuda itu disediakan dua buah kamar. Kaum pria dan wanita harus tinggal di ka mar terpisah.

“Ih, paderi kecil itu usil benar,” gerutu Hian-song. Na mun Siu-la m tertegun merah mukanya.

“Eh, engkoh La m, apa yang kau pikirkan?” tegur Hian-song ketika me lihat sa mpa i beberapa saat Siu- lam tertegun dia m.

Siu-la m menghela napas: “Kalau tinggal di sini, kurasa bukan penyelesaian yang tepat….”

“Benar!” seru si dara, “setelah kita selesaikan beberapa urusan, kita harus pergi. Dalam beberapa hari ini aku sedang me mikirkan sesuatu….”

“Apa yang kau pikirkan?”

Dengan mata berkicup-kicup, dara itu mengangkat mukanya dan menatap Siu- la m: “Apakah kau benar-benar tahu…” selebar muka dara itu merah ja mbu.

Siu-la m tak berani beradu pandang, buru-buru ia berpaling muka, katanya: “Mana kutahu apa yang kau pikirkan?”

Hian-song tertawa. Tiba-tiba ia berseru mantap: “Ah, kau seorang pemuda pintar tetapi ada kalanya bertindak tolol sekali! Aku sedang terkenang akan pesan kakekku!”

“Pesan apa yang kau pikirkan?” “Beliau mengatakan, tak pantaslah kiranya seorang anak gadis berkelana luntang-lantung di dunia persilatan. Saat itu me mang tak kuacuhkan. Tetapi sekarang baru kuakui kata- kata kakek itu me ma ng benar!”

Siu-la m menghe la napas: “Ah, dunia persilatan memang penuh  kebohongan  dan  kepalsuan.  Bagi  seorang  gadis   me mang kurang tepat berkelana di situ.”

“Ah, baru sekarang aku menyesal mengapa aku belajar silat. Jika aku tak bisa silat, tentu aku akan tinggal di rumah mengurus i rumah tangga. Membantu sua mi merawat anak, mencuci pakaian dan masak- masak!”

Siu-la m terkesiap, ia tertawa: “Manusia me mpunyai nasib yang berbeda. Tak dapat kita persamakan. Sumoay bukanlah seorang gadis biasa maka me mpunyai perjalanan hidup yang lain!”

“Aku bagaimana? Bukankah sa ma dengan gadis biasa?” seru Hian-song kemudian pelahan- lahan jatuhkan diri ke dada siu-la m. Sinar matanya berkicup-kicup me ma ncar kesipuan.

Sebenarnya Siu-la m hendak menge lak, tetapi pada lain kilas ia kasihan juga terhadap dara yang sudah sebatang kara itu. Tak mau ia melukai hatinya. Dirangkulnya bahu dara itu.

“Engkoh La m, siapakah gadis baju putih itu? Apakah hubungannya dengan kau? Rupanya kau kenal banyak gadis- gadis,” Hian-song tanya berbisik-bis ik.

Siu-la m terkesiap. Kemudian ia tertawa: “Ah, kukenal padanya ketika di gunung Kiu-kiong-san dahulu!”

“Apakah dia baik kepada mu?” “Dia pernah meno long jiwaku!”

“Mengapa dia menolongmu!” tiba-tiba Hian-song berpaling menatapnya. Beberapa saat Siu-la m tertegun. Tiba-tiba Hian-song tertawa: “Ah, aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya! Jika ia  tak  menolongmu,  mungkin kita takkan berjumpa!”

Karena sampai beberapa saat Siu-lam tak dapat bicara, Hian-song berkata pula: “Engkoh La m, salahkah kata-kataku tadi?”

“Tidak!”

“Lalu mengapa kau diam saja?”

“Apa yang harus kukatakan?” tanya Siu- la m.

Ketika Hian-song hendak me njawab, tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk. Ternyata kedua paderi kecil yang mengantar para tetamu tadi, muncul dengan me mbawa hidangan teh.

Menggunakan kese mpatan itu, Siu-lam segera suruh si dara mengasoh. Kemudian ia sendiripun  masuk  ke  dalam kamarnya. Mereka mendapat dua buah ka mar.

Siu-la m duduk bersemedhi me mulangkah semangat. Kemudian baru ia berbaring di te mpat tidur. Tiba-tiba terdengar suara orang menyebut Omitohud di luar jendela. Siu-la m terkejut dan buru-buru me mbukan jendela.

“Siau-suhu hendak pesan apa lagi?” tegurnya kepada pendatang itu yang ternyata si paderi kecil.

“Hongtiang mengundang sicu ke ka marnya. Ada urusan penting!”

“Tolonglah siau-suhu me ma nggilkan nona Tan….” “Suhuku hanya mengundang sicu seorang!” “Hanya aku sendiri?” Siu- lam agak kaget.

Paderi  kecil itu  mengiakan. Siu- lam mulai me mbayang kecurigaan. Adakah paderi  Siau- lim-s i itu hendak mence lakainya? Ia dan si dara akan dipisah ke mudian satu demi satu akan dihancurkan.

“Berapakah umur siau-suhu tahun ini?” untuk menutupi kegelisahannya, Siu-la m alihkan pertanyaannya.

“Tahun ini umur ku 15. Harap sicu jangan kuatir. Suhu seorang paderi yang welas asih. Beliau selalu bekerja secara terang. Tak nanti ma u mence lakai sicu!” kata paderi kecil itu.

Isi hatinya diketahui, wajah Siu-la m tersipu merah. Ia percaya ucapan paderi kecil itu tentu benar. Maka segera ia keluar mengikuti paderi itu. Ternyata Siu-la m  dibawa  ke ruang Cong-keng-loh atau perpustakaan.  Sebuah  tempat yang dalam sekali letaknya dan harus me lalui beberapa pintu.

“Apakah maksud lo-siansu me manggil aku ke mari?” tanyanya ketika berhadapan dengan Tay Hong.

“Siau-sicu tentu curiga mengapa  loni mengundang sicu datang ke ruang yang begini pelik letaknya. Silahkan  masuk loni hendak minta beberapa penjelasan,” sambut Tay Hong siansu.

Siu-la m me ngikuti ketua Siau-lim-si itu melintasi beberapa gang dan tikungan yang gelap. Tak berapa la ma ke mudian tibalah mereka di sebuah ruangan yang terdapat penerangannya. Di ruang itu tampak juga It-tay-kiam-seng  Siau Yau-cu. Di sampingnya duduk si tabib gila… Gan Leng-  po.

Rupanya tabib itu masih linglung. Ketika masuk, Siu- lam pun tak mau menghiraukan kedua orang itu. Dilihatnya di ujung ruangan terdapat sebuah kim-t ing (tempat perapian dari emas). Kim-t ing mengepulkan asap wangi.

Berkata Tay Hong ke mudian: “Sebenarnya tak selayaknya loni mengganggu peristirahatan siau-sicu yang tentu letih. Tetapi karena sebuah masalah yang sukar sekali, terpaksa loni mengundang sicu ke mari!” “Silahkan lo-siansu me mberi pesan,” kata Siu- la m.

Kata Tay Hong: “Mungkin pertanyaan loni ini agak tak nalar. Tetapi karena hal itu menyangkut mati hidupnya dunia persilatan, harap sicu dapat berlapang dada dan memandang luas persoalan itu secara keseluruhannya.”

Kembali Siu-la m minta paderi itu lekas mengatakan saja. “Apakah orang tua bertongkat bambu ini benar Ti- ki-cu Gan

Leng-po?” tanya Tay Hong.

“Benar, aku pernah tinggal lama bersamanya di Kiu-kiong- san. Tak mungkin mataku keliru!”

“Dapatkan siau-sicu menuturkan pengala man sicu ketika berjumpa dengannya?”

Setelah merenung sejenak, Siu-la mpun mengia kan lalu ia menutur kan apa yang telah dialami di gunung Kiu- kiong-san bersama si tabib itu.

Tay Hong tersenyum dan menghaturkan terima kasih atas kesediaan anak muda itu menuturkan ceritanya.

“Entah apakah yang lo-siansu hendak tanyakan padaku lagi?” tanya Siu- la m.

Siau Yau-cu menyelutuk: “Gadis baju putih yang melukai lengannya sendiri itu apakah benar anak murid Beng- gak?”

“Menurut yang kuketahui me mang dia adalah anak mur id ketua Beng-gak,” kata Siu- la m.

“Omitohud!” tiba-tiba Tay Hong berseru seraya peja mkan mata: “Sebenarnya loni tak mau menaruh syak wasangka. Tetapi karena urusan ini besar sekali artinya, terpaksa loni akan bertanya lagi. Bagaimanakah sicu dan gadis  baju putih itu saling me manggil?” Siu-la m merenung. Jelas paderi itu telah mengetahui cabikan sutera Bwe Hong-swat yang dilontarkan kepadanya. Ah, lebih baik ia menceritakan secara terus terang saja.

“Tentulah loni sudah mengetahui sendiri dari cabikan sutera itu. Tetapi apabila kuceritakan, tentu menggelikan dan tak mungkin dapat dipercaya,” katanya sesaat kemudian.

“Ah, loni tak sengaja telah melihat cabikan sutera itu. Loni tak enak hati….”

“Tak perlulah lo-siansu me mpunyai perasaan begitu. Janji terhadap gerombolan ma cam Beng-ga k, mana kita harus bersungguh-sungguh menepati?” Siu- lam tertawa.

Tetapi tiba-tiba wajah Tay Hong mengerut serius, serunya: “Bagi kaum wanita kesucian adalah kehor matannya dan merupakan jiwanya. Tak nanti ia mau  sembarangan mengucap janji apabila hatinya tak bersungguh-sungguh. Gadis baju putih itu berwajah jujur dan serius, harap sicu jangan me mbuat hatinya sengsara!”

“Mengapa aku harus bersungguh-sungguh pada sepatah dua patah janji yang kulakukan secara sembarangan itu? seru Siu-la m.

“Perintah ayah-bunda, merupa kan pegangan hidup bagi kaum gadis. Kami orang persilatan,  memandang  setiap ucapan janji itu sebagai jiwa kita. Sekali berkata tak mungkin kita jilat lagi!” tiba-tiba Siau Yau-cu berseru dengan nada berat.

Siu-la m terkesiap. Diam-dia m ia heran mengapa kedua tokoh sakti itu begitu me mperhatikan sekali akan urusan muda- mudi?

Tiba-tiba Tay Hong siansu berkata pula:

“Dalam umur 5 tahun, loni telah masuk gereja dan ketika umur 9 tahun, loni telah mulai dicukur ra mbut. Umur 12 loni telah dipilih menjadi murid pewaris dari ketua Siau- lim-s i yang lalu. Sebenarnya loni tiada me mpunyai pengetahuan tentang urusan anak muda. Tetapi karena masalah ini menyangkut kepentingan dunia persilatan, terpaksa loni harus banyak mulut. Ketahuilah, gadis baju putih  itu  menumpahkan cintanya pada sicu dengan sungguh atau hanya pura-pura,  me mpunyai hubungan besar sekali dengan kepentingan dunia persilatan!”

“Harap lo-s iansu me mberi penjelasan!”

Tay Hong mengeluarkan sutera putih dan me mbentangnya di atas meja, serunya” Sutera putih ini merupakan peta yang dibuat oleh nona itu. Dalam peta ini telah diterangkan segala kejahatan dan alat-alat ganas dari gerombolan  Beng-gak. Cobalah sicu ke mari melihatnya!”

Siu-la m terbeliak…. Pencuri

Pada peta itu  tampak lukisan   sebuah  le mbah yang

sekelilingnya penuh dengan hutan. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah padang rumput. Di tengah padang rumput terdapat 8 buah huruf kecil berbunyi:

Le mbah Coat-beng-koh pesta Ciau-hun-yan Barang siapa hadir

Tak mungkin ke mbali!

Setelah menelit i beberapa jenak, karena masih belum mengetahui rahasianya, Siu-la m bertanya pada Tay Hong siansu.

“Siansu, apakah ciri-cir i yang mencur igakan dalam peta ini?” tanyanya.

Tay Hong menghela napas, ujarnya: “Bermula loni mengira kalau hutan-hutan itu diatur menurut formasi barisan Ki-bun- pat-kwa atau Ngo-heng-seng-gek dan lain-lain. Maka kuminta Siau lo-cianpwe bersama-sa ma merundingkan. Tetapi hasilnya, kita tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kemudian perhatian loni tertumpah pada bentuk le mbah yang seperti kelopak bunga. Ketika sejak kecil berada di gereja Siau-lim-si, gurun loni suka sekali dengan…. Maka di taman gereja Siau-lim-s i, banyaklah ditana mi dengan berbagai jenis tanaman yang aneh-aneh. Tetapi aneh,  bentuk  kelopak bunga  dalam  peta  ini, loni  benar-benar   belum   pernah me lihatnya. Menurut dugaan loni, ke mungkinan besar bentuk bunga itu hanya suatu peringatan bahwa di sekitar hutan di situ penuh dipasangi senjata rahasia beracun!”

“Menurut tinjauanku, ketua Beng-gak itu tak lain tak bukan ialah pere mpuan iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu. Dia tentu tak mau dan menganggap tak perlu untuk menghiasi hutan dengan senjata rahasia...” tiba-tiba Siau  Yau-cu berkata, “tetapi me mang mengherankan. Mengapa le mbah itu hanya ditanami dengan hutan bunga  begitu.  Me mang mencur igakan!”

Tay Hong menga mbil sepucuk surat lalu diserahkan kepada Siu-la m:  “Surat  ini  diberikan  pada  sicu.   Loni  tak  boleh me mbukanya!”

Siu-la m me lihat surat itu bertuliskan alamatnya dan hanya boleh dibuka olehnya. Ia terkesiap. Pada  sudut  sampul tertera kata-kata: Dari isterimu yang tetap setia: Bwe Hong- swat.

Tersentuh perasaan Siu-la m. Ah, ternyata nona baju putih itu masih tetap setia janji di Telaga Han-cui-than dahulu….

Begitu merobek sa mpul, dibacanya surat itu:

Aku dibesarkan dalam keluarga harimau dan serigala yang buas. Tetapi nuraniku belum ludas sa ma sekali. Aku tetap patuh kepada ajaran Sam-jong (3 patuh: gadis patuh pada orang tua, isteri taat pada suami dan janda menur ut anaknya).

Sejak sumpah di Telaga Han-cui-than aku sudah menjadi keluarga Pui. Aku kecewa dan menyesal sekali karena tak dapat mela kukan kewajiban sebagai seorang isteri, sehingga berdosa karena tak dapat member i keturunan pada keluarga Pui. Maka dengan segala keikhlasan hati, kuharap kau suka menga mbil isteri lagi. Lelaki me mpunyai dua tiga isteri, sudah lumrah. Harap kau jangan bersangsi….

Siu-la m menghela napas, serunya: “Surat yang kabur tak jelas artinya….”

Tiba-tiba Siau Yau-cu menanyakan isi surat itu. Siu-la m terkesiap dan hanya menghela napas saja.

“Baiklah sicu me mbaca sampa i habis dulu. Jika ada hal-hal yang meragukan, barulah kita berunding lagi,” kata Tay Hong siansu.

Siu-la m me mbaca lagi:

Perkakas dan alat-alat rahasia di le mbah Coat-beng-koh, tak mungkin dapat diduga orang. Aku sendiri tak tahu rahasia-rahasianya. Kalau toh sudah tahu berbahaya,  apa guna kita harus mengadu jiwa? Bukankah hanya seperti telur beradu dengan tanduk? Dengan kesungguhan dan kesucian hati sebagai isteri, kumohon kau jangan ikut datang. Dengan iringan jiwa kesetiaanku, kudoakan kau  mengenyam kehidupan yang bahagia….”

Siu-la m tersentuh nuraninya. Ia baru menyadari betapa besar  rasa   cinta   Bwe   Hong-swat   kepada   dirinya.   Ia me lanjutkan me mbacanya lagi:

Penyakit gila dari tabib Gan Leng- po, walaupun sukar diobati tetapi bukan tak mungkin dise mbuhkan. Jika dia dapat dise mbuhkan  dan  dapat  diketemukan  peta  Telaga  Darah  ke mudian bisa mendapatkan kitab pusaka dari Lo-hian, barulah dapat melenyapkan bencana sekarang ini. Tetapi waktunya sempit sekali. Hari perjamuan  Ciau-hun-yan sudah di depan mata. Atas nama seorang isteri setia, kumo hon kau pergi menyembunyikan diri dan berusahalah untuk mencari kitab pusaka itu. Tetapi harus dirahasiakan benar-benar, agar jangan menimbulkan kehebohan. Tetapi apabila Gan Leng-po tak dapat sembuh, lebih baik dilenyapkan sekali saja agar peta itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.  Kudengar suhuku belum berani merajale la. Tetapi selekas mendapatkan kitab itu, dia tentu akan mela ksanakan cita-cita untuk menghancur kan kaum persilatan dan merajai dunia persilatan….”

Me mbaca sampai di sini, Siu-la m berhenti dan entah bagaimana ia tak mau melanjutkan me mbacanya lagi. Beberapa saat kemudian ia serahkan surat itu kepada Tay Hong, ujarnya: “Tentang hubunganku dengan nona Bwe, kiranya lo-siansu dapat mengetahui surat itu. Ah, tak kira ia begitu bersungguh-sungguh me nganggap ikrar itu. Tetapi dunia persilatan ini penuh dengan kelicikan dan kepalsuan. Dan hal ini kuserahkan saja kepada lo-siansu bagaimana baiknya!”

Setelah me mbaca, Tay Hong kerutkan alis. Katanya: “Menilik isi surat itu, me mang nona itu bersungguh-sungguh sekali tampa knya. Tetapi karena hal ini penting sekali,  loni  pun tak dapat me mberi kesimpulan yang tetap. Siau-heng, tolonglah kau bantu me mecahkan persoalan ini,” katanya kepada Siau Yau-cu seraya menyerahkan surat.

Siau Yau-cu me mbacanya dengan serius. Hampir sepeminuman teh la manya baru ia selesai. Sambil menyerahkan ke mbali surat itu kepada Tay Hong:

“Undangan Beng-gak itu mas ih kurang dua bulan. Kita masih me mpunyai tempo untuk berusaha.  Yang  penting harus menyembuhkan tabib Gan Leng-po,” katanya. Tay Hong menyerahkan surat kepada Siu-la m, ujarnya: “Karena kehilangan peta maka tabib itu  berubah  gila. Mungkin bukan obat yang dapat menye mbuhkannya.”

Siau Yau-cu me mbenarkan dan mengusulkan untuk menutuk beberapa jalan darah tabib itu. Ketua gereja Siau- lim-s i itu merenung sejenak lalu kata: “Sebelum pergi, nona baju putih itu  pernah  berkata  kepada  loni,  jika  kita  tak me mpunyai pegangan untuk me menangkan Beng-ga k, lebih baik datang lebih pagi ke sana!”

Siau Yau-cu tetap menyatakan bahwa soal pergi ke Beng- gak itu baik ditunda dulu. Yang penting mengobati Gan Leng- po.  Tay  Hong  setuju.   Ke mudian  ia   persilahkan Siu-la m ke mbali ke ka marnya. Ia mengantar sendiri anak muda itu keluar dari ruang perpustakaan, ke mudian suruh seorang paderi kecil me ngantarkan.

Siu-la m terkejut ketika pada pohon siong yang tumbuh di halaman luar, tampa k sesosok tubuh langsing tengah bersandar. Ia taka sing lagi dengan orang: “Eh,  mengapa  Song sumoay berada di sini,” tegurnya seraya mengha mpir i.

Me mang yang bersandar di pohon itu si dara Hian-song, sahutnya: “Kemana saja kau mala m- ma lam begini, sampai aku bingung mencarimu! ”

Siu-la m mengatakan bahwa ia dipanggil Tay Hong diajak berunding. Ke mudian ia menanyakan mengapa dara itu tak tidur.

“Sebenarnya aku sudah ngantuk tetapi tiba-tiba teringat sebuah hal penting dan buru-buru me ncarimu tetapi kau tak ada!”

Atas pernyataan Siu-la m, dara itu berkata: “Tiba-tiba aku teringat akan peta Telaga Darah!”

Siu-la m terkejut. Ia tahu bahwa dara itu tentu diam-dia m sudah mengetahui bahwa ia menye mbunyikan peta itu. “Pernahkah kau me lihat peta itu?” tiba-tiba Hian-song bertanya.

Siu-la m bingung. Jika me mberitahukan, ia kuatir dara itu akan kelepasan me mbocor kan rahasia. Na mun kalau tidak diberitahu, ia sungkan me mbohongi.

Tiba-tiba dara itu mengangkat tangan dan menggoyang- goyangkan di muka Siu-la m, serunya: “Engkoh La m, apakah kau melihat jari tanganku ini?”

“Sudah tentu, aku toh belum linglung,” Siu-la m tertarik dan sekali lagi ia suruh dara itu beristirahat.

“Ih, kukira kau tak bisa bicara,” Hian-song  tertawa. “aku  tak mengantuk sekarang. Kalau me mikir kan  sesuatu. Masakan mata bisa di bawa tidur!”

“Apakah yang kaupikirkan?”

Si dara menge masi ra mbutnya yang terurai seraya berkata: “Ketika mendengar orang-orang tadi me mbicarakan peta Telaga Darah, tiba-tiba aku teringat ketika masih kecil dulu kakek pernah mengatakan tentang peta itu. Sebenarnya  ia  tak suka menceritakan tetapi entah  bagaimana  saat  itu  ia me mber itahukan padaku. Sayang aku tak dapat mengingat seluruhnya!”

Sebenarnya Siu-lam buru-buru hendak masuk ke dalam kamar untuk me mikirkan bagaimana sebaiknya ia menggarap peta yang berada padanya itu. Jika peta itu benar-benar petunjuk dari tempat simpanan kitab pusaka Lo Hian, sungguh tak ternilai pentingnya. Merupakan kunci dari hidup- matinya kaum persilatan. Peta itu sebenarnya telah dikuasai Bwe Hong-swat. Apakah hendak dike mba likan kepada nona itu lagi, ia mas ih belum tahu….

Adalah ketika mendengar kata-kata Hian-song  tadi, serentak Siu-la m bertanya: “Apa yang diceritakan Tan lo- cianpwe? Maukah sumoay me mberitahukan kepadaku?” “Tolol! Kalau tak ber maksud me mberitahukan pada mu masakan aku me ncarimu!” si dara tertawa.

Siu-la m me minta agar dara itu suka mengingat pelahan- lahan karena hal itu penting sekali artinya.

“Tetapi aku tak dapat mengingat semuanya!” ke mba li si dara menjelaskan, “begini sajalah. Apa yang kuingat akan kuceritakan, yang tidak ingat takkan kuceritakan!”

Sebenarnya tempat itu tak tepat untuk bicara, namun kalau dibawa masuk ke ka mar, Siu- lam pun sungkan. Akhirnya ia mengajak dara itu duduk di bawah pohon siong tersebut.

“Engkoh La m, apakah kita ikut mereka ke le mbah Coat- beng-koh juga?” tanya Hian-song.

Siu-la m mengatakan bahwa hal itu belum dapat ia pastikan, me lihat perke mbangannya nanti. Sambil menyandarkan kepalanya ke bahu pe muda itu, Hian-song berkata: “Ketika kakek menceritakan tentang peta Telaga Darah aku baru berumur 12 tahun. Kala itu penyakit kakek  sudah  payah sekali. Dia mengatakan kalau dia tak dapat hidup lama lagi, kecuali bisa mendapatkan peta itu. Aku heran dan mengira Telaga Darah itu tentu suatu obat mujijat. Kutanyakan apakah Telaga Darah itu….”

“Eh, sumoay, apakah kata Tan lo-cianpwe?” tukas Siu- la m. “Kakek tak mau segera menjawab pertanyaanku. Beberapa

la ma ke mudian baru ia menceritakan benda itu,” Hian-song sejenak melirik pada Siu-la m dan tertawa, “kakek mengatakan bahwa Telaga Darah itu sebuah peta tempat penyimpanan kitab pusaka. Kitab itu dibuat oleh seorang aneh yang luar biasa pandainya. Asal dia melakukan sesuatu, maka orang harus mengguna kan seumur hidup untuk me mpelajarinya. Sekali tahu apa ma ksud pelajarannya orang tentu mendapat kepandaian yang tak habis digunakan seumur hidup!” “Apakah Tan lo-cianpwe mengatakan bahwa orang sakti itu bernama Lo Hian?” tanya Siu- la m. “Siapa na manya aku tak ingat,” kata Hian-song, “hanya sekali itu kakek bercerita dan karena aku masih kecil, akupun tak begitu menaruh perhatian.”

“Tan lo-cianpwe mengatakan dia pernah bertemu dengan orang sakti itu?” tanya Siu-la m.

“Ya, pernah!” sahut Hian-song, “Meskipun kakek tak mengatakan pernah bertemu, tetapi setiap kali menyebut orang sakti itu, kakek selalu bersungguh-sungguh dan mengindahkan. Jika tak pernah bertemu, mustahil dia begitu mengindahkan sekali!”

Siu-la m tertawa dan me muji dara itu sekarang semakin cerdas. Hian-song tertawa riang: “Aku merasa banyak sekali hal yang tak mengerti, ma ka ingin sekali aku belajar, tetapi entah dapat berhasil atau tidak….”

“Ah, kau seorang dara yang cerdik tentu dapat belajar dengan baik,” kata Siu- la m.

“Kakek mengatakan bahwa orang aneh itu selain saksi dalam ilmu silat pun pandai dalam ilmu sastera, begitu pula ilmu perbintangan dan ketabiban. Dia  sering  menjelajah hutan dan gunung yang terpencil untuk mencari daun-daun obat. Entah berapa banyak orang yang telah  ditolongnya tetapi anehnya tiada seorangpun dari mereka yang tahu siapa penolongnya. Orang sakti itu selalu  bekerja  dengan dia m-  dia m!”

“Apakah orang sakti itu masih hidup?”

Hian-song mengge leng: “Entahlah. Kakek mengatakan entah apa sebabnya orang sakti itu tiba-tiba melenyapkan diri dari masyarakat. Tiada seorangpun yang tahu dan pernah mendengar beritanya. Kemudian di dunia persilatan terdengar desas-desus tentang munculnya peta Telaga Darah. Ber mula kakek tak percaya tetapi kemudian ia melihat sendiri peta itu barulah ia percaya.”

Hian-song menghela napas, katanya pula: “Kesemuanya itu terjadi pada beberapa puluh tahun berselang. Kala itu aku belum muncul di dunia!”

“Apakah Tan lo-cianpwe tak menga mbil peta tersebut?” tanya Siu-la m.

“Aku tak ingat! Tetapi ke mungkinan tentu tidak karena kalau kakek menga mbil peta itu mengapa dia tak  dapat menye mbuhkan penyakitnya sendiri?” sahut Hian-song.

“Benarlah,” kata Siu-la m, “tetapi bahwa dia pernah me lihat peta Telaga Darah, tentulah tak bohong. Kalau kakek tak dapat menga mbil peta itu, terang kalau peta itu telah menjadi rebutan dan mengala mi pergolakan hebat.”

Siu-la m segera teringat akan nasib gurunya. Jika gurunya tak menyimpan peta itu tentu tak sampa i mengala mi nasib yang begitu mengenaskan.

Hian-song menghe la napas lagi: “Ah, engkoh La m, aku ingat lagi. Lebih baik jangan me mbicarakan hal itu!”

Siu-la m menganjur kan supaya dara itu suka mengingat- ingat lagi dengan pelahan. Dan kalau  teringat  sesuatu, supaya me mberitahukannya.

Hian-song berbangkit: “Eh, benar, aku teringat sebuah hal yang tak kumengerti. Bolehkah kubilangkan padamu?”

Sudah tentu Siu- lam terkejut dan me mpersilahkan dara itu berkata.

“Silahkan, tak apalah kalau salah,” kata Siu-la m.

Hian-song tundukkan kepala, ujarnya rawan: “Entah bagaimana ketika kulihat kau bersama-sa ma dengan  nona baju putih tadi, hatiku jadi gelisah!” Siu-la m mengatakan bahwa di dalam dunia persilatan sudah lazimlah pergaulan antara wanita dan pria.

“Ah, me mang begitu. Aku sudah tahu hal itu me mang sudah biasa. Tetapi entah bagaimana waktu me lihat kau bersama dia, ingin sekali aku me mbunuhnya!”

“Apa?” Siu-la m terbeliak kaget.

Hian-song mencucur kan beberapa tetes air mata, ujarnya: “Engkoh La m, kalau kubunuhnya, kau tentu akan me mbenci aku, bukan?”

Siu-la m menghe la napas pelahan: “Dia orang baik tak layak me mbunuhnya.”

“Kalau aku dibunuh orang, apakah kau juga  sedih?” tanya si dara.

“Tentu!”

“Kalau kau dibunuh, cobalah terka, aku bersedih atau tidak?”

Siu-la m tertawa: “Ah, mana aku bisa menerka.”

Dengan  wajah  me mberingas,  berseru  si   dara   penuh ke mantapan: “Aku takkan bersedih tetapi akan menangkap musuhmu dan akan kubunuhnya pelahan-lahan. Mayatmu akan kubawa ke sebuah goa yang tak pernah dijelajahi orang, seumur hidup aku menunggu di situ… agar aku pun mati di sampingmu.”

Siu-la m tertegun. Belum sempat ia me mbuka  mulut,  si dara sudah berputar tubuh dan melangkah pergi. Sikap dan nada dara itu penuh mengunjuk tekadnya yang tegas dank eras.

Ia kemba li ke dalam ka marnya sendiri. Tetapi matanya tak mau dibawa tidur. Ia mengenangkan peristiwa-peristiwa yang diala minya selama ini. Tiba-tiba ia teringat akan Tio It-ping. Bukankah pa mannya itu terluka parah mengapa mendadak bisa datang ke sini. Cepat ia bangun dan lari keluar. Tetapi ia tertegun. Untuk mencari ka mar pamannya itu, ia harus bertanya pada paderi. Dan apabila bertanya tentu akan menerbitkan kecurigaan. Ah, ia terpaksa ke mbali masuk ke kamarnya lagi. Tak la ma ia jatuh pulas.

Ketika bangun ternyata hari sudah mala m. Dan di luar halaman hujanpun turun. Kamar gelap karena tiada penerangan tetapi ia dapat melihat benda-benda di sekeliling. Setelah meneguk teh, perasaannya agak enak. Tiba-tiba dari cahaya kilat yang me mancar, tampak sesosok bayangan orang berada di luar jendela. Ia terkejut. Dalam penjagaan paderi- paderi Siau-lim-si yang keras, hanya seorang dara  sakti semaca m Hian-song yang ma mpu me nyelundup ke situ.

Siu-la m  loncat keluar   jendela   dan   mengha mpirinya. Me mang pendatang itu Hian-song. Rupanya ia mengetahui Siu-la m datang.

“Engkoh La m, apa kau terjaga dari tidur?” tiba-tiba dara itu menegur.

“Song- moay, mengapa kau berada di sini?” sahut Siu- la m. “Aku tak bisa tidur dan berdiri di luar ka mar mu sejak tadi.

Kudengar   kau   tidur   nyenyak   sekali   maka    tak   tega me mbangunkan kau!”

Tergerak  hati  Siu-la m   mendengar   kata-kata   itu.   Ia me megang tangan si dara dan diajaknya masuk ke ka mar. Ia kasihan melihat dara itu kehujanan. Ia mendoro ng  pintu tetapi pintu terkancing.

“Ah, aku benar-benar tolol,” ia teringat tadipun menga mbil jalan loncat dari jendela. Maka terpaksa ia masuk dari jendela lagi. Ke mudian ia menyalakan la mpu. Pakaian Siu- lam basah tertimpah air hujan.

“Engkoh La m, duduklah di kursi itu!” tiba-tiba si dara berseru. Siu-la m terpaka menurut. “Apapun yang kukerjakan, kau tak boleh bergerak!” kata si dara pula. Siu-la m me ngiakan.

Hian-song mengha mpir i ka mar tidur, menga mbil pakaian dan sepatu Siu-la m lalu me ngangkat sebelah kaki si pe muda dan melolos kan sepatunya yang basah.

“Hai, tak usah, sumoay. Aku dapat menggantinya sendiri!” Siu-la m terkejut.

“Bukankah tadi kau sudah berjanji takkan bergerak!” seru si dara.

“Sumoay sudah seorang dara re maja dan aku seorang pemuda.  Mana   boleh  me lakukan  hal  itu?”  serentak  Siu- la mpun berbangkit.

Hian-song mengangkat mukanya pelahan-lahan, ujarnya: “Apakah kelak kau tak mau me mper isterikan aku?”

“Urusan perkawinan adalah soal yang menyangkut kehidupan kita. Tanpa persetujuan orang tua dan tanpa perantara, kita tak dapat me mutuskan sendiri!” kata Siu- la m.

Hian-song terkesiap, katanya: “Me mang sejak kecil tiada orang yang mendidik aku. Banyak hal di dunia yang aku tak mengerti.   Kupikir  kelak   apabila   menjadi   isterimu,   aku me layanimu baik-baik. Tetapi bagaimana caranya, aku tak mengerti. Karena melihat pakaianmu basah, kupikir hendak menggantinya. Apakah hal itu salah?”

Siu-la m kasihan pada dara yang sudah sebatang kara itu. Jika ia berlaku kasar, tentu akan melukai perasaannya. Maka dengan tenang ia me mberi penjelasan: “Me mang di dunia banyak sekali adat istiadat kesopanan. Pelahan-lahan  kau tentu akan mengetahuinya. Walaupun sebagai putera-puteri persilatan, kita tak perlu terikat akan segala adat kesopanan itu, tetapi kitapun harus me mbatasi diri agar jangan dicela orang. Harap sumoay ke ka mar dan beristirahat. Besok kita bicara lagi!” “Ah, mungkin beberapa tahun lagi aku takkan berlaku setolol ini,” tiba-tiba ia me nutupi mukanya dan lari keluar.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali paderi kecil sudah mengantari minuman. Siu-la m tak menghiraukan.

“Pakaian sicu yang basah ini, biarlah kucucinya,” tiba-tiba paderi kecil itu berseru.

Siu-la m mengiakan. Setengah jam ke mudian ia tersentak kaget. Peta Telaga Darah… buru-buru ia loncat bangun, ah… pakaiannya yang basah sudah lenyap. Tentu dibawa si paderi kecil tadi! Cepat ia me mburu keluar tetapi paderi kecil itu sudah tak ta mpak.

Siu-la m bingung tak keruan. Ke manakah ia harus mencari paderi kecil itu? Tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk mencarinya ke dapur. Paderi kecil itu tentu bertugas di bagian dapur.

Untuk menghor mat kedatangan para tetamunya, Tay Hong me mang khusus me mbawa paderi yang ahli masak.  Ketika  tiba di dapur, Siu-lam hanya melihat seorang paderi tengah mencuci ma ngkuk. Kepala dapur tak ada.

Siu-la m me mberi hor mat dan bertanya kepada paderi: “Maaf, toa-suhu, tolong tanya di mana beberapa suhu kecil yang mengantar minuman pagi tadi?”

“Sicu ma ksudkan paderi kecil yang mengantar makanan pagi tadi? Mereka berjumlah 12 orang. Entah mana yang sicu tanyakan?”

“Yang mengantar ke ruang bagian timur!”

“Ruangan sebelah timur ada 3  buah.  Yang  mana  sicu maks udkan? Dan paderi-paderi kecil itu secara sukarela mengantarkan makanan. Tak ditentukan siapa-siapa yang harus mengantar. Apakah keperluan sicu?” tanya paderi itu.

“Aku kehilangan sebuah benda yang penting!” kata Siu- la m. Paderi itu terkesiap, ujarnya: “Gereja dijaga keras, tak mungkin terjadi pencurian. Kedua belas paderi  kecil  itu dibawa Hong-tian (ketua) dari gereja Siau-lim-si. Tak nanti mereka berani mencuri!”

Siu-la m mengatakan bahwa paderi kecil itu bukan mencuri me lainkan telah menga mbil pakaiannya yang kotor.

“Tentulah akan dicuci. Nanti tentu akan dikemba likan pada sicu lagi,” kata paderi itu.

“Dalam pakaianku itu terdapat sebuah benda.  Kalau  sampai ikut tercuci tentu rusak.”

Paderi itu gelengkan kepala: “Ah, mungkin sudah terlambat.” Ke mudian ia menunjukkan tempat mencuci pakaian di bagian belakang dapur.

Tempat pencucian pakaian itu di sebuah saluran air bening. Ketika Siu- lam tiba, dilihatnya 30-an stel  pakaian  sedang  dije mur. Di antaranya terdapat pakaiannya sendiri. Buru-buru ia lari mengha mpiri.

Dua orang paderi kecil muncul dan menanyakan apakah Siu-la m hendak menga mbil pakaiannya.

“Ya, dalam pakaianku ini ada barangnya!”

“Jangan kuatir, setiap barang dalam pakaian tentu kami simpan. Nanti akan ka mi ke mba likan lagi beserta pakaian yang sudah bersih,” kata paderi kecil itu.

Siu-la m mengatakan bahwa ia kepingin me meriksa apakah benda itu masih di dalam pakaiannya. Ia terus menghampiri pakaiannya. Alangkah kejutnya ketika peta itu sudah tak berada di saku bajunya!

Tetapi ia cepat-cepat tenangkan diri agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Siu-la m tertawa tenang: “Karena takut barang itu tercuci rusak, maka aku bergegas-gegas ke mari. Ah, terima kasih karena siau-suhu sudah menyimpannya. Bolehkah kua mbil sekarang?”

Sikap tenang Siu-la m itu menghilangkan kecurigaan kedua paderi kecil. Menunjuk pada sebuah pondok batu di balik rumpun pohon-pohon bunga, mereka berkata: “Barang-barang yang ketinggalan dalam pakaian kotor, telah kami a mbil dan taruh dalam pondok itu. Disitupun dijaga orang. Jika sicu hendak menga mbilnya sekarang, silahkan me meriksa ke sana!”

Siu-la m menghaturkan terima kasih dan buru-buru me nuju ke pondok itu.

Pondok itu terdiri dari tiga buah ruangan  besar  kecil. Ketika Siu- lam masuk, ternyata di situ sudah terdapat seseorang. Tetapi ketika mengetahui siapa orang itu, kejut Siu-la m bukan alang kepalang….

Yang berada dalam pondok itu ternyata dua  orang yakni Tio It-ping dan Su Bo-tun. Di sebelah mereka tegak seorang paderi kecil. Dari sikapnya yang seperti patung, jelas paderi kecil itu tentu tertutuk jalan darahnya….

Siu-la m tenangkan kegoncangan hatinya. Ia me mberi hormat kepada kedua orang itu. Tetapi belum se mpat berkata, Tio It-ping sudah mendahului menegur: “Mau  apa kau datang ke mar i?”

Ketemu dan Hilang

Siu-la m tertegun, sahutnya: “Tecu hendak mencar i sebuah barang. Tio supeh….”

“Caria pa?” Tio It-ping tertawa dingin.

Siu-la m terkesiap. Nada pertanyaan dan  tertawa pamannya itu mengunjuk rasa per mus uhan. Ia heran benar- benar. Tiba-tiba Su Bo-tun menepuk punggung paderi kecil itu lalu mundur menghadang di a mbang pintu.

Paderi kecil itu menghe la napas panjang dan me mbuka mata. Ia celingukan me mandang orang di  sekelilingnya dan ke arah tumpukan benda yang terletak di atas meja.

“Siapa yang menutuk kau? Apakah ada barang yang hilang?” seru Su Bo-tun.

Bermula Siu- lam mengira kalau paderi kecil itu tentu ditutuk oleh salah seorang dari kedua orang itu. Tetapi ucapan Su Bo-tun itu me mberi penjelasan bahwa baik Tio It-ping maupun Su Bo-tun bukan yang menutuk si paderi kecil.

Setelah mengawasi ketiga orang, paderi kecil itu gelengkan kepala: “Aku tak jelas wajah orang itu. Benda-benda di meja itu…” – ia me mer iksa barang-barang di atas meja dengan teliti, serunya: “Ah, rupanya ada sebuah gambar peta yang hilang….”

Siu-la m berubah tegang seketika. Serunya serentak: “Masakan kau tak ingat potongan tubuh orang itu?”

Paderi kecil mengge leng: “Dia cepat sekali datangnya.

Ketika kupergoki, secepat kilat dia menutuk ja lan darahku!” “Lekas panggil suhumu ke mar i!” seru Su Bo-tun.

Tio It-ping me mandang kepada Siu-la m, tanyanya: “Apakah benda yang diserahkan sumoay- mu itu kau simpan?”

Dia m-dia m Siu- lam heran mengapa hanya berpisah beberapa bulan saja, kini perangai pamannya berubah tak seperti dulu.

Su Bo-tun berada di situ. Jika menjawab pertanyaan pamannya itu, tentu Su Bo-tun akan mengetahuinya.

Tiba-tiba terdengar derap kaki mendatangi dan pada lain kejab muncullah Tay Hong siansu bersama Siau Yau-cu, jago tua dari Bu-tong-pay. Di belakangnya mengiring 4 paderi berpangkat hou-hwat.

Sebenarnya ketika Siu-la m pergi ke dapur, dia m-dia m ada paderi yang melapor pada Tay Hong. Maka sebelum ada panggilan dari Su Bo-tun sebenarnya  ketua  Siau-lim-si bersama Siau Yau-cu itupun sudah me nuju ke dapur.

“Mengapa sicu sekalian berada di sini?” tanya Tay Hong.

Siu-la m menerangkan bahwa ia hendak mencari barang yang masih ketinggalan dalam baju yang dicuci.

“Sudah ketemu?” tanya Tay Hong. “Belum.”

“Benda apakah itu?” Tay Hong kerutkan alis.

Siu-la m  merenung   sejenak, ujarnya: “Biarlah kuingat- ingatnya dulu!”

Tay Hong berpaling kepada Tio It-ping: “Sekalipun tak menerima undangan, tetapi karena sicu dapat melintasi ke-13 pos penjagaan di gunung ini, pun loni anggap sebagai tetamu terhormat.”

Tio It-ping hanya tertawa, tak menyahut.

“Apakah sicu juga mencari barang yang kelupaan dalam pakaian?” tanya Tay Hong pula.

“Tidak, aku hendak mencari benda peninggalan seorang sahabatku!”

“Benda  dari sahabat sicu? Bagaimanakah benda itu bisa berada di sini?” Tay Hong kerutkan dahi.

Tio It-ping me mandang sejenak pada Siu- la m, sahutnya: “Benda dari sahabatku itu telah  dikangkangi  oleh  seorang mur idnya yang tak kenal budi. Dari gunung Kiu- kiong-san aku telah mengejarnya sampai di sini.” Walaupun tak menyebut na manya, tetapi sekalian orang tahu bahwa yang dimaksudkan itu ia lah Siu- la m. Mereka tumpahkan pandangannya ke arah pe muda itu.

Seketika me luaplah ke marahan Siu-la m atas tuduhan Tio It- ping. Dia hendak me mbantahnya tetapi pada la in kilas ia teringat bahwa pa man It-

Tay Hong berpaling kepada Su Bo-tun, ujarnya: “Dan kedatangan Su-heng ke mar i ini?”

Su Bo-tun menunjuk pada Tio It-ping: “Kuikuti jejaknya sampai di sini tetapi tetap terlambat. Siau-suhu itu telah ditutuk orang!”

Sedari menerima nasihat Tay Hong siansu, sudah banyak berubahlah perangai orang she Su itu.

Mendengar  keterangan  Su  Bo-tun,  Tay  Hong  segera  me mber i perintah kepada keempat paderi hou-hwat untuk menyelidiki se mua pos-pos penjagaan. Apakah semala m mereka me mergoki seseorang yang menyelundup ke atas gunung.

Setelah kee mpat paderi itu pergi, Tay Hong berkata pula kepada Siu-la m: “Jika se mala m tak ada orang yang menyelundup, terang benda itu masih berada di sini. Tetapi entah benda apakah yang hilang itu? Pertanyaan ini de mi untuk leluasanya penyelidikan kita nanti.”

Walaupun tetap tenang dan sabar sikap ketua  Siau-lim-si itu, tetapi nada dan sinar matanya berkilat-kilat tajam. Jelas bahwa paderi sakti itu marah dalam hati.

Siu-la m tertegun. Jelas bahwa soal itu tentu akan menimbulkan kesulitan besar. Sa mpai beberapa saat ia terdiam tak dapat menjawab apa-apa.

Tay Hong menatap Siu- lam tajam-taja m, katanya: “Sicu paling muda usianya, tetapi paling banyak ragamnya. Jika benda yang sicu hilangkan itu benar milik orang lain, apabila ketemu tentu akan loni ke mbalikan kepada pemiliknya. Dan bila benda itu menyangkut kepentingan kaum persilatan seluruhnya, terpaksa loni  akan menyimpannya agar tak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan!”

Siu-la m mendengus, sahutnya: “Kupercayakan pada kebijaksanaan lo-siansu. Walaupun aku me mpunyai sesuatu keengganan dalam hati, tetapi dalam soal ini aku tak mau menentang kehendak lo-siansu.”

Tio It-ping mendengus dingin, serunya: “Di dalam biara yang memuja kesucian, segala apa berdasarkan kebersihan. Tiada hal yang tak boleh dikatakan di sini, semua serba terang dan halal!”

Tay   Hong   kerutkan   wajah.   Dahinya   me mancarkan  ke marahan tetapi ia tetap tenang. Katanya dengan nada serius: “Biara Siau-lim-si me mpunyai peraturan yang keras. Hal ini telah diketahui se mua orang. Tetapi pun gereja ini takkan me mbiarkan orang berbuat sesukanya sendiri…” ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Jika loni me mutuskan peradilan kepada mu, kau tentu tak puas. Maka hendak loni serahkan saja persoalanmu itu kepada rapat besar. Biarlah mereka yang me mutuskan!”

Siau Yau-cu menyelutuk: “Yang penting sekarang ini ialah mene mukan benda yang hilang itu. Maka harap taysu suka menanyakan benda apakah itu?”

Siu-la m menghe la napas: “Apakah lo-cianpwe tetap berkeras hendak menanyakan?”

“Jika tak mengetahui benda itu, bagaimana kita dapat menyelidiki?” sahut Siau Yau-cu.

Siu-la m me nengadah dan berkata pelahan-lahan: “Jika lo- cianpwe sekalian tetap hendak menanyakan benda itu, terpaksa akupun menerangkan. Benda itu…” – tiba-tiba ia berhenti lagi. Su Bo-tun me mbentaknya: “Huh, benda apakah itu, sehingga kau sa mpai begitu jual maha l? Bukan laku seorang ksatria sikapmu itu!”

Siu-la m mengerling tajam kepada orang she Su itu dan mendengus dingin: “Peta Telaga Darah!”

Mendengar keterangan  itu  seketika berubahlah wajah sekalian orang. Mereka tercengang-cengang.

“Benarkah omonganmu itu?” Siau Yau-cu menegas. “Benar!”

“Kalau kau menyimpan peta itu mengapa kau tak mau bilang dulu-dulu?” tanya Tay Hong.

“Karena benda itu bukan milikku!”

Tio It-ping menyanggapi: “Ucapanmu itu me mang tepat. Peta itu milik suhumu. Karena  suhumu  sudah  meninggal, maka menjadi milik puterinya!”

“Ah, sayang sumoay-ku itu sudah tak berada di dunia lagi…” kata Siu-la m dengan berlinang- linang air mata.

Tio It-ping me longo.

“Andaikata sumoay mas ih hidup, peta itupun tak bisa dikatakan menjadi miliknya,” kata Siu-la m.

“Kalau bukan miliknya, apakah milikmu?” seru Tio It-ping mur ka.

“Secara jujur, peta itu seharusnya menjadi milik Ti-ki-cu Gan Leng-po!” sahut Siu-la m.

“Kalau benar milik Gan Leng-po mengapa berada dalam tanganmu?” tegur Tay Hong. Tetapi segera paderi itu teringat akan surat si nona baju putih yang diberikan kepada Siu- la m. Nona itu menge muka kan tentang peta tersebut. Bahwa peta itu ternyata berada pada Siu-la m terang pemuda itu tentu mera mpas atau dia m-dia m telah mencur inya. “Pertanyaan taysu itu  tepat,”  sahut  Siu-la m,  “peta  itu me mang bukan milikku, tetapi aku yang menyimpannya!” – ia menghe la napas.

“Dari manakah asalnya peta itu, aku tak tahu. Tetapi yang jelas suhuku telah menjadi korban pe mbunuhan karena peta itu. Suhuku seorang cerdas. Sebelumnya ia telah me mbuat persiapan. Peta diberikan kepada sumoayku dan disuruhnya sumoay  berse mbunyi   di  te mpat  Su   lo-cianpwe.   Suhu me mperhitungkan, pengaruh Su lo-cianpwe cukup besar. Tetapi siapa tahu ternyata orang Beng-gak diam-dia m telah mengetahui dan me ngikuti jejak sumoay…” kata Siu-la m pula. Kemudian ia mengerling ke arah Su Bo-tun dan melanjutkan berkata pula:

“Su lo-cianpwe tak mau lekas turun tangan sehingga bala bantuan Beng-gak keburu datang. Lalu terjadi pertempuran. Su lo-cianpwe dapat mengalahkan 3 jago Beng-gak, tetapi karena terlambat sekali turun tangan, Beng-gak keburu kirim jago-jagonya yang lebih ganas. Kala itu kepandaianku masih terbatas,  tak  ma mpu  me mbantu.  Aku  bersama   sumoay me larikan diri melalui sebuah ja lan rahasia di belakang gunung. Tetapi siapa tahu, di dalam goa rahasia itu aku berjumpa dengan seorang lo-cianpwe yang aneh!”

“Su-heng, benarkah cerita sicu ini?” tanya Tay  Hong kepada Su Bo-tun.

Su Bo-tun mengia kan.

Siu-la m melanjutkan pula: “Lo-cianpwe aneh  itu berlumuran obat penghilang kulit sehingga tak berani terkena sinar matahari. Separoh tubuh bagian bawah sudah lumpuh  tak berdaging. Hanya tinggal dua kerat tulang. Tetapi dia tetap masih hidup dan mas ih sakti. Aku dan sumoay kena ditutuk jalan darahku, ke mudian dia mendapat peta Telaga Darah itu dari badan sumoay. Dia menyuruh aku me mbawa peta itu untuk menukarkan obat dari Ti- ki-cu Gan Leng-po. Sumoay tetap ditahan sebagai jaminan. Begitu aku me mbawa obat, sumoay akan dilepaskan. Oleh karena itu, peta seharusnya sudah menjadi milik Gan lo-cianpwe!”

“Hm, kalau peta sudah kau tukarkan dengan  obat, mengapa mas ih kau simpan?” tanya Tay Hong.

Siu-la m menerangkan bahwa ketika Gan Leng-po mengantar dia ke telaga Han-cui-than, nona baju putih telah menyelundup ke dalam pondok terapung dan berhasil mencuri peta itu.

“Siapakah nona Bwe itu?” tanya Tay Hong.

“Ialah nona baju putih yang me lukai dirinya sendiri tadi!” “Omitohud! Nona itu benar-benar pantas dihor mati dan

dikagumi!” seru Tay Hong.

Siu-la m me lanjutkan ceritanya: “Ketika pulang ke pondok dan dapatkan petanya hilang, Gan lo-cianpwe mengejar aku lagi  dan  me maksa  aku  ke mbali  ke  pondoknya.   Kamipun ke mbali dan suatu peristiwa yang mengejutkan telah terjadi. Kuali pe masak obat dalam pondok terapung itu tumpah ruah hancur berantakan. Dilanda oleh kegoncangan yang hebat, seketika pikiran Gan lo-cianpwe berubah gila….”

Siu-la m menuturkan apa yang telah dialaminya selama ini. Hanya satu bagian yang dilewati ialah tentang sumpah di bawah rembulan menjadi sua mi isteri dengan Bwe Hong-swat itu tak diceritakan.

“Eh, siapakah orang aneh yang berada dalam goa rahasia itu?” t iba-tiba Siau Yau-cu menyelutuk.

“Ber mula aku tak tahu siapa namanya. Barulah setelah aku mene mui Su lo-cianpwe dan bersa ma-sa ma menuju ke goa rahasia itu, dari barang-barang yang ditinggalkan dalam goa itu ternyata lo-cianpwe itu ialah iblis wanita Ih Ing-hoa yang mengge mpar kan dunia persilatan pada 20 tahun berselang.” Mendengar itu menggigillah tubuh Siau Yau-cu: “Jadi dia benar sudah mati?”

“Ketika aku ke mba li ke goanya, dia memang sudah meninggal. Sumoaykupun dibunuhnya.  Semasa   muda, wanita itu tentu jahat dan cabul, maka pantaslah kalau dia diganjar penyakit yang begitu mengerikan!”

“Su-heng tantu tahu hal itu…” kata Siau Yau-cu kepada Su Bo-tun.

Orang she Su menggeleng: “Me mang me ma lukan sekali. Aku yang tinggal berpuluh-puluh tahun di Coh-yang tak mengetahui sa ma sekali bahwa di bawah karang berse mbunyi perempuan iblis itu!”

Tay Hong menghe la napas. Paderi itu tetap menyesalkan Siu-la m mengapa dulu-dulu tak mau menga ku terus terang. Siu-la m menunduk.

“Taysu,  harap  me mberi  jalan!”   t iba-tiba   Tio   It-ping me langkah hendak keluar.

Tetapi Tay Hong tetap tak mau beringsut dari a mbang pintu: “Harap tunggu sebentar lagi!”

“Mengapa?” t iba-tiba Tio It-ping mendorong paderi itu ke samping.

“Omitohud! Sicu hendak menyerang loni?” Tay Hong beringsut untuk menyingkirkan bagian jalan darah, ke mudian me mbiarkan bahunya dija mah orang.

“Orang yang berhati bersih tentu mau bersabar sebentar. Kalau main kasar, jangan menyesal kalau aku turun tangan!” Siau Yau-cu mendengus.

Ketika me mbentur bahu Tay Hong siansu, tangan Tio It- ping seperti me mbentur  karang  dan  me mantulkan  daya me mba l yang keras. Ia tercengang. Tiba-tiba Tay Hong bertanya kepada Su Bo-tun: “Su-heng, apakah setelah lukanya sembuh, Tio-s icu ini lalu tinggalkan Coh-yang-ping?”

Pertanyaan justru seperti yang hendak ditanyakan Siu- la m.

Iapun mendengar dengan penuh perhatian.

“Waktu itu aku sedang bertempur seru dengan jago-jago yang dikirim Beng-gak. Dia duduk di sa mping sa mbil mengobati lukanya. Setelah musuh pergi, dia tinggal di Coh- yang-ping ha mpir 10 hari la manya. Setelah lukanya se mbuh, baru ia pergi. Tetapi saat itu aku tak menanyakan ke mana tujuannya,” kata Su Bo-tun.

Tay Hong merenung. Beberapa saat ke mudian, keempat paderi jubah kuning yang disuruh menyelidiki tadi, bergegas- gegas datang. Mereka member i laporan bahwa semala m tak ada seorangpun yang naik ke atas gunung.

Wajah Tay Hong mengerut  gelap.  Dengan tertawa dingin  ia menatap Tio It-ping: “Di antara kita yang berada di sini, hanya sicu yang paling mencur igakan. Tetapi loni tak mau terlalu mene kan orang. Harap sicu suka mempertimbangkan semasak- masaknya la lu me mberi keterangan pada loni!”

Tio It-ping me nyahut dingin: “Ucapan taysu yang tak jelas juntrungnya itu, berma ksud bagaima na?”

Ketua Siau-lim-s i itu peja mkan mata dan mengucap doa. Beberapa saat kemudian tampa k wajahnya tenang. Membuka mata dengan tersenyum ia berkata ramah: “Mati hidupnya kaum persilatan, merupakan  soal yang maha penting. Mengapa sicu tak mau berbuat kebaikan dengan menyerahkan saja!”

Tio It-ping me nyurut selangkah, serunya: “Menyerahkan apa?”

“Hiat-ti-tho!” sahut Tay Hong siansu. Tio It-ping  tertawa   dingin:   “Apakah   taysu   hendak  me mfitnah aku?”

Tay Hong kerutkan sepasang alisnya yang putih kemudian berkata dengan serius: “Jika sicu tak mau me nyerahkan baik- baik, jangan menyesal kalau loni berlaku kurang hor mat!”

“Taysu mau apa?”

Wajah ketua Siau-lim-s i itu berubah, serunya: “Apakah sicu anggap loni tak dapat mengge ledah sicu?”

Tio It-ping mengangkat kedua tangannya dan tertawa nyaring: “Jika taysu mencurigai aku, silahkan menggeledah badanku!”

Sikap Tio It-ping itu me mbuat Tay Hong agak meragu. Ia berpaling kepada si paderi berjubah kuning, ujarnya: “Cobalah kalian me meriksa badan sicu itu. Harap yang teliti tetapi jangan berlaku kasar!”

Keempat paderi jubah kuning itupun segera melakukan perintah. Tio It-ping acuh tak acuh dan me mpersilahkan keempat paderi mulai menggeledahnya.

Dengan hati-hati dan teliti keempat paderi itu me meriksa seluruh tubuh Tio It-ping na mun tak mendapatkan suatu apa.

Setelah keempat paderi itu selesai menggeledah, tertawalah Tio It-ping dengan sinis: “Apakah suhu bere mpat perlu me meriksa sepatuku juga?”

Sebagai seorang ketua gereja yang disegani orang, sudah tentu Tay Hong malu mendengar sindiran itu. Namun mengingat betapa pentingnya peta itu dan betapa besar akibatnya jika sa mpai jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab, Tay Hongpun segera menerima tawaran Tio It-ping.

Jawaban Tay Hong itu mengejutkan  sekalian  orang. Bahkan kee mpat paderi jubah kuningpun tertegun. Karena belum pernah mereka melihat ketua mereka begitu serius seperti saat itu.

Siu-la mpun gelisah sekali. Menggeledah sepatu orang berarti suatu hinaan. Apabila Tio It-ping benar-benar tidak menga mbil peta itu, tentulah pamannya itu akan mendenda m kepada kaum Siau- lim-s i.

Baru  ia  hendak  mencegah,  tiba-tiba  Tay  Hong  sudah me mbentak kee mpat paderi jubah kuning: “Hai, mengapa kalian tak lekas- lekas mengerja kan perintahku? Apakah kalian tidak mau mendengarkan kata-kataku?”

Sebenarnya Tio It-ping hendak mengejek ketua Siau-lim-si itu. Tetapi di luar dugaan, ternyata Tay Hong benar-benar menerima tawarannya. Apa boleh buat, akhirnya ia melolos sepatu dan kaus kakinya juga.

“Cobalah kalian periksa sepatuku ini. Apakah ada sesuatu yang kusembunyikan?” sa mbil mengangkat sepatunya, Tio It- ping berseru dingin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar