Wanita iblis Jilid 07

Jilid 7

“KEK….!” Si dara menjerit kaget.

Kakek berjenggot perak itu merogo h keluar sebatang pisau kecil la lu dile mpar kan ke tanah.

Dengan wajah serius berkatalah dia, “Sudah  lama kusiapkan pisau kecil ini. Sebelum aku mati, jika jalan  darahmu Seng-si-hian-kwan belum terbuka, urat-urat Sau-im- sim-keng di lengan kirimu, akan kupotong agar kepandaianmu punah….”

Mendengar itu ngerilah Siu-la m. Ia ge metar dan mengucurkan keringat dingin. Pikirnya, “Kakek ini kejam sekali. Terhadap darah dagingnya sendiri, ia begitu dingin….”

Tiba-tiba kakek berjenggot perak itu menghela napas. Ujarnya, “Sejak kecil aku telah mendapat pelajaran ilmu pengobatan dari suhuku. Aku paham sekali akan letak jalan darah tubuh manusia. Andaikata sampai salah, paling-paling kau hanya kehilangan sebuah lengan. Kejam tampaknya tetapi demi untuk kebahagiaan hidupmu, Song-ji!”

Dia m-dia m Siu-la m mengakui kebenaran ucapan kakek itu. Me mang lebih bahagia bagi seorang anak pere mpuan jika tak mengerti ilmu silat. Dia menikah, menjadi isteri dan ibu yang merawat rumah tangga dan anak-anak.

Berkata si kakek lebih lanjut, “Ketahuilah, kepandaianmu sekarang ini tak se mbarangan tokoh persilatan ma mpu menandingi. Jika  aku mat i dan kau berkelana di dunia persilatan, tentu akan bertempur dengan orang. Dan sekali bertempur, orang  tentu  akan  mengetahui  sumber  ilmu  silat mu. Lalu menyelidiki asal-usulmu. Pada waktu itulah….” tiba-tiba kakek itu hentikan bicara dan me mandang wajah si dara.

Si dara tertawa rawan, “Apakah kakek menguatirkan musuh- musuhmu akan melakukan pe mba lasan kepadaku?”

“Benar! Jika tahu asal-usulmu, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapmu. Dan sekali kau sa mpai jatuh ke tangan mereka, kau tentu akan merasakan derita siksaan yang paling ngeri di dunia….” si kakek berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Siksaan itu benar-benar tak terperikan sakitnya. Song-ji, menghadapi saat-saat seperti itu, sekalipun kau ingin  mati juga tak bisa!”

Kakek dan cucu itu bicara asyik, Siu- lam tak dihiraukan sama sekali. Ta mpa k si dara merenung dia m. Bukan karena ngeri   mendengar   kata-kata   kakeknya.   Tetapi    sedang me mpertimbangkan sesuatu hal penting.

Beberapa saat kemudian si kakek melanjutkan  lagi, “Merekapun berusaha mencari aku, tetapi sa mpai begitu juga tak berhasil. Tetapi mereka tetap belum puas. Bulan yang lalu, kedua orang yang kau totok jalan darahnya dalam warung itu, setelah kuperiksa mereka mengaku me ma ng orang Beng-gak. Karena itu maka segera kututup warung dan kuajak aku pindah ke mari. Ah, di tengah perjalanan kudengar lagi tentang tersiarnya peta Telaga Darah. Serentak kurobah rencana dan menuju ke gunung Kiu- kiong-san. Tetapi tak kunyana, karena perjalanan itulah maka penyakit la maku ka mbuh lagi….” ia berhenti terbatuk-batuk.

Si dara mengelus-elus punggung kakeknya. Setelah kakek itu berhenti batuk, bertanyalah dara itu, “Kakek pandai sekali ilmu obat-obatan. Masakan tak dapat mengobati penyakit mu sendiri?”

Kakek itu gelengkan kepala! “Ah, memang dalam ilmu pengobatan, tiada yang mampu menandingi aku. Jika tidak, tentu aku sudah mati sepuluh tahun yang lalu!”

Dia m-dia m Siu- lam terkejut. Dalam dunia persilatan hanya tabib Gan Leng-po yang termasyhur pandai. Mengapa kakek itu me mbanggakan dirinya tiada tandingan?

Mendengar ucapan si kakek, menangis lah si dara, “Kalau begitu penyakit kakek tiada obatnya lagi?”

“Untuk menyembuhkan lukaku, hanya kecuali jika kakek gurumu Lo Hian muncul di gunung sini lagi!”

Siu-la m terbelalak. Jika kakek itu mengatakan si dara sebagai cucu- murid dari orang sakti Lo Hian, tentulah kakek itu adalah murid dari Lo Hian.

“Tetapi kakek-gurumu Lo Hian sudah la ma meningga lkan dunia fana ini. Nak,  jangan me mimpikan hal yang tak mungkin!”

Tiba-tiba wajah si dara mengerut gelap, serunya, “Karena ternyata luka kakek tak mungkin dise mbuhkan lagi, aku tak ingin hidup sebatang kara di dunia. Selesai mengubur jenazah kakek, segera aku pun hendak menghabiskan jiwaku di hadapan ma kammu!”

Si kakek terkesiap. Sesaat ke mudian ia marah, “Dengan susah payah kurawat kau sampai dewasa. Aku mewajibkan diri sebagai ganti orang tuamu. Belasan tahun aku  rela mender ita siksaan sakit dari ja lan darahku yang bergolak- golak sehingga seluruh tenaga murni dalam tubuhku habis. Kuhabiskan  tenagaku  untuk  mencar i   daun   obat   untuk me mperpanjang jiwaku. Apakah guna kesemuanya itu? Tak kira sekarang setelah kau besar, ternyata begitu ringan  kau  me mandang jiwa mu. Jika dulu tahu begitu, tak perlu kualami penderitaan sekian la ma!”

Mendengar dampratan itu, menangis lah si dara. Serunya terisak-isak, “Jika kakek tak me nghendaki aku menyusul kau ke akhirat, apakah kakek hendak me mbiarkan aku seorang dara berkeliaran di dunia persilatan seorang diri?”

Kakek jenggot putih itu menghela napas pelahan, “Aku  telah berusaha sekuat-kuatnya untuk mencari obat. Selama ini me mang aku berhasil mengumpulkan ra muan obat yang tak ternilai mutunya. Dan kini aku kehabisan darah dan tenaga murni….” ia berhenti terbatuk-batuk lalu berkata pula, “Sekarang tak dapat kuketahui sa mpai berapa la ma lagi dapat kupertahankan hidupku. Tetapi akan kugunakan waktu itu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan harapanku me mbuka jalan darah Seng-si-hian-kwan tubuhmu. Dalam ilmu pedang, kau sudah mendapat tujuh delapan bagian dari pelajaranku. Asal kau giat berlatih tentu akan mencapai kese mpurnaan. Pada saat aku menghembus kan napas terakhir, jika jalan darahmu Seng-s i-hian- kwat tak dapat  terbuka,  kau  harus me motong sebelah urat nadimu. Dan sejak itu janganlah kau bicara soal ilmu silat lagi!”

Perlahan-lahan mata si dara tertumpah pada pisau kecil di atas tanah. Butir-butir air mata  mencucur dari matanya. Beberapa saat kemudian barulah ia kerutkan gigi dan berseru dengan nada keras, “Karena kakek sudah menetapkan sudah tentu Song-ji tak berani me langgar. Aku akan berusaha keras agar harapan kakek terlaksana!” habis berkata ia  segera duduk bersila pejamkan mata. Kemudian si kakek me mandang pada Siu- la m, tegurnya, “Anak mur id siapakah kau?”

“Wanpwe adalah anak murid dari Ciu Pwe lo-enghiong,” sahut Siu-la m.

Kata si kakek, “Kau dapat berjumpa dengan aku tanpa kita berjodoh. Aku hendak minta tolong sebuah hal pada mu, apakah kau suka me luluskannya?”

Karena teringat akan kesela matan sumoaynya, Siu-la m agak meragu. Tetapi akhirnya ia me nerima juga.

Sepasang alis kakek  itu  berjungkat  ke  atas.  Wajahnya me mancarkan sinar ke marahan. Tetapi pada lain saat ia tenang kembali, ujarnya, “Setiap hari aku harus menggunakan sisa tenaga murniku me lawan derita kesakitan dari jalan darahku. Dalam keadaan seperti saat  itu  aku  tak  berdaya me lawan serangan siapapun juga….”

“Apakah lo-cianpwe menghendaki aku supaya melindungi nona Tan?” seru Siu-la m.

Tiba-tiba wajah kakek itu merah, serunya, “Seumur hidup aku tak pernah minta tolong pada orang. Jika kau meluluskan hal itu, tentu kau takkan kecewa. Pada saat semangatku sadar, akan kuberimu ber maca m ilmu silat. Hal itu akan kulangsungkan sa mpai jalan darah Seng-si-hian-kwan Song-ji sudah terbuka atau napas sudah berhenti.”

Dia m-dia m Siu-la m girang. Ya, cukup dengan satu dua maca m ilmu saja, tentulah ia akan me miliki kesaktian yang mengge mpar kan. Tetapi pada lain saat ia teringat akan keselamatan sumoaynya. Buru-buru ia hendak menolak permintaan si kakek, tetapi pada lain kilas ia teringat akan pernyataan kakek itu tadi. “Ah, bahwa dia bakal  tak  lama hidup di dunia tentulah tidak bohong! Wanita berwajah seram itu me mber i batas waktu sampai tiga bulan. Rasanya sekarang masih ada waktu. Ah, lebih baik kuterima per mintaan kakek  ini. Menilik kepandaian si dara itu, apabila aku dapat me mpero leh kepandaian kakeknya tentulah ber manfaat sekali buat melaksana kan tujuanku me mba las sakit  hati kedua guruku….”

Akhirnya ia berkata kepada si kakek, “Aku merasa berhutang budi kepada nona Tan.  Sudah  tentu  aku  wajib me mba lasnya. Tetapi sayang aku me mpunyai janji dengan orang lain sehingga tak dapat la ma-la ma tinggal di sini. Jika dalam setengah bulan nona Tan tak dapat terbuka Seng-si- hian-kwannya, akupun terpaksa akan tinggalkan tempat ini.”

Kakek jenggot putih menghela napas, “Mungkin sukar aku bertahan diri sampai setengah bulan. Jika dalam setengah bulan itu dia tak berhasil me mbuka Seng-si- hian-kwannya, biarlah dia me motong urat nadinya dan melenyapkan seluruh ilmu kepandaiannya….” ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Senjata apakah yang biasa kau gunakan?”

“Pedang!” sahut Siu-la m.

Si kakek me mungut sebatang ranting pohon siong yang panjang, serunya, “Lebih dulu hendak kuajarkan sebuah ilmu pedang. Hanya karena tenaga murniku sudah ha mpir habis maka sukarlah kuberi penjelasan. Kau harus memperhatikan sendiri!” habis berkata segera ia gerak-gerakkan batang ranting itu. Sambil me mber i keterangan sambil me ma inkan gerakannya.

Siu-la m mencurahkan seluruh perhatiannya dan menirukan gerakan si kakek. Pada permulaan ia mas ih belum mengetahui betapa tinggi keindahan ilmu pedang itu.

Dua belas jurus ke mudian, si kakek berhenti, ujarnya, “Ilmu pedang  ini, boleh  dikatakan  sudah   selesai.   Kau   harus me mpe lajarinya sendiri. Jika ada yang kurang jelas, boleh kau tanyakan padaku.” Habis berkata si kakek lalu pejamkan mata dan  me lakukan  penyaluran  napas.  Rupanya  ia  harus menga la mi penderitaan yang hebat akibat kehabisan tenaga. Makin yakin Siu-la m bahwa orang tua itu orang sakti, makin tumbuhlah rasa kagum dan perindahannya. Tetapi dia m-dia m iapun kasihan melihat bagaimana penderitaan orang tua itu untuk mengge mbleng cucunya. Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran orang tua itu tadi. Buru-buru ia me mungut batang pohon dan segera berlatih. Tetapi makin la ma ia ma kin bingung. Beberapa kali ia terpaksa berhenti. Pikirnya hendak bertanya pada orang tua itu. Tetapi ketika mena mpak wajahnya, keinginan itupun reda.

Saat itu si kakek sedang mandi keringat. Keringat bercucuran jelas dari kepala membasahi mukanya. Jelas ia sedang berjuang mati- matian untuk menahan derita sakit urat nadinya. Terpaksa Siu- lam tak ma u mengganggunya.

Berpaling arah, dilihatnya si dara masih tetap duduk bersemedhi dengan wajah serius. Kepalanya menengadah ke muka dan dari ubun-ubun kepalanya menguap asap. Diam- diam Siu- lam kagum. Seorang dara yang baru belasan tahun umurnya ternyata sudah me miliki ilmu lwekang yang sedemikian hebatnya.

Tiba-tiba Siu- lam gelagapan. Ia teringat akan tugas yang dihadapinya itu. Bukankah tadi ia sudah menyanggupi diri untuk me lindungi. Pada saat seperti itu, apabila ada musuh datang, tentu celakalah kedua kakek dan cucu itu. Segera ia me langkah ke pintu goha.

Langit berkabut awan tebal dan angin menderu-deru. Beberapa saat kemudian tiba-tiba cuaca berubah tenang. Puncak gunung yang putih tertutup salju, tampak menonjol jelas.

Sekonyong-konyong di antara angin puyuh, terdengar teriakan nyaring, “Kau mau bilang tidak?”

Siu-la m terkejut. Ia tak asing dengan suara itu. Berpaling arah, dari mulut le mbah muncul dua orang le laki. Orang yang di muka kedua tangannya diringkus ke belakang. Dan di belakang seorang tua rambutnya terurai, memegang sebatang tongkat bambu, tak henti-hentinya mendorong orang di muka itu supaya lekas berjalan. Ah, orang tua berambut kusut itu bukan la in dari Ti-ki-cu Gan Leng-po! Dan yang tak henti- hentinya didorong itu bukan lain ialah kepala golongan hitam daerah Kanglam Wan Kiu-gui.

Kedua tangan Wan Kiu-gui diikat ke belakang. Sa mbil tangan kiri me megang ujung tali, tangan kanan Gan Leng-po yang mencekal tongkat, tak henti-hentinya menggebuki Wan Kiu-gui.

Dia m-dia m Siu-la m geli, “Ah, tak nyana seorang pemimpin penyamun yang termasyhur, telah ditawan dan digusur sedemikian rupa. Apabila  diketahui  anak  buahnya,  betapa ma lunya!”

Tiba-tiba Siu-la m terkesiap. Gan Leng-po seorang tabib sakti. Siapa tahu ia mungkin dapat mengobati luka  kakek dalam goha ini. Baru ia hendak meneriaki, tiba-tiba Wan Kiu- gui berhenti dan me mandang ke atas. Buru-buru Siu-la m menyurut ke dalam goha.

Kedengaran Wan Kiu-gui berkata, “Aku benar-benar tak tahu di mana beradanya peta Telaga Darah itu. Kalau tak percaya, apa yang dapat kulakukan?”

Gan Leng-po marah, “Masakan aku Gan Leng-po kena kau kelabui? Tak mau mengatakan peta Telaga Darah jangan harap kau bisa hidup!”

“Masakan aku takut mati? Mau bunuh, bunuhlah! Tetapi kalau mau menghina secara begini, jangan marah  kalau kumaki- maki!”

“Asal kau dapat membawa aku ke tempat peta itu tentu segera kulepaskan. Kau bebas pergi ke mana saja, aku tak perduli lagi!” Gan Leng-po tetap mengoceh peta Telaga Darah saja. “Kau sudah me mberi pertolongan mengobati lukaku. Tetapi juga tak sedikit hinaan yang kau timpakan kepadaku. Budi dan dendam saling bertentangan. Jika aku me mbunuhmu, bukankah aku me mbalas budi dengan kejahatan!”

“Jangan banyak bicara, lekas bawa aku ke te mpat peta itu!” bentak Gan Leng-po.

Wan Kiu-gui tertawa dingin, “Walaupun aku tahu tempat  itu, tetapi aku kuatir kau tak berani me mintanya.”

“Siapa bilang!” teriak si tabib.

Siu-la m terkejut. Dalam keadaan seperti orang gila itu, Gan Leng-po tentu berani melakukan apa saja. Jika Wan Kiu-gui bermaksud hendak mencela kai dirinya (Siu- la m), tentu mudah sekali. Bagaimana dengan keselamatan kakek  dan  cucunya ini? Ah, kakek ini telah me lepas budi  kepadaku,  aku  harus me lindungi mati- matian….”

Terdengar Wan Kiu-gui berkata, “Tempat peta itu jauh sekali. Mendaki puncak ini, kita dapat menghe mat waktu ke sana!”

Siu-la m ma kin kaget. Jika mereka naik ke puncak, tentulah mengetahui goha di situ. Jelas kedua tokoh itu jauh lebih sakti dari dirinya. Siu-la m makin gelisah.

Tetapi agaknya Gan Leng-po tak mudah dikelabuhi. Serunya, “Mana bisa, puncak ini melanda i. Untuk menda ki tentu ikatan tanganmu harus dibuka dulu. Lebih baik  kita ambil jalan lain!”

Kedua orang itu segera melangkah pergi. Siu-la m menghela napas longgar. Ia duduk ter menung- menung menjaga di muka pintu goha. Entah beberapa lama ke mudian, tiba-tiba kedengaran si kakek jenggot putih berseru, “Apakah kau sudah mengerti ilmu pedang yang kuajarkan tadi?”

“Ilmu pedang yang lo-cianpwe ajarkan, luar biasa indahnya.

Setelah berlatih beberapa jurus aku bingung!” Kakek itu tersenyum, “Tak dapat menyalahkan kau. Kedua belas jurus ilmu itu, me mang merupakan kumpulan dari ilmu pedang di dunia persilatan. Sudah tentu dalam waktu singkat kau tak mungkin dapat me maha mi perobahannnya. Tetapi asal kau ingat baik gerakan kedua belas jurus itu dan terus berlatih giat, ilmu pedang itu tentu akan dapat kau pahami. Tentang inti keindahannya, lama kela maan kau tentu dapat menyela mi sendiri…” tiba-tiba ia berhenti dan berpaling  ke arah cucunya. Wajahnya tampak berseri girang.

Siu-la m heran mengapa kakek itu t iba-tiba begitu ge mbira. Tiba-tiba ia dapat menangkap bunyi desir halus. Wajah si dara tampak merah dan tubuhnya menggigil. Rupanya ia tengah menahan penderitaan hebat.

“Huak….!” tiba-tiba mulut dara itu menguak keras dan rubuhlah ia terjerembab ke belakang.

Siu-la m terkejut dan cepat-cepat lompat hendak menolo ng.

Tetapi si kakek mencegahnya, “Jangan sentuh dia!”

Tangan Siu-la m yang sudah menyentuh pakaian si dara terpaksa ditarik lagi dan ia mundur ke  belakang. Dipandangnya kakek itu dengan kesima.

“Dia sedang me ngumpulkan seluruh hawa murni dalam tubuhnya untuk menyelesaikan  usahanya  yang  terakhir, mene mbus jalan darah Seng-si-hian- kwan. Jika kau sembarangan menggoyangnya jalan darahnya akan binal dan mungkin dia akan menjadi Co-hwat-jip- mo!”

Siu-la m terkejut. Co-hwat-jip-mo artinya akan gusar dalam keadaan yang kacau. Atau jalan darah itu akan me mbinal tak karuan jalannya. Kalau t idak rusak tubuhnya tentu dia akan menjadi seperti orang gila….

Kira-kira sepeminum teh la manya dalam keadaan tubuh telentang dengan kedua kaki masih bersila, dara itu tiba-tiba mengura i kakinya lalu bergeliat bangun. “Usahamu ha mpir berhasil. Mungkin dalam waktu setengah bulan lagi kau tentu sudah me menuhi apa yang kuharapkan!” si kakek tertawa riang.

Dara itu gelengkan kepala, “Ah, janganlah kakek menaruh harapan terlalu besar kepadaku. Setengah bulan cukup lama, mungkin terjadi perubahan yang mengecewakan!” Habis berkata si dara lalu mengha mpir i sudut goha dan menyalakan api menanak nasi. Tak beberapa la ma mereka segera bersantap. Meskipun hanya dengan sayur-mayur sederhana, tetapi ternyata dara itu pandai me masak. Dan karena sehari semala m tak ma kan, Siu-la m dapat menghabis kan e mpat mangkok nasi.

Selesai makan, si dara ke mba li duduk berse medhi. Sedang si kakek mulai  mengajar kan ilmu pukulan baru kepada  Siu-  la m.

Waktu berjalan cepat sekali. Tak terasa sudah sepuluh hari mereka tinggal di goha. Si kakek sibuk menur unkan pelajaran kepada Siu- lam dan si dara giat berse medhi menyalur kan jalan darahnya. Bagi Siu-la m, apa yang diterima sela ma itu benar- benar tak ternilai. Pelajaran dari  si  kakek  itu  boleh  dikata me liputi seluruh ilmu silat yang terdapat di dunia persilatan. Dia m-dia m tak mengerti mengapa sede mikian giat si kakek me mber i pelajaran kepadanya.  Apakah  kakek  itu  hendak me mperguna kan hidupnya yang tinggal sedikit itu untuk menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Siu-la m agar ilmu kepandaian itu jangan turut lenyap terkubur di tanah….?

Pada hari yang kee mpat belas tiba-tiba  kakek  itu merangka k bangun dan mengha mpir i goha. Ia me longok keluar. Saat itu mala m hari. Langit penuh bertabur bintang. Salju menyelimut i lereng gunung. Sambil mengurut-urut jenggot, kakek itu menghela napas.

“Ah, tak kira sinar bulan yang terakhir, tak dapat kunikmati….” katanya seorang diri dengan nada penuh haru. Siu-la m hendak menghibur tetapi tak tahu bagaimana harus mengatakan. Hanya sepatah kata yang dapat  ia serukan, “Lo-cianpwe….”

Kakek jenggot putih berpaling, “Ke marilah!” serunya berbisik.

Buru-buru Siu-la m mengha mpiri, “Apakah yang lo-cianpwe hendak pesankan?”

Kakek berjenggot putih itu tertawa hambar, “Seumur hidup aku belum pernah begini ra mah terhadap orang….” Ia berpaling ke arah si dara yang masih duduk bersemedhi. “Kecuali terhadap Song-ji seorang!”

“Tetapi lo-cianpwe telah me mperlakukan sebagai orang tua dan melepas budi yang besar sekali….”

“Ah, mungkin iut tanda-tanda dari  keberangkatanku  ke alam baka…” kata si kakek, “Jika meninggal, kuburkanlah aku di puncak gunung itu!”

Menurut arah yang ditunjuk si kakek, Siu-la m me lihat sebuah puncak yang menjulang t inggi  menyusup awan. Tempat yang bersuasana sunyi ha mpa, terpisah dari dunia ramai. Tak terasa bercucuran air mata Siu- la m.

“Hm, anak yang berguna, perlu apa menangis. Dahulu aku mender ita luka parah, sekujur tubuhku tertabur luka. Sehari semala m terbujur di atas tanah salju, tetap aku tak mengerang sepatahpun juga. Tak sebutir air mata mengucur dari mataku….”

“Lo-cianpwe seorang manusia luar biasa, sudah tentu wanpwe tak mungkin menya mai!”

Si kakek tersenyum, “Pintar sekali kau me ma ki. Mengapa tak me maki saja sebagai seorang yang berwajah besi berhati dingin….” Tiba-tiba kakek itu mengerut wajah. Dengan nada serius berkatalah ia, “Besok siang sudah penuhlah hari perjanjian kita. Aku harus mengerahkan sisa tenagaku untuk me mbantu me ne mbus ja lan darah Seng-si- hian-kwan Song- ji….”

“Dalam hal ini harap lo-cianpwe jangan….”

“Dalam   setengah   bulan   ini   Song-ji   telah   mencapai ke majuan pesat sekali. Paling-paling aku hanya me mbantunya me mber i penuntun. Mungkin akan menghabis kan tenaga murniku dan akupun segera mati. Berlakulah tenang,  setelah ia sadar….” Ia mengeluarkan  sebuah kantong kim-piau (kantong dari sutera emas), “Kim-tay ini untuk se mentara kau bawalah. Setelah ia sadar, kasihkanlah kepadanya. Jika  ia masih belum berhasil terbuka Seng-s i-hian- kwannya, bakarlah kantong ini….”

Cepat-cepat Siu-lam me nerima kantong itu dan disimpannya. Kakek itu menghela napas pula, “Ke mungkinan aku tentu sudah meninggal sebelum Song-ji tersadar. Jangan kau gelisah dan me ngganggu perse medhiannya….”

Dengan khidmat Siu-la m mengiakan.

Kakek itu merenung dia m. Beberapa lama kemudian baru ia berkata kepada Siu- lam pula, “Seumur hidup aku tak suka menerima pertolongan orang. Aku  hendak  menukarkan sebuah ilmu pedang dan sejurus ilmu pukulan kepada mu. Dan kau harus mengerja kan sebuah hal untukku.”

“Mengapa lo-cianpwe berkata begitu? Apa yang lo-cianpwe pesan, tentu akan kukerjakan. Tak perlu harus tukar- menukar….”

Si kakek me nukas kata-kata Siu-la m dengan nada dingin, “Setiap saat aku bisa mati sekarang ini. Tiada te mpo banyak bicara dengan kau. Kau mau melulus kan atau tidak, lekas bilang!”

“Tentu wanpwe bersedia mener ima,” tersipu-sipu Siu- lam menyahut. Si kakek menjumput batang pohon siong lagi, katanya, “Jurus ilmu pedang ini disebut Kiu-toh-coa-hoa. Merupakan ilmu pedang yang paling ajaib sejak ja man dulu. Meskipun bukan ciptaanku sendiri tetapi dalam dunia persilatan tiada orang kedua yang dapat  memainkan pedang itu kecuali  aku….”

Ia berhenti untuk memulangkan napas. Katanya pula, “Sayang aku terlambat mengetahui ilmu pedang ini. Maka selama bertempur dengan musuh, belum pernah aku menggunakannya. Tentang jurus ilmu pukulan itu, meskipun tak sehebat ilmu pedang tadi, tetapi dapat merupakan imbangan untuk menundukkan lawan. Di kolong jagad, tak mungkin terdapat orang yang mampu lolos dari serangan ilmu pedang dan  ilmu pukulan  itu.  Satu-satunya  orang  yang  ma mpu hanyalah guruku Lo Hian!”

Dia m-dia m Siu- lam heran mendengar ucapan kakek itu. Batinnya agak tak percaya, “Betapapun luar biasa ilmu pukulan dan ilmu pedang itu, tetapi masakan di dunia t iada terdapat orang yang ma mpu me nghindari!”

Si kakek julurkan batang pohon siong ke muka, “Lihatlah! Sekali jurus ini bergerak, semua berjumlah delapan buah perobahan. Kau harus ingat baik-baik akan perobahan itu. Kurang satu saja, kehebatannya akan berkurang!”

Batang pohon lurus ke muka dan siku lengan si kakek itu agak bergoyang-goyang. Seketika batang pohon itu bergerak- gerak menjadi sebuah lingkarang kecil.

Dengan penuh perhatian, Siu-la m mengikuti pelajaran itu. Ah, memang benar banyak sekali perobahannya.  Dan karena si kakek me la mbatkan gerakannya, maka mudahlah Siu-la m me lihatnya.

Sambil me mberi pelajaran, si kakek pun me mberi penjelasan seperlunya. Tiba-tiba Siu- lam menyadari bahwa apa yang dibanggakan si kakek itu me mang nyata. Ilmu pedang itu benar-benar luar biasa hebatnya. Seketika ia curahkan seluruh se mangat dan perhatian untuk mencatat di dalam hati.

Selesai me mberi pelajaran tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan muntah darah. Bukan main terkejutnya Siu- la m. Buru- buru ia mengelus punggung si kakek.

“Apa kau dapat mengingat perobahan ilmu pedang tadi?” tanya si kakek.

Melihat keadaan si kakek, kasihanlah Siu-la m.

Kalau mengatakan belum dapat mengingat seluruhnya, si kakek tentu akan mengulang. Dan ini berarti menyiksanya. Maka terpaksa ia menyahut kalau sudah mengerti.

Saat itu pikiran si kakek sudah tak tenang lagi. Iapun menerima saja keterangan anak muda itu, serunya, “Bagus, sekarang sudah kuajarkan pada mu sebuah ilmu pukulan yang disebut Hud-hwat-bu-pian (ilmu pelajaran Budha tiada batasnya).”

Sambil me mbuat gerakan-gerakan, si kakek menerangkan, “Ilmu pukulan ini me mpunyai tiga buah perobahan, sesuai dengan unsur Langit, Bumi dan manusia. Sedang ilmu pedang Kiau-to-co-hoa sesuai dengan unsur Pat-kwa (delapan unsur dunia). Berbeda namun saling mengisi satu sama  lain. Sekalipun agak kalah hebat dengan ilmu pedang Kiau-to-co- hoa, tetapi tak mungkin orang dapat menghindari pukulan Hud-hwat-bu-pian ini!”

Untuk ilmu pukulan ini, Siu-la m benar-benar curahkan seluruh perhatiannya. Dan tampaknya kakek itupun bersemangat sekali mengajarkannya. Maka tak heran kalau Siu-la m mengerti sepenuhnya pelajaran ilmu pukulan itu. Tetapi karena letih, ke mbali si kakek muntah darah lagi!

Setelah beberapa saat pejamkan mata, kakek itu bergeliat bangun, ujarnya, “Kini aku telah menurunkan dua maca m ilmu pukulan dan ilmu pedang yang tak terdapat di dunia persilatan. Kini aku hendak minta kau mela kukan sebuah hal untukku. Tetapi  kau  harus  bersumpah  lebih  dulu  untuk  me laksanakan sa mpai selesai.”

Siu-la m terkejut heran, pikirnya, “Mengapa aku harus bersumpah? Urusan apakah yang sedemikian pentingnya?”

“Apakah   lo-cianpwe   anggap   wanpwe   tentu    dapat me lakukannya?” tanyanya bersangsi.

“Kau ma mpu me lakukannya. Yang dikuatirkan kau tak mau me lakukannya!” jawab si orang tua.

Siu-la m me njawab serentak, “Asal wanpwe dapat, walaupun menerjang ke dalam lautan api, wanpwe pasti akan me laksanakan untuk lo-cianpwe!”

“Ah, mudah sekali. Dengan sisa tenagaku, akan kubantu Song-ji  untuk   me mbuka  Song-s i-hian- kwannya.   Dalam me lakukan itu, aku pasti akan mati. Adakah Song-ji nanti berhasil terbuka Song-si-hian-kwannya atau tidak, sukar kukatakan. Kuperhitungkan, besok sebelum tengah hari, dia pasti sudah sadar. Apabila Song-s i-hian- kwannya belum terbuka, dia tentu letih sekali….” si kakek berhenti. Tiba-tiba ia berganti dengan nada bengis, “Apabila saat itu ia belum terbuka Song-si-hian- kwannya, kau harus segera menotok jalan darah Si-hiat (ke matian).  Lalu timbunilah goha ini dengan kayu kering dan bakarlah mayatku dan mayatnya….”

“Hai!” Siu- lam me njerit kaget.

“Kau sudah bersumpah. Jika ingkar, kau akan menerima akibat dari sumpahmu itu….” si kakek me mperingatkan. Kemudian ia me nghela napas, ujarnya, “Rencanaku ini de mi untuk kepentingannya. Lakukan saja apa yang kukatakan tadi!”

Kakek itu segera terhuyung-huyung mengha mpir i si dara. Ia duduk bersila di belakang tubuh dara itu. Dengan pejamkan mata, mulailah si kakek ulurkan tangan kanannya mele kat pada punggung si dara. Beberapa saat ke mudian ta mpak wajah si kakek yang pucat itu berobah merah  segar. Kepalanya menguap asap dan keringat me mbanjir turun.

Sementara si dara yang duduk bersila, saat itu bahkan tampak tenang sekali. Suasana dalam goha hening sekali. Siu- lam tak berkesiap me ma ndang kedua kakek dan cucu dengan hati yang gundah. Ia terharu sekali menyaksikan pemandangan yang begitu mengharukan sekali.

Karena semangat dan tenaganya letih sekali mengikuti pelajaran yang diberikan si kakek tadi, tak terasa tertidurlah ia. Ketika terbangun ternyata matahari sudah menerangi luar goha. Tampak si dara masih duduk bersila. Ia menghela napas lega lalu berjalan ke pintu goha untuk menghirup hawa segar. Tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan orang menyebut  peta Telaga Darah. Celaka, tabib Gan Leng-po itu sakti sekali. Dalam keadaan tak waras seperti dia sekarang, apabila sa mpai masuk ke dalam goha itu, si dara tentu bakal terganggu. Sekali persemedhian dara itu terganggu, tak dapat tidak pasti si dara akan terdampar dalam kondisi Co-hwe-jip- mo. Dara itu pasti cacad atau mungkin mati.

Siu-la m   mengucur kan   keringat   dingin.   Akhirnya   ia me mungut sebatang dahan pohon siong yang agak panjang dan mengumpat di balik pintu goha. Ia me mutuskan, de mi untuk melindungi kesela matan kakek dan cucunya itu, ia terpaksa harus menyerang Gan Leng-po.

Tetapi ketegangan hatinya hanya beberapa kejab. Teriakan tabib yang gila itu makin la ma ma kin jauh. Rupanya tabib itu lari menuju ke tengah le mbah. Siu-la m menghela napas longgar.

Berpaling ke belakang dilihatnya bibir dara itu ge metar dan dada berkembang ke mpis, napas terengah-engah. Kepala dan mukanya basah kuyup dengan cucuran keringat. Saking kagetnya, Siu-lam cepat lari mengha mpir i. Segera ia hendak menja mah tetapi tiba-tiba teringatlah ia akan pesan si kakek. Buru-buru ia menar ik ke mbali tangannya.

Tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa dingin, “Jangan mengganggunya!”

Siu-la m berpaling kaget. Ah, kiranya di dalam goha telah bertambah seorang tua berjubah biru. Wajahnya me mbesi, mengenakan kain pe mbungkus kepala berbentuk persegi.

Siu-la m terkejut. Tak tahu ia bila dan bagaimana orang tua itu masuk. Diha mpirinya orang itu dan disapanya, “Siapakah yang lo-cianpwe hendak cari?”

Sepasang mata orang tua berjubah biru  itu berkilat-kilat  me mancarkan api. Dipandangnya sekeliling goha lalu menyahut dingin, “Kalian bertiga bukan orang yang hendak kucari!” t iba-tiba ia berputar tubuh terus me langkah keluar.

Siu-la m diam saja. Baginya lebih baik kalau orang itu pergi agar terhindar dari gangguan. Di luar dugaan, baru dua langkah orang itu berjalan, tiba-tiba ia berbalik diri lagi, serunya, “Pernahkan kau berjumpa dengan dua orang pe muda yang bersenjata poan-koan-pit?”

“Mereka lebih kurang berumur tujuh belas tahun?” seru Siu-la m.

“Benar, benar! Di mana kah mereka sekarang?” orang tua berjubah biru itu berseru girang.

“Setengah bulan yang lalu aku memang pernah melihat mereka tetapi di ma nakah mereka sekarang tak tahulah aku!”

Rupanya orang tua berjubah biru tidak begitu percaya atas keterangan Siu-la m. Masih ia mendesaknya, “Mereka hanya dua orang atau dengan orang lain lagi?”

“Mereka berombongan. Di antaranya terdapat seorang tua berjenggot panjang yang me mbekal golok besar….” “Tentulah si Golok Besar Lo Kun!” seru orang tua berjubah biru itu.

“Entahlah, aku tak tahu namanya. Selain itu masih terdapat beberapa paderi lagi,” kata Siu- la m.

“Mereka tentu Thian  Hong totian dan murid- muridnya.

Rupanya keteranganmu ini me mang tak bohong!” “Me mang aku tak suka bohong.”

Orang tua berjubah biru itu berputar diri me langkah ke mulut goha. Diam-dia m Siu-la m menghela napas lega. Ketika ia hendak berpaling melihat keadaan si dara, tiba-tiba orang tua jubah biru itu melesat ke dalam goha lagi. Kedua matanya me mandang berkilat-kilat pada orang tua jenggot putih yang berada di belakang si dara yang tengah duduk bersila.

“Siapakah na ma mu?” tegurnya. “Pui Siu- la m!”

“Apakah orang tua yang berada di belakang si dara itu

gurumu?”

Siu-la m mengakui bahwa orang tua jenggot putih itu telah menurunkan ber maca m ilmu kesaktian kepadanya. Kakek itu dapat dianggap menjadi gurunya. Tetapi jika ia mengakuinya sebagai guru, tentulah si orang tua berjubah biru ini akan bertanya panjang lebar. Setelah berpikir sejenak, menyahutlah ia, “Aku juga baru saja bertemu dengan mereka dalam goha ini!”

“O, kiranya begitu?” orang tua jubah biru mengerutkan alis setengah tak percaya. Ia me langkah ma ju.

Bukan kepalang kejut Siu- la m. Cepat ia menghadang, “Lo- cianpwe mau apa? Mereka sedang menyalurkan tenaga dala m, harap jangan diganggu!”

Orang tua jubah biru itu tertawa dingin, “Menyingkirlah!” ia menyiak dengan tangan kiri. Siu-la m cepat menarik lengan kiri, secepat kilat tangan kanan mena mpar pergelangan tangan orang tua itu. Dalam gugupnya, tak sengaja, Siu-la m gunakan ilmu pena mpar jalan darah yang diajarkan si kakek jenggot putih kepadanya. Orang tua jubah biru itu terkejut dan loncat mundur….

Mulutnya mendesis perlahan. Ditatapnya Siu-la m taja m- tajam. Tiba-tiba ia menengadah muka tertawa gelak-gelak,  “Aku Kat Thian-beng sudah dua puluh tahun tak keluar dunia persilatan. Tak kira di kalangan anak muda juga timbul jago- jago lihay. Ingin aku bermain- ma in barang beberapa jurus denganmu!”

Mendengar   itu    gelisahlah    Siu-la m.    Buru-buru    ia  me mbungkuk me mberi hor mat, “Sama sekali aku tak bermaksud hendak mengajak lo-cianpwe berkelahi!”

Tiba-tiba Kat Thian-beng berseru nyaring, “Katakan terus terang, siapa kakek itu sebenarnya?”

Sahut Siu-la m, “Tetapi benar-benar aku tak tahu na manya.

Harap lo-cianpwe maafkan!”

Kat Thian-beng mendengus dingin, “Aku ini orang apa, masakah kena kau kelabuhi!” tiba-tiba ia  melesat  maju  dan me mukul dada Siu-la m.

Melihat gerakan yang sepesat dan pukulan yang sedahsyat itu, bukan kepalang kejut Siu-la m. Siu-la m bingung. Jika ia menangkis, ia merasa tak ma mpu menerima pukulan  orang tua itu. Namun kalau me nghindar ke sa mping, tentulah orang tua itu akan mempero leh kese mpatan untuk masuk lebih dalam. Dalam gugupnya, ia kerahkan tenaga dalam dan menyongsong dengan pukulan.

Di luar dugaan Kat Thian-beng mendes is dan  loncat mundur sa mpai tiga langkah lalu menyelinap keluar goha.

Siu-la m tercengang. Sesaat kemudian baru ia menyadari bahwa pukulannya tadi ternyata dapat membuat si orang tua jubah biru lari. Ia ingat bahwa ia tadi hanya kerahkan seluruh tenaga dalam ke arah dada kemudian menyalurkan menutupi jalan darah yang penting. Setelah siapkan pertahanan diri, barulah ia balas me mukul. Ia me mukul sekenanya saja. Entah mengenai bagian mana dari tubuh orang tua itu.

Ternyata tanpa disadari Siu-la m telah gunakan jurus Hud- hwat-bu-pian ajaran si kakek. Pelajaran itulah yang paling banyak me minta perhatian serta paling berkesan dalam ingatannya.

Beberapa saat kemudian ia melangkah ke mulut goha. Melongok ke bawah, tampak sesosok bayangan orang lari bagai bintang meluncur jatuh di angkasa. Orang itu lari keluar le mbah dan pada lain kejab lenyap dari pe mandangan.

Seketika teringatlah ia akan ucapan si kakek jenggot yang mengatakan, “Sayang aku terla mbat mengetahui rahasia ilmu pedang ini. Maka sela ma ini tak pernah kugunakan ilmu pedang itu. Tentang ilmu pukulan, walaupun hanya satu jurus tetapi merupakan imbangan dari ilmu pedang. Di kolong dunia tak mungkin terdapat orang yang ma mpu lolos dari serangan ilmu pedang dan ilmu pukulan ajaranku ini.”

Pada waktu itu, ia tak percaya akan kata-kata si kakek. Ia kira si kakek itu hanya me mbua l saja. Tetapi apa yang ia buktikan saat ini, benar-benar menyadarkan pikirannya. Ucapan kakek jenggot putih bukan kata-kata kosong.

Serentak ia berlatih lagi ilmu pukulan ajaran kakek itu sampai dua kali….

Kali ini Siu- lam berlatih dengan penuh se mangat dan berhati-hati sekali agar jangan sa mpai salah. Walaupun hanya sejurus namun telah me maksa waktu yang cukup  lama. Setelah merasa cukup, mulailah ia berlatih ilmu pedang. Amboi… sa ma sekali ia lupa akan gerak-gerak ilmu pedang itu! Buru-buru ia berhenti dan mulai merenung. Dipusatkan seluruh pikirannya untuk mengingat gerak-gerak ilmu pedang itu. Akhirnya berhasil juga ia mengingat-ingatnya.

Dia mbilnya sebatang  ranting  pohon  siong  la lu  mulai  ma inkan jurus-jurus menurut ajaran si kakek. Menurut kata si kakek jenggot putih, ilmu pedang itu me mpunyai delapan jurus perobahan, tetapi baru ia ma inkan tiga jurus, ia sudah berhenti. Benar-benar ia tak mampu mengingat jurus-jurus berikutnya lagi….

Ia mengulang sampa i berpuluh kali. Hendak dipaksanya ingatannya supaya dapat melanjutkan jurus-jurus berikutnya dari ilmu pedang Jiu—toh-co-hoa itu, na mun tetap gagal. Benar-benar ia hanya ma mpu me mainkan tiga jurus saja. Ia menghe la napas panjang….

Tiba-tiba ia teringat akan si dara. Buru-buru ia berpaling. Dilihatnya dara itu mas ih duduk berse medhi. Saat itu ia tak mengucurkan keringat lagi. Bibirnya sudah terkatup dan wajahnya berseri senyum. Longgarlah perasaan Siu-la m. Tiba- tiba ada suatu perhatian yang menarik matanya. Kecuali pada kulit mukanya beberapa bintik-bintik kecil  warna hita m, tampang muka dara itu sebenarnya cukup menar ik. Alis dan matanya indah dipandang. Sepasang bibirnya merah segar, giginya me mut ih laksana untaian mutiara. Seorang dara yang cantik juga kiranya….

Tiba-tiba dara itu menghela napas panjang dan me mbuka mata. Setelah me mandang kian ke mari, ia berseru perlahan, “Kakekku….?”

Sekonyong-konyong Siu-la m teringat akan ucapan si kakek beberapa waktu yang lalu. Seketika berdebarlah  hatinya. Masih terngiang-ngiang kata-kata kakek itu, “Jika jalan darah Seng-si-hian- kwan budak itu belum terbuka, segera kau tutuk jalan darahnya supaya mati dan bakarlah mayatnya dan mayatku….” Melihat Siu- lam menunduk tak bicara apa-apa, si dara kerutkan alis serunya, “Diajak bicara, mengapa diam saja? Apa kau tak mendengar?”

Siu-la m terbeliak. Dengan tegang ia bertanya, “Apakah jalan darah…. Seng-si-hian- kwan…. nona sudah terbuka?”

“Sudah!” si dara mengangguk.

Siu-la m menghela napas longgar sekali. Dadanya seperti terlepas dari himpitan batu besar. Darah serasa memancar ke seluruh tubuh. Mulutnya berseru lepas, “Syukur….!”

“Apa katamu?” dara itu terbeliak heran.

“Yang kuma ksudkan adalah Tan lo-cianpwe. Dengan penyakinan tenaga dalam yang telah se mpurna, beliau telah berhasil me mbantu mencapa i apa yang diinginkan!” sahut Siu- la m. Dia tak mau me ngatakan apa sebenarnya pesan kakek berjenggot putih. Maka dalam merangka i kata-katanya, ia menggunakan kata-kata sekenanya saja sehingga kaku dan janggal kedengarannya.

Untung si dara tak mengetahui kele mahan itu. Dara itu menghe la napas, serunya, “Entah bagaimana, kakek itu rupanya menaruh perhatian istimewa terhadap jalan darahku Seng-si-hian- kwan. Beberapa tahun terakhir ini beliau tiap hari selalu menge mukakan soal itu saja. Ah, jika bukan karena dorongan kakek, mungkin sepuluh tahun  aku  masih  belum ma mpu mene mbus Seng-si-hian-kwan itu….” tiba-tiba ia teringat akan kakeknya yang  mas ih  belum  kelihatan  itu. “Ke manakah kakek?”

“Beliau kan duduk di belakangmu!” sahut Siu-la m.

Tiba-tiba wajah dara itu berobah. Pelahan-lahan ia berpaling. Agaknya ia sudah me mpunyai firasat tak baik. Maka berat sekali tampaknya ia me ma lingkan kepalanya itu. Dan ketika pertama-ta ma matanya tertumbuk pada si kakek, air matanya segera membanjir turun…. Kedukaan yang begitu menggoyangkan, me mbuat dara itu tak dapat mengeluarkan suara tangis. Dipandangnya sang kakek yang mas ih duduk bersila sa mbil pejamkan mata….

Siu-la m perlahan- lahan mengha mpir i dan berseru dengan perlahan, “Tan lo-cianpwe….”

“Kek….!” tiba-tiba dara itu menjerit dan muntah darah.

Kemudian rubuhlah ia tak sadarkan diri.

Sejak kecil dara itu sudah terpisah dari orang tuanya. Kakeknya itulah yang merawat dan mendidik sa mpai dewasa. Bagi si dara, hanya si kakek itulah satu-satunya keluarganya. Bahwa sekarang orang satu-satunya yang dicintai meninggal dunia, remuk redamlah hati dara itu. Ia bakal menjadi dara sebatang kara, tiada sanak tiada keluarga lagi.  Luapan kesedihan itu tak tertahankan lagi oleh si dara. Dan pingsanlah ia…

Siu-la m perlahan-lahan menja mah tangan si kakek. Ah, sudah me mbe ku dingin. Rupanya sudah beberapa lama kakek itu meninggal. Dia m-dia m Siu- lam me ma ki dirinya sendiri. Mengapa menjaga goha sampa i sekian la ma belum juga mengetahui tentang ke matian si kakek itu?

Berpaling ke arah si dara, dilihatnya dara itu sudah sadar lagi. Berkat jalan darah Seng-si-hian-kwannya sudah terbuka, seluruh jalan darah di tubuhnya berjalan lancar. Maka hanya beberapa kejap pingsan, iapun sadar terbangun lagi.

Siu-la m menghiburnya, “Ah, orang yang sudah meninggal takkan hidup ke mbali. Janganlah nona kelewat berduka. Apalagi dalam hidupnya Tan lo-cianpwe selalu menga la mi derita kesakitan yang hebat. Jika bukan demi kepentingan nona, mungkin beliau sudah tak mau hidup di dunia ini lagi!”

Dara itu perlahan- lahan bergeliat duduk. Sa mbil mengusap air matanya ia bertanya, “Kakek  me mberi pesan apa kepadamu?” “Beliau pesan agar dikubur di atas salah satu puncak gunung ini…”

Sekonyong-konyong dara itu me me luk jenazah sang kakek. Sambil mengangkatnya ia bertanya, “Di mana? Carikan lekas!” Tampak dara itu teringat akan sesuatu urusan yang penting.

“Hm, sekalipun aku pernah menerima budimu, tetapi janganlah kau bersikap begitu kasar kepadaku. Karena orang tua itu mengajarkan ilmu kesaktian kepadaku, akupun harus sering datang menyambangi kuburannya.” diam-dia m Siu-la m me mpunyai pikiran untuk segera meningga lkan dara itu.

Ia me langkah ke mulut goha. Walaupun ia menyadari ilmu ginkangnya tak ma mpu loncat turun ke bawah le mbah, tetapi di hadapan si dara itu tak mau unjuk kele mahan. Segera ia loncat melayang  ke  bawah.  Begitu   ha mpir   tiba  di  dasar le mbah, ia empos se mangat dan berhasillah ia menginjakkan kaki di tanah. Tetapi ketika berpaling, hai…. Ternyata dara itu sudah berada di belakangnya! Sambil me mbopong jenazah kakeknya, dara itu menganggukkan kepala dan berjalan mendahuluinya.

Setelah jalan darah Seng-si-hian-kwannya terbuka benar- benar, dara itu berobah menjadi  manus ia  baru.  Walaupun me mbopo ng sesosok tubuh namun dengan lincah  ia  dapat me layang turun dari karang yang cukup tinggi. Betapapun Siu- lam hendak mengikuti langkah si dara, tapi makin la ma ma kin ketinggalan jauh dan akhirnya dara itu lenyap dari pandangan. Ketika ia dapat mencapa i sebuah puncak gunung yang tertinggi ternyata di situ si dara sudah selesai mengga li sebuah lubang. Sedang si kakek masih ta mpak duduk di tanah seperti orang yang semedhi.

Sejenak dara itu me mandang Siu-la m seperti hendak berkata, tetapi tak jadi. Perlahan-lahan diangkatnya tubuh sang kakek la lu dimasukkan ke dalam lubang. “Apakah begitu saja kau hendak menguburnya?” karena tak tahan akhirnya Siu- lam me negur.

“Lalu bagaimana menana mnya?” dara itu terkesiap.

Sejenak Siu-la m layangkan matanya memandang alam sekelilingnya. Sebuah tempat yang dikelilingi oleh langit nan biru, salju putih dan gumpa lan awan. Ia yakin kakek sakti itu tentu me mpunyai tujuan mengapa minta dikubur di te mpat yang sedemikian sunyinya. Tiba-tiba ia teringat akan kantong Kim-tay. Segera kantong itu diberikan kepada si dara, “Lo- cianpwe pesan apabila nona sudah sadar, supaya memberikan kantong itu kepadamu. Mungkinkah lo- cianpwe meninggalkan pesan dalam kantong ini.”

Pada si dara menyambuti dan me mbuka kantong itu, Siu- lam pun segera berputar tubuh dan me langkah pergi.

“Ke mbalilah!” tiba-tiba dara itu me lengking. “Apakah nona me manggil aku?” Siu- lam berpaling.

“Di sini hanya ada dua orang. Bukan kau siapa lagi? Apakah aku me manggil batu?”

Terpaksa Siu- lam mengha mpiri. Dia m-dia m ia heran mengapa si dara sekarang berubah sedemikian kasar. Tetapi mengingat dara itu ditinggal mati oleh satu-satunya keluarga, dapatlah Siu- lam me maha mi kegoncangan. Mungkin kegoncangan itulah yang menyebabkan perangainya berobah kaku.

“Lihatlah!” seru si dara sa mbil menyerahkan kantong itu kepada Siu- lam meragu beberapa saat, ujarnya, “Ini….”

“Ini ini, apa? Kusuruh kau me lihat, lihat sajalah, habis perkara!” tukas si dara.

Siu-la m terpaksa me mbuka kantong itu. Dilihatnya kantong itu berisi tong-soh (jarum berduri) dan secarik kertas yang bertuliskan: Nanti pada mala m pertengahan musim Tiong- ciu (rontok), pergilah ke gunung Tay-san di telaga Hek-liong-than. Kutungan Chit-jiau-soh ini tukarkan dengan pedang Liong-sip- kia m….

Melihat tulisannya, terang surat itu belum selesai. Tetapi ternyata sudah tak bersambung lagi. Dan kecuali kutungan Chit-jiau-soh, tiada lain benda lagi dalam kantong itu. Dan ketika menga mat-a matinya, pada batang jarum kutungan itu terdapat ukiran tiga buah huruf ‘Chit-jiau-soh’.

Ternyata kakek jenggot putih itu tak meningga lkan pesan apa-apa untuk Siu- la m.

“Hai, mengapa kau diam saja?” tegur si dara.

Sambil me masukkan jarum dan surat ke dalam kantong lagi, Siu-la m menyahut, “Jika jenazah lo-cianpwe ditanam begitu saja tanpa dimasukkan ke dalam peti, mungkin kelak akan terpendam hilang sehingga kita sukar mencarinya….”

“Apakah kelak kau sungguh mau menyambangi kakek ini?” tanya si dara.

Siu-la m me nyatakan bahwa kakek itu tak beda dengan gurunya. Sudah tentu wajib ia me mbalas budi. Yang penting saat itu, harus didayakan cara untuk melindungi jenazahnya dari gangguan alam dan tangan jail. Untuk mencari peti mati di tempat seperti itu, terang tak mungkin. Akhirnya Siu-la m mendapat akal. Ia mengusulkan agar jenazah kakek itu dilingkupi batu-batu es yang keras dan bercahaya sehingga jenazah tentu awet takkan rusak.

Si dara setuju, begitulah mereka segera bekerja dan akhirnya dapatlah jenazah kakek jenggot putih itu ditanam dalam es keras. Selesai penguburan, Siu-la m menanyakan tentang tujuan si dara. Si  dara   tertawa   hambar,  “Dalam   dunia   seluas   ini, ke manakah aku harus pergi? Aku akan tinggal di sini menjaga kakek!”

“Tetapi tempat ini dingin sekali. Bahkan tanamanpun tak tumbuh. Tak mungkin nona dapat tinggal di sini!” Siu-la m terkejut.

“Kalau begitu lebih baik aku pergi ke telaga Hek- liang-tha m di gunung Thay-san saja!” seru si dara.

“Tetapi surat itu tak menyebutkan kepada siapa kau harus me minta pedang!” seru Siu- la m.

Si dara kerutkan alis, “Tinggal di sini, tak boleh. Pergi ke Thay-san pun tidak boleh. Habis, kau hendak suruh aku pergi ke mana?”

“Apakah nona tak mempunyai barang seorang family?” tanya Siu-la m.

“Kecuali kakekku yang sudah meningga l itu, aku tak punya sanak saudara lagi!”

“Ayah bundamu?”

“Sejak kecil aku hanya tahu kakek. Dan kakekpun tak pernah mengatakan siapa orang tuaku!”

Siu-la m kerutkan kening. Ia tak sampai hati me mbiarkan seorang dara seorang diri menge mbara di dunia persilatan. Akhirnya ia me mutuskan, untuk se mentara akan bersama- sama dara itu. Tujuan pertama  menuju  ke  poh-toh-kang meno long sumoaynya. Katanya kepada dara itu, “Karena nona tiada  tujuan,  sebaiknya  marilah   kita   bersama-sama   ke Lula m….”

Dara itu berbangkit perlahan-lahan, “Baik, tetapi kau harus mau mene mani aku pada nanti musim Tiong-chiu ke telaga Hek-liong-tha m di gunung Thay-san!” “Hm, aku kasihan pada mu karena kau seorang diri, mana kau artikan sebagai mene manimu,” dia m-dia m Siu-la m mendengus dalam hati. Na mun ia sungkan me nolak, “Baiklah, jika ada kese mpatan tentu akan kuantar kau ke Thay-san!”

Dara itu menengadah ke atas dan merenung, tiba-tiba ia berkata, “Aku seorang anak perempuan. Jika bersama kau tentu akan ditertawakan orang….”

Siu-la m terbelalak. Memang apa yang dikatakan dara itu benar. Tetapi belum se mpat ia berkata, dara itu sudah berseru pula, “Sebenarnya sejak hidup  dengan kakek, aku bebas bergaul. Tetapi entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa tegang mengadakan perjalanan bersa ma mu?”

“Tak dapat disalahkan karena sela ma belasan tahun kau hidup bersa ma kakekmu….”

“Bukan begitu, yang penting kutahu kau seorang baik…” habis berkata dara itupun segera berbangkit dan berjalan perlahan-lahan menuruni puncak.

Dia m-dia m Siu-la m kasihan atas nasib dara itu.

Selama berjalan itu sampa i beberapa belas lie keduanya tak bicara apa-apa. Rupanya dara itu sedang terbenam dalam suatu perasaan tersendiri. Karena sebesar itu barulah pertama kali itu ia berjalan bersa ma seorang pe muda.

“Ai, jika nanti-nanti bertemu orang, bagaimanakah hendaknya kupanggil kau?” tiba-tiba ia teringat.

Siu-la m terbeliak. Me mang agaknya sulit juga. Sebelum ia mendapat pe mecahan, dara itu pun sudah menghela napas pelahan, “Na maku Tan Hiong-song. Di kala  kakek  masih hidup, dia biasa me manggilku Song-ji. Baiklah kau panggil aku Song-ji juga!”

Siu-la m tersipu-sipu, “Mana bisa aku menyebutmu Song-ji, Song-ji kan berarti anak Song. Bagaimana kalau kupanggilmu nona Song saja?” Dara itu gelengkan kepala, “Tidak, dengan panggilan itu apabila didengar lain orang tentu menduga kita ini  orang asing. Dan seorang pemuda, berjalan dengan seorang pemudi yang tak dikenal, tentu akan ditertawakan orang!”

Siu-la m kerutkan keningnya, serunya tertawa meringis, “Habis, bagaimana me manggilmu?”

“Suruh kau me manggil Song-ji, kau tak mau. Kalau begitu tak usah me manggil saja!” seru dara itu.

Karena Siu-la m sudah me mpunyai perasaan mengalah maka tak me mikirkan olok-o lok dara itu. Bahkan ia tersenyum me lihat dara itu naik pitam.

Melihat pemuda itu tenang-tenang, makin me luaplah amarah Hian-song, “Huh, mengapa  kau tertawa? Orang bingung, kau malah seenakmu sendiri saja!”

Sahut Siu-la m, “Aku telah mendapat akal. Tetapi dikuatirkan tak menyenangkan kau.”

“Katakan!”

“Tan lo-cianpwe telah menurunkan ilmu silat kepadaku. Walaupun   resmi  belum   menjadi   murid,    tetapi   sudah me mpunyai hubungan sebagai guru dan mur id. Jika kau setuju, baiklah panggil aku sebagai suheng saja.  Dengan begitu orang tentu tak mengurusi lagi!”

Mendadak si dara melengking tertawa, “Bagus, boleh jugalah!”

Sekonyong-konyong dari tengah lembah terdengar jeritan nyaring. Makin la ma jeritan itu makin je las bahkan samar- samar terdengar dering senjata beradu. Rupanya terjadi pertempuran.

“Ayo kita ke sana. Entah siapa yang bertempur itu!” ajak Hian-song. Adalah berkat ja lan darahnya Seng-si-hian-kwan sudah terbuka maka indera pendengarannya tajam sekali. “Boleh  saja  kita  lihat-lihat  sebentar,  tapi  jangan  lama- la ma,” kata Siu- la m.

Hian-song me lesat ke muka. Siu-la m  me nyusul.  Setelah me mbiluk dua buah tikungan, di sebelah muka tampa k si tabib gila Gan Leng-po tengah bertempur seru dengan seorang tua jubah biru. Gan Leng-po pakai tongkat bambu dan orang tua jubah biru menggunakan sebatang bun-jiang-pit. Pertempuran berjalan seru sekali.

Di sa mping kedua orang yang bertempur itu menggeletak beberapa sosok tubuh. Antara lain si Golok Sakti Lo  Kun, kedua saudara Kat Hong dan Kat Wi serta paderi Thian Hong dan kee mpat mur idnya.

Siu-la m sudah menduga tentulah racun bekerja sehingga mereka rubuh.

Tiba-tiba terdengar Gan Leng-po me me kik keras. Tongkatnya berubah gencar seperti angin. Serangannya lebih deras dan hebat sekali. Walaupun sudah limbung pikirannya, tetapi ternyata ilmu silat tabib itu masih hebat bahkan ma kin kalap.

Siu-la m teringat bahwa orang tua jubah  biru  itu pernah me mper kenalkan dirinya sebagai Kat Thian-beng. Dan ketika di dalam goha, ia berhasil mengalahkan orang itu dengan pukulan sakti Hud-hwat-bu-pian. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu benar-benar mengherankan. Ternyata kepandaian orang tua bernama Kat Thian-beng itu  luar  biasa  saktinya. Dia m-dia m Siu- lam mengakui, sekiranya ia belum mendapat ilmu pukulan Hud- hwat-bu-pian dari kakek jenggot putih, tentulah ia tewas di tangan orang tua berjubah biru itu.

Rupanya kerut wajah pemuda itu dalam menyaksikan pertempuran telah diperhatikan si dara Hiang-song. “Eh, Pui suheng, mengapa kau?” tegurnya. Agak kikuk juga ia menggunakan sebutan itu hingga mukanya tersipu-sipu merah. Siu-la m gelagapan, “Nona…. eh, Song sumoay me manggil aku?”

“Eh, apa yang kau lamunkan? Orang mengajakmu  bicara kau tertegun seperti patung saja.” Hian-song bersungut- sungut.

Siu-la m mer ingis, “Ah, aku sedang me mikirkan sesuatu.

Harap sumoay ulangi lagi.”

Hian-song rentangkan kedua matanya yang bundar. Tetapi sampai la ma belum juga ia bicara. Akhirnya baru berseru, “Ah, tak usah berkata lagilah! Toh sekarang mau bicara juga sudah tak jelas!”

“Mengapa?” Siu-la m terkejut. Tiba-tiba ia tersadar, serunya pula, “Ah, benar, kau tentu  hendak  bertanya  aku  sedang me mikirkan apa?”

Si dara tertawa, “Aku tak perduli!”

Tiba-tiba pe mbicaraan mereka terputus oleh bentakan Kat Thian-beng yang menggeledek dan senjata bun-ciang- pitnyapun menyerang hebat dalam tiga jurus. Batang pena itupun berubah menjadi segumpa l sinar dan me maksa Gan Leng-po mundur dua langkah.

Kat Thian-beng tak mau mendesak mela inkan berhenti menyerang dan berseru, “Bukankah saudara ini tabib termasyhur Ti-ki- cu Gan Leng-po? Ah, aku Kat Thian-beng!” tiba-tiba ia berpaling lontarkan lirikan ke arah Siu- la m. Cepat- cepat ia berpaling ke muka lagi.

Gan Leng-po deliki mata kea rah orang tua jubah biru itu. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Ke mbalikan  peta Telaga Darahku!” Wut, tongkat dike mplangkan ke kepala Kat Thian- beng dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak.

Kat Thian-beng loncat mundur setomba k.  Bentaknya, “Siapa kau!” Dalam keadaan gila seperti itu, tak mungkin Gan Leng-po dapat mendengar jelas. Sebagai jawabannya ia ayunkan tongkat menyapu dengan jurus Lat-soh-ngo-gak atau dengan kekuatan menyapu lima gunung.

Keduanya ke mbali bertempur pula. Lebih dahsyat daripada tadi. Kat Thian-beng tak me ngetahui  bahwa  Gan  Leng-po me mang sudah gila. Dikiranya tabib itu tak mau kenal lagi padanya, jago she Kat itu marah, senjata bun-ciang-pit dimainkan dalam jurus-jurus yang luar biasa ganasnya. Serangannya selalu batal.

Tetapi walaupun dalam keadaan gila, kepandaian Gan Leng-po tetap sakti. Tongkatnya bagaikan  angin  topan menya mbar-nyambar dengan dahsyat.

Kepandaian kedua tokoh itu hampir berimbang.

Pertempuran berjalan seru dan sengit sekali.

Dia m-dia m Siu-la m kasihan melihat keadaan tabib itu. Seorang tabib yang sakti dalam ilmu pengobatan dan ilmu silat, mendadak menjadi gila karena me mikir kan peta Telaga Darah. Siu-lam berjanji dalam hati, akan berusaha mendapatkan peta itu dan menyerahkannya kepada Gan Leng-po agar se mbuh ke mba li.

Dilihatnya pertempuran ma kin seru dank eras. Tetapi yang jelas tabib itu sudah mulai letih. Perma inan tongkatnya mulai kacau.

Kat Thian-beng rupanya menyadari bahwa pertempuran itu takkan selesai dalam seratus jurus. Maka iapun segera mengenda likan diri tak mau terlalu mengumbar nafsu untuk menyerang mati- mat ian melainkan gunakan ilmu mer ingankan tubuh untuk berlincahan menghindar dan me mutari lawan. Rupanya  ia  hendak   menghabiskan   tenaga   lawan,   baru ke mudian me mberi pukulan yang menentukan!

Dia m-dia m Siu-la m menila i bahwa Gan Leng-po takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus lagi. Segera timbul pemikiran dalam hatinya. Peta Telaga Darah besar sekali artinya bagi kehidupan dunia persilatan. Jika peta itu berada dalam tubuh seorang gila seperti Gan Leng-po, tentulah tidak bermanfaat. Segera ia berpaling kepada si dara Hian-song, “Harap Song sumoay tunggu di sini, aku hendak me mancing supaya orang gila itu menyingkir agar  jangan sa mpai terluka di tangan orang yang bersenjata bun-jiang-pit itu!”

“Eh, kau kenal dia?” Hian-song heran.

“Aku sudah pernah berjumpa  dengannya. Dia me mang seorang tabib yang tiada tandingan di dunia persilatan. Adalah karena kuali pe masakan obatnya dihancurkan orang sehingga saking marahnya ia menjadi gila mendadak. Tetapi tenaga dalamnya tinggi sekali, ilmu silatnya bukan ma in. Kupikir hendak menolo ngnya agar dia dapat se mbuh….”

“Sayang kakek sudah meninggal. Jika dia masih hidup tentulah dia dapat menye mbuhkannya!”

Siu-la m menghela napas, “Ah, sayang seorang tokoh luar biasa harus menderita penyakit gila…” tiba-tiba ia melesat ke tempat kedua orang yang bertempur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar