Wanita iblis Jilid 05

Jilid 5

SEJATI  Wan  Kiu-gui  tertegun   tetapi   cepat-cepat   ia me mpers ilahkan pe muda itu mengatakan permintaannya.

“Apabila nanti Gan lo-cianpwe menanyakan tentang obat yang diberikan kepadaku, bukankah akan menimbulkan kesulitan….”

Wan Kiu-gui tertawa: “Aku tak takut menghadapi kesulitan. Tetapi apabila saudara menginginkan ke mba li botol obat itu, sudah tentu akan kuserahkan!” Segera orang she Wan itu mengeluarkan botol obat dan diberikan kepada Siu-la m. Setelah menga mati botol itu berisi obat, segera Siu-la m menyimpan di dalam bajunya. Katanya: “Perangai Gan lo-cianpwe itu aneh sekali. Jika bertemu harap saudara Wan suka berlaku sabar!”

Wan Kiu-gui menyanggupi. Ia berjanji takkan bertindak keras apabila tidak terdesak. Setelah itu Siu-la mpun mengajaknya berjalan lagi. Diam-dia m Siu-la m gelisah. Tak tahu ia bagaimana kesudahan pertempuran antara Gan Leng- po lawan si dara baju merah, tetapi baik tabib itu menang atau kalah, yang pasti dia tentu takkan berada dalam gohanya lagi. Dan apabila Wan Kiu- gui tak mene mukan tabib itu, sudah tentu akan menumpahkan ke marahannya padanya.

“Hm, aku harus cari daya untuk lolos dari cengkera man mereka,” akhirnya Siu-la m me mutuskan.

Karena getarnya sang perasaan, tanpa disadari Siu-la m berhenti di mulut le mbah. Wan Kiu-gui me negurnya: “Eh, mengapa berhenti. Apakah masih jauh?”

“Beberapa tikungan lagi, tentu sudah datang….” Siu-lam tergugup kaget ketika matanya tertumbuk pada sebuah batu karang besar yang bergurat beberapa tulisan:

“Berani masuk  melangkah  tentu  binasa.” Wan  Kiu-gui me lihat juga tulisan itu. Dengusnya: “Hm,  sombong  sekali. Aku hendak mencoba!”

Seketika timbullah pikiran Siu-la m, ujarnya: “Gan lo- cianpwee tinggal dalam sebuah telaga di le mbah  ini. Beberapa hari yang lalu ketika aku datang, tulisan itu belum ada. Entah siapa yang menulis nya, tetapi yang jelas bukan buah tangan Gan lo-cianpwe!”

Wan Kiu-gui merenung sejenak, katanya: “Cobalah saudara menga mat-a mati lagi, apakah tulisan itu dari Gan Leng-po?” Siu-la m me ngatakan bahwa ia kenal baik dengan tulisan Gan Leng-po. Katanya: “Mungkin dia sedang pergi mencari daun obat-obatan dan suruh orang menjagakan te mpat tinggalnya. Dan orang itulah yang menulis tulisan itu!”

Wan Kiu-gui mengangguk dan me mbenarkan dugaan Siu- la m. Tanyanya sesaat kemudian: “Selain dia, siapa lagikah yang tinggal di sini?”

“Hanya seorang anak yang menjadi pelayannya!” jawab Siu-la m.

Wan Kiu-gui tertawa seram lalu me mberi perintah pada seorang pengawalnya: “Mo Tong, suruh kawan-kawanmu menjaga mulut le mbah ini. Kau dan Tek Sam-goan ikut aku masuk!”

Ternyata yang bernama Mo Tong itu adalah si orang pendek. Dia bersa ma Tek Sa m-goan si orang tua  kurus tersipu berlari mengha mpir i. Se mentara lima orang pengiring yang termasuk jago-jago kelas satu dalam golongan hita m, tanpa menunggu perintah lagi terus pencar diri menjaga mulut le mbah.

“Jika tulisan itu bukan dari Gan Leng-po tentu sudah ada lain orang yang mendahului kita!” kata si pendek Mo Tong setelah me lihat tulisan itu.

“Me mang mencur igakan. Tapi kuperhitungkan tentu bukan paderi Thian Hong. Tak mungkin dia lebih cepat dari kita. Heran, siapakah tokoh lain yang berani ber musuhan dengan aku?” kata Wan Kiu-gui.

Sekali bergerak, tubuh ketua golongan hitam itupun sudah me lesat ke dalam le mbah. Ilmu gin-kangnya luar biasa. Mo Tong dan Tek Sa m-goan segera mengikuti.

Siu-la m tertegun. Dalam keadaan seperti saat itu mundur maju serba salah baginya. Tiba-tiba ia mendengar  pekikan  Wan Kiu-gui. Sepertinya dia sedang bertempur dengan seorang lawan yang hebat. Serentak Siu-lam pun lari  ke dalam le mbah….

Apa yang disaksikan me mbuatnya terkejut bukan kepalang. Tampak Wan Kiu- gui sedang mencekal sebatang tongkat bambu. Mo Tong dan Tek Sam- goan berdiri di belakangnya. Siu-la m cepat-ceat mengha mpiri dan apa yang dilihatnya makin me mbuatnya kaget seperti disa mbar geledek.

Tangan kanan Wan Kiu-gui mence kal secarik kertas. Kertas itu berlukiskan sepuluh sosok mayat. Pinggirnya bertuliskan beberapa huruf, berbunyi:

“Dengan hor mat me nyambut kedatangan. Maaf, tak sempat sedia peti mati.”

Setelah termangu- mangu beberapa saat, Wan Kiu-gui pun

berkata kepada si kurus Tek Sam-goan: “Rupanya perjalanan kita telah diketahui musuh….” Kerutkan alis ia me mandang Siu-la m taja m-tajam: “Bagaimanakah ini? Jika  tak  mau menje laskan sejujurnya jangan sesalkan kalau aku tak menghor mat seorang sahabat!”

Siu-la m geleng-geleng kepala: “Soal ini aku juga tak mengerti. Tetapi yang jelas tulisan ini pun bukan dari Gan lo- cianpwe!”

Dengan mata berapi-api dan tertawa iblis Wan Kiu-gui segera minta Siu- lam menunjuk jalan. Terpaksa Siu-la m menurut.

“Terserah kalau saudara mencurigai aku. Tetapi kukenal jelas bagaimana perangai Gan lo-cianpwe itu. Tak nanti dia bertindak seganas itu. Mungkin setelah aku pergi, dia mendapat bencana….”

Dia m-dia m Wan Kiu-gui mengakui bahwa pe muda itu berkata jujur. Pikirnya: “Jika Thian Hong dan aku mengetahui tentang munculnya peta Telaga Darah itu, orang lainpun tentu tahu juga. Ke mungkinan Leng-po sudah dicelakai orang lain! ” Tak berapa la ma tibalah mereka di telaga. Menunjuk pada kedua pondok terapung di telaga itu, Siu-la m mengatakan kalau pondok itu adalah tempat tinggal si tabib.

Setelah me mandang keadaan di sekeliling, Wan Kiu-gui suruh Tek Sa m-goan me njaga di mulut jalan sedang ia bersama Mo Tong menuju ke pondok terapung.

Tiba-tiba dari dalam pondok terapung yang besar, melintas sesosok  bayangan  biru. Dan  menyusul   terdengar   suara me lengking: “Apakah tuan-tuan baru tiba? Sudah la ma aku menunggu di sini!”

Nadanya tinggi maca m serigala meraung di tengah ma la m. Mau tak mau Wan Kiu-gui seram juga. Dilihatnya pintu pondok mengha mbur segulung asap dan pada lain saat muncullah seorang tua yang bertubuh kurus sekali. Wajahnya aneh. Dengan menjinjing sebuah lentera biru, orang aneh itu me luncur di per mukaan air, mengha mpiri  ke te mpat rombongan Wan Kiu-gui. Dikata me luncur  karena kalau berjalan, kakinya sa ma sekali tidak ta mpa k bergerak….

“Ih, ilmu ginkang apakah yang dijalankan orang itu? Apakah dia bukan bangsa manusia?” dia m-dia m Wan Kiu- gui bercekat dalam hati.

Orang itu makin la ma makin dekat. Dan saat itu hanya terpisah setombak dari tepi telaga. Dari cahaya biru yang dijinjingnya, tampak jelas bagaimana wajah orang itu. Benar- benar sebuah wajah yang membuat bulu ro ma orang berdiri. Muka panjang, leher t inggi, mulut lebar dan kedua matanya besar sekali….

Baik Wan Kiu-gui maupun Mo Tong, adalah benggolan yang biasa me mbunuh orang. Tetapi berhadapan dengan manusia aneh itu mau tak mau mereka bergidik juga.

Sementara Siu-la m segera teringat bahwa manusia aneh itu adalah manusia aneh yang bertempur dengan Su Bo-tun. Segera Wan Kiu-gui hendak menegur tetapi ia tertegun ketika melihat cara  orang  aneh itu berdiri di atas air.  “Gila, me luncur di atas air sudah suatu ilmu aneh, sekarang dia berdiri di atas air! Ah, tak mungkin manusia dapat mela kukan hal semaca m itu. Mungkin mala m in aku bakal ketemu batu!” dia m-dia m Wan Kiu-gui menimang gelisah. Kegelisahan itu menurunkan nyalinya beberapa derajat.

Tiba-tiba si tua kurus  Tek Sa m-goan tertawa dingin: “Menggunakan dua bilah papan berdiri di air untuk menggertak orang, bukanlah ilmu yang mengherankan! Hm, kepandaian maca m begitu masakan ma mpu mengelabui aku!”

Manusia aneh berbaju hitam itu ketika mendengar tipu rencananya  diketahui  orang,   tertawa   mengekeh.  Sekali me lesat, ia melayang ke sebuah batu, serunya: “Karena kalian takut mati, silahkan melihat-lihat ke dalam pondok itu!”

Suara parau, nadanya macam genderang pecah. Tak enak sekali di telinga. Wan Kiu-gui dapatkan bahwa kedua kaki orang aneh itu me mang dilekati bilah papan. Tertawalah ia gelak-gelak: “Maaf, aku tak kenal siapa anda ini! ”

Manusia aneh itu tertawa dingin: “Barang siapa kenal padaku, tentu akan pindah ke dunia lain. Baiklah  kalian  jangan banyak ini itu!”

Wan Kiu-gui yang sudah pulih nyalinya, segera tersenyum: “Oh, begitu? Justeru aku mau bertanya!”

Manusia aneh itu mur ka: “Setelah kau mat i, baru kuberitahukan na maku. Sekarang lekas ke pondok itu agar jam ke matianmu tak terla mbat!”

Kemudian manus ia aneh itu pindahkan pandangannya ke arah Siu-la m, dengusnya dingin: “Hm, kau kembali lagi ke sini, budak. Rupanya kau sudah ditakdirkan mati!” habis berkata manus ia aneh itu loncat  ke  tengah  telaga  lagi  dan  terus me luncur pergi. “Tak kira kalau kau kenal dengan banyak tokoh aneh!” damprat Tek Sa m-goan kepada Siu-la m.

Wan Kiu-gui deliki mata kepada orang bawahannya lalu bertanya perlahan-lahan kepada Siu-la m: “Tentulah saudara tahu dan asal-usul orang aneh itu?”

Jawab Siu-la m: “Walaupun pernah berte mu satu kali tetapi aku tak kenal padanya. Tentang asal-usulnya, mungkin aku tahu sedikit. Pernahkah saudara mendengar tentang gunung Beng-gak?”

“Beng-gak… ” di luar dugaan, benggolan golongan hitam yang banyak pengalaman itu berjengit kaget. “Walaupun aku kenal dengan se mua tokoh golongan hitam ma upun putih di dunia persilatan, tetapi tak pernah kudengar tentang cerita dari orang se maca m itu tadi. Gunung Beng- gak akupun belum pernah mendengar. Harap saudara me mberitahukan di mana letak tempat itu!”

“Eh, aku sendiripun tak tahu tempat itu. Tetapi kalau mereka berasal dari gunung Beng-gak. Pemimpinnya saat ini sedang pit-bun (me menda m diri meyakinkan sesuatu ilmu kesaktian). Yang menjalankah ke mudi pimpinan gero mbolan itu adalah ketiga mur idnya, dara merah dara putih dan dara biru. Mereka gadis-gadis cantik tetapi ganasnya bukan kepalang dan berilmu tinggi pula. Orang aneh tadi, masih belum terhitung seberapa. Paling-pa ling kedudukannya setingkat dengan thau-bak (kepala guru)….”

Siu-la m me mpunyai ingatan taja m. Sekalipun hanya mendengar keterangan secara terpotong-potong tetapi ia dapat me mbuat analisa yang teratur sehingga tak menimbulkan kecurigaan. Sa mpai saat itu Siu-la m berhasil menghindari pe mbicaraan tentang peta Telaga Darah.

Wan Kiu-gui me mberi isyarat mata kepada Tek Sa m-goan dan si pendek Mo Tong, ujarnya: “Rupanya Ti-ki-cu Gan Leng- po telah mati di tangan mere ka. Tetapi karena kita sudah jauh-jauh datang kemar i, biar bagaimana kita tetap harus menjenguk ke dalam pondok terapung itu. Ke mungkinan besar kita akan menghadapi pertempuran. Kalian harus  tunggu isyaratku, jangan sembarangan bertindak sendiri!” habis berkata benggolan itu segera loncat ke tengah telaga. Dengan gunakan ilmu Teng-ping-tok-cui ia berjalan di atas air.

Tek  Sa m-goan  segera menyusul  sedangkan  Mo Tong setelah mengajak Siu-la m baru ia loncat ke telaga.

“Kalau begitu kau tak ma u menjenguk pondok itu.”

“Benar-benar aku tak ma mpu lari di atas air. Maukah kau menunjukkan caranya?” balas Siu- la m.

Tiba-tiba  Mo  Tong  teringat  akan  cara   si  orang  aneh me luncur di permukaan air tadi. Ia minta Siu-la m menunggunya sebentar. Ia hendak cari alat penyeberang untuk pe muda itu.

Tak berapa lama pe muda itu datang dengan dua kerat dahan  kayu   kering  sebesar  lengan.   Ia   suruh   Siu-lam me letakkan dahan kering itu ada telapak kaki. Berkat  sudah me miliki dasar ilmu ginkang, ditambah dengan bantuan kayu kering, dapatlah  Siu-la m   me lintasi   telaga.   Mereka mengha mpiri pondok yang besar. Setelah melepaskan kayu kering, Siu-la m bersa ma Mo Tong masuk.  Tampak Wan Kiu- gui dan Tek Sa m-goan tegak bahu- me mbahu. Si orang aneh berdiri di sa mping pintu. Seperti menjaga jangan  sampai kedua orang itu dapat melo loskan diri.

Keadaan ruang pondok itu sama seperti beberapa hari yang lalu. Hanya di tengah ruangan  tergantung  sebuah penerangan warna biru. Dikata seperti pelita, lampu  pun bukan la mpu. Benar-benar semacam alat penerangan yang aneh. Sebentar memancar kan sinar biru, sebentar hijau. Menimbulkan suasana yang menyeramkan…..

Selain seorang aneh, di dalam ruang tak ada lain  orang lagi. Rupanya Wan Kiu-gui tak dapat menunggu lebih la ma lagi. Tiba-tiba ia berseru: “Mempersilahkan orang ke dalam ruangan, mengapa tak lekas muncul….”

Belum habis berkata, tiba-tiba melengking sebuah suara bernada tinggi: “Sudah mau masuk mengapa  tak dapat menunggu sebentar saja!”

Krit, tiba-tiba dinding mere kah sebuah liang sebesar pintu kecil dan seorang dara cantik berbaju merah, muncul dengan tersenyum-senyum. Tangannya menjinjing sebuah hud-t im. Menuding pada ro mbongan Wan Kiu-gui, dara merah itu menghitung: “Satu, dua, tiga, empat, eh, salah. Bukankah kalian berjumlah sepuluh orang?”

Belum sempat Wan Kiu-gui me mbuka mulut, tiba-tiba si dara baju merah berseru kepada Siu-la m: “Hai, bukankah kita sudah menjadi keluarga? Mengapa kau malah me mbantu orang lain me musuhi aku?”

Si orang aneh terkesiap: “Ji-kounio, mengapa budak itu menjadi keluarga kita?”

Si baju merah tertawa mengikik: “Apakah kau tak tahu bahwa dia menjadi kekasih Sa m-kounio?”

Orang aneh itu geleng-geleng kepala: “Sam kounio cantik sekali dan wataknya dingin. Selama ia tak suka pada orang lelaki. Budak itu kepandaiannya rendah, bagaimana Sam- kounio sudi me mandangnya….”

Dara merah itu tertawa: “Kapankah aku me mboho ngi kau?

Jika tak percaya, tanyakah pada Sam kounio sendiri!”

Tiba-tiba orang aneh itu tamparkan tangannya  keluar hingga air telaga muncrat. Teriaknya: “Jika  benar demikian, ah, burung cendrawasih berjodoh dengan burung gagak, sungguh kasihan Sa m- kounio!”

Setelah beberapa saat, Wan Kiu-gui mulai tenang. Dia m- diam ia mulai menimbang: “Ruangan ini se mpit sekali, tak mungkin mereka berjumlah banyak. Dara baju merah ini paling banyak berumur delapan belas tahun sembilan belas tahun. Taruh kata sejak bayi dia sudah belajar silat, juga takkan mencapai kesaktian yang luar biasa….”

Segera ia tertawa dingin dan bertanya pada Siu-la m: “Tiga nona yang kau ceritakan tadi, apakah nona ini salah satu di antaranya?”

“Benar,” Siu-la m mengiakan.

Dara merah  tertawa  me lengking:  “Bagus!  Kau  sudah me mbocor kan diri kami kepada orang lain…?” ia sejenak berhenti, katanya pula: “tetapi tak apalah, toh kalian takkan dapat pulang lagi!”

“Besar nian kata-katamu,” Wan Kiu-gui tertawa hina.

“Apa? Kau tak percaya pada ucapanku?” dara merah menegas.

Wan Kiu-gui tertawa gelak-gela k. “Hal ini belum saatnya kita bicarakan sekarang! Aku hendak bertanya sedikit hal kepada nona.”

Terdapat perbedaan dalam nada tertawa kedua orang itu, tertawa si dara baju merah bernada tinggi bagai kelenting gemerincing. Sedangkan tertawa Wan Kiu-gui dingin seram seperti iblis mer ingkik.

Tiba-tiba si dara baju merah mengebut api penerangan. Seketika ruang pondok itu gelap gulita, sudah tentu Wan Kiu- gui dan rombo ngannya terkejut sekali. Merekapun bersiap- siap.

Tiba-tiba terdengar si dara merah berseru  melengking:  “Kau perlu tanya apa, silahkan lekas mengatakan. Setelah mendapat keterangan mungkin kau akan mati dengan mata mera m!” Wan Kiu-gui tertawa gelak-gelak. Nadanya mengiang- ngiang menusuk telinga, serunya: “Di manakah Ti- ki-cu Gan Leng-po pemilik pondok ini?”

Wan Kiu-gui mengia kan: “Benar, me mang sudah lama aku mengagumi Gan lo-enghiong dan ingin berjumpa!”

Sebagai kelanjutannya, tiba-tiba si dara baju merah mengebutkan hud-tim kepada orang she Wan, serunya sinis: “Ingin bertemu Gan Leng-po? Bagus….”

Wan Kiu-gui mengge mbor seraya menghindar ke samping. Dengan gerak to-bak-kim-ciong (me mukul roboh genta) dia balas menyerang: “Bagaimana Gan Leng-po?”

Si dara baju merah mengisar diri. Sehabis menghindar serangan Wan Kiu-gui ia menotok Tek Sa m-goan  seraya menjawab pertanyaan orang she Wan: “Dia….”

Tek Sa m-goan me mijak lantai. Dengan me minjam tenaga pijakan itu dia menyelinap ke samping dalam ruang yang gelap gulita. Tek Sam-goan hanya me mikir kan serangan si dara. Dia lupa bahwa di sa mping itu masih terdapat si orang aneh. Belum sempat kakinya berdiri tegak, tiba-tiba dia  dilanda oleh serangkum gelombang tenaga dahsyat serta teriakan parau: “Ho, tua bangka, enyahlah kau!”

Pak tua kurus Tek Sam-goan telah mengikui Wan Kiu-gui di dalam beratus pertempuran besar maupun kecil. Dalam hal berkelahi ia sudah kaya pengalaman.  Cara menghadapi dan me mber i reaksi pada setiap serangan, bukan main cepatnya. Belum sang kaki berdiri tegak, tangan kanan sudah menampar ke belakang. Tapi…. dua buah gelombang tenaga saling berbentur. Sebagai jago berpengalaman, ia menyadari bahwa mengadu tenaga dengan si orang aneh, akan me mbawa bencana. Buru-buru ia loncat menyingkir….

Habis  menyerang  Tek  Sam-goan  kini  si  dara  merah   me mber i giliran pada si orang pendek Mo Tong. Untuk orang pendek itu, si dara gunakan jurus Ci-hong-hud-liu atau angin puyuh me landa pohon. Tetapi Mo Tong sudah siap sedia. Begitu merasa dilanda angin, cepat-cepat ia mnyelinap ke sebelah kiri.

Sambil tertawa gemerincing, si dara merah menyerang ke sana, menampar ke sini. Ganti berganti Tek Sa m-goan dan  Mo Tong dihajarnya. Kedua kaki tangan Wan Kiu-gui itu menjadi kalang kabut…

Walaupun Wan Kiu- gui sakti tetapi ia tak kenal keadaan pondok terapung itu. Ia kuatir dalam pondok itu telah disiapkan alat-alat perangkap. Maka menghadapi a mukan si dara, ia hanya gunakan tujuh puluh persen tenaganya. Lebih banyak berjaga diri daripada menyerang. Itulah sebabnya walaupun ketiga jagoan golongan hitam lelaki yang sakti tetapi mereka dapat dibuat bulan-bulanan oleh serangan si dara.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba dara itu hentikan serangan,  serunya:  “Sedikit   pelajaran   ini   hanya   untuk me mbuka mata kalian. Terserah kalian pilih ja lan mati atau hidup!”

Wan Kiu-gui me ndengus dingin: “Jalan hidup bagaimana?

Jalan mati bagaimana?”

“Jika mau hidup, kalian menyerah saja dan ikut aku ke suatu dunia yang luas. Jika me milih jalan mati, itu mudah  sekali caranya. Asal setiap orang kuberi sebuah pukulan Sam- im-ciang dalam dua belas jam kalian tentu sudah ma mpus!”

Mencuri kesempatan di saat si dara sedang bicara, Wan Kiu-gui me lir ik ke sekeliling pondok. Dan pada saat si dara selesai bicara. Wan Kiu-gui segera menya mbutnya dengan sebuah pukulan yang dahsyat. Biat-gong-cong atau pukulan penglebur angkasa luar, hebatnya bukan alang kepalang. Bruk…. dinding ruang pecah berlubang. Kini keadaan dalam ruang makin je las. Tokoh-tokoh yang bertempur itu me miliki tenaga dalam hebat. Asal ada sedikit penerangan untuk melihat sasarannya, tentu akan digunakan sebaik-baiknya.

Marah sekali si dara karena dinding dihancurkan itu. Tetapi dia seorang dara yang sukar diduga perasaannya. Walaupun marah na mun tetap menyungging senyum tertawa. Ia bergeliat mendekati Wan Kiu-gui, serunya: “Pukulan yang hebat. Benar-benar ma mpu menghancur kan batu!”

Sudah tentu Wan Kiu-gui tahu apa yang hendak dirancang dara itu. Tak mau ia didekati. Kontan ia lontarkan pukulan Hui-poan-jong-ciong (alu me mukul lonceng).

“Apakah Gan Leng-po sudah mati di tanganmu?” serunya.

Si dara merah salurkan tenaga dalam ke arah hud-tim. Ia menyabet perlahan dan lenyaplah pukulan Wan Kiu-gui.

“Begitu besar perhatianmu terhadap orang itu. Bukankah karena peta Telaga Darah?” seru si dara seraya maju lebih dekat dan tamparkan kebutannya. Rambut hud-tim itu lurus- lurus seperti sapu lidi.

Wan Kiu-gui tergetar. Kini baru ia tahu bahwa  bukan saja si dara me miliki kelincahan yang hebat, pun juga me mpunyai tenaga dalam yang dahsyat. Ia pun maju menyongsong dengan jurus Chiu- poh-ngo-hian (lima jari me met ik harpa).

Si dara tersenyum: “Silahkan kau mengeluarkan seluruh kepandaianmu!  Dalam  tiga  puluh  jurus  jika  tak  ma mpu me mbunuhmu,  akan  kulepaskan  kau   dengan   penuh kehor matan!”

Si dara menutup ancamannya dengan  menutukkan  kebut ke lengan Wan Kiu-gui. Wan Kiu-gui menyurut mundur. Tiba- tiba si dara melesat ke te mpat Mo Tong. Ta mparkan kebut  dan tebaskan tangan, tiga kali berturut-turut dara itu menyerang si pendek. Walaupun hanya tiga tetapi cepat dan dahsyatnya bukan alang kepalang. Dua jurus Mo Tong dapat menghindari tetapi jurus yang ketiga, bahu kirinya tersentuh kebutan hud-tim. Sakitnya bukan kepalang. Ketika Mo Tong mas ih tertegun karena rasa sakitnya si dara sudah menusukkan kebut kepadanya. Jago pendek itu tak mungkin menghindar lagi. Bluk, rubuhlah ia ke lantai…..

Serentak Tek Sam-goan loncat hendak menolo ng, tetapi si orang aneh sudah mencegahnya dengan sebuah pukulan keras. Tek Sa m-goan terpaksa mundur lagi.

Adegan itu berjalan hanya dalam sekejap mata. Karena mengira si dara hendak menyerangnya, ia mundur selangkah. Siapa tahu ternyata si dara alihkan serangan kepada Mo Tong, Wan Kiu-gui tak se mpat menolo ng anak buahnya itu lagi.

Setelah merubuhkan Mo Tong, si dara lanjutkan serangannya pada Wan Kiu-gui. Sedang si orang aneh tetap mengha mburkan pukulan untuk menghalangi Tek Sa m-goan me mbantu Wan Kiu-gui.

Si dara merah tak mau me mberi hati. Serangan hud-tim diperlancar untuk mengarah jalan darah lawan.

Sebagai tokoh golongan hitam yang disegani di seluruh wilayah Kang- la m, Wan Kiu-gui me mang me mpunyai kepandaian  yang  luar  biasa.  Menghadapi  si   dara  iapun me mber i perlawanan yang seru. Deru angin yang ditimbulkan dari pukulannya me mbuat pakaian dara itu  bertebaran. Namun dara itu makin la ma ma kin aneh ilmu serangannya. Permainannya hud-tim ma kin aneh sehingga seorang mo mok seperti Wan Kiu-gui yang kaya pengala man menjadi bingung juga.

Me mang luar biasa permainan si dara itu. Tampaknya hud- tim mengebut ke sa mping tetapi tiba-tiba menggeliat menyerang ke bawah. Perubahan yang tiba-tiba dan sukar diduga itu, me mbuat lawan selalu terkejut. Untuk menjaga sampai si dara mende kat, Wan Kiu-gui terus-menerus mengha mburkan pukulan dahsyat. Memang dengan cara itu bermula Wan Kiu-gui berhasil me mancang lawan pada jarak tertentu. Tetapi karena terus menerus  menghantam,  la ma kela maan ia lelah juga. Sedangkan si dara menge mbangkan permainan lebih aneh….

Menghadapi lawan sehebat itu mau tak mau gentar juga nyali Wan Kiu-gui. Ia insyaf jika diteruskan tentu ia celaka. Seketika ia menga mbil putusan. Sambil bersuit kecil ia lancarkan tiga buah pukulan dahsyat. Pada saat si dara menyusut mundur, Wan Kiu-gui loncat ke belakang. Sekali tending, dinding papan hancur dan terlempar ke dalam air.

Wan Kiu-gui loncat keluar dan me layang di atas sekeping papan….

“Anak bulus, hendak lari ke mana kau!” teriak si orang aneh dengan suaranya yang parau. Menjebol sekeping  papan  ia pun loncat menyusul. Wut, ia lontarkan pukulan ke dada Wan Kiu-gui.

Wan Kiu-gui terkejut. Pukulan orang aneh itu hebat sekali, tak berani ia betrayal. Dengan sekuat tenaga ia menangkis. Krek…. seketika Wan Kiu-gui rasakan darahnya bergolak keras dan tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang.  Dan  papan yang sudah dibuat pijakan itupun mengendap  ke bawah. Air telaga muncrat berha mburan ke mana- mana.

Sebenarnya orang aneh itu galak sekali. Tetapi karena air muncrat keras, ia tak berani menghantam lagi mela inkan menghanta m bahu kiri Wan Kiu-gui. Kiranya dia tak pandai berenang maka kuatir kalau papan pijakannya dilanda tenggelam oleh goncangan air.

Wan Kiu-gui terkejut lagi. Orang aneh yang dikatakan hanya berkedudukan sebagai thau-bak (kepala regu) ternyata sedemikian dahsyat pukulannya. Ia merasa berbahaya kalau  me lanjutkan adu tenaga dengan orang aneh itu. Belum hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu bahunya hendak dicengkera m. Wan Kiu-gui cepat mengisar tubuh  lalu menebas lengan lawan disusul dengan menendang  perut orang aneh itu.

Papan yang mereka pijak itu hanya sekeping kecil, kira-kira hanya setengah meter panjangnya. Bertempur di atas keping papan kecil itu, tubuh mereka berguncang-guncang hendak tenggelam. Separuh tubuh mere ka terendam air.

Adalah karena tubuhnya kelewat tinggi, ma ka kaki tangannya tak leluasa bergerak. Dan karena takut tenggelam, ia tak berani menyerang. Untung ia  me mpunyai kelebihan  dari tangannya yang panjang. Sambil menarik tangan kirinya, ia menebas tendangan lawan dengan tangan kanan.

Sebagai seorang tokoh terke muka, cepat sekali Wan Kiu-gui mengetahui kele mahan lawan.  Ia tertawa me manjang  lalu  me lancarkan serangan gencar dengan pukulan dan tendangan. Maju mundur, naik  turun  ia  berlincahan menghuja m serangan. Karena separuh perhatiannya ditumpah untuk menjaga keseimbangan tubuh agar jangan tenggelam dalam telaga, maka si orang aneh hanya gunakan separuh tenaganya untuk menghadapi serangan Wan Kiu-gui. Dalam kedudukan itu, ia hanya dapat bertahan tak sanggup balas menyerang!

Pada saat Wan Kiu-gui menang angin, tiba-tiba dari dalam pondok terdengar lengking teriakan seram. Cepat sekali teriakan itu hilang. Jelas bahwa teriakan itu berasal dari Tek Sam-goan. Tentunya pembantunya itu dirobohkan  oleh  si dara baju merah. Seketika getarlah semangat jago she Wan itu.

Suatu pantangan bagi setiap jago silat ia lah bahwa di kala bertempur jangan sekali- kali terpencar perhatiannya. Hanya sesaat ia agak la mban na mun detik itu cukup me mberi peluang bagi si orang aneh untuk me nyambar siku lengan lawan. Orang aneh itu cepat hendak menghancur kan urat nadi lawan tetapi ternyata Wan Kiu-gui bukan  makanan empuk. Sa mbil mengerahkan tenaga dalam ke lengan, iapun gunakan ilmu pemberat tubuh Cian-kin-thui. Serentak papan yang dipijaknya tenggelam dan orangnya pun turut meluncur ke bawah telaga!

Si orang aneh terkejut dan buru- buru lepaskan cekalannya untuk loncat ke udara. Ia melayang ke atas pondok terapung. Ia benar-benar takut kece mplung air.

Setelah berada di dalam air, Wan Kiu-gui yang pandai berenang segera mengha mpiri pondok dan mengintai dari pinggir te mbok. Tek Sa m-goan dan Mo Tong  terkapar  di lantai tak berkutik.

“Anak bulus itu barang kali sudah mati tenggelam di dasar telaga!” teriak si orang aneh.

“Jangan ribut!” bentak si dara. “Orangnya sudah berada di bawah pondok ini, kau mas ih me ma ki- ma ki tak karuan!”

Wan Kiu-gui terkejut….

Gadis itu benar-benar lihay,” serunya seraya menyelam lebih ke bawah lagi.

Gerakan Wan Kiu-gui yang pelahan sekali itu, tertangkap juga oleh telinga si dara baju merah. Ia pun kaget dan cepat taburkan tangannya. Serangkum benda bersinar putih menyusup ke dalam air.

Wan Kiu-gui mengira bahwa dengan menyelam ke dasar telaga ia tentu sudah aman, tetapi ternyata dugaannya  itu  me leset. Benda itu ternyata kuat sekali menyela m ke  dalam air dan mengejar korbannya. Sebelum Wan  Kiu- gui menyadari, tahu-tahu bahu kirinya terasa sakit kesemutan, kejutnya bukan kepalang. Dengan mati- matian ia me luncur ke tepi telaga.

Setelah muncul ke tepi dan tak na mpak si nona mengejar, ia segera lari menuju ke mulut le mbah untuk mencari anak buahnya yang menjaga di situ. Tetapi belum berapa jauh ia lari, tubuhnya terasa kaku sekali sampai tak dapat digerakkan.

“Celaka,” keluhnya. Senjata rahasia yang  dilepaskan  si dara berbaju merah ternyata mengandung racun. Walaupun selama berenang tadi ia sudah berusaha untuk menyalurkan darah menutup ke mungkinan  dija lari racun, toh ternyata gagal.

Dengan sekuat sisa tenaganya, Wan Kiu-gui berlari. Tetapi makin menggunakan tenaga, racun makin cepat berkembang dan kakinyapun makin berat. Ia menghela napas. Sambil mendonga k ke langit ia mer intih: “Ah, tak kira aku Wan Kiu- gui akhirnya harus binasa di gunung Kiu- kiong-san ini tanpa diketahui orang….”

Rintihan itu timbul dari keharuan duka. Rasa duka telah menghapur nyali kegagahannya. Dan tenaga yang dipertahankan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya akhirnyapun goyah. Ia rasakan matanya nanar, alam di sekelilingnya gelap gulita dan pada saat kedua kaki lantas ia pun rubuh….

Entah berapa lama ia pingsan. Hanya ketika ia me mbuka mata ternyata ia dikerumuni oleh tujuh delapan orang. Mereka bukanlah anak buahnya. Yang tegak di hadapan seorang paderi berjenggot panjang. Ah, paderi itu bukan lain Thian Hong totiang, pe mimpin dari golongan putih di daerah Kang-la m.

Di sebelah kanan kiri paderi itu adalah tokoh-tokoh terkenal dari Kang-la m. Mereka tergolong jago-jago silat dari golongan putih.

Hati Wan Kiu-gui tergetar, namun setenang mungkin ia menegur sinis: “Bagus  benar siasat toheng. Malam ini bunuhlah Wan Kiu- gui. Toheng bakal merajai daerah Kang- lam tanpa lawan lagi!” Thian Hong totiang tersenyum: “Harap saudara Wan jangan kuatir. Aku bukanlah orang yang suka  mencelakai orang yang sedang menderita!”

“Aku  terkena  senjata  rahasia  beracun.  Kau  tak  mau me mbunuh aku, pun nyawaku tak sa mpai besok pagi!”

Thian Hong tertawa tawar: “Jelek-jelek aku mengerti ilmu obat-obatan. Jika saudara percaya, aku bersedia mengobati luka mu.”

“Bagiku   mati  hidup    bukan   soal.    Silahkan    totiang me mer iksa!” sahut Wan Kiu-gui.

Thian Hong segera me mer iksa. Ternyata pada lengan kanan Wan Kiu-gui terdapat lubang sebesar kelingking. Anehnya luka itu tiada berdarah. Thian Hong minta ijin untuk merobek baju Wan Kiu-gui.

“Sekalipun lenganku dikutungi, akupun takkan merint ih.

Silahkan, totiang,” kata Wan Kiu-gui.

Wan Kiu-gui itu seorang rase tua yang kenyang  makan asam garam dunia persilatan. Dia tahu bahwa racun yang mengera m pada lengannya itu ganas. Bila Thian  Hong berhasil menyembuhkan, ia tidak perlu  berhutang  budi. Karena Thian Hong adalah seorang pemimpin golongan putih yang biasa melakukan kebaikan.

Tapi sebaliknya apabila Thian Hong gagal dan Wan Kiu-gui sampai mati, dunia persilatan tentu akan mengutuk paderi itu. Paderi itu tentu disangka me mbunuh seorang lawan yang terluka dengan cara pura-pura mengobati.

Demikian kelicikan Wan Kiu-gui sekalipun dalam bahaya maut!

Sebelum me mer iksa dengan teliti, akhirnya Thian Hong mene mukan sebuah benda sekecil ujung pit (pena) menyusup ke dalam daging lengan kiri Wan Kiu-gui. Ujarnya: “Harap Wan-heng tahan sakit, hendak kucabut senjata rahasia itu. Setelah mengetahui asal-usulnya baru dapat kulakukan pengobatannya!”

Wan Kiu-gui mengangguk. Thian Hong pun  mulai bergerak. Sekali menjepit dengan dua jari ia mencabut sebatang panah kecil (passer) yang menyerupai jarum. Warnanya putih mengkilap.

Rombongan orang gagah segera mengkerumun  hendak  me libat senjata rahasia itu. Wan Kiu- gui adalah pe mimpin loklim (begal) yang telah merajai selama dua puluh  tahun lebih. Dia me mpunyai kepandaian yang istimewa. Jika bukan senjata istimewa, tak mungkin dapat melukai pe mimpin golongan hitam itu. Itulah yang mendorong keinginan tahu para orang gagah.

Namun sampai beberapa saat, tak seorang pun yang dapat mengenal senjata rahasia itu. Mereka hanya saling berpandangan. Thian Hong me meriksa dengan  teliti.  Di bawah cahaya bintang, dilihatnya pada ujung jarum terdapat tiga buah huruf Chit-jiau-soh. Seketika  Thian Hong tertegun….

“Apakah dia mas ih hidup…?” mulutnya mengigau seorang diri. Tangannya lunglai dan jatuhlah jarum itu ke tanah.

Sekalian tercengang me mandang Thian Hong.  Seorang jago tua yang jenggotnya putih menjuntai ma ju me mungut jarum.

“Dalam dunia persilatan rasanya tiada yang menandingi keempat Ji-tok-song-coat dalam hal senjata rahasia beracun. Tetapi to-hengpun tak usah gelisah. Apakah jarum  perak ini…”

Saat itu paderi Thian Hong sudah tenang kembali. Cepat ia menukas: “Ah, sebagai seorang yang pengalaman rasanya Lo- heng tentu kenal akan jarum Chi-jiau-soh, yang termasyhur itu?” Mendengar nama Chit-jiau-soh, wajah jago tua itu seketika berubah pucat. Serunya: “Apa? Jarum  yang  bentuknya seperti anak panah bukan anak panah, seperti paku bukan paku, apakah Chit-jiau-soh yang digentarkan dalam cerita dunia persilatan itu?”

“Silahkan Lo-heng periksa sendiri!”

Jago tua berjenggot putih itu segera meneliti jarum. Benar juga pada ujung jarum itu terdapat tiga buah huruf Chit-jiau- soh. Seketika jago tua itu me longo….

Me mang dalam ro mbongan orang gagah yang hadir di situ, mereka yang tergolong angkatan tua, tergetar hatinya. Tetapi dua jago muda, diam-dia m geli me lihat ketakutan kawan- kawannya.

Thian Hong me minta jarum itu dari si jago tua. Katanya: “Yang penting sekarang ini, kita harus meno long orang ini. Karena dikuatirkan kita akan dianggap mencelaka inya. Lo- heng  paham   tentang   mengobati   luka   beracun,   harap me mbantu usahaku ini! ”

Thian Hong segera me meriksa luka Wan Kiu-gui. Luka itu berwarna merah, sampai masuk ke dalam tulang. Walaupun paderi itu ahli dalam pengobatan racun, tetapi terhadap racun dari Chit-jiau-soh, ia terpaksa geleng-geleng kepala.

“Saudara Wan terkena racun Chit-jiau-soh yang dahulu pernah mengge mparkan dunia persilatan. Terus terang, aku tak dapat mengobati. Tetapi bukan  berarti  aku  tak  mau meno long. Tetap akan kuusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat. Saat ini racun sudah menyusup dalam saluran darah, jika saudara Wan mau, kupikir  hendak kupotong daging-daging yang keracunan itu baru kulumuri obat….”

Wan   Kiu-gui   perlahan- lahan    me mbuka    mata    dan me mandang si paderi dengan tertawa. Secepat itu ia pejamkan mata lagi tanpa me mber i penyahutan apa-apa. Melihat sinar mata orang she Wan itu suram layu, tahulah paderi Thian Hong bahwa racun telah masuk dalam jalan darah dan menyalur ke seluruh tubuh. Harapan tertolong, sangat tipis.

Thian Hong tak jadi me motong  daging Wan Kiu-gui. Segera ia kerahkan tenaga me mijit keluar darah warna gelap. Kemudian melumurinya dengan obat.

Jago tua berjenggot putih menghela napas: “Ah, to-heng telah me maka i sekian banyak obat pe munah racun yang berharga. Apabila sampai tak dapat menolongnya, tentu tiada orang yang me mpersalahkan to-heng lagi. Akulah yang menjadi saksi bahwa to-heng sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyela matkan jiwanya!”

Thian Hong hanya bersenyum saja. Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan. Walaupun berasal dari jauh, tetapi sekalian orang gagah mendengarnya. Sayup-sayup jeritan itu menyerukan kata-kata peta Telaga Darah….

Nama itu lebih me mpunyai daya tarik dari jarum Chit-jiau- soh. Sekalian orang menjadi tegang seketika. Dan suara  jeritan itu ma kin la ma ma kin dekat.

Tiba-tiba Wan Kiu-gui me mbuka mata dan me nggeliat duduk: “Peta Telaga Darah….” habis berkata ia  meram  lagi dan menggeletak.

Hilangnya sebuah jeritan itu berganti dengan munculnya seorang tua berjalan dengan tongkat. Rambutnya terurai awut-awutan menjadi satu dengan jenggotnya yang panjang. Mata mulut dan telinganya tertutup rambut. Keadaannya seperti seorang gila. Tetapi menurut derap langkahnya yang berat, terang orang itu seorang berilmu.

Thian Hong mencabut pedang dan me mbentak orang itu: “Hai, tengah ma lam menjadi  setan berambut gembel, bukanlah laku seorang ksatria!” Tetapi orang gila  itu  tak  menghiraukan  dan  tetap mengha mpiri.   Sebagai    seorang    yang    menjunjung perike manusiaan, Thian  Hong   tak   mau   sembarangan   me mbunuh. Dia mundur tiga langkah dan lintangkan pedangnya: “Jika anda masih tetap maju, jangan persalahkan aku!”

Tiba-tiba Wan Kiu-gui mengge letak di tanah, berteriak: “Peta Telaga Darah, Chit-jiau-soh….” Rupanya racun telah menyerang keras hingga tubuhnya panas dan ia mengigau tak karuan.

Orang gila itu tiba-tiba tertawa nyaring: “Kau tahu siapa yang mencuri peta Telaga Darah?” serunya seraya melesat ke tempat Wan Kiu-gui.

“Berhenti!” bentak Thian Hong sa mbil lintangkan pedang. Tetapi orang gila itu sebat sekali. Menyiak pedang ia terus mengha mpiri Wan Kiu-gui.

Sekalian orang gagah segera menyambut senjata dan mengepung si gila. Si gila buang tongkatnya lalu mengangkat tubuh Wan Kiu-gui, katanya: “Bilang, siapakah yang mencuri Peta Telaga Darah milikku!”

Melihat si gila me mbuang tongkatnya, sekalian orang gagah itupun tak ma u menyerang.

“Kau mau cari peta Telaga Darah?” sahut Wan Kiu-gui antara sadar tak sadar.

“Benar, benar….” Tiba-tiba orang gila me lihat luka di bahu Wan Kiu-gui. Buru-buru ia letakkan orang she Wan itu ke  tanah lagi. Ia merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan dua batang jarum dan sebilah pisau kecil, dua botol kecil dari kumala biru.

Terkejut Thian Hong me lihat si gila me mpunyai dua botol kumala: “Eh, dari mana orang gila itu me miliki kumala seindah itu….” Tangan kanan dan kiri si gila yang menceka l jarum segera menusuki tubuh Wan Kiu-gui. Cepat dan cekatan sekali ia menusuki sehingga Thian Hong tak dapat mencegahnya lagi.

Sekalian orang yang menyaksikan  cara orang gila itu menusuk, terkejut sekali. Jelas yang ditusuk si gila itu adalah jalan darah yang penting. Jika bukan seorang sakti, tak mungkin dapat me lakukan tusukan se maca m itu.

Thian Hong pun terkejut. Dalam dunia persilatan, tabib Ti- ki-cu Gan Leng-po yang ma mpu  me lakukan pengobatan semaca m itu. “Eh, apakah orang gila ini Ti- ki-cu Gan Leng- po?”

Dugaan itu makin me mpunyai kesan yang kuat. Dan si paderipun segera menyarungkan pedangnya lagi.

“Apakah saudara ini Ti-ki-cu Gan Leng-po? Aku  paderi Thian Hong. Dengan beberapa sahabat persilatan di Kang-la m sengaja datang ke gunung ini hendak berkunjung pada saudara.”

Mendengar itu sekalian ro mbongan orang  gagah segera me mber i hor mat kepada si gila. Mereka orang-orang persilatan yang berpengalaman luas. Bahwa Thian Hong telah mengunjuk sikap hor mat pada si gila, serentak  merekapun me mber i hor mat pula.

Si gila tak mengacuhkan teguran Thian Hong. Sama  sekali ia tak mau palingkan muka dan tetap menusuki Wan Kiu-gui. Jago tua she Lo tadi, walaupun tergolong angkatan tua, tetapi wataknya paling jelek. Dia mendongko l melihat sikap si gila. “Huh, so mbong benar!”

Buru-buru Thian Hong mencegahnya. Se mentara sehabis menusuki, si gila lalu menuang beberapa butir pil dari botol kumala dan disusupkan ke mulut Wan Kiu-gui.

Entah bagaimana si gila yang ternyata me mang Gan Leng- po, mala m itu berlaku istimewa sekali. Pil yang diminumkan Wan Kiu-gui, merupa kan pil simpanan yang tak ternilai harganya. Tak sembarang diberikan orang. Walaupun andaikata yang minta itu Wan Kiu-gui, tak mungkin Gan Leng- po mau me mberi. Tapi entah bagaimana, saat itu Gan Leng- po benar ngotot hendak me nyembuhkan Wan Kiu-gui.

Habis mengo bati, Gan Leng-po masih menunggu di samping Wan Kiu-gui dan me ma ndangnya lekat-lekat. Gerak- gerik orang gila itu menimbulkan berbagai pertanyaan pada sekalian orang. Adakah si gila itu hanya berpura-pura ataukah me mang tak waras otaknya.

Beberapa saat kemudian, Wan Kiu-gui me mbuka mata. Ketika pandangannya tertumbuk pada si gila yang ra mbutnya kusut masai tak karuan, segera ia bangun dan menegurnya: “Hai, siapakah kau?”

Bukannya menjawab, si gila malah balas bertanya: “Kau mengetahui peta Telaga Darah milikku itu, ayo kita cepat mencarinya!”

Dan sebelum Wan Kiu-gui  me nyahut,  si  gila  sudah mence kal tangannya dan terus diseret diajak lari.

Cekalan si gila itu bagaikan kait besi yang luar biasa kerasnya. Wan Kiu-gui tak berkutik. Jika ia kerahkan tenaga meno laknya, urat-urat pergelangan tangannya pasti putus. Terpaksa ia me nurut saja diseret si gila.

Apa yang berlangsung saat itu cepat dan di luar dugaan. Ketika Thian Hong dan sekalian orang gagah tersadar, si gila dan Wan Kiu-gui sudah beberapa tombak jauhnya.

Thian Hong tertegun. Karena orang sudah jauh, ia tak mau mengejar. Ia me mungut dua botol kuma la dan dua batang jarum perak yang ditinggal lari oleh pemiliknya, si gila Gan Leng-po. Disimpannya benda-benda itu. Ke mudian ia  bertanya kepada sekalian orang gagah, apakah ada yang kenal dengan Ti- ki- cu Gan Leng-po. Sahut seorang jago tua yang bertubuh kurus: “Selain Gan Leng-po, tokoh persilatan manakah yang ma mpu menusuki jarum di te mpat yang segelap ini? Dalam beberapa kejap dapat menyembuhkan seorang yang  sudah  hampir  mati. Siapa lagi tokoh di dunia persilatan yang ma mpu mela kukan kesaktian se maca m itu? Kecuali si tabib sakti Gan Leng-po?”

Jago tua itu adalah Lo Kun bergelar si Golok Sakti.  Di  dalam dunia persilatan daerah Kang-lam,  kedudukannya sejajar dengan paderi Thian Hong. Dia lebih tua dari Thian Hong, pengala mannya luas sekali. Biasanya dia sering menganda lkan usianya tua, untuk menonjolkan diri. Sering- sering ia berbeda pendapat dengan Thian Hong. Sebagai seorang paderi, Thian Hong selalu mengalah saja.

Mendengar ucapan jago golok itu, Thian Hong merenung sejenak. Ujarnya: “Memang hanya tabib sakti Gan Leng-po itu yang disohorkan orang sebagai tabib yang berwatak aneh. Masakan tingkah lakunya seperti orang gila….”

“Kulihat dia me mang sengaja bertingkah seperti orang gila….” kata Lo Kun.

“Aneh, mengapa dia mengigau peta Telaga Darah saja? Apakah maksudnya? Jika dia benar Ti-ki-cu Gan Leng-po, ah, sia-sialah kunjungan kita ke mari….” kata Thian Hong.

Setelah merenung sejenak, Lo Kun berkata pula: “Tak usah kita resahkan dia Gan Leng-po atau bukan. Yang penting dengan munculnya Chit-jiau-soh itu, kita harus menanggapinya dengan sungguh-sungguh.”

Tiba-tiba dua orang jago muda menyeletuk: “Biasanya Lo- cianpwee berwibawa sekali. Aneh, mengapa menghadapi jarum Chit-jiau-soh, Lo-cianpwe menjadi gelisah. Wan Kiu-gui terkena senjata rahasiapun suatu peristiwa yang tak  perlu dige mparkan….” kedua pemuda itu tak lanjutkan kata- katanya. Mungkin kuatir menyinggung perasaan Lo Kun. Lo Kun berpaling, ternyata kedua pemuda yang bicara itu adalah putera dari Kat Thian-beng. Kat Thian-beng oleh dunia persilatan Kanglam dijuluki sebagai It-pit-hoan-thian atau Sebatang Pit Me mbalik Langit. Kedua puteranya itu bernama Kat Hong dan Kat Wi. 

Lo Kun mengur ut-urut jenggotnya tertawa: “Dahulu ayahmu me mang jarang mendapat  tandingan.  Tentulah kalian telah menerima warisan ilmunya yang sakti, tetapi Chit- jiau-soh itu….”

Kat Hong tersenyum: “Sejenak ayah mengasingkan diri di gunung Han-tay-san, dia tak mau mengurusi dunia persilatan lagi. Ka mi berdua dibesarkan di gunung, jarang keluar  di dunia persilatan. Kepandaian rendah,  pengalaman  kurang. Jika ada kesalahan, harap lo-cianpwe me mberi maaf!”

Lo Kun tertawa dan berpaling kepada Thian Hong pula, tampak wajah paderi itu mengerut gelap. Rupanya dia tengah me mikirkan suatu hal yang gawat.

Yang disebut rombongan orang gagah dari Thian Hong itu hanya terdiri dari delapan orang. Thian Hong, Lo Kun, kedua kakak beradik Kat Hong dan Kat Wi serta  keempat  murid Thian Hong.

“Apakah yang kalian tak pernah menceritakan tentang Chit- jiau-soh itu?” tanya Lo Kun kepada kedua saudara Kat.

Sejenak Kat Wi me mandang kepada engkohnya (Kat Hong) lalu menyahut: “Sejak ayah mengasingkan diri di gunung Hun- tay-san, beliau jarang me mber i petunjuk pada ka mi.”

Sementara Kay Hong pun menerangkan bahwa menurut ayahnya, di dunia persilatan sekarang ini hanya kee mpat Ji-tok dan Song-coat yang paling ganas dalam hal senjata beracun. Tentang Chit-jiau-soh, ayahnya tak pernah bercerita.

“Mungkin ayahmu mengira Chit-jiau-soh itu sudah la ma lenyap,” Lo Kun menghe la napas, “bahkan aku sendiripun jika ma lam ini tak menyaks ikan sendiri, mungkin tak percaya bahwa Chit-jiau-soh muncul lagi!”

“Oh, Chit-jiau-soh tentu  me mpunyai  riwayat  yang mengge mpar kan sekali!” seru Kat Hong.

Sambil mengurut-urut jenggot, Lo Kun  berkata:  “Bukan me lainkan hanya mengge mpar kan, dan mengguncangkan jagat persilatan….”

Rupanya Kat Wi tertarik sekali. Segera ia  minta  agar Lo Kun menutur kan r iwayat Chit-jiau-soh. Kee mpat mur id Thian Hong pun serempa k me mandang ke arah jago tua Golok Sakti Lo Kun.

Lo Kun tertawa riang: “Baiklah, kalau kalian ingin mendengarkan, akan kuceritakan. Tetapi karena ceritanya panjang, mari kita duduk.”

Setelah sama menga mbil tempat duduk, mulailah Lo Kun bercerita:

“Empat puluh tahun yang la lu, di dunia persilatan muncul sepasang muda- mudi yang aneh dan sakti. Ilmu kepandaian menggetarkan se mua jago-jago ternama. Kedua sejoli itu selalu bersama-sa ma. Yang lelaki gagah perkasa, yang perempuan cantik jelita. Ke munculan sejoli yang cantik dan gagah itu menimbulkan kege mparan orang. Banyak pemuda yang tergila-gila akan kecantikan gadis itu. Banyak pemudi yang kesengsem dengan kecakapan si pe muda. Mereka berasal dari seperguruan yakni anak mur id dari Lo Hian si orang sakti.”

Lo Kun berhenti sejenak untuk bertanya: “Pernahkah kalian mendengar tentang tokoh Lo Hian itu?”

Kedua saudara Kat gelengkan kepala.

“Lo Hian muncul di dunia persilatan pada enam puluh tahun yang lalu. Dan kemunculannya itu bagaikan sekuntum bunga me kar. Pagi mekar, sore layu. Tak la ma Lo Hian sudah me lenyapkan diri lagi.  Banyak cerita tersiar di dunia persilatan. Katanya Lo Hian mukswa dengan  raganya. Adapula yang mengatakan dia mengasingkan diri di gunung dan tak mau muncul lagi. Tentang sejoli muda- mudi  itu, entah benar murid Lo Hian  atau bukan,  sukar  diselidiki. Hanya karena hanya keduanya me miliki ilmu kesaktian yang luar biasa, orang lalu me nghubungkannya dengan Lo Hian. Sepak terjang kedua muda- mudi itu terlalu se mena- menanya. Tak peduli tokoh dari golongan putih maupun hitam asal tak menyenangkan hati mereka, tentu dihajar.  Tindakan mereka itu menimbulkan ke marahan dunia persilatan. Diam-dia m orang telah mengedarkan surat untuk me madu persatuan. Baik golongan putih ma upun golongan hitam telah mencapai sepakat untuk menindak kedua anak muda itu.  Di  mana- mana telah dipasang perangkap untuk mence lakai kedua anak muda gagah itu. Tetapi berkat kesaktian dan kecer matan, sejoli muda- mudi itu tetap malang me lintang di dunia persilatan….”

“Masakan di dunia persilatan tiada tokoh yang ma mpu menga lahkan mere ka?” rupanya Kat Wi penasaran.

Lo Kun mengangguk: “Dewasa ini kaum persilatan telah bersepakat untuk mengangkat partai Siau-li-si menjadi pemimpin dunia persilatan. Sekalipun tak dilangsungkan pengangkatan secara resmi, tetapi dalam prakteknya hal itu telah diakui orang….”

“Sayang aku tak hidup berpuluh tahun yang lalu. Coba masa itu aku sudah besar, tentu akan kutantng kedua pemuda itu berkelahi!” Kat Wi menyeletuk gera m.

Lo Kun hanya tertawa hambar dan melanjutkan ceritanya: “Barisan Lo-han-tin dari Siau- lim-si, me mang merajai dunia persilatan. Beratus-ratus tahun la manya jarang  terdapat orang yang mampu lolos dari kepungan Lo- han-tin. Tetapi ketika berhadapan dengan kedua muda-mudi itu, barisan jebol ketiga puluh enam paderi yang menjadi inti barisan terluka dan kedua anak muda itu lolos. Betapa kesaktian keduanya dapatlah dibayangkan sendiri….”

“Kalau tahu bahwa dirinya sakti tiada lawan, mengapa kedua anak muda itu tak mau mendirikan sebuah partai saja?” tanya Kat Hong.

“Ah, segala sesuatu di dunia ini me mang sukar diduga. Demikian dengan nasib keduanya.  Pada  masa  dunia persilatan baik golongan putih maupun hitam berada dalam kegelisahan akibat pengganasan kedua muda- mudi itu, terjadilah suatu keajaiban. Kedua sejoli yang tiada tandingannya itu akhirnya saling bunuh me mbunuh sendiri!” kata Lo Kun.

Kat Wi tercengang, serunya: “Benar-benar di luar dugaan!

Mengapa mereka sa mpai ber musuhan sendiri?”

Lo Kun mengurut jenggot menghela napas “Pada masa  kedua muda- mudi itu naik ke puncak ke masyhurannya, tiba- tiba mereka menghilang. Setengah tahun kemudian, barulah tersiar kabar tentang peristiwa saling bunuh di antara kedua pemuda itu. Menurut cerita dari Siluman Tulang Kuma la Ih Ing-hoa, pertempuran yang disaksikan antara kedua sejoli itu berlangsung seru sekali. Suatu pertempuran yang jarang terdapat di dunia persilatan. Dari pagi sampa i petang dan sampai pagi lagi. Lebih dari seribu jurus telah dipertarungkan. Akhirnya karena kehabisan tenaga, keduanya sama-sama terluka….”

“Siluman Tulang Kumala Ih Ing-hoa…. rasanya ayah pernah menutur kan na ma itu!” seru Kat Hong.

“Melihat namanya saja kau tentu dapat membayangkan bagaimana pribadi wanita itu. Dia adalah seorang  wanita aneh yang pernah muncul di dunia persilatan pada  empat puluh tahun berselang. Selain cantik  tubuhnya  bertulang lunak sekali bagai kapas. Hanya saja dia itu seorang wanita yang luar biasa cabulnya. Menghadapi kedua sejoli yang tiada tandingannya itu, entah dari rencana siapa, tetapi tahu-tahu orang telah meminta pada  Ih  Ing-hoa  untuk  mengadu domba kan kedua anak muda itu. Dengan kecantikannya yang menggiurkan, Ih Ing-hoa  diminta  untuk  menimbulkan cemburu si pemudi agar bertengkar dengan kawannya si pemuda itu sendiri. Diminta agar Ih Ing-hoa  benar-benar dapat mainkan peranan merayu si pe muda sedemikian rupa, agar si gadis marah. Tentang cara Ih Ing-hoa me njalankan peranannya, banyaklah cerita yang tersiar. Tapi pada pokoknya, wanita cantik itu telah me mbuat sejoli itu bertengkar dan akhirnya bertempur sendiri….”

Rupanya Kat Wi tertarik sekali dengan cerita itu. Ketika Lo Kun berhenti sejenak, Kat Wi segera mendesaknya: “Lalu bagaimana kesudahannya?”

“Ih Ing-hoa menyaksikan pertempuran itu. Menurut ceritanya, kedua sejoli itu sama-sa ma menderita parah. Yang lelaki dibawa oleh Ih Ing-hoa, yang perempuan ditinggal di hutan. Kemudian gadis itu ditolong oleh seorang persilatan orang she Bwe. Demikian ceritanya yang dibawa Ih Ing-hoa. Tetapi benar tidaknya, tiada orang yang dapat me mbuktikan. Mungkin hanya tiga orang yang mengetahui hal itu!”

“Apakah ketiga orang itu me mpunyai hubungan dengan jarum Chit-jiau-soh?” tiba-tiba Kat Hong bertanya. Rupanya dia lebih cerdik dari adiknya.

“Munculnya sepasang muda- mudi sakti itu bagai prahara yang mendampar samudera. Gelombang berha mburan dahsyat. Belum sa mpai t iga tahun muncul, kedua muda- mudi itu telah mengobra k-abrik e mpat puluh delapan sarang gerombo lan Loklim (penyamun), menantang Siau- lim-s i dan menghancur kan barisan Lo han-tinnya. Na ma mereka bagaikan bintang ce merlang di angkasa persilatan. Dunia persilatan gentar dan mengagumi. Tetapi kepergian mereka pun cepat sekali bagaikan bintang jatuh. Mereka lenyap bagaikan ditelan bumi. Pada tahun kedua sejak lenyapnya sejoli anak muda itu, Siluman Tulang Kuma la Ih Ing-hoa baru muncul lagi di dunia persilatan.  Karena  dipandang  berjasa me lenyapkan kedua muda- mudi itu, dunia persilatan menaruh hormat kepada Ih Ing- hoa. Tetapi dasar wanita cabul. Rasa menghindarkan dari kaum persilatan itu, menyebabkan dia semakin mengumbar nafsu kecabulannya. Entah berapa banyak jago-jago muda dari beberapa partai golongan putih, telah  dice markan  oleh  wanita  itu.  Hal  itu   menimbulkan ke marahan partai yang tersangkut. Mereka lalu berserikat menangkapnya. Tetapi ternyata sejak berkeliaran selama setahun itu, kepandaian Ih Ing-hoa bertambah  maju. Beberapa kali ia dapat mengalahkan orang-orang yang hendak menangkapnya. Mendapat hati, Ih Ing-hoa makin melo njak. Tidak kepalang tanggung, dia la lu me mbentuk sebuah partai persilatan. Dia menculik dara-dara cantik untuk dipaksa menjadi mur idnya. Sema kin besar pengaruhnya, semakin dia jadi mengumbar kecabulannya lebih hebat. Perbuatan wanita itu telah menimbulkan ke marahan orang gagah kedua daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka bersatu padu  bersepakat untuk menghancurkan wanita siluman itu. Pada  masa  itu  nama ayahmu termasyhur sekali. Dialah yang mempe lopori gerakan me mbasmi Siluma n Tulang Kumala. Akupun menerima baik undangannya. Tetapi sebelum kami bergerak, tiba-tiba terjadilah perubahan yang mengge mparkan….”

“Bagaimana? Apakah sekalian ksatria itu mundur teratur karena jeri terhadap si Siluman Tulang Kuma la?” seru Kat Hong.

“Tidak! Kalau takut masakan kita  mengadakan  gerakan itu?”

“Lalu apakah Siluman  Tulang  Kuma la  yang  ketakutan  me larikan diri karena mendengar gerakan besar itu?”

“Jika dia takut lalu melar ikan diri, itu bukan suatu kejadian mengge mpar kan!” sahut Lo Kun. “Ataukah sebelumnya dia sudah dibunuh orang lebih dulu?” Kat Wi menegas.

“Benar!” Lo Kun tertawa. “Gerombolan Siluman Tulang Kumala yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun- tahun itu, dalam satu ma lam saja telah dibakar habis oleh seseorang. Anak mur idnya dibunuh sampai ludas. Tetapi anehnya, mayat Siluman  Tulang  Kuma la  itu  tak  dapat dikete mukan. Dia menghilang secara misterius. Selanjutnya wanita itu tak pernah muncul di dunia persilatan lagi. Sa mpai sekarang sudah lebih dari tiga puluh tahun la manya dia menghilang.”

Akan  tetapi kedua   saudara   Kat   menyatakan   bahwa ke mungkinan besar mayat wanita itu turut terbakar hangus. Tetapi Lo Kun mengatakan bahwa dia tak berani me mastikan hal itu. “Sa mpai sekarang, hal itu masih belum terdapat buktinya.”

Berpaling kepada paderi Thian Hong, dilihatnya paderi itu tengah me mandang langit seolah-o lah tak ikut mendengarkan cerita Lo Kun. Sedang keempat muridnya tertarik juga mendengar cerita itu.

Secepat Lo Kun tersenyum lalu me lanjutkan ceritanya: “Belum setahun Siluman Tulang Kumala lenyap muncullah seorang mo mo k pere mpuan. Wanita itu juga tak kurang anehnya. Selain potongan tubuhnya yang  menyerupai seorang  wanita,  dia  tak  pernah  bicara  dan  tak  pernah  me mper lihatkan wajahnya. Wajahnya  diselubungi  dengan kain sutera hitam. Hanya kepandaiannya lebih tinggi dari Siluman Tulang Kumala. Setiap kali me mbunuh orang, tentu pada jalan darah korbannya tertancap sebatang jarum Chit- jiau-soh. La ma kela maan jarum itu menjadi tanda pengenal keganasannya. Setiap Chit-jiau-soh muncul, tentu seorang korban mati. Ada orang menduga,  jarum itu sebagai perlambang dari suatu kenikmatan abadi. Lebih dulu korban diajak ma in pat-pat gulipat, ke mudian baru dibunuh dengan tusukan jarum. Dugaan itu agak sesuai tetapi sayang tiada yang ma mpu me mbuktikan….”

“Rupanya dia lebih ganas dari Siluman Tulang Kuma la. Tetapi entah apakah dia lebih cantik dari Ih Ing-hoa?” tanya Kat Wi.

“Dia tak pernah me mbuka kain kerudungnya, tiada seorangpun yang pernah melihat wajahnya!” sahut Kat Hong.

“Benar, me mang tiada seorangpun yang pernah melihat wajahnya! Dan barang siapa melihatnya serta mendengar ia bicara, tentu akan mati….!” seru Lo Kun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar