Wanita iblis Jilid 08

Jilid 8

SEJAK MENERIMA PUKULAN  Hud-hwat-bu-pian  dari  Siu- la m, Kat Thian-beng berhati-hati terhadap  pe muda  itu. Selama   berte mpur   dengan   Gan    Leng-po,    dia    tetap me mperhatikan gerak-gerik pe muda itu. Melihat Siu-la m loncat mengha mpiri, cepat-cepat Kat Thian-beng tarik pulang senjatanya dan loncat mundur beberapa langkah.

Siu-la m tak me mperdulikan Kat Thian-beng. Tujuannya ialah hendak menga mbil ke mbali peta Telaga Darah yang tersimpan dalam baju Gan Leng-po. Ia menghadang di muka tabib itu berseru tertawa: “Apakah Gan lo-cianpwe  masih kenal padaku?”

Tabib itu terlongong- longong mengawasi Siu- la m. Tiba-tiba ia mengge mbor keras dan menge mplangkan tongkatnya. Tapi Siu-la m tahu bahwa tabib itu sedang tak waras pikirannya.  Dia m-dia m ia sudah bersiap. Setelah menghindari ia berseru tertawa pula: “Jika Gan lo-cianpwe hendak mencari peta itu, silahkan ikut aku!”

Tanpa menunggu jawaban, Siu-la m berputar tubuh terus ayunkan langkah lari.

“Hai, sekalipun kau lari ke  ujung  langit,  tentu  akan kukejar mu!” teriak tabib itu seraya mengejar.

Siu-la m tak menghiraukan. Ia lari sekencang-kencangnya. Dia tahu bahwa kepandaian orang lebih tinggi dan larinyapun tentu lebih kencang. Jika sampai tersusul dan bertemur tentulah sukar lolos.

Di luar dugaan ia rasakan tubuhnya jauh lebih ringan dari dulu. Sejak dige mbleng si kakek jenggot  putih, kepandaiannya maju pesat sekali. Larinyapun jauh  lebih  cepat. Dalam beberapa kejap dapatlah ia me lintasi tiga buah puncak. Dia berhenti di sebuah tempat yang sunyi.  Tetapi baru ia berputar tubuh, tongkat si tabib sudah menyambar kepalanya….

Siu-la m terkejut sekali. Untuk menghindar tak mungkin lagi karena jaraknya dekat dan serangan tabib itu secepat kilat. Dalam gugupnya Siu- lam berpaling dan layangkan jurus Hud- hwat-bu-pian. Ilmu pukulan si kakek jenggot perak  yang paling berkesan dan paling mendapat penuh perhatiannya. Desss…. Gan Leng-po me njerit dan me nyurut mundur!

Kiranya tabib itu kena dipukul lengan kanannya. Itu masih untung. Coba mengenai tubuhnya, tabib itu tentu re muk. Gan Leng-po terlongong-lo ngong me mandang si anak muda. Karena pertempuran ratusan jurus dengan Kat Thian- beng tadi me ma kan banyak tenaganya. Walaupun tidak menggunakan tenaga penuh, tetapi pukulan Hud-hwat-bu- pian Siu-la m tadi cukup me mbuatnya ia meringis. Tulang lengannya serasa patah sehingga tak dapat digerakkan lagi. Tabib itu benar-benar tak tahu apa jurus yang digunakan anak itu. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan lukanya.

Siu-la m pun tegak berdiam diri. Kini ia putar otak untuk mencari cara menga mbil peta. Walaupun ia  tak sampai hati me lukai orang hanya karena hendak menga mbil peta yang tersimpan dalam pakaian tabib itu.

Setelah me mandang anak muda itu beberapa saat tiba-tiba Gan Leng-po me mutar tubuh dan pergi.

“Gan lo-cianpwe hendak pergi ke mana?” teriak Siu- lam yang dengan gugup segera loncat me mburu.

Sekonyong-konyong tabib  itu  berputar  diri dan menghanta m. Karena terlalu cepatnya  Siu-lam  hendak mende kap tabib itu, tak sempat menarik pulang tenaganya. Terpaksa ia menangkis. Krek… hebat benar akibat beradunya kedua tangan mereka. Siu- lam terpental ke atas dan si tabib terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah!

Siu-la m menyalur kan napas sejenak lalu mengha mpiri tabib itu. Tabib itu menggeletak di tanah. Matanya meram, rambutnya kusut masai tak karuan. Siu- lam terharu melihat keadaannya. Namun ia tak mau me mbuang waktu. Dengan cepat ia segera menelusuri baju tabib itu dan ah….ternyata peta Telaga Darah itu masih ada. Buru-buru  ia  menga mbil  dan menyimpan dalam bajunya lalu mulai  mengurut-urut tubuh tabib itu. Tabib itu terluka parah. Ha mpir sepeminum teh la manya baru Siu-la m dapat menyadarkannya. Tabib itu menghela napas panjang dan me mbuka mata.

Melihat Gan Leng-po sudah sadar, Siu-la m cepat loncat bangun dan terus lari menuju ke te mpat si dara Hian-song. Rupanya dara itu tengah cemas mengharap-harap kedatangan Siu-la m. De mi melihat anak muda itu muncul, buru-buru ia menyongsongnya. Serunya: “Orang-orang itu sama-sama terluka berat. Wajah mereka pucat lesu, mungkin sukar ditolong…. Ah, jika kakek mas ih hidup, tentulah mereka dapat ditolong. Sayang kakek….” teringat akan kakeknya kembali dara itu berlinang-linang. Beberapa butir air matanya menetes di tangan Siu-la m.

“Sudah, sumoay, jangan bersedih. Kita manusia tentu akhirnya akan mati,” Siu- lam me nghiburnya.

Ternyata orang-orang yang menggeletak itu  sudah diangkut dan dikumpulkan jadi satu oleh Kat  Thian-beng.  Jago tua itu tegak tertegun di sa mping mereka. Rupanya diapun tak berdaya untuk meno long. Di antaranya, yang paling parah adalah Kat Hong dan Kat Wi. Tubuh kedua pemuda itu sudah kaku, kebanyakan mereka tentu  sudah mati. Sedang yang la in-lain, wajahnya pucat lesi.  Rupanya setelah tiba di tempat situ, barulah racun di tubuh mereka mulai bekerja. Mereka segera duduk menyalurkan tenaga dalam untuk coba bertahan. Walaupun mereka me mbekal ransum kering, tetapi agaknya sudah habis. Dalam keadaan terluka dan hawa dingin dari angin berca mpur salju, akhirnya tak kuatlah mere ka bertahan diri lagi…..

Dia m-dia m Siu- lam menimang: “Mereka terkena pukulan beracun dari si nona baju merah. Entah ilmu pukulan  apa yang digunakan  nona  itu.  Tetapi  rasanya  nona  itu  telah me mbenci kepadaku daripada orang-orang itu. Mengapa ia  tak me mukulku? Eh, apakah me mang racun dalam tubuhku belum bekerja?” Teringat akan hal itu, serentak punggungnya terasa sakit.

Siu-la m mulai kucurkan keringat dingin.

Tiba-tiba kedengaran Kat Thian-beng berkata seorang diri: “Hong-ji, Wi-ji, tak nyana baru saja kau keluar ke dunia persilatan, telah menderita nasib yang begini menggenaskan. Aku terlambat datang dan habislah keturunan kita….” tiba-tiba ia me mondong tubuh kedua pe muda itu. Ia tak menghiraukan siapa-siapa lagi. Hatinya hancur dicengkam kedukaan.

Siu-la m terpaksa menyisih ke sa mping me mberi ja lan. Tiba-tiba beberapa langkah ke mudian Kat Thian-beng berhenti dan perlahan-lahan mengha mpiri ke te mpat paderi Thian Hong dan beberapa orang yang terluka. Ia me mbungkuk dan menutuki jalan darah Beng-bun-pian pada orang-orang itu.

Tiba-tiba Siu- lam teringat bahwa ia membawa obat pemunah  racun   Bik-tok-tin-sin   dari   Gan   Leng-po.   Ia me mberanikan diri me ngha mpir i Kat Thian-beng, ujarnya: “Wanpwe me mbawa obat pemunah  racun yang cukup mujarab. Entah dapat digunakan atau tidak….”

Berhenti sejenak me nga mbil keluar botol kumala, ia berkata pula: “Walaupun sejenak keadaan mereka sudah sukar ditolong, tetapi kiranya tak ada jeleknya jika dicobakan.  Apabila lo-cianpwe setuju!”

Rupanya Siu-lam masih kuatir. Jangan-jangan setelah minum obat, orang-orang itu malah  mati.  Maka  sebelumnya ia me minta persetujuan jago tua itu.

Setelah menerima pukulan dari Siu-la m tahulah Kat Thian- beng bahwa pemuda itu me miliki kepandaian yang sakti. Tawaran obat dari pemuda itu serentak mendapat sambutan baik. Ujarnya: “Jika kau mau menolong, aku berterima kasih sekali. Orang-orang yang menderita luka ini, selain kedua puteraku juga sahabat-sahabatku yang erat. Silahkan kau mencoba kan. Toh mereka sudah t iada harapan. Andaikata setelah minum obat mereka mati, tak apalah!” Siu-la m segera me mbuka botol dan me minumkan beberapa butir pil ke mulut orang-orang itu. Dan di luar dugaan, pil Bik- tok-tin-sin-tan itu justeru obat penawar racun pukulan Cek- lian-tok-ciang dari si nona baju merah. Khasiatnya cepat dan luar biasa. Belum cukup sepe minum teh la manya, napas mereka mulai berangsur ke…., wajah pun merah.

Bukan main  rasa terima  kasih Kat Thian-beng kepada Siu-  la m.  Segera me mberi  hor mat  sehangat-hangatnya: “Sudah la ma aku tak keluar ke dunia persilatan. Maafkan mataku sudah la mur, tak kenal seorang ko-jin!”

Ko-jin artinya orang yang berilmu. Sudah tentu Siu-la m tersipu-sipu dan mengatakan kata-kata merendah. Ke mudian ia minta diri karena harus lekas-lekas mengerjakan urusan penting. Dia tak mau diketahui oleh rombongan Thian Hong. Maka ia ajak Hian-song setelah melintasi beberapa puncak, Siu-la m mulai kendorkan larinya.

“Aku hendak ke Po-to-kang di Lula m, entah….” baru Siu- lam mengatakan begitu si dara sudah menukas: “Di atas dunia aku hanya kenal pada mu seorang. Sudah  tentu  akan bersama mu. Masakan masih bertanya lagi?”

Siu-la m mengatakan bahwa ia hendak menuju ke Lulam untuk menolo ng sumoaynya dan karena waktunya sudah mendesak maka harus lekas- lekas tiba di sana.

Hian-song me nantang: “Silahkan kau hendak lari  bagaimana cepatnya, aku tentu dapat mengimbangimu!”

Siu-la m   tersenyum  dan   segera   lari.   Beberapa   hari ke mudian, tibalah mereka di Po-to-kang. Hampir me makan waktu setengah hari barulah Siu-la m berhasil mene mukan muka tempat persembunyian si wanita aneh. Terutama air terjun itulah yang merupakan tanda pengenal bagi Siu- la m. Segera ia menerobos air terjun itu dan merayap ke atas karang. Setelah mene mukan karang goha, Siu- lam mengetuk dan berseru  keras:  “Lo-cianwe,  bukalah  pintu.  Aku  telah me mbawa obat yang kau kehendaki!”

Tetapi sampa i diulang beberapa kali, tetap tiada penyahutan. Saat itu hari sudah siang.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu: “Ai, benar,  benar.  Karen tubuh wanita itu dilumuri obat, dia tak berani terkena sinar matahari. Terpaksa aku harus tunggu sampai ma la m!”

Hian-song tahu-tahu sudah tiba di sampingnya. Tegur dara itu: “Siapa yang hendak kau cari, suheng? Mengapa kau berada di sini?”

Menunjuk pada batu karang, Siu-la m berbisik: “Orang itu tinggal  dalam  goha  ini.  Tetapi  sekarang  belum  bisa   mene muinya!”

“Kenapa? Hayo kita bersama-sa ma menjebolnya, masakan tak dapat me mbuka?”

Siu-la m gelengkan kepala: “Jangan, bukannya dia tak mau mene mui kita me lainkan melihat ada kesulitan!”

Hian-song tertawa: “Tahu kalau tidak bisa berte mu, perlu apa kau datang ke mar i?”

“Tunggu sa mpai nanti ma lam baru bisa berte mu!”

Hian-song terkesiap: “Mengapa?  Siang  hari  tak  bisa mene mui orang dan harus pada mala m hari. Dia tentulah bukan manus ia….”

“Huh, jangan omong se mbarangan. Jika  ia sampai mendengar, celakalah!” cegah Siu- la m.

Sebaliknya Hian-song ma lah menantang: “Biarkan dia mendengar, takut apa? Kau boleh takut, tetapi aku tak sudi takut!” Dalam me mbawa kan kata-katanya itu Hian-song sengaja keraskan suaranya agar didengar orang di dalam goha. Tahu bahwa dara itu  memang  manja,  Siu-la m  tak  mau me ladeni lebih jauh. Segera ia berbangkit dan menar ik tangan si dara diajak bicara ke lain te mpat. Hian-song segan-segan berdiri. Tiba-tiba ia menendang ke arah batu karang.

Siu-la m terkejut. Tetapi ia tak keburu mencegah lagi. Apa boleh buat, ia hanya melihat saja. Tiba-tiba ketika kaki si dara hampir menyentuh karang, ia memutar tubuh  secara mendadak dan tahu-tahu meluncur turun dan hinggap di atas sebuah pohon. “Hayo, turunlah!” ia me la mbai Siu- lam sa mbil tertawa.

Siu-la m pun segera melayang turun dan menggerutu: “Dalam beberapa hari sebenarnya aku hendak me ngatakan perangaimu berobah baik, siapa tahu sekarang angot nakal lagi!”

“Eh, kapankah kau pernah me mujiku?”

“Karena belum kuucapkan sudah tentu kau tak tahu!” sahut Siu-la m.

Hian-song tertawa dan melayang turun. Mereka duduk di sebuah lapangan rumput. Kala itu meski sudah melewati tengah mus im rontok, tetapi pohon belum mulai bersemi lagi. Mereka dikelilingi oleh gunung karang sehingga terhindarlah mereka dari serangan angin salju yang dingin.

Dekat di mata jauh di hati. Demikian  keadaan  kedua muda- mudi yang tengah duduk di atas rumput itu. Jika Hian- song sedang sedih me mikirkan nasib yang sudah sebatang kara, sebaliknya Siu-la m sedang gelisah me mikirkan sumoaynya yang sedang berada dalam goha. Ia kuatir apabila wanita berwajah buruk itu tak pegang janji dan turun tangan kepada sumoaynya.

Berpaling muka, ia terkesiap kaget ketika melihat Hian-song bercucuran air mata. Buru-buru ia menghiburnya: “Tan lo- cianpwe sudah me ninggal, apa kau tangisi saja….” “Satu-satunya keluargaku hanyalah kakek. Dan sekarang kakek sudah meningga l. Sedang siapa ayah bundaku aku tak pernah melihatnya. Bagaimana tak sedih jika aku mengenangkan diriku ini seorang anak perempuan sebatang kara hidup di dunia yang begini luasnya.”

“Di dunia banyaklah jumlahnya orang yang sudah sebatang kara. Dan merekapun tabah dalam menghadapi  cobaan hidup. Mengapa kau harus berputus asa?”

Hian-song mengusap air matanya dan serentak berbangkit: “Apa? Kau juga sudah sebatang kara seperti aku?”

“Walaupun orang tuaku mas ih hidup, tetapi kesulitan yang kuhadapi sekarang ini mungkin tak kalah beratnya dengan kesulitanmu!”

“Hm, me mang yang tersangkut batu benar-benar dapat merasakan penderitaannya!” guma m Hian-song.

Siu-la m segera menutur kan pengala mannya. “Sebenarnya yang kumaksud dengan kedua orang tuaku bukan lain hanya kedua guruku. Mereka telah melepas budi besar kepadaku maka  kuanggap  sebagai  orang  tuaku  sendiri.  Ah,   nasib ma lang yang mereka derita, jauh lebih besar dari nasibmu. Seluruh keluarga mereka, besar kecil tua muda, telah dibunuh orang. Yang beruntung selamat hanya puterinya, lebih tua sedikit dari kau….”

“Dia tentu sumoay mu! Apakah kedatanganmu ke mari karena hendak mencar i sumoay mu itu?”

Siu-la m mengiakan: “Benar, dia telah ditawan oleh seorang wanita berwajah seram yang tinggal di goha ini. Dia me mberi batas waktu sampai tiga bulan harus me mbawa pil Siok-beng- tan dari tangan Gan lo-cianpwe, untuk mengobati lukanya.”

Hian-song tak mau mendesak me lainkan perlahan-lahan berbangkit dan tegak terlongong-longong. Siu-la m mengha mpiri dan berkata dengan berbisik: “Ah, maafkan karena aku tak ingat me mbeli pakaian untukmu.”

Sahut Hian-song: “Sejak kecil aku biasa mengenakan pakaian kasar. Tak usah suheng repot-repot.”

Tiba-tiba Siu-la m teringat sesuatu. Hian-song ini seperti pinang dibelah dua dengan si dara berbaju putih yang pernah me ma ksanya supaya menelan peta Telaga Darah tempo hari. Dara yang itu bernama Bwe Hong-swat sedang dara yang ini bernama Hian-song.

Tengah pikirannya me layang-layang tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang berjalan datang. Cepat-cepat ia berpaling dan ah…. kiranya si hitam Seng Kim-po, murid dari Su Bo-tun. Cepat-cepat ia me mberi sala m.

Si hitam Seng Kim-po berpaling dan me mandang dingin kepada Siu-la m: “Huh, mengapa  kau datang kemari lagi? Apakah masih belum kapok?”

Sebenarnya Siu-la m hendak menanyakan tentang Tio It- ping tetapi ketika mendengar ucapan si hitam yang getas, sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.

Adalah si dara Hian-song yang segera melengking: “Apakah Co-yang-ping ini milikmu? Ka mi suka datang kemari, kau mau apa? Hm, jangan suka usil!”

Seng Kim-po melongo mener ima sentilan itu, serunya: “Seorang anak perempuan, o mong asal o mong. Tidak pakai aturan. Aku Seng Kim-po seorang le laki yang bertubuh tinggi besar, mana sudi me layani ocehanmu! ” Lalu ia berpaling kepada kawannya seorang paderi. “Ayo kita pergi!”

“Berhenti!” tiba-tiba Hian-song me mbentak si hitam yang me langkah hendak pergi.  Rupanya  dara  itu  hendak  maju me labrak, tetapi buru-buru dicegah Siu-la m: “Kita sedang mengurus soal penting, janganlah sumoay cari onar!” Tetapi Seng Kim- po sudah terlanjur berhenti dan paderi muda kawannya itupun sudah melepaskan  tongkat yang dipanggul di bahunya.

Melihat sikap kedua orang itu seperti hendak menantang, amarah si dara yang sudah mereda berkobar lagi: “Lepaskan!” ia meronta dari cekalan Siu- lam terus me lesat maju.

Karena tadi Seng Kim-po berjalan di muka dan si paderi mengikut i di belakang, maka ketika berhenti, si paderi yang kini berada di muka Hian-song langsung hendak menerjang. “Minggir! Apa me mang sengaja mau menghadang aku?”

“Harap nona jangan marah- marah. Pinceng (aku) datang dari jauh karena hendak menghadap guru dari saudara Seng ini. Perlu merundingkan suatu urusan maha penting yang menyangkut mati hidupnya seluruh kaum persilatan. Urusan penting ini harus lekas- lekas diselesaikan. Sedetik ditunda, sedetik   bahaya   itu   makin  besar.    Ah,    mungkin   akan me mbinasakan jiwa beberapa orang….”

Hian-song menyeletuk: “Apa yang kau katakan begitu panjang lebar itu, sedikitpun aku tak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya?”

Tampaknya paderi muda itu gelisah sekali. Katanya gugup: “Tanda ke matian  jarum  Chit-jiau-soh   yang   pernah mengge mpar kan dunia persilatan pada tiga puluh tahun yang lalu, kini muncul lagi. Dan lagi  para ketua partay persilatan dan tokoh-tokoh hitam telah menerima pe mberitahu. Diberi waktu sampa i pesta Peh-cun (pesta air) tahun ini harus datang menghadiri pesta Ciau-hun-yan (perjamuan me manggil nyawa) yang akan diselenggarakan di le mbah Coat-beng-koh (Le mbah Putus Nyawa) di gunung Beng-gak. Barangsiapa tak datang, dalam waktu sebulan seluruh keluarga dan handai taulan orang itu akan dibas mi habis….”

Berkata sampa i di sini t iba-tiba paderi muda itu berhenti. Ia anggap tiada manfaatnya membicarakan soal penting itu kepada seorang anak perempuan yang tak dikenal. Segera ia mengakhir i pe mbicaraannya: “Kedatangan pinceng ke mari adalah hendak mohon pada Siu-chiu- kiau- in Su Bo-tun tayhiap agar suka turun gunung untuk menyela matkan bencana dunia persilatan. Apabila li-sicu berkeras hendak berkelahi dengan Seng-sicu ini, dikuatirkan akan menimbulkan ke marahan….” tiba-tiba ia berhenti karena menyadari bahwa kata-katanya itu mungkin dapat me mbangkitkan ketidakpuasan nona itu. Buru-buru   ia   mengakhir i   kata-katanya   dengan   ucapan “o mitohud”.

Melihat kece masan wajah si paderi, Hian-song tertawa kecil: “Persetan Mengundang Roh di Le mbah Putus Nyawa itu. Seram benar kedengarannya!”

Mendengar dara itu seenaknya saja mengucapkan nama- nama te mpat itu, si paderi muda gelengkan kepala dan menghe la napas: “Li sicu mas ih muda belia, tentulah tak mengetahui tentang peristiwa hebat pada tiga puluh tahun yang lalu itu….”

Belum selesai si paderi mengucap, tiba-tiba Hian-song merogoh keluar kutungan jarum Chit-jiau-soh dari kantong pemberian kakeknya: “Yang kau katakan jarum Chit-jiau-soh sebagai la mbang ke matian dalam dunia persilatan itu, apakah bukan benda ini?”

Bermula si paderi muda tak percaya mendengar ucapan si dara. Dikiranya dara itu hanya berolok-olok. Tetapi ketika dipandangnya dengan seksama, wajahnya segera berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Cepat ia menarik tangan Seng Kim-po diajak lari secepat-cepatnya.

Hian-song geli melihat tingkah laku si paderi yang begitu ketakutan seperti melihat setan.  Katanya  kepada  Siu-lam: “Eh, mengapa  paderi itu  begitu  ketakutan  setengah  mati me lihat kutungan jarum ini? Ayo, kita kejar dan tanyakan sebabnya!” Siu-la m tahu Su Bo-tun itu sangat lihay.  Jika  mengejar  mur idnya mungkin akan menimbulkan onar. Ia mencegah maks ud si dara. Untunglah Hian-song mau mendengar kata. Tetapi pada lain saat dara itu tiba-tiba melengking: “Ya, ya, adanya kau takut akan menimbulkan onar, karena kau kuatir akan me mbikin terlantar diri sumoay- mu!”

Siu-la m terkesiap, sahutnya: “Mundur seharipun tak jadi apa. Tetapi aku kuatir kalau kau mengejarnya dan bertempur, jika sa mpai melukai orang, bukankah akan mena mbah permusuhan saja? Dan jika kita yang terluka, pun  bahkan lebih tak berharga lagi.”

Agak terhibur juga hati Hian-song mendengar penjelasan itu. Ia tertawa: “Memang aku sudah merasa, sejak kakek meninggalkan dunia ini tiada lagi orang yang menyayang padaku….” ia me langkah pelahan-lahan ke muka.

Sejak kecil dit inggal mati kedua orang tuanya, dara itu ikut pada kakeknya dan amat dimanjakan sekali. Memang tampaknya sang kakek keras sekali, hal mana agar dara itu benar-benar mau belajar ilmu silat. Tapi pada hakekatnya kakek itu cinta sekali kepada Hian-song.

Siu-la m hanya mengikuti di belakang dara itu tanpa bicara apa-apa. Beberapa hari ini ia dapat me mpelajari perangai si dara. Seorang dara yang benar-benar aneh dan tak dapat diraba hatinya. Cepat girang cepat pula merajuk.

Beberapa lama kemudian tiba-tiba Hian-song berpaling dan bertanya: “Pui suheng, aku mempunyai persoalan yang sukar kupecahkan. Maukah kau me mecahkannya?”

“Katakanlah, sedapat mungkin tentu kubantu!”

Si dara tertawa: “Melihat jarum kutung tadi, mengapa paderi itu ketakutan sekali?”

Sejenak merenung, menyahutlah Siu- la m: “Mungkin dia salah duga kalau kau juga anak buah Beng-gak.” “Tetapi mengapa kakek dapat menyimpan jarum yang katanya pernah menggegerkan dunia persilatan itu?” tanya si dara pula, “Apakah aku ini benar….”

Dara itu tak melanjut kan kata-katanya lagi. Tetapi dia m- diam Siu-la m yang cerdaspun me mbatin dalam hati: “Ah, omongannya me mang benar. Apa maksud kakeknya menyimpan jarum maut itu? Ah, rupanya soal ini baru mungkin dipecahkan apabila sudah tiba di telaga Hek-liong- than di gunung Thay-san. Paling tidak setelah menukarkan jarum itu dengan pedang, tentulah dapat diketahui jejaknya….”

“Uh, mengapa kau diam saja? Apa saja yang kau pikirkan? Apakah kau benar-benar mengira aku ini orang Beng-ga k?” tiba-tiba si dara me negur karena Siu- lam tak ma u bicara lagi.

Siu-la m menggeleng: “Tentu ada maksudnya mengapa Tan lo-cianpwe menyimpan kutungan jarum itu? Walaupun kau bukan orang  Beng-gak,  tetapi  sekurang- kurangnya  tentu me mpunyai hubungan entah budi apa dendam dengan pemilik Chit-jiau-soh….”

Hian-song merenung. Ia berusaha  mengingat  peristiwa yang telah lalu. Tetapi sampai hampir setengah hari, tak berhasil ia mene mukan keterangan apa-apa.

“Ah,” akhirnya ia menghela napas. “Me mang aku gelap terhadap asal-usul diriku. Bagaimanakah wajah  ayah- bundaku, sama sekali aku tidak tahu. Apa yang kuketahui, sejak kecil aku hidup  bersa ma kakek. Kakek hanya mengatakan na ma ku disebut Hiang-song. A ku harus giat belajar ilmu silat. Lain- lain hal dia tak pernah bercerita. Pernah kutanya siapa ayah-ibuku, kakek diam saja. Karena kuatir ia sedih, akupun tak mau bertanya lagi. Pikirku, kelak pada suatu hari, kakek tentu akan me mberi tahu sendiri. Ah, siapa tahu, sampai pada ajalnya, kakek tak me mberitahukan hal itu. Maka untuk sela ma- la manya aku tak bakal tahu siapakah ayah-bundaku….” “Ah, mungkin Tan lo-cianwpe sudah me mpersiapkan sesuatu rencana….” Siu-la m menghibur i.  Merenung sejenak, ia berkata pula: “Tan lo-cianpwe sakti dalam ilmu silat  dan ilmu pengobatan. Beliau bukan  tokoh se mbarangan.  Asal- usul sumoay, kelak tentu tak sukar diketahui, maka janganlah sumoay gelisah akan hal itu!”

Hian-song tertawa ringan: “Benar, memang jarang terdapat tokoh sesakti kakek. Jika tak menderita luka dalam, beliau tentu terhitung seorang tokoh utama dari suatu angkatan jamannya!”

Saat itu haripun hampir petang. Kata Siu-la m: “Sudah hampir petang, baiklah kita beristirahat di sini. Nanti mala m kita meno long sumoayku dan lantas tinggalkan  tempat  ini. Kita menuju ke telaga Se-ou yang ter masyhur itu!”

“Apakah telaga Se-ou itu indah pe mandangannya?” tanya Hian-song.

Baru Siu-la m hendak menyahut, si dara sudah mendahului lagi: “Ya, kutahulah! Se-ou merupa kan telaga yang indah di dunia. Baiklah, mari kita istirahat dulu.”

Begitulah keduanya segera bersemedhi me mulangkan tenaga. Setelah mala m tiba, mereka segera menuju ke goha  di bawah air terjun. Sejak jalan darah Seng-si-hian-kwannya terbuka, gerakan Hian-song a mat ringan sekali. Ia lebih dulu dapat tiba di muka goha itu. Dan tahu-tahu  menendang karang goha.

“Hai, jangan main tendang, sumoay!” Siu-la m kaget dan berseru. Tetapi sudah terlambat. Tendangan Hian-song tepat mengenai pintu goha. Siu-la m kebat-kebit  hatinya.  Ia kuatir si wanita berwajah seram akan marah. Tetapi sa mpai sekian la ma ternyata tak terdengar reaksi apa-apa. Segera ia mendebur pintu goha dan berseru nyaring: “Wanpwe sudah  me mbawa pil Kiu-coan-seng-ki-beng-tan. Harap lo-cianpwe bukakan pintu!” Diulangnya seruan itu beberapa kali namun pintu tetap tertutup. Tiada penyahutan sa ma sekali.

“Mungkin wanita tua itu sudah meninggal….” tiba-tiba Hian- song menyeletuk.

Tergetar hati Siu-lam mendengar kata-kata si  dara. Ujarnya: “Wanita aneh itu sudah belasan tahun tinggal di dalam goha ini, masakah dia tak kuat bertahan sampa i tiga bulan seperti yang telah dijanjikan padaku….”

Hian-song tertawa: “Pui suheng, orang mati itu datangnya tak dapat diduga-duga!”

Me mang Siu-la m sudah curiga, apalagi setelah mendengar keterangan Hian-song, hatinya ma kin ce mas.  Katanya seorang diri: “Ah, wanita itu berhati dingin sekali. Jika ia merasa   bakal   tak   hidup,  dikuatirkan   ia   lebih   dahulu me mbunuh sumoayku!”

Bluk…! Mendadak ia menendang pintu goha dan berseru nyaring: “Wanpwe datang menepati waktu yang dijanjikan, mengapa lo-cianpwe tak mau me mbukakan pintu?”

Namun goha tetap tak member i reaksi apa-apa. Hian-song tak sabar dan ajak Siu- lam mendobrak pintu. Malah ia sudah mendahului menendang pintu goha. Tak berapa la ma pintu dapat dihancurkan. Tetapi ketika si dara hendak masuk, Siu- lam mencegahnya: “Wanita itu sakti sekali, janganlah sumoay gegabah masuk!”

“Aku tak takut!” Hian-song tertawa. Dengan kerahkan tenaga segera ia mendorong pintu. Karena sudah dige mpur tendang, mudah saja pintu itu terbuka. Lebih dulu ia lepaskan pukulan ke dalam goha, ke mudian baru menerobos masuk. Dara itu betul-betul tak kenal takut.

Tetapi pada la in saat itu terdengarlah Hian-song menjerit dan loncat ke luar lagi menubruk dada Siu- la m.

“Eh, mengapa kau?” Siu- lam terkejut. Hian-song mengangkat kepalanya perlahan-lahan, serunya: “Aku takut….”

Ketika Siu- lam me mandang ke dalam goha ternyata di atas sebuah ranjang batu, sebuah tengkorak duduk bersandar pada dinding. Kecuali ra mbutnya yang panjang yang masih mele kat di batok kepala, boleh dikata daging tubuhnya sudah tak ada lagi, tinggal tulang kerangka. Kejut Siu-la m bukan alang- kepalang: “Ing sumoay! Ing sumoay….!” Teriaknya.

Hian-song lepaskan diri dari pelukan Siu-la m. Bersandar pada dinding, ia me mandang tak berkesiap kepada  pemuda itu.

Siu-la m segera mengha mpiri pada tulang kerangka. Sejenak me mer iksa, ia menjerit keras dan terhuyung-huyung rubuh ke atas tanah.

Hian-song kaget mendengar jeritan  pe muda  itu. Betapapun ia tetap seorang anak perempuan. Dalam te mpat yang seseram itu, mau tak mau ia ge metar juga. Beberapa saat kemudian setelah tenang, ia mengha mpiri Siu-la m dan mengangkatnya bangun. Tampak pe muda  itu  mencucurkan air mata.

Iba juga hati dara itu melihat keadaan Siu-la m. Sa mbil mengusap air mata pemuda itu,  Hian-song  menghiburnya: “Pui suheng, apakah kau berduka?” Selama hidup, ia tak pernah menghibur orang tetapi dihibur. Maka tak dapat ia merangka i kata-kata yang tepat.

Siu-la m menghela napas panjang. Air matanya membanjir, ujarnya: “Sumoay mati….”

Berpaling ke sa mping, Hian-song melihat di ujung ruang goha, terbaring sesosok tubuh yang me makai pakaian wanita, rambutnya kusut masai, tubuhnya kaku. Mungkin sudah mati beberapa waktu. Dari perawakan dan pakaiannya, umurnya tentu masih muda. Tiba-tiba Siu-la m berbangkit. Ia masih mengharap agar mayat itu bukanlah sumoaynya. Buru-buru ia me ngha mpir i. Disibakkan ra mbut mayat itu dan mengangkatnya agar dapat mengraut wajahnya. Ah…. tiba-tiba Siu- lam mengeluh kaget. Wajah mayat itu tak dapat dikenali lagi karena hancur lebur tak karuan akibat dicakari jari tangan!

Siu-la m termangu. Tiba-tiba ia berpaling me mandang kerangka yang duduk di atas batu. Dampratnya: “Hei, perempuan siluman. Perjanjian belum kelewat  batas waktunya. Mengapa kau ingkar janji me mbunuh sumoayku?!”

Setelah me maki habis-habisan, ia tending kaki mayat itu. Pyur, tulang belulang bagian kaki mayat itu berhamburan ke empat penjuru. Na mun rupanya Siu- lam mas ih belum puas hati. Ia menghantam juga bagian badan mayat itu. Tulang tubuh dan kepala mayat itu berha mburan me mbentur dinding jatuh berserakan ke tanah.

Tring…. tiba-tiba terdengar dering maca m bunyi logam saling me mbentur. Siu-la m me mandang ke arah bunyi itu.  Ada suatu benda berkilau-kilauan seperti e mas mas ih mele kat pada dinding.

“Ah, belum tentu kalau mayat itu sumoaymu!” tiba-tiba Hian-song me nyeletuk.

Sahut Siu-la m: “Goha ini terletak di perut gunung yang sukar diketahui orang. Tak mungkin orang luar masuk ke mari. Siapa lagi kalau bukan t indakan wanita ganas  itu.  Tahu bahwa lukanya tak bakal sembuh, sebelum mati ia me mbunuh sumoayku lebih dulu.”

“Ah, masakan di dunia tiada orang tahu rahasia goha ini,” bantah Hian-song.

“Sudah ha mpir tiga puluh mus im dingin, wanita itu mengera m di sini dalam keadaan luka parah, lumpuh tak dapat berjalan. Umurnyapun sudah lebih dari enam puluh tahun. Dan mayat itu jelas mayat seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan sumoayku?”

“Apakah kau masih ingat baju warna apa yang dipakai sumoay mu te mpo hari?”

“Bajunya warna biru!”

“Benar?” Hian-song menegas. Ia tahu jelas bahwa pakaian yang dipakai mayat itu me mang berwarna hijau atau biru. Ia anjurkan supaya Siu-lam mengangkat mayat itu keluar agar dapat dikenali lebih jelas.

Siu-la m me nurut. Diangkatnya mayat itu dan diletakkan di muka pintu goha. Ketika menga mat-amati warna pakaiannya, ia menjerit.

“Orang yang sudah mati takkan hidup ke mbali. Apa gunanya kita tangisi? Bukankah suheng  pernah  menasihati aku begitu…” Hian-song mengha mpiri seraya berseru perlahan-lahan.

“Ah, me mang akulah yang menyebabkan ke matiannya. Jika aku lekas datang, tentulah dia tak sampai dibunuh wanita jahat itu!” sahut Siu-la m.

Hian-song menghe la napas: “Ah, akulah yang menjadi gara-garanya. Jika tidak karena aku, kau tentu sudah pulang lebih cepat dari sekarang!”

“Kau tak salah, Song  sumoay.  Jika  bukan  kau  yang meno long akupun tentu mat i di Kiu- kiong-san!”

“Apakah Ing sumoay itu baik kepada mu?” tanya Hian-song setengah berbisik.

Siu-la m ke mba li me mbawa jenazah itu masuk dan diletakkan di atas ranjang batu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah benda mengkilap. Segera diambilnya  seraya menyahut pertanyaan Hian-song: “Ya, dia baik kepadaku!” “Ah, kalau dia baik kepada mu, biarlah aku yang mewakili dan akan me mper lakukan kau sebaik ia berlaku kepada mu….”

Siu-la m menghela napas. Diangkatnya jenazah sang sumoay, lalu mengajak Hian-song tinggalkan goha itu.

“Hendak kau bawa ke mana kah jenazah sumoaymu?” tanya Hian-song.

Siu-la m tertawa hambar: “Hendak kucari sebuah tempat yang bagus alamnya sebagai tempat peristirahatannya…” tiba- tiba ia teringat sesuatu, serunya rawan: “Tetapi ah,  di sini jauh dari kota. Sukar me mbeli peti mat i…”

Kata Hian-song: “Goha  ini walaupun gelap tetapi ada hawanya juga. Kukira lebih baik jenazahnya diletakkan di atas ranjang batu sini lalu kita tutup goha ini rapat-rapat. Nanti beberapa hari lagi, kita ambil jenazahnya untuk dikubur satu tempat dengan ayah bundanya.”

Siu-la m tidak setuju karena dikuatirkan jenazah sumoaynya akan dima kan kutu.

“Kalau begitu,” Hian-song ta mpak ragu-ragu, “ada lain cara, tetapi entah setuju atau tidak!”

Rupanya Siu-la m mengerti apa yang dimaksud si dara, serunya mendahului: “Bukankah kau hendak me mbakar jenazahnya?”

Hian-song mengiakan: “Benar, kita mudah mengir im abunya. Eh, apa dengan cara seperti penguburan  kakekku ialah dibekukan dalam timbunan salju?”

Sejenak Siu- lam heran mengapa dara yang biasanya keras kepala dan manja itu, tiba-tiba  berubah le mah  le mbut  dan me mperhatikan  dirinya.   Akhirnya   Siu-lam  setuju   untuk me mperabukan jenazah sumoaynya. Segera ia keluar goha dan sekali melesat ia melayang turun ke bawah le mbah. Hian- song tetap mengikut inya. Setelah tiba di lamping gunung, di bawah sinar bintang Siu- lam ma kin yakin bahwa jenazah itu  adalah  Hui-ing. Terkenang akan kehidupannya bersama sumoay itu di kala masih berguru dan bergaul, air mata Siu-la m bercucuran deras….

Hian-song me mperingatkan supaya cari kayu bakar. Ketika me letakkan jenazah,  tiba-tiba  ia  merasa  tangannya  yang me megang benda mengilap tadi menarik perhatiannya. Benda itu ternyata sebuah senjata yang aneh bentuknya. Mirip pedang tetapi bukan pedang, menyerupai golok tapi bukan golok. Senjata itu tumpul, kedua tepinya berbentuk seperti perisai. Anehnya walaupun terbuat seperti dari bahan besi tembaga, tetapi senjata itu ringan sekali.

Semula hendak dibuang saja benda itu tetapi ia terkesiap ketika melihat Hian-song pun menceka l benda semaca m itu juga. Hanya warnanya agak berbeda. Yang dipegangnya itu berwarna putih mengkilap, tetapi yang ada pada Hian-song berwarna kuning kee masan.

“Ah, dia tentu senang bermain- main benda ini. Baiklah kusimpan dahulu, kelak kuberikan kepadanya,” diam-dia m Siu- lam me mbatin la lu menyimpan benda itu ke dalam baju.

“Jagalah di sini, aku hendak mencari kayu,” tanpa menunggu penyahutan, Siu-lam segera lari ke bawah gunung. Tak la ma ke mudian ia ke mba li dengan me mbawa setumpuk kayu.

“Eh, nanti dulu suheng,” tiba-tiba Hian-song berkata, “Kita masih kurang guci untuk te mpat abu!”

Siu-la m kerutkan dahi: “Ah, ke manakah kita harus mencari benda itu?”

“Su Bo-tun seorang ternama, kita minta pinjam  sebuah guci, masakan dia tak boleh?” kata Hian-song. “Dia seorang manus ia aneh, tak kenal belas kasihan sama sekali. Jangankanlah guci, cangkir untuk minumpun belum tentu boleh!”

“Eh, masakan dia manus ia begitu. Tetapi marilah  kita coba. Kalau boleh, ya sudah. Tapi kalau menolak, kita paksa pinja m. Coba dia mau apa!”

“Tetapi dia sakti, kita berdua mungkin bukan tandingannya!” kata Siu- la m.

Hian-song tak puas dalam hati. Katanya: “Ah, tetapi kita perlu dengan benda itu!”

Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia terpaksa menyetujui usul Hian-song.

Hian-song tertawa: “Nanti apabila di sana, kaulah yang bicara. Aku berjanji takkan menimbulkan onar!”

“O, sekali-ka li bukan maksudku  hendak me mbatasi kebebasan sumoay. Tetapi orang itu me mang benar-benar sakti, lebih baik kita jangan cari perkara…”

Siu-la m segera mengatur persiapan. Jenazah diletakkan di atas batu karang lalu ditimbuni kayu.

Siu-la m ingat letak dataran karang Co-yang-ping dengan baik. Karena jaraknya tak berapa jauh maka dalam waktu singkat tibalah mereka di te mpat yang dituju.

“Co-yang-ping merupakan karang bunting. Jalan satu- satunya hanya dapat  dicapai dengan jembatan tonggak- tonggak karang yang licin. Maka harap sumoay berhati-hati!” Siu-la m me mber i peringatan dan terus hendak melayang ke tonggak karang pertama. Tetapi tiba-tiba Hian-song sudah mendahuluinya. Tubuh dara itu ringan dan gerakannya lincah serta tepat memilih sasaran.  Beberapa  kejab saja  dara  itu ma lah sudah me neriaki Siu-la m supaya lekas menyusulnya. “Lekas balik, sumoayku. Aku sudah pernah datang ke mari satu kali ma ka biarlah aku yang menunjukkan jalan!” seru Siu- la m.

Tetapi dara itu tetap tertawa: “Jangan kuatir, suheng. Walaupun ma la m, aku sudah dilatih ilmu lwekang oleh kakek untuk melihat dalam kegelapan. Ayo, lekaslah suheng ke tempat sini!”

Karena menyadari bahwa ilmu dara itu lebih tinggi, terpaksa Siu-lam menurut. Akhirnya mereka dapat mencapai tonggak karang yang terakhir. Hian-song lebih dulu melayang ke tonggak itu kemudian Siu-la m menyusul. Tiba-tiba pemuda itu  terkejut  karena  si  dara  tak  mau menyingkir.  Kuatir   me mbentur sehingga dara itu nanti terpelanting jatuh ke bawah jurang, ia mengurangi gerakan melayangnya. Dengan bergeliat tubuh Siu- lam sendirilah yang meluncur ke bawah. Tiba-tiba sesosok tubuh melayang dan la mbungnya dicekal oleh sebuah tangan halus terus disangga ke atas: “Tonggak karang ini cukup untuk dua orang. Telah kusisihkan te mpat untukmu!”

Tiba-tiba kaki Siu- lam sudah berdiri di atas tonggak karang, tubuhnya dipeluk erat-erat oleh Hian-song. Dalam keadaan seperti tempat itu, tak dapat ia menghindari lagi.

“Pejamkan mata mu, biar kubantumu mendorong  ke seberang karang itu!” Hian-song letakkan tangan di punggung si anak muda.

Sebenarnya Siu-la m me mang tak me mpunyai keyakinan akan dapat mencapai  tepi  karang  Co-yang-ping.  Tetapi ia ma lu mengatakan. Tiba-tiba punggungnya  kena  didorong oleh tangan si dara. Serasa ia ditiup angin badai dan dapatlah ia mencapai tepi karang itu.

Buru-buru ia tegak di karang datar itu, tiba-tiba terdengar suara Hian-song sudah melengking di sa mpingnya: “Ai, karang buntung ini me mang berbahaya  sekali. Menilik  tempatnya saja terang kalau orang itu tentu seorang manus ia aneh!”

Mereka menuju ke pondok kedia man manus ia  berhati dingin Su Bo-tun. Siu-la m heran ketika melihat pondok Su Bo- tun masih terang dengan penerangan. Padahal saat itu sudah tengah mala m. Dan yang lebih mengherankan, pintu pondok itu terbuka lebar. Su Bo-tun tampak duduk di kursinya yang terbuat dari pohon co-bok. Seng Kim-po tegak berdiri di sampingnya. Rupanya dalam ruang pondok itu sedang menerima banyak tetamu. Heran Siu- lam dibuatnya. Ia tahu bagaimana dingin dan aneh watak orang she Su itu. Mengapa mendadak sontak dia mau menerima sekian banyak tetamu?

Tengah Siu- lam menimang-nimang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bentakan Su Bo-tun yang bengis: “Hm, siapakah yang  dia m-dia m berani menyelundup ke mari? Sudah berani datang ke Co-yang-ping mengapa tak berani masuk ke mari?”

Siu-la m terbeliak. Akhirnya ia memutuskan untuk mene mui orang she Su itu terang. Ternyata tetamu yang berada dalam ruang pondok itu terdiri dari seorang tua lebih kurang berusia enam puluh tahun. Jenggotnya yang putih menjulai panjang sampai ke dada. Seorang paderi berjubah kelabu dan dua orang lelaki setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Melihat dari sinar mata dan sikapnya, jelas mereka tentulah tokoh yang berilmu sakti.

Hanya si paderi jubah kelabu yang me mandang kedatangan Siu-la m berdua, tetapi yang lain sama sekali tak mengacuhkan pemuda itu.

“Hm, mau apa kau datang ke mari lagi?” tegur Su Bo-tun.

Siu-la m mengatakan kalau hendak pinjam sebuah benda milik tuan rumah. Belum Su Bo-tun menyahut, kedua lelaki tinggi besar sudah serentak berdiri dan menda mprat: “Hai, kau tahu te mpat apa ini. Lekas enyah atau mau minta mati!?” Hian-song kerutkan alis. Ke marahannya mulai berkobar.

Tetapi ketika melihat Siu-la m, Hian-song tenang ke mbali.

Terdengar si orang tua jenggot putih berseru: “Kiranya Su- heng sudah mengikat permusuhan dengan orang Beng-gak. Kau tak mau cari perkara, tetapi mereka tetap akan mencarimu. Aku tahu Su-heng tak mau bergaul dengan orang lagi maka mengasingkan diri di sini. Tetapi dalam hal suasana seperti sekarang ini, bukan saja menyangkut kepentingan seorang dua orang tetapi boleh dikata seluruh  dunia persilatan. Bahkan para ketua gereja Siau-li-si pun tak dapat berpeluk tangan lagi. Dapatlah diperkirakan betapa gawatnya peristiwa ini. Jika Su-heng tetap tak mau ikut ca mpur, dikuatirkan perempuan siluman itu takkan menga mpuni Su- heng!”

Si paderi jubah kelabu pun me nyeletuk;  “O mitohud! Suhuku pernah me muji ilmu Chit-sing-tun-heng dari Su sicu tiada taranya. Jika Su sicu meluluskan untuk menyelesaikan urusan, ah, benar-benar suatu kebahagiaan bagi kaum persilatan!”

Rupanya tergerak juga hati Su Bo-tun mendengar permintaan para tamunya itu. Ia tundukkan kepala tak bicara.

Tiba-tiba si orang tua jenggot putih berbangkit, serunya: “Mungkin Su-heng perlu hendak me mpertimbangkan dulu. Tetapi me mang benar-benar aku telah menerima surat dari ketua  gereja  Siau-lim-si  agar  supaya  aku  mene mui  dan  me minta  bantuan  Su-heng… ”  ia   berhenti   sejenak   lalu me lanjutkan: “Peristiwa ini benar-benar menyangkut seluruh dunia persilatan. Sebagai tokoh terkemuka  dari dunia persilatan, sekalipun Su-heng tidak mengikut per musuhan dengan Beng-gak, tetapi mereka tentu akan mencarimu. Apalagi Su-heng telah me mbunuh anak buah Beng-gak, tentulah takkan dimaafkan.”

“Harap Lui- heng jangan me mbakar hatiku lagi. Ijinkanlah aku untuk berpikir. Setelah beberapa hari baru kuberi putusan. Jika setuju,  tentu pada saatnya aku akan datang ke le mbah Coat-beng-koh. Tetapi jika tak setuju, sekalipun ketua Siau-lim-si datang ke mari sendiri, aku tetap meno lak. Hm, gelar Siu-chiu-kiau-in (Tak Mau Campur Urusan Dunia Lagi) masakan hanya nama kosong?”

Si orang tua jenggot putih tertawa dingin: “Me mperlakukan seorang sahabat lama dengan sikap sedingin itu, apakah tidak kelewatan…”

“Terserah!” Su Bo-tun mengangkat bahu.

“Su-heng kelewat menghina orang!” orang tua  jenggot putih itu tertawa dingin. “Jika aku tak punya urusan penting yang harus kukerjakan, tentu saat ini aku akan  minta pelajaran padamu!” Ia terus melangkah keluar pondok.

Su Bo-tun tak mengacuhkan. Ia menengadah me mandang puncak penglari pondoknya.

Dengan marah- marah, orang tua jenggot putih itu menerjang saja Siu-la m dan Hian-song yang berdiri di a mbang pintu. Hian-song tak puas dengan tingkah laku orang tua itu. Ia malah menghadang  di  tengah  jalan:  “Apakah  kau  tak me lihat ka mi berdiri di sini?”

Dada orang tua jenggot putih itu ha mpir me ledak karena me lihat sikap dingin dari Su Bo-tun. Tetapi karena ia merasa kalah sakti dan pula mas ih me mpunyai la in urusan, maka terpaksa ia tahan kemarahannya. Bahwa kini seorang dara berani menghadang ja lannya, orang tua jenggot putih itu benar-benar meleda k ke marahannya.

“Menyingkirlah!” serunya seraya menyiak kedua muda- mudi itu.

“Jangan turun tangan sumoay!” cepat-cepat Siu-lam mencegah Hian-song yang hendak gerakkan tangan. Tetapi sudah terlambat. Si dara lebih cepat. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, dara itu menghindar dan balas menyerang dua kali sehingga orang tua itu dipaksa  mundur  ke mbali.

Menyaksikan gerakan si dara yang sedemikian luar biasa, sekalian tetamu terbeliak kaget. Demikian pun orang tua jenggot putih.

Su Bo-tun mendengus: “Hm, di depan hidung Su Bo-tun berani-berani bertempur, berarti hendak cari sakit. Jika aku sampai marah, jangan harap kalian bisa hidup!”

Hian-song tak dapat  menahan  kesabarannya  lagi. Berpaling kepada Siu-la m ia me maki: “Suheng, pak tua itu kalau bicara seenaknya sendiri saja. Perlukah kita menghajarnya?”

Belum Siu-la m menyahut, Su Bo-tun sudah bangkit dan perlahan-lahan mengha mpiri si dara. Melihat itu si paderi jubah kelabu gugup dan me mburu ke samping Su Bo-tun, serunya berbisik: “Gadis itu me mpunyai  Chit-jiau-soh, mungkin me mpunyai hubungan dengan Beng-gak… ”

Su Bo-tun terkesiap. Dibentaknya  Siu-lam: “Siapakah budak pere mpuan ini? Lekas bilang!”

Siu-la m tak se mpat menyela mi ma ksud pertanyaan itu.

Cepat-cepat ia menyahut: “Dia sumoayku!”

“Ngaco belo! Dari mana kau bisa me mperoleh sekian banyak sumoay?” bentak Su Bo-tun.

“Kau sendiri yang ngaco belo. Kalau bukan sumoaynya, masakah di aku-aku!” Hian-song balas me mbentak.

Bagi si dara ia me ma ki asal me maki untuk mela mpiaskan kedongkolannya. Tetapi bagi Su Bo-tun hal itu merupakan hinaan besar. Ia tertawa dingin: “Kau pintar me ma ki!” tiba- tiba ia mena mpar…: “Biar gigimu ro mpa l, coba lihat saja apakah kau mas ih bisa me ma ki- ma ki orang?” Hian-song jarang berkelahi. Mendapat serangan yang luar biasa cepatnya itu, ia terkejut. Cepat-cepat ia menekuk pinggang dan menyurut mundur dua langkah ke belakang.

Tamparannya luput, Su Bo-tun makin panas hatinya. Tahu- tahu ia sudah melesat ke sa mping Hian-song. Itulah ilmu Chit-sing-tun-heng atau Tujuh Bintang Beralih Te mpat yang tiada keduanya di dunia persilatan!

Siu-la m terkejut dan berseru nyaring: “Siu-chiu-kiau-la m yang termasyhur ternyata mau juga melayani seorang anak perempuan tak ternama. Apakah kau tak takut ditertawain orang?” Ia menutup serangannya mulut dengan serangan tangan.

Tetapi pada saat Siu- lam berseru, ternyata si dara sudah me lesat mundur lima langkah. Su Bo-tun terkesiap menyaksikan gerak si dara yang luar biasa itu. Seketika timbullah nafsunya untuk mengadu kesaktian.

Tangan kiri gunakan jurus Chin-poh-ngo-hian untuk menangkis serangan Siu-la m, se mentara tangan kanan menghanta m Hian-song dengan pukulan Biat-gong-ciang yang dahsyat….

Hian-song kaget melihat pukulan orang yang sedahsyat itu. Namun ia sudah terpojok di dinding pojok. Tak mungkin ia mundur. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam, menutupkan kedua tangannya ke dada dan sambil peja mkan mata   ia menya mbut pukulan orang.

Apa yang terjadi sesaat kemudian, benar-benar di luar dugaan. Hian-song tetap berdiri di te mpatnya. Sebaliknya Su Bo-tun menarik pulang tangannya dan mundur dua langkah ke belakang.

Kiranya ia rasakan pukulannya itu menimpa  gumpalan kapas yang lunak sekali. Su Bo-tun sudah mencapai tingkat sempurna dalam menguasai tenaga dala m. Setiap saat dapat mengha mburkan tetapi setiap saat dapat ditarik menur ut kehendak hati. Begitulah ia lakukan saat itu. Tetapi betapa kejutnya ketika ia menarik pulang tangannya, tiba-tiba ia rasakan serangkum aliran tenaga menda mpratnya. Untuk meno laknya sudah tak keburu lagi. Daya me mbal dari reaksi tenaga tangkisan Hian-song telah me maksa Su Bo-tun tersurut dua langkah.

Hian-song me mbuka mata dan tertawa kepada Siu-la m. Kemudian ia  me lesat  menerka m  Su  Bo-tun.  Ia  tak  mau me mber i peluang pada Su Bo-tun untuk me lancarkan pukulan Biat-gong-ciang yang kedua. Maka si dara bergerak cepat sekali. Sekaligus ia sudah melancar kan tiga pukulan dan empat tusukan jari.

Serangan kilat Hian-song itu se mua diarahkan pada bagian jalan darah yang mematikan. Betapa saktinya Su Bo-tun, namun ia terpaksa tak berani  betrayal  untuk  menghindar. Me mang ilmu Chit-sing-tun-heng yang dimiliki itu, sebuah ilmu silat yang luar biasa. Penuh dengan gerak perubahan yang sukar diketahui. Tubuhnya berputar-putar lincah sekali dan serangan gencar si darapun mene mui tempat kosong.

Hian-song pun tak kurang kejutnya. Tadi ia gunakan serempak pukulan Hui- ing-ciang dan ilmu totokan Thian-sing- ci ajaran mendiang kakeknya. Tetapi kese muanya itu dapat dihindari lawan. Berputar tubuh, Hian-song loncat ke samping Siu-la m.

Sebenarnya kejut Su Bo-tun tak kalah besarnya. Ia benar- benar kaget melihat gaya serangan si dara yang luar biasa hebat dan cepatnya itu. Bukan saja totokan si dara itu selalu tepat mengarah sasaran, pun mengandung pancaran tenaga dalam yang kuat. Hampir ia tak percaya bahwa seorang dara yang baru belasan tahun umurnya, dapat me miliki kesaktian yang demikian hebatnya.

Tetapi Su Bo-tun itu seorang tokoh yang aneh. Baik girang maupun kaget, sukar diketahui perubahan mimik wajahnya. Tamu-tamu yang berada di pondok situ, adalah tokoh- tokoh kelas tinggi. Mereka se mua mengikuti dengan penuh perhatian pertempuran tadi. Dan kesan yang diperolehnya, hampir sa ma. Terkejut, heran dan kagum….!

Bahwa seorang dara yang baru berumur belasan tahun, ternyata mempunyai kesaktian yang begitu hebat telah mendorong mereka pada kesimpulan: Jika bukan anak buah Beng-gak, tak mungkin di dunia persilatan terdapat seorang dara yang sedemikian sakti!

Tadi si orang tua jenggot putih yang hendak tinggalkan pondok itu, terpaksa batalkan niatnya karena pertempuran itu. Bahwa ternyata itu dapat menandingi Su Bo-tun, orang tua jenggot putih itu dia m-dia m kaget juga.

“Apakah nona anak mur id Beng-gak?” tegurnya.

Hian-song tak menghiraukan orang tua jenggot putih itu.  Ia berbisik kepada Siu-la m: “Eh, pak tua itu memang sakti. Mungkin aku tak menang, lebih baik jangan mene mpurnya!”

Karena tak dipedulikan, orang tua jenggot putih itu marah. Tetapi ia jeri terhadap si dara. Demikian  pun Su Bo-tun.  Ia  tak mau menyerang si dara lagi. Kedua pihak saling bersiap- siap tetapi tak berani mulai me nyerang dulu.

Tiba-tiba Siu- lam teringat bahwa goha tempat tinggal wanita berwajah buruk yang menawan sumoaynya itu, dapat mene mbus ke karang Coh-yang-ping. Ia duga  Su  Bo-tun tentu tahu jalan ke tempat goha rahasia tersebut. Tetapi baru ia hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba si ima m berambut merah sudah berbangkit dan mencabut pedangnya.

“Konon kabarnya Cit-jiau-soh itu mengge mparkan dunia persilatan. Tetapi sa mpai sekarang aku belum pernah menyaksikan sendiri. Maka sungguh beruntung sekali hari ini kita dapat menerima kedatangan seorang anak buah Beng- gak. Kita dapat membuktikan benar tidaknya kabar-kabar tentang kesaktian orang Beng-gak itu!” Ucapan orang itu membangkitkan ketegangan sekalian tetamu. Kedua laki-laki bertubuh tinggi besar, setelah saling berpandangan segera loncat menghadang di a mbang pintu. Si orang tua jenggot putih pun menyisih dua langkah ke samping dan menjaga di sebelah kiri. Si ima m jubah kelabu sa mbil menjinjing tongkatnya maju selangkah, tegak di tengah- tengah. Su Bo-tun juga mengisar langkah dan tegak  di sebelah kanan. Seketika mereka seperti me mbentuk sebuah lingkar kepungan kedua muda- mudi itu.

Hian-song kerutkan alis dan bertanya bisik- bisik kepada Siu-la m: “Apa hubungan jarum Chit-jiau-soh yang mereka katakan itu dengan kita berdua?”

Siu-la m menghela napas: “Mereka menganggap kita ini orang Beng-gak!”

Sambil me mbo lang-balingkan pedang untuk me lindungi diri, ima m rambut merah maju ke sa mping Siu-la m, serunya: “Chit- jiau-soh merupa kan tanda maut. Sungguh beruntung malam ini aku dapat berte mu dengan pembawa tanda maut itu. Apakah maksud kedatangan kalian ke mari?”

“Aku Pui Siu-la m dan ini sumoayku Tan Hian-song… ” “Banyak benar sumoay mu, huh!” cepat-cepat Su Bo-tun

sudah menukasnya.

Siu-la m tak menghiraukan ejekan tuan rumah.  Ia menjawab pertanyaan ima m rambut merah;  “Kedatangan kami ke Coh-yang-ping tak la in tak bukan hanya perlu hendak pinjam sebuah alat dapur pada Su lo-cianpwe dan sekalian hendak mohon tanya tentang dua buah hal. Aneh, mengapa tuan-tuan malah mengepung kami?”

Paderi jubah kelabu berseru: “Sebagai kaum beraga ma, aku tak pernah berdusta. Bukankah nona itu me mbawa jarum yang dianggap orang persilatan sebagai tanda pengenal maut?” “Benar, kau mau apa?” Hian-song melengking.

Orang tua jenggot putih yang sejak tadi diam, saat itupun me mbuka suara: “Kedatangan kalian ma lam ini ke Coh-yang- ping sini tentulah hendak menyampa ikan undangan supaya datang ke pesta Ciau-hun, bukan?”

Sebenarnya mendongkol sekali Siu-la m karena dituduh sebagai anak buah gerombolan Beng-gak.  Tetapi dia m-dia m ia gelisah karena me mang Hian-song menyimpan sebatang jarum Chit-jiau-soh yang kutung.

“O, jadi tuan-tuan tetap menuduh ka mi berdua ini orang Beng-gak?” serunya.

“Dengan mata kepala sendiri kulihat nona itu me mbawa kutungan jarum yang mir ip sekali dengan jarum Chit-jiau-soh. Dan itu berarti hendak me mbawa undangan Beng-gak kepada kami!” seru si paderi.

Hian-song seraya mengeluarkan kutungan jarum dari bajunya: “Inikah jarum yang kau ma ksudkan itu?”

Belasan mata menumpah ke arah telapak tangan si dara yang me megang sebuah benda berkilau- kilauan. Walaupun sudah mendengar namanya, tetapi sedikit sekali yang pernah me lihatnya. Kecuali si paderi jubah kelabu, sekalian orang sama melongok me mandang lekat-le kat. Ditimpa sinar pelita, kutungan jarum di telapak tangan si dara itu memancarkan sinar biru gelap.

Tiba-tiba si orang tua jenggot putih me me kik: “Tidak salah lagi, me mang itulah jarum Chit-jiau-soh…”

Su Bo-tun  mendengus  dingin:  “Baru  pertama  kali  aku me lihat, berikanlah benda itu padaku!”

Tetapi Hian-song cepat me masukkan jarum itu ke dalam bajunya lagi: “Perlu apa? Cukup kalau sudah melihat saja…” Su Bo-tun gusar: “Kau menghina aku.  Masakan aku sudi me miliki benda semaca m itu!”

“Tetapi ini peninggalan kakekku. Bagaimana dapat kuserahkan kepada mu, hm… ”

“Persetan dengan benda peninggalan siapa saja. Pokoknya aku hendak me meriksanya!” Su Bo-tun melangkah maju.

“Lo-cianpwe seorang tokoh yang ternama, masakan hendak mera mpas benda milik orang!” tiba-tiba Siu- lam menghantam tuan rumah.

“Hm, kau berani kurang ajar padaku!” tangan kanan Su Bo- tun menyambar siku lengan Siu-la m dengan gerak Kim-soh- pok-kau atau mengikat naga dengan tali e mas.

Me mang setelah gagal mengalahkan si dara, Su Bo-tun hendak tumpahkan ke marahannya kepada Siu-la m. Justeru saat itu ia mempunyai alasan untuk bertindak. Ia sekali gerak tentu dapat menguasai pemuda itu. Beberapa bulan yang lalu ia tahu jelas sa mpa i di mana kepandaian si anak muda.

Tetapi penilaiannya itu meleset jauh sekali. Tiba-tiba Siu- lam me mbalikkan sikunya. Pukulan Hud-san-ciang tiba-tiba diganti dengan menutukkan dua buah jarinya ke pergelangan tangan Su Bo-tun.

Bukan kepalang kaget Su Bo-tun menerima serangan yang tak diduga-duga itu. Ia menyurut mundur  dan  tertegun. Hanya dalam waktu tiga bulan sejak berpisah, kini tahu-tahu pemuda itu me miliki ilmu tutukan tingkat tinggi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar