Wanita iblis Jilid 03

Jilid 03

HUI-ING ngeri mendengar anca man itu, serunya:

“Huh, jika benda itu tak kau kembalikan padaku, akupun tidak sudi meninggalkan tempat ini!” Dan me ncuri kesempatan, tiba-tiba ia me mbalikkan kepala.

Astaga… apa yang dilihatnya benar, membuat tubuhnya menggigil. Cepat-cepat ia  pejamkan  mata  lagi.  Keringat dingin me mbasahi tubuhnya.

Ternyata yang dilihatnya itu seorang manusia yang seram sekali. Manusia yang tak berpakaian, telentang di atas sebuah batu. Rambutnya terurai lepas tiada ikatan, memanjang beberapa meter. Mukanya penuh dengan gurat-gurat bekas luka. Dari batas perut ke bawah, dagingnya kecil  sekali, hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Tangan kirinya terkulai lunglai. Hanya tangannya kanan yang masih dapat bergerak. Sedang menggengga m secarik ga mbar peta dari kain sutera.

Rupanya manusia seram itu sudah mengetahui ketakutan Hui- ing. Tiba-tiba ia menghela napas: “Budak pere mpuan, jangan takut! Empat puluh lima tahun yang lalu, akupun  serupa cantiknya seperti kau. Mungkin mas ih lebih cantik dari kau. Entah berapa puluh pemuda yang menyembah di bawah telapak kakiku….”

Hui- ing kicop-kicupkan matanya. Walaupun masih takut, tetapi diberanikan juga untuk bertanya: “Benarkah itu?”

Manusia seram bera mbut panjang itu marah: “Masakan aku bohong padamu!” Tiba-tiba nadanya agak le mbut lagi: “Ah, me mang kalau dit ilik  dari wajahku yang ngeri saat ini, jangankan kau, tetapi setiap orang pun tentu tak percaya pada  keteranganku.   Tetapi  apa   yang   aku  katakan  itu, me mang benar-benar kenyataan….”

Ia berhenti sejenak merenung. Rupanya ia terkenang akan peristiwa la ma yang me nyedihkan. Ia me nghela napas, ujarnya: “Tetapi apakah bedanya orang yang cantik dan buruk itu? Bukankah setelah mat i, tengkorak si cantik dan tengkorak si buruk tak ada bedanya?”

Karena orang makin la ma makin ra mah, timbullah  nyali Hui- ing untuk bertanya: “Mengapa lo-cianpwee berada di liang neraka ini? Ah, betapa kasihan lo-cianpwe tinggal di te mpat selembab ini sa mpa i berpuluh tahun…”

Tiba-tiba manus ia seram itu tertawa dingin. “Aku telah dicelakai orang. Tubuhku ditabur obat racun yang me mbuat tulang dan kulit-kulitku menyusut kecil. Lalu aku dile mpar ke dalam liang neraka sini. Aku menderita kesakitan paling sengsara yang pernah dialami manusia! Tetapi orang yang mence lakai aku itu, telah kubunuh. Jika aku tidak lumpuh,  hm, entah berapa banyak jiwa yang akan kubunuh.”

Dalam kegelapan, Hui- ing melihat betapa tajam mata manus ia seram itu me mancarkan cahaya berapi-api. Api dendam kesumat kepada musuh- musuhnya!

Tiba-tiba manus ia seram itu menghela napas: “Mengapa dulu-dulu kau tak datang ke mari?”

Hui- ing terkesiap, sahutnya: “Liang goa ini berada di pusar gunung, jarang orang mengetahui. Dan lagi kamipun tak tahu kalau di sini terdapat penghuninya….”

Tiba-tiba manus ia seram itu mengangkat tangan kanannya yang memegang ga mbar peta lalu mendorong pada dinding batu di belakangnya. Krek… dinding itupun terbuka sebuah lobang. Cahayanya bintang-bintang di langit, menerobos masuk hingga liang itu ta mpak agak terang.

Hui- ing berpaling. Dilihatnya Siu-la m terlentang di tanah dengan tangan mendekap muka. Dia m-dia m Hui-ing heran dan kagum, manus ia seram itu hanya me mpunyai sebuah lengan yang dapat bergerak, tetapi ilmu tutukannya luar biasa hebatnya. Dapat menutuk cepat sekali dan mengarah jalan darah agar orang itu roboh menurut yang dikehendakinya.

Manusia seram itu me mandang ke langit, ujarnya: “Saat sudah lewat tengah mala m. Beberapa jam lagi sudah terang tanah. Jika kalian datang ke sini beberapa tahun yang lalu, betisku belum hilang dagingnya, alangkah baiknya! Tetapi sekarang, sudah terlambat. Sekalipun aku masih dapat bertahan hidup beberapa bulan, tetapi sudah tidak berguna!”

Hui- ing tidak mengerti apa yang dituturkan manusia aneh itu,  namun  ia   tetap  terharu.   Tiba-tiba   terdengar  suara me manggil: “Ma mah!”

Manusia aneh itu menghela napas, serunya: “Oh,  kau  sudah pulang?” “Eeeh, lo-cianpwe me mpunyai seorang putri juga?” tanya Hui- ing.

Manusia aneh tertawa: “Hm, benar! Apakah kau hendak berkenalan dengannya?”

Dia m-dia m Hui-ing  tak  percaya  bahwa  seorang  gadis ma mpu masuk keluar ke te mpat yang sedemikian berbahayanya itu. Namun ia tertawa: “Sudah tentu  aku senang sekali berkenalan dengan puteri lo-cianpwe!”

Manusia bera mbut panjang yang ternyata seorang wanita itu segera la mbaikan tangannya ke lobang goa dan sere mpak dengan itu menggelindinglah dua butir buah Li, lalu seekor burung nuri menyelinap masuk.

Hui- ing terkejut. Seumur hidup belum pernah ia melihat seekor burung nuri sebesar itu. Sifat kanak- kanaknya timbul, dielus-elusnya burung itu.

“Itulah puteriku, kau suka?” tanya wanita aneh.

“Seekor burung yang bagus sekali, locianpwe tentu menggunakan waktu la ma untuk mengajarinya!”

“Sejak dile mparkan ke dalam liang neraka ini, hanya dialah yang menjadi kawanku. Ah, jika tak ada dia, mungkin aku sudah mati kelaparan di sini.”

Tiba-tiba Hui-ing teringat akan  suheng  yang  masih mengge letak tak berkutik, ia  me mberanikan  diri  berkata: “Ka mi berdua telah dikejar musuh hingga kesalahan masuk ke sini. Ka mi tak me mpunyai per musuhan apa-apa dengan lo- cianpwee, entah….”

“Maksudmu agar kubuka jalan darah budak laki-laki itu, bukan?” tukas si wanita aneh.

“Lo-cianpwee seorang sakti, masakan kami dapat lolos?” kata Hui- ing. “Me mang,” sahut si wanita aneh. “Kecuali aku merelakan kau pergi, jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini,” ia segera mela mba ikan tangan kanannya ke arah Siu- la m.

Terdengar Siu-la m menghela napas dan menggeliat  bangun. Melihat sumoaynya tidak kurang sesuatu, bernapas lega. Ke mudian berpaling ke arah wanita aneh yang berbaring di pe mbaringan, ia kaget tetapi cepat ia tindas perasaannya.

Wanita aneh itu menyapukan pandangannya kepada kedua muda- mudi, tanyanya: “Apa kalian masih ingin tinggalkan liang neraka ini?”

“Maaf, aku tidak mengerti ma ksud lo-cianpwee,” sahut Siu- la m.

Wanita aneh itu tertawa seram: “Jika ingin tinggalkan tempat celaka ini harus me luluskan  sebuah  permintaanku. Jika tidak, kalian harus tinggal di sini seumur hidup. Setelah aku ha mpir mati, sebelumnya hendak aku re mukkan dulu jalan darah kalian yang penting agar serupa denganku. Akan kusuruh si nuri untuk mencarikan makan sa mpai akhir hidup kalian!”

Siu-la m ngeri mendengarnya, namun dipaksakan juga untuk menyahut: “Entah apa yang hendak lo-cianpwee perintahkan pada ka mi?”

Tiba-tiba si wanita aneh berganti nada seram: “Sebenarnya juga bukan hal yang sukar asal kalian  bersungguh-sungguh me laksanakan tentu dapat….” Ia mengangkat ga mbar peta, serunya pula: “Akan kutukar obat yang hendak kusuruh cari itu, dengan ga mbar peta ini!”

“Mana bisa! Peta itu adalah milik ayahku!” teriak Hui- ing. Wanita aneh itu tertawa mengekeh, serunya: “Apa? Peta

Telaga Darah itu milik ayahmu?” “Entah miliknya atau bukan aku kurang jelas. Tetapi ayahlah   yang   me mberikannya   kepadaku    dan    suruh me mber ikannya pada seseorang!”

“Baik! Karena kau segan kehilangan peta itu, tinggallah di sini seumur hidup!” seru si wanita.

Hui- ing terkesiap: “Caramu me ma ksa dengan kekerasan itu, sungguh tidak me muas kan hatiku!”

Wanita aneh tertawa: “Jika kau bicara seperti ini ketika aku masih segar, walaupun nyawamu rangkap sepuluh, tentu akan kuhancurkan semua! Setelah beberapa tahun dijebloskan di sini, watak berangasanku banyak  berkurang.  Nah, katakanlah, dengan cara bagaimana kau dapat puas?”

Siu-la m tahu bahwa wanita berwajah seram itu sakti sekali. Jika sumoaynya sampai kesalahan o mong, tentu akan celaka. Buru-buru ia nyeletuk: “Lo-cianpwee mau tukar peta  itu dengan obat yang kami cari. Tetapi lebih dulu harap ceritakan asal-usul peta itu agar kami tak dapat ditipu orang!”

Wanita aneh itu merenung sejenak lalu katanya: “Dalam dunia persilatan dewasa ini, me mang sedikit sekali orang yang tahu tentang riwayat peta ini! Dan lagi menilik usia dan kepandaian kalian sekarang ini, sekalipun me miliki peta itu juga tiada gunanya. Malah-malah akan  mendatangkan bencana padamu!”

Makin berat dugaan Siu-la m bahwa ke matian  kedua gurunya itu akibat menyimpan peta itu. Keinginannya untuk mengetahui riwayat peta makin besar. Dengan cara membikin panas hati, Siu-lam berseru: “Sebuah gambar peta dari sutera yang sudah kusam begitu, masakan begitu berharga dipertaruhkan dengan jiwa?”

Wanita aneh tertawa: “Kau tahu apa, budak! Dahulu itu peta dibuat oleh seorang tabib sakti Lo Hian bergelar Sin-ih- tan-su (Tabib Sakti Ahli Pe mbuat Pil). Peta itu merupakan tempat penyimpanannya resep-resep dan obat-obat mukjijat. Selain itu juga dua batang rumput ajaib,  permata  mustika yang tak terhitung banyaknya. Tabib Lo Han itu selain pandai ilmu obat-obatanpun me miliki ilmu silat yang sakti. Tetapi  tabib itu seorang manus ia aneh. Dia tak mau berjumpa dengan orang. Entah sudah banyak tokoh-tokoh persilatan yang berusaha hendak menjumpa inya, selalu gagal. Konon kabarnya tabib itu sudah meninggal dan peta pusaka itu diberikan kepada salah seorang ahli waris mur idnya. Tetapi kabar itu tak benar. Karena seumur hidup dia tak pernah menerima mur id secara res mi. Orang yang disebut sebagai mur idnya itu hanya secara kebetulan berjumpa dengan dia dan tinggal bersamanya selama tiga hari. Sekalipun dalam waktu sesingkat itu, orang itu telah mendapat banyak sekali pelajaran-pelajaran yang berharga. Walaupun hanya sepersepuluh   dari   kepandaian   si   tabib,   tetapi   sudah me mbuatnya sejajar dengan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.”

“Ah, masakah di dunia terdapat manusia yang sedemikian saktinya?” seru Siu-la m.

Wanita aneh menghela napas, ujarnya: “Yang hendak kusuruh kalian lakukan ja lan mencari orang yang dianggap sebagai ahli waris tabib itu. Tukarkan peta ini dengan obat Kiu-coan-sio k-beng-seng-ki-san!”

Kiu-coan-sio k-beng-seng-ki-san artinya obat penyembuh nyawa dan pemulih daging. Hui- ing tak berani me mberi jawaban. Dipandangnya Siu-la m.

Siu-la m ta mpak merenung. Dia tahu bahwa meno lak perintah wanita itu, berarti mati. Na mun meluluskan, pun berat. Peta itu adalah pemberian suhunya supaya diserahkan pada Si Tukang Pancing Lim Chin-siu….

Kembali wanita aneh itu tertawa rawan: “Jika kalian dapat mencarikan obat itu sehingga aku bisa se mbuh, sudah tentu takkan kulupakan budimu begitu  saja.  Akan  kuberi  tiga maca m ilmu kesaktian yang kumiliki. Cukup kalian me mpe lajari tujuh bagian saja, kalian tentu sukar mene mui tandingan lagi. Seumur hidup aku belum pernah me minta pertolongan orang seperti  saat  ini. Mau  atau  tidak  kalian me mbantu aku, supaya kalian pertimbangkan!” Habis berkata wanita itu lalu peja mkan mata.

Siu-la m berpaling kepada sumoaynya. Karena wanita itu berada di dekatnya, mereka tak leluasa berunding dengan mulut. Apa boleh buat, mereka menggunakan isyarat kerutan dahi dan wajah.

Setelah merenung beberapa waktu, akhirnya Hui-ing menghe la napas perlahan: “Ah, bagaimana ini? Ayah telah perintahkan aku supaya menyerahkan pada Si  Tukang Pancing. Jika tak kulaksanakan, ayah tentu marah.  Ah, sukar nih….”

Tiba-tiba wanita aneh itu me mbuka mata dan me mandang keluar: “Hari sudah terang, sebentar tentu sudah  terang tanah. Tubuhku yang kena racun ini tak boleh terkena sinar matahari. Sekali kena, racun itu akan menjalar keras, tubuhku akan cair jadi air!”

“Begini sajalah,” akhirnya Siu-la m berseru: “Biar aku tinggal di sini sebagai tanggungan. Lo-cianpwe berikan peta itu kepada sumoayku. Begitu sumoay sudah berhasil mene mui Ti-ki-cu Gan Leng-po dan menukarkan dengan Kiu-coan-s iok- beng-seng-ki-san, barulah lo-cianpwe lepaskan kami!”

“Ma mah, ma mah, hari sudah pagi, hari sudah pagi!” tiba- tiba burung nuri berteriak dan terbang keluar dari lubang goa.

Tiba-tiba wanita aneh itu mencengkera m tubuh Siu- lam dan diangkatnya ke atas: “Dari pada kau yang tinggal di sini, aku lebih suka sumoaymu yang berada di sini. Paling la ma  aku hanya dapat bertahan tiga bulan lagi. Jika dalam tiga bulan kau tak ke mbali me mbawa obat itu, tulang-belulang sumoay mu akan kurusak agar dia tetap mengawani aku seumur hidup di sini!” Sebelum Siu-la m se mpat bicara, tahu-tahu ia telah dile mpar keluar. Huh! Ia dikejutkan oleh air yang mencurah ke kepalanya. Ternyata saat itu ia berada di bawah sebuah air terjun. Goa tadi terjadi karena lubang yang dibuat oleh curahan air terjun yang beratus-ratus tahun la manya.

Tiba-tiba wanita itu berseru dari lubang goa: “Ti- ki-cu Gan Leng-po itu tinggal di tapal batas Kiang-see dan Kanglam di gunung Kiu-kiong-san. Mudah sekali menukarkan peta itu dengan obat yang kuperlukan. Karena dia me mang butuh sekali akan peta itu. Tetapi ingat, jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa aku yang me merlukan obat itu. Kalau dia sampai tahu hal itu, kau tentu dibunuhnya. Nah, ingatlah, kau hanya me mpunyai waktu tiga bulan. Dapat tidaknya kau menepati janji, tergantung dari berapa nilai  tanggung jawabmu atas kesela matan sumoaymu ini!”

Tiba-tiba Siu-la m rasakan tubuhnya didorong oleh serangkum tenaga dan byuuur, ia jatuh ke dalam kolam air. Buru-buru ia berenang naik ke tepian. Peta pusaka disimpannya,  setelah  beberapa   saat   terlongong-longong me mandang ke liang goa yang berisi sumoaynya itu segera ia kuatkan hati dan angkat kaki.

Entah berapa lama ia menyusuri di dalam le mbah itu, tiba- tiba mendengar suara orang me lengking di udara: “Matahari sudah keluar, matahari sudah keluar!”

Ketika me mandang  ke atas, ah, ternyata burung nuri piaraan si nenek berwajah sera m. Rupanya burung  itu sengaja menunjukkan ja lan. Akhirnya menje lang tengah hari, dapatlah ia keluar dari le mbah. Tiba di mulut lembah, burung nuri itupun tiba-tiba terbang masuk ke dalam le mbah itu.

Siu-la m terlongong-lo ngong mengantarkan kepergian burung nuri berparuh merah itu. Apa yang dialami sela ma beberapa hari itu. Apa yang dialami sela ma beberapa hari ini, benar-benar tak mudah dilupakan. Kini ia hanya diberi waktu tiga bulan. Apabila ia gagal mendapatkan obat itu, sumoaynya tentu dibunuh si nenek. Dan kini harus menjaga peta itu baik-baik. Teringat akan peta, seketika timbullah keinginannya untuk melihat. Benarkah peta itu sedemikian hebat nilainya.

Segera ia mencari beristirahat. Petapun dikeluarkan….

Di bawah sinar matahari, peta itu tampak jelas. Tetapi gambar-ga mbar yang tertera di situ berbeda sekali dengan peta kebanyakan. Tutup kulit peta itu dilumuri darah merah, sehingga menimbulkan kesan yang menyeramkan.

Di dalamnya terdapat banyak garis-garis warna hitam yang me lingkar-lingkar maca m sarang labah-labah. Ada yang gurasannya tebal ada yang tipis. Di tengah-tengah lingkaran garis itu terdapat sebuah titik warna putih yang menonjo l, diberi dua baris tulisan berbunyi:

“Mustika tiga ja man, pil lima racun, angin jahat bara api, rahasia sepanjang masa. Tak boleh se mbarang a mbil. Siapa lancang masuk ke telaga darah, pasti hancur binasa tiada tara.”

Beberapa jenak Siu-la m me mandang peta itu dan merenungkan bunyi tulisannya. Ia masih meragukan kebenaran isi tulisan itu.

Disimpannya lagi peta itu, lalu ia meneruskan perjalanan. Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dapatlah dalam beberapa hari saja ia tiba di kaki gunung Kiu-kiong-san. Gunung itu merupa kan sebuah pegunungan yang luas dan tinggi. Siu-la m termangu. Ke manakah ia harus  mencari tempat tinggal si tabib di daerah pegunungan yang seluas itu?

Tengah ia bersangsi, tiba-tiba ia melihat seekor burung bangau besar terbang menggondol seekor ular. Serentak timbul pikirannya. Ia beli segulung tali dan  kain  putih. Ternyata ia hendak me mbuat sebuah layang-layang. Layang- layang itu ditulis beberapa huruf yang artinya: “Mohon berjumpa dengan Ti-ki-cu!” Layang-layang itu dinaikkan sampa i tinggi ke udara. Ujung tali diikat pada sebatang pohon. Dari tempat seluas beberapa li, tentulah terlihat jelas. Tetapi menunggu sa mpai setengah hari, belum juga ia me lihat seseorang. Bahkan sa mpai matahari terbena m!

Mala mpun tiba. Siu-la m tidak putus asa. Dicobanya cara kedua, me mbuat api unggun. Disinari api unggun layang- layang itu ta mpak jelas di mala m hari. Itu pun gagal!

Ketika berputar diri, ia tersentak kaget.  Beberapa langkah di belakangnya ternyata muncul si darah baju putih. Dara yang dijumpai di rumah suhunya tempo hari! Sama  sekali ia tak mendengar suara kedatangan dara itu….

Walaupun sudah pernah berjumpa beberapa kali, na mun ma lam itu karena jaraknya dekat dan diterangi api unggun, Siu-la m kesima melihat kecantikan si dara yang menonjo l.

Rupanya dara itu tahu dipandang dengan  lekat, tetapi ia tak me mbuat reaksi apa-apa. Beberapa saat ke mudian iapun balas menatap wajah Siu-la m. Yang ditatap gelagapan tersipu, buru-buru ia me mberi hor mat: “Atas pertolongan nona di Co-yang-ping itu, aku menghaturkan terima kasih!”

Dara itu tertawa.

“Tetapi apa maksud nona selalu mengikut i perjalananku selama ini?” tanya Siu-la m pula.

Si dara alihkan pandangan ke sebuah batu karang, serunya dingin: “Selagi api masih menyala, lekas kau seret mayat- mayat itu dan le mpar ke dalam api!”

Terkejut Siu-la m saat melihat mayat lelaki berpakaian ringkas tergeletak di tepi karang. Ternyata orang itu tertutuk jalan darahnya dan nyawanya putus. Menilik tubuhnya yang masih  hangat,   terang  belum  la ma   matinya.   Segera   ia me lakukan perintah nona itu. “Untuk ke sekian kali, nona telah menolongku. Dan nona selalu ikuti jejakku. Apa maksud nona sebenarnya? Me mang kuakui, jika nona mau tentu mudah me mbunuhku.”

Sahut si dara dingin: “Sebenarnya akupun tak sesungguhnya hendak me lepas budi pada mu. Tak perlu berterima kasih kepadaku. Karena gurumu Ciu Bwe dahulu pernah sekali  meno long  orang  tuaku,  maka  aku  hendak me mba las budi kepada murid  atau anak perempuannya. Malam ini adalah yang terakhir kalinya aku menolongmu. Lain kali jika berjumpa mungkin kau kubunuh!” habis itu dara berputar diri dan berlalu.

Siu-la m me ma ndang bayangan dara itu dengan berbagai kesan: “Ia dara cantik, umurnya mungkin tujuh belasan tahun, tapi dingin.”

Tengah termenung- menung, tiba-tiba di udara terdengar suara tertawa di udara. Mendengar itu si dara cepatkan langkah. Dua tiga kali berlo mpat ia sudah lenyap  dalam hutan.

Siu-la mpun hendak bersembunyi tetapi sudah terlambat. Orangitu cepat sekali sudah muncul di sa mping Siu- la m. Seorang kakek kurus yang berlari-lar i dengan me mbawa sebatang tongkat. Walaupun sudah tua tetapi gerakannya masih gesit sekali.

Kakek itu me mandang Siu- lam dengan berkilat-kilat. Tiba- tiba kakek itu tekankan tongkatnya ke tanah dan tahu-tahu tubuhnya mela mbung ke udara melayang me la mpaui kepala Siu-la m terus meluncur ke tempat api unggun. Dengan tongkatnya ia mengungkit mayat yang dilempar ke api oleh Siu-la m tadi, terus dile mparkan dua to mbak jauhnya.

“Siapakah yang dibakar ini?” serunya dengan dingin.

Siu-la m tahu atas kesaktian si kakek. Tiba-tiba terkilas sesuatu pada pikirannya. Ia tertawa: “Apa locianpwe ini Gan lo-cianpwe?” “Benar, me mang aku Gan Leng-po yang kau cari!” sahut orang tua itu.

“Wanpwe sudah la ma mengagumi lo- cianpwe. Maka jauh- jauh kuperlakukan berkunjung ke mari untuk mene mui lo- cianpwe.”

Ti-ki-cu Gang Leng-po me mandang  layang-layang kain yang dibuat Siu-la m. Ia tertawa dingin: “Pintar juga akalmu  itu. Tetapi apakah ma ksudmu me nghadangku?” katanya congkak.

“Gan lo-cianpwe tentulah seorang sakti, maka wanpwe sengaja bawa benda pusaka kesini…”

“Apakah benda itu hendak kau haturkan padaku?” tanya Gan Leng-po dingin.

“Lo-cianpwe menduga tepat…”

“Seumur hidup aku hanya me mber i pada orang. Tak pernah menerima pe mber ian orang!” serunya marah.

Siu-la m tertawa: “Aaah, janganlah lo-cianpwe buru-buru meno lak. Mungkin benda itu adalah benda yang lo-cianpwee ida m-ida mkan.”

“Apa? Segala ratna mutu manika m bagiku hanya seperti batu biasa. Rasanya tiada benda di dunia yang dapat menarik hatiku!” seru si tabib itu dengan mur ka.

“Janganlah lo-cianpwe buru-buru me ngatakan begitu.

Benda ini benar-benar tiada tandingannya di dunia….”

“Sekalipun tiada keduanya di dunia, tetapi jangan harap dapat menggerakkan hatiku,” berdengus Gan Leng-po. “Kau berani datang kemari tentu sudah tahu peraturanku. Bahwa sekeliling sepuluh li luasnya tak boleh se mbarangan melukai orang!”

Siu-la m tertawa tawar: “Maaf, wanpwe belum pernah dengar hal pantangan lo-cianpwe itu!” Gan Leng-po tertawa dingin: “Orang kenal aku, tentu tahu tentang laranganku itu. Kau tak tahu berarti kau me mandang rendah padaku. Dan dengan berani melukai orang, kau tentu me mpunyai kepandaian sakti. Nah, aku minta pelajaranmu beberapa jurus dulu baru nanti kita bicara lagi!”

Wut,   Gan   Leng-po   menutup  kata-katanya,   dengan me layangkan tongkat ke kepala Siu- la m. Siu- lam terkejut sekali. Walaupun enak saja si tabib menggerakkan tongkat, tetapi kerasnya bukan main. Menimbulkan deru angin yang dahsyat.

Siu-la m cepat menghindar ke sa mping. Ia tertawa gelak- gelak: “Aha, orang persilatan mengagumi Ti-ki-cu sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan. Tetapi ternyata apa yang aku saksikan tidaklah seperti yang disohorkan. Sungguh kecewa  sekali. Tahu begini tak perlu jauh-jauh aku datang   ke mari mene muinya!”

Gan Leng-po tertawa gelak: “Di daerah tempat  tinggalku kau berani me mbunuh orang, mengapa masih berani banyak mulut?”

Dia m-dia m Siu- lam menimang. Orang itu dibunuh si dara baju putih. Jika ia dapat mengadu Gan Leng-po  dengan  si dara baju putih, bukankah ia dapat me lenyapkan seorang musuh yang tangguh seperti dara itu? Tapi ia teringat betapa dara itu telah menyelamatkan jiwanya. Tidakkah suatu perbuatan rendah jika me mbalas budi orang dengan kejahatan?

Serentak ia mendapat akal, sahutnya: “Benda  yang kuberikan pada lo-cianpwe ini, menimbulkan nafsu orang untuk     me milikinya. Untuk  menjaganya   terpaksa me mbunuhnya, jikalau lo-cianpwe tak menerima,  aku  tidak me ma ksa dan aku pergi dari sini!” “Hm…. kau kata mencari aku dan ma lah berani melanggar laranganku me mbunuh orang. Jangan harap bisa pergi dari sini semaumu!” dengus Gan Leng-po.

Siu-la m sadar, tidak mungkin ia dapat melawan tabib itu. Jika terlibat lama dalam percakapan dan timbulkan ke marahan tabib itu, ia kuatir akan menderita bencana.

“Pernahkah lo-cianpwe mendengar tentang peta Telaga Darah?” tanyanya dengan nada bersungguh.

Mendengar itu Gan Leng-po tercengang.

“Apa? Kau mendapatkan peta Telaga Darah?” teriaknya kaget.

Siu-la m tersenyum simpul: “Kedatanganku ke mari adalah hendak menukar kan peta pusaka itu dengan pil buatan lo- cianpwe!”

Entah girang entah kaget, Gan Leng-po hanya mengangguk-angguk kepala saja dan mengigau perlahan: “Benar, di dalam dunia hanya benda itu yang dapat menggerakkan hatiku!”

Melihat reaksi si tabib yang sede mikian hebat, diam-dia m Siu-la m mengakui kebenaran kata-kata si wanita sera m.

“Aku seorang anak yang kurang pengalaman. Walaupun mendapat peta itu tetapi tak gunanya. Maka kupikir lebih baik kutukarkan dengan beberapa macam pil buatan lo-cianpwe yang sakti!” katanya lebih lanjut.

Tampaknya si tabib sudah tenang ke mbali. Ia tertawa: “Di sini bukan te mpat bicara. Jika kau suka, mari kita omong- omong dalam pondokku!”

Siu-la m me nerima ajakan itu. Sebelumnya lebih dulu si tabib me mutus layang-layang tali, Siu-lam ikut tabib aneh itu masuk ke dalam sebuah le mbah. Saat itu rembulan sudah mendaki puncak gunung. Sekonyong-konyong  Gan  Leng-po  berhenti  dan  berkata: “Te mpat tinggalku di belakang tikungan itu!”

Ketika mela lui dua buah t ikungan gunung, tibalah mereka di sebuah telaga kecil. Di atas telaga itu terapung  dua pondok: “Itulah te mpatku, di atas air!” kata si tabib.

Me mandang ke lereng puncak, Siu-la m melihat kurang lebih dua ratusn kolam air, dilingkari oleh beratus-ratus saluran air yang mencurah ke bawah karang. Cara  menyalurkan  air diatur sedemikian rupa sehingga air tetap, mengalir ke bawah. Sebuah jalan batu pandak menjulur masuk ke  tengah telaga.  Si tabib melangkah ke jalanan batu itu la lu me mbungkuk dan masukkan tangannya ke dalam air. Tiba-tiba salah  satu pondok yang kecil, meluncur ke arah si tabib. Kiranya  di bawah jalanan batu itu dipasang tali yang menyambung ke pondok kayu.

Berkata si tabib dengan bangga: “Untuk me mbuat pil, terpaksa aku tinggal di sini sela ma dua puluhan tahun. Air telaga ini berasal dari sumber air dingin di perut gunung dan cairan salju beratus tahun umurnya. Air itu paling cocok untuk pembuatan pil. Karena itu terpaksa kubuat dua buah pondok terapung!”

Siu-la m me muji keahlian orang. Setelah diajak mas uk pondok terapung, si tabib lalu me mbuka daun jendelanya. Tib-tiba pondok itu me luncur ke tengah telaga lagi.

Kembali Siu-la m harus me muji kepandaian tabib itu merencanakan pondok terapung yang indah dan praktis. Di dalam pondok terdapat lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis ternama. Caranya mengatur hiasan dan alat-alat dalam pondok itu, menimbulkan kesan yang menggairahkan hati orang. Gan Leng-po senang mendapat pujian ta munya. Ia mengatakan bahwa tempat pembuatan pil dilakukan di pondok terapung yang lebih besar itu.

“Selain seorang kacung, tak pernah orang luar masuk ke pondok terapung itu. Tetapi ma lam ini kuadakan  pengecualian untukmu. Mari kita lihat-lihat ke sana,” katanya.

“Ah, jika itu suatu tempat rahasia, lebih baik aku tak ke sana,” Siu-la m sungkan.

“Kau aneh benar, anak muda.  Banyak orang  ingin sekali me lihat te mpat pe mbuatan pil tapi sia-sia. Sebaliknya kuajak kau, malah mena mpik. Benar-benar baru pertama kali ini aku berjumpa dengan orang seperti kau,” kata si tabib.

Akhirnya Siu-la m terpaksa mau. Si tabib segera ajak Siu- lam melangkah ke dalam pondok terapung yang  besar. Sebuah tungku besar dengan sebuah kuali besar di ruang tengah, di samping tungku itu duduk seorang pemuda cakap berumur dua  puluhan  tahun.  Rupanya  pe muda  itu  asyik me mandang kuali, hingga kedatangan kedua orang itu tak diketahuinya.

Gan Leng-po mengha mpir i dan melongo k ke kuali. Tiba- tiba ia me mbuka lubang angin tungku. Seketika api pun reda.

Pemuda  itu  me mandang  sejenak  pada   Siu- lam   lalu me langkah ke sudut ruang. Gan Leng-po  silahkan  tamu duduk. Tak berapa la ma si pe muda cakap keluar me mbawa nampan dari batu pualam putih. Dari sinar la mpu   yang dibawa pemuda itu, Siu-la m me lihat dia pe muda beroman cakap dan gagah. Hanya sayang agak ketolol-tolo lan.

Siu-la m berterima kasih tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Gan Leng-po hela napas dan menunjuk pada pemuda itu: “Anak itu telah menunggu pe mbuatan pil sela ma tiga belas tahun. Dia me mpunyai tulang bagus.  Sayang dia bisu tuli!” Siu-la m terkejut, ia mengatakan bukankah si tabib berkepandaian sakti untuk mengobati segala maca m penyakit?”

Gan Leng-po menghela napas: “Obat tak dapat melawan takdir. Andaikata anak itu sembuh, dia tentu menjadi seorang tunas persilatan yang ce merlang. Ah, sayang, sayang!”

Me mandang ke sebelah muka, Siu- lam me lihat pe muda bisu itu tengah duduk menunggu tungku. Sebentar-sebentar me mandang Gan Leng-po dan Siu-la m dengan tersenyum- senyum. Melihat itu ma kin t imbul rasa kasihan Siu- la m. Ia mendesak mengapa si tabib tak mengobatinya.

Gan Leng-po menghela napas: “Untuk mengobati me mang masih ada harapan tetapi harus dengan ilmu tusuk jarum yang lihay serta ramuan obat-obat yang sukar dicari….”

“Mengapa lo-cianpwe tak mau mencobanya?” desak Siu- lam pula.

“Ah, bukan aku tak mau. Dia telah me mbantu aku sela ma tiga belas tahun sejak dia berumur enam tahun. Betapapun aku me mpunyai rasa kasihan. Tetapi…”

“Tetapi bagaimana?”

“Cobalah kau lihat pada alisnya. Bukankah  terdapat guratan maca m naga timbul ke atas. Itulah pertanda dari kekeja man yang ganas. Jika anak itu ma kin me mpunyai kesaktian, dia ma kin berbahaya. Aku tak  dapat  melawan takdir dan tak ma u menimbulkan bencana. Oleh karena itu sampai sekarang aku belum mau mengobatinya!”

Tiba-tiba Siu- lam teringat akan sumoaynya yang masih ditawan oleh si wanita seram. Dia hanya diberi waktu tiga bulan. Segera ia alihkan pembicaraan kepada  pokok tujuannya. Mengeluarkan peta Telaga Darah, ia berkata: “Kudengar peta ini adalah ciptaan Lo-han lo-cianpwe….” “Itulah mendiang guruku, seorang manus ia yang luar biasa….”

“Kudengar pula bahwa lo-cianwpe  adalah  satu-satunya mur id dari Lo  tayhiap,  maka  dari  jauh  sengaja  kudatang  ke mari karena perlu hendak menyerahkan peta pusaka ini kepada lo-cianpwe dengan harapan lo-cianpwe sudi menukarnya dengan sebotol pil Kiu-coan-ki-sio k-beng-san!”

Gan Leng-po tertawa: “Peta Telaga Darah adalah benda peninggalan guruku. Bagiku benda itu tak ternilai harganya. Apa artinya hanya sebotol pil Kiu-coan-seng- ki-s iok-beng-san? Akan kuberi kau dua botol pil itu dita mbah pula dengan sepuluh butir pil pe munah segala racun Bik-tok-tin-s in-kim- tan.”

Serentak Siu-la m berbangkit dan menyerahkan peta kepada si tabib: “Harap lo-cianpwe suka me meriksa palsu tidaknya peta ini!”

Dengan hati-hati sekali Gan Leng-po menerima peta  dan me mer iksanya: “Benar, benar, me mang inilah peta Telaga Darah yang asli!” serunya dengan ge metar.

“Karena pe mbalasan pil sedang mencapai taraf penyelesaian, maaf, aku tak berani mengganggu tempo lo- cianpwe lebih la ma dan segera hendak  minta  diri,” kata Siu- la m.

“Sebenarnya kuminta saudara tinggal beberapa hari di sini. Tetapi rupanya kau me mpunyai urusan penting yang harus diselesaikan. Baiklah tunggulah sebentar,  kuambilkan  obat itu!” segera ia masuk ke dalam ka mar dan tak la ma ke mudian keluar me mbawa dua botol dari batu kuma la serta sebuah doos berwarna kuning e mas.

“Kedua botol ini berisi pil Kiu-coan-seng- ki-s iok-beng-san dan doos ini berisi sepuluh butir pil Bik-tok-tin-sin- kim-tan. Untuk segala maca m racun, pil ini mujarab sekali. Harap kau pergunakan sebaik-ba iknya!” Setelah menerima obat itu, Siu-la m pun segera minta diri. Gan Leng-po mengantar ta munya sampai jauh, ke mudian ia me mber i petunjuk: “Lurus kea rah tenggara kira-kira dua puluh li, beloklah ke timur dan kau tentu keluar  dari le mbah ini. Maaf, aku tak dapat mengantar kau lebih jauh lagi.”

Siu-la m menghaturkan terima kasih dan segera lari menuruni gunung. Saat itu rembulan  terang,  angin berhembus perlahan. Dengan gunakan ilmu lari cepat ia buru- buru hendak mencapai goa tempat kedia man wanita seram agar dapat me mbebaskan sumoaynya.

“Berhenti!” sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh bentakan yang dikenalnya sebagai suara si tabib Gan Leng-po. Ia pun segera hentikan langkah.

Tabib itu mencekal tongkat dengan wajah merah me mbara, tegurnya bengis: “Seumur hidup belum pernah aku ditipu orang. Tak kira  mala  mini  aku  kena  diingusi seorang  anak ke marin sore!”

“Apa? Apakah peta Telaga Darah itu palsu?” Siu-la m terkejut juga.

Gan Leng-po tertawa dingin: “Aku percaya mataku belum  la mur. Tak mudah untuk menipuku barang palsu!”

Siu-la m kaget. Mengapa dalam waktu beberapa saat saja sikap dan nada tabib itu berubah seratus delapan puluh derajat. Heran dibuatnya.

“Jika peta tidak palsu, mengapa lo-cianpwe menyusul aku dan tampaknya marah? Apakah lo-cianpwe menyesal karena me mber i obat kelewat banyak?”

“Aku tak pernah menjilat ludahku!” sahut si tabib.

“Habis, apakah maksud lo-cianpwe?” Siu- lam benar-benar heran. Gan Leng-po merenung sejenak, ujarnya: “Kalau begitu apakah kau benar-benar tidak tahu?”

Tepat sekali Siu- lam menduga ke mungkinan yang dialami tabib itu, serunya: “Apakah peta itu hilang?”

Gan Leng-po tertawa gelak-gelak: “Bukan saja peta tetapi orang itupun mencuri beberapa botol obat!”

Dia m-dia m perhatian Siu- lam tertumpah si darah baju putih. Siapa yang mampu mela kukan perbuatan itu  kalau bukan dara yang me mpunyai ilmu tinggi?

“Celaka, apabila dia sa mpai marah kepadaku pil pemberiannya ini tentu dia mbilnya ke mbali,” pikir Siu-la m.

“Aku tak mau menimpakan kesalahan pada orang. Tetapi yang jelas, selama dua puluh tahun tinggal di pondok  terapung itu tak pernah mengala mi peristiwa se maca m ini….”

“Maksud lo-cianpwe menuduh aku bersekongkol dengan orang luar?”

Siu-la m gelisah, namun ia masih berlaku  setenang mungkin. Ia menanyakan bagaimana maksud tabib itu.

“Sela ma peristiwa ini belum je las, terpaksa kau tak kuperbolehkan me ninggalkan te mpat ini,” Gan Leng-po mendengus dingin.

“Apakah setahun lo-cianpwe belum dapat menyelidiki peristiwa itu, akupun harus tinggal selama setahun juga?” Siu- lam makin gelisah.

“Ya, selama belum terang, selama itu kau harus tinggal di pondok terapung!”

“Kalau sampai sepuluh tahun?” “Sepuluh tahun kau harus tinggal!” Siu-la m terkejut. Na mun ia tahu tabib itu terlalu sakti. Ia bukan lawannya.  Akhirnya ia  terpaksa menurut.   Diam-dia m ia akan merenca kan jalan melo loskan diri.

Gan Leng-po menghe la napas. ‘Kupercaya tokoh-tokoh persilatan di daerah Kanglam tentu jeri kepadaku. Jelas pencuri peta dan obat itu tentu bukan tokoh dari sini. Kemungkinan dia tentu mengikut i jejakmu secara dia m-dia m.”

“Kupercaya lo-cianpwe tentu mengetahui sa mpa i di mana kepandaianku,” kata Siu- la m.

“Ah, siapa tahu kepandaian orang. Mungkin kau mas ih menye mbunyikan ilmu kepandaian yang istimewa.”

“Jangan merendah, locianpwe,” seru Siu- la m, “Jika lo- cianpwe bersungguh-sungguh menyerang, mana aku sanggup bertahan sampai sepuluh jurus saja?”

Gan Leng-po me maki pe muda itu di hati: “Hm, besar sekali omonganmu. Jika mau, dalam tiga jurus saja jiwa mu tentu sudah melayang!”

“Lo-cianpwe mengatakan ke mungkinan ada orang secara dia m-dia m mengikuti jejakku. Jika memang benar ada, mengapa t idak di tengah ja lan ia menghadang aku?”

Pertanyaan Siu-la m itu me mbuat Gan Leng-po terkesiap. Akhirnya ia tertawa: “Kau pintar juga. Tetapi jangan kuatir. Apabila sudah aku bekuk pencurinya, dua botol obat dan coba pemunah racun itu tentu kuberi kepada mu!” habis berkata ia terus angkat kaki. 

Siu-la m mengikuti ketika tiba di pondok napasnya terengah-engah, sedang tabib itu biasa saja. Tanpa menarik ujung tali pengikat pendek si tabib itu terus menyambar lengannya Siu-la m dan dibawa loncat ke atas pondok yang besar. Rupanya tabib itu mendapat firasat,  selama  ia mengejar Siu- la m, di pondoknya telah terjadi sesuatu lagi…. “Hai!” serentak menjerit lah Gan Leng-po ketika menyaksikan keadaan dalam ruang pondok. Pemuda bisu mengge letak di dekat tungku. Dan api tungkupun pada m.

Gan Leng-po banting-banting kaki: “Habis, habislah seluruh jerih payahku sela ma sepuluhan tahun. Aku bersumpah tidak mau hidup sekolong langit dengan manus ia itu!”

“Menghadapi musuh yang lihay baiklah lo-cianpwe berlaku tenang, jangan bernafsu,” kata Siu-la m yang simpati atas kehilangan orang itu.

Pada saat melihat tungku api pada m, wajah si tabib berubah  menjadi  suram  sekali.  Bahkan  Siu-la m  se mpat me mperhatikan beberapa tetes air mata telah menitik dari mata tabib itu.  Ia tahu betapa besar kedukaan yang diderita si tabib saat itu.

Tiba-tiba Gan Len-po meraung sekeras-kerasnya. Tongkat dihantamkan sampa i lantai melesek. Dipeluknya  kuali pemasak obat itu erat-erat. Ia tertawa nyaring  nadanya penuh denda m.

Gan Leng-po sekonyong-konyong mele mpar kuali itu ke dalam telaga sekuatnya. Air telaga muncrat ke atas. Pondok terapung berguncang. Siu-lam kaget dan membuat reaksi cepat. Ia loncat keluar pondok. Tapi betapa cepatnya masih kalah cepat dengan sa mbaran tenaga yang dilancarkan si tabib. Tubuhnya me luncur tercebur ke dalam telaga….

Untung ia pandai berenang. Cepat ia ke tepi telaga. Dilihatnya si tabib berlarian di atas air telaga sambil tertawa pedih.

Siu-la m termangu- mangu menyaks ikan peristiwa yang tak terduga itu. Seorang tokoh persilatan yang sakti, tiba-tiba menjadi gila….

Tiba-tiba ia teringat pada pemuda bisu yang masih tergeletak di dalam pondok terapung. Ia segera menuju ke situ. Ternyata pemuda bisu itu masih menggeletak tak sadarkan diri. Walaupun sudah dilepaskan ikatannya, ia masih belum siuman. Dan anehnya, Siu-lam tak  mengetahui  luka apa yang menyebabkan pemuda bisu itu pingsan. Terpaksa ia duduk coba menolo ngnya dengan menyalurkan tenaga dala m. Tetapi usahanya itupun tak berhasil.

Siu-la m menghela napas dan menyeka peluh di kepalanya. Pada saat ia mengangkat kepala. Kejutnya bukan kepalang. Ternyata entah kapan, si dara baju putih sudah berada di sebelahnya.

Dara itu tertawa riang: “Aku telah gunakan ilmu tutuk istimewa menutuk jalan darahnya Thing- kiong dan Hong-ih di tubuh pemuda itu. Jangankan kau, sedang tokoh-tokoh persilatan yang lihay jangan harap dapat mengetahui rahasia tutukan ini!”

Siu-la m tenangkan goncangan hatinya, ujarnya: “Kalau begitu peta dan obat dari Gan Leng-po tentu kau  yang mencur inya!”

“Huh, mencur i? Aku toh menga mbil benda  yang berharga?” sahut si dara.

“Kuali yang dibuat  me masak  obat  itu,  kau  juga  yang me mada mkan apinya?”

Dara itu mengangguk. “Ya,  perlu apa  kau tanya begitu  me lilit?”

Si dara berhenti sejenak, kerutkan dahi. Katanya pula: “Rupanya kau seorang yang baik hati. Hm, tetapi urusan di  sini t iada sangkut pautnya dengan kau. Aku tak percaya kau akan me mbalaskan sakit hati orang buta itu!”

Siu-la m benar-benar tersinggung mendengar ucapan si dara. Serunya melantang: “Meskipun kepandaianku kalah dengan kau, tetapi aku tak takut kepada mu!” Si dara tersenyum: “Dengan me mandang mendiang Ciu lo- enghiong, aku tak mau bertengkar dengan kau. Lekaslah kau ke mbali ke Coh-yang-ping mene mui sumoay mu.”

Kata-kata itu diucapkan dengan nada ramah. Tidak lagi sedingin seperti tadi. Dan memang Siu-la m segera teringat pada kesela matan sumoaynya. Buru-buru ia tinggalkan pondok.

Si dara me mandang bayangan pemuda itu  dengan menghe la napas. Pada saat ia hendak me manggilnya, tiba- tiba Siu-la m berputar diri. Mata mereka saling berpandangan. Bibir mereka yang bergerak-gerak hendak berkata, tiba-tiba ia tak dapat me luncurkan kata-kata.

Setelah beberapa saat  kemudian,  adalah  si  dara  yang  me mbuka mulut lebih dulu: “Mengapa tak lekas pergi?”

Sebenarnya tadi si daralah yang hendak me manggil tetapi karena Siu- lam berpaling diri, dara itu batalkan kata-katanya.

“Pe muda  itu  seorang   biasa.  Jika   kau   tak   mau  meno longnya, janganlah melukainya lagi!” kata Siu- la m.

“Perlu apa kau pedulikan dia? Bagaimana kalau kubunuh sekarang di hadapanmu?”

“Me mbunuh orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan yang perwira!” dengus Siu-la m.

Sekonyong-konyong si dara baju putih me mbungkukkan badan dan menutuk kepala si bisu. Bukan kepalang kejut  Siu- la m. Serentak ia loncat menerjang, mena mpar tangan si dara.

Tetapi dara itu luar biasa cepatnya. Menutuk kepala  si bisu, ke mudian menghindar sehingga ta mparan Siu-la m luput.

“Mau apakah kau?” tegurnya.

Siu-la m tertawa binal: “Menurut wajahmu secantik bunga, orang tentu tak percaya kalau hatimu seganas ular berbisa!” habis berkata ia terus berputar tubuh dan me langkah keluar. Tiba-tiba terdengar suara tertawa me lengking nyaring:

“Ke mbalilah!” serangkum angin mendesis dan Siu- lam rasakan tubuhnya tertarik mundur.

Siu-la m terkejut. Buru-buru ia salurkan  darahnya.  Ternyata tak kurang suatu apa. Cepat ia berpaling. Ah, ia terkejut ketika melihat seorang dara baju merah tegak di ambang pintu. Dara itu memegang sebatang hud-tim (kebut pertapaan). Rambutnya disanggul mir ip dayang keratin, dadanya penuh berhias intan per mata yang berkilau-kilauan. Seorang dara yang cantik je lita….

Menilik ke munculannya yang tak mengeluarkan suara sama sekali itu, Siu-la m menduga dara baju merah itu tentu tak kalah sakti dengan si dara baju putih. Dan ketika memandang pada si dara baju putih, ternyata dara itu berubah wajahnya.

Dara baju merah tertawa mengikik: “Sa m-sumoay, kau sehat-sehat saja kan selama ini?”

Si dara baju putih menyahut dengan dingin: “Terima kasih atas perhatian Ji-suci!”

Ternyata keduanya suci dan sumoay, tetapi sikap mereka tak saling ra mah. Walaupun dara merah itu me nyungging senyuman, tetapi senyum yang sinis. Dan walaupun si dara putih menyebut suci (taci perguruan) serta me mberi hor mat, tetapi nadanya sedingin es.

“Ah, sam-sumoay seorang cerdas. Mengerjakan sesuatu tentu sempurna. Aku kagum pada mu. Tentulah kau sudah berhasil mendapatkan peta itu, bukan?”

Sahut si dara putih dingin: “Ah, suci terlalu menyanjung diriku, sungguh berat bagiku. Sungguh kecewa sekali, peta Telaga Darah itu sampai saat ini belum terdengar beritanya sama sekali!”

Dara baju merah tertawa melengking. Perlahan-lahan masuk ke dalam pondok, ujarnya: “Ketika meninggalkan gunung,  toa-suci  pesan  wanti-wanti   padaku.   Selekas mene mukan kau supaya segera diajak pulang!”

“Sudah tentu aku menurut saja perintah Ji-suci!” sahut si dara putih seraya me lesat keluar.

Tetapi secepat itu si dara baju merah kebutkan hud-timnya dan menghadangnya. Ia tertawa. Tunggu dulu, aku masih perlu bicara denganmu!”

“Eh, bukankah suci me mer intahkan supaya aku lekas pulang? Mengapa sekarang merintangi?” lengking si dara baju putih.

Dara merah tertawa melengking: “Perintah toa-suci, supaya sumoay menyerahkan peta itu kepadaku!”

“Kalau toa-suci benar me mperhatikan diriku, tentu tak sampai hati menyuruh aku mencari jejak peta itu!” sahut dara putih.

Dara merah tertawa pula: “Soal itu nanti saja boleh kau tegur pada toa-suci yang penting sekarang ini, me menuhi perintah toa-suci aku hendak menanyakan padamu, di manakah sekarang peta itu?”

Dara putih menyahut: “Bukankah telah kukatakan tadi, bahwa peta itu tiada beritanya sa ma sekali!”

Si merah tertawa: “Jika benar peta itu belum diketemukan, aku sanggup mencari jejaknya. Tetapi bila peta  itu sebenarnya sudah kau simpan, ah, sukarlah  bagiku. Bukan saja sia-sia jerih payahku, pun sukar nanti kuberi jawaban kepada toa-suci!”

Si dara putih menjawab tenang: “Maaf jika aku agak kasar bicara. Jika me mang toa-suci begitu tak percaya padaku, aku sungguh kecewa sekali….” “Ah, tak perlu,” kata dara merah, “tetapi mana dia mau percaya pada keteranganku? Begitu aku pergi,  kemungkinan dia segera datang!”

“Kalau begitu, ji-suci juga tidak percaya padaku?” seru si dara putih.

“Itu belum menjadi pemikiranku,” kata si dara merah, “tetapi apabila perintah toa-suci itu tak kulaksanakan, dikuatirkan toa-suci akan marah. Karena itu terpaksa  aku harus menyulitkan kau….”

“Aku tak me ngerti apa ma ksud ji-suci?” seru si dara putih.

Dara merah tertawa: “Itu mudah saja. Sumoay kan cukup pintar. Masakan tidak dapat me mikir kan? Tetapi karena kau takmau me ngatakan, baiklah, biarkan aku yang mewa kili kau. Yaitu, ijinkan aku mengge ledah badanmu.”

Tiba-tiba wajah si dara putih itu berubah me mbes i. Dua alisnya yang menyerupai bulan sabit tiba-tiba menjungkat ke atas: “Apa? Suci hendak menggeledah aku?”

“Ah, bukan begitu,” buru-buru si dara merah menyusuli, “Maksudku hanya me meriksa sekedarnya. Dan anggaplah aku hanya sebagai wakil menja lankan perintah toa-suci saja!”

Dia m-dia m Siu- lam heran. Bukankah peta itu jelas sudah berada pada si dara putih? Mengapa dia me nyangkal? “Hm, asal aku me mbuka mulut mengatakan hal itu, kedua taci beradik itu tentu akan bentrok sendiri. Dan apabila mereka sampai berte mpur, akupun dapat me loloskan diri  dari sini!” dia m-dia m Siu- lam me nimang suatu rencana.

Baru ia hendak me mbuka mulut, tiba-tiba si dara putih keliaran matanya dan me mandang kepadanya. Ke mudian berkata pula pada jie-sucinya: “Dalam lain- lain urusan, aku tidak berani me mbantah. Tetapi dalam hal ini, benar-benar aku sukar meluluskan!” Tiba-tiba wajah si dara merah me mbesi, serunya geram: “Jika sumoay tidak meluluskan, bukan saja menyulitkan diriku terhadap   toa-suci    nanti,    pun    sukar    bagiku    untuk me mpercayaimu!”

“Jika ji-suci tidak percaya, akupun tidak berbuat apa-apa. Tetapi kalau badanku hendak digeledah, maaf, aku keberatan.”

“Kalau aku tetap akan menggeledah?” dara baju merah menegas.

“Maaf, aku terpaksa tak dapat menurut!” sahut si putih. “Bagus!” seru si dara baju merah, “karena nyata kau tidak

me mandang mata pada orang yang kau sebut sebagai suci, maka janganlah persalahkan aku kalau bertindak me la mpaui batas kepadamu!”

Entah dengan gerak ilmu apa, tetapi begitu tubuh dara baju merah itu mengge liat, tahu-tahu ia sudah berada di muka dara baju putih dan terus ulurkan tangan me ncengkera mnya.

“Harap jangan keras-keras, ji-suci!” si dara baju putih pun balas menggurat jarinya ke lengan si merah.

“Ih, kau berani melawan?” bentak si dara baju merah. “Wut…” ia ayunkan kebutnya ke kepala sumoaynya.

Cepat-cepat si dara baju putih me lesat ke sa mping dan mundur tiga langkah. Serunya: “Dengan me mandang sesame perguruan, aku akan menga lah sa mpai tiga kali!”

Marah sekali dara baju merah: “Kurang ajar, tak perlu kau menga lah sa ma sekali. Jika ma mpu ayo tandingilah aku!”

Cepat dara baju merah itu lancarkan tiga buah serangan dengan hud-timnya. Setiap kebutan mengandung tenaga dalam yang hebat hingga timbulkan deru angin keras. Baju Siu-la m turut berkibar-kibar. Si dara baju putih tak kurang lincahnya, bergeliatan menghindari ketiga serangan itu. Tapi hebatnya serangan si dara merah telah membuat si dara baju putih terdesak  di pojok pondok. Terpaksa ia balas menyerang dengan tiga kali pukulan dan dua kali tendangan.

Serangan balasan itu telah me mperbaiki posisi si dara baju putih lagi. Siu-la m di hatinya ngeri melihat tingkah dua dara itu. Pikirnya: “Begitu ganas mereka berkelahi dengan sesama saudara seperguruan sendiri. Jika dengan lain orang, tentulah lebih ganas lagi! ”

Tiba-tiba ia dapat pikiran, kalau tak lekas loloskan diri sekarang, kapan lagi? Cepat ia me nyelinap ke pintu pondok.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar tawa melengking: “Hai, jangan buru-buru pergi dulu!” ucapan itu disusul dengan berkelebat si dara baju merah me nghadang di pintu dan dengan jurus Giok-tay-wi-yau atau Selendang Kumala Melibat Pinggang ia desak mundur Siu- lam ke dalam pondok lagi.

Setelah me mundurkan Siu-la m, dara baju merah  itu berseru kepada si putih: “Ah, kepandaianmu pesat sekali, sumoay. Sungguh aku kagum. Tak heran kalau beberapa kali suhu me muji kau di depan toa-suci.”

“Nyata-nyata sekarang ini aku sucimu  tak  dapat menghajar mu lagi!”

“Ah, aku berterima kasih karena suci suka berlaku murah kepadaku,” si dara baju putih merendah diri.

Habis bertempur dahsyat, kedua taci beradik seperguruan itu sudah ra mah ke mbali. Siu-la m tak habis herannya.

Me mandang ke arah si pemuda bisu yang masih terkapar di tanah, dara baju merah tertawa: “Sumoay, apakah orang itu sudah mati?”

“Telah kututuk jalan darah Thian-ting-hiat. Kalau tak mati juga akan cacad!” sahut si baju putih. Alihkan pandangan ke arah Siu-la m, dara baju merah itu bertanya: “Dan siapakah dia? Kau lebih baik kubunuh sekalian!”

Si putih bersangsi, ujarnya: “Dia bukan orang sini! Kepandaiannya  tidak  tinggi.  Biarkan  dia  hidup,   takkan mer intangi kita. Membunuhnya tiada berguna bagi kita. Ah, lebih baik lepaskan saja!”

Si Merah tertawa: “Ih, sejak kapan kau berubah begitu baik hati.  Kau   segan   me mbunuhnya,   biar   aku   saja   yang me mbunuhnya!” Wut,  kebut  segera diarahkan  ke  arah Siu- la m.

Melihat kebut dari rambut kuda si dara merah tiba-tiba berubah seperti seikat jarum tajam-taja m, bukan kepalang kaget Siu- la m. Cepat-cepat menghindar ke sa mping.

“Eh, kau bisa menghindar?” dara merah kerutkan sepasang alis dan maju mendekati. Sekali geliatkan tangan, hud-tim dikebutkan menurun.

Siu-la m berada di sudut pondok. Tiada jalan menghindar lagi. Satu-satunya jalan hanya menghindar ke kiri. Tetapi di situ menghadang si dara baju putih yang ganas. Tetapi  karena tiada jalan lain, apa boleh buat, ia  terpaksa menghindar ke kiri….

Di luar dugaan, bukan saja dara putih itu tidak merintangi pun bahkan ma lah menyisih. Dengan sebuah gerak isyarat agar Siu-la m menyelinap ke sisi.

Di balik wajahnya yang dingin, tersembullah  sebuah senyum manis dan kata-kata yang ramah: “Apakah kau terluka?” dan tangan kirinya pun menyentuh kening Siu-la m dengan gerakan yang mesra sekali. Kemudian ia mengisar tubuh dan menga lingi di depan Siu- la m.

Dara merah sejak kecil menjadi teman seper mainan dara putih. Tetapi belum pernah ia me lihat sumoaynya itu bersenyum sede mikian manisnya. Dara merah tercengang, serunya: “Mengapa kau tersenyum? Siapakah pe muda itu?”

Tiba-tiba si dara putih berubah ramah sekali dan menjawab perlahan: “Terus terang aku katakan kepada suci, dia adalah….” Ia tak lanjutkan katanya. Pipinya merah ja mbu.

Dara merah tertawa ngikik: “Mengapa tak kau katakan tadi- tadi? Ha mpir saja dia kulukai.”

“Ah, sudah tentu aku sungkan mengatakan,” si dara putih tertawa.

“Sumoay, biasanya kau alim seperti po-sat  (dewi), mengapa ternyata….” Ia merasa kelepasan omong dan hentikan kata-katanya.

Dengan ke ma lu- maluan tersipu-sipu berkatalah dara putih: “Ji-suci, kuminta janganlah kau me mberitahukan hal ini kepada toa-suci.”

“Takut apa? Biarpun tahu, dia juga tak dapat berbuat apa- apa,” sahut si dara merah.

“Tetapi mulut toa-suci tajam sekali. Aku takuti dia tentu menertawakan aku!” kata dara putih.

Dara baju merah  tertawa:  “Baik,  aku  berjanji  takkan  me mber itahukan. Tetapi harap menyisih sebentar, aku ingin me lihatnya!”

“Eh, dia manusia biasa, apanya yang harus dilihat?” seru si baju putih.

“Hendak kulihat ta mpangnya, apakah dia benar-benar seorang yang me mpunyai rejeki.”

“Ah, goda asmara…”

Perlahan-lahan si merah menyisihkan tubuh sumoaynya: “Masakan melihat sebentar saja, kau tak boleh.  Apa  kau kuatir kurebut?” “Tidak, tetapi aku kuatir ji-suci me nertawakan!” si dara putih menyis ih dua langkah ke sa mping.

Siu-la m benar-benar pusing mendengar kata-kata si dara baju putih. Ia terlongong-lo ngong seperti patung.

“Ai, ternyata seorang tunas yang cemerlang,” tiba-tiba si dara baju merah melengking tawa dan ulurkan tangannya hendak menceka l tangan Siu-la m. Pemuda itu mundur dua langkah.

“Sumoayku yang cantik jelita, telah jatuh hati padamu.

Masakan aku sebagai sucinya, tak boleh me lihat mu?” “Mana begitu? Kan…!”

“Biasanya sumoayku itu dingin sekali,” tukas si dara merah, “untuk me mbuatnya tertawa, sukar bukan kepalang. Sungguh luar biasa kau dapat merebut hatinya. Masakan aku hendak berbuat apa-apa kepada adik iparku,” ia maju dan tiba-tiba menya mbar lengan kanan Siu- la m.

Karena cepat dan luar biasa sekali sa mbaran si dara baju merah, Siu-la m tak dapat menghindar. Seketika ia rasakan tangannya terjepit besi. Tulang-tulang serasa remuk dan hilanglah seluruh daya perlawanannya.  Karena  menahan sakit, keringat mengucur  deras di dahinya.  Na mun pe muda itu tak mau mengerang.

Berhasil mer ingkus si pe muda, dara baju merah siapkan kebutan hud-timnya dan baru berkata kepada dara baju putih: “Jika sumoay tetap tak mau menyerahkan peta pusaka itu, jangan menyesal kalau aku  terpaksa  mempersakiti  kekasihmu! ”

Dengan penuh kasih mesra, dara baju putih memandang Siu-la m, serunya: “Jika ji-suci tak percaya omonganku, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Sekalipun kau  me mbunuhnya, aku pun tak dapat mengadakan peta yang tak ada padaku!” Siu-la m gusar sekali. Ia hendak me mbuka rahasia si dara baju putih. Tiba-tiba dara baju putih maju dua langkah dan berkata dengan nada tajam:

“Jika ji-suci tetap hendak menyusahkannya, akupun terpaksa akan mene mpur mu sa mpai mat i….”

Dara baju merah terkesiap mendengar anca man adik seperguruannya. Dengan ucapan itu dara baju putih secara halus menyatakan bahwa pe muda itu adalah kekasihnya.

“Sebagai saudara tunggal perguruan, kepandaian kita  sama. Apa yang kau bisa, akupun tentu bisa juga. Jika kita saling bunuh, tentu akan ada yang mati!” sahut si dara merah.

Wajah si dara putih berubah, serunya dingin: “Ah, belum tentu. Aku pernah mempe lajari ilmu Kui-chiu- mo-ciang (Pukulan Tangan Iblis Pagi). Apakah suci hendak mencobanya?”

Dara baju merah mengerut sejenak lalu tertawa: “Kita toh tunggal seperguruan, mengapa harus bentrok sungguh? Tadi aku hanya bergurau saja, masakan sumoay menganggap sungguh-sungguh?”

Pada saat si dara baju putih mengisar tubuh, sekonyong- konyong si dara baju merah melesat ke luar  pondok.  Loncat ke dalam air, ia gunakan ilmu kepandaian berjalan di atas air me lintasi telaga.

Dia m-dia m Siu-la m tak habis herannya. Mengapa si dara baju merah sebagai taci seperguruan, takut kepada adiknya? Dan serentak ngerilah  hati  Siu-la m  ketika  me mbayangkan ke mungkinan lebih lanjut. Ya, apabila dara baju putih itu sampai bertindak yang lebih ganas, ia tentu akan mati.  Dara itu jelas menyimpan peta Telaga Darah. Satu-satunya orang yang  mengetahui  rahasia   itu  adalah  dia.   Jika  dara  itu me mbunuhnya untuk menghilangkan jejak, tak mungkin ia dapat melawan. Bagi Siu-la m, mati bukan soal. Tetapi yang dipikirkan ialah sumoaynya yang masih ditawan si wanita aneh itu. Apabila ia tak berhasil me mbawakan obat, sumoaynya tentu dibunuh oleh wanita itu.

Tiba-tiba dara baju putih itu menghela napas:  “Mengapa kau tak lekas-lekas melarikan diri?”

Siu-la m berpaling me mandangnya. Dilihatnya wajah dara itu rawan dan matanya mengembeng air mata. Budi dengan langit bedanya sekarang dara itu. Beberapa jenak yang lalu, merupakan seekor iblis yang ganas. Kini berubah seperti sekuntum bunga melati yang cantik suci.

Tiba-tiba Siu-la m teringat akan pe muda gagu yang masih mengge letak di lantai. Serunya perlahan-lahan: “Dia gagu dan tuli, tak nanti dapat mengganggumu. Jika  nona suka bermurah hati, ampunilah dia!” habis berkata, ia terus hendak me langkah.

Tiba-tiba dara itu me mbentaknya: “Berhenti!”

Karena sudah menduga, tenang-tenang saja Siu-lam berhenti dan berseru: “Memang telah kuduga  nona tentu takkan melepaskan aku. Akupun tak mampu me lawanmu. Terserah kalau kau mau me mbunuhku!”

“Jika aku sungguh-sungguh mau me mbunuhmu, sekalipun kau me mpunyai nyawa rangkap sepuluh, tentu akan a mblas juga. Sekarang…” tiba-tiba dara itu  hentikan  kata-katanya dan merenung la ma. Katanya pula: “Sekarang aku sendiripun sudah terdesak dalam kedudukan berbahaya. Setiap saat jiwaku terancam ma ut.”

“Apa?” Siu-la m terkejut.

Dara itu tertawa tawar: “Karena aku berani menentang saudara seperguruanku tadi, hm, mereka tentu  takkan berhenti sampai di sini saja. Mereka tentu akan minta pertanggungjawaban. Kemungkinan jiwa mu!” “Apakah nona benar-benar hendak meno long….” Tiba-tiba Siu-la m   berhenti   karena    me lihat    dua    gumpa    asa  me mbumbung ke udara.

Wajah dara putih itupun berubah: “Kusuruh lekas pergi, mengapa kau masih me mbandel? Hm, kini terla mbat, tak mungkin kau lolos lagi!”

Siu-la m seperti disadarkan, cepat-cepat ia me mberi hor mat: “Karena nona tak bermaksud jelek kepadaku, sekarang aku hendak pergi!”

“Goblok! Ji-suci dan nona toa-suciku sudah bersatu pada datang. Tak mungkin kau lari!”

Siu-la m tertegun. Serunya: “Kalau begitu, aku tetap harus tinggal di sini?”

Dara baju putih berdiam diri. Tiba-tiba  ia  mengangkat muka dan me mandang Siu-la m dengan iba.

“Apabila menghadapi bahaya maut, kau pilih mati konyol atau mati secara perwira?” serunya.

Siu-la m terbeliak me ndengar pertanyaan itu, Serunya heran: “Maaf, aku tak mengerti maksud nona!”

Dara itu menghela napas r ingan, ujarnya: “Baiklah, karena kau masih tak mengerti, akan kujelaskan. Kedua saudara seperguruanku itu dengan susah payah mengejar aku, tujuannya ialah hendak me mburu peta Telaga Darah itu. Sudah jelaskah kau akan hal itu?”

“Benar, aku sudah mengerti,” sahut Siu-la m.

“Kaupun tentunya mengerti juga bahwa peta itu penting sekali dan menjadi rebutan orang persilatan. Jika peta itu sampai jatuh ke dalam tangan taci seperguruanku, dunia persilatan tentu hancur lebur. Ah, adanya tak kuserahkan peta itu kepadanya karena aku tak mau me lihat dunia persilatan dilanda banjir darah. Peta itu berada padaku, ke mungkinan   kedua taciku itu tentu akan menggeledah badanku!”

“Kalau begitu lebih baik hancurkan saja peta bencana itu!” serentak Siu-la m berseru.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar