Wanita iblis Jilid 13

Jilid 13

TANPA TERASA, ia berpaling me mandang Hian-song dan si bocah muka kotor. Tampa k bocah itu tenang saja seperti tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya. Sebaliknya dia m-dia m Hian-song     telah     bersiap-s iap     menghadapi      segala ke mungkinan. 

Tay Hong berpaling me mandang Siu- la m, ujarnya, “Kiranya sicu masih menyimpan banyak rahasia. Benar-benar loni tak mengerti mengapa sicu tak ma u mengutarakan?” Sejenak mata Siu-la m menyapu sekalian hadirin. Katanya, “Benar, benar, me mang aku menyimpan banyak rahasia. Tetapi rahasia itu sa ma sekali tiada hubungan dengan hadirin di sini. Apalagi aku telah berjanji pada seorang  untuk tidak  me mbocor kannya.”

“Jika siau-sicu tak dapat menerangkan  dengan  terus terang, loni pun sukar untuk me lindungi,’ kata Tay Hong siansu.

Tiba-tiba Hian-song me lesat ke samping Siu- la m, lengkingnya, “Kalau tak mau mengatakan terus terang, lalu bagaimana?”

“Soal ini menyangkut mati  hidupnya ribuan orang persilatan. Sekali-kali loni tiada me mpunyai ma ksud apa-apa, harap jiwi berdua suka menimbang se masak- masaknya!”

Siu-la m menga mbil lengan baju si dara, bisiknya, “Tay Hong siansu seorang paderi yang berbudi luhur, harap sumoay jangan sampa i me langgar adat kepadanya.”

Hian-song terkesiap tetapi pada lain saat ia tertawa dan menyingkir ke belakang Siu- la m.

Tay Hong siansu menghe la napas; “Kiranya siau-sicu tadi tentu sudah mendengar cerita Siau lo-cianpwe tentang jarum sakti Chit-jiau-soh. Jarum yang halus kecil itu, telah merupakan la mbang Elmaut bagi setiap orang persilatan yang me lihatnya. Jika sekarang jarum itu muncul lagi di dunia persilatan, apalagi jarum itu diperuntukkan tanda undangan kepada seluruh tokoh persilatan agar menghadiri pesta  maut di gunung Beng-gak, tentulah merupakan  persoalan yang hebat sekali.

Siau-sicu mas ih muda, tentu tak menyaksikan betapa ngeri suasana pembunuhan yang telah terjadi di dunia persilatan akibat keganasan jarum Chit-jiau-soh. Kemunculan  jarum maut itu lagi dapat dibayangkan betapa ngerinya banjir darah yang akan menggenangi dunia persilatan nanti. Jika siau-sicu me mang orang dari Beng-gak, loni tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika bukan, loni mo hon kerelaan siau-sicu untuk menyela matkan r ibuan orang persilatan!”

Dengan halus Tay Hong siansu telah me mberi ultimatum (peringatan) kepada Siu-la m. Jika  anak  muda  itu  tetap meno lak untuk me mberi keterangan, seluruh hadirin tentu akan menuduhnya sebagai orang Beng-gak. Apa yang akan terjadi, dapatlah sudah Siu- lam me mbayangkan.

Tengah Siu- lam merenung, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar derap kaki orang me langkah mas uk. Begitu melihat siapa pendatang itu, buru-buru Siu-lam me mberi hor mat dan berseru girang, “Ah, kebetulan sekali Tio supeh datang. Aku sedang menderita dicurigai sebagai orang Beng-gak. Mohon supeh suka meno long kesulitanku!”

Kiranya yang datang itu bukan lain ialah Tio It-ping, salah seorang jago pedang yang termasyhur di wilayah Kangla m. Begitu masuk, ia curahkan mata me mandang pada si bocah muka kotor.

“Dunia persilatan Kangla m, siapa yang tak tahu kalau kau mur id dari Ciu Pwe…!” sahutnya.

“Me mang telah kujelaskan hal itu kepada para lo-cianpwe, tetapi rupanya tidak dipercaya!” kata Siu-la m. Tiba-tiba ia teringat sewaktu berpisah dengan supeh itu, tanyanya, “Apakah luka supeh sudah se mbuh?”

Tio It-ping mengangguk. Sambil mengha mpiri ke tempat Siu-la m, ia menanyakan tentang diri Hian-song, serunya, “Siapakah anak pere mpuan ini?”

Setelah berpisah dalam keadaan berbahaya, seharusnya Tio It-ping menanyakan tentang keadaan Siu-la m sela ma ini, tetapi tidak sepatah pun kata-kata semaca m itu terluncur dari mulutnya. Wajah jago tua itu ta mpak dingin-dingin saja. Siu-la m menerangkan bahwa Hian-song pernah meno long jiwanya dan kini mereka saling berbahasa sebagai suheng dan sumoay.

“Hm, karena me mpunyai sumoay yang cantik maka kau lantas me lupakan sumoay yang dulu!”dengus Tio It-ping.

Siu-la m terkesiap, “Apakah ma ksud supeh….”

“Mengapa kau tak mengerti?” sahut Tio It-ping. “Mendapat yang baru melupakan yang la ma, me mang bukan hal yang mengherankan. Hanya sayang gite (adik angkat, yang dimaksud ialah Ciu Pwe),  telah  keliru  menga mbil  seorang mur id palsu. Bukan saja menurunkan seluruh kepandaiannya, pun pada saat menutup mata telah me mesan kepadaku dan Jui-tian-ih-hong Lim Jing-siu supaya melaksanakan perjodohan anak perempuannya dengan kau. Hm, gite-ku itu punya mata tetapi tak dapat me lihat orang….”

Siu-la m ma kin gugup, serunya, “Sudilah kiranya supeh mengatakan   yang   jelas.   Biar   bagaimana    aku    tentu me laksanakan.”

Tio It-ping merasa, ucapannya tadi memang  kurang jelas. Ia agak tenang dan berseru, “Oh, kalau begitu kau masih ingat pada Ciu sumoaymu?”

Sahut Siu-la m, “Suhu benar-benar telah mengalami nasib yang menggenaskan. Seluruh keluarganya dibunuh,  puteri tunggalnya yang lolos ke Coh-yang-ping pun akhirnya jatuh ke tangan iblis wanita Ih Ing-hoa. Aku sendirilah yang mengubur jenazah sumoay di dalam le mbah Coh-yang-ping.”

Ih Ing-hoa adalah mo mo k wanita yang termasyhur di dunia persilatan. Hadirin tahu siapa wanita itu. Mereka terbeliak mendengar kata-kata Siu- la m.

Mata Siau Yau-cu berkilat-kilat.  Ia  melangkah  maju mengha mpiri Siu-la m, tegurnya, “Apakah dia masih hidup? Di mana kau melihatnya…” tiba-tiba jago Bu-tong-pay itu teringat akan kedudukan dirinya. Sikapnya yang tampak gugup itu tentu akan menimbulkan dugaan para hadirin. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.

“Apakah lo-cianpwe kenal pada Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa itu?” Siu- lam balas bertanya.

Sebenarnya Siau Yau-cu tak suka menjawab pertanyaan mengenai hal itu, na mun mulutnya bersungut-sungut, “Bukan hanya kenal saja, sekalipun sudah jadi bangkai, tetap kukenalnya…” tiba-tiba ia menyadari kalau kelepasan o mong. Tapi sudah terlanjur.

“Ih Ing-hoa me mpunyai kesalahan, pun mempunyai jasa. Dunia persilatan masih belum punya penilaian pasti terhadap dirinya. Kau seorang anak muda, tak pantas me maki orang tanpa mengetahui duduk perkaranya!” cepat-cepat Tio It-ping menyeletuk. Jelas bahwa jago tua itu, simpati terhadap Ih Ing-hoa.

Tay Hong siansu segera menengahi, “Sekarang ini masih belum diketahui Ih Ing-hoa mati atau masih hidup.  Maka sukar untuk menetapkan penilaian terhadap dirinya.”

Tampak tubuh Siau  Yau-cu agak  menggigil.  Menatap Siu- la m, jago tua dari Bu-tong-pay itu bertanya, “Apakah Ih Ing- hoa masih hidup?”

“Sudah mati… ” sahut Siu- la m.

Siau Yau-cu terkesiap. Masih ia menegas lebih  lanjut, “Kapan dia mati? Di mana mayatnya sekarang?”

Siu-la m me mpunyai kesan bahwa ucapan jago tua Bu-tong- pay itu mengandung perhatian  mesra  kepada  Ih  Ing-hoa. Dia m-dia m ia bersangsi sendiri apakah wanita berwajah jelek di dalam goha tempo hari benar Ih Ing-hoa atau bukan. Karena sela ma itu, si wanita tak pernah mengatakan asal- usulnya. “Eh, kutanyakan di manakah mayatnya sekarang, mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak mendengar?” Siau Yau-cu mengulangi.

Melihat kesibukan orang, Siu- lam menyahut dengan tenang, “Apakah wanita itu benar Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa atau bukan, aku tidak berani me mastikan, hanya dugaan saja!”

Sebagai seorang jago tua yang ternama, cepat-cepat Siau Yau-cu menindas kegoncangan hatinya. Sikap Siau Yau-cu menimbulkan tafsir lain pada hadirin. Mereka mengira jago tua itu tentu me mpunyai ganjalan hati kepada wanita iblis Ih Ing- hoa. Merekapun tak mau mendesak lebih lanjut.

Setelah melepaskan diri dari pertanyaan Siau Yau-cu, Siu- lam berpaling ke arah Tio It-ping dan menanyakan keadaan supeh itu sela ma berpisah.

Jawab Tio It-ping, “Walaupun perpisahan itu tak la ma, tetapi ceritanya panjang sekali. Nanti saja apabila ada kesempatan akan kuceritakan pada mu!”

Kemudian jago tua itu berpaling kepada Tay Hong siansu, serunya, “Anak ini me mang benar mur id Ciu Pwe. Bukan saja tak me mpunyai hubungan dengan  pihak  Beng-gak,  tetapi ma lah me mpunyai dendam darah yang hebat. Hal ini, aku yang menjadi saksinya!”

Namun ketua Siau-lim-s i itu tetap berkata, “Ah, hati orang sukar diduga. Walaupun sia-sicu itu berasal dari  murid keluarga Ciu, tetapi dia sudah berpisah beberapa  bulan dengan Tio tay-hiap. Dalam beberapa bulan itu, sukar untuk menja min bahwa dia tidak berobah….” Jelas bahwa ketua Siau-lim-si itu, sudah me mpunyai kecurigaan besar terhadap Siu-la m, sa mpaipun kata-kata Tio It-ping tak dipercayai.

“Jika lo-s iansu tak percaya, memang aku dapat berbuat tak apa-apa…” sungut Siu- la m. Tiba-tiba Tay Hong berseru nyaring, “Siapakah anak perempuan yang menyaru menjadi bocah laki- laki ber muka kotor itu? Walaupun pura-pura gagu, tetapi tetap tak dapat menge labuhi mata loni!”

Ucapan ketua Siau- lim-si itu menyebabkan sekalian hadirin terbeliak dan berpaling me mandang si bocah ber muka kotor.

Siu-la m pun terkesiap. Ia duga pengetahuan Tay Hong itu tentu berasal dari surat yang dilontarkan dara baju putih Bwe Hong-swat kepadanya itu. Ia kuatir dara itu akan marah kepadanya.

Rupanya Bwe Hong-swa atau si bocah muka kotor itu dapat mengetahui keresahan hati Siu- la m. Tiba-tiba ia tertawa dan berseru kepada Tay Hong, “Hm, bukankah setelah me mbaca surat itu aku baru tahu aku seorang wanita? Kalau tahu mengapa sejak tadi kau tak ma u mengumumkan?”

Permainannya bersandiwara menjadi orang gagu, saat itu buyar seketika….

Su   Bo-tun   segera   mendengus,   “Hm,   perta ma   kali me lihat mu, aku sudah menduga kau tentulah bocah perempuan baju putih dari gero mbolan Beng-gak….”

Bwe Hong-s wat mengusap mukanya dengan lengan baju. Seketika terlihatlah wajahnya yang asli. Sebuah wajah gadis yang berkulit putih segar.

“Kau me mang suka me mbual! Kalau me mang  tahu mengapa tadi-tadi tak mengatakan. Sekarang setelah orang lain bilang, kau tak ma u kalah angin…” seru Hong-s wat.

“Me mang aku sengaja hendak menunggu per ma inan yang hendak kau suguhkan. Maka aku tak mau me mbuka kedokmu dulu!” sahut Su Bo-tun marah.

“Su-heng, apakah benar anak pere mpuan ini benar orang Beng-gak?” tanya Tay Hong. “Benar,” sahut Su Bo-tun, “Bukan hanya anak buah saja tetapi dia adalah murid kesayangan dari ketua Beng-gak!”

Bwe Hong-s wat terkesiap. Ia heran mengapa Su Bo-tun mengetahui keadaan dirinya. Walaupun ia dibesarkan dan dididik dalam lingkungan serba ngeri, tetapi sebagai seorang gadis  yang  baru  berusia  delapan  belas  tahun,  ia  masih  me miliki perasaan ingin mengetahui segala apa. Namun ia kuatir, jika menanyakan malah akan  menimbulkan kerunyaman.

Tampak wajah Tay Hong mengerut serius, ujarnya dengan nada berat, “Soal ini penting sekali. Harap Su-heng jangan bergurau!”

Tay Hong seorang ketua Siau-lim-si yang berwibawa. Betapapun sifat Su Bo-tun yang dingin, tetapi saat itu mau tak mau ia terpengaruh juga oleh sikap Tay Hong. Seketika ia menyahut, “Apa yang kukatakan, tak nanti salah. Harap lo- siansu jangan bersangsi lagi!”

Tanya Tay Hong pula, “Bagaimana Su-heng tahu kalau dia anak murid Beng- gak?”

Ketua Siau-lim-si itu tidak mau bertindak secara gegabah. Ia menyadari, tindakan yang salah akan mengakibatkan kehancuran.

Rupanya Su Bo-tun kesal hati. Ia memandang ke atas tiang penglari, ia menyahut dingin, “Setiap orang tahu peristiwa hebat pada belasan tahun yang lalu di mana tokoh-tokoh partai persilatan telah menguber dan menggempur wanita iblis pemilik Chit-jiau-soh. Tetapi tiada seorangpun yang tahu bahwa aku Su Bo-tun tanpa banyak ramai, seorang diri telah bertempur dengan perempuan siluman itu sampa i sehari semala m. Walaupun akhirnya aku dilukai oleh pere mpuan iblis itu, tetapi aku bertempur dengan mengandalkan pada kepandaianku sendiri. Dari pertempuranku dengan budak perempuan itu tadi jelas kuketahui bahwa ilmu silatnya sama dengan perempuan iblis pemilik Chit-jiau-soh dulu. Jelaslah sudah bahwa ketua Beng-gak sekarang ini tak lain tak bukan adalah perempuan iblis pe milik Chit-jiau-soh itu juga!

Dan dugaanku lebih diperjelas dengan adanya undangan dari Beng-ga k yang menggunakan Chit-jiau-soh sebagai surat undangan. Bahwa budak perempuan yang baru berumur dua puluhan tahun sudah begitu hebat kepandaiannya, siapa lagi kalau bukan anak murid kesayangan dari iblis pere mpuan pemilik Chit-jiau-soh….”

Sebenarnya dalam hati Su Bo-tun kagum atas kepandaian bocah muka kotor itu. Namun mulutnya berkata lain.

Bwe Hong-swat dengan tenang me mbuka kancing bajunya. Ia hendak me mbuka baju di hadapan para hadirin. Sudah tentu sekalian hadirin terkesiap. Tay Hong segera berseru menganjur kan hadirin agar me malingkan muka. Se mua orang menurut. Hanya Hian-song yang tetap deliki mata me mandang lekat-lekat pada gerak-gerik Bwe Hong-swat.

Bwe Hong-s wat bergerak cepat. Dalam beberapa kejap iapun sudah me mbuka bajunya, menyingkap ra mbut palsu, mengusap-usap mukanya la lu me longsorkan ra mbutnya ke atas. Seketika tampak dirinya yang asli. Seorang gadis cantik dalam pakaian putih. Dengan wajah yang me mbuka dingin, ia tegak berdiri di tengah ruangan.

Sambil me mbelai- belai ra mbut, ia berseru hambar, “Kalau benar, mau apa? Kalah salah, mau apa?”

Di hadapan sekian banyak tokoh ternama, ia tampak  tenang sekali. Sedikitpun tak mengunjuk rasa gentar.

Tay Hong tersenyum, serunya,  “Li-sicu  benar-benar bernyali besar. Loni sangat kagum. Para hadirin di sini adalah mereka yang diundang oleh suhumu untuk menghadiri pesta Ciau-hun-yan di le mbah Coat-beng-koh. Tetapi sejauh pengetahuanku, tak ada gunung yang disebut Beng-gak itu. Maukah li-s icu me mberitahukan te mpat itu?” Sahut Bwe Hong-swat dingin, “Le mbah Coat-beng-koh, pesta maut Ciau-hun, suatu tempat yang berkabut keseraman, berawan kengerian. Bisa datang, tak bisa pulang. Sebaiknya kalian jangan datang kesanalah!”

Kata-kata itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam hati para hadirin. Siau Yau-cu tertawa dingin, serunya, “Kata-kata nona itu, sungguh sukar dimengerti. Jika nona  tak  mau menje laskan terpaksa ka mi minta tolong nona untuk menunjukkan jalan ke gunung itu!”

Dengan mas ih tetap tawa hambar, Bwe Hong-swat menyahut, “Jika kalian me mang hendak me ngantar  jiwa, harap jangan terburu-buru. Pada waktunya tentu bakal ada orang yang datang menjemput…” ia berhenti  merenung. Sesaat kemudian berkata lagi, “Coan-beng tiada tempat, Cian- hun me mpunyai tempat. Kalian mas ih me mpunyai waktu dua bulan untuk hidup….”

“Budak hina, jangan coba-coba menggertak orang! Aku tak percaya di dunia terdapat semaca m tempat yang begitu misterius!” tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara orang me lengking.

Sekalian hadirin me mandang  ke arah suara itu. Ah, ternyata seorang tua bertubuh pendek. Dia mengenakan pakaian co mpang-ca mping penuh tambalan. Jika tidak buka suara, hadirinpun tak mengetahui bahwa di sudut ruangan ternyata terdapat seorang tua pendek yang sedemikian anehnya.

Orang itu telinganya panjang sekali sehingga menjulur sampai ke pundak. Sepasang matanya setengah meram setengah melek. Hidungnya mekar, alis pendek dan tubuhnyapun pendek gemuk. Sepintas pandang me mang aneh sekali perawakan orang itu. Bwe Hong-s wat si gadis berhati dingin tak kuasa menahan gelinya ketika me lihat perwujudan orang pendek itu. Serunya, “Hi hi kau juga akan menghadiri pesta Ciau-hun-yan?”

Orang pendek itu menyahut dingin, “Seumur hidup aku paling benci me lihat pere mpuan tertawa. Kalau bicara, bicaralah yang tegas. Jangan cekikikan tak genah. Kalau tak menurut, awas, tentu kuhajar!”

“Uh, justeru aku hendak tertawa sebebas-bebasnya supaya kau dapat menikmati. Setelah itu baru akan  bicara!” sahut Bwe Hong-swat. Sa mbil menyingkap ra mbutnya ke belakang bahu, gadis itupun tertawa gelak-gelak. Nadanya penuh kerawanan.

Biasanya orang tak menaruh perhatian karena wajah gadis itu berseri dingin. Tetapi saat itu ketika ia tertawa, air mukanyapun  berubah  berseri-seri  laksana  bunga  sedang me kar….

Tiba-tiba terdengar orang tua pendek mendengus gera m. Ia mengangkat tangan kanannya dan dikibaskan ke muka. Seketika Bwe Hong-swat hentikan tertawanya dan menyurut mundur beberapa langkah.

“Bu- ing-sin- kun!” teriak Siau Yau-cu. Bu-ing-s in-kun artinya pukulan tanpa bayangan.

Kakek pendek ge muk itu tak menghiraukan Siau Yau-cu. Ia me lesat maju ayunkan tangannya. Bwe Hong-swat kembali terdorong mundur. Tubuhnya tampa k ge metar sedikit seperti orang yang menderita luka berat. Dan kakek pendek itu dengan wajah bengis, maju mengha mpiri.

Saat itu kaki Bwe Hong-swat tak dapat berdiri jejak dan tubuhnyapun terhuyung-huyung. Wajah pucat,  ujung mulutnya  seperti  mengulum  darah.  Jika  kakek  kerdil  itu me mukul lagi, Bwe Hong-swat tentu binasa seketika! Tetapi gadis itu keras hati. Walaupun menghadapi bahaya ke matian, tetap ia tak mau minta ampun. Setelah mundur e mpat-lima langkah ia berhenti.

Melihat itu timbullah rasa kasihan Siu-la m. Bagaimana juga, ia pernah berjanji menjadi suami-siteri dengan gadis itu. Apalagi gadis itu pernah meno long jiwanya. Segera ia bersiap- siap me mberi pertolongan.

Tampak si kakek cebol mengangkat tangannya dan maju mengha mpiri. Gaya pukulannya me mang luar biasa anehnya. Sedikitpun tak mengeluarkan suara dan sa mbaran angin dan tahu-tahu lawan sudah mender ita.

Melihat hal itu cepat-cepat Siu-la m bertindak. Sa mbil berseru nyaring ia menerjang si kakek cebol dengan dorongkan kedua tangannya. Jurus itu disebut Hud-hwut-hu- pian, ajaran kakek dari Hian-song.

Karena yakin akan kesaktiannya, si kakek cebol hanya tertawa dingin saja dan kerahkan tangannya  menangkis. Tetapi tiba-tiba tangan Siu-lam meluncur ke bawah dan berputar-putar. Tahu-tahu tangan kanan si kakek tersiak ke samping dan telapak tangan Siu-la m langsung  menja mah dada si kakek. Tetapi Siu- lam tak mau melontarkan tenaga dalam yang telah dikerahkan pada telapak tangannya itu. Ia hanya me minta dengan  berbisik,  “Harap  lo-cianpwe  suka me mber i a mpun kepadanya!”

Wajah kakek cebol itu berubah seketika. Dia biarkan saja dadanya dijamah Siu- la m. Tak mau menyurut mundur juga tak mau menangkis.

“Setiap berkelahi, aku selalu berpegang pada anggar- anggar. Siapa yang dapat me menangkan aku,  tentu kululuskan per mintaannya. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang walaupun lebih hebat lagi sedikit, nanti tak ma mpu me lukai aku. Tetapi karena kau ma mpu menja mah dadaku, pantas juga mendapat pujianku. Ya, aku suka mengaku kalah. Dalam itupun, kaulah orang kedua yang dapat mengalahkan aku!”

Siu-la m menar ik tangannya, “Wanpwe takkan minta apa- apa hanya mengharap lo-cianpwe suka melepaskan nona baju putih itu!”

“Menang satu kali, aku hanya dapat mengabulkan sebuah permintaan. Jika kululuskan me mbebaskannya, berarti aku sudah tak berhutang janji lagi pada mu. Apa kau tak menyesal?”

“Seorang lelaki sekali bilang, tentu takkan menyesal!” sahut Siu-la m.

Kakek  pendek  itu  merogoh  ke   dalam   baju   dan menge luarkan sebuah botol kecil dari batu kumala lalu menuang sebutir pil putih. Katanya kepada Bwe Hong-swat, “Kau telah terkena dua kali pukulan Bu-ing sin- kun. Tentu mender ita luka dala m. Makan pil ini tentu se mbuh!”

“Siapa sudi minum pil darimu!” sahut Bwe Hong-s wat angkuh.

Kakek pendek itu marah, “Kalau tak minum pil jangan harap kau hidup lebih dari tiga bulan!”

“Matipun tak mengapa,” jawab Bwe Hong-swa seraya berputar diri terus me langkah pergi.

It-ciang-cin-sa m-siang Ngo Cong-hian dan Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong yang tengah berdiri di ambang pintu, cepat menghadang gadis itu.

Bwe Hong-swat menginsyafi, dalam keadaan terluka seperti saat itu, tidak mungkin dapat melawan kedua tokoh  itu. Segera ia hendak loncat keluar.

Tiba-tiba terdengar Ngo Cong-hian  mendesak  dan menyurut ke samping. Tepat pada saat itu terdengar suara tertawa dingin dari si kakek pendek, “Siapa yang berani menghadang nona itu, akan mendapat Bu- ing sin- kun!”

Pada saat itu Siu-la mpun sudah loncat ke samping Bwe Hong-swat. Ketika melihat tanpa sebab apa-apa mendadak  Ngo Cong-hian menyingkir ke sa mping, tahulah ia si kakek pendek telah me mberi bantuan. Buru-buru ia berbisik kepada Bwe Hong-s wat, “Lekas tinggalkan tempat ini, nona!”

Bwe Hong-swat menghela napas perlahan. Wajahnya berkerut-kerut hendak mengucapkan sesuatu tetapi tak jadi.

Tiba-tiba sesosok tubuh me lesat menyanggapi tubuh Ngo Cong-hian yang terhuyung-huyung, serunya cemas, “Apakah kau terluka berat?”

Siu-la m agak terkesiap. Dilihatnya penolong itu mir ip seperti pinang dibelah dua dengan Ngo Cong-hian. Dia kenal orang itu Ngo Cong-gi bergeral Tei-Tui-Hong-ciau yang pernah dijumpai di karang Coh-yang-ping. Memang keduanya  itu kakak beradik. Ngo Cong-hian menjadi pemimpin kaum persilatan di daerah Oulam. Sedangkan Ngo Cong-gi berkelana di dunia persilatan. Melihat engkohnya terluka, Ngo Cong-gi pun cepat-cepat meno longnya.

Tay Hong siansu maju mengha mpiri dan menegur kakek cebol itu, “Apakah lo-cianpwe ini Bu- ing-s in-kun yang termasyhur di dunia persilatan?”

Orang tua pendek itu tiba-tiba berpaling kepada Siu-la m, serunya, “Aneh, orang itu tak mengandung ma ksud baik tapi tak mengajukan sikap ber musuhan!”

Ia tak menghiraukan Tay Hong.  Namun ketua Siau-lim-si  itu seorang paderi yang penuh toleransi. Ia tak marah. Kemudian melangkah ke hadapan si kakek pendek. Tetapi belum lagi paderi itu me mbuka mulut, si kakek cebol sudah mendahuluinya. “Meminta aku supaya jangan merintangi jalannya, benarkah seperti kentut busuk?” Terdengar desah tertahan dan Kau Cin-hong yang ikut menghadang tadi, pun menyurut ke sa mping me mber i ja lan.

Siu-la m cepat-cepat menyanggah pinggang Bwe Hong- swat, “Lekas pergi,” sekali mengayunkan tangan ia le mparkan tubuh gadis itu keluar pintu.

Karena tak dihiraukan, hilanglah kesabaran Tay Hong siansu, serunya nyaring, “Dia terluka  parah,  mungkin sukar me lintasi Beng-gwat-ciang sini!”

Dengan kata-kata itu ia hendak mengatakan bahwa Beng- gwat-ciang tempat pertemuan besar itu penuh dengan penjagaan yang ketat.

Seru si kakek pendek dengan dingin, “Siapa yang berani mer intangi tentu sudah bosan hidup!”

Tay Hong berseru gusar, “Memang sudah la ma loni mendengar ke masyhuran na ma Bu-ing-sin- kun. Hari ini benar- benar loni tambah pengala man….”

Tiba-tiba  kakek  pendek  itu  tertawa   nyaring   sehingga me mutus kan ucapan Tay Hong yang belum selesai. Ke mudian ia berseru lantang, “Aku tinggal lama sekali di Se-gak (luar perbatasan daerah barat atau Tibet). Jarang benar aku datang ke Tiong-goan. Tetapi sekalipun tinggal di daerah terpencil, sering juga aku mendengar tentang dunia persilatan Tiong- goan yang penuh dengan jago-jago sakti. Terutama mengenai partai Siu-lim-si sangatlah berkumandang. Ilmu kesaktian dari kitab Tat-mo- ih-kin-keng dan tujuh puluh dua maca m ilmu kepandaian, telah mene mpatkan Siau- lim-s i sebagai partai utama yang me mimpin  dunia  persilatan Tiong-goan.  Sudah la ma kurindukan, jika hari ini kau beruntung dapat menerima pelajaran barang beberapa jurus, alangkah senang aku!”

Tay Hong siansu benar-benar tak kecewa sebagai ketua dari sebuah partai persilatan besar. Ucapan si kakek pendek yang penuh dengan  provokasi  itu,  tak  dapat  lekas-le kas me mbangkitkan ke marahan ketua Siau-lim-si itu. Bahkan dia tampak tenang-tenang saja. Dengan wajah ramah  dan senyum cerah, berserulah Tay Hong, “Terima kasih atas pujian yang tak layak loni terima itu. Sebagai pejabat yang diserahi untuk menjadi ketua ke duapuluh delapan dari gereja Siau- lim-s i, loni hanya ditugaskan untuk menge mbangkan ajaran- ajaran budi welas asih, bukan dendam per musuhan….”

Kakek pendek itu tertawa dingin dan berseru menantang, “Kecuali para ko-chiu Siau- lim-s i boleh dikata seluruh jago- jago sakti dalam dunia persilatan Tiong-goan telah berkumpul di sini. Siapapun saja, apabila suka ber ma in- main dengan aku si orang tua ini barang dua jurus saja, tentu akan kusambut dengan ge mbira sekali!”

Rupanya kakek pendekitu bernafsu sekali untuk berkelahi. Maka ucapannya itu bernada suatu tantangan pada sekalian hadirin!

Sam- kia m- it-pit Tio Hong-kwat rupanya tak dapat tinggal diam lagi. Pikirnya, “Hm, congkak sekali orang  itu.  Dia  tak me mandang mata sa ma sekali kepada kaum persilatan Tiong- goan. Jika tak diberi pengajaran, tentu dia makin besar kepala.”

Sebelum Tay Hong me mbuka mulut, Tio Hong-kwat segera mendahului berseru, “Kudengar dalam ilmu kesaktian terdapat semaca m ilmu pukulan yang disebut Bu-ing-s in- kun. Konon kabarnya pukulan itu tak mengeluar kan suara sa ma sekali. Tahu-tahu orang akan menderita luka dalam yang parah tanpa dapat menghindar….”

“Kau siapa? Apakah kau berminat hendak menguji Bu- ing- sin-kun?” seru si kakek pendek.

Menyaksikan bahwa Bwe Hong-swat, Ngo Cong-hian dan Kau Cin-hong telah dilukai pukulan Bu- ing-sin-kun, dia m-dia m Tio Hong- kwat sudah siapkan rencana untuk menghadapi si kakek pendek. Ia mengeluar kan tiga batang belati pendek dan tangan kiri menjepit sebatang poan-koan-pit. Serunya, “Terima kasih atas perhatian saudara yang suka me mberi pelajaran sakti kepadaku. Tetapi akupun hendak ma inkan senjata-senjataku ini. Jika per mainanku jelek, harap jangan ditertawakan!”

Kakek cebol itu mendengus dingin, “Tak apa kau hendak pakai senjata apapun, asal dapat melukai diriku, aku tentu mengaku kalah….”

Tiba-tiba kakek itu me mandang keluar. Dilihatnya Bwe Hong-swat pergi dengan langkah pelahan-lahan. Dia m-dia m timbullah kasihannya. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Tay Hong siansu tadi tentu tak bohong. Apa yang diperingatkan ketua Siau-lim-s i itu tentu sesungguhnya. Bwe Hong-swat tentu sukar untuk lolos dari penjagaan mur id- mur id Siau-lim- si….

Me mikir keadaan si gadis, serentak bangkitlah nafsu berkelahi dari si kakek cebol. Serentak ia berseru lantang menyahut pernyataan Tio Kwat-hong, “Jangan lagi hanya tiga batang pisau kecil sekalipun kau ta mbah dengan beberapa maca m senjata, bagiku tiada artinya. Ayo, silahkan kau tunjukkan per mainanmu!”

Saat itu Sam- kia m- it-pit Tio Kwat-hong telah siap. Sejak mengundurkan diri dari dunia persilatan, ia telah berhasil meyakinkan suatu ilmu lwekang yang istimewa. Masih belum banyak orang yang mengetahui hal itu. Walaupun kehadirannya dalam perte muan Beng-hio ng-tay-hwe itu bukan bertujuan untuk me mpertunjukkan kepandaian, tetapi keadaan telah menyeretnya dalam suasana yang berlainan dengan tujuannya. Adalah berkat ilmu keyakinannya maka ia dapat membuat Su Bo-tun mengkeret  nyalinya.  Karena  saat itu ia tengah kerahkan ilmu lwekangnya yang baru, maka  ia tak dapat menyahut tantangan si kakek pendek.

Tay Hong benar-benar seorang paderi berilmu. Selain ilmu agama, iapun mahir akan ilmu silat berbagai aliran.  Tatkala Siau Yau-cu menyerukan ilmu pukulan Bu-ing-sin- kun tadi, dengan cepat Tay Hong sudah dapat menangkap. Me mang ia tahu bahwa dalam dunia ilmu silat terdapat ilmu pukulan aneh semaca m itu. Sayang di dunia persilatan Tiong-goan sela ma ini belum terdapat tokoh yang me miliki ilmu kepandaian itu.

Menjadi pe mimpin gereja Siau- lim-s i bukanlah mudah. Dia harus seorang paderi yang benar-benar me miliki bakat dan kecerdikan yang gemilang. Kalau tidak dalam bidang pelajaran agama tentu dalam bidang ilmu silat.

Sebenarnya paderi yang setingkat dengan Tay Hong, berjumlah sembilan orang. Dan Tay Hong termasuk dalam urutan yang ke tujuh. Tetapi berkat kecerdasannya  yang hebat dan menonjol, dapatlah ia diangkat menjadi ketua Siau- lim-s i. Sekalipun begitu dia me miliki pribadi yang luhur dan rendah hati. Selain suhunya, para saudara seperguruannya tidak mengetahui sa mpai di mana kesaktian ilmu yang dimiliki Tay Hong. Dan karena sela ma puluhan tahun tak pernah berkelahi dengan orang, maka para pengasuh bagian dalam gereja Siau-lim-si tetap tak mengetahui kepandaian Tay Hong.

Melihat Sa m-kia m-it-pit Tio Kwat-hong hendak berte mpur dengan si kakek cebol, dia m-dia m iapun kerahkan lwekangnya untuk bersiap-s iap me mberi pertolongan apabila diperlukan.

Ketika melihat  Sa m-kia m-it-pit Tio Hong-kwat mengacungkan senjatanya dan tidak mau bicara, tahulah orang tua pendek itu bahwa orang sedang mengerahkan tenaga. Namun orang pendek itu hanya tertawa hambar saja.

Tiba-tiba ia kibaskan tangannya perlahan-lahan ke muka. Tidak terdengar suatu bunyi, tak terdengar kesiur angin, tahu- tahu Tio Hong- kwat rasakan dirinya dilanda oleh dorongan tenaga yang kuat, hingga tubuhnya bergetar dua kali….

Sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan itu, mau tak mau tercengang menyaksikan kejadian yang aneh itu. Belum pernah mereka melihat suatu ilmu pukulan yang demikian ajaib. Setelah menerima sebuah pukulan Bun- ing-sin- kun, tiba- tiba Tio Hong-wkwat hembuskan napas dan cepat taburkan ketiga batang belati kecil itu beriring-ir ing, satu di muka dua di belakang, melayang ke arah si orang tua yang pendek.

Menggunakan tiga batang pisau yang dijepit dengan jari, sudah merupa kan ilmu per mainan yang aneh. Kemudian pada saat  tertekan  musuh,  cepat  dapat  membuat  reaksi menabur kannya, lebih mena kjubkan lagi.

Tiba tang pisau itu seketika berubah seperti tiga buah bintang me luncur, mendesing-desing menuju ke dada si orang tua pendek. Tetapi kakek pendek itu tak acuh. Pada saat belati hampir tiba di dadanya, barulah ia kebutkan tangan kanan. Seketika ketiga batang belati itu tersiak ke samping, melayang ke arah Tay Hong siansu.

“Omitohud!” Tay Hong berseru seraya kebutkan lengan jubahnya. Angin menderu keras dan ketiga batang belati itupun mence lat ke atas tiang penglari.

Tiba-tiba Sa m-kia m-it-pit Tio Hong-kwat mengge mbor keras.  Sekali  tangan   kanannya   berayun   seperti   orang me metik, ketiga belati itupun me luncur turun dan kemba li ke dalam tangannya lagi.

Adegan itu berlangsung dalam sekejap mata. Kakek pendek dari Tibet, ketua Siau-lim-s i dan Sam- kia m- it-pit Tio Hong- kwat, telah mengunjukkan ilmu kepandaian yang luar biasa.

Menggunakan kese mpatan itu, Siu- lam cepat-cepat lari keluar menyusul Bwe Hong-swat. Serunya berbisik, “Jika tak mau lari sekarang mau menunggu kapan lagi?”

Bwe Hong-s wat menengadah me mandang awan yang berarak di cakrawala, sahutnya rawan, “Yang akan lari, bukan aku….”

Siu-la m mendengus lir ih, “Bukan kau, masakan aku?” Bwe Hong-swat mengusap bibirnya yang berdarah lalu tertawa hambar, “Kau dan sumoay mu itu. Mumpung saat ini masih pagi, harap lekas-lekas me nyingkir pergi! Aku sudah menjadi isterimu, apa yang kukatakan tentu tak bohong!”

Kata-kata itu diucapkan dengan tenang tiada nada cemburu atau dengki. Hanya seperti kebiasaannya, memang dingin nadanya.

Siu-la m terkesiap. Ia heran mengapa nona itu tetap tenang dan dingin menghadapi bahaya maut. Dan mengapa nona itu tetap setia pada janji di bawah sinar re mbulan yang la lu.

“Tetapi betapapun halnya, dia pernah menolong  jiwaku. Aku harus me mba las budi dan minta supaya dia mau tinggalkan tempat ini…” akhirnya ia menga mbil kesimpulan.

Tetapi tak se mpat me mbuka mulut, Bwe Hong-swat sudah mendahului bicara, “Setelah meninggalkan te mpat ini, jika ingin hidup tenang, carilah daerah pegunungan yang sunyi yang jarang didatangi orang. Gantilah na ma dan jangan muncul lagi ke dunia persilatan. Paling baik lagi jika kalian dapat berlayar keluar negeri dan menetap di sebuah pulau kosong. Kalian tentu akan dapat hidup tenang dan bahagia. Namun jika kau tetap hendak hidup di dunia persilatan dan mengangkat  nama, satu-satunya  jalan  hanyalah  harus mene mukan peta Telaga Darah itu. Hanya kalau sudah dapat me mpe lajari ilmu kesaktian dalam kitab peninggalan Lo Hian, barulah kau dapat menundukkan guruku….

Sekalipun aku  ini  isterimu,  tetapi  tak dapat  pergi bersama mu. Karena jika ketahuan aku lenyap suhu dan saudara-saudara seperguruanku tentu akan mengerahkan tenaga untuk mencariku. Hal itu selain akan menimbulkan banjir darah di dunia persilatan, pun akhirnya kita  nanti tak ma mpu lolos dari kejaran mereka. Sekali tertangkap kau tentu tak dapat me mbayangkan betapa ngeri ke matian yang akan kita terima…. Walaupun dalam kehidupan sekarang kita tak dapat terangkap sebagai suami isteri, tetapi aku sudah menjadi isterimu. Biar bagaimana tetap akan menjaga kesucian diriku, agar dapat kupersembahkan kelak pada penjelmaan kita yang akan datang. Tekad dan ikrarku ini, biarlah bumi dan langit yang menjadi saksi!”

Suatu rangkaian kata-kata panjang yang penuh bernada kasih mesra dan kesetiaan seorang isteri sejati. Tetapi mimik wajah gadis itu tetap me mbeku dingin sehingga seolah-olah kata-kata yang indah mesra itu bukan berasal dari mulutnya….

Bermula  Siu-la m  pun  tergerak  hatinya.  Tetapi  ketika me lihat wajah Bwe Hong-swat yang dingin, seketika perasaannya pun tawar. Ia sangsi apakah hati dan  wajah gadis itu tidak bertentangan?

Siu-la m tertawa dingin, “Me mang manis  laksana  madu nona merangkai kata-kata, tetapi sayang kuanggap kata-kata itu hanya suatu pulasan kosong belaka. Aku merasa berhutang budi pada mu ma ka tanpa menghiraukan kecurigaan para orang gagah yang  hadir  di  dalam  ruangan  aku  berusaha me mbantumu supaya dapat lolos dari sini. Tetapi jika nona tak mau lari, akupun tak dapat me maksa mu!” habis berkata Siu- lam berputar diri terus me langkah ke dalam ruangan lagi.

Tiba-tiba terdengar Bwe Hong-swat berkata seorang diri, “Sebagai seorang isteri, harus berbakti kepada mertua dan menurut sua mi. Sekalipun kau ma ki- ma ki, tetapi aku tetap takkan me mbalas!”

Siu-la m berhenti dan berpaling. Ta mpa k Bwe Hong-s wat tegak me matung dengan ha mpa. Siu- lam ter mangu sejenak. Pada lain kejab ia keraskan hati terus loncat masuk ke dalam ruangan.

Ternyata suasana dalam ruangan genting sekali. Kedengaran si kakek cebol ge muk itu tertawa dingin. Sambil menatap Tio Hong-kwat, ia berseru, “Kepandaianmu yang tak seberapa itu tetap bukan menjadi tandinganku. Lebih baik kau menyis ih ke sa mping. Lihat saja!”

Kakek ge muk itu berpaling ke arah Tay Hong siansu, serunya pula, “Ilmu silat Siau-lim-si ternyata bukan nama kosong. Melihat caramu mena mpar belati tadi  benar-benar ada isinya juga. Dapat bertemu dengan seorang paderi sakti seperti kau tak sia-sia lah jerih payahku datang ke Tiong- goan.”

Dia m-dia m Tay Hong menimang. Ia heran dari mana dan kapan kakek cebol itu menyelundup ke dalam ruangan. Padahal penjagaan di luar sangat ketat sekali. Jelas bahwa kakek itu me mang seorang sakti yang luar biasa. Apabila bisa mendapat bantuan tenaganya, tentulah akan mena mbah kuatnya barisan orang gagah di dalam menghadapi pihak Beng-gak. Sedapat mungkin harus menjadikan dia sahabat, bukan musuh, pikirnya.

“Ah, sicu a mat sakti, loni jelas bukan tandingan sicu,” katanya kepada kakek cebol itu.

Di luar dugaan si kakek cebol marah, serunya, “Kita belum bertanding, bagaimana kau tahu tak dapat mengalahkan aku?”

Kakek cebok me nutup kata-katanya dengan mengangkat tangan kanan dan sebuah  pukulan  Bu-ing-s in-kun  sudah  me luncur.

Sudah beberapa orang yang terluka oleh Bu-ing-sin- kun yang sakti. Dan kini para hadirin gelisah ce mas atas keselamatan Tay Hong.

Ketua Siau-lim-s i itu rangkapkan kedua tangan me mberi hormat, “Ilmu pukulan Bu-ing-sin- kun,  benar-benar jarang terdengar dan terlihat. Mana ma mpu loni menerima nya?”

Walaupun mulut mengatakan begitu, tetapi dia m-dia m Tay Hong sudap siap mengerahkan ilmu lwekang Siang- kang (ilmu lwekang dari sumber kitab Buddha) yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun untuk me lindungi tubuhnya.

Berpuluh pasang mata yang  mencurah  pada  Tay  hong, me lihat jubah ketua Siau-lim-si itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin. Tetapi pada lain saat, sudah tenang ke mbali.

Kakek cebol itu tertawa meloroh serunya, “Ilmu kepandaian Siau-lim-si benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh gembira sekali dapat menguji kesaktian dengan ketua partai persilatan yang mengepalai dunia persilatan!”

Kembali kakek cebol itu gerakkan kedua tangannya.

Berturut-turut ia lepaskan dua buah pukulan Bu-ing-s in- kun.

Lwekang yang terpancar dari Bu-ing-sin-kun itu termasuk Im-ji-kang atau lwekang lunak bersifat Im atau yang disebut Im-ji-kang. Begitu menyentuh tubuh orang, barulah tenaga itu me mbuat reaksi me ma ncarkan tenaga me mba l yang dahsyat. Dapat menghancurkan is i tubuh orang. Karena sama sekali tak menge luarkan suara, maka musuh jarang  ma mpu  menjaga diri.

“Harap sicu berhenti dulu, loni hendak bicara!” seru Tay Hong siansu, dia m-dia m  ia  me nga mbil  keputusan  untuk me mber i hajaran kepada orang cebol yang congkak itu agar jangan kelewat tak me mandang mata pada tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan.

Dia m-dia m ketua Siau-lim-si itu kerahkan tenaga lwekang yang disebut Pan-cha-sian-kang. Suatu lwekang yang hanya terdapat dari sumber pelajaran kitab suci Buddha. Ia perkokoh kedua kuda-kuda kakinya, menegakkan dada dan menyambut kedua buah pukulan Bu-ing-s in-kun….

“Hm,” terdengar orang tua kate itu me ndesah perlahan.

Bahunya gemetar dan tubuhnya terdorong dua langkah!

Sementara tubuh Tay Hong siansu pun tampak mengkeret pendek beberapa dim. Serunya, “Ilmu Bu-ing-sin- kun sicu telah loni terima. Memang benar-benar tiada taranya di dunia. Loni sungguh tak ma mpu me nghadapi, harap hentikan. Loni hendak berkata. Apabila nanti sicu hendak berkelahi lagi, nanti saja dimula i lagi!”

Kiranya kedua kaki ketua Siau- lim-s i itu telah melesak beberapa dim ke dalam tanah. Itulah sebabnya, tubuhnya tampak pendek.

Kecongkakan yang berlebih- lebihan dari kakek pendek itu, seketika hilang lenyap bagaikan awan tertiup angin.  Diam- diam ia mengeluh dalam hati bahwa ternyata apa yang didengung-dengungkan orang bahwa Tiong-goan penuh dengan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, ternyata bukan cerita kosong.

Bu-ing-s in-kun yang dapat digunakan untuk me mukul hancur batu karang pada jarak dua to mba k jauhnya, ia percaya tentu dapat menghancurkan tubuh Tay Hong. Tetapi apa yang dialaminya benar-benar di luar dugaan. Tubuh ketua Siau-lim-si itu telah me mancar kan tenaga lwekang yang dapat meno lak dan me me ntalkan ke mbali Im-ji-kang dari pukulan Bu-ing-s in-kun. Hebatnya tenaga me mbal itu harus diderita olehnya sehingga kuda-kuda kakinya tergempur dan dia dipaksa harus me nyurut mundur dua langkah.

Siau Yau-cu jago tua dari Bu-tong-pay, pun terkesiap kagum. Dia m-dia m ia me muji kepandaian dari partai Siau-lim- si. “Bahwa  me mang tepatlah kalau Siau- lim-s i diangkat sebagai partai  pemimpin.  Kiranya  sumber  kepandaiannya me mang lebih tinggi dari partai Bu-tong-pay. Menilik umurnya, Tay Hong siansu ini lebih muda sepuluh tahun dari aku. Tetapi ilmu lwekang dan kesaktiannya, ternyata lebih tinggi! ”

Rupanya kakek pendek itu menurut juga untuk hentikan serangannya. “Mau bicara apa-apa, lekas silahkan!” serunya.

Tay Hong mengangkat kedua kakinya yang melesak di lantai lalu mengha mpiri. Ujarnya, “Mohon tanya, apakah kedatangan sicu jauh-jauh dari Se-gak ke Tiong-goan sini, hanya semata-mata hendak adu kesaktian dengan kaum persilatan Tiong-goan?”

Kakek pendek itu merenung sejenak, sahutnya, “Sekalipun bukan hendak adu kesaktian, tetapi untuk menerima pelajaran dari tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan, adalah cita-citaku!”

“Kecuali untuk menguji kepandaian mencar i nama, apakah sicu mas ih ada lain tujuan lagi?” tanya Tay Hong pula.

“Ah, sukar menyatakan hal itu,” jawab si kakek pendek.

Walaupun keyakinan Tay hong belum mencapai taraf sepi ing pa mr ih, namun terhadap ambisi cari na ma, ia sudah tak me miliki lagi. Ia tersenyum, “Sewaktu kecil loni pernah mendengar cerita suhu, bahwa di antara ilmu kesaktian dari berbagai aliran persilatan di dunia, terdapat sebuah ilmu pukulan yang tak mengeluarkan suara, disebut Bu-ing-sin- kun. Kala itu sudah timbul keinginan  dalam hati loni agar  kelak  me mpunyai rejeki untuk menyaksikan ilmu yang luar biasa itu….”

Kakek pendek itu mendengus dingin, “Sekarang aku sudah berada di sini. Silahkan kau keluarkan se mua kepandaian partai Siau-lim-si, agar aku ta mbah pengala man!”

Diejek begitu, Tay Hong tetap tak marah. Bahkan dengan senyum tertawa ia berseru, “Kala itu umur loni mas ih muda sekali, pengala man kurang maka me miliki keinginan untuk menerima pelajaran Bu-ing-sin- kun. Tetapi kini setelah tua, keinginan itu sudah lenyap sama sekali.”

“Hm, sayang keinginanku untuk mencari na ma tak turut hilang dihanyut masa ketuaanku. Hari ini marilah kita adu kepandaian sa mpai ada yang menang dan kalah.”

Mendengar ketua mereka dihina, sekalian paderi Siau- lim-si gusar dan sebagian besar hendak loncat ke tengah gelanggang menghajar kakek so mbong itu. Tetapi sebaliknya Tay Hong malah tertawa lepas, serunya, “Tujuan sicu dari daerah  Se-gak  yang  begitu  jauh  datang ke mari, jika hendak menguji ilmu kesaktian sicu dengan para jago silat Tiong-goan. Lepas dari isi hati sicu yang sebenarnya, tujuan sicu itu me mang bagus sekali. Andaikata dalam keadaan biasa, loni tentu akan me mbantu sekuat-kuatnya agar maksud sicu itu terlaksana. Akan loni undang seluruh kaum persilatan untuk menya mbut sicu. Tetapi sayang, sicu datang pada saat yang tidak tepat….”

“Tidak tepat? Bukankah saat ini se mua jago-jago silat Tiong-goan hadir di sini? Bukankah ini satu ketika yang bagus sekali….”

“Benar,” sahut Tay Hong, “Me mang yang berkumpul di sini adalah tokoh persilatan ternama. Tetapi pertemuan ini bukan bertujuan menentukan pemimpin dunia persilatan. Bukan pula untuk menyelesaikan sengketa dunia persilatan. Tetapi bertujuan me mbicarakan suatu persoalan. Soal yang menyangkut mati  hidupnya kaum persilatan dari suatu ancaman bencana. Dalam suasana prihatin seperti saat ini, sudah tentu kami tak punya selera untuk bertanding kesaktian dengan sicu!”

Kakek gendut pendek itu termenung sejenak. Pada  lain saat ia bertanya, “Apakah hubunganku dengan bencana yang akan menimpa dunia persilatan Tiong-goan itu?”

Belum Tay Hong menyahut, tiba-tiba Siu- lam sudah mendahului, “Lo-cianpwe, bukankah kedatanganmu ke Tiong- goan ini karena hendak menantang berkelahi dengan tokoh silat Tiong-goan yang paling sakti?”

Kakek pendek itu terkesiap. Sesaat ia tak dapat menjawab pertanyaan Siu-la m. Tiba-tiba ia marah, teriaknya, “Hm, tadi karena lengah, kau ma mpu menja mah dadaku. Untuk itu aku pun sudah sedia me luluskan sebuah permintaanmu. Sekarang di antara kita sudah tidak ada hutang-piutang lagi.  Jika kau tak puas, ayo kita bertempur lagi!” Walaupun sudah tua tetapi rupanya kakek itu masih berdarah panas. Selain tak mau mengakui kesalahannya, ia pun ge mar sekali berkelahi.

Siu-la m tersenyum, serunya, “Ah, mengapa lo-cianpwee begitu bersungguh-sungguh. Tadi hanya karena kebetulan saja maka wanpwe dapat menggunakan lwekang kese mpatan yang bagus. Tetapi ah, itu tak berarti. Kepandaian wanpwe masih tak setaraf ujung kuku lo-cianpwe!”

Rupanya kakek pendek gendut itu biasa hidup di daerah Tibet yang masih terbelakang. Ia jarang bergaul dengan orang. Pergaulannya pun terbatas dengan suku-suku Mongol dan suku Hwe. Suku-suku yang mas ih polos jujur,  tidak seperti orang suku Han yang sudah cerdik.  Disanjung demikian rupa oleh Siu-la m, kakek itu tak dapat menjawab.  Dia hanya mendengus dingin.

Rupanya Siu-lam tak mau me mberi kesempatan si kakek berpikir lebih mendala m. Cepat-cepat ia menyusul kata-kata lagi, “Para hadirin di sini, meskipun terdiri dari tokoh-tokoh ternama dalam dunia persilatan Tiong-goan, tetapi jika bicara secara jujur mereka semua lantas bukanlah tokoh yang benar- benar luar biasa kepandaiannya!”

Sudah tentu ucapan Siu- lam itu menimbulkan reaksi besar.

Sekalian hadirin me mandang anak muda itu.

Namun Siu-la m tak mau mengacuhkan. Dengan senyum hambar ia berseru lebih lanjut, “Tokoh yang kami anggap paling sakti di dunia persilatan, saat ini tak hadir. Jika benar- benar lo-cianpwe hendak mengangkat na ma, asal mampu kalahkan orang itu, tentulah seluruh kaum persilatan Tiong- goan akan tunduk pada lo-cianpwe!”

Kakek pendek itu terbakar oleh kata-kata Siu-lam. Hatinya panas seketika, serunya, “Mana orang itu? Akan kutangtangnya berkelahi!” Dengan tenang tetapi penuh provokatif, berserulah Siu- la m, “Orang itu me mang sakti sekali dan oleh ka mu persilatan dipandang jago no mor satu. Sudah tentu dia tak mau sembarangan unjuk diri. Para hadirin yang berada di sini, telah menerima surat undangannya untuk adu kepandaian. Waktu akan diadakan pertandingan itu ialah dua bulan lagi. Jika lo- cianpwe takut harap lekas-lekas ke mbali ke Se-gak saja, jangan la ma berada di Tiong-goan sini. Tetapi jika lo-cianpwe me mang bersungguh-sungguh hendak mencar i nama, silahkan hadir dalam pesta adu kepandaian itu. Asal lo-cianpwe ma mpu menga lahkan dia, gelar sebagai jago nomor satu di  dunia tentu dapat lo-cianpwe miliki!”

Setelah mendengar ke mana tujuan kata-kata Siu-la m seharusnya sekalian hadirin mendukung. Tetapi mereka tetap kuatir. Karena jelas ketua Beng-gak sekarang itu bukan lain ialah pe milik jarum Chit-jiau-soh dahulu. Walaupun kakek dari Tibet itu me mang hebat, tapi dikuatirkan masih belum dapat menga lahkan ketua Beng-gak.

Tay Hong siansu, Siau Yau-cu, Su Bo-tun diam-dia m menyetujui tindakan Siu- la m. Memang kalau bisa mendapatkan tenaga kakek Tibet itu, tentulah kekuatan mereka bertambah besar.

Kakek pendek itu merenung beberapa jenak. Katanya, “Dua bulan lagi?  Wah, terlalu lama sekali! Mana aku tahan menunggu!”

Tiba-tiba terdengarlah sebuah lengking ge merincing  laksana kelint ing meandering, “Ih, jika kau ingin lekas-le kas mati, mudah saja. Le mbah Coat-beng-koh sudah  siapkan pesta Ciau-hun-yang (me manggil arwah). Jika saudara suka, boleh segera datang ke sana!”

Tanpa berpaling segera Siu-lam tahu siapa yang buka suara itu. Ia kerutkan kening dan menegur, “Ih, mengapa kau belum pergi?” Sekalian hadirin berpaling. Ah, ternyata si gadis baju putih muncul lagi. Gadis itu perlahan-lahan me langkah masuk ke dalam ruangan.

“Mengapa aku harus pergi? Kalian toh sudah pasti mati, biarlah kulakukan suatu kebaikan. Me mbawa kalian ke le mbah Coat-beng-koh termasuk sebuah jasa yang baik!”

“Omitohud!” Tay Hong rangkapkan kedua tangannya. “Li- sicu telah me ngaku sebagai orang Beng-gak. Dapatkah li-sicu menerangkan, benarkah ketua Beng-gak sekarang ini sama dengan pemilik jarum Chit-jiau-soh pada masa berpuluh tahun yang lampau….”

Dingin-dingin saja gadis itu menyahut, “Benar atau tidak, tak ada perubahan yang penting. Yang penting kalian harus cari jalan hidup….”

Sejenak ia berhenti la lu berkata pula, “Sebelum bulan lima tanggal lima nanti, kalian harus datang lebih dulu ke sana. Hal itu tentu menguntungkan kalian. Aku telah merencanakan sesuatu untuk kebaikan kalian! Untuk terhindar dari ke matian, mudah tak mungkin. Rencanaku untuk akan me mberi kesempatan kalian untuk menurunkan pelajaran pada  anak mur id atau menulis kan ilmu kepandaian kalian dalam buku sebagai peninggalan kepada murid- murid. Dengan begitu kepandaian kalian takkan ikut terkubur sela ma- la manya….”

Tay Hong siansu tersenyum, “Jika ka mi me mang benar pasti mati  dalam  pesta  Ciau-hun-yan  itu,  maksud  li-sicu me mang mulia sekali!”

“Kalian tak percaya omonganku? Ah, aku pun tak dapat berbuat apa-apa!” kata Bwe Hong-swat.

“Apakah wanita siluman yang menjadi ketua Beng-gak itu, suhu nona sendiri?” tiba-tiba Siau Yau-cu nyeletuk.

Di luar dugaan, Bwe Hong-s wat mengiakan, “Benar….” “Tetapi suhumu tidak me mpunyai dendam per musuhan dengan ka mi se mua, mengapa dia hendak mengadakan pesta Ciau-hun-yan untuk me mbas mi kaum persilatan se mua?” tanya Siau Yau-cu pula.

“Hm, masakan hal itu dibuat heran. Jika kalian dibasmi, bukankah tiada orang yang berani melawan suhuku lagi? Bukankah dunia persilatan dapat dikuasai Beng-gak? Suhu mau jadi raja pun t iada orang yang berani menentangnya!”

Su Bo-tun yang sudah sekian lama tidak me mbuka mulut, tiba-tiba nyeletuk, “Ilmu kepandaian silat, tersebar luas tiada batasnya. Sekalipun suhumu sakti, tetapi tentu masih  ada yang lebih sakti lagi. Untuk me mbas mi se mua kaum persilatan di dunia, hanya satu la munan gila!”

Bwe Hong-swat tak perdulikan tokoh berhati dingin itu. Ia menengadah me mandang ke wuwungan ruangan. Setelah merenung sejenak ia berkata pula, “Mungkin jika kepandaian kalian ini diberi pada seorang, ke mungkinan orang itu tentu dapat   melawan  suhuku.   Tetapi…    menurut    he matku, ke mungkinan menang, kan tipis….”

Tiba-tiba nona itu tertawa rawan, serunya, “Namun jika kalian tak mau datang ke pesta itu, kematian yang  bakal  kalian terima tentu lebih menger ikan lagi. Ah, aku  sudah bicara kelewat banyak. Kutahu kata-kataku ini tak akan  banyak faedahnya bagi kalian.”

Tay Hong rangkapkan kedua tangan me mberi hor mat, “Terima kasih atas petunjuk nona yang berharga. Jika kami beruntung dapat terhindar bahaya dari le mbah Coat-beng-koh, li-siculah yang paling besar jasanya….”

Rupanya   pernyataan    ketua    Siau-lim-si    itu    telah me mpengaruhi sekalian hadirin. Tak lagi pandangan mereka terhadap Bwe Hong-swat sebagai musuh.

Bwe  Hong-swat  maju  mengha mpir i  Tay  Hong.   Ia menge luarkan sele mbar sutera putih, ujarnya, “Inilah lukisanku sendiri tentang keadaan le mbah Coat-beng-koh. Ikutilah jalan-ja lan pada peta itu dan datanglah lebih pagi ke sana!”

Tay Hong menya mbuti peta itu dan terus dimasukkan ke dalam jubah. Ia hendak mengucap sesuatu tetapi tak tahu apa yang dikatakan.

Bwe Hong-swat tetap dingin wajahnya. Dengan tenang ia me mandang ke sekeliling hadirin. Lalu mengha mpiri Siu- la m. Tiba-tiba Hian-song maju ke sisi pe muda itu dan tempelkan kepala ke bahu Siu- lam serta menggandeng tangannya. Dipandangnya Bwe Hong-swat direbut gadis baju putih itu.

Melihat ketegangan dara itu, tiba-tiba Bwe Hong-s wat tertawa, serunya, “Jagalah dia baik-baik, jangan sampai dia jatuh dalam pelukan gadis lain.”

Sekalian hadirin terbeliak. Masakan seorang mengucap kata romantis begitu, dengan sikap yang tenang.

“Jangan berolok-o lok!” Siu- lam tersipu-s ipu. “Kau ma lu?” Bwe Hong-s wat tertawa.

Siu-la m hendak me nyahut tetapi secepat kilat Bwe Hong- swat mencabut pedang Siu-la m dan terus ditusukkan ke bahunya sendiri. Seketika pakaiannya yang putih  basah dengan darah merah….

Setelah menusuk diri, Bwe Hong-swat serahkan kembali pedang kepada Siu- la m. Siu-la m tak tega. Ia merobek lengan bajunya dan mengha mpir i Bwe Hong-swat.

“Ah, mengapa kau menyiksa diri?” serunya seraya hendak me mba lut bahu si nona. Tetapi dia m-dia m Bwe Hong-swat sudah kerahkan lwekang menutup darahnya yang mengalir. Kemudian ia berputar dan melangkah pergi, “Kau ma u apa?”

Siu-la m tertegun me longo, serunya, “Apakah kau tak tahu kalau aku hendak me mbalut luka mu?” Bwe Hong-swat merobek bajunya sendiri lalu suruh Siu- lam me mba lutkan. Siu- la mpun menurut.  Malah  Hian-song  pun me mbantu me mbalut kan juga. Tanpa mengucap sepatah kata, Bwe Hong-swat hanya mengangguk dan terus melangkah keluar.

Tay Hong siansu melangkah mengantarkan nona itu sampai keluar ruangan dan mengucapkan doa agar lekas se mbuh. Kemudian sa mbil berbisik, ketua Siau- lim-s i itu bertanya, “Apakah siasat Gok-ji-ki (me nyiksa diri) nona  itu  dapat menge labuhi suhu nona?”

“Jangankan suhuku, bahkan kedua suciku pun mungkin sukar dikelabuhi,” sahut Bwe Hong-s wat.

“Kalau nona tahu begitu perlu apa nona menyiksa diri?” tanya Tay Hong pula.

Bwe Hong-swat tiba-tiba tertawa, “Jika kau mau menolo ng, jangankan kedua suci bahkan suhuku pun tentu kena dikelabuhi!”

Serta merta Tay Hong menyatakan kesediaannya. “Kudengar Siau-lim-si me mpunyai sebuah ilmu pukulan

dahsyat Toa-lat-kim-kong-ciang, benarkah itu?”

“Benar,” sahut Tay Hong, “ilmu itu termasuk salah satu dari tujuh puluh dua ilmu Siau- lim-si. Bila nona menginginkan, dengan senang hati akan loni berikan.”

“Pukullah aku dengan Toa-lat-kim- kong-ciang, supaya kedua tulang dadaku patah,” tiba-tiba Bwe  Hong-swat berseru.

Tay Hong agak terkesiap. Tetapi segera ia tahu maksud nona itu. Ia menghela napas, ujarnya, “Ah, pribadi nona yang rela mengorbankan diri untuk kepentingan umum, benar- benar sangat luhur! Kelak jasa nona tentu akan diingat orang selama- la manya. Baiklah, loni akan mela ksanakan permintaan nona!” Habis berkata ketua Siau-lim-si itu segera me mukul ke samping dada Bwe Hong-swa, wut, tubuh Bwe Hong-swat mence lat sampai-sa mpai lima-ena m meter dan terhampar di tanah. Ternyata nona itu me mang sengaja  me mberikan dirinya terluka maka iapun tak mau me ngerahkan lwekang.

“Omitohud!” Tay Hong berseru seraya loncat ke  tempat Bwe Hong-swat. Diangkatnya nona itu, “Apakah nona terluka berat?”

Bwe Hong-swat pucat wajahnya. Ia tertawa hambar, ujarnya, “Apabila Gan Leng-po sudah tersadar, tanyakanlah di mana peta Telaga Darah itu. Hanya ilmu yang tersimpan dalam kitab itu yang dapat menundukkan suhuku!”

“Terima kasih atas petunjuk nona yang berharga,” kata Tay  Hong,  “loni   akan   berusaha   sekuat   tenaga   untuk me laksanakannya. Saat ini sekalian tokoh-tokoh persilatan telah berkumpul. Sekalipun suhu nona kelewat sakti tetapi belum pasti dapat me mbas mi ka mi se mua. Nona terluka parah, maukah kusuruh mengantarkan dalam perjalanan.”

“Tak usah,” sahut Bwe Hong-swat serentak, “Di  bawah kaki gunung sudah ada orang yang menyambut…”   ia  menghe la napas lalu katanya pula, “Dalam peta buatanku ini  di sebelah dalamnya mas ih terdapat secarik peta lagi. Apabila lo-siansu me mer iksanya tentulah akan mengetahui berbagai perkakas rahasia yang dipasang di Beng-gak. Nah, sela mat tinggal!” Nona itu terus lari turun gunung.

Setelah bayangan Bwe Hong-swat lenyap, Tay Hong siansu menghe la napas dan me langkah ke dalam ruangan lagi.

“Apakah nona itu sudah pergi?” tanya Siau Yau-cu. Tay Hong mengiakan.

“Apa katanya kepadamu?” tiba-tiba kakek pendek dari  Tibet menyeletuk. Dari nadanya ia sudah tak me musuhi Tay Hong lagi. “Dia minta supaya kita me mpercepat kedatangan kita ke Beng-gak agar jangan me mber i kese mpatan pada si wanita iblis me mpersiapkan rencana yang jahat!” sahut Tay Hong.

Kembali Su Bo-tun yang sudah sekian saat tak buka suara, kini berseru, “Jika ketua Beng-gak itu benar-benar wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu, menurut anggapanku, tak perlu kita takuti!”

“Harap sicu suka me mberi petunjuk!” seru Tay Hong.

Sepasang mata tokoh dataran karang Coh-yang-ping itu berkilat-kilat me mandang  ke sekeliling ruangan ke mudian katanya, “Seorang manusia terdiri dari darah dan daging. Betapapun  saktinya   namun   tak   mungkin   dia   ma mpu me mpe lajari segala maca m ilmu kepandaian dari partai-partai persilatan. Walaupun yang hadir dalam pertempuran ini bukan tokoh-tokoh yang se mpurna, tetapi mereka terdiri dari tokoh- tokoh yang terkemuka di daerah masing- mas ing. Memang jika bertempur satu lawan satu, kita tentu kalah. Tetapi kalau kita beramai-ra mai    mene mpur nya,   masa     tak    dapat menga lahkannya?”

“Dahulu  bukankah  kee mpat  partai  persilatan  juga menga mbil langkah seperti itu? Na mun tetap dapat dibobolkannya!” seru Siau Yau-cu.

Siau Yau-cu berkata dingin, “Setiap ilmu kepandaian silat, tentu memiliki cirri keistimewaan sendiri. Tetapi sewaktu menyerang bera mai-ra mai, tak boleh setiap orang hanya mengunjukkan ilmu istime wanya mas ing- masing tanpa menurut aturan. Karena  hal  itu  bukan  saja  tak  dapat menge mbangkan per mainan, pun ma lah akan me mbuat keadaan kacau. Misalnya ilmu lwekang Yang-kong (keras) seharusnya diimbangi dengan lwekang Im-ji-kang (lunak), apabila dipadukan dengan serasi tentu akan hebat perbawanya.  Sebaliknya,  apabila   perpaduan   itu   kurang me madai, tentu akan menguntungkan pihak lawan yang akan menggunakan kele mahan- kele mahan kita untuk menghancur kan. Maka yang penting adalah masing- masing orang harus dapat menyesuaikan diri dengan gaya permainan kawan dan permainan gabungan keseluruhannya. Coba saudara-saudara jawab, siapakah yang ma mpu menghadapi serangan dari tiga macam ilmu kesaktian yang menyerang dengan serempak! ”

Tay  Hong  siansu   mengangguk,   “Pandangan   Su-sicu me mang hebat. Loni kagum sekali, ilmu silat di dunia ha mpir serupa coraknya. Barisan Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay dan barisan Lo-han-tin dari Siau- lim-si, menurut penilaian orang merupakan barisan istimewa untuk mengepung musuh. Tetapi menurut he mat loni, barisan itu baru dapat berkembang baik apabila anggotanya sudah me mpunyai sumber ilmu silat yang sejenis. Uraian Su-sicu tadi yang mengatakan  bahwa walaupun sumber ilmu silatnya berlainan, tetapi asal orang menge mbangkan kepandaiannya mas ing- masing untuk menyerang, tentu musuh akan kewalahan. Dalam hal ini loni kurang mengerti harap Su-sicu menje laskan!”

Su Bo-tun menuang arak pada cawannya. Setelah meneguk, ia berkata perlahan- lahan, “Dalam hidupku, baru saat ini aku bicara banyak. Rupanya gelar Siu-kiau- in terpaksa harus kuserahkan kepada orang lain.”

Berkata Tay Hong, “Urusan ini menyangkut kesela matan seluruh kaum r imba persilatan. Sekalipun Su-sicu me mbuka pantangan banyak bicara, namun kata-kata Su-sicu pasti akan menjadi kenangan indah bagi angkatan muda di ke mudian hari.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar