Wanita iblis Jilid 06

Jilid 6

“MENGAPA kaum persilatan tak mau  bersatu  lagi  untuk me mbas mi mo mok perempuan itu?” tanya Kat Hong.

“Mengapa tidak? Tiga belas propinsi dari wilayah Kanglam dan Kangpak serta delapan puluhan jago-jago Siau-lim-si terbagi dalam e mpat regu, telah mengada kan pengejaran.

Salah sebuah regu berhasil mene mukannya di kota Kim- leng. Regu yang terdiri dari dua puluhan lebih jago-jago silat  itu segera mengepungnya, tetapi regu itu dihancurkan se mua. Pada setiap dada korban, tertancap sebatang jarum Chit-jiau- soh. Tiada seorangpun dari regu itu yang hidup. Ke mudian regu kedua berhasil mencari jejaknya di kota Kay-hong. Juga regu kedua ini mengala mi nasib seperti regu kesatu. Hancur binasa semua dengan perut masing- mas ing tertusuk Chit-jiau- soh. Dua peristiwa mengerikan itu cukup merontokkan nyali. Regu pengejaran itu segera me mbubarkan diri. Dari rencana hendak me mbas mi, mereka menjadi calon- calon korban yang ketakutan. Tak ada lain usaha dari mereka yang masih hidup kecuali hanya berdoa mudah- mudahan si Mo mo k Wanita jangan me mbunuhnya. Mereka pasrah nasib karena tak tahu siapa dan bagaimanakah sebenarnya Momok Wanita itu. Wanita misterius itu dijuluki sebagai Chit-jiau-soh dan jarum itu merupakan ciri pengenal dari mo mok itu. Untunglah dia tak la ma muncul di dunia persilatan lalu menghilang lagi. Namun nama jarum maut Chit-jiau-soh itu tetap berkumandang la ma di dunia persilatan sebagai la mbang ke matian. Setelah lima- enam tahun wanita itu tak muncul lagi, barulah orang persilatan dapat bernapas lega dan mulai me lupakan peristiwa itu. Bahwa  kali  ini  Chit-jiau-soh  muncul  lagi,  benar-benar me mbuat orang mulai meraba-raba….”

Kat Hong tersenyum, “Kiranya tak perlu lo-cianpwe gelisah. Jika Chit-jiau-soh itu benar-benar muncul lagi di dunia persilatan, aku berharap dapat menempurnya   demi  untuk me mba laskan sakit hati kaum persilatan yang telah binasa!”

Semasa ayah kedua saudara Kat, yakni It-pit-hoan-thian  Kat Thian-beng masih aktif, namanya sangat termasyhur di dunia persilatan. Entah berapa jago-jago golongan hitam maupun putih yang roboh di bawah senjatanya, bun-ciang-pit. Tetapi setelah ia mengasingkan diri di gunung Hun-tay-san, ia meno lak menerima kunjungan sahabat-sahabat dunia persilatan. Kecuali paderi Thian Hong, tak seorangpun yang mengetahui tempat kedia mannya. Lo Kun juga mengagumi kesaktian Kat Thian-beng. Maka kata-kata takabur dari dua saudara Kat itu, tak mau ia mence lanya.

Sekonyong-konyong paderi Thian Hong me mbolang- balingkan pedang dan berseru, “Jika tak masuk sarang harimau, tak mungkin akan me mpero leh anak macan! Karena Chiat-jiau-soh sudah muncul, kitapun tak dapat mundur. Maukah Lo-heng ikut serta?”

Lo Kun tertawa, “O, sekian lama merenung kiranya hanya begitu keputusanmu.  Aku  toh  sudah  tua,  mengapa  aku  me mikirkan soal mati hidup? Sekalipun harus mati di gunung ini, aku takkan kecewa!” Dengan tegas dan serius, Thian Hong menghaturkan terima kasih. Dengan pedang siap  di  tangan,  paderi  itu  segera me lanjutkan perjalanan ke atas.

Thian Hong dia m-dia m telah me mperhitungkan bahwa munculnya Chit-jiau-soh itu terjadi pada tiga puluhan tahun berselang. Yang muncul sekarang ini kebanyakan  tentulah mur idnya. Tetapi ia tak pasti. Andaikata dugaan itu me leset, berarti jiwanya dan beberapa orang yang ikut dalam rombongannya, dia akan me ngorbankan jiwanya. Itulah sebabnya maka Thian Hong menimang-nimang sa mpai sekian la ma, baru ia me mutuskan untuk menjelajah ke bagian lebih dalam dari gunung Kiu-kiong-san.

Karena darah muda, kedua saudara Kat itu diam-dia m penasaran terhadap momo k wanita yang dijuluki Chit-jiau-soh itu. Kedua saudara itu percepat langkah mendahului Thian Hong.

Thian Hong tahu bahwa kepandaian kedua anak muda itu me mang tinggi. Tetapi karena musuh belum diketahui ciri- cirinya jelas, ia me mberi peringatan kepada kedua pemuda itu agar berjalan perlahan-lahan.

Setelah me mbe lok beberapa tikungan, suasana berubah lain. Alam sekeliling diliputi air. Kiranya saat itu mereka tiba di telaga tempat tinggal Ti-ki-cu Gan Leng-po. Rombongan orang gagah itu berhenti di tepi telaga. Thian Hong menyatakan hendak menuju ke pondok terapung di tengah telaga. Tetapi Kat Hong tak setuju.

“Lo-cianpwee adalah pemimpin ro mbongan, mana boleh sembarangan mene mpuh bahaya. Lebih baik ijinkan aku saja yang meninjau ke sana!” dan tanpa menunggu jawaban Thian Hong, anak muda itu terus enjot tubuhnya dan lari di permukaan air.

Melihat caranya anak muda itu gunakan ilmu berjalan di atas air, Lo Kun me mberi pujian, “Dengan sebatang bun-jiang- pit dan kepandaian gin- kangnya, Kat Thian-beng tayhiap telah menjago i dunia persilatan selama berpuluh tahun. Sayang aku tak pernah bertemu muka. Tetapi menilik dari kepandaian puteranya saja kiranya nama Kat tayhiap itu bukan pujian kosong!”

Kat Wi tertawa, “Ah, apa yang dipertunjukkan saudaraku  itu  hanya  kepandaian  kosong,  harap  lo-cianpwe   jangan me muji kelewat tinggi!”

Dalam pada itu Kat Hong pun sudah loncat ke dalam pondok terapung. Tetapi sampai sekian saat, pondok itu sunyi saja. Kat Hong tak muncul lagi….

Tiba-tiba paderi Thian Hong getarkan pedangnya dan berkata perlahan-lahan kepada Lo Kun, “Harap Lo-heng menunggu di sini, aku….”

Belum habis paderi itu berkata, sekonyong-konyong Kat Wi sudah loncat ke telaga dan terus lari menuju ke pondok. Gerakannya tak kalah gesit dari kakaknya tadi.

Thian Hong tak keburu mencegah. Sekali kebutkan lengan jubahnya iapun sudah melesat ke muka dan mendahului Kat  Wi. Dia m-dia m Kat Wi penasaran. Begitu hampir mendekati pondok, tiba-tiba ia melenting ke udara, melayang di atas payon pondok terapung. Ia berhasil mendahului Thian Hong. Dan secepat kakinya tiba di atas payon geladak, anak muda itupun sudah mencabut sepasang poan-koan-pitnya. Yang sebatang untuk melindungi muka dari serangan. Yang sebatang untuk menyerang. Ia loncat turun dan menerobos masuk ke dalam pondok….

Keadaan dalam ruang pondok gelap sekali, hingga Kat Wi tidak dapat melihat jemarinya sendiri. Anak muda  itu  sudah me mbe kal kewaspadaan. Poan-koan-pit di tangan kiri diputar untuk melindungi diri kemudian barulah ia me layang turun. Tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa menginjak sesosok tubuh orang. Buru-buru ia kerahkan se mangatnya dan me la mbung ke udara lagi. Ia takut kalau yang diinjak itu saudaranya. Maka cepat-cepat ia loncat ke atas.

Duk… karena tak melihat keadaan ruang pondok kepalanya me mbentur langit tutup pondok.

Belum hilang kagetnya, tiba-tiba ia merasa seperti diserang orang dari sebelah samping. Serangan itu cepat sekali datangnya. Belum orangnya  tiba,  angin  gerakannya  telah me mbaur Kat Wi. Anak muda me mbawa hawa yang harum. Sebelum tahu apa yang terjadi, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal orang dan me nyusul terdengar suara tertawa melengking, “Lepaskan senjata mu, lekas! Jika  coba me lawan, kau pasti me nderita lebih hebat!”

Kat Wi mendengar dingin. Sebagai jawaban ia balikkan tangan dan menutukkan poan-koan-pit dalam jurus To-ta-kim- leng atau me mukul terbalik kelint ik e mas.

Tetapi baru tangan bergerak, tiba-tiba ia rasakan bahunya kesemutan dan seluruh tenaganya lenyap. Bluk, jatuhlah pemuda itu di lantai.

Tepat pada saat itu, Thian Hong mengge mbor keras dan menerobos.

Walaupun jalan darahnya tertotok dan tak berkutik, tetapi pikiran Kat Wi mas ih terang. Dilihatnya yang menotok dirinya itu adalah seorang dara cantik yang mencekal sebatang hud- tim. Dan saat itu si dara tengah mengebutkan hud-t imnya pada pedang Thian Hong.

Dengan ilmu pedang yang saktilah maka Thian Hong dapat me mimpin dunia persilatan golongan putih di daerah Kangla m. Ia telah mencapai tingkat yang tertinggi dalam meyakinkan ilmu pedang itu. Cepat ia tarik pulang pedangnya. Tetapi baru saja ia hendak menyerang, ternyata si dara telah mendahului dengan kebutannya. Cepat sekali dara itu telah melancarkan tiga buah serangan! Serangan bukan sembarang serangan tetapi ketiga jurus yang dilancarkan si dara jarang terdapat di dunia persilatan. Cepat dahsyat dan luar biasa anehnya.

Betapapun saktinya Thian Hong, na mun me nghadapi serangan luar biasa dari si dara, ia terpaksa harus mundur dua langkah.

Tiba-tiba  dalam  kegelapan,  sebuah  tangan   kurus menye mbul dari kegelapan dan mena mpar bahu si paderi. Karena sedang menghadapi serangan si dara yang dahsyat, semangat dan perhatian Thian Hong tertumpak ke situ seluruhnya. Dia tak menyadari bahwa sebuah  tangan  maut dia m-dia m menganca m dirinya.

Kat Wi jelas melihat tangan kurus itu. Tetapi karena  ia dalam keadaan tertotok tak dapat bicara hatinya gelisah  bukan kepalang.

Tring….pe muda itu ma kin gelisah dan kaget ketika mendengar suara pedang Thian Hong jatuh ke lantai disusul dengan tubuh pendeta itu yang terkulai roboh.

“Celaka. Thian Hong totiang pun tertutuk. Habislah semua pasukan kita!” keluh anak muda itu. Ia pejamkan mata karena ngeri me mbayangkan peristiwa yang dihadapinya….

Tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat dan dipindah ke lain tempat. Kemudian jalan darahnyapun ditutuk lagi sehingga saat itu kesadarannya hilang.

Kat Hong, Kat Wi dan Thian Hong ketiga tulang punggung rombongan, telah rubuh dalam pondok terapung yang misterius itu…

Ketika me mbuka mata, Kat Wi dapatkan hari sudah siang. Seorang dara berbaju merah duduk di tengah-tengah ruangan pondok terapung itu. Di belakangnya tegak seorang lelaki tinggi berpakaian hita m. Wajahnya seram. Seorang dara yang cantik je lita dan seorang raksasa kurus yang jelek rupanya. Benar-benar suatu pemandangan yang tak sedap….

Mengerling ke samping, Kat Wi melihat engkohnya (Kat Hong) bersa ma seorang pemuda la in, duduk bersandar pada dinding. Tetapi paderi Thian Hong tak ta mpak, entah berada di mana.

Tiba-tiba dara baju  merah  itu  kebutkan  hud-timnya  mena mpar punggung Kat Wie, jalan darahnya yang tertutup segera terbuka. Segera Kat  Wi  kerahkan  tenaga  dan mengge liat bangun. Ketika ia hendak menya mbar poan-koan- pit yang terletak di samping si dara, tiba-tiba dara baju merah itu tertawa melengking, “Kedua kakimu telah kututuk, tak mungkin kau mau berkelahi lagi. Lebih baik duduk sajalah!”

Kat  Wi  kerahkan  tenaga,  ah,  ternyata  kedua  pahanya le mah lunglai dan agak linu kesemutan. Kata-kata si dara itu me mang benar.

“Siapakah kau? Apa maksudmu menyiksa aku?” serunya.

Dara itu tersenyum, “Aku belum bertanya, mengapa kau berani bertanya padaku?”

“Mengapa tak berani? Toh paling-paling aku kehilangan jiwa?” seru Kat Wi.

“Ih, rupanya kau me mang ingin mati?” si dara tersenyum manis.

Kat Wi marah, “Seorang lelaki boleh dibunuh tetapi jangan dihina. Jika kau me mperla kukan secara nista begini, jangan marah kalau kucaci maki nanti!”

Tiba-tiba si jangkung berwajah ngeri tertawa menge keh, “Anak bulus, tidak ga mpang mau mati, lho. Sekali kuta mpar, kepala mu tentu pecah!” ia melangkah maju dan mengangkat tangannya. Tangan si jangkung itu panjang sekali. Meskipun terpisah tiga empat langkah dari Kat Wi tetapi sekali ulur sudah menyentuh tubuh si pemuda. Tetapi cepat-cepat si dara baju merah kebutkan hud-timnya menyiak tangan si jangkung.

“Jangan meluka inya!” seru si dara tertawa.

Rupanya si jangkung itu taat pada si dara. Ia segera menyusut mundur ke te mpatnya. Mulutnya mengo mel, “Hm, me mbiarkan ma nusia- manus ia hidup hanya akan menimbulkan bahaya di ke mudian hari. Lebih baik lekas dikirim ke neraka sajalah!”

“Ilmu tutuk dari partai Beng-ga k, tiada manusia di kolong langit yang ma mpu me mbuka. Sekalipun dibawa lari ke mana saja, tak mungkin orang itu ma mpu meno longnya….” kata si dara lalu alihkan  pandangannya  ke  arah Kat  Hong  dan Siu- la m, ia me merintahkan si jangkung supaya me mbawa kedua pemuda itu keluar. Si jangkung segera mela kukan perintah. Tangan kanan menjinjing Siu- la m, tangan kiri mengangkat Kat Hong terus dibawa keluar.

Si dara merah pelahan sekali kebutkan hud-t im ke muka Kat Wi dan tertawa, “Sekarang dalam ruangan ini hanya kita berdua!”

Kat Wi rasakan darahnya tersirap. Buru-buru ia berpaling muka, “Hanya dua orang lalu bagaimana….”

“Kau boleh menjawab pertanyaan dengan sejujurnya!”

Umur Kat Wi baru enam belas tahun. Tetapi dia seorang pemuda yang keras kepala, sahutnya dengan dingin, “Ah, tak semudah itu!”

Mengira pemuda itu yang paling kecil umurnya, si dara anggap tentu mudah mengorek keterangan. Bocah itu tentu tak sanggup menahan siksaan. Tetapi apa yang diperoleh dari mulut Kat Wi hanya menimbulkan ke marahannya saja. Ia tertawa mengikik, serunya, “O, tak mungkin kunyana kau seorang jantan. Aku tak percaya tulang-tulangmu dari besi!”

Ia menutup kata-katanya dengan mencekal tangan Kat Wi, “Adik, lebih baik kau bilang saja. Di ma nakah peta Telaga Darah itu?” sekali kerahkan tenaga, tangan halus itu berubah sekeras besi.

Buru-buru Kat Wi kerahkan tenaga hendak melawan. Tetapi ah, ia rasakan dadanya macet. Kejutnya bukan kepalang.

“Telah kukatakan,” si dara merah tertawa, “bahu jalan darah sau-yan-tam-keng dan Thay-im-pi- keng tubuhmu telah kututuk. Berarti kepandaianmu lenyap seluruhnya. Maka percuma saja jika kau hendak berkeras melawan!”

Seketika Kat Wi rasakan darahnya menyalur terbalik arah. Aduh, sakitnya bukan kepalang. Na mun pe muda tanggung itu tetap menggertek gigi bertahan sakit. Sepatahpun ia tak mengerang….

Si dara berlingkap biji matanya yang indah  dan tertawa me lengking, “Na mun jalan darahmu tadi telah kututuk putus. Kecuali  jago-jago  Beng-gak  tak mungkin  di  dunia  orang ma mpu meno longmu….”

Kepala Kat Wi mandi keringat. Tak  sempat  ia mendengarkan kata si dara lagi. Bentaknya murka, “Tutup mulut mu, siapa sudi me ndengar o monganmu! ”

Si dara tetap tertawa mengikik, “Jika tak keburu ditolong, dalam waktu tiga bulan, urat-uratmu itu akan terlanjur mengeras. Bukan saja kepandaianmu hilang, pun kau akan mati dengan perlahan. Dalam usia  masih re maja seperti sekarang ini, bukankah sayang kalau kau mat i?” dalam pada berkata-kata itu dia m-dia m si dara mena mbahkan tekanannya.

Kat Wi rasakan darahnya makin keras, berhamburan me liar merekahkan dada. Rupanya si dara tahu kalau pe muda itu sudah tak dapat bertahan lagi,  katanya pula,  “Asal kau bicara terus terang, selain kusembuhkan jalan darahmu se mua rombonganmu akan kubebaskan. Pikirlah masak- masak!” kata si dara seraya mengendor kan cengkeramannya.

Kat Wi rasakan sakitnya berkurang. Ia menghela napas, ia menimang, “Saat ini Thian Hong totiang dan engkohku berada dalam gengga mannya. Jika aku bersikap keras kepala, mungkin aku dan semua orang akan binasa. Aku harus mulai me ma kai siasat. Toh aku juga tidak mengerti persoalannya. Kuikatnya dulu dengan perjanjian baru aku mau menjawab….”

“Mudah saja kau suruh aku menjawab pertanyaanmu. Tetapi sebelumnya kaupun harus bersedia meluluskan tiga buah syaratku!” katanya kepada si dara.

“Katakanlah!” seru si dara.

“Pertama, bebaskanlah se mua orang yang kau tawan!”

Si dara baju merah tertawa, “Ih, pintar juga kau ini. Kalau begitu orang-orang itu adalah ro mbonganmu….” ia berhenti lalu me lanjutkan pula, “Apa syarat yang kedua?”

“Ini yang paling penting. Kau harus memikir semasak- masaknya sebelum menga mbil putusan….”

“Jangan banyak bicara, bilanglah!” seru si dara.

“Apa yang kuketahui, akan kuceritakan terus terang semua. Tetapi apa yang tak kuketahui, janganlah kau me maksa aku mengatakan!”

Sejenak dara berbaju merah itu merenung. Ke mudian ia minta Kat Wi menyebutkan syaratnya yang ketiga.

Kat Wi tertawa, “Kita tak kenal mengenal dan tidak ada orang yang menyaksikan kita. Maka kita harus mengangkat sumpah, agar jangan mengingkari janji!”

Wajah dara baju merah itu mengilas senyum sinis, ujarnya, “Baik, lebih dulu akan kubuka jalan darahmu, baru nanti kuajukan pertanyaan!” Dara itu menepuk delapan buah jalan darah Kat Wi dan mengurut-urut lukanya.

“Nah, jalan darahmu sudah kubuka lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku,” kata si dara.

Kat Wi menggeliat bangun, serunya, “Nanti dulu, nanti dulu. Kau toh belum bersumpah!” Rupanya Kat Wi masih belum hilang sifat kanak-kanaknya. Ia tetap menganggap sumpah itu penting.

Si dara tertawa, “Sepatah perkataanku sama dengan segumpa l emas, masakan aku mau mengingkari.  Ah, kau kekanak-kana kkan!”

Dikata begitu Kat Wi malu. Cepat ia nyeletuk, “Jika begitu, silahkan kau bertanya!”

Si dara tertawa, “Jauh-jauh kau datang ke Kiu-kiong-san sini, apakah bertujuan mencari Gan Leng-po?”

“Benar!” sahut Kat Wi. “Perlu apa me ncarinya!”

“Hal itu aku kurang je las. Rupanya seperti hendak minta dia mencari sebuah benda!”

“Apa bukan peta Telaga Darah?” si dara kerutkan alis. “Aku kurang jelas, tak dapat bicara ngawur!”

Dara itu tertawa mengikik, ujarnya, “Adik kecil,  rupanya kau tahu banyak sekali, ya?”

“Benar, tetapi tadi telah kita setujui syarat itu. Yang kuketahui tentu kukatakan. Tetapi sebenarnya aku tak tahu apa. Bagaimana, apakah kau menyesal?” Kat Wi tertawa gelak-gelak seolah-o lah bangga karena dapat menyiasati si dara. “Kau pintar. Tetapi akupun takkan menyesal!” sahut  si dara, kemudian ia berseru nyaring, “Ciok Toa-piau, bawalah tawanan-tawanan itu keluar se mua!”

Sebuah suara parau macam kaleng borot, menyahut, “Ji- kounio, waktunya tinggal sedikit. Perlu apa bawa mereka? Lebih baik kure muknya saja!”

“Kusuruh kau me mbawa mere ka keluar, kau dengar tidak?” seru si dara baju merah.

Rupanya Ciok Toa-piau atau si jangkung berwajah ngeri itu takut kepada si dara. Segera ia menjinjing keluar dua sosok tubuh. Cepat sekali ia bekerja. Dalam beberapa kejap ia sudah me letakkan sepuluh sosok tawanan.

“Apa masih?” tanya si dara.

Si jangkung gelengkan kepala, “Sudah se muanya!”

Si dara tertawa, serunya, “Tujuh hari kemudian, adalah hari selesainya pertapaan kaucu. Biarlah  kita berbuat amal kebajikan lepaskan mere ka!”

“Apa?” si jangkung terbelalak.

Si dara me mandang Kat Wi, tertawa, “Aku telah berjanji pada adik kecil itu untuk me mbebaskan mereka semua. Masakan aku ingkar janji!”

Ia menutup kata-katanya dengan mena mpar tubuh Kat Hong. Seketika pe muda itu menghela napas panjang dan mengge liat duduk. Cepat sekali si dara menampari tubuh kesepuluh tawanan. Merekapun bangun semua.

Si jangkung hanya mengawasi tingkah laku si dara dengan mata mendelik. Rupanya ia tak puas dengan tindakan dara itu namun tak berani mencegah.

Setelah menyadarkan tawanannya, si dara tertawa, “Maaf atas penyambutan yang kurang hormat atas kedatangan tuan- tuan yang jauh me merlukan datang ke mari.” Sepuluh orang tawanan itu terdiri dari Thian Hong dan rombongannya, kedua orang kepercayaan Wan Kiu-gui yang menyertai kepala golongan hitam itu ke Kiu- kiong-san dan Siu- la m.

Ternyata waktu Thian Hong masuk ke dalam pondok terapung dan tidak keluar lagi, Lo Kun segera ajak kee mpat mur id Thian Hong menyusul. Tetapi mere kapun menga la mi nasib serupa seperti Thian Hong. Dara merah dan si jangkung Ciok Toa-piau dapat merubuhkan mereka.

Setelah me mbuka jalan darah kesepuluh orang tawanannya dan bicara beberapa patah senda-gurau, si dara baju merah segera melangkah keluar. Tetapi baru beberapa langkah, ia berpaling lagi, serunya, “Siapakah di antara kalian yang tahu tentang peta Telaga Darah, lebih baik segera antarkan ke Beng-gak. Jika  tidak, dalam waktu sebulan lagi, dunia persilatan tentu akan banjir darah….!”

Lo Kun Si Golok Sakti mendengus, “Hm, menyerang secara bersembunyi, bukanlah perbuatan yang gemilang….’

“O, rupanya kau belum puas?” si dara tertawa.

Lo Kun mengurut jenggot dan tertawa nyaring, “Bukan hanya tak puas saja, pun aku me mang ingin me minta pelajaran  beberapa   jurus   dari   nona!”   katanya   seraya me langkah ke muka.

Sinjangkung Ciok Toa-piauw cepat menghadang dan menghanta mnya dengan jurus Cui-san-tiam-hay (mendorong gunung menimbun laut). “Bulus tua, kau o mong apa itu? Makanlah ketupatku ini.”

Tetapi si nona cepat kebutkan hud-tim me lintang serunya, “Mereka toh calon-calon mayat, perlu apa kau me ladeni.”

Thian Hong tergerak pikirannya, ia mengga mit ujung baju Lo Kun, “Jangan gegabah, Lo-heng. Mundurlah!” Si dara me mandang ke arah Siu-la m, serunya, “Harap saudara Pui jangan melupakan perjanjian dengan sumoayku di Beng-gak.  Asal  kete mu  dengan   dia,   dia   pasti   akan meno longmu.” Habis  berkata  ia  terus  berputar  diri  dan  me lintasi telaga.

Si jangkung sejenak me mandang ro mbongan Thian Hong lalu me nyusul si dara.

Tek Sa m-goan dan Mo Tong, kedua anak buah Wan Kiu- gui, merasa terpencil. Karena yang berada di situ se mua termasuk ro mbongan Thian Hong. Mo Tong yang licin segera berseru kepada Tek Sam-goan, “Tek-heng, sayang pemimpin kita tak berada di sini. Mungkin tangan kita  tak cukup menghadapi sekian banyak orang….”

Thian Hong tertawa hambar, “Jangan khawatir. Walaupun kalian me mang ter masuk orang yang harus dilenyapkan untuk kepentingan rakyat Kanglam, tetapi tidak nanti kuturun tangan di te mpat ini!”

Mo Tong tahu Thian Hong itu seorang paderi yang  berwatak utama. Mendengar pernyataan itu, longgarlah perasaan Mo Tong. Namun masih si licik itu sengaja tertawa sinis, “Sebenarnya mati hidup bagiku tak penting!”

Thian Hong tidak mau menghiraukan. Ia berpaling dan berseru pada murid- muridnya, “Sebelum mendapat perintahku,  kalian   tak   boleh   bertindak   sendiri.   Siapa me langgar, akan dihukum!”

Setelah itu si paderi bertanya pada Siu-la m,  “Maaf, siapakah saudara ini?”

Siu-la m me mperkenalkan diri, “Aku jarang datang ke Kang- lam maka totiang tentu tidak kenal.”

“Kalau bukan orang Kang-la m apakah tujuan saudara ke Kiu- kiong-san sini?” Tadi ia mendengar si nona baju merah bicara dengan pemuda itu tentang perjanjian di gunung Beng- gak.

Siu-la m tahu kalau orang menaruh kecurigaan. Untuk mencer itakan seluruh kisahnya tentu me ma kan waktu. Maka ia mengatakan bahwa ia datang hendak menyambangi Gan Leng-po yang sudah dikenalnya la ma. “Tetapi di sini aku berjumpa dengan nona baju merah tadi,” katanya.

Lo Kun mengurut-urut jenggot, belum sempat ia bicara, Kat Wi sudah mendahului, “Jika begitu Pui-heng juga baru saja bertemu dengan gadis itu!”

Kata yang bernada sindiran itu me mbuat Siu-la m tertegun. Tiba-tiba Lo Kun maju hendak mencengkeram bahu Siu- la m, bentaknya, “Jika kau tak mau me mber i keterangan sejujurnya, jangan persalahkan aku seorang tua tidak tahu adat!”

Siu-la m mengisar ke samping, “Hm, menyerang secara mendadak begini, apakah juga bukan perbuatan hina?”

Siu-la m tak mau me mbalas karena hal itu tentu akan menimbulkan ke marahan Lo Kun. Maka cukuplah ia gunakan kata-kata tajam untuk menghentikan tindakan orang.

Perhitungan anak muda itu tepat. Lo Kun menarik tangan dan menyurut mundur, “O, kalau begitu kau hendak menantang aku berkelahi?”

Belum Siu- lam menyahut, Thian Hong sudah maju selangkah untuk me lerai, “Sekalipun Pui-heng ini kenal dengan si nona baju merah tetapi aku berani mengatakan dia bukan anak buah mereka. Harap Lo-heng jangan mendesaknya.”

Thian Hong menyuruh kee mpat mur idnya agar mendayung pondok terapung itu ke tepi telaga. Walaupun mulut mengiakan, tetapi kee mpat murid itu kerutkan dahi. Tak tahu mereka dengan cara apa dapat mendorong pondok itu ke tepi. Rupanya Siu-lam tahu kesulitan mereka. Ia segera menarik tali di bawah air. Seketika pondok itupun meluncur ke tepi. Thian Hong dan rombongan segera mendarat. Kira-kira tujuh li jauhnya, mereka tiba di sebuah puncak gunung. Tiba- tiba keempat murid Thian Hong merasa punggungnya  linu sakit. Badannya mulai tak enak dan tenaganya makin le mas, kakinya me mberatkan. Tetapi karena melihat lain-la innya tidak apa-apa, merekapun tidak berani mengatakan apa-apa kepada gurunya dan paksakan diri berjalan.

Adalah Lo Kun yang me mperhatikan wajah kee mpat orang itu, diam-dia m merasa heran dan berbisik kepada Thian Hong, “Lihatlah kee mpat mur idmu itu apakah tidak sehat?”

Thian Hong berpaling me mperhatikan murid- muridnya. Katanya, “Mungkin mereka dia m-dia m telah dicelakai si nona baju merah tadi!”

Kata-kata paderi itu me mbuat sekalian orang terkesiap. Serempak mereka me mandang ke arah mur id- murid paderi itu. Dan serentak dengan itu t imbullah pikiran pada hati tiap- tiap orang, “Ah, kalau terhadap mereka dilakukan penganiayaan, bukan mustahil terhadap diriku pun demikian.”

Thian Hong mengha mpiri  mur idnya dan  suruh  mereka me mbuka baju. Ah, benarlah. Di punggung mereka masing- masing terdapat lima telapak jari warna merah.

Melihat itu makin gelisahlah sekalian orang. Kat Wi segera suruh engkohnya me mbuka baju. Tetapi Kat Hong rupanya enggan.

“Kalau engkoh tak mau, biarlah aku yang me mbuka bajuku sendiri!” Kat Wi segera me mbuka baju.  Kat  Hong  terpaksa me mer iksa punggung adiknya. Dan ah, kejutnya bukan kepalang. Pada punggung Kat Wie itupun terdapat bekas telapak jari berwarna merah.

“Bagaimana engkoh?” teriak Kat Wi gelisah.

Kat Hong mengangguk sarat, “Mengapa tidak ada? Kita harus lekas, mungkin ayah dapat meno long!” Lo Kun menghela napas, “Ah, sungguh aku harus me minta maaf kepada anda berdua. Anda berdua biasa hidup bersenang-senang di le mbah Tay-beng-koh. Adalah karena kami undang maka anda berdua sampai tertimpa bencana semaca m ini.”

Sambil me ma kai baju, Kat Wie menyahut, “Ah, lo-cianpwe tak bersalah. Malah ke mungkinan lo-cianpwe sendiri juga mender ita hal se maca m ini.”

Sahut Lo-kun; “Aku sudah tua. Mati bukan  soal.  Tetapi anda yang masih muda, ibarat matahari yang baru bersinar, penuh dengan masa depan yang ge milang….”

Kat Hong tertawa, “Tak usah lo-cianpwe terlalu  meresahkan. Mati hidup sudah takdir. Kita  manus ia tak mungkin ingkar. Dan belum tentu luka ini akan me matikan diriku.”

Mo Tong tercekat hatinya. Diam-dia m iapun gelisah jangan- jangan dirinya juga terkena telapak jari si nona. Serunya kepada Tek Sa m-goan, “Tek-heng, harap buka bajumu agar kuperiksanya juga!”

Tek Sam-goan meno lak, “Tak usahlah. Bukan saja aku pasti ada, pun setiap orang di sini tentu juga terdapat bekas jari itu. Sebaiknya kita berhenti dulu untuk menyalurkan  darah  dan me mer iksa bagian jalan darah yang terluka.”

Walaupun berkata kepada Mo Tong, tetapi sebenarnya kata-kata itu ditujukan kepada sekalian ro mbongan Thian Hong totiang. Thian Hong tanpa menyahut terus mendahului duduk berse medhi.

Sekalian orangpun segera menuruti t indakan paderi itu. Masing- masing mengatur pernapasan. Tiba-tiba sekalian orang duduk bersila, salah seorang menyelinap pergi.

“Hai, me mang kutahu kau me mang seorang telur busuk! Berhenti!” tiba-tiba Lo Kun berseru. Walaupun sedang bersemedhi tetapi Lo Kun tetap me mperhatikan gerak-ger ik Siu-la m yang dicurigai itu.

Dan me mang yang menyelinap pergi adalah Siu-la m. Ia tak dapat menahan diri lagi. Ia harus lekas-lekas me mbebaskan sumoaynya dari tahanan si wanita aneh. Ya, me mang ia tahu dirinya tentu mati. Tetapi sebelum  mat i,  ia  harus  dapat meno long sumoaynya dulu.

Mendengar teriakan Lo Kun, kedua saudara Kat Hong dan Kat Wi cepat melenting dengan gerak Capung Me magut Air. Dua tiga kali loncatan, kedua saudara itu sudah berada di belakang Siu-la m.

“Apa maksud kalian mengejar aku?” Siu- lam hentikan langkah.

“Hm, kau hendak ke mana?” Kat Wi mendengus. “Perlu apa kau mengurus?” sahut Siu- la m.

“Me mang aku tak berhak mengurusi. Tetapi pada saat dan

suasana seperti ini kau ngacir secara dia m-dia m, tentu menimbulkan kecurigaan orang!” seru Kat Hong.

Siu-la m dia m- diam mengakui kebenaran kata-kata anak muda itu. Sahutnya, “Benar, jika mencurigai aku me mpunyai hubungan dengan nona baju merah tadi, baiklah aku takkan pergi….” Serentak ia me mbuka baju dan suruh kedua saudara itu melihat.

“Lihatlah, kalau punggung tidak terdapat bekas telapak jari, anggaplah aku dengan nona itu ada….”

Kat Wi cepat menukas, “Jika kuukur dirimu dengan nilai seorang kuncu (ksatria), dikuatirkan kena kau kelabuhi!”

“Apa? Apakah punggungku tak ada bekas telapak jari?” Siu- lam berseru kaget.

Rupanya Kat Hong lebih berpikiran dewasa. Melihat kerut wajah Siu-la m bukan seperti orang yang pura-pura, ia cepat maju mer intangi adiknya yang hendak menyerang. Setelah itu ia berkata kepada Siu- la m, “Benar, me mang punggungmu tak terdapat luka apa-apa!”

Saat itu Lo Kun pun sudah mengha mpir i dan menghadang di tengah jalan. Serunya, “Setiap hari aku biasa berburu burung meriwis, masakan burung meriwis ma mpu menutuk mataku!”

Dalam keadaan seperti saat itu sukar bagi Siu-la m untuk berbuat apa-apa. Segera ia me makai baju lagi.

Dengan mata berapi-api Kat Wi me mandang Siu- la m, serunya, “Bukti sudah nyata, kau mau bilang apa lagi?”

Cepat ia menyelinap  dari  belakang  engkohnya  dan menya mbar lengan Siu-la m.

“Kau kelewat menghina orang!” Siu- lam berteriak seraya menghindar. “Apakah kau kira aku takut pada mu?” iapun balas me mukul dada orang.

Kat Wi terpaksa menghindar. Ketika ia hendak me mbalas, Kat Hong cepat merintangi dan berseru kepada Siu- la m, “Harap Pui-heng berhenti dulu, aku hendak bicara!”

Tetapi Lo Kun serupa pikirannya dengan Kat Wi. Teriaknya, “Separuh umur ku kugunakan berkelana di dunia persilatan. Masakan aku dapat keliru. Jelas orang itu komplotan si nona baju merah. Asal dapat meringkusnya tentu dapat kita paksa supaya menyembuhkan luka kita!”

Walaupun Siu-la m berusaha untuk meredakan suasana, tetapi menerima hinaan se maca m itu, ia  tak dapat mengenda likan diri lagi. Teriaknya, “Ayo, majulah kalian!” Ia menutup kata-katanya dengan me layangkan tinju kepada Lo Kun.

Sambil menangkis Lo Kun me mbentaknya, “Buktikanlah apa tulangku yang tua ini ma mpu menangkis pukulanmu?” Sebenarnya Siu-lam sudah akan menarik pulang tangannya tetapi mendengar kata-kata Lo Kun, bangkitlah amarahnya lagi. Dia m-dia m ia kerahkan tenaganya dan teruskan pukulannya.

Krek…. Siu-la m tersurut mundur dua langkah. Lo Kun tertawa gelak-gelak. Maju merapat lagi, ia  menyerang  lagi. Kali ini bahkan dengan kedua tangan….

Melihat Lo Kun menyerang hebat sehingga Siu-la m kelabakan, Kat Hong dan Kat Wi cepat loncat ke samping mereka. Tetapi hati kedua saudara itu berlainan pandangannya. Kat Wi menjaga jangan sampai Siu-la m lolos, kebalikannya Kat Hong menjaga apabila pemuda itu sa mpai terancam ia siap me mbuatnya supaya lolos….

Pertempuran makin seru. Lo Kun makin menyerang gencar. Hanya karena terdorong rasa marah maka Siu-la m dapat bertahan diri. Dua belas jurus kemudian,  Siu-la m  ma kin payah. Tenaga lemas, badan menjadi keringatan, napas terengah-engah. Berapa jurus lagi, dia pasti akan rubuh!

Melihat  itu  Kat  Hong  sibuk.  Hendak   terang-terangan me lindungi pe muda itu, ia sungkan kepada Lo Kun. Tengah ia gelisah mencari akal, sekonyong-konyong Lo Kun menjerit dan mundur dua langkah. Tinjunya tak dapat digerakkan.

Siu-la m tak me nsia-siakan kese mpatan itu. Maju merapat, segera ia menjotos dada lawan. Tetapi pada saat tinju hendak mengenai sasaran, tiba-tiba Siu-la m melihat wajah orang tua lawannya itu menahan kesakitan, kepalanya basah mengalir keringat. Siu-la m tarik pulang tinjunya menyurut mundur.

Lo Kun mulai me letuk terkulai ke tanah. Tangan kirinya menekan punggung dan mulutnya mengerang-erang.

Melihat itu marahlah Kat Wi. Ia mengira Siu-la m yang menyebabkan Lo Kun rubuh. Tanpa banyak bicara segera ia menyerang pe muda itu. Sekaligus ia lancarkan e mpat buah serangan. “Adik Wi…!” Kat Hong me manggilnya.

“Jangan kuatir, engkoh. Aku seorang cukup untuk menghadapinya!” sahut Kat Wi yang salah menafsirkan panggilan engkohnya.

Thian Hong cepat loncat mengha mpiri Lo Kun, “Lo-heng, terluka.…”

Thian Hong tak lanjutkan katanya. Ia ingat Lo Kun pun ditampar punggungnya oleh si nona baju merah. Mungkin juga terlekat telapak jari si nona. Karena marah dan menyerang Siu-la m, luka itu cepat sekali mere kah.

Buru-buru  Thian  Hong   merobe k   baju   Lo   Kun   dan me mer iksanya. Ah, benar, benar juga, punggung jago tua itu juga terbekas telapak jari merah dan saat  itu  malah  sudah me mbengkak besar. Ketika diraba, luka itu  panas  rasanya. Dia m-dia m paderi itu menghela napas. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu pukulan beracun yang sede mikian aneh….

Berpaling kepada keempat muridnya, tampak  mereka masih duduk bersila. Wajahnya menampil kesakitan dan muka basah keringat.

“Hai, berhentilah kalian bertempur. Aku hendak bicara!” cepat-cepat ia menyerukan supaya Kat Wi dan Siu-la m berhenti.

Siu-la m cepat loncat mundur. Tetapi Kat Wi tetap merangsang hendak menyambar lengan lawan. Kat Hong tak senang melihat tindakan adiknya yang melanggar peraturan pertempuran. Orang sudah berhenti, dia mencuri kese mpatan menyerang. Cepat-cepat Kat Hong loncat mengha mpir i. Maksudnya hendak mencegah sang adik. Tetapi Siu- lam salah mengerti. Dikiranya Kat Hong hendak membantu adiknya. Dengan seluruh sisa tenaganya Siu-la m gunakan jurus Khui- long-poh-la m menyongsong Kat Hong. Sedang sikut kirinya menyodok la mbung Kat Wi. Karena marah Siu- lam telah gunakan seluruh tenaganya. Ia bersedia bertempur sa mpa i mati.

Kat Hong kaget. Ia tak mengira Siu- lam akan menyerang dirinya. Karena serangan dilakukan cepat sekali, tak mungkin  ia menghindar. Terpaksa ia menangkis dengan tangan kanan.

Dua buah pukulan itu menimbulkan reaksi yang cukup hebat. Tinju Kat Hong tertahan di tengah jalan karena terdampar angin pukulan Siu-la m. Tetapi Siu-la m pun tergetar tangannya sehingga me mbentur tangan Kat Wi.

“Hm, kau sendiri yang cari sakit, jangan salahkan aku seorang kejam!” Kat Wi mendengus dingin seraya mencengkeram siku lengan orang. Seketika Siu- lam rasakan  le mas, darah membalik ke atas me lancar jantung. Dadanya hampir me ledak.

“Menang karena mengeroyok, bukanlah….” belum selesai Siu-la m mengha mbur kan ma kian t iba-tiba terdengar lengkingan seorang dara, “Cis, tak tahu ma lu, masakan dua orang mengeroyok seorang!”

Sesosok tubuh melayang dari udara dan tahu-tahu Kat Wi lepaskan cengkera mannya dan terpental mundur. Seorang dara kira-kira berumur lima belasan tahun, muncul di muka Siu-la m. Rambut dara itu dikepang dua, pakaiannya dari kain kasar. Dengan wajah marah, ia me lindungi di depan Siu-la m.

Bermula Kat Wi mengira dirinya didorong oleh seorang sakti. Demi melihat  pendatang itu hanya seorang  dara gunung, marahlah ia, “Budak liar, ayo lekas enyah kau!” ia  maju mengha mpiri.

“Siapa yang kau maki?” dara itu melengking marah. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ia menyerang Kat Wi. Hanya dalam sekejap mata saja ia sudah lancarkan tiga serangan kilat. Kat Wi dipaksa mundur beberapa langkah. Sebenarnya Kat Hong hendak melindungi Siu- lam tetapi karena munculnya si dara yang menyerang Kat Wi begitu deras, karena kuatir adiknya menderita, Kat Hong terpaksa mena mpar punggung dara itu.  Tetapi  Siu-la m  pun menguatir kan  kesela matan  si  dara.  Begitu  Kat   Hong mena mpar, Siu-la m juga menyerang Kat Hong.

“Siapa suruh kau me mbantu aku? Lekas mundur! ” Di luar dugaan dara itu berpaling dan me mbentak Siu- la m.

“Apa?” Siu-la m terhenyak.

Adalah karena me mbagi perhatian pada Siu-la m maka lengan dara itu tertepuk tangan Kat Hong. Dara itu tertawa dingin. Cepat laksana kilat, ia tusukkan jarinya ke siku lengan Kat Hong. Kat Hong terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.

“Hai, mengapa dia dapat bergerak  luar  biasa  cepatnya!” dia m-dia m Kat Hong mengagumi.

Saat itu Kat Wi marah sekali. Cepat ia mencabut sepasang poan-koan-pitnya. Ilmu ajaran dari ayahnya (Kat Thiat-beng) yang disebut Liu-sing-pit atau pit bintang meluncur segera dimainkan. Ilmu totokan poan-koan-pit yang terdiri dari tiga puluh enam jurus itu hebatnya bukan kepalang. Seketika  tubuh Kat Wi seperti terbungkus oleh ribuan sinar bintang.

Liu-s ing-pit merupa kan kepandaian istimewa dari Kat Thian-beng. Jago itu menga mbil kelebihan-kelebihan dari berbagai ilmu, digabung dan dise mpur nakan sehingga kaya dengan variasi. Jurus-jurus ilmu pedang, golok, tombak dan lain-la in, se mua terdapat dalam ilmu poan-koan-pit!

Kat Hong tak setuju me lihat adiknya menghadapi seorang dara gunung dengan cara begitu. Waktu ia hendak mencegah, tiba-tiba dara itu sudah maju menerjang ha mburan sinar pit. Dengan sepasang tangan kosong, dara itu menghadap sepasang poan-koan-pit! Berselang lima jurus ke mudian, sekonyong-konyong dara itu melengking. Sekali balikkan tangan, ia dapat menangkap siku lengan kanan Kat Wi. Dan sekali disentakkan, berhasillah ia merebut sebatang poan-koan-pit dari anak muda itu.

Indah dan luar biasa sekali gerakan dara itu. Kat Hong dan Siu-la m benar-benar tak mengerti, ilmu apakah yang digunakan si dara untuk merebut poan-koan-pit Kat Wi itu.

Sebelum Kat Hong dan Siu-la m hilang cengangnya, tiba- tiba si dara melangkah maju dan setelah menghalang poan- koan-pit di tangan kiri Kat Wi, si dara segera mengangkat tangannya dan siap menusukkan poan-koan-pit rampasannya tadi ke dada lawan….

Tiba-tiba Kat Wi menjerit dan mundur dua langkah. Bluk, ia jatuh terduduk di tanah. Poan-koan-pitnyapun jatuh ke tanah!

Melihat adiknya jatuh, marahlah Kat Hong. Karena teraling tubuh si dara, ia tak tahu bagaima na adiknya sampai rubuh itu. Tetapi ia duga tentulah ditusuk si dara. Cepat ia mencabut sepasang poan-koan-pitnya dan terus menyerang si dara. Sekaligus ia gunakan jurus Hong- lui- ki- hwat atau badai dan halilintar menderu, menutuk punggung,  kepala  dan pinggang si dara. Cepat dan dahsyatnya bukan main sehingga tak keburu lagi Siu- lam hendak mencegah.

“Awas, nona!” satu-satunya cara untuk me mbantu si dara hanyalah berseru me mperingatkannya.

Sebenarnya teriakan Siu-la m itupun sudah dekat punggung si dara. Dan tampaknya si dara masih acuh tak acuh. Begitu poan-koan-pit ha mpir menyentuh punggungnya  barulah  ia me mbungkuk ke muka dan gerakkan sebelah kaki menyapu kaki lawan.

Gerak menghindar dan menyerang itu me mbuat Kat Hong terkejut. Buru-buru ia loncat ke belakang. Cepat me mang pemuda itu me mbuat reaksi, tetapi ternyata si dara  lebih cepat lagi. Sebelum tubuh pe muda itu melayang ke belakang, kaki si dara sudah mendahului menyepak lututnya.  Seketika Kat Hong rasakan separuh tubuhnya kaku. Walaupun ia tak sampai rubuh tetapi ia tak me mpunyai tenaga untuk menyerang lagi.

Dara itu me lenting berputar diri, serunya, “Jika ayahku tak me larang sembarangan melukai orang, kakimu tentu sudah kupatahkan!” Ia buang poan-koan-pit rampasan dari Kat Wi ke tanah. Berputar tubuh terus ngeloyor pergi….

Sebagai seorang yang berpengalaman, seketika tahulah Thian Hong bahwa dara itu seorang sakti.

Percuma ia hendak mengejarnya. Dan yang penting dalam rombongannya harus ada yang me mimpin. Jika ia sa mpai kalah lagi dengan dara aneh itu, rombonganna pasti berantakan ibarat sapu lidi tanpa pengikat. Dengan pertimbangan itu ia me mutuskan untuk tidak turun tangan.

Setelah beberapa tombak jauhnya, tiba-tiba  dara gunung itu berpaling dan berseru, “Ih, kenapa kau tak menyusul aku? Begitu aku sudah jauh, orang tentu akan  mengganggumu lagi!”

Siu-la m gelagapan. Ikut salah, tidak ikut pun salah. Ia terlongong-longong. Akhirnya ia menyusul dara itu.

Walaupun betis kakinya terluka, na mun Kat Hong  mas ih me mikirkan keadaan adiknya. Dengan kerahkan tenaga ia loncat ke tempat adiknya, “Apakah luka mu parah?” Baru ia mengucap begitu, tiba-tiba kaki kirinya terasa linu kesemutan dan tubuh terhuyung-huyung. Buru-buru ia duduk.

Kat Wi me mbuka mata  dan menggeleng,  “Bukan dara gunung itu yang melukai diriku!”

Thian  Hong  cepat  lari   mengha mpiri,   tukasnya,   “Oh, ke mungkinan tentulah racun pukulan dara baju merah itulah yang menyebabkan!” cepat ia me mbuka baju Kat Wi dan me mer iksanya. Pada punggung pemuda itu terdapat telapak jari merah. Sekelilingnya me mbenjul biru.

Kat Hong  terkejut  dan  buru-buru  suruh  adiknya menyalur kan pernapasan, “Setelah kau dapat menghentikan rasa sakit, segera aku kupanggul pulang. Mungkin ayah dapat meno long!”

Berkata paderi Thian Hong, “Kita semua terkena pukulan beracun dari dara baju merah itu. Hanya karena keadaan badan dan latihan kita masing- masing berbeda maka bekerjanya racun itupun berbeda juga waktunya. Sebenarnya berkat tenaga dalam yang cukup kokoh, adikmu dapat bertahan lama. Tetapi karena bertempur tadi ma ka darah menga lir lebih keras dan racun cepat bekerjanya,” paderi itu diam sejenak menghe la napas. Katanya pula, “Terus terang, aku sendiri saat inipun agak mulai terasa sakit di punggung. Mungkin racun sudah mula i bekerja. Sekalipun  ayahmu mungkin dapat menyembuhkan, tetapi jarak gunung Hun-tay- san amat jauh. Dalam waktu setengah hari tidak mungkin dicapai. Apabila di tengah ja lan racun dalam tubuhmupun bekerja, siapakah yang akan meno long?”

Seperti disadarkan, Kat Hong segera menyalurkan darahnya. Ah, punggungnya juga terasa kaku-kaku sakit.

“Me mang ucapan lo-cianpwe tepat. Tetapi apakah kita rela mati menunggu ke matian tanpa berdaya apa-apa?” bantahnya. Dan berpaling kepada adikya, tampak kepala Kat Wi bercucuran keringat. Kat Hong ma kin bingung.

Thian Hong seorang paderi yang banyak pengala man. Dalam menghadapi kesukaran saat itu ia tetap bersikap  tenang. Ujarnya sambil tersenyum, “Harap Kat-heng jangan gelisah. Ijinkan aku me mikirkan daya upaya!”

Menengadah ke atas, tampak deretan puncak gunung yang tertutup salju. Namun paderi itu tak tertarik akan pemandangan alam yang sepermai itu. Tiba-tiba ia merogoh ke dalam jubahnya dan mengeluarkan dua botol kumala. Dituangnya dua butir pil, serangkum hawa wangi me mbaur semerbak.

“Ah, kalau pil ini dapat menyembuhkan luka Wan Kiu-gui dari  racun  Chit-jiau-soh,  mungkin  dapat   juga   untuk menye mbuhkan luka pukulan beracun dari dara baju merah. Betapapun halnya, baiklah kucoba pada mere ka,” sejenak ia menimang lalu me mberikan kedua butir pil itu pada Lo  Kun dan menyuruhnya minum.

Saat itu keadaan Lo Kun ma kin payah. Walau  ia bersemedhi dan berjuang mati- matian untuk menutup racun, namun  tubuhnya  tetap  panas  seperti  terbakar.   Keringat me mbanjir seperti orang mandi. Antara sadar tak sadar,  Lo Kun menyambut pil dan terus menelannya.  Dengan tegangnya, Thian Hong menunggu perke mbangan Lo Kun. Dapat tidaknya pil itu menye mbuhkan racun pukulan si dara, tergantung dari percobaan pada Lo Kun!

Sepeminum teh la manya, keringat Lo Kun mulai berkurang dan cahaya mukanya mula i tenang. Girang Thian Hong bukan kepalang. Segera ia membagikan pil itu pada dua kakak beradik Kat serta keempat mur idnya. Setelah minum dan menyalur kan darah, keadaan mereka ta mpak baik lagi.

Sekarang kita ikuti dulu Siu- lam yang menyusul si dara gunung. Kira-kira e mpat li jauhnya, tiba-tiba Siu-la m berhenti. Ia teringat akan penderitaan yang dialami sumoaynya. Setiap detik terla mbat, berarti setiap detik siksaan bagi sumoaynya itu.

“Terima kasih atas pertolonganmu, nona!” Ia berseru kepada dara gunung itu.

Tiba-tiba dara gunung itu berpaling dan menegur, “Ih, apakah kau lupa padaku?”

Sebenarnya Siu-lam sa mar-samar sudah ingat bahwa dara gunung itu adalah dara dari warung makan yang pernah disinggahinya ketika ia hendak menda ki ke gunung Coh-yang mencari Su Bo-tun te mpo hari. Hanya karena tak tahu siapa namanya, maka tak dapatlah Siu-lam me manggil. Buru-buru ia me mber i hor mat, “Masakan aku lupa akan pertolongan nona yang telah memberi makan padaku te mpo bulan yang lalu. Karena tak tahu….”

“Benar,” tukas si dara gunung, “me mang saat itu aku tak me mber itahukan siapa na ma ku. Nah, dengarlah. Aku orang she Tan…” tiba-tiba dara itu tersipu-sipu merah mukanya. Ia teringat dirinya seorang anak perawan masakan tak sungkan me mber itahukan na ma kepada seorang pe muda.

“O, kiranya nona Tan. Aku bernama Pui Siu- la m,” Siu- lam me mber i hor mat.

Tiba-tiba dara itu menghela napas, “Ah, kakekkupun datang!” Nadanya penuh kerawanan disertai dengan kerut wajah yang mura m.

Siu-la m terkesiap heran, ujarnya, “Kakek nona tentu seorang cianpwe sakti yang terpendam. Sungguh suatu kebahagiaan apabila aku dapat berjumpa!”

Dara itu menghela napas, “Penyakit la ma kakekku baru- baru ini ka mbuh lagi. Sudah tiga hari tiga ma lam beliau tak sadar. Di tengah gunung sunyi ini sebagai dara aku harus menghadapi peristiwa begini,” bercucuran air mata dara itu.

“Harap nona jangan bersedih. Orang baik tentu diberkahi Tuhan,” Siu-la m menghibur.

“Ah, tetapi kakek mungkin tak dapat hidup lagi,” kata si dara dengan rawan.

Siu-la m tertegun,  ujarnya,  “Aku  membawa  beberapa maca m pil mujijat dari Ti-ki-cu Gan Leng-po. Mungkin dapat menye mbuhkan kakek nona!”

Si dara menggeleng, “Dalam hal ilmu pengobatan, kakek tiada tandingannya. Penyakita yang betapa beratpun dapat dise mbuhkan. Kali ini dia tak dapat menyembuhkan lukanya sendiri, terang kalau sudah tiada harapan. Sekalipun tabib Hoa To  yang  termasyhur  hidup  lagi,  tetap   takkan   dapat meno longnya!”

Habis berkata dara itu la lu berjalan perlahan- lahan.

Siu-la m tertegun. Ia teringat beberapa kali telah mendapat pertolongan. Bagaimana ia dapat me mbiarkan dara itu pergi seorang diri dalam kesusahan? Dan sekurang-kurangnya ia haturkan terima kasih pada dara itu. Segera ia mengikut inya.

Setelah menikung dua buah tikungan, tibalah mereka di sebuah karang tinggi. Si dara me mandang ke atas karang, serunya, “Kakek tinggal di goha puncak karang  itu!” tiba-tiba ia  loncat  mela mbung  dan  berjumpalitan   di   udara,   lalu me layang ke puncak karang.

Siu-la m me nimang-nimang. Puncak karang itu tidak kurang dari dua to mba k lebih tingginya. Sekalipun ia kerahkan seluruh ilmu ginkangnya, tak mungkin ia ma mpu mencapai puncak karang itu. Karena itu melandai tinggi, tiada terdapat lekuk atau benjolan yang dapat dibuat me manjat. Siu- lam kesima.

Rupanya dara itu tahu apa yang diresahkan si anak muda. Segera ia melo los ikat pinggang dan menjulur kan ke bawah, “Loncat dan peganglah ujung ikat pinggang, biar  kutarik kau ke atas!”

Walau malu hati, tetapi Siu-lam terpaksa menurut juga. Setelah berhasil menarik pe muda itu ke atas dan me makai ikat pinggangnya lagi, si dara mengatakan kakeknya tinggal di dalam goha di sebelah muka. Dara itupun la lu berjalan menuju ke goha itu.

Me mang Siu- lam melihat di hadapannya terdapat sebuah goa, kecil dan besar. Seorang tua bungkuk dan jenggotnya putih, tengah berbaring di atas tumpukan rumput kering. “Kek, ada tetamu hendak menjengukmu!” si  dara berlutut di sisi orang tua itu dan me manggilnya beberapa kali. Tetapi rupanya orang tua itu tidak mendengar. Bahkan tubuhnyapun tak berkutik sa ma sekali.

“Biarkan dia tidur, tidak usah dibangunkan,” kata Siu- la m. Rupanya si dara mau mendengarkan perintah Siu- la m. Ia duduk   me meluk   lutut   dan    air    matanya    bercucuran me mandang keadaan sang kakek….

Suasana dalam ruang goa sunyi senyap. Siu-la m tak tahu bagaimana harus menghibur dara itu. Dia m-dia m ia heran. Orang tua itu tentulah seorang tokoh yang berilmu sakti. Mengapa berada dalam tempat semacam itu? Apakah penyakit yang diidapnya?

Tiba-tiba orang tua itu menghela napas dan bangun. “Song-ji, kau menangis lagi?” serunya kepada si dara yang sesenggukan.

Buru-buru si dara mengusap matanya dan menggantinya dengan tertawa, “Tidak, kek. Aku tidak menangis.”

Namun betapapun dara itu berusaha untuk menutupi kesedihannya, tetap makin mena mbah suasana kedukaan saat itu.

Kakek bungkuk itu menggelengkan kepala, “Telah kukatakan pada mu beberapa kali. Saat ini kau sedang berlatih lwekang Hian-shian-ginkang. Di antara dua belas jalan darahmu ada jalan darah terakhir mu yang belum terbuka yakni jalan darah Seng-si-hian-kwan. Justeru  inilah  yang paling penting. Dapat tidaknya latihan itu selesai, tergantung dari dapat tidaknya Sang-si-hian- kwanmu tertembus. Lukaku yang lama ka mbuh lagi, racun sudah menjalar ke seluruh tubuhku. Sekalipun mendapat pil dewa, tak mungkin dapat meno long jiwaku.”

Katanya lagi, “Tenaga mur ni sudah habis. Aku sudah seperti pelita kehabisan minyak. Maka  sebelum menutup mata, aku ingin menye mpurnakan kepandaianmu. Untuk itu dengan paksakan diri setiap hari karena menderita siksaan harus menyalur kan darah dalam tubuhku….” ia berhenti sejenak dan perlahan-lahan alihkan pandangannya kepada Siu-la m. Tegurnya, “Song-jie, siapakah orang itu?”

“Dia orang yang kutolong baru saja tadi!” sahut si dara. Kemudian ia menerangkan bagaimana Siu- lam dikerubuti beberapa orang dan akhirnya ikut hendak menjenguk kakeknya di goa.

Siu-la m tersipu-s ipu merah mukanya. Ia merasa tersinggung atas ucapan si dara yang menyebut-nyebut tentang pertolongannya. Buru-buru ia bangkit dan me mberi hormat kepada dara itu, “Terima kasih budi pertolongan nona. Lain waktu aku tentu akan me mba las mu. Karena masih ada lain urusan penting, aku mohon diri!”

Baru tiba di mulut goha, tiba-tiba terdengar si kakek menggera m, “Hm, belum pernah ada orang yang berani bertingkah liar di hadapanku. Nyalimu besar sekali,  budak. Kau mau ke mbali atau tidak?”

Walaupun nadanya agak rendah tak bertenaga tetapi masih penuh wibawa. Siu-la m tertegun dan berhenti. Berpaling ke belakang dilihatnya kakek bungkuk itu duduk bersandar dinding goha. Wajahnya pucat tetapi tetap memancar kewibawaan. Tanpa disadari Siu-la mpun mengha mpir i lagi.

Di hadapan si kakek, Siu- lam pun me mbungkuk me mberi hormat, “Lo-cianpwe hendak me mberi pesan apa?”

Kakek itu me mbuka mata. Matanya me mancarkan sinar berkilat-kilat tajam. Pada saat pandangan Siu-lam beradu dengan mata si kakek, dia m-dia m ia menggigil.

Si kakek me mandang Siu- lam dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Serunya dingin, “Berhadapan dengan aku, mengapa kau begini tak tahu adat?” “Ah, mana aku berani,” Siu- lam tersipu-s ipu.

“Dewasa ini, orang yang berhadapan dengan aku dan tak me mber i hor mat, sungguh dapat dihitung jumlahnya. Dan kau termasuk orang yang me mper lakukan aku seperti orang biasa saja!” kata si kakek.

Panas juga hati Siu-la m mendengar kata-kata sombong dari si kakek. Kalau menurut i perasaannya, seketika itu juga ingin menda mpratnya. Tetapi pada lain saat itu teringat akan si dara. Jika ia berlaku keras terhadap si kakek itu, tentulah si dara akan berduka. Bukankah ia berhutang budi dengan dara itu. Ah, lebih baik ia menurut i kata-kata si kakek. Buru-buru ia bangkit dan me mberi hor mat kepada si kakek.

Tiba-tiba wajah kakek itu berubah ge mbira. Katanya  dengan le mah, “Bangunlah, nak! Me mang tak terhitung jumlahnya orang yang memberi hor mat kepadaku. Tetapi orang yang me mberi hor mat begini khidmat, hanyalah kau seorang….”

Dia m-dia m Siu-la m mengkal. Bukankah si kakek itu sendiri yang menyuruh ia me mberi hor mat. Dengan penuh keberanian, Siu-la m mengangkat kepala dan menatap si kakek. Pada kedua pipi si kakek itu terdapat dua buah bekas luka guratan golok. Suatu hiasan yang mena mbah keseraman wajah kakek itu.

Kakek bungkuk itu menghela napas. Ia me mandang keluar goha yang telah terang benderang tertimpa sinar  mentari pagi. Kemudian ia me mandang si dara. Katanya seorang diri, “Song-ji,  aku  kuatir tak dapat keluar dari  goha ini sela ma-   la manya. Andaikata dapat keluar, tetapi sudah tak dapat menikmati alam pe mandangan di luar goha lagi….”

Tiba-tiba dara itu menangis sesenggukan, ujarnya berbisik, “Kek, jangan tinggalkan aku! Di dunia hanya kakek seorang yang menjadi keluarga….” Tubuh kakek itu agak ge metar. Ujarnya setengah berbisik, “Aku sudah menderita sela ma belasan tahun. Kini rupanya tak dapat kupertahankan lagi. Kecuali bisa mendapat peta Telaga Darah….ah, percuma. Sekalipun bisa mendapatkan peta itu, tetapi sudah terlambat….”

“Tidak, kek! Kutahu kau masih dapat hidup lebih panjang, tetapi kau sendiri rupanya yang tidak mau.”

Kakek bungkuk itu merenung. Pelahan-lahan ia ulurkan tangan mengelus-elus kepala si dara, “Aku sudah kehabisan tenaga murni. Walaupun minum air Ki-seng-hwe-si, juga tak dapat menolo ng lagi. Ah, kau bakal hidup seorang diri….”

Dara itu tak dapat menahan kedukaannya. Ia menubr uk dada si kakek dan menangis tersedu-sedan. Kakek itu pejamkan mata. Dua butir air mata menga lir dari ujung pelupuknya….

Ruang goha sunyi senyap. Diam- diam Siu- lam timbul keheranan. Dara itu begitu cinta sekali kepada si kakek. Tetapi siapakah ayah bundanya? Apakah ayah-bundanya sudah meninggal?”

Si kakek me mbuka mata lagi dan pelahan-lahan mendorong tubuh si dara, ujarnya, “Jangan menangis, cucuku! Di dunia tiada pesta yang tak berakhir. Meskipun aku dapat hidup beberapa tahun lagi, toh tak nanti kau ikut padaku seumur hidup!”

“Tidak, kek,” sahut si dara, “sehari kakek hidup, sehari aku tetap akan mene manimu.”

Tiba-tiba wajah kakek itu mengerut serius, “Song-ji, paling banyak aku hanya dapat hidup setengah bulan lagi. Dalam waktu singkat itu aku harus dapat menurunkan seluruh ilmuku kepadamu….” Ia berhenti  sejenak  me mulangkan  napas, “sela ma belasan tahun ini, kau telah berlatih dengan sungguh- sungguh sehingga kau telah mencapai ke majuan yang hebat. Telah kusadari bahwa aku tak dapat hidup lebih la ma maka kutilik latihan dengan bengis. Tujuanku tak lain agar kau benar-benar dapat mewarisi kepandaianku. Asal aku dapat hidup setengah tahun lagi, cita-citaku tentu terlaksana. Tetapi ah, rupanya Tuhan tak mengijinkan. Pada saat rencanaku belum selesai, tiba-tiba penyakitku la ma ka mbuh lagi!”

“Mengapa dulu-dulu kau tak me mberitahukan kepadaku, kek?”

“Agar pikiranmu tidak terganggu! Nah, sekarang dengarkanlah pesanku. Sebelum mat i, aku menghendaki jalan darah Seng-si-hian-kwanmu terbuka agar latihanmu mencapai kesempur naan. Tetapi jika hal itu gagal, lebih baik kulenyapkan seluruh kepandaianmu dan kawinlah dengan seorang gunung. Mungkin kau dapat hidup bahagia….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar