Tat Mo Cauwsu Jilid 16

Jilid XVI

KARENA dia melancarkan serangan dengan cara yang menyimpang kesamping dulu, dengan demikian waktu Tat Mo Cauwsu hendak menyingkir kesamping, ditempat itu telah menanti tenaga yang kuat sekali dari lwekang Bu Bok Sun. Dan tenaga lwekang itu telah menghambat gerakan Tat Mo Cauwsu. Namun sebagai seorang pendeta yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dia cuma heran sejenak, tetapi cepat sekali dia bisa menguasai keadaan. Cepat luar biasa Tat Mo Cauwsu telah menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melambung ke tengah udara, dan dia telah menggerakkan kedua tangannya, tangan yang kiri akan mencengkeram kepala dari Bu Bok Sun, sedangkan tangan kanannya telah menyambar akan menghantam patah tulang piepe dipundak Bu Bok Sun. Gerakan yang dilakukannya itu merupakan gerakan yang saling susul dan tangguh sekali, memaksa lawannya harus menarik pulang tenaga serangannya dulu.

Si gadis cilik she Pai telah meloncat mundur, untuk menyaksikan jalannya pertempuran kedua orang yang memiliki kepandaian sama2 hebat itu.

Sedangkan Jie Liong Kim Hay yang seorang itu, berdiri terpisah belasan tombak dari gelanggang. Berulang kali matanya melirik kepada si nona cilik she Pai itu dengan sinar mata mengandung kebencian.

Tetapi si nona tidak memperdulikannya, karena gadis cilik itu tengah asyik mengawasi jalannya pertempuran yang tengah terjadi antara Tat Mo Cauwsu dengan Bu-Bok Sun.

Angin serangan dari kedua orang yang tengah bertempur itu telah berseliwiran dengan kuat sekali, sehingga debu ditepi telaga itu telah beterbangan. Yang lebih luar biasa adalah batu2 kerikil kecil yang berada digelanggang pertempuran tersebut, telah ikut berpentalan kesana kemari, karena kuatnya angin serangan yang ber-gulung2 dari kedua orang yang tengah bertanding itu.

Jurus demi jurus telah berlalu cepat sekali dan tanpa terasa telah dua puluh jurus lebih. Dan dalam waktu seperti itu, Bu Bok Sun juga rupanya heran pula, karena tidak biasanya dia menemui  tandingan  yang  demikian  tangguh  seperti  Tat  Mo Cauwsu. Biasanya tidak lebih dari belasan jurus dia akan berhasil merubuhkan lawannya. Didalam rimba persilatan Bu Bok Sun yang bergelar Kim Liong San tersebut merupakan seorang tokoh persilatan yang memiliki nama sangat terkenal dan dia merupakan datuk yang disegani oleh jago2 aliran hitam maupun putih. Seperti halnya kedua orang keponakannya, Jie Liong Kim Hay, telah bisa memiliki nama yang harum didalam rimba persilatan, terlebih lagi dia yang memang memiliki kepandaian beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kedua keponakannya itu.

Dengan demikian, terlihat Bu Bok Sun semakin lama jadi semakin ber-sungguh2 dalam memusatkan seluruh kekuatan sinkang yang dimilikinya. Jurus demi jurus, tenaga yang meluncur dari telapak tangannya mengiringi pukulan-pukulan yang dilakukannya semakin kuat. Sedangkan Tat Mo Cauwsu juga telah berulang kali harus mengerahkan tenaga dalamnya, guna menghadapi tenaga desakan lawannya itu.

Setelah lewat sepuluh jurus lagi, akhirnya Tat Mo Cauwsu sudah berhasil memperoleh kesempatan untuk menerobos kelemahan dari lawannya, ia telah melancarkan serangan yang beruntun kearah dada dari Bu Bok Sun, karena justru bagian tengah dari lawannya ini, yaitu bagian dadanya, merupakan bagian yang lowong.

Melihat kelemahannya menjadi sasaran dari serangan lawannya, justru Bu Bok Sun bukannya menjadi kaget, malah telah memperdengarkan suara tertawa dingin, dia telah berkata dengan suara mengejek : "Hmm, sekarang kita memang menemui tandingan yang setimpal...... sungguh menggembirakan !” dan diwaktu itu Bu Bok Sun telah menjejakkan kaki kanannya, tubuhnya melambung ke tengah udara, membarengi dengan mana kaki kirinya telah melayang menendang kearah pinggang Tat Mo Cauwsu. Tat Mo Cauwsu berkelit ke kanan, dan dia mengulurkan tangan kanannya, dengan gerakan yang cepat dia berusaha mencekal mata kaki dari lawannya. Cara yang dilakukan oleh Tat Mo Cauwsu bukan cekalan biasa, karena jika dia berhasil mencekal mata kaki dari lawannya tersebut, tentu Bu Bok Sun akan menderita hebat sekali dimana tulang mata kakinya itu akan remuk, karena jari jemari tangan dari Tat Mo Cauwsu sudah dialiri kekuatan sinkang yang menjadikan jarinya lebih keras dan kuat dari jepit besi.

Tetapi Bu Bok Sun juga bukan orang yang lemah, melihat tendangannya tidak akan memberikan hasil, dia telah menarik pulang kakinya, dia sama sekali tidak mau membiarkan kakinya itu kena dicengkeram oleh tangan Tat Mo Cauwsu. Begitulah, mereka telah saling hantam dan mencengkeram berulang kali, tetapi keduanya memang memiliki kepandaian yang sama tinggi, sehingga mereka jadi tidak ada yang terdesak.

Namun pertandingan kedua orang ini akhirnya mencapai tingkat yang lebih serius lagi, dimana keduanya tidak melompat lompat seperti semula, mereka berdua saling berdiam diri ditempat masing-masing, hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak gerak.

Cara bertempur mereka ini mengandalkan kekuatan sinkang yang dahsyat untuk merubuhkan lawannya masing-masing. Tetapi Tat Mo Cauwsu yang melihat Bu Bok Sun memang benar-benar tangguh, sudah tidak mau membuang waktu lagi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, dan diwaktu itulah dia memusatkan tenaga sejati andalannya, dimana telapak tangannya seketika mengeluarkan uap dan juga telapak tangannya berobah menjadi merah, dia telah mengeluarkan suara bentakan pula tangan kirinya menyentil kearah mata dari Bu Bok Sun, disaat lawan ini berkelit, telapak tangan kanannya telah bergerak. ”Wuttt...!” angin serangan itu berkesiuran kuat sekali dan disaat itulah tampak tubuh Bu Bok Sun telah terhuyung dengan muka yang berobah pucat dan belum lagi dia bisa memperbaiki kuda kuda kedua kakinya, disaat itu Tat Mo Cauwsu telah menggerakkan sekali lagi tangan kanannya, dari mana meluncur kekuatan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya dan dengan memperdengarkan suara “Bukkk !“ yang nyaring sekali telapak tangannya itu telah singgah didada lawannya.

Bu Bok Sun terhuyung mundur berulang kali sampai satu tombak lebih.

Mukanya juga pucat pias dan ketika dia membuka mulutnya, “Uwaah, uwaaah !“ dua kali Bu Bok Sun telah memuntahkan darah segar, wajahnya juga jadi pucat pias, tubuhnya gemetaran.

Muka dari Jie Liong Kim Hay juga telah berobah pucat melihat paman gurunya terluka berat seperti itu, cepat sekali mereka melompat mendekati, dan bertanya dengan suara mengandung kekuatiran.

“Susiok,“ katanya. “Apakah keadaanmu tidak terlalu parah?”

Bu Bok Sun menggeleng perlahan, kemudian dia menyusut bibirnya yang dilumuri oleh darah, dia lalu bersenyum pahit kepada Tat Mo Cauwsu.

"Sungguh menggembirakan sekali bahwa kali ini aku bisa bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh. walaupun

kali ini aku harus rubuh ditangan Taisu, tetapi aku puas. !”

Tat Mo Cauwsu merangkapkan sepasang tangannya, dia telah memberi hormat, dengan muka memperlihatkan perasaan menyesal dia berkata : "Sesungguhnya aku tidak bermaksud menurunkan tangan begitu keras kepadamu, tuan Bu.     namun kenyataannya tadi aku terpaksa...... maafkan Siauwceng.....

maafkan Siauwceng. !”

Setelah berkata begitu, Tat Mo Cauwsu merogoh jubahnya, dia mengeluarkan sebuah botol kecil, didalamnya tampak belasan pil yang berwarna merah darah.

Pendeta dari India tersebut telah mengeluarkan dua butir, dan telah diangsurkannya kepada Bu Bok Sun.

"Jika memang engkau tidak keberatan untuk menerimanya, silahkan tuan menelan pil ini untuk memulihkan kesehatan

........!“ kata Tat Mo Cauwsu. “Sekarang tuan menelan yang sebutir, dan malam nanti tuan menelannya sebutir lagi !”

Bu Bok Sun telah melihat bahwa Tat Mo Cauwsu merupakan seorang pendeta yang memiliki kepandaian luar biasa, dan tadi dia telah bertempur puluhan jurus, dengan demikian dia memperoleh kenyataan, bahwa kepandaian Tat Mo Cauwsu beberapa tingkat diatasnya. Jika tadi Tat Mo Cauwsu menghendaki jiwanya, sama mudahnya buat si pendeta, seperti pendeta itu membalikkan telapak tangannya sendiri. Namun kenyataannya Tat Mo Cauwsu tidak melakukan hal itu dia hanya menurunkan tangan ringan yang cuma melukainya saja. Maka dia tidak bercuriga menerima pil pemberian pendeta tersebut, dia telah menyambutinya dan menelannya yang sebutir, sedangkan yang sebutir lagi dia simpan disaku jubahnya. Lalu dia memberi hormat, sambil katanya: “Sungguh membuat aku kagum memperoleh kesempatan untuk menyaksikan kepandaian Taisu yang demikian mengagumkan. Walaupun sekarang aku harus menutup mata, aku akan mati dengan hati yang puas.”

"Siecu terlalu memuji. !” kata Tat Mo Cauwsu.

Setelah berkata begitu, Bu Bok Sun mengajak Jie Liong Kim Hay untuk berlalu. Si nona Pai telah tertawa-tawa menghampiri Tat Mo Cauwsu, sambil katanya : "Hebat sekali kepandaian Taisu....

hebat sekali kepandaian Taisu.   ! Maukah Taisu mengajari aku

satu dua jurus kepandaian Taisu itu. agar aku bisa menghajar

penjahat penjahat tengik nantinya ?” Tat Mo Cauwsu bersenyum.

"Jika didengar tadi dari perkataan Jie Liong Kim Hay, kedua orang tuamu merupakan jago-jago yang sangat ternama sekali, mereka tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Tidak berani Siauwceng berlaku lancang begitu menurunkan ilmu kepadamu, nona. !”

"Baiklah,” kata nona Pai itu. "Jika memang Taisu tidak mau menurunkan ilmumu, maukah jika Taisu memberikan petunjuk kepadaku, tentang kesalahan-kesalahan dari ilmu yang kumiliki

?”

Dan tanpa menantikan jawaban dari Tat Mo Cauwsu, si gadis yang periang ini telah mulai bersilat. Sepasang tangannya yang kecil mungil itu telah digerak gerakkan dengan cepat dan tubuhnya bergerak gesit sekali. Dia membawakan ilmu silat dari aliran selatan, dimana dia bersilat dengan bersemangat sekali.

Tat Mo Cauwsu mengawasi si gadis cilik yang tengah bersilat itu dengan bersenyum, sampai akhirnya waktu si gadis telah menyelesaikan gerakannya itu, dan berdiri dihadapannya, pendeta dari India ini telah berkata sabar :”Kau kurang latihan, nona.    ilmu silat yang kau miliki itu sesungguhnya merupakan

ilmu yang sangat tinggi sekali, setiap jurus memiliki kehebatannya masing2, namun engkau baru menguasai kulit, belum menguasai isinya sehingga engkau baru bisa membawakan setiap jurus hanya untuk keindahan gerakan saja, dan belum bisa dipergunakan untuk menghadapi juga yang memiliki kepandaian cukup tinggi.......... Tetapi itu tidak sulit, jika engkau telah melatih diri tiga atau empat tahun lagi, tentu engkau bisa memperoleh kemajuan yang pesat yang

terpenting sekali, engkau harus melatih lwekang juga. Ingatlah nona perihal kata2 rimba persilatan : ”Tajamnya golok, tajamnya pedang, dan tajamnya mata tombak, semua itu akan patah oleh telunjuk tangan” dan kata2 itu membuktikan bahwa tenaga lwekang jauh lebih penting dari senjata tajam mana saja! Jika memang kelak nona telah memiliki lwekang yang berarti, maka setiap jurus dari ilmu silatmu itu akan memiliki manfaat yang tidak kecil, dan juga akan memiliki kehebatan yang mengagumkan. !”

Si gadis telah merangkapkan tangannya memberi hormat. "Terima    kasih    atas    petunjuk    yang    diberikan    oleh

Taisu,.  dan aku tentu akan melatih diri lebih baik lagi  diwaktu

waktu mendatang. !”

Tat Mo Cauwsu tersenyum, dan dia mengangguk sambil mengulurkan tangan kanannya, membelai rambut si gadis kecil itu dengan penuh kesabaran.

"Untuk menurunkan kepandaianku tentu sulit diterima olehmu, nona.... karena dasarnya belum kau miliki. Tetapi untuk memberikan teorinya, aku akan memberikan dua tiga jurus dari kepandaian yang bisa engkau pelajari, agar kelak engkau tidak mudah diganggu oleh orang jahat. Jika memang engkau bersungguh-sungguh, walaupun hanya tiga jurus saja, namun besar sekali manfaatnya buatmu. !”

Bukan main gembiranya hati si gadis kecil she Pai itu, berulang kali dia telah menyatakan terima kasihnya.

Tat Mo Cauwsu telah menurunkan tiga jurus ilmu pukulan telapak tangan. Walaupun hanya tiga jurus saja, namun ilmu pukulan telapak tangan itu setiap jurusnya memiliki delapan belas pecahan, dengan demikian, ketiga jurus itu seluruhnya memiliki lima puluh empat gerak perobahan. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Tat Mo Cauwsu, bahwa si gadis belum memiliki dasarnya, dengan demikian dia tidak bisa segera melatih diri dengan gerakan2 yang telah diperlihatkan Tat Mo Cauwsu. Gadis cilik ini hanya menghafal saja teori dari ketiga jurus ilmu pukulan telapak tangan yang telah diturunkan Tat Mo Cauwsu. Malah diapun telah mengingat sebaik mungkin setiap gerakan yang diperlihatkan pendeta dari India itu.

Menjelang sore hari, diwaktu itu burung burung berkicau beterbangan seperti ingin pulang ke sarang mereka masing2, Tat Mo Cauwsu telah selesai memberikan petunjuknya. Si gadis she Pai itu telah berhasil menghafal seluruh apa yang diturunkan oleh pendeta India tersebut.

Tetapi nona Pai itu rupanya masih belum puas, dia telah menjalani lagi jurus2 itu dengan gerakan2 yang gesit.

Tat Mo Cauwsu memandang sambil tersenyum, dia melihat tidak ada kesalahan2 lagi dalam gerakan2 yang dibawakan oleh gadis kecil itu. Yang tinggal hanyalah latihan belaka, karena seluruh gerakan dan teori dari ketiga jurus ilmu pukulan tersebut, yang dinamakan ”Sam Kun Pa Houw” atau “Tiga pukulan Menghantam Harimau” telah dijalankan si gadis dengan baik.

Dengan mengandalkan ketiga ilmu pukulan tangan kosong tersebut, jika kelak si nona Pai telah berhasil melatihnya dengan baik dan sempurna, tentu dia akan berhasil menghadapi jago-jago yang berkepandaian tinggi dan dia akan merupakan seorang gadis yang sulit dirobohkan oleh jago2 yang berkepandaian tanggung2.

“Sekarang hari telah menjelang malam, Siauwceng kira telah cukup kita main-main seharian penuh...nah nona, kita berpisah di sini saja. ! Engkau akan pulang kemana?” kata Tat

Mo Cauwsu.

Si gadis telah bersenyum. “Taisu tidak perlu kuatir, aku bisa pulang sendiri menemui kedua orang tuaku. Tetapi Taisu, apakah tidak lebih baik, kalau saja seandainya Taisu bersedia untuk menemui kedua orang tuaku, guna saling berkenalan?”

Tat Mo Cauwsu tersenyum sabar.

”Jika ada jodoh, dilain waktu kita bisa berjumpa lagi, kukira tidak begitu perlu untuk mengganggu kedua orang tuamu itu... nah nona kecil, selamat tinggal. !''

Baru saja Tat Mo Cauwsu berkata sampai perkataan ”tinggal” itu, justru tubuhnya telah mencelat keatas dan lenyap bagaikan bayangan dari hadapan si nona cilik she Pai tersebut.

Sesungguhnya gadis cilik she Pai tersebut ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi Pendeta yang sakti itu justru telah pergi demikian cepat.

Akhirnya dengan perasaan tidak puas, karena tidak bisa berkumpul dan bermain lebih lama lagi dengan Tat Mo Cauwsu, yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu, si nona she Pai telah menyesali dirinya sendiri. Tetapi gadis cilik ini telah berlari2 dengan lincah untuk menuju kearah Timur, dia melewati sebuah perkampungan yang tidak begitu besar, dan juga telah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas, barulah tiba disebuah bangunan yang kecil terdiri dari tembok batu. Jarak yang ditempuhnya dari pinggiran kota sampai dibangunan kecil tersebut, memang cukup jauh, tetapi si gadis bisa melampauinya dengan cepat, hanya kurang lebih  memakan waktu satu jam lebih.

Diketuknya pintu rumah itu, yang seperti dibangun terpencil ditempat tersebut, kemudian dari dalam terdengar jawaban seorang wanita : “Siu-jie-kah ?”

"Ibu.... Siujie (anak Siu) telah pulang. !” Pintu rumah itu terbuka, dan dari dalam keluar seorang wanita setengah baya dengan wajah dicemberutkan, tetapi memancarkan kasih sayang, telah menegur : ”Anak nakal, kemana saja satu harian engkau pergi bermain ?”

Si gadis kecil tersebut tertawa dengan sikapnya yang manja, dia memeluk wanita setengah baya itu, katanya dengan diiringi tertawanya yang manja : “Ibu, apakah aku akan dimarahi ayah

?”

”Sejak sore tadi ayah telah menanyakanmu, aku mengatakan engkau tidak lama lagi tentu akan kembali, pergi kau temui ayahmu...!”

Si gadis cilik she Pai itu mengiyakan, dia berlari masuk kedalam. Diruang tengah dia melihat seorang lelaki berusia lima puluh tahunan, sang ayah Pai Cing Han, yang tengah menikmati teh hangatnya.

Sang ayah itu hanya melirik sedikit kepada puterinya tersebut, sedangkan Siu-jie telah merangkul ayahnya itu.

"Thia (ayah), Siu-jie telah kembali, engkau si orang tua tentunya tidak akan memarahi, bukan ?” tanya gadis kecil itu.

Pai Cing Han telah berkata perlahan setelah menghela napas panjang.

”Anak nakal, engkau bermain ke mana saja selama satu harian ini ? Engkau tahu bukan, bahwa kita singgah ditempat ini hanya untuk beberapa hari saja ? Mengapa engkau begitu liar pergi tanpa memberitahukan dulu kepada kami, sehingga ibumu jadi begitu berkuatir ?”

Siujie tersenyum manja, dia berkata : ”Anak telah bertemu dengan seorang sakti luar biasa....dan anak juga telah mengalami suatu peristiwa yang hebat sekali, ayah. !”

"Coba kau ceritakan. !” kata Pai Cing Han sabar. Dengan manja Pai Ing Siu, Siujie, telah menceritakan pengalamannya tadi. Muka Pai Cing Han jadi berobah ketika mendengar disebutnya perihal Tat Mo Cauwsu, dia mengerutkan alisnya, seperti juga tengah berpikir keras.

Pai Ing Siu jadi heran melihat sikap ayahnya, dia telah memandang sejenak dan berhenti bercerita kemudian tanyanya:

”Ayah, apakah ada sesuatu yang tidak beres? Apakah Thia akan marah kepada Siu jie yang telah begitu nakal?”

Pai Cing Han membelai rambut putrinya, dengan suara yang sabar dia menyahuti: ”Anak, sekarang engkau telah cukup besar, engkau memang seorang anak yang nakal, sejak kecil selalu engkau membawa caramu yang liar. Tetapi itu dulu sewaktu kita berada dipulau Cie Hung To, memang masih tidak menjadi persoalan yang terlalu perlu diperhatikan. Namun sekarang engkau harus ingat, bahwa kita bukan tengah berada di Cie Hung To, dan engkau juga bukan seorang anak kecil berusia satu atau dua tahun, yang jika nakal bisa kami jewer telinganya. Maka engkau harus mendengar nasehat dan larangan ibumu, jika ibumu tidak mengijinkan engkau pergi jauh jauh, engkau tidak boleh bermain terlalu jauh. Seperti yang kau ceritakan tadi, jika memang engkau mengalami bencana ditangannya Jie Liong Kim Hay, walaupun kami ayah dan ibumu bisa menghajar mampus Jie Liong Kim Hay, apa artinya ? Engkau telah bercelaka ditangan mereka. !”

"Baiklah Thia... lain kali Siu-jie tidak akan berbuat nakal lagi. !” menyahuti gadis tersebut.

"Mengenai Tat Mo Cauwsu, pendeta dari India itu, aku memang akhir2 ini telah sering mendengar dari cerita-cerita beberapa orang sahabat dirimba persilatan ....dia merupakan manusia yang luar biasa. Menurut cerita dari sahabat2 rimba persilatan, bahwa kepandaian pendeta dari India itupun sangat luar biasa sekali dan sulit ditandingi. Aneh sekali, engkau bisa bersahabat dengannya...!”

Siujie telah melanjutkan ceritanya, dia juga menjelaskan bahwa dia telah menerima pelajaran ilmu pukulan “Sam Kun Pa Houw” dari Tat Mo Cauwsu. Si gadis cilik she Pai tersebut malah telah membawakan ketiga jurus itu dihadapan ayah dan ibunya.

Muka Pai Cing Han jadi berobah terang dia mengangguk. "Bagus, kepandaian itu cukup hebat, benar apa yang telah

dikatakan pendeta India itu jika engkau telah memiliki dasar yang kuat, tentu engkau bisa memiliki kepandaian yang jauh lebih hebat dan berarti. Tetapi engkau harus ingat, engkau harus lebih mementingkan ilmu silat keturunan Pai kita,  engkau tidak boleh bermalas-malasan melatih diri. Seperti yang ayah katakan tadi, bahwa engkau mulai besar, dan engkau harus rajin berlatih diri, jangan hanya bermain-main saja..!”

Siujie telah mengiyakan.

“Sekarang pergilah kau membersihkan tubuh dan makan, kemudian tidurlah, mungkin besok pagi kita akan melanjutkan perjalanan kita...“ kata Pai Cing Han.

Siujie telah berlalu dari hadapan ayah ibunya.

Pai Cing Han masih duduk ditempatnya dia tengah termenung.

”Hebat sekali pendeta India itu....dia merupakan jago luar yang memiliki kepandaian tinggi, dalam waktu yang singkat dia telah bisa menancap nama didaratan tionggoan demikian terkenal dan menakjupkan...jika memang ada kesempatan, aku ingin sekali bertemu dengannya, untuk main-main dengannya guna melihat sendiri, sesungguhnya berapa tinggi kepandaian yang dimilikinya.” Dan setelah berpikir begitu Pai Cing-Han menghela napas berulangkali. Kemudian dia menoleh kepada istrinya, yang tengah duduk menyulam pakaian putrinya.

"Hujin,“ panggilnya dengan suara yang sabar, “Jika besok kita melanjutkan perjalanan kita, kuharap engkau bisa menjaga Siu-jie baik2, karena kukira telah tiba waktunya besok aku menemui Kim Liong San Bu Bok Sun, untuk meminta dia mengembalikan kitab mujijat milik keluarga Pai yang telah dicuri dan terjatuh ditangannya !”

Isterinya, pai Hujin, telah mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kita tidak menyangkanya bahwa Kim Liong San Bu

Bok Sun bisa kita temui jejaknya ditempat ini       !” menyahuti

nyonya itu.

Pai Cing Han telah bangkit dari duduknya, dia menuju keruang belakang rumah tersebut, kemudian menghampiri pintu sebuah kamar yang terdapat dibelakang rumah itu. Dia mengetuk pintu kamar tersebut, dari dalam telah muncul seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan tinggi. Dia menanyakan kepada Pai Cing Han apakah ada sesuatu yang bisa dibantunya.

Pai Cing Han menggeleng.

"Tidak, kami besok akan berangkat......terima kasih atas kebaikan hati dari Hengtai yang telah memberikan kesempatan kami mondok dirumahmu ini......dan ini,” Pai Cing Han merogoh sakunya, "sebagai tanda terima kasih kami, harap Hengtai menerimanya.      !” sambil berkata begitu, tampak  Pai

Cing Han telah menyerahkan dua puluh tail perak kepada pemilik rumah tersebut. Dia memang hanya tinggal seorang diri dirumahnya tersebut, dan ketika Pai Cing Han bersama anak dan istrinya singgah dirumahnya, menyatakan mereka hendak mondok di rumahnya, pemilik rumah yang baik hati ini mengijinkannya dengan senang hati. Telah empat hari lamanya Pai Cing Han bersama isteri dan anaknya tinggal dirumah tersebut, dan justru memang mereka tengah mencari jejak dari Kim Liong San Bu Bok Sun, untuk mendesaknya mengembalikan kitab pusaka milik keluarga Pai yang pernah lenyap. Pai Cing Han telah mendengar dari sahabat2nya didalam rimba persilatan, bahwa kitab pusaka keturunan keluarga Pai berada ditangannya Kim Liong San Bu Bok Sun tersebut.

Dan memang Pai Cing Han juga telah mendengar bahwa Bu Bok Sun tengah berkeliaran disekitar daerah tersebut, itulah sebabnya dia bersama istri dan anaknya telah mendatangi tempat ini. Dan ternyata apa yang didengarnya tidak salah, dia telah mendengar sendiri dari putrinya, bahwa Bu Bok Sun berada di tempat ini.

Malam itu Pai Cing Han tidur nyenyak sekali, dan begitu matahari fajar mulai memperlihatkan diri, Pai Cing Han bersama istri dan putrinya meninggalkan rumah tersebut. Mereka telah memasuki kota dan menangsal perut disebuah rumah makan.

Hari itu juga Pai Cing Han telah menyelidiki perihal Bu Bok Sun dan Jie Liong Kim Hay.

Dari seorang pemilik rumah obat, dia memperoleh keterangan, bahwa Jie Liong Kim Hay tinggal disebelah tenggara dari tepian telaga tersebut, tempat itu jarang sekali didatangi oleh orang-orang, baik penduduk tersebut maupun orang-orang luar kota yang hendak pesiar ditelaga tersebut karena mereka takut dan jeri akan keganasan Jie Liong Kim Hay, dan pemilik rumah obat mengetahui tempat tinggalnya Jie Liong Kim Hay, karena kedua naga dari Laut Emas itu sering memborong beberapa macam obat tertentu. Menurut cerita dari pemilik rumah obat tersebut, bahwa Jie Liong Kim Hay juga memiliki banyak sekali anak buah sehingga dimana tempat Jie Liong  Kim Hay  menetap  itu,  merupakan daerah tertutup dan tempat itu dijadikan markas yang selalu terjaga kuat siang dan malam, sehingga siapa saja yang tersesat ditempat tersebut, tentu akan bercelaka.

Setelah cukup mendengar keterangan pemilik rumah obat tersebut, hari itu juga Pai Cing Han bersama istri dan putrinya telah menuju kebagian tenggara dari telaga yang terdapat diluar kota tersebut. Dan benar saja apa yang dikatakan oleh pemilik rumah obat itu waktu Pai Cing Han tiba disebelah tenggara telaga itu keadaan sepi sekali.Tidak terlihat seorang manusiapun juga yang berkeliaran ditempat tersebut.

Tetapi waktu Pai Cing Han bersama isteri dan puterinya tiba disebelah dalam dari hutan kecil yang terdapat ditempat itu, disaat mereka sedang berjalan dengan perlahan, dari gerombolan pohon yang lebat telah melompat tiga orang lelaki bertubuh tegap dengan ditangan masing2 tercekal sebatang golok.

Sikap mereka juga garang sekali, dimana mereka telah mengawasi dengan mata yang menakutkan sekali. Salah seorang di antara mereka telah membentak: “Berhenti. !”

Pai Cing Han telah menghentikan langkah kakinya, dia telah mengawasi ketiga orang tersebut, lalu tanyanya dengan suara yang tawar: “Apa yang kalian inginkan?”

"Apa maksud kalian berkeliaran ditempat ini ?“ bentak orang itu. “Tahukah kalian tempat apa ini?”

Pai Cing Han mengeluarkan suara tertawa dingin. "Hemmm,“ katanya dengan suara dingin.

“Aku mengetahui tempat ini tempat kediaman dari Jie Liong Kim Hay, bukan? Kami  ingin  bertemu  dengan  mereka. ”

"Apakah kalian ingin mencari mampus?” bentak salah seorang diantara ketiga orang itu. Pai Cing Han telah tertawa dingin, dia berkata dengan suara yang tawar: ”Kalian harus membawa kami menemui mereka!”

"Siapa kalian?” tanya orang itu yang mulai ragu2. "Katakan, aku pai Cing Han.”

Karena dia menduga tentunya salah seorang dari mereka akan pergi melaporkan perihal kedatangannya.

Tetapi orang itu justru telah berkata dengan suara yang keras : ”Kedua pemimpin kami tengah sibuk dan tidak memiliki waktu....tidak bisa menerima kalian..! Pergilah kembali ke tempat kalian. !”

Tetapi Pai Cing Han yang melihat sikap ketiga orang itu, telah tidak sabar, tahu-tahu tubuhnya telah melompat dan kedua tangannya bekerja. Dengan mudah, dia telah bergantian mencengkeram punggung ketiga orang itu, dan dengan mempergunakan sedikit tenaga dalamnya, dia telah melemparkan ketiga orang itu.

Gerakannya itu sangat cepat sekali, karena sebelum ketiga orang itu tahu apa-apa, tiba-tiba tubuh mereka telah terlempar dan terbanting seorang demi seorang diatas tanah dengan keras sekali, sehingga mereka merintih mengeluarkan suara erang kesakitan.

Pai Cing Han tidak bertindak sampai disitu saja, tubuhnya telah melompat kesana kemari dengan gerakan yang ringan sekali, dan kedua tangannya juga telah bekerja dengan cepat, tahu-tahu tubuh ketiga orang itu telah berhasil dilontarkan kembali ketengah udara, dimana tubuh ketiga orang tersebut kembali terbanting keras.

"Jika kalian tidak mau membawa aku menemui Jie Liong Kim Hay, biarlah aku akan membanting terus menerus kalian bertiga, apakah kalian tidak akan mampus dengan menderita kesakitan..!” Dan setelah berkata begitu Pai Cing Han melangkah kakinya lagi, dia bergerak akan melancarkan cengkeramannya guna mengangkat tubuh salah seorang dari ketiga orang itu untuk dibantingkannya pula.

Tetapi justru orang tersebut telah ketakutan bukan main, mereka bertiga dengan serentak berteriak : ''Ampunnn, kami akan segera menurut perintah Kiesu.“

Pai Cing Han berhenti mencengkeram dan dia telah berkata bengis, ”Cepat bangun, antarkan aku menemui mereka !”

Ketiga orang itu tanpa membantah lagi, telah mengiyakan dan membawa Pai Cing Han bersama putri dan istrinya ke sebuah tempat, yaitu sebuah bangunan yang besar sekali, yang hanya satu satunya terdapat di tempat tersebut. Salah seorang dari mereka telah melangkah masuk keruang dalam dari bangunan tersebut. Tidak lama kemudian, dari dalam bangunan itu muncul seorang lelaki setengah baya. Dialah salah seorang Jie Liong Kim Hay yang tidak terluka ditangan Tat Mo Cauwsu dan bernama Lung Kiu Eng. Wajahnya juga agak pucat, dan dia telah cepat2 merangkapkan tangannya memberi hormat kepada Pai Cing Han begitu melihat jago tersebut.

“Maafkan....maafkan Siauwte terlambat menyambut....

Mengapa Pai Tocu tidak memberi kabar terlebih dahulu akan berkunjung kemari ?”

Pai Cing Han tertawa dingin.

“Aku tidak memiliki urusan dengan kalian, Jie Liong Kim Hay, tetapi aku hendak bertemu dengan Bu Bok Sun dimana

sekarang ini dia berada ?”

Muka Lung Kiu Eng jadi berobah ketika mendengar Pai Cing Han mencari Bu Bok Sun dia berkata dengan ragu : “Paman guru kami itu... sekarang ini.... sekarang ini tengah mengurung diri untuk empat puluh hari lamanya guna melatih tenaga sinkangnya. sayang sekali Pai Tocu datang tidak tepat

waktunya ...! Maafkan.... Maafkan Siauwte yang akan mewakili menyambut Pai Tocu...! Silahkan masuk, nanti didalam kita bicara lagi. !”

Tetapi Pai Cing Han memperlihatkan sikap yang bengis, katanya : ”Cepat panggil keluar orang she Bu itu !”

Muka Lung Kiu Eng jadi berobah, dia merangkapkan tangannya menjura.

"Maafkan, memang benar2 tidak bisa Bu Bok Sun Siok menemui Pai Tocu...“ kata Lung Kiu Eng dengan muka memperlihatkan penyesalan.

"Jika dia tidak mau keluar, biar aku nanti yang akan masuk dan menyeretnya keluar....!” kata Pai Cing Han dengan suara yang tetap bengis.

Muka Lung Kiu Eng jadi berobah tidak enak dilihat, dia serba salah. Karena Lung Kiu Eng mengetahui bahwa Pai Cing Han ini tokoh seorang persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali, dengan demikian, berarti dia tidak mungkin bisa menandingi kepandaian dari Pai Tocu tersebut. Tetapi sekarang justru Bu Bok Sun pun tengah terluka dan sedang merawat lukanya yang membutuhkan waktu empat puluh hari lamanya untuk memulihkan semangat murninya. Dengan demikian, tidak mungkin Bu Bok Sun diganggu ketenangannya, karena jika perhatiannya terpecahkan, tentu akan menyebabkan dia bercelaka, dimana luka didalam tubuhnya akibat gempuran tenaga dalam dari Tat Mo Cauwsu akan bertambah parah dan sulit untuk disembuhkan kembali.

”Apakah kau tetap tidak mau memberitahukan perihal kedatanganku ini kepada orang she Bu itu ?“ tegur Pai Cing Han dengan suara yang dingin. Lung Kiu Eng jadi serba salah, dia telah memaksakan diri untuk tertawa.

“Akh, Pai Tocu tentu tidak akan begitu tergesa gesa, bukan? Mari silahkan masuk dulu.....nanti kita bicarakan perlahan lahan. persoalan Bu Bok Sun Susiok nanti bisa kita

selesaikan dengan baik.....sekarang ijinkanlah Siauwte menjamu kalian....!” dan waktu berkata sampai disitu, Lung Kiu Eng telah melirik kepada Pai Ing Siu, si gadis kecil yang menjadi puterinya Pai Cing Han tersebut. Sesungguhnya semula dia menduga kedatangan Pai Cing Han ke tempatnya ini hanya untuk membalaskan sakit hati puterinya tersebut, dimana dia pernah menghinanya ditengah telaga pada kemarin hari. Tetapi jika memperhatikan sikap dan kata2 Pai Cing Han, rupanya urusan yang sebenarnya bukan urusan  yang bersangkut kait dengan gadis cilik itu.

Pai Cing Han tampaknya habis sabar dia telah melangkah dua tindak.

"Jika kau masih tidak mau memanggilkan Bu Bok Sun agar dia keluar, biarlah aku yang akan memanggilnya sendiri !” katanya.

Melihat ini, Lung Kiu Eng jadi bingung, dia melangkah berusaha menghalangi Pai Cing Han.

Namun Pai Cing Han menggerakkan tangan kanannya, dia telah mengebutkan lengan bajunya.

Kebutan itu memang tampaknya seperti kebutan biasa saja, tetapi tenaga kebutan dari tangan itu kuat sekali, dimana tampak tubuh Lung Kiu Eng jadi terhuyung mundur tiga langkah dengan muka yang pucat.

Tetapi Lung Kiu Eng adalah salah seorang dari Jie Liong Kim Hay yang memiliki kepandaian cukup tinggi, dan telah malang melintang cukup lama dalam kalangan Kangouw, maka tidak mau dia begitu saja menyerah. Dia telah berusaha tertawa, katanya : "Pai Tocu, engkau berkunjung ketempat kami,  ini  merupakan  suatu  kehormatan  buat  kami     dengan

demikian  kami  mengucapkan  banyak  terima  kasih.      tetapi

seharusnya, jika ada sambutan yang kurang menyenangkan hati Tocu, harap diberitahu saja. !”

Pai Cing Han telah mengeluarkan suara tertawa dingin.

Dia telah melangkah terus untuk menghampiri pintu bangunan gedung itu. Diwaktu itu tampak dua belas lelaki bertubuh tinggi tegap berdiri di muka pintu dengan tangan siap sedia digagang golok mereka masing-masing.

Lung Kiu Eng telah melompat kedepan Pai Cing Han sambil berseru : “Pai Tocu, tahan...!” dia mengulurkan tangan kanannya, untuk mencengkeram pundak Pai Cing Han.

Pai Cing Han tidak menghentikan langkah kakinya, dia mandek, membungkukkan sedikit tubuhnya, waktu itu tangan kanannya telah mengebut kebelakang, agak miring ke samping kirinya, angin dari telapak tangannya berkesiuran kuat sekali menerjang Lung Kiu Eng.

Diwaktu itulah tampak Lung Kiu Eng mengeluarkan suara seruan tertahan, dan dia merasakan dadanya jadi menyesak, cepat2 dia telah menarik pulang tangannya yang akan mencengkeram pundak Pai Cing Han. Cepat bukan main dia membuang diri untuk mengelakkan kebutan tangan Pai Cing Han.

Tetapi tenaga kebutan Pai Cing Han telah menyambar begitu kuat. Walaupun Lung Kiu Eng telah bergerak cepat sekali untuk mengelakkan diri, namun kenyataannya pundaknya yang sebelah kiri telah kena tersampok dan diwaktu itu tubuh Lung Kiu Eng telah terhuyung mundur beberapa langkah. Mukanya pucat dan meringis menahan sakit. Sebagai seorang jago persilatan yang memiliki kepandaian tidak rendah, memang Lung Kiu Eng tidak merasa gentar untuk bertempur dengan siapa saja. Tetapi dia telah sering mendengar akan hebatnya ilmu dan kepandaian Tocu dari pulau Cie Hung To tersebut. Maka dari itu, dia telah berlaku hati-hati sekali. Namun kenyataannya dia masih terserang seperti itu, dengan sendirinya, dia telah mengetahui bahwa dirinya memang bukan menjadi tandingan dari Tocu pulau Cie Hung To tersebut.

Pai Cing Han telah mendengus dan melangkah terus menghampiri pintu gerbang dari gedung itu.

Kedua belas orang anak buah dari Lung Kiu Eng telah mencabut golok mereka masing-masing.

Tetapi Pai Cing Han tidak memperdulikan mereka, dia melangkah terus, dan kedua tangannya telah digerakkan dengan beruntun, sangat cepat sekali. Seketika itu juga terdengar suara jeritan yang beruntun, dan tampak lima sosok tubuh telah terlempar ketengah udara, lalu terbanting diatas tanah, sehingga kelima orang tersebut yang telah terbanting seperti itu tidak bisa segera bangun kembali, hanya melingkar menahan sakit diatas tanah.

Pai Cing Han tidak bergerak sampai di situ, waktu itu dua batang golok telah menyambar datang kearahnya, dan cepat sekali Pai Cing Han mengelakkan diri. Dia mana memandang sebelah mata terhadap kepandaian dari anak buahnya Lung Kiu Eng.

Setelah berhasil berkelit dari samberan kedua batang golok itu, tampak Pai Cing Han menggerakkan tangannya lagi, cepat bukan main tiga sosok tubuh telah terlempar lagi. Sisanya anak buah Lung Kiu Eng jadi tidak berani merangsek maju, mereka hanya berseru-seru dengan suara yang berisik saja, tetapi semuanya malah mundur waktu Pai Cing Han melangkah menghampiri pintu gerbang. Lung Kiu Eng waktu itu telah melompat kedepan Pai Cing Han, dia merangkapkan sepasang tangannya, katanya dengan suara yang setengah memohon : ”Pai Tocu. kuharap engkau

tidak menimbulkan kekacauan ditempat ini !”

Pai Cing Han tertawa dingin.

“Engkau mau memanggilkan orang she Bu itu untuk keluar menemui aku atau tidak ?” tanya Pai Cing Han.

”Tetapi paman guruku itu memang benar-benar tengah dalam kesulitan yang sukar sekali diceritakan .....!” kata Lung Kiu Eng.

"Hmmm, baiklah, biar aku yang menyeretnya keluar !” kata Pai Cing Han. ”minggirlah kau. !”

Sambil berkata begitu, tampak Pai Cing Han telah menggerakkan tangan kanannya dia telah mengibas dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali.

Lung Kiu Eng berusaha menangkis dengan menggerakkan seluruh kekuatan tenaga lwekang yang ada padanya. Tetapi dia mana bisa menandingi kekuatan sinkang yang dimiliki Pai Cing Han? tanpa ampun lagi tubuhnya telah terpental dan ambruk diatas tanah, tulang tangannya telah patah.

Pai Cing Han melangkah terus, dan telah menaiki undakan pintu ketiga itu, justru dari dalam telah muncul seseorang, yang berkata dengan suara yang parau: “Siapa yang mencariku ?”

Pai Cing Han mengangkat kepalanya, dia melihat Bu Bok Sun tengah berdiri dihadapannya dengan wajah yang agak pucat, tetapi dia tetap memperlihatkan sikap yang angkuh, dan memandang Pai Cing Han dengan sinar mata yang sangat tajam.

"Oh, kiranya Pai Tocu..!” kata Bu Bok Sun kemudian. ”Ada urusan apakah engkau memaksa hendak bertemu denganku ?” ”Bagus !” berseru Pai Cing Han sambil membalas memandang pada orang she Bu itu. ”Akhirnya engkau keluar juga ! Aku memang hendak meminta sesuatu dari kau. ialah

kitab pusaka turunan keluarga Pai yang akhir-akhir ini telah menjadi rebutan diantara orang-orang persilatan......dan kabar terakhir yang  kudengar,  kitab  pusaka  itu  berada  ditanganmu. !”

Muka Bu Bok Sun berobah, tetapi itu hanya sejenak karena kemudian dia telah tertawa tawar : "Benar, memang kitab pusaka yang tengah diperebutkan oleh orang-orang rimba persilatan itu berada ditanganku, namun kitab pusaka itu bukan kitab pusaka milik keluarga Pai. !”

"Aku datang hendak mengambil pulang kitab itu. Kau akui atau tidak kitab pusaka itu milik keluarga Pai, aku tetap hendak mengambilnya pulang......cepat kau serahkan  kitab  pusaka  itu. !”

Tetapi Bu Bok Sun tertawa dingin, katanya : "Pai Cing Han, engkau seorang yang memiliki nama terkenal didalam rimba persilatan......apakah engkau tidak merasa malu jika mengakui kitab bukan milikmu itu sebagai kitabmu?”

"Aku tidak perduli semua itu. Yang terpenting sekarang, engkau hendak menyerahkan kitab pusaka itu kepadaku atau tidak?”

"Tidak !” tegas Bu Bok Sun menyahuti.

"Baik, aku akan mengambilnya sendiri.....!” kata Pai Cing Han.

"Boleh, asal engkau telah bisa membinasakan diriku. !”

menyahuti Bu Bok Sun.

Tetapi sambil berkata begitu, hatinya berpikir : "Pai Cing Han adalah Tocu Cie Hung To yang memiliki kepandaian tinggi, jika memang aku tidak sedang dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, mungkin aku bisa bertempur selama dua ratus jurus dengan dia. namun sekarang aku tengah terluka di

dalam tubuh......tenaga sinkangku telah punah sebagian. !”

Belum lagi Bu Bok Sun berpikir habis, diwaktu itulah Pai Cing Han telah berkata: "Baik, baiklah....sekarang saja kita mulai...!” dan Pai Cing Han telah mempersiapkan kedua tangannya yang diangkat sebatas dada, dimana Pai Cing Han rupanya sudah tidak sabar untuk mulai melancarkan serangan kepada orang she Bu itu.

"Tahan dulu. !” kata Bu Bok Sun.

"Apa lagi yang hendak dibicarakan ? Bukankah sudah tidak ada pembicaraan lainnya ?” tanya Pai Cing Han dengan suara yang dingin.

Bu Bok Sun menoleh kepada Pai Ing Siu, lalu katanya : "Gadis cilik itu puterimu, bukan?”

"Benar....!” mengangguk Pai Cing Han, hatinya jadi heran mendengar Bu Bok Sun membicarakan diri puterinya tersebut.

"Terus terang saja, disaat sekarang ini aku tidak bisa menemani kau main-main, karena aku telah terluka didalam tubuh oleh serangan seseorang.... dan puterimu itu juga menyaksikan peristiwa tersebut. Jika memang engkau hendak main-main denganku, datanglah empat puluh hari lagi, tentu disaat itu lukaku telah sembuh, dimana kita bisa main-main sepuas hati. !”

"Hmm, aku tidak perduli hal itu, yang terpenting aku menghendaki kau mengembalikan kitab pusaka milik keluarga Pai. !”

"Apakah engkau benar-benar tidak malu mendesak seseorang yang tengah terluka seperti aku ini ?” tanya Bu Bok Sun mendongkol.

Pai Cing Han tertawa dingin. "Tetapi engkau manusia licik, aku tidak percaya kepadamu.... kemungkinan setelah empat puluh hari engkau telah menghilangkan jejak, pergi entah kemana! Maka  sekarang juga aku hendak kau menyerahkan kitab pusaka milik keluarga Pai itu kepadaku. !”

"Baiklah, engkau terlalu mendesak!“ kata Bu Bok Sun dengan suara yang tawar.

"Thia. !” teriak Pai Ing Siu sesaat kemudian waktu kedua

orang itu tengah ber-siap2 akan mengadu ilmu. “Apa yang dikatakan oleh paman she Bu itu benar adanya dialah yang telah dilukai oleh Tat Mo Cauwsu Taisu. !”

"Aku tahu. !” menyahuti sang ayah.

Bu Bok Sun tertawa dingin.

"Hemmm, aku tidak menyangka bahwa Tocu dari Cie Hung To merupakan manusia rendah, yang hanya bisanya mencari kesempatan untuk merubuhkan lawannya disaat lawan itu tengah dalam keadaan lemah. ! Jika memang engkau hendak

mengadu ilmu, engkau tentunya bersedia menanti empat puluh hari sampai kesehatanku ini pulih. !”

"Tetapi kedatanganku kemari bukan hendak mengadu ilmu, aku juga tidak memiliki selera mengadu ilmu dengan manusia seperti engkau.. kedatanganku hanya untuk mengambil pulang kitab pusaka milik keluarga Pai kami !”

Bu Bok Sun sudah kewalahan, dia memang telah melihatnya tidak mungkin dia bisa mengelakkan diri dari desakan Pai Cing Han. Akhirnya dia mengangguk.

"Baiklah...!” katanya kemudian. “Jika memang demikian halnya, aku tidak bisa menampik terus menerus.“

Dan setelah berkata begitu, Bu Bok Sun memusatkan lwekangnya, dia mengalirkan pada kedua telapak tangannya, dan ber-siap2 menantikan serangan dari Pai Cing Han. Waktu itu tampak Pai Cing Han juga telah bersiap siap, dia melangkah maju dua tindak lagi, lalu dia mengebutkan lengan baju kanannya. Gerakan yang dilakukannya itu menimbulkan angin yang berseliwiran kuat sekali, dan juga telah menyambar kearah bagian yang mematikan dibawah ulu hati dari  lawannya.

Tetapi Bu Bok Sun walaupun dalam keadaan terluka didalam oleh Tat Mo Cauwsu, namun dia merupakan seorang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian telah tinggi, tidak mudah dia menyerah begitu saja, walaupun dia mengetahui Pai Cing Han merupakan lawan yang tidak ringan.

Cepat2 Bu Bok Sun telah mengelakkan diri dengan gerakan yang gesit sekali, dan dengan dibarengi seruannya yang nyaring, dia telah balas menerjang maju, kedua kakinya telah melakukan tendangan yang berantai.

Tetapi Pai Cing Han bergerak lincah sekali, dia juga telah berulang kali mendesak Bu Bok Sun.

Orang she Bu itu telah mengeluarkan suara seruan beberapa kali, karena hampir saja dia terkena serangan itu, namun dia masih berhasil mengelakkan diri.

Dalam keadaan seperti ini, diam2 Bu Bok Sun juga mengeluh, karena dia menyadari, paling tidak dia hanya bisa melayani lawannya itu sebanyak puluhan jurus.

Tetapi karena lawannya mendesak terus menerus, dia memaksakan diri untuk mengerahkan tenaga dalam, dan beberapa kali dia mendesak Pai Cing Han, agar lawannya itu mundur dan dia bisa mengatur pernapasannya.

Namun Pai Cing Han merupakan Tocu Cie Hung To yang memiliki kepandaian tinggi sekali, dengan demikian tidak mungkin dia bisa didesak begitu mudah oleh Bu Bok Sun, apalagi memang orang she Bu tersebut tengah terluka. Dengan gerakan tubuh yang memutar, tahu-tahu Pai Cing Han telah mengebut kedua tangannya.

Angin yang kuat berkesiuran menyambar kepada Bu Bok Sun, dan di saat itu napas Bu Bok Sun telah memburu keras sekali, dia juga merasakan betapa tenaganya telah berkurang banyak.

"Paling lama aku hanya bisa menerima sepuluh jurus lagi dari dia.... setelah itu aku akan kena dihantamnya rubuh...!”

Karena berpikir begitu, Bu Bok Sun mengempos semangatnya, dan dia telah memusatkan seluruh kekuatannya untuk berusaha memberikan perlawanan yang lebih kuat lagi. Namun memang kenyataannya tenaga sinkangnya telah berkurang banyak, dia jadi terdesak begitu hebat oleh lawannya.

Pai Cing Han melihat bahwa Bu Bok Sun memang tidak berdusta, dia tengah terluka didalam, sebab tenaga perlawanan yang diberikan oleh orang she Bu itu tidak begitu kuat dan juga tubuh orang she Bu itu sering terhuyung, seperti juga akan jatuh rubuh.

Tetapi Pai Cing Han tidak mau membuang kesempatan yang ada ini, dia menghendaki Bu Bok Sun mengembalikan kitab pusaka keluarga Pai yang dikehendakinya.

Itulah sebabnya, berulang kali Pai Cing Han telah menggerakkan kedua tangannya, beruntun dia telah melancarkan serangan yang jauh lebih kuat dan gencar sekali ke diri lawannya yang mulai kehabisan tenaga.

Bu Bok Sun mati2an telah mengelakkan diri, jika terpaksa dia baru menangkisnya.

Namun napas orang she Bu itu telah berulang kali tersendat bagaikan tenggorokannya tersumbat, sehingga dia sulit untuk meluruskan pernapasannya. Dengan begitu, Bu Bok Sun harus berusaha mati2an untuk dapat melancarkan pernapasannya. Dia telah menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil meluruskan napasnya. Dengan cara seperti ini, dia bisa memperlambat tibanya serangan dari Pai Cing Han, dan mempergunakan waktu yang hanya beberapa detik itu dia cepat2 meluruskan pernapasannya.

Sepuluh jurus lagi telah lewat, dan Bu Bok Sun telah memusatkan seluruh sisa kekuatannya untuk memberikan perlawanan.

Pai Cing Han terus mendesaknya, semakin lama semakin keras.

Sampai akhirnya Bu Bok Sun telah terdesak tidak berdaya lagi, disaat mana Pai Cing Han dalam suatu kesempatan telah menggerakkan tangan kanannya, dia menghantam ke arah kepala Bu Bok Sun.

Bu Bok Sun mengeluh, "Habislah aku kali ini. !” Dan dia

memejamkan matanya.

Melihat itu, Pai Cing Han menahan meluncurnya tangannya, dia membentak : "Apakah engkau tetap tidak mau menyerahkan kitab pusaka keluarga Pai itu. ?”

Bu Bok Sun membuka matanya, dia mengawasi Pai Cing Han sejenak, lalu dia menghela napas, katanya dengan suara mengandung keputus asaan, "Baiklah.    aku akan menyerahkan

kitab itu.     !” dan setelah berkata begitu, Bu Bok Sun merogoh

sakunya, dia mengangsurkan sejilid kitab yang cukup tebal, berukuran lebar sejengkal tangan kepada Pai Cing Han.

Pai Cing Han girang, dia menyambuti dengan tangan kanannya, guna menerima kitab itu.

Namun baru saja jari tangan dari Pai Cing Han menyentuh kitab tersebut, diwaktu itulah Pai Cing Han merasakan angin yang berkesiuran disisinya, desiran angin yang dingin sekali, dan tahu2 kitab pusaka yang ditangan Bu Bok Sun itu telah disambar seseorang, sehingga Pai Cing Han jadi tertegun ditempatnya beberapa saat lamanya.

Bukan main gusarnya Pai Cing Han setelah menyadari apa yang terjadi, karena dilihatnya seorang lelaki berpakaian seperti siucai (pelajar) berusia lima puluh tahun, tengah berdiri dengan kedua tangannya memainkan kitab pusaka itu. Wajahnya juga tampak riang sekali memperlihatkan senyumnya yang lebar.

“Kitab pusaka yang bagus sekali yang telah menelan banyak korban..!” kata pelajar tua tersebut.

“Siapa kau?” bentak Pai Cing Han dengan suara yang dingin. ”Kembalikan kitab itu...!”

Pelajar tua itu telah menoleh dengan mata agak dipicingkan memandang kepada Pai Cing Han, lalu katanya diiringi tertawanya, ”Kau tentunya Tocu dari Cie Hung To, bukankah tepat dugaanku ?”

"Tidak salah..!” menyahuti Pai Cing Han dengan berang. ”Cepat kembalikan kitab pusaka itu, jika tidak aku akan mematahkan batang lehermu...!”

Bu Bok Sun yang menyaksikan hal itu juga jadi tertegun, ia telah memandang kepada pelajar tua tersebut dengan sorot  mata tajam, akhirnya dengan suara yang tergagap ia bertanya : ”Bukankah engkau...Bin San Siucai (Pelajar dari gunung Bin San) ?”

Pelajar tua tersebut telah mengangguk cepat, ia masih tertawa2 dan katanya : ”Ya benar....memang aku Bin San Siucai Lauw Ho Lun. Aku tidak menyangka bahwa disini ada orang yang kenal juga dengan diriku..!” dan setelah berkata begitu, Bin San Siucai tertawa bergelak lagi. Pai Cing Han sudah tidak bisa menahan sabar, ia berkata dengan suara mengandung kemarahan : ”Cepat kembalikan kitab pusaka itu......!” dan Pai Cing Han bukan hanya berkata, ia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya telah mencelat cepat sekali, dan tangan kanannya telah digerakkan untuk melayang menyambar kearah kitab pusaka yang berada ditangan pelajar tersebut.

Tetapi Bin San Siucai rupanya memang memiliki kepandaian tinggi, karena begitu melihat Pai Cing Han bergerak menyambar kearah dirinya, ia cepat2 telah melompat menyingkir.

Namun Pai Cing Han sebagai tokoh persilatan yang namanya menggetarkan rimba persilatan, mana mudah begitu saja dihindarkan. Begitu sambaran tangannya pada  kitab pusaka tersebut lolos, segera ia mempergunakan telapak tangannya menghantam kearah pundak Bin San Siucai Lauw Ho Lun.

Tenaga sinkang yang dipergunakannya sangat kuat, walaupun Lauw Ho Lun berhasil mengelakkan diri lagi, tidak urung lengannya tergetar terkena serempetan angin pukulan itu, sampai ia merasa nyeri. Diwaktu itulah Bin San Siucai tersebut telah tertawa ber-gelak2 lagi, kemudian dengan sikap angkuh  ia berkata : “Memang tidak salah apa yang dikatakan oleh orang2 rimba persilatan, bahwa tocu dari pulau Cie Hung To memiliki kepandaian yang menakjubkan !”

Dan Bin San Siucai berkata sambil menjejakkan kaki kanannya, tahu2 tubuhnya mengambil sikap seperti hendak berputar, membarengi dengan mana, tubuhnya telah melambung sejauh kurang lebih empat tombak, maksudnya hendak meninggalkan tempat itu.

Pai Cing Han mengeluarkan seruan marah. “Hendak lari kemana kau ?” dan tubuh Pai Cing Han juga telah berkelebat mengejar Bin San Siucai tersebut.

Mereka merupakan orang2 yang memiliki Ginkang tinggi, maka begitu mereka bergerak, tubuh mereka seperti juga bayangan. Cepat sekali dia saling kejar mengejar.

Bu Bok Sun menghela napas, ia tiba tiba melihat Pai Ing Siu dan istri Pai Cing Han. Muka Bu Bok Sun tiba tiba berobah jadi terang.

"Aha, inilah kesempatan yang baik,“ berpikir Bu Bok Sun, dan tanpa membuang buang waktu lagi, ia telah melompat kedekat Pai Ing Siu dan ibunya.

Pai Ing Siu dan ibunya waktu melihat Bu Bok Sun menghampiri mereka, telah timbul dugaan yang tidak baik terhadap orang she Bu tersebut, lebih2 ketika itu Bu Bok Sun telah menggerakkan tangan kanannya, di mana ia telah mengulurkannya untuk mencengkeram lengan Pai Ing Siu.

Walaupun masih kecil, tetapi karena sejak berusia tiga tahun Pai Ing Siu telah dididik oleh ayahnya, maka ia memiliki kepandaian yang lumayan. Dan juga disamping itu, gadis kecil ini memiliki hati yang tabah sekali, sehingga waktu melihat lengannya hendak dicengkeram oleh Bu Bok Sun ia melompat kesamping mengelakkan diri.

"Hemmm, engkau hendak lari kemana bocah?“ bentak Bu Bok Sun dengan suara yang keras, dan telah maju lagi mengejarnya, sambil menggerakkan kedua tangannya waktu telah tiba didekat gadis kecil itu, ia bermaksud akan menangkap lengan gadis cilik itu.

Namun Pai Ing Siu telah menggerakkan tangannya yang kanan untuk menghantam.

"Bukkk....!” dada Bu Bok Sun kena didihantamnya memang  Bu  Bok  Sun  sama  sekali  tidak  berusaha  berkelit. Tetapi tangan kanan dari Bu Bok Sun telah diulurkan mencengkeram pergelangan tangan Pai Ing Siu.

Pai Ing Siu kaget bukan main waktu merasakan pergelangan tangannya sakit sekali, ia juga mengeluarkan suara seruan yang nyaring. Namun bersamaan dengan itu, ia teringat kepada jurus2 yang diajarkan oleh Tat Mo Cauwsu, yaitu “Sam Kun Pa Houw”, maka segera ia menggerakkan tangannya yang satunya sambil merandekkan tubuhnya, menjalankan jurus yang diperolehnya dari pendeta India itu.

Luar biasa, pergelangan tangan Pai Ing Siu yang semula kena dicengkeram oleh Bu Bok Sun jadi terlepas, karena Bok Sun merasakan jalan darah ”Kie-me hiat”nya kena tertotok dengan kuat. Walaupun totokan tersebut tidak bisa mematikannya, tetapi kenyataannya ilmu dari ”Sam Kun Pa Hauw” tersebut merupakan jurus2 pukulan yang hebat sekali, dimana walaupun hanya dalam bentuk tiga jurus saja, tokh memiliki sasaran yang bisa mematikan. Untung saja Pai Ing Siu seorang gadis cilik yang tenaga dalamnya belum seberapa, dengan memiliki totokannya pada jalan darah “Kie me hiat”nya Bu Bok Sun tidak mematikan. Tetapi itu telah membuat Bu Bok Sun jadi terhuyung dengan kedua tangannya terasa lemas tidak bertenaga. Inilah yang menyebabkan cekalannya jadi terlepas.

Setelah tertegun sejenak, Bu Bok Sun berseru marah :  ”Mau kemana kau?” Tubuhnya juga gesit sekali mengejar Pai Ing Siu yang waktu itu tengah berlari mendekati ibunya.

Isteri Pai Cing Han merupakan seorang wanita yang cantik dan lemah lembut, ia tidak mempelajari ilmu silat, maka dia itu sekarang melihat putrinya dikejar-kejar oleh Bu Bok Sun seperti itu, dimana putrinya tengah terancam keselamatannya, ia jadi berkuatir sekali. Ketika Pai Ing Siu telah tiba didekatnya, segera dirangkulnya. Bu Bok Sun waktu itu telah sampai, dan sambil tertawa menyeringai telah berkata : ”Hemmm, kalian ibu dan anak harus kutawan..!” dan kedua tangannya diulurkan serentak, tangan kanannya menotok jalan darah Lu yang dan jalan darah Ku lim pada tubuh Pai Ing Siu, sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah siang hong pada tubuh nyonya Pai tersebut, maka tidak ampun lagi ibu dan anak telah terjungkel rubuh tidak bisa bergerak lagi.

Bu Bok Sun tertawa ber-gelak2, kemudian menoleh kepada Lung Kiu Eng, katanya : ”Ringkus kedua orang ini !”

Jika dalam keadaan biasa, tentu Lung Kiu Eng gembira sekali untuk meringkus ibu dan anak itu, tetapi karena sekarang ia mengetahui bahwa kedua orang itu ibu dan anak tersebut adalah istri dan anaknya Pai Cing Han, tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi sekali, hatinya jadi ciut.

“Susiok....apakah tidak akan berbahaya....ini...ini tentu akan mendatangkan kemarahan yang bukan main pada Pai Cing Han....tentu ... tentu akan menimbulkan urusan yang tidak menggembirakan ...!” sambil berkata begitu, Lung Kiu Eng telah mengawasi Bu Bok Sun dengan sorot mata mengandung keraguan.

Bu Bok Sun mendengus, dan kemudian tertawa dingin, katanya : “Ringkus dan tidak perlu engkau banyak tanya lagi, semua yang akan terjadi nanti akan kupertanggung jawabkan ...

!”

Lung Kiu Eng tidak berani membantah perintah paman gurunya tersebut, segera ia memberi isyarat kepada anak buahnya, lalu ber-sama2 meringkus Pai Ing Siu dan ibunya.

Ibu dan anak yang telah tertawan itu dibawa masuk kedalam markas mereka, dan Bu Bok Sun berharap, jika memang Pai Cing Han berhasil merebut kembali kitab pusaka itu    dari    tangan    Bin    San    Siucai,    maka    ia    hendak mempergunakan ibu dan anak itu sebagai barang tebusan dan  ia yakin bahwa Pai Cing Han tentu lebih menyayangi anak dan istrinya tersebut dibandingkan dengan kitab pusaka itu.

XdwXkzX

PAI CING HAN yang mengejar Bin San Siucai waktu itu diliputi kemarahan yang luar biasa, ia telah mengempos semangatnya dan mengejar dengan cepat, tetapi Bin San Siucai juga memiliki ginkang yang tinggi sekali, sehingga ia bisa berlari cepat tidak terkejar oleh Pai Cing Han.

Tubuh mereka berkelebat kelebat meninggalkan daerah tersebut, dalam waktu yang singkat saja telah melalui puluhan lie, dan juga Pai Cing Han semakin lama telah mengejar semakin cepat.

Bin San Siucai beberapa kali telah berteriak dengan suara nyaring mengejek kepada Pai Cing Han : ”Aha, aha, mari kita berlomba untuk mengadu kecepatan berlari, apakah memang engkau memiliki ginkang yang sempurna ? Ayo, kejarlah aku

....!” dan sambil mengejek begitu, Bin San Siucai Lauw Ho  Lun telah berlari lebih cepat lagi.

Kejar mengejar seperti itu berlangsung terus, sampai akhirnya tampak Pai Cing Han telah berhasil memperpendek jarak mereka, yang hanya terpisah kurang lebih empat tombak.

Waktu itu mereka telah berada disebuah hutan lapangan rumput yang dipinggir kanannya tampak sebuah hutan yang cukup lebar. Dan Bin San Siucai telah berlari terus akan menuju kearah hutan itu.

Melihat ini Pai Cing Han kuatir akan kehilangan jejak orang buruannya itu, ia telah mengempos semangatnya, sambil mengeluarkan suara bentakan yang keras, tahu2 Pai Cing Han telah menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti juga sebuah bola yang berputar ditengah udara, berjumpalit, dan ketika hinggap diatas tanah, ia telah menotol lagi, tubuhnya kembali melambung ke tengah udara, berjumpalitan lagi, kemudian meluncur hanya terpisah kurang dari setombak didekat Bin San Siucai.

Pelajar itu juga terkejut waktu merasakan berkesiuran angin disisi tubuhnya, ia telah menggerakkan tangan kirinya, menyampok kearah Pai Cing Han.

Tetapi Pai Cing Han waktu meluncur turun, telah mempersiapkan tenaganya, dimana begitu Bin San Siucai menyerangnya, ia menangkis dengan tangan kanannya, benturan kedua tangan itu kuat sekali, tubuh Bin San Siucai tergoncang keras, namun ia hanya mundur satu langkah, dan menarik pulang tangan kirinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar