Wanita iblis Jilid 04

Jilid 04

“MENGHANCURKANNYA MUDAH me mang. Akan tetapi hal itu tak berarti akan mencegah pertumpahan darah. Sela ma sumber bencana itu tak dilenyapkan, setiap saat pembunuhan ganas tentu timbul….” Ia berhenti sejenak lalu berkata pula: “Kini hanya ada satu cara. Entah kau mau me luluskan atau tidak?”

“Apa? Apakah dengan kepandaian yang begini dangkal aku ma mpu menghapus anca man itu?”

“Masih banyak persoalan, bukan me lulu menganda lkan kepandaian ilmu silat saja.”

“Baik,  silahkan  bilang!   Jika   aku   dapat   tentu   akan me luluskan,” sahut Siu-la m.

Sepasang pipi si darah merah ja mbu. Dengan mengulum senyum jengah ia berkata: “Asal dapat menyimpan peta itu agar jangan sampai ketahuan kedua suciku, meskipun mereka curiga padaku tetapi tanpa bukti, mereka tentu tidak dapat berbuat apa-apa!”

Siu-la m mengangguk: “Benar.”

Si dara tersenyum kecil: “Tetapi dalam pondok terapung ini, sukar untuk menyembunyikan peta itu.”

Siu-la m me ma ndang ke sekeliling, sahutnya: “Sebaiknya peta itu dice mplungkan dalam air, tentu mereka tak dapat mencari. Begitu mereka pergi, baru kau a mbil lagi.” Si dara mengge leng: “Mustahil! Jika  peta itu  dibawa hanyut air, tak mungkin kita mencarinya lagi. Hanya kau yang dapat me mbantu hal ini!”

“Aku? Bagaimana caranya?” Siu-la m heran.

“Telanlah  peta  itu! Selekas mereka pergi, baru nanti kua mbilnya dari dalam perut mu.”

“Dari dalam perut….” “Ya, kubelek perut mu.”

Gemetar tubuh Siu- lam me ndengar kata-kata si dara. Perut

dibelek, orangnya tentu mati.

“Hm, cerdik sekali akalmu, ya. Tetapi….” Dengusnya. “Tetapi apa?” tukas si dara.   “Sekalipun kau  mati tetapi kau

dapat   menyelamatkan   beribu-ribu   jiwa.       Jangan  kuatir.

Akupun takkan mengecewakan kau. Kau takkan mender ita sakit apa-apa. Kau akan mati dengan cepat. Dan setelah kau mati, akupun takkan menikah sela manya. Begitu aku berhasil me mpero leh pusaka dari Telaga Darah itu, tentu akan kubalaskan sakit hatimu. Dan setelah  berhasil  menguasai dunia persilatan, akan kupanggil seluruh kesatria dunia persilatan dan mengumumkan tentang jasamu. Sekalipun kau sudah meninggal, tetapi nama mu akan dipuja  orang selama- la manya. Dan sebagai isterimu, aku tentu mendapat penghormatan dari dunia persilatan. Amal besar yang gilang gemilang itu, beranikah kau melaksanakannya?”

Siu-la m tertawa tawar: “Untuk amal itu sekalipun harus ditebus dengan nyawa tetapi cukup berharga. Hanya saat ini aku masih me mpunyai beberapa urusan yang belum terselesaikan. Jika mati, hatiku belum tenteram!”

“Serahkan urusan itu kepadaku!” sahut si dara baju putih. “Asal kau me luluskan, sejak ini kita menjadi sua mi isteri. Urusanmu sudah tentu akan kuselesaikan!” Melihat kesungguhan nada si dara, dia m-dia m Siu- lam menimang. Dia kalah sakti dengan si dara itu.  Meluluskan atau menola k, sama saja. Lebih baik ia bersikap ksatria.

“Jika ucapan nona itu sungguh dari hati nuranimu, aku rela berkorban untuk menyela matkan peta itu. Tetapi ada dua buah hal yang hendak kuminta kau me nyelesaikan!”

Kembali sepasang pipi dara itu merah. Bibirnya merekah senyum yang manis sekali. Ujarnya le mah le mbut: “Sebelum kita berpisah, marilah kita me lakukan sumpah sebagai sua mi isteri di hadapan Dewi Re mbulan. Kemudian barulah kau mengatakan pesan-pesanmu.”

Si dara mengulur kan tangan menyekal lengan Siu-la m dan keduanya serentak berlutut di hadapan pintu. Dalam keadaan seperti itu, tak dapat lagi Siu-la m mengelak. Terpaksa ia menurut saja. Dirasakannya tangan dara itu bercucuran keringat dingin. Pertanda hatinya pun bergoncang keras.

Sesaat kemudian me luncurlah kata-kata dari mulut dara itu: “Dewi Re mbulan menjadi saksi ha mba  Bwe Hoang-swat, kelahiran Suci, tahun ini berumur delapan belas tahun. Saat  ini mengingatkan tali perjodohan dengan Pui Siu-la m. Menjadi suami istri sa mpa i kakek nenek. Dan berjanji akan setia sampai mati. Jika  sa mpai bercabang hati, hamba  rela ditumpas langit pernyataan hamba ini biarlah disaksikan oleh bumi dan langit!” Dia m-dia m Siu-la m mendengus dalam hati: “Huh, sumpahmu ini berpura-pura untuk me mperalat diriku. Apa gunanya bersumpah seberat itu!”

Teringat bahwa beberapa saat lagi, ia harus menelan peta, tergerak juga perasaan Siu-lam atas sumpah yang diucapkan dara itu. Segera ia pun mengucapkan ikrar.

“Dewi Re mbulan menjadi saksi, tecu Pui Siu-la m saat ini mengikat janji dengan nona Bwee menjadi sua mi isteri. Tak ada lain per moho nan, kecuali setelah aku mati, agar nona itu suka mela kukan dua buah permintaanku. Pertama, menyelidiki siapa pe mbunuh guruku la lu me mbalas sakit hatinya.  Kedua,  paling  lambat  dalam  waktu  sebulan menya mpaikan pil pe mber ian Gan lo-cianpwee ini ke Po-to- kang. Dima na sumoayku ditahan oleh seorang wanita tua dalam sebuah goa rahasia. Setelah menukarkan obat itu dengan sumoayku la lu mengantarkan sumoay ke puncak Ki- ling-nia di telaga Se-ou. Apabila kedua hal itu telah dilaksanakan, walaupun mati tetapi aku puas.”

Habis mengucapkan is i hatinya, Siu-lam berpaling kepada si dara baju putih, serunya: “Mana peta itu?”

Dengan bercucuran air mata si dara mengeluar kan peta, ujarnya penuh haru: “Sejak saat ini kau sudah menjadi suamiku. Apabila kubunuhmu untuk menga mbil peta itu, bukankah aku seorang isteri yang kejam terhadap sua mi!”

Siu-la m tertawa: “Telah kita janjikan di muka. Sudah tentu hal itu tak dapat dikatakan me mbunuh suami.”

Siu-la m terus hendak menya mbuti peta itu tetapi tiba-tiba si dara menariknya ke mbali: “Jangan terburu me makannya dulu. Tunggu barangkali aku dapat me mikirkan la in cara yang lebih baik!”

Siu-la m tertawa getir: “Terhadap kedua sucimu yang begitu ganas, jangan harap kita ma mpu menyembunyikan peta itu selain kutelan!”

Bwe Hong-swat me mandang re mbulan di langit. Ta mpak jelas kecantikannya yang menonjol tetapi diliputi kedukaan yang mendala m. Butir-butir air mata bercucuran pada kedua belah pipi. Dari seorang dara berhati beku dan kejam, saat itu ia berubah menjadi seorang nona yang sedang menanggung duka.

Sekonyong-konyong angin ma lam me mbawakan  suara teriakan si tabib Gan Leng-po yang berkaok-kaok tak henti- hentinya: “Peta Telaga Darah…. peta Telaga Darah…” Dia m-dia m Siu- lam menyesal sekali. Apabila ia tak menyerahkan peta itu, tabib sakti itupun tak nanti  menjadi gila.

Sekonyong-konyong   serangkum   hawa   harum    yang me mbua i se mangat, mena mpar hidung Siu-la m dan sere mpak dengan itu mulut si dara melekat di telinga Siu- la m, serunya girang: “Ah, tak perlu kau telan! Aku mene mukan lain cara lagi!”

“Bagaimana?” Siu-la m palingkan kepala.

Bwe Hong-s wat tertawa. “Sekarang belum saatnya kuberitahukan kepada mu. Aku toh sudah menjadi isterimu, sudah tentu aku tak mau se mbarangan me mbunuhmu.”

“Hm, pandai benar nona ini bersandiwara,” dia m-dia m Siu- lam me maki dalam hati. Adalah karena sudah terisi dengan purbasangka yang buruk, maka setiap it ikad baik dari Bwe Hong-swat selalu ditafsirkan salah, tetapi kali ini, agak berubah pandangan Siu-la m terhadap sikap nona itu.

“Apa yang telah kuikrarkan tadi, tetap kupegang teguh. Menelan sekarang atau nanti, toh sama saja. Bahkan kalau terlalu lama, mungkin tak menguntungkan kau. Apabila kedua suci- mu keburu datang, bukankah akan sia-sia rencana mu tadi?”

“Ah, tidak,” sahut Siu-la m, “asal kau mau me laksanakan permintaanku tadi, matipun aku puas!”

Dengan wajah bersungguh, Bwe Hong-swat berkata: “Sudahlah, jangan mengungkit lagi hal itu. Aku toh sudah menjadi isterimu. Bagi seorang wanita, kesucian diri adalah pusaka kehor matannya. Hidupku kini sudah menjadi milikmu. Aku sudah menjadi anggota keluarga Pui. Sa mpai mat i aku tetap akan menjadi setan keluarga Pui. Pada  saat kuminta kau menelan peta itu, terlintaslah kesadaran dalam nuraniku. Kita tak saling mendenda m per musuhan, hanya karena nafsu rakus maka aku sa mpa i mengorbankan jiwa mu. Suatu hal yang benar-benar melanggar kewajiban seorang isteri. Ketika mengucapkan sumpah di bawah kesaksian Dewi Re mbulan tadi, aku menyadari kesalahan. Sebagai seorang isteri tak layak aku me mbunuh sua miku….”

Bwe Hong-swat berhenti untuk menghela napas. Ujarnya pula: “Aku sendiri tak tahu mengapa aku berubah pandangan. Mungkin karena pengaruh dari cara ibuku me mberi pendidikan tentang kewajiban seorang isteri yang berbudi. Maka kau anggap aku sebagai isteri atau tidak, bukan soal bagiku.”

Siu-la m hanya ganda tertawa. Dia m-dia m ia me maki nona itu: “Boleh saja kau bicara ini itu, tetapi aku tetap tak percaya.”

Tiba-tiba teriakan Gan Leng-po makin dekat. Jelas  tabib  gila itu sedang menuju ke pondok terapung. Siu-lam terkejut. Ia kuatir tabib itu masih mengenalinya.

Akan tetapi ketika memandang pada Bwe Hong-swat, wajah dara itu tampak berseri girang. Siu- lam tak habis herannya.

Saat itu Gan Leng-po gunakan ilmu Teng-cui- leng-po (ilmu berjalan di atas air) melintasi telaga. Pada lain kejap, tabib itu sudah naik ke dalam pondok terapung. Tabib sakti yang gila itu me mandang Siu- lam sa mpa i beberapa jenak. Tiba-tiba tabib itu getakkan tongkatnya ke lantai dan membentak keras: “Apa kau tahu peta Telaga Darah?  Lekas  ke mbalikan padaku!” tiba-tiba tangan  kirinya  mencengkera m  bahu  Siu- la m.

Siu-la m menghindar ke sa mping. Tetapi tabib itu tetap mengejarnya. Wut! Ia sapukan tongkatnya.

Bwe Hong-swat cepat lompat mengha mpiri. Serunya kepada Siu-la m: “Pancing dia supaya memusatkan perhatiannya kepadamu. Aku hendak menutuk jalan darahnya!” Habis menghindar serangan tongkat, Siu-la m menghela napas: “Ah, dia sudah gila, mengapa hendak kau bunuh?”

Walaupun gila tetapi kepandaian silat tabib itu mas ih tetap sakti. Cepat dan dahsyat sekali tongkat itu ditusukkan ke dada. Terpaksa Siu- lam buang tubuh ke belakang.

Serangan tongkat makin la ma makin menggencar. Betapapun Siu-la m berusaha keras untuk menghindar na mun akhirnya ujung bajunya terkena tusukan juga. Akhirnya tak tahan pemuda itu.  Setelah menghindari sebuah tusukan itu,  ia berteriak: “Lo-cianpwe, harap berhenti! Apakah kau hendak mencari peta Telaga Darah itu?”

Anehnya si tabib yang sudah gila, tiba-tiba berhenti ketika mendengar seruan Siu-la m: “Benar! Apakah kau tahu peta  itu?”

Siu-la m benar-benar kagum atas perhitungan Bwe Hong- swat terhadap diri tabib itu. Serunya: “Peta Telaga Darah bukan lain sele mbar sutera kuning yang diga mbar i dengan garis-garis merah?”

“Benar, benar! Di mana peta itu?” teriak Gan Leng-po.

Saat itu Bwe Hong-swat sudah mendekati di belakang si tabib. Begitu  Gan  Leng-po  sedang  tumpahkan  perhatian  me layani bicara pada Siu-la m, secepat kilat  menutuk punggung si tabib itu. Si tabib lengah dan tak berdaya…..

Setelah berhasil merubuhkan orang, cepat sekali Bwe Hong-swat mengeluarkan peta dan menyusupkan ke dalam ujung baju tabib itu. Katanya kepada Siu-lam: “Hendak kupinjam tabib gila ini untuk me nyelamatkan peta dari sini!”

Siu-la m tercengang. Dia benar-benar heran terhadap gerak-gerik si nona yang serba sukar diduga-duga itu.

“Cara ini me mang bagus tetapi agak berbahaya. Memang dapat menghindari kedua sucimu tetapi bila sewaktu-waktu tabib ini pulih kesadarannya, bukankah sukar untuk merebut dari tangannya?” kata Siu-la m.

“Jangan kuatir!” Bwe Hong-swat tertawa. “Dia seorang tokoh yang berilmu tinggi dan berke mauan keras. Sekali kehilangan barang yang dicintainya, dia telah mendapat goncangan batin hebat. Apalagi melihat kuali pe masak obatnya tak kusengaja telah kupadamkan apinya, dia makin mender ita sekali….”

Siu-la m mengangguk: “Pandanganmu tepat sekali, nona!”

Siu-la m tergugu. Ia tak menyangka bahwa sandiwara sumpah perkawinan itu dianggap serius oleh si dara. Padahal jelas semula dara itu hanya melakukan pernikahan itu sekedar untuk menenangkan hati Siu- lam agar mau menelan peta.

Bwe Hong-swat menghela napas: “Peta dan obat merupakan    jiwanya.    Kehilangan    kedua     benda    itu me mbuatnya kalap dan berubah ingatan. Dalam  waktu pendek tak mungkin ia dapat sembuh. Untuk se mentara waktu, kita tak perlu menguatir kan hal itu. Yang perlu kita kuatirkan ialah kedua suciku. Mereka tentu masih curiga padaku. Jika mereka me maksa mengajakku pulang,  tentu sukar untuk menga mbil ke mba li peta itu dari tangan si tabib. Kepandaianmu jelas bukan tandingannya. Ah, tetapi dalam waktu seperti saat ini, tak ada guna kita banyak persoalan lagi!” Bwe Hong-swat segera membuka jalan darah tabib itu lagi, ke mudian ia cepat-cepat loncat keluar pondok.

Gan Leng-po menghe la napas. Dia duduk me mandang Siu- lam lekat-lekat. Tiba-tiba ia berseru marah: “Mana peta itu? Lekas ke mba likan padaku!”

Siu-la m me ma ki tabib itu. Sedang jiwanya masih terancam mengapa tetap me mikirkan peta saja.

Melihat Siu-la m diam saja, rupanya tabib itu tak sabar lagi. Segera ia maju me ncengkeram bahu orang. Siu-la m cepat- cepat miringkan tubuh dan loncat keluar dari pondok. Gan Leng-po mengejar keluar. “Hai, mau  lari  ke mana kau?” Ia menyerang punggung Siu- lam dengan  ujung tongkat. Tiba-tiba tongkat itu ditangkap oleh sebuah tangan halus dan menyusul terdengar bentakan bengis: “Jangan menyerang se mbarangan orang!”

Karena pikirannya masih linglung, Gan Leng-po terlongong- longong, sahutnya: “Dia mencur i peta Telaga Darah milikku. Sudah tentu akan kutangkap!”

Bwe Hong-swat lepaskan cekalannya dan tertawa: “Bagaimana rupanya petamu itu? Tentu kuberitahukan siapa pencurinya.”

Girang Gan Leng-po bukan kepalang, serunya: “Bagus, bagus, tentu kuterangkan, tentu kuterangkan padamu!”

Hanya beberapa patah kata itu yang diucapkan, selanjutnya tak berkata apa-apa lagi.

Bwe Hong-swat kerutkan dahi, tertawa: “Tadi kulihat seorang nona baju merah, me mbawa sebuah bungkusan sutera kuning yang penuh garis-garis merah.”

“Benar, benar! Memang itu petaku! Di mana nona baju merah itu?” teriak Gan Leng-po sere mpak.

Bwee Hong-swat menunjuk ke seberang tepi telaga, serunya: “Dia lari ke sana me mbawa peta.”

Tanpa menunggu kata-kata si nona lebih lanjut, tabib itu segera loncat ke dalam telaga. Dengan gunakan ilmu Teng- ping-tok-cui (ilmu berjalan di atas air), ia lari ke tepi.

Siu-la m terlongong-longong mengawasi tingkah laku tabib itu. Beberapa saat kemudian ia menghela napas: “Sayang, seorang tokoh yang dipuja dunia persilatan menjadi gila karena sebuah peta.  Terang dia  masih  dikuasai oleh nafsu  ke milikan angkara murka….” “Sudahlah, tak perlu me mikir kan orang itu. Lekas duduk di sisiku sini. Kedua suciku sebentar lagi tentu datang!”

Siu-la m menurut. Walaupun duduk di sa mping seorang dara cantik, namun pikiran Siu-la m tetap  melayang-layang me mikirkan nasib sumoaynya yang masih dalam cengkeraman hantu wanita tua itu.

“Ih, caramu  ini tidak seperti seorang suami terhadap isterinya. Masakah duduk  berda mpingan  tetapi  pikiranmu me mikirkan lain orang. Kalau kau bersikap begitu, tentu akan diketahui oleh kedua suciku!” tegur Bwe Hong-swat.

Siu-la m tersenyum: “Apa yang hendak kita percakapkan?”

Sebenarnya Bwe Hong-swat bukanlah seorang dara yang berhati dingin. Hanya karena sejak kecil diasuh  dalam keluarga yang keras, dia berubah menjadi seorang dara bengis. Dan seumur hidup baru pertama kali itu ia bersanding dengan seorang jejaka. Pertanyaan Siu-lam itu me mbuatnya termangu- mangu. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat berkata: “Apa saja yang hendak kau bicarakan, boleh saja. Asal kita duduk berapat diri agar mereka mempunyai kesan bahwa kita ini benar-benar sepasang sua mi isteri yang mesra!”

Habis berkata Bwe Hong-swat segera sandarkan kepalanya ke bahu Siu-la m. Jantung Siu-la m mendebar keras. Dengan jengah, Siu-lam hendak menolak tubuh dara itu tetapi secepat itu Bwe Hong-swat ulurkan tangannya ke dalam telapak tangan Siu-la m: “Nih, lihatlah tanganku, bagus tidak?”

Siu-la m gelagapan dan di luar  kesadarannya  segera menya mbuti tangan si dara. Ujarnya tertawa: “Lunak sekali bagaikan tak bertulang, le mbut bagaikan salju, indah seperti mut iara!”

“Kita kan sudah menjadi suami isteri. Jika kau anggap bagus, pandanglah sepuas-puasmu!” kata si dara. Siu-la m melepaskan cekalannya: “Ah, melihat sebentar sudah cukup, toh sa ma saja….”

Cepat pada itu dua sosok bayangan berjalan di per mukaan telaga. Segera Bwe Hong-swat me mbis iki Siu-la m: “Kedua suciku datang!” cepat ia rapatkan tubuhnya ke dada Siu-la m.

Cepat sekali kedua sosok bayangan itu muncul ke dalam pondok. Ketika Siu- lam melirik, dilihatnya dua orang nona cantik tegak berjajar di hadapannya. Yang seorang mengenakan pakaian warna biru. Usianya di antara dua puluh tiga tahun. Rambutnya terurai sampa i ke bahu. Yang di sebelah kanannya, mengenakan pakaian merah, tangannya mence kal sebatang kebut hud-tim. Ialah si dara baju merah yang disebut ji-suci (kakak kedua) oleh Bwe Hong-swat tadi.

Kedua nona itu cantik-cantik bagai bunga mawar dengan dahlia. Sukar untuk me milih siapa yang lebih cantik. Yang dapat dibedakan ialah, si dara baju biru berwajah angkuh dan kejam. Sedang si dara baju merah ra mah dan mengulum senyum.

Pelahan sekali Bwe Hong-swat  me mbuka  matanya  dan me mandang kedua sucinya itu. Dengan tingkah yang keenggan-engganan,  ia  berbangkit  dari   pelukan   Siu-la m, ke mudian me mberi hor mat kepada si nona baju biru: “Maafkan aku berlaku kurang hor mat kepada toa-suci.”

Nona baju biru tertawa hambar: “Dari ji-sumoay, kudengar kau sudah me mpunyai kekasih. Aku masih tak  percaya. Tetapi apa yang kusaksikan saat ini, benar-benar meyakinkan. Kuhaturkan sela mat pada mu, sa m-sumoay!”

“Ah, toa-suci jangan mentertawakan,” sahut Bwe Hong- swat.

Tiba-tiba wajah si nona baju biru mengerut bengis.

“Aku mengagumi kecerdikan sa m-sumoay. Oleh karena itu maka kuminta kau yang mencari Peta Telaga Darah itu. Dan kuyakin sa m-sumoay tentu tak akan mengecewakan harapanku,” kata si nona baju merah.

Sahut Bwe Hong-swat: “Dari telaga Tang-ping-ou sa mpai  ke Po-to-kang hingga ke gunung Kiu-kiong-san sini, belumlah aku dapat mene mukan jejak peta itu. Harap toa-suci suka maafkan kebodohanku!”

Nona baju biru tertawa dingin. Menuding pada Siu-la m ia berseru; “Siapa dia? Dari Tang-ping-ou sampai ke Po-to-kang dan dari Po-to-kang sa mpai ke Kiu-kiong-san sini, siapakah yang kau kejar itu?”

“Meskipun yang kukejar itu dia tetapi ternyata dia tak menyimpan peta itu!” kata Bwe Hong-swat seraya menuding Siu-la m.

Si nona baju merah tertawa mengikik: “Asal kalian berdua sekongkol menye mbunyikan peta itu, ah, ibarat seperti jarum jatuh di laut.”

“Mengapa ji-suci terlalu  mence moohku  saja?  Apakah maks ud ji-suci?” seru Bwe Hong-swat dingin.

Si nona baju merah tertawa: “Walaupun ucapanku tak enak didengar tetapi maksudku tetap baik.”

Bwe Hong-swat sebenarnya hendak menegur ji-sucinya tapi mendengar toa-suci agak marah, tak berani ia berkata keras. Katanya perlahan: “Ji-suci me mang sering berlawanan pendapat dengan aku. Suka cari perkara. Dalam hal ini kumohon pertimbangan toa-suci!”

“Manis benar mulut mu!” si nona baju merah  tertawa mengejek.

Si nona baju biru deliki mata: “Sudahlah, jangan ribut-ribut lagi! Benar tidak, kalian? Masakah kalian tak mau mengindahkan kata-kataku!” Toa-suci atau si nona baju biru me mpunyai pengaruh besar. Bwe Hong-swat dan si nona baju merah tak berani bicara lagi.

Mata si nona baju biru me mandang beberapa jenak kepada Bwe Hong-swat. Lalu katanya dengan nada dingin: “Tahukah sam-sumoay apa yang menjadi pantangan perguruan kita?”

“Ah, masakan aku berani me lupakan,” sahut Bwe Hong- swat.

“Baik,” kata si nona baju biru. “Apa hukumannya mur id yang berani mengelabui guru dan saudara seperguruannya yang lebih tua?”

“Dipagut ribuan ekor ular berbisa!” sahut Bwe Hong-swat.

Mendengar jawaban yang tegas itu, agak tenanglah wajah  si nona baju biru. Sejenak ia me mandang ke arah Siu- la m, katanya: “Karena dia datang ke telaga Tong-ping-ou, tentulah dia me mpunyai hubungan dengan keluarga Ciu.  Potong rambut tak mencabut akarnya, tentu akan menimbulkan bahaya di kelak kemudian hari. Lebih baik bunuh saja dia!”

Bwe Hong-swat kerutkan dahi, sahutnya: “Dia sudah menjadi suamiku. Mohon toa-suci suka me mandang mukaku dan jangan me mbikin susah padanya.”

Si nona baju biru tertawa hambar. “Telah kuselidiki jelas bahwa peta itu berada di tangan suami-isteri  Ciu-pwe. Setelah suami-isteri itu mati tentulah peta ini jatuh pada orang yang mempunyai hubungan dengan mereka. Mungkin dia (Siu-la m) tentu tahu di ma na peta itu. Ah, sam-sumoay, di dunia banyak sekali pria yang bagus. Mudah sekali untuk mencari suami tampan. Mengapa kau tergila-gila padanya? Lebih baik serahkan saja pada ji-sucimu. Mungkin dapat diperoleh keterangan tentang peta itu. Hal ini sangat penting. Sudah terlanjur me mbunuh seratus mengapa me mbiarkan hidup satu orang. Harap sam-sumoay menyadari bahwa kepentingan perguruan jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi!”

“Hal ini….” Baru Bwe Hong-swat hendak me mbantah, si nona baju merah sudah tertawa menukas: “Heran, mengapa sam-sumoay yang begitu anti orang laki, kini bisa jatuh hati pada orang itu? Jangankan toa-suci, aku sendiripun menaruh curiga!”

Wajah Bwe Hong-swat mengerut bengis: “Benar, me mang biasanya aku anti lelaki. Tetapi sekali telah menjatuhkan pilihan, seumur hidup tetap akan setia. Jika suci berdua hendak me mbunuhnya, akupun tak ma u hidup di dunia lagi!”

Siu-la m terkesiap mendengar pernyataan Bwe Hong-swat. Di luar dugaan perkataan si nona baju biru: “Karena Sam-

sumoay bersungguh-sungguh me mbe lanya, demi me mandang ikatan persaudaraan kita, kali ini dapat kuberinya a mpun!”

Serta merta Bwe Hong-swat berlutut di hadapan toa- sucinya: “Terima kasih atas budi kebaikan toa-suci.”

Si nona baju biru mengangkat bangun Bwe  Hong-swat: “Ah, kita toh sesama saudara seperguruan. Mengapa Sam- sumoay bersikap seperti orang luar. Ah, jangka waktu suhu menutup diri (sedang meyakini suatu ilmu) segera akan selesai. Sebaiknya kita harus lekas pulang. Beliau sayang  sekali kepadamu. Beliau paling senang kalau kau yang menjaga di sa mpingnya. Urusan mencari peta itu, serahkan saja pada ji-sucimu. Marilah kau ikut aku pulang sekarang juga!”

Bwe Hong-swat yang cerdas cepat mengetahui apa yang tersembunyi di balik kata-kata toa-sucinya itu. Ia melirik pada si nona baju merah, serunya: “Harap ji-suci me mandang mukaku dan dapat bertemu lagi mas ih dalam persaudaraan!”

Si nona baju biru menceka l lengan Bwe Hong-swat, ujarnya: “Kita harus lekas- lekas tiba di rumah sebelum suhu turun dari pertapaannya….” sejenak ia berpaling ke arah Siu- lam dan berseru: “Jika kau ingin mene mui sumoayku ini, tiga bulan ke mudian datanglah ke gunung Beng-ga k, sebagai toa- suci aku tentu mengatur pertemuan kalian. Mudah-mudahan berpisah dalam keadaan sebagai temanten baru itu akan  mena mbah r indu  kebahagiaanku dalam pertemua kalian nanti!”

Habis berkata ia menarik tangan Bwe Hong-swat diajak lari keluar. Setelah me lintasi telaga merekapun melenyapkan diri.

“Ji-suci, maukan kau mengantar kami sebentar?” tiba-tiba Bwe Hong-s wat berpaling dan berteriak.

Si nona baju merah tertawa mengekeh: “Ah, mengapa tidak? Harap Sa m-sumoay jangan banyak kecurigaan!” sekali me lesat ia melintasi telaga dan menyusul kedua saudaranya.

Kini di dalam pondok terapung itu hanya tertinggal Siu- lam seorang diri terlongong- longong. Tiba-tiba ia teringat akan pemuda gagu. Cepat ia masuk ke ruang dalam. Si gagu itu masih me mbujur di lantai, entah masih hidup atau sudah mati. Tetapi ketika Siu-la m meraba dadanya, ternyata jantung si gagu itu masih mendebur pelahan. Segera ia duduk dan menyalur kan tenaga dalam untuk mengurut-urut tubuh si gagu.

Ah, ternyata ilmu tutukan Bwe Hong-swat merupakan ilmu tutukan istimewa dari perguruannya. Sekalipun  kepala  Siu- lam mandi keringat tak juga si gagu dapat bergerak. Akhirnya ia lepaskan usaha pertolongannya.

“Aku sudah berusaha sekuat kema mpuanku, tetapi tak dapat menolong saudara. Terpaksa aku  hendak  pergi dari sini. Semoga Tuhan melindungi anda  dan  anda  dapat bertemu dengan orang berilmu yang dapat me mberi pertolongan!” Siu-la m mengucap kata-kata perpisahan  lalu me langkah ke luar pondok. Setelah tiba di tepi telaga, segera ia gunakan ilmu lari cepat. Ia merasa telah berlari belasan li maka dikendorkanlah larinya. Ia percaya dirinya tentu sudah di luar wilayah kekuasaan Gan Leng-po.

“Hai, mengapa baru datang?” tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah lengking teriakan.

Siu-la m berpaling. Di bawah sinar re mbulan re mang, dilihat si nona baju merah berada beberapa meter di belakangnya. Tangan mengepit si gagu sambil tersenyum simpul.

Diletakkannya si gagu di tanah, serunya tertawa: “Kau sudah berjanji sehidup-sehati dengan  Sa m-sumoayku. Dengan begitu kita sudah menjadi orang sendiri. Maukah kau menjawab beberapa pertanyaan sucimu ini?”

“Asal tahu tentu aku bersedia menjawab,” sahut Siu-la m. Nona itu tertawa. Sekali menggeliat, ia melesat ke depan

Siu-la m: “Di manakah peta Telaga Darah itu?  Asal kau suka me mber itahukan selain takkan kuganggu pun bahkan akan kuberimu beberapa benda yang jarang terdapat di dunia….”

Siu-la m me nyurut mundur, sahutnya tertawa: “Aku belum pernah melihat apa peta Telaga Darah itu. Bagaimana aku dapat mengunjukkan benda itu pada mu?”

Nona baju merah tersenyum: “Ah, kan lebih enak minum anggur daripada minum racun? Jika aku sampai  marah, jangan harap kau tinggalkan gunung ini dengan masih bernyawa!”

“Telah kuterangkan sejujurnya. Jika tak percaya silahkan nona menggeledahku! ”

Sejenak nona itu merenung la lu menyuruh Siu- lam menangga lkan baju luarnya. Apa boleh buat, Siu-lam   terpaksa menurut. “Hai, mengapa tak lekas-lekas me mbuka?” seru nona baju merah ketika me lihat Siu-la m perlahan-lahan menanggalkan baju luarnya.

“Kalau tak percaya, geledahlah! Masakan baju dalam harus kubuka semua?” teriak Siu-la m marah.

“Benar,” si nona tertawa mengikik, “harus buka semua baru aku mau percaya kalau kau tak menye mbunyikan peta itu!”

“Seorang lelaki boleh dibunuh tetapi jangan dihina. Aku seorang pria, masakan disuruh buka baju di hadapan seorang gadis!” teriak Siu- la m.

Sambil me mainkan kebutnya, si nona baju merah tertawa: “Jika kau enggan, terpaksa aku harus bertindak sendiri.” Ia maju dua langkah, tangan kiri mencengkera m bahu Siu-la m.

Siu-la m menghindar ke samping. Dengan gerak Kiau-bak- kim- leng, ia me mukul dada si nona.

“Sayang sam-sumoayku sudah tak berada di sini.  Kalau ada, ia tentu meno longmu!” seru si nona seraya menggeliat ke samping dan secepat kilat menyambar siku lengan Siu-la m sebelah kanan. Seketika Siu-la m rasakan tenaganya lumpuh.

Sambil mengunjukkan kebut hud-tim di muka Siu-la m, nona itu berkata: “Jika kau tetap tak mau menyerahkan peta, terpaksa akan kusapu muka mu sa mpai hancur. Lihat saja, apakah sumoayku nanti masih suka pada mu atau tidak!”

“Matipun bukan soal, apalagi hanya rusak muka!” sahut Siu-la m.

“Kau keras kepala benar,” si nona tertawa tetapi aku tak percaya kau me mpunyai tulang besi. Mari kita coba siapa yang lebih tahan!”

Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan bagaikan  bintang me luncur turun, sesosok tubuh muncul di hadapan kedua orang. Nona baju merah  dan Siu-lam terkejut melihat kegesitan orang itu. Ah, ternyata si tabib sakti Gan Leng-po.

“Ke mbalikan peta Telaga Darah!” teriak si tabib seraya gunakan jurus Thay-san-ya-ting (Gunung Thay-san Menindih Kepala) menghantam kepala si nona baju merah dengan tongkatnya.

Si nona menangkis dengan hud-timnya: “Hai, tua bangka, mengapa kau bertingkah seperti orang gila!”

Walaupun gila tetapi  kepandaian  tabib  itu  masih  sakti me lihat si nona menyongsong kebut, cepat ia geliatkan tongkatnya ke bawah untuk menyapu kaki.

Si nona baju merah terkejut melihat kelihaian orang gila itu. Cepat ia dorong Siu-la m mundur dan ia sendiri loncat ke belakang.

Walaupun berkepandaian tinggi, tetapi nona itu kurang pengalaman. Menghadapi serangan si tabib yang begitu dahsyat, ia gugup. Benar ia dapat menghindar tetapi ia pun lepaskan cekalannya pada lengan Siu- la m.

Si tabib makin kalap. Dengan jurus  Sun-cui-tui-cou (menurut arus mendorong perahu), ia tusukkan ujung tongkatnya. Jurus itu sebenarnya jurus biasa. Tetapi dalam tangan si tabib, telah berubah menjadi jurus yang berbahaya sekali.

Kini si nona tak mau mundur lagi. Tusukan tongkat dihindari dengan sebuah geliatan tubuh ke mudian ia menyerang dengan mena mparkan kebutannya.

Gan Leng-po masih ingat akan keterangan Bwee Hong-s wat bahwa yang mencuri peta Telaga Darah itu seorang nona baju merah. Maka begitu me lihat nona itu merah bajunya, segera ia serang mati- matian. Tetapi ternyata nona baju merah itu lihay sekali. Serangan kebutnya, me maksa ia harus mundur tiga langkah. Kini Gan Leng-po makin yakin bahwa nona baju  merah yang di hadapannya itulah yang mencuri peta Telaga Darah.

“Ke mbalikan petaku!” teriaknya seraya menyerang dengan jurus Bay-san-to-hay (menghancur kan gunung me mbalikkan laut).

Demikian keduanya bertempur seru dengan jurus yang berbahaya dan dahsyat. Melihat itu timbullah pikiran Siu-la m untuk lolos. Cepat ia menyelinap pergi dari situ.

Si nona baju merah tahu perbuatan Siu-lam. Tetapi karena dilibat oleh hujan serangan si tabib, terpaksa ia tak dapat mencegah. Kini ke marahannya ditumpahkan kepada si tabib edan. Serangan kebutannya dirubah sedemikian rupa. Setiap gerak kebutan tamparan merupakan jurus-jurus  maut. Disaluri tenaga dala m, untaian ra mbut hud-tim itu berubah keras seperti kawat tajam.

Kepandaian Gan Leng-po bukan olah-olah saktinya. Walaupun kepandaian nona itu hebat, tetapi dalam waktu singkat, sukar untuk me menangkan perte mpuran.

Sedang Siu-la m yang me loloskan diri, lari sekuat kakinya ma mpu me mbawanya. Ia tidak mau menganggap dirinya sudah lolos sebelum benar-benar dirinya sudah a man. Ketika mentari pagi mengintip di puncak gunung, barulah Siu-la m rasakan kedua kakinya le mas lunglai. Ia beristirahat di balik sebuah batu di tepi jalan.

Entah berapa lama ia tertidur, ketika bangun ternyata  sudah tengah hari. Kini perutnya mulai mer intih-r intih  minta isi. Baru ia hendak berbangkit mencari ma kanan, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkata perlahan: “Kudengar Ti-ki-cu Gan Leng-po pandai sekali dalam ilmu me mbuat obat-obatan. Jika kali ini kita datang bertemu dengannya, pasti kita akan mendapat beberapa obat yang berharga.”

Terdengar lengking suara mir ip anak, menyahut: “Suhu telah me mperingatkan kita bahwa Gan lo-cianpwe seorang yang aneh wataknya. Tak usah kita  meminta apa-apa padanya agar jangan dipandang re meh olehnya.”

“Ah, sute hanya tahu satu tak tahu lainnya. Suhu hanya kenal pada Gan lo-cianpwe tetapi tidak pernah berhubungan. Surat suhu yang kita bawa untuk Gan lo-cianpwe ini tentulah penting sekali is inya. Siapa tahu, karena girang Gan lo- cianpwe suka me mber i hadiah beberapa maca m pil kepada kita!” sahut yang berkata pertama tadi.

Kembali orang yang bernada seperti bocah tertawa: “Mudah- mudahan begitulah. Mari kita lanjutkan perjalanan lagi.”

Ketika Siu-la m mengintip dari celah karang, dilihat yang bercakap-cakap itu dua orang anak muda yang mengenakan jubah seperti ima m dan me ma nggul pedang. Mereka menuju ke barat.

Bermula  Siu- lam   hendak   me manggil    mereka    dan me mber itahukan tentang keadaan yang diderita oleh si tabib, tetapi akhirnya ia  ambil  putusan  lebih  baik  lekas-le kas meno long sumoaynya. Ia tak kenal dengan kedua orang itu, siapa tahu jangan-jangan bisa salah paham dan menimbulkan kesulitan.

Baru kaki diayun, tiba-tiba seorang tua berjubah warna kelabu dan seorang lelaki berumur tiga puluhan tahun berlari- larian mendatangi. Dari pakaian dan ro man  muka  mereka jelas kalau mereka agak letih karena habis mene mpuh perjalanan jauh. Mereka berhenti di muka Siu- lam dan setelah me mandang  pe muda  itu,  beberapa  jenak,  si  orang  tua me mber i sala m:

“Tolong tanya, apakah anda me lihat dua orang berpakaian ima m lalu di sini?” tegurnya.

Siu-la m mendapat kesan bahwa kedua orang itu tentu sedang mengejar kedua ima m tadi. Tak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba lelaki setengah tua mencabut senjatanya sepasang poan-koan-song-pit (sepasang tangkai pena) dan menuding pada Siu- la m: “Apa kau tuli? Mengapa ditanya diam saja?!”

Siu-la m kerutkan keningnya. Ia tak kenal siapa kedua orang itu. Sebaiknya ia bersikap menghindar i diri  saja. Selintas teringatlah ia akan pe muda gagu pe mbantu dari Gan Leng-po. Ah, sebaiknya ia pura-pura menjadi seorang gagu saja.

Dengan tingkah laku seperti orang gagu, Siu-la m menguak- nguak teruskan berjalan pergi.

“Seorang pe muda cakap yang gagah, mengapa gagu?” si orang tua kerutkan dahi.

“Dia tentu hanya berpura-pura gagu  saja.  Biarlah kutampar mukanya, tentu dia bisa bicara!” seru lelaki setengah tua seraya hendak mena mpar. Tapi dicegah oleh si orang tua.

“Jangan, kalau berpura-pura masakan aku tak tahu. Ah, jangan buang waktu percuma!” kata si orang tua yang merasa dirinya lebih berpengala man. Rupanya lelaki yang muda itu takut kepadanya.

“Tetapi aku tak percaya kalau dia gagu, dari gerak-geriknya dia bahkan seorang yang mengerti ilmu silat,” le laki setengah tua itu masih menggerutu.

“Benar, dia me mang me ngerti ilmu silat. Tetapi masakan tak ada orang persilatan yang gagu. Sudahlah, pengalamanku yang berpuluh tahun di dunia persilatan ini tentu takkan salah lihat!” sahut si orang tua.

Lelaki setengah tua menyelinap senjatanya ke  punggung lagi tetapi tetap me mandang  gerak-gerik Siu-la m yang berjalan dengan tenang. Akhirnya dapatlah Siu- lam lolos dari gangguan kedua orang tak dikenal itu. Setelah beberapa waktu  berlari,  ia  beristirahat  lagi.   Tubuhnya  benar-benar le mas karena perut kosong.

Tiba-tiba di udara beterbangan beberapa ekor burung dara. Timbul seketika akal Siu- lam untuk mendapatkan  makanan. Ia me mungut sebutir kerikil lalu dilontarkan ke atas. Seekor burung merpati terkena lontarannya dan jatuh. Ke mudian Siu- lam me mbuat api unggun dari ranting-ranting kering.

Tiba-tiba ia teringat bahwa orang persilatan sering menggunakan burung merpati untuk menya mpaikan berita. Segera  burung  itu  diperiksa,  ah,  ternyata   benar.   Ia mene mukan sebuah tabung kecil berisi surat di bawah sayap kiri burung itu. Surat berbunyi:

Thian Hong toheng,

Maaf, karena ada urusan penting,

aku tak dapat datang me menuhi janji. Tujuh hari lagi, aku pasti datang.

Surat itu tak bertanda tangan tetapi dibubuhi cap sebuah gambar Thay-kek-tho.

Siu-la m mendengar juga siapa paderi Thian Hong itu. Dia seorang paderi yang menjadi tokoh pertama dari Su-tay-beng- kiam  (Empat  Jago  Pedang  Termasyhur).   Karena   sering me lakukan perbuatan utama, paderi itu dianggap sebagai pemimpin golongan putih dari tujuh propinsi Kang-la m.

Siu-la m tertegun. Dia m-dia m ia menyesal telah mengganggu merpati itu. Pengirim surat tentu juga seorang golongan putih. Dan serentak dengan itu teringatlah ia akan orang tua dan lelaki setengah tua serta kedua orang yang terdahulu dijumpa inya tadi. Gerak-gerik kedua orang rombongan itu bukan sewajarnya, kemungkinan kedatangan mereka tentulah me mpunyai hubungan dengan peta Telaga Darah. Ia terkejut ketika api ha mpir pada m. Buru-buru ia hendak berbangkit, tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram oleh sebuah tangan keras.

“Lekas berikan surat itu kepadaku! Berani melawan, urat- uratmu kuhancurkan!” terdengar suara anca man bengis.

Dan serentak punggung Siu- lam dicengkera m. Dalam keadaan seperti itu terpaksa Siu-lam  menur ut.  Tetapi ketika ia mengangkat tangan, bahunya kesemutan dan pingsanlah ia. Entah berapa lamanya, ketika  sadar ia dapatkan  dirinya berada dalam sebuah kereta. Kaki dan tangannya diikat kencang.

Siu-la m gera m. Dikerahkan tenaga dalam untuk me mutus tali pengikat. Tiba-tiba terdengar suara berbisik: “Harap kenal gelagat sobat. Jika coba-coba berontak, jangan  menyesal kalau aku terpaksa me mutus lenganmu!”

Ternyata dalam kereta itu terdapat seseorang yang menjaganya. Siu- lam hanya dapat menghe la napas. Dan karena kedua matanya ditutup dengan kain hita m, ia tak tahu saat itu mala m atau siang.

“Sahabat, aku tak kenal dan me mpunyai dendam permusuhan apa-apa kepada mu. Mengapa kau me nyiksa aku begini?” serunya.

Orang itu tertawa: “Tanyakan saja nanti pada pemimpin kita. Sekarang lebih baik kau jangan banyak bicara!” jawab penjaga itu.

Siu-la m teringat akan perutnya yang lapar. Memang kalau lapar tentu tak punya tenaga bertempur. Lebih baik ia bersikap bersahabat dan minta disediakan ma kanan.

Baru ia hendak me mbuka mulut tiba-tiba terdengar suara parau dari sebelah luar: “Hai, budak itu sudah bangun?”

Penjaga dalam kereta mengiakan. “Awas, budak itu ganas rupanya. Hati-hati jangan sampai dia lolos. Kita yang celaka nanti,” seru suara parau itu pula.

Mendengar itu Siu- lam terpaksa batalkan kata-katanya. Kira-kira sejam ke mudian, kereta itu tiba-tiba berhenti. Dan Siu-la m rasakan dirinya digotong keluar.  Ternyata  dia diangkut ke tepi sebuah sungai. Di situ  telah  disiapkan sebuah perahu. Karena kelaparan dan letih sekali Siu-la m pingsan lagi.

Ketika me mbuka mata, ia berada dalam sebuah ruangan besar yang terang benderang penerangannya. Ruangan itu penuh dengan orang yang duduk diatur dalam dua jajaran. Tak kurang dari dua puluhan orang jumlahnya. Di tengah- tengah duduk seorang tua me makai pakaian warna biru. Umurnya lebih kurang lima puluh tahun. Hidung betet, mata juling. Tubuhnya kokoh kekar dilingkari dua  untai jenggot yang menjulur sa mpa i ke dada. Seorang lelaki yang gagah perkasa.

Di sebelah kirinya, duduk seorang lelaki bertubuh pendek. Sepasang matanya bersinar tajam. Sedang di sebelah kanan duduk seorang tua bertubuh kurus. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua.

Lelaki gagah itu me megang surat yang ditemukan Siu- lam dari sayap merpati. Begitu melihat Siu- lam ia segera me mberi salam dan berseru dengan tertawa: “Maaf, karena tak tahu maka sa mpai berlaku kurang sopan terhadap saudara!”

Walaupun ucapan ramah tetapi nadanya tetap seram. Saat itu Siu- lam sudah tidak diikat dan tak ditutupi matanya. Melihat sa mbutan  orang yang  ramah,   iapun  tersipu-sipu me mba las hor mat.

“Rasanya dunia persilatan Kanglam tidak pernah me lihat kehadiran saudara. Saudara tentu berasal dari jauh,” kata lelaki si hidung betet. “Benar, me mang aku datang dari Kangpak dan kebetulan pesiar ke gunung Kiu-kiong-san. Tetapi entah apakah kesalahanku sehingga tuan me nawanku ke sini?”

“Ah, me mang sudah ja ma k dalam dunia persilatan sering terjadi kesalahan paham. Me mang karena salah paham maka anak buahku sampai me mbawa saudara kemari. Dan karena kita sudah saling kenal, maka sukalah saudara me mberi petunjuk tentang kedua buah hal. Setelah itu tentu akan kami antar saudara pulang serta menghukum anak buahku yang bersalah itu!”

Dia m-dia m Siu-la m menima ng. Lelaki hidung betet ini tentulah pemimpin dari ro mbongan orang yang berada di situ. Timbul keinginannya untuk me ngetahui siapa orang itu. Dengan hor mat ia me nanyakan na ma dan gelaran si hidung betet.

Sambil mengurut-urut jenggot, si hidung betet tertawa: “Ah, aku seorang yang tak terna ma. Na maku Wan Kiu-gui.”

Siu-la m terkesiap. Ia pernah mendengar juga tentang Wan Kiu-gui bergelar Siau-hin-s in-eng atau Elang Sakti Berwajah Ketawa, sebagai pemimpin golongan hitam dari tujuh propinsi Kangla m. Dialah pe mimpin dunia lok- lim (bangsa penya mun) di Kangla m. Kedudukannya berlawanan dengan Thian Hong totiang yang satu pemimpin golongan putih, yang satu pemimpin golongan hitam.

Elang Sakti Tertawa Wan Kiu-gui balas menanyakan nama Siu-la m. Dan Siu- la mpun me mberitahukan na manya.

“Ah, apakah saudara Pui kenal pada Thian Hong-totiang?” tanya Wan Kiu-gui.

“Thian Hong-totiang?” sahut Siu-la m  tenang-tenang, “setiap orang persilatan tentu mengenalnya. Begitu juga aku. Hanya sayang aku tak pernah berte mu dengan paderi itu.” Wan Kiu- gui tertawa: “Oh, kiranya saudara hanya kenal namanya saja. Kalau begitu….” sa mpai di sini tiba-tiba wajah si hidung betet itu berubah seram lagi. Diacungkan surat  yang dicekalnya lalu berseru dingin. “Dari manakah saudara mendapatkan surat ini?”

Saat itu Siu-la m merasa dirinya disorot oleh berpuluh-puluh pasang mata. Dia m-dia m ia mengeluh. Dan berada dalam sarang harimau. Sekali kurang hati-hati bicara, tentu akan tertimpa bencana ma ut.

“Surat itu kudapatkan secara tak sengaja,” akhirnya ia menjawab.

Beberapa tertawa mengejek berha mburan dari kedua jajaran tempat duduk yang penuh orang itu. Siu-la m menyurut dua langkah ke belakang, serunya: “Siapa pengirim surat itu, aku pun tak tahu!”

“Kalau begitu saudara juga tak tahu akan rapat besar yang hendak diselenggarakan paderi Thian Hong?” seru Wan Kiu- gui pula.

Siu-la m mengia kan.

“Walaupun keterangan saudara menyangsikan, tetapi akupun terpaksa mempercayaimu,” kata Wan Kiu-gui seraya tertawa keras.

“Aku telah mengatakan sebenar-benarnya. Kalau saudara tak percaya, terserah saja,” kata Siu- la m.

Wan Kiu-gui tenang-tenang saja me masukkan surat itu ke dalam bajunya. Dan kini ia menge luarkan sebuah botol kecil dari batu kuma la putih. Siu-la m hampir menjerit melihat botol kumala itu. Cepat ia merogoh bajunya, ah…. kosong! Siu-lam pucat seketika.

Sambil me mainkan sepasang botol kumala, Wan Kiu-gui tertawa: “Saudara mengatakan tak pernah campur dengan orang persilatan. Tetapi kedua botol ini berisi obat yang jarang terdapat di dunia  persilatan.  Dari manakah  saudara me mpero lehnya?”

Dari gelisah kini Siu- lam menjadi gusar. Serunya: “Obat itu kuperoleh dari pemberian Gan lo-cianpwe di gunung Kiu- kiong-san. Apakah hubungannya?”

Wan Kiu-gui tertawa gelak-gelak. Sejenak ia tukar isyarat mata dengan orang tua kurus  yang duduk di sebelah kanannya. Katanya lagi kepada Siu- la m: “Obat Kiu-coan-s iok- beng-seng-ki-san dan Kun-tok-tin-s in-tan ini, obat dewa yang sukar  didapat.  Kalau  Ti-ki-cu  Gan  Leng-po  sa mpai   mau me mber ikan pada mu, tentulah me mpunyai hubungan baik sekali dengan saudara!”

Siu-la m terkesiap, sahutnya: “Memang aku punya hubungan baik dengan kalian!”

Siu-la m buang se mua rasa takut. Ia duga benggolan golongan hitam itu tentu marah. Di luar dugaan Wan Kui- gui ma lah tertawa girang: “Oho, kalau begitu kau tahu te mpat tinggalnya!”

“Ya!”

“Ah, sudah lama aku ingin bertemu dengan tabib itu. Sayang tak tahu tempatnya. Kini saudara tentu tak keberatan me mbawa ku kesana, bukan?”

Siu-la m terkesiap dan tak dapat berkata sampa i beberapa saat.

“Jika kau me mbuat aku kecewa, terpaksa akupun akan mengecewakanmu,” Wan Kui- gui seraya le mparkan botol kumala me la mbung tinggi  ke  atas.  Ke mudian  botol  itu disa mbutinya. Ia memberi peringatan pada Siu-lam, bahwa setiap saat obat itu dapat dihancurkan.

“Bukan karena tak mau tetapi Gan lo-cianpwe itu sekarang tak tinggal di sana,” seru Siu- la m. Wan Kui-gui mendengus dan le mparkan botol ma kin tinggi lalu disusul lagi dengan botol yang kedua. Tring….botol itu berbenturan perlahan.

“Tak apalah. Asal kau mau me mbawaku ke sana, puaslah hatiku,” kata Wan Kui-gui.

Tiba-tiba Siu- lam loncat menerjang benggolan itu untuk merebut  botol   obatnya.   Wan   Kui-gui   masih    tertawa me lantang. Ia hanya guratkan tangan kanan perlahan-lahan dan Siu- lam sudah terhuyung-huyung mundur tiga langkah.

Pemuda itu putus asa. Tak mungkin ia dapat melawan benggolan  sakti  itu.   Dalam  putus   asa,   Siu-lam  hendak me larikan diri. Tetapi ah… si orang tua yang duduk di samping Wan Kui-gui sudah melesat menghadang di ambang pintu.

Siu-la m tertegun. Orang tua itu mengha mpir inya perlahan- lahan.   Semua  hadirin  di  situ me mandang  Siu-la m.   Siu- la mpun bersiap-s iap. Tetapi tiba-tiba, sebelum ia se mpat berbuat sesuatu sebuah jari kurus telah menutuk dadanya. Cepat dan tepat sekali jari itu bergerak. Seketika Siu-la m rubuh le mas, tenaganya lumpuh.

“Aku me minta secara baik, namun kalau kau tak kenal gelagat, terpaksa kupersakiti,” Wan Kiu-gui tertawa.

Marah, malu, penasaran dan putus asa berkecamuk dalam hati Siu-la m. Benggolan golongan hitam tersebut sepuluh kali lebih sakti darinya. Tak bakal ia ma mpu lolos.

“Jika kau mau mengantarkan aku ke tempat Gan Leng-po, bukan saja kedua botol itu kuke mbalikan pada mu, pun akan kuantarkan kau pulang. Kelak apabila kau me mer lukan bantuan, kami bersedia untuk me mbantumu. Ah, kau seorang cerdik, mengapa tak mau berpikir panjang?” Siu-la m me mandang kepala benggolan itu dengan tajam.  Ia tak dapat berkutik tetapi mulutnya bergerak seakan hendak bicara.

Sebagai seorang berpengalaman, cepat Wan Kiu-gui berbangkit dan mengangkat bangun Siu-la m. Ditepuknya punggung pe muda itu tiga kali: “Kalau tadi saudara menerima, tentu tak sampa i begini.”

Kemudian ia perintah supaya mempersiapkan  perjamuan itu, walaupun Wan Kiu-gui berlaku ra mah, pikirnya Siu-la m tetap melayang jauh kepada sumoaynya. Betapa ia ingin lekas-lekas me mbawa obat itu untuk me mbebaskan dara itu.

Selesai perjalanan, wan Kiu-gui segera mengajak Siu- lam berangkat. Dia membawa pengiring delapan orang bersenjata lengkap. Mereka naik kuda. Cepat sekali mereka tiba di tepi sungai. Lima buah perahu telah disiapkan, tiap perahu dinaiki dua orang. Wan Kiu-gui dan Siu-la m naik dalam sebuah perahu.

“Aku hanya bersedia mengantarkan ke tempat Gan locianpwe. Soal dia di rumah atau tidak dan mau menerima kedatanganmu atau tidak, bukan tanggung jawabku,” kata Siu-la m.

“Tentu,”  jawab Wan Kiu-gui. “Masih ada sebuah hal lagi yang hendak kutanyakan pada mu?”

“Silahkan.”

“Rupanya kau belum pernah berkelana di dunia persilatan. Apa maksudmu menge mbara kali ini? Apakah hanya semata- mata hendak minta obat kepada Gan Leng-po?”

“Benar, me mang hanya itu.”

Wan Kiu-gui tertawa. Serunya beberapa jenak kemudian: “Walaupun kudengar pil Kiu-coan-sio k-beng-seng-ki-san dan Bi-tok-tik-siu-tan itu obat mujijat, tetapi sela ma ini belum pernah kulihatnya. Benarkah tujuanmu hanya untuk me minta obat itu?”

Siu-la m mengatakan bahwa obat itu hanya untuk persediaan saja. Dalam pada bertanya jawab itu, perahupun tiba di seberang tepi. Kembali mereka melanjutkan perjalanan dengan kuda. Pada hari kedua  menjelang  petang,  mereka tiba di kaki gunung Kiu- kiong-san.

Menghadapi pendakian yang sukar, terpaksa mereka berjalan kaki. Kuda disuruh jaga salah seorang pengiring Wan Kiu-gui. Siu-lam tetap dijaga ketat oleh delapan buah Wan Kiu-gui.

“Masih berapa jauhnya tempat tinggal Gan  lo-cianpwee itu?” tanya Wan Kiu-gui.

Siu-la m menge luh: “Kabut mula i me mbungkus gunung sukar untuk mengena l jalan….” Belum habis ia berkata tiba- tiba Wan Kiu-gui mendengus dan loncat ke se mak belukar yang tumbuh di sebelah kiri. Dia berhenti di muka sebuah semak, lelaki tua bertubuh kurus segera maju mengha mpiri semak itu. Ternyata di dalam se mak itu terbaring dua orang lelaki. Matanya tertutup kaki  tangannya  menjulur.  Entah hidup atau mati.

“Selain Gan Leng-po, siapakah yang tinggal di daerah sini lagi?” tanya Wan Kiu-gui.

“Aku kurang jelas,” sahut Siu- la m.

Wan Kiu-gui tertawa seram lalu pengiringnya me meriksa keadaan kedua korban itu. Siu-lam terbeliak kaget ketika mengetahui kedua korban itu bukan lain ialah orang tua berjubah kelabu dan lelaki  setengah  tua  yang  dijumpainya ke marin.

“Sudah mati,” kata pengiring Wan Kiu-gui.

Dengan tetap mengulum tawa, Wan Kiu-gui perintah anak buahnya mengubur kedua mayat itu. Dua anak buah Wan Kiu-gui segera mengangkut mayat itu ke dalam hutan. Ucap Wan Kiu-gui kepada Siu-la m: “Pernahkah kau bertemu dengan kedua anak buahku yang mati itu?”

Siu-la m tahu bahwa berhadapan dengan kepala golongan hitam yang cerdik dan licin itu tak guna ia berbohong. Maka diceriterakannya pertemuan dengan kedua korban beberapa hari yang la lu.

“Menilik kau juga seorang persilatan, tentulah dapat menduga bagaimana cara ke matian mereka?”

Seru Wan Kiu-gui pula.

“Menurut penilikanku, kedua anak buah tuan binasa karena tutukan Ciong-chiu-hwat!”

Wan Kiu-gui tertawa: “Benar, memang mereka mati karena tangan ganas itu!”

“Menurut pendapatku, mereka belum la ma meninggalnya….” Tukas si orang pendek.

“Setelah ditutuk tak berkutik mere ka dit inggalkan di sini sampai jiwanya melayang. Penutukan itu terjadi  dua  hari yang lalu,” Wan Kiu-gui mena mbahi keterangannya, “Di dunia persilatan orang yang berani menentang aku tak ada keduanya kecuali si hidung kerbau Thian Hong itu. Tetapi kedua orang tadi jelas bukan mat i karena tangan paderi itu. Entah siapa lagi yang me mpunyai ilmu tutukan sede mikian saktinya itu!”

“Se mua telah terjadi, tak perlu Hu pa-cu meresahkan,” kata si pendek. Lalu ia berkata kepada Siu-la m: “Apakah aku perlu yang me mpe lopori di muka?”

“Tak usah!” sahut Wan Kiu-gui, “tutukan itu luar biasa sekali. Sekalipun kita keburu datang sebelum mereka mati,  pun rasanya sukar menyembuhkan!” Siu-la m terkejut dalam hati. Siapa lagi yang me miliki ilmu tutukan luar biasa kalau bukan si dara merah?

Sekonyong-konyong orang kurus me lesat ke dekat Siu- lam seraya menegur: “Siapa lagi yang tinggal di daerah ini kecuali Gan Leng-po?” Ia menutup kata-katanya dengan  sebuah gerak menyambar siku lengan Siu-la m.

Siu-la m mengge lincir tiga langkah ke sa mping untuk menghindari cengkera man orang. Si kurus deliki mata dan dengan sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya, ia lanjutkan lagi serangan kedua. Karena tak sempat  menghindar,  terpaksa Siu-la m me nangkis dengan jurus Ing-hong-can-jau (menyongsong angin me motong rumput).

Pak tua kurus itu tertawa dingin. Menarik  tangan kanannya, ia gunakan tangan kiri untuk menya mbar siku lengan kanan Siu-la m. Crek…. Siu-la m tak dapat berkutik lagi tenaganya serasa lenyap!

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras: “Tok Sa m-goan, lepaskanlah!”

Ketika pak tua itu berpaling ternyata yang me mbentak itu si Elang Sakti Tertawa Wan Kiu-gui, orang she Wan itu menatapnya dengan sorot ke marahan.

Pak tua yang dipanggil Tok Sa m-goan itu tergetar nyalinya. Buru-buru ia lepaskan cengkera mannya dan mundur selangkah.

“Ke marilah saudara Pui,” Wan Kiu-gui me manggil Siu- lam menyadari gelagatnya makin me mburuk. Anak buah Wan Kiu- gui sudah menaruh kecurigaan kepadanya. Setiap waktu mereka dapat me mbunuhnya. Walaupun belum tentu Wan Kiu-gui itu sungguh hendak me lindunginya, tetapi untuk sementara itu dia masih me mbutuhkan bantuannya. Tentu takkan turun tangan. Siu-la m segera mengha mpiri. Dilihatnya jago golongan hitam yang selalu menyungging tawa itu agak me mura m durja. Sambil menepuk bahu Siu- la m, Wan Kiu-gui menerangkan: “Kedua orang yang mati itu adalah saudara angkat Tok Sa m-goan. Sudah tentu dia marah kepada mu. Harap jangan gelisah!”

Keterangan itu me mbuat Siu-la m makin prihatin. Setiap saat jiwanya terancam maut. Satu-satunya jalan untuk menghadapi mereka, ialah harus bersikap setengah mungkin. Tetapi sikap itu ditafsirkan lain oleh Wan Kiu-gui. Pe mimpin golongan hitam itu ma kin curiga. Tetapi karena kuatir ditertawakan bernyali kecil, ia pun tak mau mendesak pada pemuda itu.

Tak la ma merekapun tiba di mulut sebuah le mbah. Dua batang pohon siong tua, tumbuh di tengah jalan. Tiba-tiba terdengar Wan Kiu-gui mendengus dan berhenti. Matanya berkeliaran me meriksa pohon siong  itu.  Siu-lam   pun mengikut i arah yang dipandang jago itu. Hai, bukan kepalang terkejutnya!

Di atas dahan pohon siong itu masing- mas ing bergelantungan dua sosok tubuh orang….

Saat itu sudah ma la m. Suasana makin sera m. Bahkan seorang benggolan seperti Wan Kiu-gui pun dia m-dia m mengucurkan keringat dingin.

Namun sebagai datuk golongan hita m, tak mudah ia mengutarakan kegentaran hatinya. Tiba-tiba  ia  tertawa dingin: “Kedua ima m yang gantung diri  itu  rupanya  anak mur id Thian Hong totiang. Ha ha ha,  golongan putih dan hitam daerah Kanglam kali ini telah dijatuhkan orang di gunung Kiu- kiong-san!”

Wan Kiu-gui girang karena ternyata anak murid paderi Thian Hong pun diganas orang. Siu-la m  me mperhatikan kedua korban itu. Ah, benarlah. Memang mereka ialah kedua ima m yang pernah dijumpainya ketika turun dari Kiu- kiong-san beberapa hari yang lalu.

Tiba-tiba Wan Kiu-gui hentikan tertawanya. “Aku dengar Gan Leng-po itu disanjung orang persilatan sebagai seorang tabib sakti. Siapa tahu ternyata dia seorang manusia berhati ganas.…” Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula:  “Masih  berapa jauh lagi dari tempat t inggalnya? Jika  bertemu dengannya, ingin aku me minta pelajaran barang beberapa jurus!”

Dengan ucapan itu seolah-olah Siu-la m sudah digolongkan sebagai orang dari Gan Leng-po. Siu- lam menerangkan bahwa tempat tinggal Gan Leng-po masih kira-kira sepuluh lie lagi.

Kembali Wan Kiu-gui melantangkan tertawanya yang sukar diraba artinya itu: “Bagus, bagus, harap saudara percepat waktunya!”

“Aku hendak mohon bertanya sebuah hal kepada tuan, entah tuan mau melulus kan atau tidak?” tiba-tiba Siu-la m berseru.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar