Wanita iblis Jilid 11

Jilid 11

RUPANYA TAY HONG siansu juga terpengaruh oleh pernyataan jago tua itu. Ia agak gemetar lalu me mbisiki seorang paderi kecil yang berada di sampingnya, “Undang keempat houw-hwat ke mar i!”

Paderi kecil itu segera lari keluar. Setelah itu Tay Hong siansu berseru kepada Ngo Cong-hian, “Jika Ngo tayhiap tahu akan hal itu, harap segera menunjukkan….”

Ngo Cong-hian menuding ke arah Siu-la m dan si dara Hian- song, serunya dengan tandas, “Siapakah di antara saudara- saudara yang hadir di sini kenal pada mere ka berdua…?”

Mendengar itu serentak berbangkitlah Kat Thian-beng, “Ngo-heng, jangan me mfitnah orang sewenang-wenang! Aku kenal saudara ini!”

Su Bo-tun perlahan-lahan me mandang pada Kat Thian- beng. Ia tertawa dingin tetapi tak mengucap apa-apa.

Karena dirinya menjadi  bulan-bulanan perhatian para hadirin, Kat Thian-beng berseru pula, “Aku berjumpa dengan saudara Pui ini di gunung Kiu- kiong-san. Kala itu gurunya sedang sakit keras dalam sebuah goha…”

Ternyata pengetahuannya terhadap diri Siu-la m hanya terbatas sampai di situ. Maka ia tak dapat menceritakan lebih panjang lagi.

“Silahkan Kat-heng duduk ke mbali. Loni hendak bicara sedikit dengan kedua sicu itu!” seru Tay Hong siansu.

Siu-la m me nyadari bahwa walaupun Kat Thian-beng bertekad  hendak  me mbelanya  tetapi   jago   tua   itu   tak me mpunyai ke ma mpuan untuk me lindungi. Maka berbangkitlah ia dan berseru, “Apa yang lo-sancu hendak menanyakan, aku yang rendah bersedia menjawab!”

Ketua Siau-lim-si itu rangkapkan kedua tangan dan berseru dingin, “Maafkan loni. Dari perguruan manakah sicu itu?”

Siu-la m merenung sejenak, jawabnya, “Guruku orang she Ciu berna ma Pwe!”

Singkat dan tegas Siu-la m me mberi jawaban. Sehabis menjawab ia terus duduk lagi.

“Ciu Pwee…” Tay Hong mengulang na ma itu. Tanya pula, “Apakah gurumu tak hadir di sini?” Dengan pertanyaan itu jelas bahwa Tay Hong tak kenal dengan Ciu Pwe.

Tiba-tiba Thian Hong totiang berbangkit, serunya, “Ciu Pwe adalah salah seorang dari empat jago pedang Kanglam. Aku pernah bertemu dengannya!”

“Apakah Ciu tayhiap tak datang?” tanya Tay Hong siansu. Sekalipun sudah tahu kalau jago she  Ciu  itu tak na mpa k,

namun   Thian  Hong   totiang   masih   me mandang  sekeliling

ruangan ke mudian baru me njawab, “Belum datang!”

“Silahkan to-heng duduk,” kata Tay Hong. Kemudian ketua Siau-lim-si itu berpaling ke arah Siu-la m lagi, “Siau-sicu telah ma mpu melalui tiga buah pos penjagaan di belakang gunung. Apakah ilmu pedang sicu itu juga sicu peroleh dari guru sicu?”

Dia m-dia m Siau- lam tak puas atas sikap ketua Siau-lim-s i. Masakan di hadapan sekian banyak tokoh persilatan, seolah- olah dirinya hendak diperiksa asal-usulnya.

Namun pe muda itu masih mene kan perasaannya dan menyahut dingin-dingin, “Apa yang kupelajari me mang banyak ragamnya. Selain dari guruku, aku pernah berte mu dengan seorang sakti. Pokoknya harap lo-siansu jangan kuatir. Aku bukan orang Beng-gak. Sebaliknya dengan orang  Beng-gak aku me mpunyai dendam sakit hati yang besar. Hadirku ke sini adalah hendak menggabungkan diri dengan sekalian orang gagah untuk menumpas gero mbo lan itu.”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang dan e mpat paderi tinggi besar masuk ke dalam ruangan dengan me mbawa senjata.

Melihat itu Siu-la m sengaja keraskan suaranya, “Tentang dendam antara perguruanku dengan gero mbo lan Beng-gak, rasanya Su lo-cianpwe dari Po-to-kang tentu mengetahui sedikit-sedikit. Jika kurang percaya, silahkan lo-siansu menanyakan padanya. Hanya inilah yang dapat kuterangkan. Namun bila lo-s iansu masih tetap tak mempercayai,  akupun tak dapat berbuat apa-apa lagi!”

Tay Hong alihkan pandangan pada Su Bo-tun, tanyanya, “Jika tak keberatan, sukalah Su-heng suka me mberi sedikit penerangan.”

Acuh tak acuh sambil me mandang ke atas tiang penglari, menyahutlah Su Bo-tun dengan dingin, “Sudah puluhan tahun aku menutup diri dari pergaulan kaum persilatan. Tiga bulan yang lalu, dia datang ke Po-to-kang dengan membawa Soh-in- kim-chi. Sebelumnya ia datang, me mang ada pula seorang anak perempuan yang muncul di Po-to-kang. Rupanya kedatangan pemuda itu telah dikuntit orang….” Tampaknya Su Bo-tun bicara dengan susah payah dan suaranya pun makin la ma ma kin rendah. Pada saat mengucapkan kata-katanya yang terakhir itu, hampir seperti tak kedengaran lagi.

Tay Hong siansu kenal akan perangai manus ia aneh itu. Jika     mendesaknya,      mungkin      akan      menimbulkan ke marahannya. Maka beralihlah kepada Siu- la m, ujarnya, “Bagaimana loni berani me ncurigai Siau-sicu? Hanya loni benar-benar mengagumi ilmu pedang siau-s icu. Saat ini yang berkumpul di sini adalah jago-jago kelas satu dari berbagai partay persilatan dan tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Maksud loni, hendak me minta siau-s icu me mpertunjukkan kepandaian di depan orang gagah dari seluruh penjuru negeri agar ka mi dapat tambah pengala man!”

Siu-la m menima ng. Dalam keadaan dan tempat seperti saat   itu,   sukarlah   baginya   untuk   menola k.   Maka  ia me mutus kan untuk menerima per mintaan paderi itu.

Serentak ia berbangkit, ujarnya, “Karena lo-siansu yang menyuruh sudah tentu wanpwe tak berani menola k. Hanya saja wanpwe pun ingin mengajukan permintaan, entah apakah lo-siansu suka me luluskan?”

“Asal beralasan tentu loni takkan meno lak!”

Siu-la m tersenyum lalu menunjuk pada Ngo Cong-hian, “Wanpwe hendak mohon agar Ngo  lo-cianpwe  itu  suka  mene mani wanpwe ber main- ma in.”

Tay Hong terkesiap, sahutnya, “Dalam hal ini, harus menanyakan persetujuan Ngo tayhiap!”

Kini sekalian orang me mandang ke arah Ngo Cong-hian.

Jago tua itu tak dapat menghindar lagi, katanya, “Karena kau begitu me mandang t inggi padaku, terpaksa aku pun suka mene mani!” Segera ia perlahan- lahan maju ke tengah ruangan. Tiba-tiba Siu- lam berseru nyaring, “Kita hanya sekedar bermain- main untuk saling menguji kepandaian dan sifatnya hanya tukar pengala man. Jangan saling me lukai!”

Kemudian ia me mberi pesan kepada Hian-song. Baik ia kalah atau menang, janganlah dara itu ikut ca mpur.

Hian-song tertawa, “Sudah tentu kau dapat menundukkannya, masakan perlu kubantu!”

Siu-la m segera melangkah ke tengah. Keempat  paderi tinggi besar tadi segera berpencaran berdiri di e mpat sudut. Seolah-olah mereka hendak me njaga jangan sa mpai Siu-la m me larikan diri.

It-ciang-tin-sa m-siang Ngo Cong-hian sejenak me mandang ke arah hadirin, serunya, “Yang hadir saat ini terdiri dari tokoh-tokoh ternama dari tiga belas propinsi. Aku hendak mohon bertanya pada saudara-saudara sekalian.  Pada masa  ini kecuali ketua dari Beng-gak, siapa lagi yang menggunakan jarum Chit-jiau-soh itu?”

Suasana hening seketika. Tak seorang pun yang menyahut pertanyaan jago tua itu.

Ngo Cong-hian me lanjutkan pula, “Tetapi di antara para hadirin di sini, ada seorang yang menyimpan jarum maut. Walaupun tak berani me mastikan bahwa Beng-ga k telah mengirim mata- mata ke sini, tetapi sukarlah untuk menghilangkan kecurigaanku. Jika nanti aku sa mpai mati dalam tangannya, harap saudara-saudara suka menyelidiki hal itu….”

Siu-la m  anggap  orang  she  Ngo  itu  berkeras  hendak me ma ksa para hadirin supaya percaya bahwa ia (Siu-la m) benar-benar mata-mata Beng-gak. Dalam  keadaan  seperti saat itu, me mang sukar untuk  me mberi  penjelasan. Sebaiknya ia menundukkan dulu beberapa orang setelah itu baru me mberi penjelasan. Mencabut pedangnya, pemuda itu tertawa nyaring, “Para lo-cianpwe sekalian, tentulah ada yang pernah bertempur dengan orang Beng-gak. Sebaiknya suka memperhatikan apakah dalam ilmu pukulan atau pedangku nanti, mirip  dengan kepandaian orang Beng-ga k atau tidak….”

Kemudian ia menatap Ngo Cong-hian, serunya, “Karena wanpwe menyimpan sebatang jarum kutung maka lo-cianpwe lalu menuduh aku sebagai mata- mata Beng-gak. Rasanya lo- cianpwe tentu sudah kenal akan ilmu kepandaian orang Beng- gak. Dari gerak permainan wanpwe nanti dapat menunjukkan ciri wanpwe. Silahkan lo-cianpwe segera melo loskan senjata!”

Ngo Cong-hian tertawa dingin, “Biarlah kulayanimu dengan sepasang tanganku ini.”

Siu-la m meragu dan hendak menyimpan pedang seraya berkata, “Kalau begitu, silahkan lo-cianpwe menyerang dulu!”

Gelar It-ciang-tin-sa m-sian atau sebuah pukulan menggetarkan tiga propinsi dari Ngo Cong-hian itu bukanlah suatu gelar kosong.  Me mang  dalam  hal  ilmu  pukulan  ia me mpunyai kepandaian yang istimewa.  Dia  telah  berhasil me miliki ilmu pukulan Thit-sat-ciang atau pukulan pasir besi serta pukulan Tiok-yap-chiu (pukulan daun ba mbu). Thiat- sat-ciang bersifat lunak. Selama berkelana di dunia persilatan, Ngo Cong-hian jarang mene mui lawan.

Teringat akan budi Siu- la m, buru-buru Kat Thian-beng berseru me mberi peringatan kepada pe muda itu, “Ilmu pukulan Ngo tayhiap telah menggetarkan dunia persilatan. Harap Pui-heng tetap pakai senjata sajalah….”

Ngo Cong-hian berseru pula, “Sela ma hidup sa mpa i tujuh puluh tahun, tak pernah aku bertempur me maka i senjata. Silahkan kau yang mulai menyerang!”

“Baik!” Siu- lam menjawab dengan ma inkan pedangnya dalam jurus Thian- ma-heng-gong atau kuda langit mencongklang  di   udara.   Putaran   pedang   pemuda   itu me mancarkan sinar berkilau-kilauan seperti petir menya mbar.

Ngo Cong-hian terkejut. Mundur selangkah ia lepaskan sebuah tamparan. Sedang tangan kiri balas menyerang.

Dalam beberapa bulan terakhir ini Siu- lam selalu berhadapan dengan musuh yang sakti. Maka   ma kin banyaklah pengalaman yang diperolehnya dan makin tinggilah kewaspadaannya. Terhadap lawan,  ia  tak  berani  bersikap me mandang rendah.

Walaupun tahu tamparan lawan tampaknya le mah tak bertenaga, namun tak berani ia menangkis. Mengikuti gerak putaran pedangnya, ia menghindar ke samping baru balas menyerang lagi. Pelajaran yang diterima dari kakek Hian-song yang sakti itu, meliputi berbagai ilmu pedang dari partai persilatan ternama. Sebentar ia gunakan ilmu pedang dari Hoa-san-pay, sebentar berganti dengan ilmu pedang dari partai Kun-lun-pay. Setiap jurus yang dimainkan tentu merupakan ilmu per mainan istimewa dari partai persilatan yang bersangkutan.

Dalam waktu yang singkat saja, Ngo Cong-hian sudah terdesak mandi keringat.

Tiba-tiba Siu- lam bersuit nyaring dan tubuhnya me la mbung ke atas. Segumpal sinar pedang segera mengurung kepala  Ngo Cong-hian.

“Omitohud! Jurus Thian-ong-lo-jiok yang indah sekali!” tiba-tiba Tay Hong berseru. Baru ia mengucap  begitu, sekonyong-konyong Siu- lam me narik pulang pedang dan mundur sa mpai lima langkah.

Merah padam muka jago tua Ngo Cong-hian. Tiba-tiba ia merangkap kedua tangan me mberi sala m, serunya, “Ilmu pedangmu sungguh hebat. Aku tak mampu me lawan!” Habis berkata jago tua itu berputar diri lari keluar…. Tay Hong cepat-cepat lintangkan lengannya mencegah, “Menang kalah adalah ja mak. Mengapa Ngo tayhiap begitu bersungguh-sungguh?”

Lengan ketua Siau-lim-si itu bagai sebuah palang besi yang kokoh sekali sehingga Ngo Cong-hian tak dapat berjalan lagi.

Su Bo-tun kerutkan kening me mandang Siu-la m dengan tajam. Dari kerut wajahnya, jelas kalau ia merasa terkejut. Namun karena dia tak suka bicara, dia tak mau mengutarakan isi hatinya.

Tay Hong me mandang Siu-la m, ujarnya, “Maukah siau-s icu menge luarkan kutungan jarum Chit-jiau-soh yang ada pada sicu itu?”

Siu-la m berpaling dan suruh Hian-song menge luarkan kutungan jarum Chit-jiau-soh. Dara itu segera menyerahkan jarum pada si anak muda.

“Apakah jarum kutung ini yang disebut Chit-jiau-soh, aku sendiri tak tahu. Silahkan cianpwe sekalian me meriksanya…” kata Siu-la m sa mbil meletakkan jarum itu di telapak tangannya.

“Benar! Benar!” serentak terdengarlah  teriakan bergemuruh me menuhi ruangan.

Siu-la m segera hendak menyerahkan jarum itu kepada Hian-song. Tiba-tiba Tay Hong siansu berseru, “Harap siau- sicu serahkan jarum itu kepada loni.”

Siu-la m meragu sejenak tetapi akhirnya ia mengha mpiri ke tempat ketua Siau-lim-si, katanya, “Jarum ini pe mberian seorang lo-cianpwe. Kami hendak menukarkannya dengan sebuah benda lain. Silahkan locianpwe me meriksa, tetapi setelah selesai harap ke mba likan kepada wanpwe!”

Jika Siu-la m mengatakan bahwa jarum itu merupakan tanda undangan dari Beng-gak untuk menghadiri rapat yang diselenggarakannya, tentulah urusan takkan berlarut-larut panjang. Tetapi dengan member ikan keterangan seperti yang diucapkan kepada Tay Hong itu, bahkan Saiauw Yau-cu pun tertarik perhatiannya.

Mata Tay Hong berkilat-kilat me mandang  jarum yang berada di telapak tangan Siu-la m, serunya, “Jika siau-sicu kuatir loni takkan menge mbalikan, lebih baik sicu simpan saja….”

Ketua Siau-lim-si itu berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Tentang asal-usul jarum itu harap siau-s icu menerangkan yang jelas agar menghilangkan kecurigaan para hadirin!”

Dia m-dia m Siu- lam menge luh. Suasana saat itu gawat sekali. Sekali salah bicara pasti akan menimbulkan bencana jarum. Disimpannya lalu tertawalah ia, “Tentang asal-usul jarum ini, wanpwe benar-benar kurang jelas…” ia berpaling pada Hian-song dan minta dara itu agar mencer itakan apa yang diketahui tentang jarum itu.

Siu-la m  seorang  pemuda  cerdas.   Sejak  tempo  hari, me mang  ia  sudah  menduga  kakek  Hian-song  itu  tentu   me mpunyai hubungan dengan pihak  Beng-gak.  Tetapi saat itu Siu- lam sungkan untuk me nanyakan pada kakek Hian- song. Sedang karena si dara masih kecil, juga sukar untuk mengorek keterangan.

Tetapi kini di hadapan hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan di seluruh penjuru, di antara tokoh-tokoh yang sudah tergolong cianpwe (angkatan tua) itu tentulah ada seorang dua orang yang dapat me mbantu me mbuka tabir yang menyelimuti jarum kutung itu. Atas dasar pe mikiran itulah ma ka Siu-la m minta si dara bercerita.

Serta merta Hian-song mengha mpir i Siu- la m. “Suheng, kau menghenda ki   aku   mengatakan   bagaimana?”    serunya. Me mang wajar sekali pertanyaan dara itu. Karena sejak kecil ia hanya ikut pada sang kakek, tak tahulah ia asal-usul dirinya. Maka ia bingung apa yang harus diceritakan. Siu-la m me mandang wajah si dara. Sesaat timbullah rasa kasihannya, pikirnya, “Begitu ikhlas ia menaruh kepercayaan kepadaku, tetapi aku bersikap dingin kepadanya….”

Siu-la m menghela napas, katanya, “Terserahlah katakan apa saja yang kau ketahui. Jika mereka tak percaya, kita pun tak dapat berbuat apa-apa!”

Si dara berkeliaran me ma ndang kepada hadirin lalu berkata, “Jarum kutung ini kuterima dari kakekku  di  kala beliau hendak menutup mata. Beliau suruh aku menukarkan jarum itu dengan seseorang. Jarum itu supaya ditukar dengan sebatang pedang…” Di hadapan sekian banyak orang, dara  itu tak lancar bicaranya. Maka setelah mengucap beberapa patah, ia pun berhenti lagi.

Sekalipun begitu, cukup sudah untuk me mbangkitkan perhatian para hadirin. Tiba-tiba Tay Hong me minta pada Siu- la m, “Bolehkah siau-sicu me minja mkan jarum itu kepada loni?”

Kali ini Siu-la m tak banyak bicara terus saja menyerahkan jarum. Tay Hong me meriksa dengan seksama sekali.  Dari bekas kutungannya, jelas mengunjukkan bahwa bekas itu sudah lama sekali. Setelah menyerahkan kembali jarum itu kepada Siu-la m, berkatalah ketua Siau-lim-si itu, “Menurut pemeriksaan loni, bekas kutungan jarum itu mungkin terjadi pada beberapa belas tahun yang lalu!”

Tiba-tiba Siau Yau-cu berbangkit dan mengha mpiri ke muka Hian-song, “Siapakah na ma mu?”

Sejenak dara itu me mandang ke arah Siu-la m, kemudian menyahut, “Aku berna ma Tan Hian-song!”

“Tan Hian-song! Tan Hian-song!” Siau Yau-cu mengulang beberapa   kali   lalu   bertanya    pula,    “Dapatkah    nona me mber itahukan na ma orang tua nona?” Hian-song kerutkan dahi, ia mengge leng, “Aku tak pernah me lihat wajah orang tuaku. Bagaimana aku dapat mengetahui namanya?”

Jawaban itu me mbuat Siau Yau-cu terbeliak. Buru-buru ia menghaturkan maaf, “Maaf atas kelancanganku bertanya. Tetapi siapakah kiranya yang me me lihara nona sela ma ini….”

Hian-song peja mkan mata. Dua butir air mata menetes turun. Sahutnya dengan rawan, “Aku ikut pada kakekku….”

“Kalau begitu nona tentu tahu siapa nama kakek nona yang mulia?” tanya Siau Yau-cu.

Di luar dugaan dara itu tetap gelengkan  kepala,  “Selain me mber i pelajaran menulis dan ilmu silat, baik nama ayahbundaku maupun na ma kakek sendiri, tak pernah beliau mengatakan kepadaku!”

Pernyataan Hian-song itu mendapat sambutan helaan  napas dari para hadirin. Siau Yau-cu beralih me mandang Siu- la m, serunya, “Karena saudara berbahasa suheng sumoay dengan nona ini, tentulah saudara tahu tentang riwayatnya.”

Baru Siu- lam hendak menjawab, Hian-song sudah mendahului, “Kalau aku sendiri yang tersangkut tidak tahu asal-usul diriku, bagaimana suheng dapat mengetahui? Apa perlunya menanyakan padanya?”

Para hadirin mengindahkan sekali pada Siau Yau-cu yang dianggap sebagai cianpwe. Maka tiada seorang pun yang lancang mengganggu pe mbicaraan jago tua itu.

Siau Yau-cu berbatuk-batuk berapa kali lalu bertanya lagi, “Walaupun tak tahu na manya tetapi nona tentu mas ih ingat potongan wajah kakek nona itu!”

Agaknya Hian-song sudah mulai bosan mendengar pertanyaan Siau Yau-cu. Ia berpaling kepada Siu- la m, serunya, “Suheng, mengapa  orang tua ini ceriwis sekali bertanya tak putus-putusnya? Perlukah kuberitahukan?” Siu-la m tersenyum, “Siau lo-cianpwee adalah seorang angkatan tua dari Bu-tong-pay. Jika sumoay tahu, tiada halangan me mberitahukan kepadanya.”

Sebenarnya diam-dia m Siu- lam juga ingin mengetahui hal itu sendiri. Hanya ia segan untuk bertanya pada Hian-song.

Hian-song berdiam merenung. Rupanya ia hendak mengingat-ingat perist iwa yang lampau. Pada la in saat ia berkata, “Ketika aku tahu apa saat itu kakek sudah tua sekali. Dia menderita luka berat. Setiap hari dia  tentu  gunakan waktu sepenuhnya untuk mengajar aku ilmu silat dan ilmu sastra. Tak pernah dia membicarakan la in-lain soal kepadaku. Dan akupun tak tahu penyakit apa yang dideritanya  itu. Tetapi kurasa penyakitnya itu a mat parah sekali.”

Siau Yau-cu telah menumpah seluruh perhatiannya untuk mendengarkan cerita si dara. Ketika Hian-song tiba-tiba berhenti, segera ia bertanya, “Yang aku tanyakan ialah wajah kakek nona dan berapakah usianya. Entah apakah nona suka me mber itahukan hal itu?”

“Berapa usia tua kakekku itu? Ah, aku benar-benar tak tahu. Mungkin di antara delapan puluhan tahun. Jenggotnya yang putih me manjang sa mpai ke dada. Tubuhnya kurus dan le mah!”

Siau Yau-cu berdiam sa mpai beberapa saat. Kemudian ia menegas, “Apakah kata-kata nona itu benar-benar sesungguhnya?”

“Kalau sudah mau me mberitahukan kepada mu, masak aku bohong!” sahut Hian-song.

Mata Siau Yau-cu yang tinggal satu itu berkilat-kilat menyapu seluruh hadirin. Tiba-tiba ia mundur dua  langkah  dan meraba tangkai pedangnya.

“Di antara kalian berdua, siapakah yang kepandaiannya paling tinggi?” Melihat jago tua itu merubah tangkai pedang dengan wajah me mber ingas, sekalian hadirin segera berbondong-bondong mundur dan ke mbali ke tempat duduk masing- masing. Hanya Tay Hong siansu dan Su Bo-tun yang masih hidup tetap berdiri di te mpat.

Siu-la m berpaling kepada Hian-song dan minta dara itu supaya mundur dulu, “Biarlah aku yang lebih dulu akan menerima pelajaran dari lo-cianpwe ini. Jika tak kuat, barulah sumoay yang maju!” katanya seraya mencabut  pedang  dan me langkah maju.

Jago tua dari Bu-tong-pay itupun lintangkan pedangnya di dada lalu berseru dingin, “Pertandingan ini menyangkut mati hidup. Harap jangan bersenda gurau!”

Siu-la mpun bersiap diri, “Silahkan lo- cianpwe me mulai.

Matipun wanpwe takkan menyesal!”

“Aku menge mbara di dunia persilatan tak begitu la ma. Selama itu tak pernah kuturun tangan lebih dulu. Silahkan saudara yang mulai!”

Siu-la mpun tak mau banyak bicara lagi. Begitu getarkan pedang, segera ia menus uk ke dada Siau Yau-cu.

Siau Yau-cu gerakkan pedang. Seketika berha mburan segumpa l sinar pedang menabur pedang Siu-la m. Tring… seketika Siu-la m rasakan tangannya kesemutan. Pedangnya hampir terlepas. Buru-buru ia empos se mangat dan mundur tiga langkah.

************http://ecersildejavu.wordpress.com/*******

********

Tenang sekali Siau Yau-cu mengangkat pedang  lagi,  kaki kiri maju selangkah, pedang menusuk ke muka. Tampaknya biasa saja gerak serangan itu. Tetapi yang hebat adalah gerakan kaki kiri yang maju mengikuti pedang itu.  Benar- benar sukar dijaga. Siu-la m pun sudah siap. Dengan kerahkan seluruh tenaga ia maju menyerang. Pedang diputar laksana kitiran, sekaligus diserangkan pada tiga buah jalan darah Hian-im, Ciang-tay dan Ki-bun.

Siau Yau-cu tersenyum serunya, “Jurus Hwe-chiu-gin-hoa yang bagus! Pujian itu ditutup dengan menusuk ke tengah lingkaran sinar pedang Siu- la m. Dan begitu ujung pedang tergetar terpecah berhamburan menusuk siku lengan Siu-la m sebelah kanan…”

Walaupun Siu- lam bergerak lebih dulu, tetapi ternyata Siau Yau-cu lebih cepat serangannya. Untuk kedua kalinya Siu-la m dipaksa harus loncat mundur lagi!

Siau Yau-cu tak mau mengejar. Dia tegak di tempat sambil lintangkan pedangnya. Serunya tersenyum, “Jurus Hwe-chiu- gin-hoa yang kau mainkan tadi, meskipun gerakannya tak salah, tapi tenagamu masih kurang  cukup. Gerak serangannya pun kurang cepat. Pe mbukaan dan penutupnya tidak serasi. Sayang ilmu pedang yang begitu sakti, menjadi berkurang perbawanya.

Dia m-dia m Siu-la m me ngakui tajamnya pandangan jago tua itu. Memang dari kakek Hian-song, dia tak pernah menerima ilmu pedang yang lengkap. Maka  tak dapatlah ia  me lengkapi setiap pe mbukaan dengan penutupannya.

Siu-la m tenangkan diri sejenak. Setelah itu dia mengerang lagi. Pedang ditusukkan ke kiri la lu dibabatkan ke kanan. Sekaligus ia lancarkan e mpat buah serangan. Kali  ini bukan me lainkan cepat, pun juga dilengkapi dengan penutupnya.

Dan   me mang   kali   ini,   Siau   Yau-cu   tak   se mudah me mecahkan  seperti  tadi.  Ta mpak  jago  tua   itu  tegak  me matung. Pedangnya diputar-putar menjadi sebuah lingkaran sinar.

Tring, tring, tring… keempat serangan Siu-la m terpental oleh sinar pedang Siau Yau-cu. Karena menderita kegagalan, Siu-la m mundur lima langkah. Pedang dijulurkan ke muka dalam sikap menunggu lawan.

Tetapi ternyata Siau Yau-cu tak mau menyerang. Dia tetap berdiri di tempatnya sambil lintangkan pedang. Ia mengangguk tertawa.

“Empat jurus serangan pedang tadi, adalah merupakan empat buah serangan berantai dari ilmu pedang Bu-tong-pay yang disebut Leng-hong-cap-pek-kia m (ilmu pedang delapan belas angin puyuh). Di dunia persilatan ilmu pedang  itu dijuluki sebagai Tui-hun-toh-beng-kia m (Pedang mengejar roh perampas jiwa). Jika tenaga dan latihanmu sudah dapat mencapai keseimbangan, aku tentu sukar menghadapinya!”

Kata-kata jago tua itu mengandung nada pujian. Sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan ternama, pun kagum. Mereka tak nyana bahwa seorang pe muda yang berusia kurang  lebih  dua  puluhan  tahun,  ternyata  dapat me miliki ilmu pedang sakti dari partay Bu-tong-pay yang termasyhur.

Siu-la m tenangkan diri. Tiba-tiba ia maju menyerang lagi. Kali ini dia menusuk ke dada orang. Tampaknya gerakannya amat sederhana. Tetapi bagi Siau Yau-cu yang dipandang sebagai seorang Kiam-seng (nabi pedang), tidak demikian. Tiba-tiba jago tua itu mundur dua langkah la lu putar pedangnya dengan gencar sekali. Seketika berhamburanlah bergumpa l-gumpal sinar putih.

Melihat gerakan pedang yang sede mikian dahsyatnya, terpaksa Siu-la m tak berani menangkis. Buru-buru ia menarik pedang dan mundur ke belakang.

Setelah dapat mengundurkan si anak muda, Siau  Yau-cu pun hentikan putarannya pedang. Ia  mengangguk  dan berseru me muji, “Jurus It-cut-keng-thian yang bagus. Itulah ilmu pedang istimewa dari partay Hoa-san-pay. Entah dari manakah saudara dapat me mpelajarinya?” Pertanyaan itu menyadarkan Siu- lam bahwa kini dirinya benar-benar telah me mpunyai kepandaian yang sakti. Di hadapannya sekian banyak tokoh-tokoh ternama, ia mendapat pujian dari seorang tokoh maca m Siau Yau-cu, mau tak mau  ia ge mbira juga.

“Ah, lo-cianpwe keliwat me muji wanpwe. Wanpwe benar- benar tak berani mener ima pujian begitu tinggi….”

Tiba-tiba Siau Yau-cu berkata, “Sekarang, aku hendak balas menyerangmu!” Ia menutup kata-katanya dengan melangkah maju. Pedang diha mburkan ke arah kepala Siu-la m.

Siu-la m terkejut sekali. Dilihatnya pedang lawan telah berubah menjadi ribuan batang pedang yang menyerang dari empat jurusan. Ia benar-benar bingung untuk menangkis.

Dalam kebingungan tiba-tiba ia teringat akan jurus Bi- kun- bik-jit (awan tebal menutup matahari) ajaran dari si kakek sakti. Serentak ia mainkan pedangnya untuk me lindungi kepalanya. Kemudian ia geserkan  kaki  kirinya,  setelah langkah ke sa mping sa mbil me mutar pedangnya. Tring… tring… terdengar dering ujung pedang beradu nyaring dan tahu-tahu berhasillah ia keluar dari lingkaran pedang lawan….

Siau Yau-cu mendesis lir ih. Pedang digetarkan dan iapun menyerang lagi. Kali ini  serangannya lebih hebat.  Sedikitpun ia tak mau me mberi a mpun. Selain gencarnya sederas hujan mencurah, pun batang pedang telah disaluri lwekang. Wut, wut, wut… anginnya menderu-deru berhamburan di udara. Dalam sekejap saja kembali Siu- lam terbungkus oleh sinar pedang!

Melihat Siu- lam tak berdaya, Hian-song tak karuan.

Dengan melengking, ia menyerbu!

Melihat itu Tay Hong siansu goyangkan tangan kirinya dan keempat paderi tinggi besar tadipun segera berjajar-jajar menghadang si dara. Hian-song mur ka. Tanpa bicara apa-apa, ia  gerakkan kedua tangannya. Yang kanan menghanta m, yang kiri menutuk. Pukulan dan tutukan itu mengarah bagian yang berbahaya. Ganasnya bukan main.

Kedua paderi yang berjajar di sebelah muka terpaksa mundur lalu menangkis. Mereka berempat adalah paderi- paderi Siau-lim-si yang berkedudukan tinggi. Tak mau mereka berkelahi dengan seorang anak perempuan. Maka merekapun tak mau balas me nyerang.

Hian-song berdiri tegak me nunggu serangan.  Tetapi karena lawan tiada bergerak, iapun menyerang lagi.

Ruang perjamuan yang tak seberapa besarnya itu tak menye mpatkan orang menggunakan ilmu ginkang. Maka jika hendak meno long Siu- la m, si dara harus menerobos hadangan keempat paderi. Dalam kebingungan, Hian-song lancarkan serangan maut. Betapapun halnya ia harus dapat me mbantu Siu-la m. Kekalapan dara itu me mbuat kee mpat paderi kelabakan untuk menjaga diri. Untung mereka me mpunyai kepandaian tinggi dan tenaga sakti. Hantaman mereka berempat, menderu-deru laksana badai prahara.

Setelah beberapa kali serangan tak berhasil Hian-songpun merubah siasatnya. Tak lagi ia menyerang maju mela inkan cukup me mperhebat pukulannya. Keempat paderi  ma kin sibuk  dan  terpaksa  mereka  me mbalas  menyerang  untuk me lindungi diri.

Tay Hong siansu terkejut menyaksikan kepandaian Hian- song. Hampir ia tak percaya bahwa seorang anak perempuan yang begitu muda belia ternyata me mpunyai ilmu kepandaian yang begitu sakti. Diam-dia m ketua Siau- lim-s i itu gelisah. Jika keempat hou-hwat itu tak ma mpu menga lahkan seorang dara, Siau-lim-si pasti akan menjadi bulan-bulan ejekan orang persilatan. Sedangkan sebagai ketua Siau-lim-si, ia tak dapat merendahkan diri untuk maju melawan seorang dara tak terkenal. Kegelisahan Tay Hong siansu makin me muncak ketika dilihatnya keempat paderi terpontang-panting tak mampu balas menyerang lagi.

Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring dan seketika taburan sinar pedang Siau Yau-cu yang me menuhi ruang, hilang lenyap….

Sekalian hadirin me mandang  ke tengah gelanggang. Tampak Siu-la m berdiri di sa mping masih menceka l pedang. Tetapi wajahnya pucat lesi, kepalanya basah kuyub mandi keringat….

Sementara Siauw Yau-cu loncat ke sudut ruang. Wajahnya tenang sekali seperti tak menga la mi kejadian suatu apa.

Sekalian hadirin tidak tahu bagaimana kesudahan pertempuran tadi. Bahkan Hian-song yang sedang bertempur dengan kee mpat paderi tadipun serentak berhenti.

Tiba-tiba tubuh Siu-la m terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dan ‘huak’!… tahu-tahu ia  muntah darah.

“Pui suheng!” Hian-song menjerit kaget  seraya  lari mengha mpiri. Cepat-cepat ia menyanggapi tubuh Siu-la m agar jangan sampai jatuh, “Kau terluka?” tanyanya penuh cemas.

Siu-la m tersenyum, “Tak apalah. Aku hanya terlalu banyak menggunakan tenaga. Sebentar tentu akan baik sendiri!”

Mendengar nada suara si anak muda mas ih terang, legalah hati Hian-song. Tampak Siau Yau-cu mengha mpir i. Wajahnya amat serius.

Hening seketika. Semua mata dicurahkan pada gerak-gerik jago tua itu. Mereka berdebar-debar menantikan apa yang akan terjadi. Hian-song  cepat  merebut  pedang  Siu- la m.   Dia  siap  me lindungi anak muda itu apabila Siau Yau-cu berani menyerang lagi.

Tiba-tiba jarak empat, lima langkah, Siau Yau-cu berhenti. Matanya yang tinggal satu, berkilat-kilat me mandang si dara, “Silahkan nona menyingkir ke samping. Aku hendak bicara kepadanya!”

“Bicara kepadaku, juga sa ma saja!” sahut si dara.

Tiba-tiba Siu-la m melangkah dua tindak ke sa mping  lalu me mber i hor mat kepada jago tua itu, “Apa yang lo-cianpwe hendak me mberi petunjuk, wanpwee bersedia mendengar!”

“Siapa yang mengajar mu jurus ilmu pedang untuk menangkis seranganku tadi?” tanya Siau Yau-cu.

Siu-la m berdiam sejenak, sahutnya, “Ketika lo-cianpwee tadi menyerang, aku ha mpir tidak dapat bertahan lagi. Tiba- tiba aku teringat sebuah jurus ilmu pedang….”

“Benar! Me mang dalam per mainan pedangmu banyak yang mencuriga kan. Pertempuran pada belasan tahun berselang di mana ketua gerombolan Beng-ga k ma inkan ilmu pedangnya yang sakti, saat ini muncul ke mba li dalam ruang sini….”

Seketika ge mpar lah seluruh hadirin!

“Apa?” Siu-la m berteriak kaget, “Ilmu pedang yang kumainkan tadi serupa dengan ilmu pedang dari gero mbolan Beng-gak?”

Siau Yau-cu berseru nyaring, “Apakah ketua Beng-gak sekarang ini sa ma dengan pere mpuan siluman yang menjadi pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu itu, sebelum melihat wajahnya aku tak berani menetapkan dulu….”

Berpuluh-puluh pasang mata menumpah ruah ke arah Siau Yau-cu dan Siu-la m. Pernyataan Siau Yau-cu itu benar-benar menggetarkan se mangat para hadirin. Benarkah ketua Beng- gak yang menyelenggarakan pesta maut di le mbah Coat-beng- koh itu sa ma orangnya dengan iblis perempuan pe milik jarum Chit-jiau-soh yang pernah menggegerkan dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu?

Sejenak Siau Yau-cu sapukan pandangannya kepada hadirin, kemudian baru berkata lagi dengan pelahan, “Dari permainan pedang saudara kecil ini, aku sudah me mpunyai kesan yang mencurigakan. Maka kuserangnya dia dengan gencar. Kepandaiannya memang hebat tetapi dalam  hal tenaga dalam dia masih kalah jauh sekali dengan aku. Tetapi ketika dalam keadaan terdesak, dia tiba-tiba mengeluarkan kepandaiannya yang aneh.”

“Mengapa lo-cianpwe menganggap permainanku  itu  aneh?” tanya Siu-la m penuh keheranan.

“Mataku yang kiri ini terluka dengan jurus itu! Maka terhadap jurus perma inan itu kuingat je las sekali. Berpuluh tahun yang lalu, aku mengasingkan diri di tengah gunung. Kucurahkan seluruh waktuku untuk menciptakan ilmu pedang guna menghancurkan jurus per mainan yang telah menghilangkan sebelah mataku itu. Kuyakin aku telah  berhasil menciptakan ilmu pedang yang dapat mengalahkan jurus itu. Tetapi siapa tahu ketika kau gunakan jurus itu, ternyata aku masih tak ma mpu menghadapi!”

Dia m-dia m Siu-la m teringat akan kata-kata kakek Hian- song tempo hari, bahwa di dunia persilatan tak ada  tokoh yang mampu menghadapi jurus ilmu pedang yang diajarkannya itu. Dan di dunia pun t iada orang kedua yang  me miliki ilmu pedang itu!

Teringat hal itu dia m-dia m menyesal karena ia hanya dapat menguasai separoh bagian saja dari ilmu pedang sakti itu.

“Belasan tahun aku berse mbunyi  dalam pegunungan. Kucurahkan hidupku untuk menciptakan ilmu penghancur ilmu pedang itu. Rasanya di dunia me mang tiada lagi orang kedua yang mampu menggunakan ilmu pedang ajaib itu kecuali si iblis perempuan. Maka jika saudara tak  mau  mengatakan siapa yang mengajarkan pada mu, sukar bagiku untuk tak menaruh kecurigaan pada dirimu!”

Wajah Siu-la m mengerut serius. Dia balas bertanya, “Apakah lo-cianpwe me mastikan bahwa yang melukai lo- cianpwe itu seorang wanita?”

Pernyataan Siu-la m itu me mbuat sekalian hadirin terkesiap. Mereka tak mengerti mengapa si anak muda bertanya begitu.

“Aku takkan salah me lihatnya!” sahut Siau Yau-cu tegas.

Siu-la m berdiam diri. Setelah memandang ke sekeliling hadirin, ke mudian ia me mandang kepada  Hian-song, “Sumoay, tentang luka yang diderita Tan lo-cianpwe, apakah beliau tak pernah mengatakan pada mu?”

Si dara gelengkan kepala, “Tidak, sejak aku besar, memang kakek menderita penyakit itu. Dia  hanya  kadang-kadang keluar mencari daun obat. Selebihnya dia tak pernah keluar dari ka marnya!”

Siu-la m menghe la napas, katanya pula, “Cobalah sumoay ingat-ingat lagi. Apakah selama belasan tahun itu tiada orang yang pernah datang berkunjung pada beliau?”

Hian-song merenung. Beberapa la ma ke mudian baru ia berkata, “Rasanya pernah ada seorang tetapi waktu itu aku masih kecil. Ketika  kakek bercakap-cakap dengan  dia  di kamar, samar-sa mar aku masih ingat. Orang  itu  seorang buta. Sejauh ingatanku, orang buta itu adalah satu-satunya tetamu yang pernah berkunjung pada kakek. Tetapi pun hanya satu kali itu saja. Selanjutnya tak pernah datang lagi.”

Siu-la m sejenak berpaling kepada Siau Yau-cu itu kemudian menghadap si dara lagi, tanyanya, “Cobalah sumoay ingat- ingat lagi. Apakah yang mereka bicarakan dalam ka mar itu?” Kali ini Hian-song gelengkan kepala, “Waktu itu aku baru berumur sepuluhan tahun. Jika tetamu itu bukan seorang  buta, akupun tentu tak ingat lagi. Dia tinggal setengah hari di kamar kakek. Akupun tak me masuki ka marnya. Biasanya begitu bangun pagi, kakek tentu mengharuskan aku berlatih silat. Hanya hari itu karena menerima si buta,  ia menginginkan aku ber ma in keluar. Setelah si buta pergi, barulah kakek me manggilku pulang.”

“Selain tetamu buta itu, apakah tiada lagi yang pernah berkunjung?” tanya Siu- la m.

“Tidak pernah! Ya hanya tetamu buta itu!” sahut Hian- song.

Tiba-tiba Siu-la m mengajukan pertanyaan, “Sumoay, ketika aku singgah di kedaimu, kulihat kedua tetamu itu tertutuk jalan darahnya. Siapakah mereka?”

Rupanya Siu-lam lupa bahwa saat itu ia sedang berada dalam sebuah perjamuan yang dihadiri puluhan tokoh-tokoh ternama dari segenap penjuru. Ia tak henti-hentinya bertanya agar si dara dapat mengingat peristiwa yang la mpau. Pernyataan Siau Yau-cu bahwa ilmu pedang yang dima inkan dari ajaran si kakek itu, ternyata sama dengan ilmu pedang wanita pemilik jarum Chit-jiau-soh. Keinginan  untuk menyelidik hal itu besar sekali.

Hian-song tersenyum, “Ih, kau masih ingat perist iwa itu?” “Ya, siapakah yang menutuk mereka?” tanya Siu- la m.

“Siapa lagi kalau bukan aku!” jawab Hian-song, “Tetapi hal itu tiada hubungannya dengan kakek. Kedua orang itu cengar-cengir hendak berlaku kurang ajar kepadaku lalu kututuk jalan darahnya. Jadi tak ada sangkut pautnya dengan kakek. Sebelum kakek bangun, mereka sudah kulepas lagi…” tiba-tiba dara itu agak tersipu-sipu, ujarnya, “Eh, waktu itu akupun me mbohongimu,  karena me mberitahukan pada mu kalau kakek sedang ke pasar. Sebenarnya di waktu itu kakek berada di rumah. Lukanya sedang ka mbuh… ”

Tiba-tiba seorang paderi tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Dia memberi hor mat di hadapan Tay Hong siansu. Setelah mengucap beberapa patah kata dia lalu  keluar  lagi. Hal itu agak me mbuyarkan perhatian para hadirin. Kini perhatian mereka ditujukan kepada Tay Hong. Mereka duga tentu terjadi sesuatu yang penting.

Ketua Siau-lim-s i itu menyapukan pandangannya pada para hadirin lalu bertanya, “Di antara saudara-saudara, siapakah yang kenal akan Tian-ki- ci Gan Leng-po?”

Walaupun Gan Leng-po jarang keluar di masyarakat ramai dan karena sikapnya yang dingin, orang segan berhubungan dengannya. Namun setiap orang persilatan tahu akan tabib sakti.

Tiba-tiba Thian Hong totiang menyelutuk, “Aku pernah berjumpa dengannya. Tetapi dia sudah berubaha pikirannya, agak tak waras!”

“Omitohud!” seru Tay Hong siansu, “Apa dasarnya ucapan to-heng itu?”

“Rombongan ka mi telah menyaksikan sendiri. Tentulah tak keliru!”

“Benar, akupun melihat sendiri!” t iba-tiba Golok Sakti Lo Kun berseru.

Dia m-dia m Siu-la m gelisah. Jika tabib gila itu mas ih kenal padanya dan di hadapan hadirin me minta ke mbali peta Telaga Darah, tentulah akan timbul kerunyaman….”

Tay Hog berpaling kepada kedua mur idnya yang berada di samping, “Minta pada ruang Tat-mo-wan agar mengir im dua orang untuk me mbawa tetamu itu masuk!”

Kedua paderi kecil itu mela kukan perintah. Siau Yau-cu bertanya kepada Thian Hong, “Apakah Ti-ki-cu Gan Leng-po itu yang disohorkan dunia persilatan sebagai tabib sakti murid dari Lo Hian?”

Belum Thian Hong menyahut Golok Sakti Lo Kun sudah mendahului mengiakan.

“Karena saudara kenal padanya, apakah desas-desus yang mengatakan dia itu mur id Lo Hian, me mang benar?”

Lo Kun mengurut-urut jenggotnya. Pada lain saat  ia berseru, “Hal itu me mang sukar dikata. Menurut kabar yang tersiar, memang Gan Leng-po pernah berjumpa dengan Lo Hian. Tapi Lo Hian itu maca m naga sakti yang penuh diliputi rahasia. Banyak cerita di dunia persilatan mengenai dirinya, tetapi selama itu tiada yang dapat me mberi bukti. Hingga tokoh Lo Hian itu seolah-olah hanya hidup dalam cerita saja. Mungkin Gan Leng-po benar-benar telah berjumpa padanya atau mungkin juga dia hanya mengaku-aku sebagai murid Lo Hian agar na manya terkenal di dunia persilatan sebagai tabib. Dia tak menduga bahwa dengan itu bakal dibanjiri oleh orang- orang yang hendak minta pertolongan. Mungkin karena kewalahan akhirnya ia lari menye mbunyikan diri di  gunung Kiu- kiong-san.”

Karena Lo Kun dipandang sebagai orang jago tua yang banyak pengalaman, ma ka tiada seorangpun yang mengus ik pembicaraannya.

Satu-satunya yang berani nyeletuk adalah Siau Yau-cu, tanyanya, “Lo-heng tinggal la ma di Kang- la m. Entah apakah pernah dengar tentang peta Telaga Darah?”

Lo Kun me ngurut-urut jenggot, tertawa, “Para hadirin di sini, kebanyakan tentu sudah mendengar cerita peta Telaga Darah itu. Tetapi benda itupun serupa halnya dengan diri Lo Hian. Ceritanya memang ada tapi yang  pernah  melihat  sendiri, mungkin tidak ada…” tiba-tiba ia berhenti karena merasa kelepasan omong. Buru-buru ia berseru, “Tetapi entah  siapakah  di  antara  saudara-saudara  yang   pernah me lihat peta Telaga Darah?”

Jantung Siu-la m berdebar keras. Buru-buru kini berpaling karena takut tak dapat menguasai perasaannya.

Me mang pertanyaan Lo Kun itu me mbuat suasana hening lelap. Tiada seorang pun yang membuka mulut. Setelah beberapa lama tiada yang menyahut, Lo Kun hendak bicara lagi. Tetapi tiba-tiba Su Bo-tun batuk-batuk dan berbangkit perlahan-lahan. Kini sekalian hadirin me mandang kepadanya.

Tetapi ternyata Su Bo-tun hanya bergeliat pinggang lalu duduk ke mbali. Memang kaum persilatan telah mengetahui bagaimana watak orang she Su itu. Tak seorangpun  yang suka cari perkara padanya. Maka tingkah lakunya yang aneh itupun dibiarkan saja.

Siau Yau-cu kerukan kening la lu berpaling kepada Tay  Hong siansu, “Aku hendak moho n tanya kepada taysu?”

Tay Hong me mpersilahkan,  “Silahkan  Siau  lo-cianpwee  me mber i petunjuk!”

“Ah, janganlah taysu menyebut dengan panggilan begitu. Aku adalah kawan suheng taysu, maka kita ini sama tingkatan!”

“Baiklah. Silahkan Siau-heng bertanya,” kata Tay Hong siansu.

Kata Siau Yau-cu, “Eng-hiong-tay-hwe kali ini, bertujuan untuk   menghadapi   gero mbolan   Beng-ga k.   Untuk menyela matkan dunia persilatan dari bahaya keganasan. Yang   me menuhi   datang   dalam   pertemuan   ini   harus me mpunyai tujuan dan tekad yang sama. Sehidup semati dan senasib seperjuangan. Semua harus berlaku jujur. Di antara saudara hadirin, jika ada yang tahu tentang peta  itu, sebaiknya suka mengatakanlah. Mata Su Bo-tun menumpah pada Siau Yau-cu, katanya dengan nada dingin, “Apakah da mpratan Siau-heng itu ditujukan pada aku?”

“Harap jangan salah paham. Maksudku tak la in hanya mengharap agar saudara-saudara sekalian suka mencurahkan isi hatinya secara  terbuka.  Dengan begitu kita  me mpunyai  ke mungkinan untuk mencari jejak ketua Beng-gak. Pengetahuan itu akan menjadi pegangan kita di dalam menghadapinya nanti!”

“Seumur hidup aku tak pernah mengatakan sesuatu yang tak me mpunyai!” dengus Su Bo-tun. Karena menghadapi seorang tokoh seperti Siau Yau-cu, Su Bo-tun pun agak sungkan.

Siau Yau-cu menghe la napas. Pada saat ia hendak berkata, tiba-tiba muncullah dua orang paderi dengan me mbawa orang tua. Orang tua bertubuh kurus, mence kal sebatang tongkat bambu.

Sekalian hadirin diam saja mengawasi orang tua kurus itu. Hanya Siu-lam yang dia m-dia m terkejut. Karena ia tahu orang itu bukan la in Gan Leng-po sendiri….

Begitu melangkah masuk, Gan Leng-po sapukan pandangannya sekeliling. Ketika  matanya tertumbuk pada Siu-la m, tiba-tiba ia berhenti. Wajahnya berubah tegang.

Siu-la m tergetar hatinya. Dia tahu kalau tabib itu sudah mengetahui dirinya. Jika sampai dia (Gan Leng-po) mengatakan dirinya me mpunyai peta Telaga Darah, tentulah akan menimbulkan kegemparan besar.

Rupanya hadirinpun mulai me mperhatikan gerak- gerik Gan Leng-po. Karena  tabib itu terus- menerus  me mandang  Siu-  la m, sekalian orangpun menjadi tegang.

Siu-la m   segera   berpaling    kepada    Hian-song    dan me manggilnya. “Baiklah, mari kita tinggalkan te mpat ini suheng!” seru si dara seraya mengha mpir i. Dara itu me mang cerdik tetapi sayang dia tak punya pengala man. Apa yang  dikandung dalam hati terus saja ditumpahkan secara kontan.

Sebaliknya Siu-la m kelabakan. Kata-kata terus terang dari si dara seolah-olah me mberitahu kepada orang bahwa keduanya hendak melar ikan diri. Bukan main tegang Siu-la m sehingga tubuhnya mengucurkan keringat dingin. Namun ia berusaha keras untuk tetap bersikap setenang mungkin.

“Apakah kau takut?” tanyanya kepada Hian-song dengan disertai senyum tertawa. Pertanyaan yang tepat sekali. Selain untuk   menghindari   kecurigaan   orang,   sekaligus  dapat me mba kar se mangat si dara yang terkenal keras kepala itu.

Menyahutlah Hian-song dengan tegas, “Mengapa takut?

Sekalipun mereka ma ju se mua, akupun tak gentar!”

Secara demonstratif (menyolok) Siu- lam menepuk- nepuk bahu dara itu. Pemuda itu hendak melonggarkan ketegangannya. Tetapi lupa bahwa Hian-song seorang gadis. Tindakannya tak sesuai dengan tata santun hubungan antara pria dan wanita pada masa itu. Apalagi dilakukan di depan sekian banyak orang. Sekalian hadirin  sa ma  menyeringai hina.

Rupanya Siu-la m me nyadari tindakannya yang mela mpaui batas kesopanan itu. Buru-buru ia menarik pulang tangannya. Dilihatnya si dara pun ke maluan…. Tetapi bibirnya mengulum senyum bahagia.  Tiba-tiba  ia  berkisar  menatap wajah Siu-  la m. Keduanya saling beradu pandang….

Dalam anggapan Hian-song, Siu- lam satu-satunya orang yang menjadi tiang sandarannya di dunia. Tindakan Siu-la m tadi dianggapnya suatu pernyataan yang menyambut harapan si dara.

“Di hadapan sekian banyak orang dia begitu mesra kepadaku tentulah dia sudah menerima diriku sebagai kawan hidup. Antara pria dan wanita yang paling mesra dan akrab hubungannya adalah di antara suami istri. Ah, memang aku goblok sekali. Dia sudah mencintai diriku mengapa sedikitpun aku tak menyadari?” de mikian pikiran yang menghinggapi benak Hian-song saat itu.

“Engkoh La m, kalau kita berdua sa mpa i kalah me nghadapi sekian banyak orang, tak apalah. Bukan kita yang harus ma lu, tetapi merekalah!” katanya. Ia berusaha untuk me mbesarkan hati Siu- la m.

Tiba-tiba wajah Gan Leng-po  menggersang  menghela napas lalu berteriak sekuat-kuatnya, “Hiat-te-tho, Hiat-te- tho…” tiba-tiba ia rubuh terkapar di tanah.

Tay Hong kerutkan alis berseru pelahan,  “Omitohud…”  ia me lesat ke te mpat Gan Leng-po menya mbar tubuh tabib itu.

Sekalian hadirin terkejut. Sedang Siau Yau-cu pun segera mengha mpiri untuk me mberi pertolongan. Setelah diurut-urut beberapa saat, jago tua itu menghela napas, “Mengapa detak nadinya le mah sekali.”

“Ah, tak kukira kalau tabib yang termasyhur sakti ternyata tidak ma mpu mengobati dirinya sendiri?” dengus Su Bo-tun.

Kata-kata itu benar-benar tidak simpatik. Sekalian hadirin tak puas mendengarnya. Siau Yau-cu berpaling kepadanya, “Apakah Su-heng kenal padanya?”

Jawab Su Bo-tun dingin, “Dia me mpunyai na ma besar sebagai tabib sakti, tetapi diragukan kepandaiannya tak sepadan dengan na manya….”

“Bagaimana Su-heng tahu?” tukas Siau Yau-cu dengan wajah agak mengerut.

“Jika dia me mang pandai ilmu obat-obatan tentu tak perlu ngerepotkan Siau-heng!” Siau Yau-cu me mandang tajam kepada Su Bo-tun, matanya me mbertik ke marahan. Sekalian hadirin gelisah. Kedua orang itu merupakan tokoh-tokoh yang sakti tetapi berwatak aneh. Jika mereka sampai bentrok, dikuatirkan pertemuan besar itu akan mengala mi kegagalan besar!

“Menurut pendapat Siau-heng, bagaimanakah keadaan saudara Gan? Apakah dia ada harapan tertolong?” buru-buru Tay Hong menyela.

“Dia la ma kehilangan kesadaran pikirannya. Dan karena kurang beristirahat, badannya lemah sekali. Tetapi bagi seorang yang memiliki ilmu silat tinggi,  takkan mender ita begitu apabila tak mengala mi penderitaan batin yang hebat….”

Tiba-tiba Lo Kun menyelutuk, “Pada  beberapa  bulan terakhir ini, di wilayah Kanglam telah tersiar berita tentang munculnya peta Telaga Darah. Dan menurut kabar,  Ti-ki-cu Gan Leng-po itu merupakan ahli waris dari Lo Hian yang diberi peta itu. Pemimpin golongan hitam Siau-bin-it-tiau Wan Kiu- gui pernah me mbawa anak buahnya ke Kiu-kiong-san.  Aku dan Thian Hong totiang pun menuju ke gunung itu juga. Di tengah jalan telah berpapasan dengan dia (Gan Leng-po). Keadaannya sudah tak karuan. Rambut terurai kusut, pakaian compang-ca mping dan tingkah lakunya limbung….”

Lo Kun berhenti bicara. Apa yang diketahui tentang diri si tabib hanya terbatas sampai di situ. Ia berpaling kepada Siu- lam dan berseru, “Saudara tentu tahu lebih banyak. Maukah kau mengatakannya?”

Dalam  keadaan   seperti   itu,   Siu-la m   tak   dapat menye mbunyikan  diri  lagi.   Karena   hal  itu   pasti  akan  me mpertebal kecurigaan orang kepada dirinya. Segera ia menutur kan pengala mannya sela ma beberapa bulan ini. Tetapi bagian mengenai peta Telaga Darah tak diceritakan. Diaturnya ceritanya itu dengan hati-hati sehingga tak menimbulkan kecurigaan orang. Sambil dengarkan cerita, Siau Yau-cu menyalurkan tenaga dalam ke beberapa jalan darah di tubuh Gan Leng-po. Berkat tenaga dalam sakti dari jago tua itu, tak berapa lama dapatlah Gan Leng-po tersadar. Sejenak ia me mandang kepada Siau Yau-cu, lalu duduk bersila menyalurkan tenaganya.

Kembali ruangan sunyi senyap. Tetapi hati  hadirin  tetap tak tenteram, penuh diliputi ketegangan menunggu Gan Leng- po sadar. Diam-dia m Siu- lam berdoa  agar kesadaran pikiran si tabib jangan sa mpai se mbuh. Karena sekali tabib itu dapat mengingat peristiwa yang la mpau, tentulah akan mengoceh, dan ia serta Hian-song pasti akan menjadi  bulan-bulanan perhatian hadirin.

Detik-detik penuh ketegangan itu benar-benar mencengkeram suasana pertemuan sehingga ketua Siau-lim-si sebagai penyelenggara pertemuan itupun tak dapat berbuat apa-apa.

Beberapa saat kemudian ketua Siau-lim-si itu segera berbisik-bisik suruh pelayan paderi-paderi  kecil menghidangkan minuma n dan makanan  kepada hadirin. Dalam beberapa saat meja-meja yang tadi telah disingkirkan ke samping, diatur lagi. Sekian  tokoh-tokoh  pun  segera menga mbil tempat duduk. Siau Yau-cu berhadapan dengan Siu-la m.

Setelah hidangan selesai dihidangkan maka Tay Hong segera mengangkat cawan arak dan berseru, “Sejak kecil pinceng (aku) telah menjalankan pantangan tak makan daging dan minum arak. Tetapi hari ini pinceng sengaja melanggar pantangannya itu dan memperse mbahkan arak kehor matan kepada saudara-saudara sekalian. Demi kesela matan seluruh kaum persilatan dan rakyat semoga Tuhan me mberkahi perjalanan kita ke Beng-gak mene mui undangan….”

Upacara yang penuh bernada budi-asih itu telah menyentuh perasaan sekalian hadirin. Bahkan seorang tokoh berhati dingin maca m Su Bo-tun pun ikut berdiri mengangkat cawan arak dan meneguk bersa ma-sama.

Tiba-tiba Gan Leng-po me mbuka mata terus bangun dan duduk di sebuah kursi di dekatnya, ia menyambar sumpit (sendok) terus ma kan dan minum sepuas-puasnya. Dia tak mengacuhkan    sekalian    hadirin    yang    terheran-heran me lihatnya. Sambil tundukkan kepala, ia mengganyang makanan dengan lahapnya. Ternyata dia kuat sekali  makan dan minumnya. Hidangan yang berada di meja,  telah diganyangnya habis-habisan.

Siau Yau-cu menghela napas pelahan, serunya,  “Siapakah di antara saudara-saudara yang kenal padanya?”

Lo Kun berpaling dan me nga mat-amati wajah Gan Leng-po dengan tajam. Serunya, “Orang limbung yang kami jumpa i di gunung Kiu- kiong-san tempo  hari, me mang mir ip sekali dengan dia. Tetapi kala itu wajahnya  tertutup  rambutnya yang terurai kusut masai dan pakaiannya pun  tak  keruan. Lain dengan saat ini….”

Agaknya Su Bo-tun muak mendengar keterangan Lo Kun yang tak banyak bedanya dengan yang tadi. Ia mendengus, menya mbar cawan arak lalu diteguknya habis.

Karena dengusan itu, Lo Kun buktikan kata-katanya dan berpaling me mandang orang she Su itu. Tay Hong  kuatir kedua orang itu bentrok. Buru-bur u ia berbangkit, serunya, “Apakah menur ut Lo-heng orang itu benar Sin- ih Gan Leng-po yang termasyhur?”

Lo Kun terkesiap, sahutnya, “Memang dia mirip sekali dengan orang tua gila yang kami jumpai di Kiu-kiong-san. Tetapi apakah dia itu Gan Leng-po, tak berani kupastikan. Hanya kalau menilik gerak-ger iknya ke mungkinan me mang benar!”

Tiba-tiba seorang tua yang jenggotnya putih menjalar sampai ke dada, berbangkit, “Aku tinggal di daerah utara, tetapi sering kali mendengar tentang Gan Leng-po yang termasyhur sebagai tabib sakti dan berilmu silat tinggi. Tokoh semaca m itu tentulah me mpunyai wibawa seperti seorang dewa. Tetapi orang itu tolol dan limbung mana sesuai dengan pribadi Gan Leng-po? Karena Lo-heng ini tak dapat member kesaksian yang pasti, sebaiknya tak usah kita perbincangkan lebih lanjut. Undangan Beng-gak sudah dekat sekali waktunya. Setiap detik, berharga bagi kita. Lebih baik kita segera rundingkan langkah untuk menghadapi Beng-gak daripada me mbicarakan seorang tua limbung yang tiada gunanya!”

Walaupun perkataan jago tua itu ditujukan pada pimpinan pertemuan, tetapi pada hakekatnya mengandung da mpratan halus pada Lo Kun. Lo Kun merah padam mukanya tetapi untuk beberapa saat tak dapat ia me mberi jawaban yang tepat. Ia terlongong-longong, duduk berdiri serba salah. Dipandangnya orang yang menganca mnya tadi. Tetapi ia tak kenal.

Melihat Lo Kun dalam kesukaran, buru-buru Kat Thian-beng berbangkit dan bertanya dengan tawar kepada orang tadi, “Karena Kau-heng sudah lama mendengar nama Gan Leng-po, tentulah juga sudah mengenalnya, bukan?”

Orang tua she Ku itu tersenyum, “Apakah maksud Kat-heng bertanya padaku itu? Apakah Kat-heng mas ih tak me lupakan peristiwa kecil pada dua tahun yang lalu itu? Tadi aku berkata hanya sering mendengar kebesaran nama Gan  Leng-po sebagai tabib  sakti,  tetapi  aku  tak mengatakan  pernah  me lihatnya!”

“Ah, terhadap Kiu-sing-tui-hun (Se mbilan Bintang Pengejar Nyawa) Kau Cin-hong yang termasyhur di enam propinsi utara, masakan aku berani mengeca m. Hanya kalau Kau-heng menganggap kata-kata semaca m yang kuajukan itu tak sedap didengar, hendaknya janganlah Kau-heng tujukan pada lain orang juga!” Kiu-s ing-tui-hun Kau Cin-hong tertawa dingin, “Dengan begitu Kat-heng me mang hendak me mpersulit aku?”

Tenang-tenang Kat Thian-beng menyahut, “Setiap hal tentu ada pangkal dan ujungnya. Manusiapun mempunyai hati yang baik dan buruk. Kau-heng sendiri mengeca m  orang seenaknya saja. Apakah hal itu? Apalagi ternyata Kau-heng hanya mendengar nama Gan Leng-po sebagai tabib  sakti tetapi tak mengetahui tentang peta Telaga Darah. Tahu ujungnya tak tahu pangkalnya, dan toh sudah bangga setengah mati. Padahal apa yang diketahuinya hanya bagian luarnya yang kosong me lo mpong….”

Brak… tiba-tiba terdengar suara tinju menghanta m meja. Karena marahnya, Kau Cin-hong  menghantam  meja. Makanan dan minuman yang berada di meja itu pecah berantakan beterbangan kemana- mana….

Melihat ketegangan itu, buru-buru Tay Hong  siansu berseru, “Harap saudara berdua memandang muka loni dan duduk tenang. Segala apa dapat dirundingkan dengan tenang!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar