Wanita iblis Jilid 12

Jilid 12

PERLU diketahui bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu, terdiri dari jago-jago terkemuka dalam daerahnya masing- masing. Setiap orang me mpunyai keangkuhan dan harga diri. Maka setiap hal betapapun kecilnya tetapi dirasa menyinggung perasaan tentu mudah menimbulkan bentrokan. Adalah berkat kewibawaan ketua Siau-lim-si ma ka bentrokan-bentrokan dapat diatasi sebaik- baiknya.

Kat Thian-beng bersahabat baik dengan Tay Hong siansu.

Maka iapun segera duduk. Tiba-tiba Siauw Yau-cu me mbuka suara, “Memang akupun pernah mendengar tentang cerita Lo Hian. Sayang sekalian hadirin di sini tak ada yang dapat membuktikan benar tidaknya cerita itu. Jika pribadi Lo Hian itu me mang ada maka ke mungkinan besar perempuan iblis pemilik jarum Chit-jiau- soh itu me mpunyai hubungan dengan tokoh Lo Hian….”

Karena tak tahan, Siu-lam serentak berbangkit. Tetapi pada saat ia hendak membuka mulut menceritakan tentang terbunuhnya kedua gurunya serta rahasia dari peta Telaga Darah, tiba-tiba ia batalkan. Pikirnya, “Ah, rahasia besar itu mana boleh kuceritakan kepada orang luar. Ternyata sebagian besar orang-orang yang hadir di sini tak tahu menahu tentang peta Telaga Darah. Sekali mendengar tentang  peta  itu, mereka tentu akan berlomba-lo mba me ngejarnya.”

Dengan pertimbangan itu, iapun duduk kembali.

Tay Hong kerutkan alis, serunya, “Apakah yang siauw-sicu hendak katakan? Silahkan, sekalipun salah, tak apalah!”

Belum Siu-la m menyahut, Siauw Yan-cu sudah me lanjutkan kata-katanya lagi, “Dahulu ketika aku bersa ma jago-jago sakti dari e mpat partai persilatan mene mpur pere mpuan siluman itu, jelas kuperhatikan ilmu pedangnya terdiri dari beberapa maca m ilmu pedang sakti. Sebentar dia gunakan ilmu pedang partai Hoa-san-pay, sebentar ia keluarkan ilmu pedang sakti dari Kun- lun-pay. Ilmu pedang itu ternyata merupakan gabungan dari semua ilmu pedang sakti berbagai partai persilatan. Hampir serupa dengan per mainan pedang saudara ini (Siu- la m). Bedanya hanya perempuan iblis itu lebih hebat lwekangnya serta lebih ganas….”

Pada waktu mengucapkan kata-kata terakhir itu, mata Siau Yau-cu me mandang Siu- la m.

Siu-la m berpaling me mandang Hian-song tetapi dara itupun hanya balas me mandang kepadanya. “Dan terutama permainan pedang saudara kecil itu sewaktu me mecahkan seranganku. Benar-benar sama dengan permainan pedang si pere mpuan iblis ketika melukai mataku yang kiri. Jika ketua gerombolan Beng-gak itu juga pere mpuan siluman  pemilik   jarum   Chit-jiau-soh,   terang   kalau    ia me mpunyai hubungan dengan anak muda ini. Sekurang- kurangnya tentu kepandaiannya berasal dari satu sumber!”

Hian-song pelahan-lahan me narik ujung baju Siu- la m, bisiknya, “Engkoh La m, apakah jurus per mainan pedang yang kaumainkan tadi, ajaran dari kakekku?”

Siu-la m mengangguk, “Benar, me mang Tan lo-cianpwe yang mengajarkan!”

Dara itu merenung beberapa jenak, katanya pula,  “Eh, kalau begitu apapun kakek me mpunyai hubungan dengan perempuan siluman pemilik Chit-jiau-soh?”

Mendengar si dara me ma ki pemiliki Chit-jiau-soh sebagai perempuan siluman, sekian orang sa ma me mandang kepadanya.

“Aneh!” tiba-tiba Su Bo-tun menghela napas dan mendengus. Tetapi hanya sepatah itu saja lalu dia tak mau bicara lagi. Tahu bagaimana wataknya, sekalian orangpun tak mau bertanya kepadanya.

Siu-la m segera berbangkit, “Bahwa Siau  lo-cianpwe menaruh kecurigaan, me mang tak dapat dipersalahkan. Wanpwe tak berani mengatakan ilmu pedang yang wanpwe ma inkan tadi ada hubungannya dengan orang Beng-gak atau tidak…” sejenak ia berpaling kepada Hian-song, katanya pula, “Tetapi yang jelas ilmu pedang itu wanpwe terima dari kakek nona Tan ini ialah Tan lo-cianpwe. Seorang tua yang kasihan sekali nasibnya karena walaupun me miliki kesaktian tetapi dirundung luka dalam yang parah. Saudara-saudara  yang hadir  di  sini  adalah  para  ksatria  yang   ternama.   Tentu me mpunyai pengala man yang luas. Asal ada yang mengetahui tentang diri lo-cianpwe yang me maka i she Tan, tentulah rahasia yang berbelit-belit ini dapat tersingkap!”

“Siau-sicu benar!” seru Tay Hong siansu.

Siau Yau-cu pun berkata, “Sayang di antara kita yang hadir di sini tak ada yang tahu apakah orang tua aneh ini benar- benar si tabib sakti Gan Leng-po. Karena di dunia mungkin hanya dia yang pernah kete mu Lo Hian.”

Siu-la m me mandang tajam kepada lelaki tua yang masih duduk terlongong- longong itu. Beberapa saat kemudian, berkatalah ia perlahan-lahan, “Dia me mang Ti-ki-cu Gan Leng- po, tetapi….”

Gemuruh hiruk pikuk sekalian hadirin mengerat kata-kata Siu-la m yang belum selesai.

“Harap siau-sicu me mer iksa lagi dengan teliti. Benarkah dia Gan Leng-po?” seru Tay Hong siansu dengan nada berat.

Berpuluh-puluh mata menimpah ruah kepada Siu- la m. Seolah-olah pesakitan yang sedang menunggu keputusan hakim….

“Tak salah lagi, dia me mang Ti-ki-cu Gan Leng- po!” sahut Siu-la m dengan wajah bersungguh, “Wanpwe telah berjumpa dengan dia di pondok terapung bulan yang lalu. Sa mpa i la ma aku bercakap-cakap dengannya sehingga tak mungkin salah lagi. Tetapi kini dia sudah gila mungkin tak dapat mengingat peristiwa yang lampau lagi…” tiba-tiba ia berhenti. Terlintas sesuatu pada pikirannya, “Penyakit gila tabib itu masih belum sembuh. Mengapa ia berpakaian baru dan dapat menuju ke atas gunung Thay-san? Tak mungkin seorang gila ma mpu mencapai puncak Beng-gwat-ciang apabila tak dibawa orang!”

Sekalian orang me mandang Siu- lam seorang pe muda yang penuh misteri. Bukan saja me miliki kesaktian yang di luar penilaian orang, pun ucapannya mengenai diri le laki tua sebagai Gan Leng-po itu disa mbut dengan penuh kekagetan! Karena melihat pemuda itu tak melanjutkan keterangannya, Tay Hong segera menegur, “Jika siau-s icu kenal padanya, harap suka me mberi keterangan yang jelas. Jika hal itu dapat menjadi jalan ke arah menundukkan gero mbolan Beng-gak, besar nian jasa siau-s icu terhadap dunia persilatan!”

Kata Siu-la m dengan hor mat, “Ada suatu hal yang secara tak terduga-duga menjadi buah pikiran wanpwe. Dalam hal ini wanpwe mohon petunjuk taysu!”

Dengan serentak Tay Hong member ikan kesediaannya. Siu- lam me mandang Gan Leng-po lekat-lekat, serunya, “Jelas bahwa penyakitnya gila masih belum se mbuh. Tetapi bagaimana dia dapat naik ke puncak Beng-gwat-ciang sini? Dan bukankah kedatangannya itu tepat sekali pada waktu perjamuan sedang berlangsung?”

Tay Hong terkesiap. Ia hendak perintah paderi kecil untuk menyelidiki siapakah yang me mbawa tabib itu tadi. Tapi buru- buru Siu- lam berkata, “Jika me mang tak ada orang yang mengirimnya ke mari, jelas penyakit gila tabib itu patut disangsikan. Tetapi jika me mang ada orang yang mengantarnya ke mari, maka orang yang mengantar itulah merupakan jejak yang harus kita selidiki!”

Tay Hong me muji pendapat Siu-la m. Ia segera me mbisiki paderi kecil yang berada di sa mping dan paderi kecil itupun segera lari keluar.

Suasana menjadi tenang ke mbali. Sekalian hadirin setuju akan pernyataan Siu-lam. Mereka tak sabar lagi menanti kedatangan paderi kecil itu. Tak berapa la ma ke mbalilah paderi kecil itu dengan me mbawa seorang bocah lelaki yang me ma kai kopiah. Dua orang paderi t inggi  besar yang menyanggul golok kwat-to mengir ing ke belakang mereka.

Bocah laki- laki itu walaupun pakaiannya jelek dan robek- robek, tetapi nyalinya besar. Tenang-tenang saja ia me langkah masuk ke dalam ruang yang penuh dengan berpuluh-puluh tokoh silat.

Tay Hong kerutkan kening,  tegurnya,  “Marilah  maju mende kat sini, aku hendak bertanya padamu.”

Jejaka tanggung berpakaian buruk itu umurnya baru lima belasan tahun. Tetapi kerut wajahnya yang penuh ketenangan itu menandakan bahwa dia seorang kelana dalam dunia persilatan. Sambil mengangguk, iapun maju ke hadapan Tay Hong.

Mata Tay Hong yang tajam segera menarik kecurigaan. Diperhatikannya sorot mata pemuda tanggung itu kejam sekali dan sikapnya pun luar biasa. Tetapi mengapa mengenakan pakaian yang co mpang-ca mping? Ah, mungkin tentu ada sesuatu dengan bocah itu. Diam-dia m Tay Hong siansu salurkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.

Kira-kira terpisah dua tiga meter dari ketua Siau-lim-s i, berhentilah pemuda tanggung itu. Sejenak ia sapukan mata me mandang ke sekeliling hadirin ke mudian tegak berdiri dengan tangan menjula i.

Setelah menunggu beberapa saat, barulah Tay Hong tersenyum. Menuding ke arah Gan Leng-po, bertanyalah ia, “Adakah siau-sicu kenal dengan orang itu?”

Pemuda tanggung itu mengangguk-angguk tiga kali tetapi tak menjawab sepatah pun juga.

“Karena kau yang me mbawanya kemar i, tentulah kau tahu namanya?” tanya Tay Hong pula.

Kali ini si pe muda tanggung gelengkan kepala.

“Eh, mengapa kau tak bicara? Apakah kau gagu?” seru Tay Hong siansu dengan keras.

Pemuda tanggung itu menunjuk mulutnya sendiri lalu geleng-geleng kepala. Ketua Siau-lim-si menghe la napas, ujarnya, “Loni tak mau menyakit i orang. Tetapi caramu bergerak seperti orang gagu itu, tak mungkin dapat mengelabuhi loni!”

Pemuda tanggung itu tetap tak bicara. Tenang sekali sikapnya seolah-olah me mang tak mendengar apa yang diucapkan Tay Hong siansu.

Tay Hong agak kewalahan. Mengingat kedudukan sebagai ketua Siau-lim-si yang termasyhur, ia tak mau turun tangan terhadap seorang bocah yang baru berumur lima belasan tahun. Walaupun diketahui bocah itu sedang ber main sandiwara, namun ketua Siau-lim-si itu tak dapat berbuat apa- apa.

Tiba-tiba Kiu-s ing-tui- hun Kau Cin- hong berdiri dan berseru, “Karena taysu sebagai ketua Siau- lim-s i segan berurusan dengan seorang bocah, baiklah serahkan padaku saja!”

“Baiklah,” jawab Tay Hong, “menilik air muka dia seorang anak yang cerdik. Tidak menyerupai seorang gagu. Harap Kau-heng menanyainya.”

Kau Cin-hong tertawa, “Seorang gagu pasti tuli telinganya. Tetapi dia tadi dapat mendengar dengan baik. Tak mungkin gagu. Tentu hanya berpura-pura saja!”

Tiba-tiba jago tua itu menggebra k meja, dan me mbentak bocah itu, “Ke mar ilah!”

Melihat Kau Cin-hong menggebrak meja beberapa orang yang duduk di sebelahnya sama loncat menyingkir. Mereka tak mau kecipratan makanan seperti tadi lagi. Karena ternyata tak ada mangkuk yang pecah, orang-orang itupun ke mbali duduk lagi.

Bocah itu mengerut wajah kurang senang. Dipandangnya Kau Cin-hong sejenak lalu melangkah mengha mpirinya.

Kau Cin-hong me mpunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan dan wataknya keras. Diam-dia m ia heran mengapa bocah itu dan begitu tenang walaupun ia menunjuk sikap bengis. Ia harus berjaga diri. Ketika bocah itu sudah ha mpir dekat, cepat ia me mbentak, “Berhenti!”

Bocah itupun berhenti. Sedikitpun ia tak  mengunjuk rasa jeri atau takut.

“Budak, lihatlah siapa saja yang berada dalam ruangan ini. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Jangan kau berlagak gagu… jika tetap tak mau bicara jangan tanya dosa nanti!”

Pemuda aneh itu me ma ndang pada Siu-la m la lu Hian-song tundukkan kepala. Berulangkali ia berlaku begitu. Kau Cin- hong sa ma sekali tak dihiraukan.

Jago tua itu marah  sekali.  Wut,  ia  ulurkan   tangan menya mbar siku lengan si bocah. Tetapi Kau Cin-hong ha mpir menge luh kaget ketika pe muda tanggung itu menyingkir ke samping. Ilmu sa mbaran Kin-na-chiu dengan mudah dapat dihindari bocah itu.

Hampir Cin-hong tak percaya apa yang disaksikan. Ilmu sambarang tangan yang disebut Kin-na-chiu itu, jarang sekali jago-jago persilatan yang ma mpu me loloskan diri. Tetapi seenaknya saja bocah itu  menghindar.  Ke mudian  ia  terus me mandang Siu- lam dan Hian-song saja.

Dia m-dia m  Siu-la m  ris ih,  pikirnya,   “Eh,  kenapa   dia me mandangku tak hentinya?” Dia balas me mandang dengan seksama. Eh, rasanya ia pernah bertemu dengan pemuda tanggung itu. Tapi entah di mana….”

Pemuda tanggung itu beradu pandang dengan Siu-la m tiba- tiba tertawa sehingga tampak dua deret giginya yang putih dan rapi. Sebaliknya Siu- lam heran.

Tiba-tiba Siau Yau-cu berbangkit dan maju ke muka, “Saudara, kau gesit sekali…” secepat kilat tangannya kiri  menya mbar. Pemuda tanggung itu cepat-cepat mengendap ke  bawah dan tiba-tiba me lesat ke samping. Dia terhindar dari cengkeram  Siau  Yau-cu.   Kejadian   itu   benar-benar mengge mpar kan. Sekalian hadirin tersentak berdiri dan siap- siap hendak menghadang bocah itu. Sekalian hadirin punya pendapat yang sama. Pada diri pe muda tanggung itulah akan dapat diperoleh kesaksian benar tidaknya lelaki tua yang gila itu Gan Leng-po. Dan mungkin juga bocah itu  akan  merupakan kunci untuk  mencari  keterangan  tentang gerombo lan Beng- gak.

Hanya Su Bo-tun yang masih tetap duduk. Hanya matanya tak hentinya me mperhatikan t ingkah laku bocah aneh itu.

Karena hadirin jago-jago silat se mua, ma ka dengan cepat mereka segera mengatur diri, mengepung pe muda tanggung yang bermuka kotor itu. Tetapi bocah itu tetap acuh tak acuh.

Kiu-s ing-tui-hun Kau Cin-hong me langkah maju setindak, bentaknya, “Budak, jika masih tetap me mbisu, tentu kuhajar!” sambil me mbentak Kau Cin-hong ulurkan  tangan kanan mencengkeram bahu kanan pe muda itu.

Bocah itu mengangkat tubuh, tanpa kelihatan kakinya gerak, tahu-tahu ia sudah meluncur ke muka, menuju ke tempat Siu- lam berdiri.

“Ke mbalilah!” Siu-la m mendorongkan tangan kanan dengan jurus Tui-bo-cu- lan

Bocah itu tertawa. Tangan yang kotor mena mpar dan tiba- tiba mencengkera m lengan Siu-la m yang bermula me mandang rendah, tak keburu menghindar lagi. Ia terkejut sekali ketika rasakan angin tamparan bocah itu panas sekali.  Apabila tangannya kena tercengkeram, tentu celaka.

Walaupun sudah me miliki kekuatiran begitu, na mun Siu- lam tetap tak mampu menghindari diri. Uh, ia rasakan siku lengan kanannya tercengkeram. Serangkum hawa panas meresap keras. Buru-buru ia  hendak  salurkan  tenaga  dalam  untuk me lawan, tapi tiba-tiba bocah itu sudah loncat ke sa mping.

Sejak pertempurannya dengan Siau Yau-cu tadi, sekalian hadirin menganggap Siu- lam yang seorang pemuda sakti. Pun loncatnya bocah itu ke samping, mereka sangka tentulah karena dipentalkan oleh tenaga Siu- lam yang lihay. Mereka tak tahu sama sekali bahwa bocah itu me mang atas ke mauannya sendiri loncat ke sa mping itu.

Siu-la m tegak berda mpingan dengan Hian-song. Dara itu me lihat je las apa yang terjadi. Tetapi dia kurang pengala man sehingga tak dapat mengetahui sebabnya. Paling-paling ia anggap, matanya agak kabur.

Siu-la m tercengang karena tangannya kena terlumur kotoran minyak tangan si bocah. Namun ia pun heran mengapa bocah itu hanya menja mahnya tanpa meluka i. Dan ketika me mandang  ke muka ta mpak bocah itu tertawa menyeringai me mandangnya dengan mesra.

Siu-la m makin tertarik perhatiannya. Dipandangnya bocah itu beberapa kali. Aneh, kenapa seorang pemuda me mpunyai wajah yang cantik dan  tubuh  langsing.  Ia  merasa  seperti me lihatnya tetapi entah di ma na.

Tiba-tiba Tui-hong-tiau Ngo Cong-hian mengerung keras dan menghantam bocah desa itu. Me mang loncatnya bocah itu tepat berada di samping. Semula ia hendak turun tangan tapi masih ragu-ragu. Kalau sampa i menggigit jari seperti Siau Yau-cu dan Kau Cin-hong, ia tentu jatuh merk. Namun yang terdekat dengan bocah itu adalah dia. Kalau dia tak bergerak, orang lainpun tentu sungkan. Apa boleh buat, terpaksa  ia turun tangan juga.

Tadi Kau Cin-ho ng dan Siau Yau-cu gunakan menyambar tapi menga la mi kegagalan. Maka sekarang tak mau ia berlaku sungkan kepada bocah itu. Sekali gerak, ia lepaskan hantaman keras. Tetapi serempak dengan hanta man itu serentak tersadarlah ia akan kedudukan dirinya. Pantaskah seorang tokoh seperti dia, menghantam seorang bocah kotor? Ah, ia menyesal sendiri tetapi tangannya sudah terlanjur terlepas. Wut, bocah itu seperti terdampar kena angin dan terpental ke belakang. Tetapi anehnya gerak melayangnya tubuh bocah itu enak dan indah sekali. Bukan maca m laying- layang putus tetapi seperti bintang beralih te mpat.

Seketika terlintaslah sesuatu pada benak Siu- la m, “Eh, benarkah dia yang menya mar?” tanyanya dalam hati.

Kali ini Golok Sakti Lo Kun berteriak nyaring, “Hai, budak kotor! Jika tetap me mbandel, jangan salahkan aku si orang  tua menghajar anak kecil!” sa mbil mengacungkan t inju, Lo Kun menerjang.

Juga Lo Kun me mpunyai pertimbangan yang sama. Walaupun tahu bahwa bocah itu lebih sakti dari dirinya, tetapi ia   sungkan   kalau   tak   turun   tangan.   Untuk    menjaga ke mungkinan dia mendapat malu, maka dilantangkanlah kata- kata yang garang lebih dulu.

Pada saat bocah muka kotor itu hendak me layang turun ke lantai, tiba-tiba tubuhnya berhenti di atas dan wuuut… ia ayunkan tubuhnya ke  atas  tiang  penglari  ke mudian baru me layang turun.

Sekalian hadirin tercengang. Bukan seolah-olah hebatnya ilmu ginkang bocah itu. Beberapa saat kemudian baru terdengar Tay Hong siansu berseru, “Omitohud! Jurus Hud- poh-lian-tay yang bagus!”

Hud-poh-lian-tay artinya Buddah berjalan di atas teratai bunga telaga.

Sin-kiu-kiau-in Su Bo-tun tertawa dingin, serentak ia berbangkit dan perlahan- lahan mengha mpiri  ke tengah gelanggang. Serunya, “Itu ginkang semaca m itu, belum patut diherankan. Menutup penyaluran lwekang lalu menyalurkan ke perut dan mela mbung ke atas lalu turun lagi bukanlah suatu pekerjaan yang sukar!”

Watak Su Bo-tun yang eksentrik (aneh) memang sudah terkenal. Pada waktu sekalian hadirin mengepung bocah kotor itu, dia tetap enak-enak duduk. Dan bahwa saat itu ia turun ke gelanggang sendiri, benar-benar menarik perhatian. Bahwa seorang tokoh maca m Siau Yau-cu pun ikut tertarik.

Dalam pada itu Hian-song mengha mpiri  ke  samping  Siu- la m, bisiknya, “Lengkoh La m, aku pun dapat juga melakukan ilmu ginkang seperti bocah itu.”

Karena pikirannya sedang dipusatkan untuk mengingat siapakah bocah bermuka kotor itu, maka Siu-la m tak menaruh perhatian pada kata-kata Hian-song. Ia hanya ganda tertawa hampa. Dan Hian-song yang mas ih bersifat kekanak- kanakan, ikut tertawa juga.

Tetapi ketika Hian-song berpaling ke muka,  dilihatnya bocah muka kotor itu masih me mandang lekat-lekat pada Siu- la m. Hian-song heran, serunya, “Eh, engkoh La m, apakah dia kenal pada mu? Mengapa dia terus- menerus me mandang padamu saja?”

Belum Siu- lam menyahut, tiba-tiba Su Bo-tun sudah tiba di sampingnya dan tak disangka-sangka tokoh aneh itu terus menya mbar siku lengan Siu- la m. Siu- lam kaget tetapi sudah tak keburu menghindar lagi. Siku lengannya kena tercengkeram!

“Lepaskan!” melihat itu, secepat kilat Hian-song gunakan dua buah jarinya untuk menusuk.

Me mang cepat sekali gerakan si dara itu. Tetapi sayang dia berhadapan dengan seorang tokoh semaca m Su Bo-tun. Dengan sebuah gerakan menyurut mundur dua langkah, dapatlah tusukan si dara itu dihindari. Tetapi Hian-songpun dara yang jalan darah Hian-seng-si- kwannya sudah tertembus. Dia dapat bergerak dalam posisi yang bagaimanapun juga. Tusukannya luput, cepat sekali ia sudah menyerang lagi dengan pukulan dan tutukan jari. Sekaligus ia lancarkan empat buah serangan. Cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan seolah-olah. Yang diarah ialah bagian jalan darah maut dari lawan!

Walaupun Su Bo-tun pemilik dari ilmu langkah Chit-sing- tun-hing (Tujuh Bintang Beralih) yang sakti, tetapi karena tangan kanannya sedang mencengkeram lengan Siu- la m, maka gerakannyapun kurang le luasa. Hanya sekejap ia agak berayal menghindar, maka bahu kanannya terkena ujung jari Hian-song. Seketika ia rasakan lengannya kese mutan. Cengkeramannya kendur. Kesempatan itu digunakan sebaik- baiknya oleh Siu- lam untuk berontak lalu lompat ke sa mping.

Setelah pemuda itu terlepas, gerakan Su Bo-tun pun lebih leluasa. Segera ia mainkan gerak Chit-sing-tun-hing. Kesaktian gerakan kaki itu dengan cepat dapat menghindari serbuan jari Hian-song. Tetapi pada saat Su Bo-tun hendak lancarkan balasan, Hian-song pun sudah buang tubuhnya loncat beberapa meter ke belakang!

Siu-la m dengan penuh toleransi me mberi hor mat kepada Su Bo-tun, “Su lo-cianpwe adalah seorang yang sangat diindahkan di dunia persilatan. Tetapi tindakan menyerang tanpa member itahukan apa-apa itu, apakah lo-cianpwe tak merasa merendahkan diri?”

Tutukan jari Hian-song pada bahunya tadi, saat itu mulai terasa sakit. Cek Su Bo-tun kerahkan tenaga dalam untuk meno lak rasa sakit itu. Dia m-dia m ia terkejut atas kelihayan si dara. Karena sedang menyalurkan lwekang maka tak mau ia menyahut   teguran   Siu-la m.   Ia   hanya    berpaling    dan me mandang dingin kepada pe muda ini.

Sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-to koh persilatan kawakan, cepat mengetahui bahwa bocah ber muka kotor itu me mpunyai hubungan dengan Siu- la m. Sedangkan Tay Hong siansu segera me mber i perintah kepada paderi bocah yang berada di sa mping. Paderi bocah itupun segera keluar.

Tiba-tiba Siau Yau-cu melangkah maju mengha mpir i si bocah bermuka kotor dan me mbentaknya, “Gan Leng-po yang asli kau bawa ke mana, hah!”

Ucapan jago tua dari Bu-tong-pay itu benar-benar menggegerkan seluruh ruangan. Bahkan si bocah bermuka kotor itu sendiripun tercengang dan melongo. Tetapi rupanya bocah itu seorang cerdas. Cepat-cepat ia mengatupkan mulutnya yang menganga.

Perubahan muka bocah itu diketahui jelas oleh Siau Yau-cu. Sebagai seorang persilatan yang bangkotan, cepat  ia  dapat me lihat kele mahan bocah itu. Serunya tertawa, “Ho, jangan kau berpura-pura bisu! Berkepandaian tinggi dan me mpunyai wajah bagus, mengapa dilumur i kotoran tak karuan? Perlua apa me makai pakaian co mpang-ca mping untuk menutupi keadaan dirimu yang sebenarnya?”

Sejenak bocah itu keliarkan pandangannya ke sekeliling hadirin. Ke mudian perlahan-lahan ia mengatupkan mata dan tetap me mbisu.

Sementara itu Tay Hong siansu segera menghampiri ke meja te mpat si lelaki tua tadi, serunya, “Apakah sicu ini Sih-in Gan Leng-po yang termasyhur?”

Lelaki tua itu berpaling me mandang dingin kepada ketua Siau-lim-si.  Tay   Hong   menghela   napas.   Diam-dia m   ia me mperhatikan keadaan orang aneh itu. Kesimpulannya: dia me mang tidak berpura-pura tetapi kemungkinan ditotok jalan darahnya atau diberi minum racun yang dapat melumpuhkan tenaga dalamnya.

“Ah, asal dapat menolongnya, ke mungkinan tentu  dapat me mpero leh keterangan yang berharga. Jika dia benar Gan Leng-po, tentu dapat menuturkan apa yang telah terjadi padanya. Tetapi jika bukan Gan  Leng-po,  pun  tak  apalah. Me mberi pertolongan kepada orang yang menderita adalah perbuatan yang mulia!” akhirnya ia menga mbil keputusan.

Setelah mengerahkan tenaga dalam, ketua Siau-lim-s i itu sekonyong-konyong mengge mbor keras dan mena mpar ubun- ubun kepala orang tua itu.

Kiu-s ing-tui-hun Kan Cin-hong terkejut. Jelas orang tua yang limbung dan ketolol-tololan itu tentu hancur kepalanya. Cepat-cepat    ia    berseru,    “Lo-siansu,     harap     jangan me mbunuhnya….”

Tetapi seruan itu sudah terlambat. Plak, tangan Tay Hong sudah tiba di atas ubun-ubun kepala orang tua itu.  Seketika itu bersama kursinya dia terjungkal rubuh ke belakang. Tetapi secepat kilat Tay Hong sudah menyambar orang  itu, diseretnya maju dan dengan kecepatan yang luar biasa, Tay Hong lekatkan tangan kanannya ke dada orang itu la lu loncat mundur lagi….

Kejadian itu berlangsung dalam sekejab mata. Si lelaki aneh tetap duduk di atas kursinya sa mbil menyekal tongkat. Dan Tay Hong siansu tegak berdiri di sa mping.  Kepala pemimpin Siau-lim-si bercucuran keringat.

Hadirin tak tahu apa yang sedang dilakukan Tay Hong. Kiranya ketua Siau- lim-si itu sedang me laksanakan pertolongannya dengan gunakan ilmu Lo-han-coan-teng. Sebuah ilmu rahasia yang hanya diajar pada Ciang-bun-bong- tiang (ketua gereja) dan paderi-pader i tingkatan tianglo (para kepala bagian). Bahkan walaupun murid- murid Siau-lim-si yang berkepandaian tinggi tak tahu juga bahwa  Siau-lim-si me miliki ilmu rahasia se maca m itu.

Bahwa sekalian hadirin tak tahu apa yang dilakukan ketua Siau-lim-si, me mang tak dapat dipersalahkan. Gerakan Tay Hong siansu itu me mang aneh. Dikata me mberi pertolongan tidak seperti orang menolong. Na mun me nyerang orang pun tak menyerupai seperti orang me mukul. Tokoh-tokoh itu tak mengerti tetapi mere kapun tak berani berbuat apa-apa. Dipandangnya ketua Siauw-lim-s i itu dengan penuh perhatian.

Tengah perhatian hadirin tertumpah pada Tay Hong siansu, tiba-tiba si bocah muka kotor itu me lentikkan sebuah benda kecil ke arah Siu- la m. Lentikan itu menggunakan tenaga dalam lunak sehingga tak menerbitkan suara apa-apa.

Siu-la m cepat menya mbuti. Ternyata benda itu lunak seperti sutera. Segera ia berputar tubuh dan me mbukanya. Lipatan sutera itu bertuliskan beberapa huruf berbunyi:

Peta Hiat-tho yang kuikatkan pada baju Gan Leng-po, hilang!

Isterimu: Swat

Kata-kata terakhir yang mesra  itu bagaikan halilintar menya mbar telinga Siu-la m. Bukan  kepalang terkejutnya. Pikirnya, “Peristiwa pernikahan di bawah re mbulan dahulu, sudah lampau. Tetapi mengapa dia masih menyebut dirinya sebagai isteriku?”

Tiba-tiba Hian-song me lengking, “Engkoh La m, bolehkah kulihat benda itu?”

Bagi Hian-song, Siu- lam adalah satu-satunya orang yang mengisi hatinya. Walaupun sekalian hadirin me mperhatikan Tay Hong, namun dara itu tetap me mperhatikan gerak-ger ik Siu-la m. Melihat pe muda itu menyambut i benda yang dijentikan si bocah muka kotor lalu ta mpak ter menung, tertariklah perhatian Hian-song.

Siu-la m terkesiap. Jika sutera itu diberikan, tentulah si dara akan curiga. Setelah merenung sejenak segera ia angsurkan sutera itu.

Hian-song tertawa seraya menyambuti. Tetapi belum tangan menyentuh sutera itu tiba-tiba sebuah tangan lain mendahului merebut. Siu- lam terkejut dan buru-buru menar ik tangannya tapi kalah cepat. Tangan orang itu sudah mencengkeram ujung sutera. Bret… ketika Siu-la m menariknya, sutera itupun robek jadi dua. Yang digenggam Siu-la m hanya sobekan sutera yang tertulis:

“Peta Hiat-ti-tho, lenyap. Isterimu Swat”.

“Orang hutan bangkotan, tak malukah kau merebut barang orang?” Hian-song menda mprat marah dan ayunkan tangannya kepada orang yang merebut sutera.

Ternyata yang merebut ialah Siu-chiu- kiau- in Su Bo-tun. Tokoh aneh itu mendengus dingin. Ia gerakkan tangan kirinya dalam jurus Im-hun- hong-gwat (awan hitam menutup rembulan) untuk menangkis serangan Hian-song. Sedangkan tangan kanan cepat me masukkan sobekan sutera ke dalam bajunya!

Hian-song terdampar mundur selangkah. Marah dan sesalnya bukan kepalang. Jika ia tak minta lihat sutera itu, tentulah tokoh aneh itu tak merebutnya. Pikirnya lebih lanjut, “Ah, jika aku tak berhasil merebut ke mbali separoh sobekan dari tangan si orang, engkoh Lam terus benci padaku. Ah, aku harus merebutnya kemba li!”

Dengan keputusan itu, Hian-song segera menyerang Su Bo- tun lagi. Sekalian hadirin ia terkejut mendengar da mpratan Hian-song tadi dan merekapun segera berpaling  me mandang ke arahnya. Terkejutlah mereka ketika menyaksikan entah apa sebabnya dara itu menyerang Su Bo-tun.

Walaupun belum mengetahui bahwa dara itu telah terbuka jalan darah Seng-si- hian-kwan sehingga tenaga dala mnya sudah mencapai tingkat kese mpurnaan, namun melihat cara dara itu menyerang sedemikian dahsyat dan cepat, tergetarlah hati Su Bo-tun. Memang jika ia menangkisnya dengan kekerasan tentu segera dapat diketahui kesudahannya. Tetapi andaikata ia menang, pun beratus-ratus tokoh persilatan yang hadir di situ, ia takkan tambah dikagumi karena menang dari seorang anak perempuan yang tak terkenal. Dan  apabila kalah, bukankah na manya akan ludes?

Dengan pertimbangan itu, akhirnya Su Bo-tun  gunakan ilmu gerakan kaki Chit-sing-tun-heng untuk menghindari serangan si dara.

Kini adalah giliran Hian-song yang terkesiap kaget. “Eh, tuang Bangka itu gunakan ilmu apa? Mengapa tepat pada saat lenganku ha mpir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba ia dapat menghindarkan diri?” dia m-dia m Hian-song bertanya dalam hati. Namun ia masih penasaran. Die mposnya semangat dan kerahkan tenaga dalamnya ke arah tangan kanannya, ia siap lancarkan serangan yang lebih dahsyat.

Pada saat Su Bo-tun hendak me mperbaiki posisi tubuhnya setelah menghindari serangan si dara, tiba-tiba si bocah muka kotor melesat ke tempatnya dan secepat  kilat  menampar muka Su Bo-tun dengan tangan kiri….

Dalam pada itu,Siu-la m pun segera masukkan separoh sobekan sutera ke dalam baju dan terus loncat ke samping Hian-song, “Adik Song, orang itu cukup lihay, jangan sembarangan menyerangnya!”

Me mang Hian-song agak kewalahan menghadapi Su Bo- tun. Ia girang karena Siu- lam me mber i nasihat itu. Tapi dia telah merebut sutera yang kau pegang. Jika tak kurebutnya, kau tentu benci padaku, Engkoh La m? Seru Hian-song dengan nada kekanak- kanakan.

“Sudahlah, mengapa aku me mbencimu?” Siu- lam tersenyum.

“O, kalau begitu legalah hatiku!” Hian-song tertawa riang. Pada  waktu kedua  anak muda itu bercakap-cakap,  Su Bo-

tun  pun  sudah  berte mpur  dengan  bocah  muka  kotor. Seru

sekali perte mpuran itu berlangsung. Ilmu kesaktian Su Bo-tun, dewasa itu dianggap sebagai tokoh yang paling terkemuka di dunia persilatan. Ilmu gerakan kaki Chit-sing-tun-hengnya dipandang sebagai ilmu yang jarang terdapat di dunia persilatan. Bahkan ketua Siau-lim-si pun menaruh perindahan kepadanya. Maka Tay Hong khusus mengirim orang untuk menyerahkan surat undangan kepadanya.

Setiap jago silat yang ma mpu bertahan diri me layani Su Bo- tun sampai sepuluh jurus, tentu dapat digolongkan jago kelas satu.  Tetapi  bocah  muka  kotor  itu   ternyata   mampu   mene mpur nya sampai t iga puluhan jurus dan belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Peristiwa itu benar- benar menggoncangkan hati para hadirin.

Su Bo-tun bertempur dengan hati-hati sekali. Sedang si bocah muka kotor makin la ma makin me mperhebat serangannya dengan jurus-jurus yang ganas. Hanya saja gerak serangan mereka, tidak lagi berebut kecepatan tetapi pelahan-lahan. Justru gerak  pelahan  inilah yang  lebih menger ikan. Setiap gerak pukulan dan tendangan tentu mengandung tenaga dalam yang hebat. Lebih mengerikan dari serangan cepat yang mereka lakukan dalam babak-babak permulaan tadi.

Pertempuran yang bermutu tinggi telah menarik perhatian sekalian hadirin.

“Hiat-ti-tho! Hiat-ti-tho…!” tiba-tiba orang tua yang diduga Gan Leng-po itu serentak berbangkit dan berkaok- kaok terus menyerbu kepada kedua orang yang tengah bertempur itu.

“Berhenti!” Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong cepat loncat menghadang.

Wut… lelaki tua itu menyambutnya dengan ayunkan tongkat. Kau Cin-hong terkejut dan buru-buru menyingkir ke samping. Setelah tiada menghadang orang tua itu terus menyerbu ke tengah gelanggang. Wut… ia sapukan  tongkatnya kepada Su Bo-tun.

Pertemuan itu benar-benar di luar dugaan Su Bo-tun. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru, ia malu untuk gunakan gerak kaki Chit-sing-tun-heng. Dia hendak gunakan kesaktian tenaga dala mnya untuk menundukkan si bocah. Masakan seorang bocah yang baru berumur belasan tahun ma mpu me nandingi lwekangnya.

Tetapi apa yang dihadapinya ternyata di luar dugaan.  Bukan saja ilmu pukulan bocah itu luar biasa anehnya, pun tenaga dalamnya juga hebat sekali. Hampir berimbang dengan dirinya. Su Bo-tun tak ma mpu menge mbangkan tenaga dalam karena setiap kali tentu terhapus oleh tenaga dalam lunak dari bocah itu. Itulah sebabnya pertempuran sampa i berjalan sekian la ma.

Sampa i pada saat itu barulah Su Bo-tun me nyadari suatu kenyataan. Apabila ia sa mpai kalah, ludaslah na manya dari dunia persilatan. Kini ia mulai merobah siasat. Ia gunakan gerakan la mbat tetapi disaluri tenaga dalam penuh untuk menyerang.

Tetapi siasat itupun ternyata mendapat perlawanan hangat dari si bocah. Bocah itu sekaligus gunakan kedua tangannya untuk menyerang. Tangan kanan mengha mburkan tenaga dalam lunak untuk menghapus pukulan lawan. Tangan kiri mengha mbur tenaga dalam terus untuk balas menyerang.

Su Bo-tun makin kaget. Ia benar-benar tak menyangka bahwa bocah itu sedemikian saktinya. Sekali terkena pukulan atau tendangannya, ia tentu menderita muka. Kekuatiran itu mena mbah perhatiannya untuk lebih me mpertinggi kewaspadaannya.

Maka pada saat si lelaki limbung menyerang dengan tongkat, walaupun terasa punggung tersambar angin, namun  ia lebih me mberatkan serangan si bocah. Serentak luruskan kedua tangannya lalu sekonyong-konyong direntangkan menyerang ke muka untuk me nangkis serangan si bocah. Dalam pada itu dia m-dia m ia kerahkan tenaga dalam ke arah punggungnya. Serangan tongkat siap diterimanya.

“Ah, Gan tayhiap seorang tabib sakti yang ternama, mengapa menyerang orang dari belakang?” tiba-tiba sesosok tubuh mencelat ke tengah dan menya mbar tongkat orang tua limbung itu. Cepat dan tangkas sekali gerak sa mbaran itu.

Ternyata yang bertindak itu adalah Siau Yau-cu jago tua dari partai Bu-tong-pay. Dan karena tongkatnya dicengkera m, orang tua limbung itu terlongong-longong….

Bum… terdengar bunyi menggelegar keras ketika Su Bo-tun beradu pukulan dengan si bocah. Bocah itu terpental ke belakang sampai tiga langkah. Tetapi Su Bo-tun tergetar tubuhnya.

Keduanya telah memeras tenaga. Maka  setelah beradu pukulan, mereka sa ma-sa ma berdiam diri  menyalurkan tenaga.

“Hiat-ti-tho…” karena tongkatnya dicengkeram kencang dan dua kali tak berhasil menariknya lepas, orang tua limbung itu lepaskan tongkatnya dan tiba-tiba me nyerang Su Bo-tun!

Su Bo-tun marah, dampratnya, “Kau sendiri yang  minta mati, jangan salahkan aku keja m!” Cepat gunakan langkah Chit-sing-tun-heng   menyelinap  ke   sa mping   lalu    balas me mukul. Pukulan itu menggunakan jurus biasa, tetapi karena diimbangi dengan gerak Chit-sing-tun-heng, perbawanya dahsyat sekali.

Ternyata kesaktian dari gerak  Chit-sing-tun-heng  bukan me lainkan terletak pada gerak penghindaran diri yang tak dapat diduga musuh, tetapipun jika diserempaki dengan pukulan yang sederhana saja, akan merupakan serangan yang berbahaya sekali. Orang tua limbung itu me mang belum se mbuh pikirannya, tetapi tenaga dan ilmu silatnya masih tetap hebat. Serangannya kepada Su Bo-tun itu, dilakukan dengan cepat dan dahsyat. Maka ketika tiba-tiba Su Bo-tun lenyap, dia tak keburu menarik pulang tangannya lagi. Karena sudah terlanjur me mukul ke muka, ia teruskan saja menyerang pada Siu-la m.

Su Bo-tun yang menyelinap ke belakang tabib gila itu, kini hendak mengge mpur punggung orang. Si tabib gila Gan Leng- po tentu celaka. Kalau tak mati tentu akan terluka parah!

Siu-la m kaget. Celaka ia lo mpat ke muka untuk melindungi si tabib seraya berseru mencegah Su Bo-tun, “Lo-cianpwee, harap menaruh kasihan!”

Sebenarnya tak mungkin Siu- lam dapat menghadang, tetapi seruan pemuda itu telah me mbuka kesadaran Su Bo- tun. Tokoh aneh itu diam-dia m  me mbantu.  Jika  ia  sampai me mbunuh orang tua limbung yang diduga keras tentu Gan Leng-po, tentulah akan menimbulkan ke marahan orang banyak. Karena pemikiran itu maka ia agak termangu ragu sehingga gerakannyapun agak perlahan.

Siu-la m cepat menarik tubuh orang tua limbung ke samping ke mudian ia me mberi hor mat kepada Su Bo-tun, “Terima kasih atas ke murahan hati lo-cianpwe!”

“Hm, kau hendak menjadi pahlawannya?” dengus Su Bo- tun dengan nada dingin.

“Ah, mana wanpwe berani pada lo- cianpwe. Hanya wanpwe sayangkan kalau lo-cianpwe  sa mpai  me ngotorkan  tangan me mbunuh seorang tua yang tak sehat pikirannya.”

“Tetapi dia menyerang aku dari belakang. Andaikata aku sampai terkena, kepada siapakah aku harus minta keadilan?” Su Bo-tun makin marah.

“Ah, tak mungkin Su lo-cianpwe yang sakti sa mpai terkena pukulannya!” Siu-la m tertawa. Pujian itu meredakan ke marahan Su Bo-tun. Namun tokoh aneh itu tetap menda mpratnya, “Aku tak suka berkelakar dengan orang….”

Tiba-tiba Hian-song melesat datang dan menyahutnya, “Siapa sudi bergurau padamu? Sudahlah, jangan pedulikan padanya, engkoh La m!”

Hian-song seorang dara yang biasa bicara terus terang. Ia anggap Siu- lam adalah satu-satunya pemuda yang menjadi tiang harapannya. Ia marah apabila ada orang berani menghina atau mengganggu pe muda itu. Tak peduli itu Su Bo-tun atau Siau Yau-cu atau ketua Siau-lim-s i atau siapapun juga….

Saat itu Siu-la m sudah dapat mengenali siapakah sebenarnya di balik wajah kotor dari bocah aneh itu?

Dia bukan la in adalah Bwe Hong-swat, si dara baju putih yang telah memaksanya me lakukan sumpah perkawinan di bawah sinar bulan te mpo hari. Dan dara itu rupanya tetap setia me megang sumpah. Ah, bagaimanakah jadinya nanti apakah dara itu tetap bersungguh-sungguh menga ku jadi isterinya? Bukankah keadaan akan menjadi runya m?

Dalam beberapa saat Siu-lam  benar-benar kehilangan paham. Tak tahu ia apa yang harus dilakukannya.

Dalam pada itu, Su Bo-tun me mandang dingin kepada Hian-song, pikirnya, “Aku habis berte mpur sa mpa i seratus jurus dengan bocah kotor itu. Tenagaku belum pulih. Dan dara ini juga tak boleh dipandang ringan. Jika dia sa mpai turun tangan menyerangku, tentu sibuk aku dibuatnya. Ah, lebih baik tak kuhiraukan saja….”  Ia  pejamkan  mata  dan  tak  me mpedulikan Hian-song lagi.

Rupanya Gan Leng-po masih belum waras pikirannya. Ia tak tahu bahwa dirinya habis terhindar dari bahaya maut. Karena tak berhasil menggebuk orang, dia terus lari keluar. Tay Hong siansu me mberi isyarat dengan tangan dan beberapa paderi segera berhamburan menghadang tabib gila itu.

Melihat ada orang menghadang jalannya, Gan Leng-po menjawab dengan tongkatnya. Kawanan paderi itu segera menghadapinya dengan ilmu pengepungan. Setiap kali si tabib hendak menerobos keluar, setiap kali itu pula paderinya mengha launya mundur. Mereka adalah paderi-paderi Siau-lim- si yang tergolong tingkat kochiu (jago sakti) dari paseban Tat- mo-wan. Apalagi mereka menyerang secara beramai, sudah tentu perbawanya dahsyat sekali.

Karena tak berhasil menerobos keluar, Gan Leng-po berputar dan terus menerjang ke arah Tay Hong siansu.

“Omitohud!” Tay Hong siansu menyambut inya dengan menyongsongkan kedua tangan ke muka. Serangkum angin dahsyat melanda Gan Leng-po. Tabib itu me nangkis, tetapi ia tersurut mundur tiga langkah.

Dalam pada itu Siau Yau-cupun mengha mpiri Siu- la m, tegurnya, “Benarkah orang tua yang limbung itu Ti- ki-cu Gan Leng-po?”

Siu-la m mengia kan.

“Berapa la makah kau pernah berjumpa dengan dia?” tanya Siau Yau-cu.

“Kira- kira tiga-empat bulan yang lalu!” “Apakah kala itu dia sudah limbung begitu?”

Pertanyaan Siau Yau-cu itu tak lekas-lekas dijawab. Siu-la m masih menimang-nimang. Jika ia menceritakan terus terang, dikuatirkan sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang banyak pengala man itu tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Melihat Siu-la m bersangsi, timbullah kecurigaan Siau Yau- cu. Serunya melantang, “Meskipun ilmu pedang saudara hebat sekali, tapi tenaga dalammu masih belum se mpurna, sehingga tak ma mpu me nyalurkan ke arah pedang. Aku percaya, masih dapat melawannya!” 

“Apakah ma ksud lo-cianpwe? Maaf, wanpwe tak jelas,” Siu- lam heran.

“Kau pintar, masakan tak dapat menyelami. Tetapi baiklah kujelaskan juga!” Sian Yau-cu tertawa sambil mengurut-urut jenggotnya.

Tiba-tiba jago tua Bu-tong-pay itu agak berobah kerut wajahnya, serunya, “Sewaktu bertanding pedang tadi, telah kuketahui jelas bahwa ilmu pedang saudara satu sumber dengan ilmu pedang wanita siluman yang dahulu melukai mataku. Rasanya di dunia tiada lagi orang kedua yang mampu menggunakan ilmu pedang itu….”

Dia m-dia m ia terperanjat. Ia heran mengapa jago tua itu mengungkat kembali soal jurus ilmu pedang J iau-toh-co-hoa yang dikatakan serupa dengan ilmu pedang dari pere mpuan iblis yang pernah me lukai sebelah mata Siau Yau-cu. Padahal jelas ilmu pedang adalah dari orang tua she Tan atau kakek Hian-song. Adakah kakek itu me mpunyai hubungan dengan si wanita siluman?

Rupanya pernyataan Sian Yau-cu menarik perhatian sekalian hadirin. Mereka segera mengerumuni ke tengah ruangan.

Hian-song tak puas karena dikerumuni orang banyak, segera ia maju mengha mpiri ke sa mping Siu-la m, bisiknya, “Engkoh La m, andaikata kita kalah me lawan sekian banyak orang, rasanya tentu takkan me malukan!”

Sekalian orang itu siap hendak turun tangan. Mereka panas mendengar ucapan Hian-song. Sian Yau-cu me mperhatikan kedua muda- mudi itu dengan taja m. Walaupun dikepung sekian banyak jago silat, namun kedua anak muda itu tetap tenang.   Hian-song   bersenyum   simpul.    Siu- lam   tegak me matung.

Dalam pada itu, tampak si bocah muka kotor sudah pulih tenaganya. Selekas membuka mata, segera ia memandang Su Bo-tun lagi.

Saat itu Su Bo-tun berdiri dekat dengan Siau Yau-cu. Ketika terasa ada angin menya mbar dari belakang, secepat kilat Siau Yau-cu menyambar ke belakang. Bocah muka kotor itu terkejut. Tamparan Siau Yau-cu dahsyat sekali. Tak mau ia menangkis melainkan menyingkir ke sa mping.

Melihat kericuhan itu segera Tay Hong siansu berseru, “Harap saudara-saudara tenang dulu. Loni hendak bicara!”

Sekalian hadirin terkejut mendengar seruan ketua Siau-lim- si yang bernada marah. Apalagi setelah diketahui kerut wajahnya agak menggelap, mau tak mau mereka mengindahkan seruan itu.

Tay Hong siansu me mandang ke sekelilingnya, serunya pula, “Loni sangat bersyukur sekali pada saudara-saudara sekalian  yang  telah  member i   muka   pada   loni   dengan me mer lukan menghadiri rapat di gunung Tay-san ini.

Kehadiran saudara-saudara jelas mempunyai satu tujuan yang sama. Yakni bersama-sama menyela matkan  dunia persilatan dari suatu bencana,” sejenak ketua Siau-lim-si itu berhenti lalu berkata pula, “Ka mi kaum gereja Siau- lim-s i, sejak didirikan oleh mendiang Tat Mo cousu, telah menga la mi bermaca m- maca m gelo mbang bencana dan ujian kesulitan. Syukurlah berkat kesatuan dan persatuan kaum Siau- lim-s i, kesemuanya itu dapat dilintasi dengan baik….”

Tiba-tiba Kat Thian-beng nyeletuk, “Me mang sejak ratusan tahun, di dunia persilatan tak pernah mengala mi ketenangan. Selalu ada saja bahaya yang menganca m. Tetapi setiap kali timbul bahaya, tentulah gereja Siau-lim-si segera muncul. Jika tidak menda maikan suatu perselisihan di antara sesama kaum persilatan, tentulah bersama-sama kaum persilatan bersatu- padu untuk menumpas sesuatu durjana yang ganas. Nama Siau-lim-si telah me ndapat tempat perindahan yang tertinggi dalam dunia persilatan. Hal itu yang utama bukanlah karena kepribadian dan sifat-sifat keutamaan kaum Siauw-lim-si benar-benar menundukkan hati orang. Maka jika losiansu hendak me mber i petunjuk, silahkan segera mengutarakan. Kami para hadirin tentu sedia me lakukannya!”

Tay Hong tertawa, “Ah, sicu terlalu menyanjung. Loni benar-benar tak berani dan tak pantas menerima pujian setinggi itu…” ia menghe la napas pelahan, sambungnya pula, “Tetapi perte muan kali ini adalah merupakan pencer minan dari kesatuan para tokoh persilatan. Jadi bukanlah merupakan kepentingan seseorang atau segolong golongan. Demi tujuan dan kepentingan bersama itulah maka loni mohon kepada sekalian saudara supaya suka me lepaskan segala kepentingan dan dendam per musuhan pribadi. Agar kita benar-benar dapat bersatu untuk mela ksanakan cita-cita bersama itu!”

Kata-kata yang diucapkan dengan lantang dan penuh wibawa itu benar meresap ke dalam hati para hadirin.

Kemudian ketua Siau-lim-si itupun mengha mpir ke tempat Su Bo-tun. Ia me mber i hor mat, ujarnya, “Telah lama loni mengagumi na ma Su-heng yang telah ter masyhur di dunia.”

Rupanya Su Bo-tun si hati dingin itu tak berani me mandang rendah kepada paderi Siau- lim-s i. Ia pura-pura mengangguk sedikit, sahutnya, “Ah, jangan lo-siansu kelewat memuji. Silahkan lo-s iansu me mberi pesan!”

“Tak lain tak bukan, loni hendak me mberanikan diri mohon lihat separoh sobekan sutera yang Su-heng simpan tadi,” kata Tay Hong.

“Ini…” Su Bo-tun mendengus. Tiba-tiba Siau Yau-cu menyeletuk, “Karena Su-heng sudah sudi mendatangi rapat ini, tentu Su-heng sudah bersatu tujuan dengan kita. Menurut anggapanku, persoalan yang kita hadapi saat ini, bukanlah menyangkut kewibawaan nama seseorang tetapi benar-benar demi kesela matan dunia persilatan. Hal ini bukan aku ber maksud me muji kekuatan lawan dan merendahkan kekuatan kita sendiri. Tetapi me mang suatu kenyataan bahwa dahulu ketika empat partai jago-jago partai persilatan yang terluka dan binasa di bawah taburan jarum Chit-jiau-soh wanita iblis itu. Maka sekarang ini apabila ketua gerombo lan Beng-ga k ternyata si wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh, kita bakal menghadapi suatu bencana besar. Apakah persatuan partai-partai menumpasnya, masih belum dapat kita amalkan. Menghadapi hal semaca m itu, hanya rasa kesatuan dan persatuan dari seluruh kaum persilatan yang sangat diperlukan untuk bersatu padu menumpas wanita berbahaya itu. Yang pasti, dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh banjir darah, partai-partai persilatan terancam bahaya kemusnahan!”

Uraian panjang lebar yang diucapkan oleh seorang jago tua dari Bu-tong-pay yang termasyhur itu, benar-benar menggetarkan  seluruh  perasaan  hadirin.  Mereka   beralih me mandang ke arah Su Bo-tun dengan pandangan menuntut….

Su Bo-tun batuk-batuk sebentar lalu mengeluar kan separoh robekan kain sutera tadi dan diserahkan kepada Tay Hong siansu. Tay Hong me mbukakan dan me mbaca:

Pada baju Gan Leng-po yang kuletakkan… tulisan hanya sampai di situ. Jadi belum dapat diketahui benda apa yang diletakkan itu.

Tay Hong me mandang  ke  arah  si  orang  tua.  “Apakah me mang dia Gan Leng-po?” tanyanya dalam hati.

Tay Hong segera melangkah ke tempat Siu- lam dan minta pinjam separoh robekan sutera yang disimpan pe muda itu. Siu-la m dia m-dia m terkejut. Akan diberikankah robekan sutera itu kepada Tay Hong? Jika ia meno lak, tentu akan menimbulkan ke marahan orang banyak. Namun kalau diserahkan, ia kuatir si bocah muka kotor akan marah….

Dalam kebingungan, Siu-la m berpaling me mandang kepada si bocah muka kotor!

Siau Yau-cu melangkah maju mengha mpiri dan menegurnya, “Siapakah sebenarnya saudara ini? J ika tak mau mengaku terus terang, jangan sesalkan kita terpaksa akan menindakmu!”

Siu-la m me mperhatikan wajah bocah kotor itu dingin saja. Ia me mpunyai kesan bahwa bocah itu tentu tak keberatan. Maka segera ia hendak menge luarkan robekan sutera yang disimpannya itu.

“Engkoh La m,  jangan  diberikan!”   tiba-tiba   Hian-song me lengking.

Sambil berpaling Siu- lam menjawab, “Tak apalah. Toh sobekan suteraitu tak ada rahasianya apa-apa. Tiada halangan mereka hendak me lihatnya!”

Tetapi tiba-tiba ia terkejut dalam hati. Bukankah tulisan itu ditandai oleh kata-kata isteri Swat? Seketika timbullah keraguannya. Namun saat itu robekan sutera sudah terlanjur dikeluarkan. Jika tak diserahkan, tentu mudah disangka je lek. Namun diserahkan, tentu akan menimbulkan kesulitan baru. Mereka tentu akan bertanya, siapakah yang menyebut dirinya sebagai ‘isterinya Swat’ itu.

Setelah menimang sejenak, akhirnya Siu- lam menyerahkan juga robekan sutera itu kepada Tay Hong seraya disertai kata- kata yang tandas, “Taysu seorang paderi utama, wanpwe percaya penuh….”

Tay Hong siansu tak mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda itu. Tetapi ia sungkan untuk bertanya. Setelah menya mbuti pe mberian Siu-la m segera ia padukan dengan separoh robekan dari Su Bo-tun tadi. Dan saat itu barulah ia me lihat satu rangkaian kata-kata yang berbunyi:

Pada baju Gan Leng-po yang kuletakkan peta Hiat-thi-tho, ternyata lenyap.

Isterimu Swat.

Beberapa jago silat, ada yang hendak mengha mpiri untuk me lihat is i robekan sutera. Tetapi Tay Hong me mang seorang paderi yang bijaksana. Melihat dua kata yang terakhir  (isterimu Swat) cepat sekali ia sudah dapat menghubungkan dengan ucapan Siu-la m tadi.

“Omitohud!” cepat-cepat paderi itu mengatupkan robekan sutera lagi dan segera berpaling kepada Su Bo-tun, “Benda yang Su-heng rampas  tadi, kuwakilkan Su-heng untuk menyerahkan kepada pe miliknya!”

Habis berkata ia segera menyerahkan ke mbali kedua robekan sutera itu kepada Siu- la m.

Serta merta Siu-la m me nyambut i dan menjura kepada ketua Siau-lim-s i itu, “Taysu benar-benar seorang pemimpin yang arif bijaksana. Wanpwe kagum sekali!”

Tay Hong hanya tertawa hambar, “Loni jarang berkelana keluar maka tak begitu je las tentang cerita peta Hiat-ti-tho yang tersiar di luaran. Harap sicu suka menjelaskan!”

Pertanyaan itu kembali me mojokkan Siu- la m. Dengan menyerahkan robekan sutera itu kepada Tay Hong, ia duga si dara baju putih Bwe Hong-swat yang saat itu menyaru jadi bocah muka kotor, tentu  me mbencinya.  Dan  apabila  ia menje laskan tentang rahasia peta itu lagi, sudah tentu akan menimbulkan dendam gadis baju putih itu.

Sesaat tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Berpaling kepada si bocah muka kotor, tampak dia tegak berdiri tenang. Sedikitpun kerut wajahnya tak mena mpilkan sinar ke marahan. Sukar diduga bagaimana is i hatinya.

Suasana hening seketika. Berpuluh-puluh mata hadirin tertumpah pada Siu-la m.

Peta Hiat-ti-tho atau Telaga Darah merupakan pusaka yang paling diincar oleh seluruh kaum persilatan. Maka pernyataan ketua Siau-lim-si itu, benar-benar mendapat reaksi penyambutan yang besar.

Setiap orang segera membuat perhitungan (rencana) dalam hati. Setiap ucapan dan gerak-gerik Siu- la m, mendapat sorotan yang tajam.

Siu-la m merasa saat itu dirinya berada di ujung tanduk. Setiap patah ucapan yang keliru, pasti akan menimbulkan salah paham besar yang menjurus pada pertumpahan darah.

Beberapa saat Siu-la m tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia benar-benar kehilangan paha m. Hatinya tegang bukan kepalang….

Sekonyong-konyong Ngo Cong-gi me mecah  ke macetan suasana dengan berseru nyaring, “Kini persoalannya sudah jelas. Anak muda itu (Siu- la m) jika bukan orang Beng-gak tentulah me mpunyai hubungan dengan anak buah Beng-gak. Pernah kudengar cerita orang, sebelum Lo Hian lenyap, dia telah me mbuat sebuah peta yang diberi nama Telaga Darah. Seluruh ilmu silat dan ilmu pengobatan, ditulis dalam sebuah kitab, kemudian dise mbunyikan dalam sebuah te mpat rahasia. Peta itu merupakan peta rahasia tempat penyimpanan kitab. Cerita itu sudah lama sekali tersiar didunia persilatan. Kurasa saudara-saudara tentu sudah mendengarnya….”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula,  “Dalam beberapa hari terakhir ini, me mang di dunia persilatan santer tersiar kabar tentang kemunculan peta Hiat-ti-tho. Tetapi tiada yang pasti kebenarannya, hal itu karena tiada seorangpun yang tahu pasti siapakah yang memilikinya. Andaikata tahu, punorang pasti akan merahasia kan. Akupun pernah tertarik juga akan berita itu tetapi penyelidikanku sela ma ini sia-sia belaka. Yang nyata, sejak meluapnya berita itu sampai ke daerah Kanglam, ma ka sering terjadi pembunuhan- pembunuhan gelap. Tahu-tahu sebuah keluarga atau sebuah perguruan telah dibunuh orang. Dan setiap pe mbunuhan itu tentu dilakukan secara habis-habisan sampai ke candil abangnya.

Sudah tentu masyarakat dan dunia  persilatan menjadi panik. Menurut dugaanku, pembunuhan itu me mpunyai sangkutan dengan peta Hiat-ti-tho. Dan kini setelah ternyata peta itu muncul di sini, sebaiknya janganlah lo-siansu menyerahkan benda itu kepada orang…” orang she Ngo itu menutup kata-katanya sambil me mandang lekat-lekat pada sobekan sutera yang dicekal Siu-la m. Sorot matanya mengandung nafsu hendak mera mpas….

Tay Hong gelengkan kepala tertawa, “Robekan sutera yang ditangkap siau-sicu itu, telah kuberikan jelas. Bukan peta Hiat- ti-tho! Jika peta Hiat-ti-tho masakan  loni berani gegabah menge mba likan kepadanya!”

Ngo Cong-gi tertegun dia m.

Dalam pada itu, Siu-la m me mperhatikan sekalian jago-jago pada saat itu. Mereka nampak tegang dan siap berkelahi. Siu- lam menenangkan diri dengan menghias senyuman.

“Untuk kesekian kalinya wanpwe tandaskan,” katanya kepada Tay Hong siansu, “Bahwa wanpwe tidak ada hubungan sama sekali dengan Beng-gak. Kebalikannya wanpwe malah bersumpah tak mau hidup dalam satu kolong langit dengan mereka. Guruku dibinasakan sehingga sumoayku terpaksa lari ke Coh-yang-ping mencari perlindungan pada Su lo-cianpwe. Jika taysu tak percaya harap tanyakan pada Su lo-cianpwe!”

Tay Hong berpaling, serunya, “Su-heng, benarkah hal itu?” Su Bo-tun menyahut dingin, “Sebelum mengasingkan diri, aku pernah me mber ikan lima batang uang Soh-in- kim- chi kepada orang. Barangsiapa yang mendapatkan uang itu, dia dapat me minta pertolongan apapun kepadaku. Aku tak peduli siapa dia, pokok uang Soh-in-kim-chi itu merupa kan hutang budi yang harus kubayar!”

“Seluruh kaum persilatan tak ada yang tak kenal na ma Su- heng!” seru Tay Hong pula, “Siapa saja yang dapat menunjukkan  uang  e mas Soh-in- kim-chi,  tentu  Su-heng me luluskan apa saja yang dimintanya!”

“Yang menjadi peganganku ialah uang e mas Soh-in- kim-chi itu  asli  atau  tidak.  Tentang  asal-usul  orang   itu   dapat  me mpero leh uang tersebut, tak kuhiraukan!” sahut Su Bo-tun.

Tay Hong kurang puas dengan sikap dan perangai Su Bo- tun yang kelewat tak punya perasaan.

“Loni benar-benar kagum atas tindakan Su-heng me mberi uang emas sebagai tanda Su-heng berhutang budi. Tetapi jika ada orang yang karena me miliki uang e mas Soh-in- kim- chi sampai binasa dan Su-heng tetap berpeluk tangan saja, tidak tepatlah kalau uang e mas itu disebut Soh- in-kim-chi….”

“Dunia persilatan siapakah yang tak kenal perangai Su Bo- tun yang aneh? Masakan kau perlu me minta penjelasan lagi? Apakah artinya sebutan Siu-chiu-kiau-in itu?” tukas Su Bo-tun.

“Kalau begitu mengapa tak mengganti na ma Soh-in- kim-chi dengan Soh-beng-kim-chi saja?” tiba-tiba terdengar seseorang menyeletuk. Soh-in artinya pengikat budi tetapi Soh-beng artinya pengikat nyawa atau kebalikan arti dari Soh-in.

Sekalian orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata dia seorang lelaki berjubah biru tua. Usianya kurang lebih enam puluh tahun tetapi masih na mpak gagah. Hadirin tak kenal padanya. Tetapi bahwa dia diundang untuk menghadiri rapat Eng-hiong-tay-hwe tentulah seorang tokoh yang ce merlang….

“Jika  menyimpan  uang  e mas  Soh-in-kim-chi  saja  tak ma mpu, biarlah nyawanya direnggut orang!” Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun mendengus.

Jago tua berjubah biru  yang bicara tadi, tersinggung mendengar kata-kata Su Bo-tun. “Sudah la ma kudengar Su- heng ini sebagai tokoh persilatan yang paling tidak aturan. Kiranya hari ini baru kubuktikan kebenarannya!”

Su Bo-tun tertawa dingin, “Hal itu masakan perlu kau yang mengatakan lagi? Me mang seumur hidup aku tak suka bicara tetek bengek. Jika  kau tak puas, silahkan keluarkan kepandaianmu!”

“Orang takut pada Su Bo-tun, tapi aku tidak takut…” jago tua itu berseru gusar seraya melangkah maju.

Tay Hong siansu cepat maju menghadangnya, “Harap jiwi suka me mandang mukaku dan mundur dulu….”

Rupanya jago tua itu mengindahkan pada ketua Siau-lim-s i.

Ia menurut.

Tay Hong menghe la napas pelahan dan me mandang Su Bo-tun, “Su-heng sudah la ma mengundur kan diri dari masyarakat persilatan. Dan Tio-heng ini pun jarang sekali keluar. Biarlah aku yang me mperkenalkan saudara berdua…” ia berhenti sejenak dan tersenyum, “walaupun jiwi berdua belum kenal, tapi tentu sudah saling mendengar  na ma masing- masing. Tio-heng ini ialah Tio Hong-kwat, pendekar ternama yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan Sa m-kia m-it-pit (tiga pedang satu pit)!”

Ucapan itu mendapat sambutan yang gemuruh dari para hadirin. Mereka me mandang ke arah jago tua itu. Memang belasan tahun yang lalu, nama Sa m-kia m-it-pit Tio Hong- kwat itu menjadi buah bibir orang persilatan daerah Tionggoan (Tiongkok). Lebih- lebih  kaum persilatan daerah Kanglam Kangpak sangat mengindahkan sekali kepadanya.  Tetapi sedikit sekali orang yang berte mu muka dengannya.

Dia benci pada segala kepalsuan dunia persilatan maka ia jijik  sekali  bergaul  dengan   kaum   persilatan.   Untuk mence moohkan mereka, sengaja ia me maka i topeng yang wajahnya buruk sekali. Tiap kali bertempur, selalu ia me makai topeng itu. Dalam menjalankan dar ma kependekarannya, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh jahat yang jatuh di tangannya. Dalam menilai sesuatu peristiwa ia selalu berpijak pada kebenaran dan sedia menghadapi siapa saja dan tokoh sakti yang manapun juga.

Dia menggunakan senjata yang aneh. Tiga batang pedang dan sebatang pit (pena orang Tionghoa). Walaupun sangat benci pada kejahatan tapi wataknya welas asih. Terhadap tokoh-tokoh jahat yang dikalahkan tak mau ia menurunkan tangan ganas. Maka  sekian banyak korban-korbannya itu, jarang yang sampai terluka parah atau binasa. Jago-jago yang dikalahkan itu, tidak mendenda m bahkan menaruh rasa kagum padanya, entah sudah berapa banyak orang yang berusaha untuk bertemu muka dengan dia, tapi tak pernah berhasil. Orang mengira dia menghilang dari dunia persilatan, tapi sebenarnya dia masih sering keluyuran kemana- mana. Hanya orang tak ma mpu mengenalinya.

Maka kalau saat itu sekalian hadirin terbeliak kaget  dan  me mandang dengan penuh perhatian pada jago tua yang diperkenalkan sebagai Sam-kia m-it-pit, me mang tak mengherankan.

“Jiwi berdua adalah tetamu yang loni hor mati,” kata Tay Hong lebih lanjut, ”maksud bukan lain hendak mohon bantuan jiwi untuk bersama-sa ma menumpas  bencana  yang menganca m dunia persilatan dewasa ini. Dalam hal ini mohon keikhlasan jiwi berdua agar jangan menghiraukan hal-hal yang kurang penting sehingga me mbuat loni sulit mengurus i.”

Su Bo-tun mendengus dan palingkan muka.

“Ah, maafkan siansu. Belum me mbantu ma lah sudah menyulitkan siansu.”

Siau Yau-cu pun mengha mpir i, ujarnya, “Dalam menghadapi masalah penting ini, lebih  dulu kita  harus mengadakan   pe mbers ihan…”   ia   me mandang    Siu- la m, ke mudian si dara Hian-song lalu si bocah ber muka kotor. Katanya pula, “Setelah kupikir berulang kali, me mang ilmu pedang saudara Pui itu, serupa dengan ilmu pedang yang dahulu dimainkan si wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh. Dan bocah muka kotor itu, gerak-geriknya lebih mencur igakan juga. Walaupun belum berani kukatakn bahwa dia orang suruhan Beng-gak, tapi kita tak dapat menghindari dugaan begitu.”

Saat itu Siu-lam benar-benar kehabisan akal. Ia insyaf akan suasana yang gawat. Sekali salah urus, tentu akan menimbulkan bencana. Menghadapi tokoh sakti yang hadir di situ, akibatnya kalau tidak mati tentu terluka berat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar