Tat Mo Cauwsu Jilid 10

Jilid X

DALAM perjalanan menuju kepintu kota sebelah barat Tat Mo Cauwsu telah teringat kepada Sin Han.

”Anak itu merupakan bahan yang baik ! Mudah2an saja urusan cepat selesai, dan berhasil merubuhkan Koko Timo, sehingga aku bisa membimbing anak itu. !!" berpikir Tat Mo

Cauwsu didalam hatinya. Dan diapun telah tersenyum.

Tampak Tat Mo Cauwsu memang terkesan baik sekali pada Sin Han. Dia melihatnya Sin Han memiliki kepribadian yang baik, tulang2 yang bagus, disamping bakatnya yang menonjol sekali. Maka dari itu Tat Mo Cauwsu memang ber-sungguh2, jika urusannya dengan Koko Timo telah dapat diselesaikannya, maka dia akan mencari Sin Han, untuk mendidiknya berbagai ilmu silat kelas tinggi....

Berpikir sampai disitu, tiba2 Tat Mo Cauwsu merasakan bahwa dibelakangnya ada seseorang yang menguntitnya. Walaupun Tat Mo Cauwsu tidak menoleh kebelakang, tetapi lewat hati kecilnya dia yakin ada seseorang yang diam2 mengikutinya.

“Siapa dia....?" pikir Tat Mo Cauwsu dalam hatinya. “Didengar  dari  suara  tindakan  kakinya  orang  ini  memiliki ginkang yang sangat tinggi sekali...apa maksudnya orang ini mengikuti aku secara diam2 ?"

Saat itu Tat Mo Cauwsu melihat didepannya ada sebuah tikungan. Dia telah membelok ditikungan itu, kemudian dia mengintai kearah dari mana tadi dia mendatangi. Ternyata seorang pemuda berusia diantara tiga puluh tahun, dengan pakaiannya yang parlente, tengah ter-gesa2 berlari karena dia takut kehilangan jejak dari Tat Mo Cauwsu.

Tetapi ketika pemuda itu membelok ditikungan tersebut, tahu2 ada sebuah tangan yang besar dan kekar mencengkeram baju dibagian pundaknya, disertai kata2 yang sangat sabar: “Mengapa siecu mengikuti Siauwceng? Apa maksud siecu?"

Waktu pakaiannya kena dicengkeram dan mendengar pertanyaan itu, pemuda tersebut jadi kaget bukan main, dia sampai mengeluarkan seruan kaget dan telah meronta untuk melepaskan cengkeraman yang dilakukan oleh Tat Mo  Cauwsu.

Tetapi walaupun dia meronta dengan menyalurkan tenaga lweekangnya, tetap saja dia tidak bisa membebaskan dari cengkeraman itu.

Lebih kaget lagi pemuda itu waktu dia mengenalinya  bahwa yang mencengkeramnya itu tidak lain dari Tat Mo Cauwsu yang tengah dikuntitnya, maka seketika keringat dingin membasahi muka dan tubuhnya.

“Lepaskan! Siang hari begini engkau ingin menghina  orang, heh ?" bentak pemuda itu setelah berhasil menindih goncangan hatinya.

Tat Mo Cauwsu memang telah melepaskan cengkeraman tangannya, dia berkata dengan sabar : ”Mengapa siecu menguntit diam2...? Siapakah Siecu ?" Mendengar perkataan Tat Mo Cauwsu yang sabar dan tidak memperlihatkan kemarahan sedikitpun juga, pemuda itu jadi lebih tenang, dia telah sengaja membentak : ”Siapa yang kesudian mengikutimu ? Hemm, engkau disiang hari seperti ini main tuduh orang! Apakah kau kira aku memiliki waktu yang cukup banyak mengikuti dirimu ?"

Tat Mo Cauwsu tersenyum sabar, diapun telah berkata : ”Siancai ! Siancai ! Maafkanlah ! Mungkin juga Siauwceng yang keliru menyangka....silahkan Siecu melanjuti perjalanan Siecu, maafkanlah atas perbuatan kasar yang Siauwceng lakukan tadi."

Mendengar perkataan si pendeta, sebetulnya pemuda tersebut ingin memaki lagi. Tetapi karena pemuda ini juga menyadari si pendeta India ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dia tidak mau banyak rewel lagi, segera dia memutar tubuhnya dan berlalu dengan langkah kaki lebar2.

Tat Mo Cauwsu menghela napas dalam2, diapun menggumam : ”Hemm, rupanya orang itu diperintah oleh seseorang lainnya. Tetapi siapa dia? Apakah Koko Timo ?"

Sambil menggumam begitu, Tat Mo Cauwsu sudah melangkah lagi menyusuri lorong jalan itu, dan dia sampai di pintu kota sebelah barat.

Disekitar tempat itu sepi sekali, hanya beberapa orang penjaga pintu kota yang juga tengah duduk seenaknya pada mengantuk.

Tat Mo Cauwsu telah keluar dari kota itu, menyusuri jalan kecil berumput.

Dalam perjalanannya, dia hanya sekali2 bertemu dengan orang yang ingin menuju ke kota tersebut. Tetapi Tat Mo Cauwsu  kurang  begitu  memperhatikannya,  sebab  pendeta ini tengah berpikir keras untuk mencari jejak dari Koko Timo, jago dari Persia itu.

Tetapi waktu berpapasan dengan seseorang lagi, yang jalannya dengan kepala tertunduk, Tat Mo Cauwsu tersenggol pundaknya, sampai tubuhnya seperti tergoncang, karena benturan yang terjadi itu merupakan benturan yang sangat kuat, seperti juga disertai dengan tenaga lwekang.

Sebagai seorang pendeta yang telah memiliki kebathinan kuat, tubuh Tat Mo Cauwsu hanya bergoyang sedikit, sedangkan kedua kakinya tetap berdiri ditempatnya tanpa berobah kedudukan kuda2 kedua kakinya.

Orang yang menyenggol Tat Mo Cauwsu itu adalah seorang laki2 berusia enam puluhan tahun, memelihara kumis yang tebal dan panjang, masih berwarna hitam, meskipun usianya telah mencapai enam puluhan tahun.

Tat Mo Cauwsu segera juga memutar tubuhnya, tangannya menyambar ke punggung orang itu dengan disertai kata2 : "Tunggu dulu sahabat. !"

Orang itu terkejut juga waktu dari arah punggungnya menyambar angin serangan yang kuat sekali sehingga punggungnya jadi sakit dan dingin.

Mengetahui cengkeraman tangan Tat Mo Cauwsu sangat kuat, orang itu tidak berani berlaku ayal, dia telah bergulingan kedepan, bersalto yaitu berjumpalitan beberapa kali, meloloskan diri dari serangan lawannya.

Waktu itu, Tat Mo Cauwsu juga terkejut. Tapi cengkeramnya berhasil mencengkeram tubuh orang itu, tetapi tubuh orang tersebut seperti licin bagaikan belut. Hal itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki semacam ilmu weduk, ilmu kebal terhadap serangan senjata tajam. Dengan sinar mata yang sangat tajam, Tat Mo  Cauwsu telah mengawasi orang itu. Sedangkan laki2 berusia enam puluh tahun itu telah mengayunkan langkahnya ingin berlari meninggalkan tempat itu. Tat Mo Cauwsu bergerak cepat sekali, dengan mengeluarkan suara seruan, ”Tunggu dulu sahabat, mari kita bicara dulu secara baik2. !"

Sabar sekali seruan Tat Mo Cauwsu, tetapi justru sambil berseru segera kedua tangannya telah bekerja, dia mempergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram tulang pipe dipundak lawannya, sedangkan tangannya yang kiri telah meluncur akan menotok jalan darah Lu hie hiat lawannya.

Serangannya itu sangat cepat sekali, kalau sampai lawannya terkena cengkeraman tangan kanan Tat Mo Cauwsu, berarti dia akan cacad seumur hidupnya....atau jika memang totokan jari tangan Tat Mo Cauwsu berhasil menotok tepat jalan darah Lu hie hiatnya, maka separoh tubuhnya akan mati serta lumpuh

..dan orang itu rupanya menyadari bahaya yang tengah mengancamnya itu, maka dengan tidak berpikir panjang lagi dia kembali bergulingan untuk menjauhi diri dari Tat Mo Cauwsu.

Tetapi belum dia sempat berdiri, Tat Mo Cauwsu tahu2 sudah berada dihadapannya dan berdiri tegak sambil memperhatikannya dengan sinar mata yang sangat tajam sekali.

Laki2 berusia enam puluh tahun itu telah berdiri dengan sikap.

”Mengapa. mengapa kau menyerang aku ? Apakah disiang

hari seperti ini engkau hendak merampok? Tidak takutkah kau akan ancaman hukuman jika perbuatan ini kulaporkan kepada Tiekwan ?"

Ditegur begitu, Tat Mo Cauwsu tertawa tawar, kemudian katanya, ”Baiklah, jika engkau ingin melaporkan kepada Tiekwan,  silahkan  !  Tetapi  sekarang  ini,  sebelum  engkau menjelaskan apa maksudmu menyenggol pundak Siauwceng dengan kerahkan tenaga dalam, dan juga ingin merubuhkan Siauwceng dengan kekuatan murnimu itu, jangan harap engkau bisa meloloskan diri dari tanganku."

Muka orang itu jadi berobah pucat, walaupun bagaimana memang dia telah mendengar sebelumnya bahwa Tat Mo Cauwsu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Dia pun menyadari bahwa pendeta dari India ini bukan lawan yang empuk, tetapi kini dia telah berada ditangan si pendeta.

Jika tadi orang tersebut sengaja menyenggolkan bahunya kepada pundak Tat Mo Cauwsu, karena dia bermaksud untuk mencoba kekuatan si pendeta dari India, yang selama ini namanya telah sangat terkenal.

Begitu dia membentur, tadipun dia telah merasakan kesakitan pada bahunya, karena bahunya itu seperti juga menyenggol sebatang besi yang keras sekali.

Dan kini, diapun tampaknya tidak bisa meloloskan diri dari lawannya.

Tat Mo Cauwsu melihat orang itu berdiam diri ragu2, maka pendeta ini telah bertanya dengan sabar : "Hemmm, apakah engkau tidak ingin bicara secara jujur, sehingga menghendaki aku mempergunakan kekerasan. ?"

Ditegur begitu, orang yang berusia enam puluhan tahun itu, jadi gentar juga.

Dia telah melihatnya, kepandaian Tat Mo Cauwsu berada diatas kepandaiannya sendiri, jika memang Tat Mo Cauwsu melancarkan serangan yang sungguh2 niscaya dia akan binasa.

”Aku. aku tadi tanpa sengaja telah menyenggol bahumu,"

kata orang tersebut berusaha mengalihkan persoalan. "Dan maafkanlah, sungguh aku tidak sengaja menyenggol pundakmu itu. !” Mendengar perkataan orang tersebut, dan melihat wajahnya yang licik, Tat Mo Cauwsu merangkapkan tangannya, kembali dia berkata : ”Siancai ! Siancai ! Tampaknya memang engkau sulit diajak bicara secara baik ! Jika siecu (anda) tidak bersedia untuk bicara dengan baik, maka Siauwceng akan mempergunakan kekerasan."

Dan setelah berkata begitu, Tat Mo Cauwsu menggerakkan tangan kirinya, dia mempergunakan dua bagian dari tenaga dalamnya, namun kesudahannya justru membuat orang berusia enampuluhan tahun itu terhuyung mundur kejengkang diatas tanah. Itulah membuktikan kepandaian Tat Mo Cauwsu memang luar biasa sekali.

Bahkan lelaki berusia enam puluhan tahun itu bukan hanya rubuh terjungkel saja, karena dia telah menjerit kesakitan, lalu dia merangkak berdiri, tetapi tubuhnya masih sempoyongan, dan mukanya juga jadi pucat pias.

Tat Mo Cauwsu berkata lagi dengan suara yang tawar : ”Berikanlah kepada Siauwceng keterangan yang sesungguhnya, setelah itu Siauwceng akan membiarkan Siecu angkat kaki..."

Hati lelaki tua itu jadi tergoncang, dia berada dalam keraguan.

”Siapa nama siecu ?" tanya Tat Mo Cauwsu, waktu dia melihat orang itu berdiam diri saja.

”Aku Bong dan bernama Lap Hin," menyahuti orang tersebut.

”Siapa yang perintahkan kau untuk mencari urusan dengan Siauwceng ?" tanya Tat Mo Cauwsu lagi.

”Aku.....aku tidak sengaja menyenggol bahu Taisu....sungguh aku tidak sengaja..!” menyahuti orang she Bong    itu    dengan    suara    berusaha    meyakinkan    bahwa senggolannya tadi hanyalah merupakan senggolan tanpa disengaja.

”Hemm    !" mendengus si pendeta dari India itu, sikapnya

tetap sabar. ”Baiklah! Jika memang Siecu tetap bersikap keras tidak ingin mengakui apa yang sesungguhnya, Siauw ceng juga tidak bisa memaksanya.    maka dari itu, pergilah !!"  kemudian

dengan perlahan Tat Mo Cauwsu mengebutkan lengan jubahnya, tepat disaat itu juga tubuh orang she Bong tersebut telah terpental keras sekali.

Tubuh Bong Lap Hin bergulingan diatas tanah, dia merasakan dadanya seperti melesak dan ada beberapa tulang ditubuhnya bagaikan patah.

Tetapi dia bandel sekali, dia berusaha merangkak untuk berdiri, karena ia mengetahui Tat Mo Cauwsu tidak mungkin menarik perkataannya tadi, yaitu membebaskan dia. Secepatnya Bong Lap Hin bermaksud melarikan diri.

Disaat orang itu ingin berlalu, Tat Mo Cauwsu telah berkata

: "Ingatlah baik2 olehmu, jalan darah Tu liang hiat dan Tat cie hiatmu telah kuserang hancur ! Jika dalam tiga hari engkau tidak memperoleh obat yang tepat, maka jiwamu terancam kematian, atau juga akan bercacad seumur hidup. !"

Sabar sudah Tat Mo Cauwsu, seperti juga urusan yang menyangkut masalah jiwa dipandang ringan.

Muka Bong Lap Hin jadi berobah seketika itu juga, menjadi pucat pias.

”Apa.... apa yang Taisu bilang ?” tanyanya dengan suara terkejut dan tubuh gemetar.

”Coba kau tarik napas dalam2, salurkan lwekangmu ke jalan darah Tan Tian Hiat, nanti engkau akan mengetahuinya apa yang telah terjadi ditubuhmu. !" Bong Lap Hin menuruti petunjuk yang diberikan oleh Tat Mo Cauwsu, dia menghirup udara dalam2, kemudian menyalurkannya ke jalan darah Tan Tian Hiat, seketika itu juga dia merasakan betapa jalan darah Tu Liang Hiat dan Tat-ciehiatnya itu gatal2 bercampur sedikit perasaan sakit !

Muka Bong Lap Hin jadi pucat seperti kapur tembok, tahu2 ia telah menekuk kedua kakinya berlutut dihadapan Tat Mo Cauwsu sambil menangis.

”Taisu....ampunilah jiwaku... memang aku bermaksud buruk kepada Taisu, tetapi semua itu diperintahkan oleh seseorang, aku hanya menerima upah saja....!” sesambatan Bong Lap Hin.

Tat Mo Cauwsu tersenyum sabar, dia telah berkata: ”Bagus! Bagus! Engkau rupanya masih sayang pada jiwamu, siecu! Aku akan memberikan obat yang bisa menyembuhkan luka didalam tubuhmu itu, tetapi engkau harus menjelaskan dulu apa sesungguhnya yang menyebabkan engkau mau menerima permintaan seseorang untuk mencari urusan dengan Siauw ceng??"

Tampak Bong Lap Hin ragu2, tetapi kemudian dia berkata juga: ”Sebetulnya ... sebetulnya orang yang memerintahkan aku untuk mencelakai Taisu adalah...... adalah Tan. Akhhh !"

Baru saja Bong Lap Hin berkata sampai perkataan 'adalah Tan....', dia sudah mengeluarkan suara jeritan yang sangat nyaring sekali, karena dipunggungnya telah  menancap sebatang pisau yang menembusi jantungnya, tubuhnya seketika berkelejatan sebentar, lalu diam. Bong Lap Hin telah putus napasnya dengan sepasang mata yang mendelik lebar.

Tat Mo Cauwsu juga jadi terkejut, dia cepat2 membungkuk untuk memeriksa keadaan Bong Lap Hin. Dia melihat orang she Bong itu telah putus napasnya, maka dia menghela napas dalam2. Senjata rahasia itu berbentuk sebilah pedang pendek, yang diberi racun, karena dari luka itu mengalir keluar darah kental yang ke-hitam2an.... mungkin racun yang dipergunakan merupakan racun yang dapat bekerja cepat, disamping itu mengenai sasaran yang tepat, yaitu jurusan jantung, maka telah membuat Bong Lap Hin seketika menghembuskan napasnya tanpa bisa ditolong lagi.

Sambil menghela napas, Tat Mo Cauwsu telah berdiri, dia mengawasi kearah sekelilingnya, tetapi tidak ada seorangpun disekitar tempat itu. Tadi Tat Mo Cauwsu sempat melihat menyambarnya pedang itu dari arah belakang sebatang pohon yang sangat besar. Tetapi Tat Mo Cauwsu tidak keburu untuk menolong orang she Bong itu dari kematiannya.

Tat Mo Cauwsu juga sempat melihat sesosok bayangan yang melompat berlari dari balik batang pohon itu, tetapi Tat Mo Cauwsu tidak ingin mengejarnya, sebab dia ingin menolongi terlebih dulu korban serangan gelap itu, yaitu Bong Lap Hin.

Setelah menghela napas sekali lagi, Tat Mo Cauwsu lalu menggali tanah, dia mengubur jenasah Bong Lap Hin.

”Bong Siecu, kasihan engkau menjadi korban dari keganasan seseorang... tenanglah engkau diduniamu yang  baru. !"

Kemudian Tat Mo Cauwsu telah membacakan beberapa manteranya.

Dengan langkah yang per-lahan2 Tat Mo Cauwsu telah melanjutkan perjalanannya lagi.

Dia mengetahui dari Bong Lap Hin, bahwa orang yang memusuhinya itu adalah orang she Tan. Siapakah orang she Tan itu ? Apa maksudnya memusuhi dirinya ? ber-macam2 pertanyaan timbul dibenak Tat Mo Cauwsu. Saat itu hari sudah mendekati sore, dan udara mulai dingin serta langitpun mulai gelap, dimana diufuk barat sisa cahaya matahari itu tampaknya memerah indah sekali.

”Akh, manusia didunia ini selalu harus terlibat dalam suatu pergolakan untuk kelanjutan hidupnya ! Seperti aku yang telah mensucikan diri, akhirnya harus melibatkan diri pula dalam kancah2 yang terjadi didaratan Tionggoan! Tetapi tugas mulia seperti ini walaupun harus menghadapi peristiwa yang paling mengerikan sekalipun, harus dihadapinya dengan tabah.. ! Siancai ! Siancai !" setelah berkata begitu Tat Mo Cauwsu memuji kebesaran Sang Buddha, dia juga menghela napas beberapa kali.

Gunal Sing atau yang dikenal oleh jago didaratan Tionggoan dengan nama Tat Mo Cauwsu telah melanjutkan perjalanannya. Tekadnya untuk mencari Koko Timo semakin besar saja, dia berusaha untuk membekuk Koko Timo, dan membinasakannya, jika memang iblis itu sama sekali  tidak mau juga tersadar dari perbuatannya yang sesat.

Setelah melakukan perjalanan beberapa lie lagi, maka Tat Mo Cauwsu telah sampai dikampung Liu-in-cung, sebagai perkampungan yang tidak begitu besar.

Tat Mo Cauwsu mencari rumah penginapan dikampung itu, dan dia memperoleh kenyataan bahwa dirumah penginapan dikampung tersebut hanya satu, lagi pula keadaannya tidak bersih dan jorok sekali.

Pengunjung rumah penginapan inipun sedikit sekali, saat  itu yang menginap dirumah penginapan tersebut hanya satu orang, masih terdapat tujuh kamar kosong.

Tat Mo Cauwsu memperoleh kamar yang paling ujung, yang letaknya dibelakang rumah penginapan itu. Karena agak letih melakukan perjalanan setengah harian, Tat Mo Cauwsu telah menaruh pauwhok (buntalan)nya di meja, lalu dia meminta kepada pelayan untuk mempersiapkan air mencuci muka.

Setelah selesai bersalin, Tat Mo Cauwsu keluar dari kamarnya, dia menghampiri ruangan untuk makan dan memesan beberapa macam sayur tanpa daging.

Dengan segera pesanan Tat Mo Cauwsu telah dipersiapkan dan pendeta ini meminta tambahan nasi. Waktu itu dikala pelayan tengah menyediakan semangkok nasi pula, mata Tat Mo Cauwsu yang tajam dan jeli telah melihat seseorang melangkah masuk kedalam rumah penginapan yang merangkap sebagai rumah makan juga. Namun waktu orang itu baru saja melangkahkan kakinya diambang pintu, dia telah melihat Tat Mo Cauwsu. Tampaknya orang tersebut jadi terkejut dan mukanya juga berobah pucat, cepat2 dia memutar tubuhnya untuk berlalu batal memasuki rumah makan tersebut. Dialah seorang pemuda yang mungkin baru berusia dua puluh lima tahun.

Walaupun Tat Mo Cauwsu mengetahui bahwa pemuda itu mengandung maksud tidak baik terhadapnya, tetapi pendeta ini tidak mengejarnya, dia meneruskan santapannya.

Setelah membayar harga makanan itu Tat Mo Cauwsu kembali kekamarnya.

”Hemm, sikap pemuda tadi sangat mencurigakan sekali....

kukira malam ini akan terjadi sesuatu....!" pikir Tat Mo Cauwsu.

Pendeta dari India tersebut telah naik ke pembaringannya, dia duduk bersemadhi. Pendeta inipun kemudian membaca Liam Keng, yaitu ayat2 suci ajaran Sang Buddha. Menjelang sampai kentongan kedua ditengah malam, Tat Mo Cauwsu masih juga duduk bersemadhi, seperti tengah menantikan sesuatu. Karena lwekangnya telah tinggi dan mencapai taraf yang sempurna, pendeta ini dapat tidak tidur, dan hanya bersemadhi beberapa jam sudah bisa memulihkan kesehatan tubuhnya.

Tiba2 pendengaran Tat Mo Cauwsu yang sangat tajam telah mendengar suara sesuatu diatas genting, suara yang sangat ringan sekali, bagaikan jatuhnya sehelai daun kering di atas genting.

Tentu saja, suara itu menunjukkan ada 'tamu' malam yang berkunjung.

”Ginkangnya cukup baik, walaupun dia masih memperdengarkan suara yang sangat perlahan itu pada langkah kakinya namun hal itu telah membuktikan bahwa tamu ini bukan lawan yang ringan."

Sambil berpikir begitu, Tat Mo Cauwsu tetap duduk bersemedhi tidak bergerak dari tempat duduknya. Dia berdiam diri saja, hanya telinga yang dipasang benar2.

Tidak lama kemudian, terdengar kembali suara kaki yang perlahan diatas genting.

”Ssttt....!" terdengar suara yang perlahan, rupanya orang yang pertama telah memberi isyarat kepada kawannya yang baru datang, agar tidak menimbulkan suara berisik.

Be-runtun2 telah terdengar tiga kali lagi suara langkah kaki hinggap diatas genting.

”Mereka berjumlah lima orang....” pikir Tat Mo Cauwsu setelah sekian lama tidak mendengar suara langkah kaki lainnya. "Apa maksud mereka dan siapa mereka ?"

Walaupun hatinya ber-tanya2, tetapi Tat Mo Cauwsu tetap meneruskan semadhinya. Waktu itu terdengar salah seorang diantara kelima 'tamu' yang tidak diundang itu telah berkata dengan suara yang perlahan sekali, hampir tidak terdengar : ”Dia sedang bersemadhi.... Toako, apakah kita terjang saja kedalam ? Atau kita memancing dia keluar dari kamarnya ?"

”Biarlah, kita lihat dulu, bagaimana akan dilakukannya ! Sesungguhnya, melihat keadaan seperti ini, kepandaian pendeta India ini kurang begitu baik dan tidak setinggi apa yang dibicarakan oleh orang2 rimba persilatan.....buktinya saja kedatangan kita berlima tidak diketahui olehnya. "

”Siapakah tuan2 yang malam gelap pekat ini datang berkunjung untuk menjengukku ?" tanya Tat Mo Cauwsu tiba2 dengan suara yang tawar dan sabar. ”Silahkan kalian masuk dari pintu saja, Siauwceng akan menerima dan menyambut kalian dengan hati yang senang. "

Kelima orang yang berada diatas genting itu jadi terkejut, mereka sejenak tertegun.

Semula mereka menduga Tat Mo Caswsu tidak mengetahui kedatangan mereka, tetapi justru mereka baru tahu, bahwa Tat Mo Cauwsu telah mengetahui kehadiran mereka.

Setelah berhasil menenangkan goncangan hatinya, orang yang dipanggil Toako itu, telah berkata dengan suara yang mengejek: "Pendeta busuk, keluarlah untuk menerima hukumanmu !"

Suara itu keras sekali, terdengarnya sangat lantang, tetapi Tat Mo Cauwsu menghadapinya dengan tenang sekali, dia menyahuti dengan suara yang sabar : "Kalian berlima datang berkunjung untuk bertemu dengan Siauwceng, mengapa harus Siauwceng yang keluar menemui kalian ?"

Kembali kelima orang yang berada diatas genting jadi terkejut,   disamping   itu   mereka   juga   kagum   sekali   atas ketajaman pendengaran pendeta itu. Karena tanpa melihat, Tat Mo Cauwsu telah berhasil menyebutkan jumlah ''tamu" tidak diundang itu.

”Tat Mo Cauwsu, kami Ngo Liong Tang Hay datang untuk mengadakan suatu perhitungan. !" seru si Toako dengan nada

yang meninggi menunjukkan kegusarannya. "Keluarlah, mari kita bicara diluar. "

Dan selesai berkata, terdengar kelima orang 'tamu' tidak diundang itu telah melompat turun saling susul.

Tat Mo Cauwsu juga telah turun dari pembaringannya, dengan sikap yang tenang sekali, dia melangkah ke pintu, membukanya dengan sabar. Sama sekali pendeta ini tidak memperlihatkan perasaan jeri atau takut.

Begitu Tat Mo Cauwsu membuka pintu kamarnya dan melangkah ke belakang rumah penginapan itu, dilihatnya dipekarangan rumah penginapan itu telah berdiri lima orang yang bentuk tubuhnya tidak rata, ada yang pendek ada yang jangkung dan juga ada yang sedengan tubuhnya.

Kelima orang itu yang menyatakan gelaran mereka sebagai Ngo Liong Tang Hay, atau Lima Naga dari lautan Tang Hay, telah memandang Tat Mo Cauwsu dengan muka yang mengerikan dan wajah yang bengis. Hampir berbareng mereka pun berkata: "Mari kita memperhitungkan sakit hati dari Liokte (adik keenam) kami yang telah binasa ditanganmu..!”

Setelah berkata begitu kelima orang tersebut, yaitu Ngo Liong Tang Hay telah melompat lincah sekali, mengurung Tat Mo Cauwsu di-tengah2.

Tetapi Tat Mo Cauwsu tidak gentar sedikitpun juga, dia telah memandang satu persatu wajah kelima Naga lautan Tang Hay itu. Tanyanya kemudian dengan sabar : ”Apa maksud kalian  yang  sebenarnya?  Liok-te  kalian  yang  bernama  Wu Sung Cie memang mati wajar, dia sangat jahat dan melakukan banyak sekali pekerjaan2 yang tidak terpuji ! Sebagai penjahat apa perlunya disayangkan kematiannya ? Bukankah diapun telah berusaha mempergunakan kepandaiannya sebelum binasa ditangan Siauwceng? Siauwceng pun bukan membunuhnya dengan mempergunakan akal licik atau tipu serangan menggelap ? Maka Siauwceng anggap, tidak perlu kalian mengusut dan mengurusi persoalan itu pula, karena tidak ada artinya! Sekarang kalian ingin memanjangkan urusan, Siauwceng memang tidak kuatir kepada kalian, tidak mungkin kalian bisa memenangkan Siauwceng dan juga tidak mungkin kalian bisa membinasakan diri Siauwceng, karena kepandaian kalian belum cukup sempurna! Lebih baik kalian hidup mengasingkan diri untuk melatih ilmu silatmu, agar lebih sempurna, dan hidup secara baik2 sebagaimana layaknya. !"

Mendengar perkataan Tat Mo Cauwsu tampaknya kelima tamu tidak diundang itu jadi marah bukan main, mereka berseru dengan suara yang hampir bersamaan.

”Engkau tidak perlu menasehatiku !" kata si Toako dengan suara yang nyaring, menindih suara kawan2nya yang lain, dan dia juga telah mengawasi Tat Mo Cauwsu dengan sorot mata yang sangat tajam sekali.

Waktu itu Tat Mo Cauwsu telah berkata lagi, "Siancai ! Siancai ! Siauwceng hanya ingin menyadarkan kalian, memberikan bimbingan atas belas kasih dan sayang Sang Buddha, maka jika kalian memang tidak mengacuhkan mengapa pula Siauwceng harus terlalu bersikeras memaksa kalian agar hidup layak? Bukankah itupun tidak pantas, setiap manusia tentu berhak dan bisa menentukan hidupnya sendiri."

Muka si Toako lelaki yang memelihara jenggot brewokan itu, berobah merah padam, dialah seorang laki2 berusia diantara lima puluh tahun, usianya itu lebih muda dan keadaan wajahnya  yang  tampak  menyeramkan.  Dilihat  dari  keadaan tubuhnya, mungkin dia seorang akhli Gwa-khe (tenaga luar). Dengan sikap yang berang mengandung kemarahan, tampak si Toako itu telah berkata : ”Sekarang yang terpenting kita tidak perlu banyak bicara, kita harus mengadakan perhitungan dulu...!" lalu si Toako mengebutkan lengan baju kanannya untuk memberi isyarat kepada kawan2nya. Dan gerakan isyarat itu telah diikuti oleh kawan2nya yang melompat mengurung Tat Mo Cauwsu lebih dekat. Mereka juga telah mencabut senjatanya masing2, yaitu sebatang pedang. Dengan bersenjata pedang mereka memang bukan lawan yang ringan. Si Toako yang telah mencabut pedangnya, dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, dia melancarkan tikaman pembukaan kepada Tat Mo Cauwsu.

Tetapi pendeta dari India ini berdiri tenang ditempatnya, sama sekali dia tidak berusaha mengelakkan diri dari serangan lawannya itu.

”Hati2 siecu, Siauwceng Gunal Sing sesungguhnya tidak ingin memiliki musuh, karena Siauwceng menghendaki persahabatan dan persaudaraan..." sabar suara si pendeta. Dan waktu itu serangan si Toako telah sampai dekat sekali didada pendeta itu.

Dalam keadaan seperti ini, dengan gerakan yang sulit diikuti oleh pandangan mata, tampak Tat Mo Cauwsu menggeser kaki kirinya, dia telah merobah kedudukan tubuhnya sambil mengangkat tangan kanannya, dia telah berhasil mengelakkan diri dari serangan mata pedang lawannya, yang menyambar lewat disisi ketiak tangannya.

Dan disaat itu dengan cepat Tat Mo Cauwsu telah menurunkan tangannya, menjepit pedang itu dengan mempergunakan ketiaknya.

Si Toako jadi terkejut sekali, mukanya juga berubah menjadi merah padam. Dia telah berkata dengan suara marah : "Cepat lepaskan pedangku. Kau bersikap jantan sedikit, jangan hanya bisa main bicara dan menjepit ini !"

Itulah ejekan untuk Tat Mo Cauwsu, tetapi pendeta dari India ini justru sangat sabar dan tenang, dia hanya berkata : ”Kau teriaklah sendiri...!”

Dan belum lagi kata-katanya itu habis diucapkan tiba2 keempat kawannya si Toako telah menerjang maju melancarkan serangan kepada Tat mo Cauwsu dengan berbagai gerakan, ada yang menikam ada pula yang menebas. Gerakan2 yang dilakukan oleh mereka merupakan yang bisa mematikan, karena justru mereka mengincer bagian-bagian yang sangat berbahaya ditubuh si pendeta India.

Tat Mo Cauwsu telah memperdengarkan suara tertawa yang perlahan dan sabar, katanya, "Kalian benar2 terlalu mendesak Siauw ceng !"

Dan sambil berkata begitu, Tat Mo Cauwsu telah melompat keatas, berjumpalitan melewati atas kepala lawan-lawannya. Pedang si Toako jadi terlepas.

"Serang terus, kita harus membinasakannya, jangan biarkan dia bisa meloloskan diri. !" kata si Toako dengan suara yang

sangat keras.

Mereka berlima, Ngo Tang Hay merupakan tokoh2 persilatan yang menjagoi selama puluhan tahun disekitar lautan Tang Hay. Mereka lebih mirip hidup sebagai bajak laut. Dulu mereka terkenal sebagai Liok Liong Tang Hay, tetapi beberapa tahun yang lalu adik angkat mereka yang keenam, yaitu Wu Sung Cie telah binasa ditangan Tat Mo Cauwsu, maka seterusnya mereka memakai gelaran sebagai Ngo Liong Tang Hay.

Si Toako bernama Lim Cung Liang. Jite (adik kedua) dari Ngo  Liong  Tang  Hay  itu  bernama  Tang  Pao  Liang,  Samte (adik ketiga) bernama Yu Hui An. Siete (adik keempat) kelompok Ngo Liong Tang Hay ini bernama Ho Sui In, dan Ngote (adik kelima) dari Ngo Liong Tang Hay bernama Bun Tai Lui, tentu saja mereka berlima memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi sebab selama puluhan tahun mereka malang melintang dilautan Tang Hay, tidak pernah menemui tandingan.

Tetapi justru satu kali, disaat adik ke enam dari Ngo Liong Tang Hay, yang bernama Wu Sung Cie itu tengah melakukan suatu kejahatan, dia kepergok oleh Tat Mo Cauwsu yang telah memberi ganjaran cukup keras. Tapi Wu Sung Cie terlalu keras kepala, dia pantang menyerah dan telah mengadakan perlawanan kepada pendeta India itu dengan tidak memikirkan keselamatan dirinya. Maka dari itu tidak mengherankan dalam waktu yang singkat hanya empat jurus saja, Tat Mo Cauwsu kesalahan tangan telah memukulnya tepat dikepala, sehingga kepalanya itu pecah dan remuk..

Saat itu Tang Pao Liang ber-sama2 dengan keempat saudara angkatnya telah melompat dan menggerakkan pedang mereka masing2 untuk melakukan tikaman dari berbagai jurusan kearah tubuh pendeta dari India itu.

Tat Mo Cauwsu tercekat juga hatinya, karena dia melihat kepandaian kelima orang lawannya ini jauh lebih liehay dibandingkan dengan Wu Sung Cie, terlebih lagi sekarang Ngo Liong Tang Hay itu berlima, maka setiap serangannya jauh lebih hebat dibandingkan dengan kepandaian Wu Sung Cie.

Yang membuat Tat Mo Cauwsu berlaku lebih hati2 lagi, karena dia melihat kekompakan kelima orang Ngo Liong Tang Hay itu, yang dapat bekerja sama dengan baik. Jika yang seorang tengah terdesak oleh Tat Mo Cauwsu, maka keempat orang yang lainnya melancarkan serangan serentak. Tentu saja keadaan demikian membuat Tat Mo Cauwsu harus mengeluarkan kepandaiannya juga. Jika semula dia meremehkan kelima Ngo Liong Tang Hay, mengingat Wu Sung Cie dapat dirubuhkannya dengan mudah, sekarang justru tampak Tat Mo Cauwsu telah mengeluarkan ilmu Cap-sah Lo Han Kun (Delapan belas arhad). Tubuhnya ber-gerak2 dengan tindakan kaki yang mantap, setiap lengan jubahnya dikebutkan juga membawa samberan angin yang men-deru2 keras sekali.

Lawan2 Tat Mo Cauwsu jadi sangat terkejut waktu melihat bahwa Tat Mo Cauwsu bukan saja dapat menghindarkan diri dari serangan serentak mereka, juga telah berhasil balas menyerang dengan dahsyat luar biasa.

Tetapi Lim Cung Liang, si Toako, telah mengeluarkan  suara bentakan keras, dan merobah cara bertempurnya. Jika tadi dia melancarkan serangan dengan pedangnya yang menikam, maka kini dia menyerang dengan pedang yang diputar ber-gulung2 bagaikan pelangi berkilauan.

Sedangkan Tang Pao Liang, si Jiete, telah menggerakkan pedangnya dengan cepat sekali, dia memusatkan seluruh kekuatan tenaga lwekang ke telapak tangannya, lalu disalurkan ke pedangnya !

Serangan dari kedua Ngo Liong Tang Hay ini memang mempengaruhi gerakan Tat Mo Cauwsu, karena pendeta itu harus berulang kali berkelit kekiri dan kekanan, mengelakkan diri dari lingkaran sepasang pedang itu.

Serangan Yu Hui An, si Samte, dan Ho Sui In, si Siete, telah melancarkan serangan juga dengan cara yang me-lingkar2 seperti itu. Hanya adik kelima dari Ngo Liong Tang Hay, yaitu Bun Tai Lui, yang tidak memutar melingkar pedangnya, dia hanya menikam. Tetapi walaupun hanya menikam, justru tenaga pokok dalam kelompok Ngo Liong Tang Hay dengan ilmu  pedang  me-lingkar2  itu  berada  ditangan  si  adik  yang kelima ini, karena Bun Tai Lui memegang peranan terpenting. Keempat saudaranya hanya mengaburkan perhatian dan pandangan mata dari lawan, sedangkan Bun Tai Lui yang melancarkan tikaman2 di tempat2 yang lowong.

Tat Mo Cauwsu berseru : "Sianca i! Siancai !" dia kagum sekali kepada kepandaian kelima orang ini, yang tentu tidak mudah dilatih dalam waktu yang singkat, sebab kekompakan mereka tampak jelas sekali. "Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi dipergunakan oleh manusia2 jahat seperti mereka.     jika bisa dimiliki oleh orang yang berbudi luhur dan

memiliki tanggung jawab, tentu kepandaian ini besar artinya.....

untuk keadilan dalam memberantas kebathilan. !"

Karena berpikir begitu, dan juga kelima orang lawannya telah mengepung dirinya rapat, Tat Mo Cauwsu juga tidak bisa terlalu lama berpikir. Dengan cepat, dari gerakan Cap-Peh Lo Han Kun, dia telah merobah kedua tangannya yang digetarkan seperti pendeta ini tengah bersujud dihadapan Sang Buddha. Hanya saja kedua tangannya itu yang telapak tangannya dirangkapkan, telah bergetar keras sekali.

Melihat cara Tat Mo Cauwsu yang agak luar biasa ini, kelima orang lawannya telah tertegun sejenak, dan mereka mengawasi apa yang akan dilakukan olah Tat Mo Cauwsu, karena mereka masih men-duga2 entah ilmu apa yang ingin dipergunakan oleh Tak Mo Cauwsu.

Tetapi Tat Mo tidak memperdulikan sikap kelima orang lawannya itu, dia telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring sekali, tahu2 sepasang tangannya telah ditentangkan dan dibulatkan.

Begitu tangan Tat Mo Cauwsu dikebutkan, dari telapak tangannya menyambar angin yang dahsyat sekali sekaligus kepada kelima lawannya, kekuatan tenaga serangan dari Tat Mo Cauwsu itu seperti juga runtuhnya gunung. Tentu saja kelima orang Ngo Liong Tang Hay jadi kaget bukan main. Mereka mengerahkan tenaga lwekang mereka untuk menangkis dengan pedang masing2, tetapi tenaga serangan yang menyambar itu terlalu dahsyat. Tanpa bisa mereka kuasai lagi, tubuh mereka telah terpelanting keras bergulingan diatas tanah!

Waktu kelima Ngo Liong Tang Hay itu berusaha merangkak untuk berdiri, mereka masing2 telah memuntahkan darah segar, ada yang dua kali, ada yang tiga kali memuntahkan cairan merah yang mengerikan.

”Omitohud !” memuji Tat Mo Cauwsu dengan suara yang perlahan, seperti mengandung penyesalan. ”Terpaksa Siauwceng menggunakan tangan keras kepada kalian, karena tampaknya kalian sulit disadarkan dengan kata2 sang Budha saja. "

Muka kelima orang jago Ngo Liong Tang Hay itu merah padam, tampaknya mereka sangat gusar sekali.

Tat Mo Cauwsu telah berkata lagi : ”Pergilah... kali ini Siauwceng hanya mempergunakan lima bagian dari tenaga mujijat api Yang-kang (yang kemudian setelah didirikan kuil Siauw Lim Sie oleh Tat Mo Cauwsu, jurus Yang-kang itu diberi nama Kiu Yang Cin Khe) .... tetapi jika memang kelak kalian bertemu dengan Siauwceng dan masih juga belum sadar akan kejahatan2 yang diperbuat oleh kalian, hemmm, hemm, Siancai ! Disaat itu Siauwceng tidak bisa bertangan ringan lagi, tentu kalian akan dibereskan, untuk menghindarkan umum dari malapetaka tangan jahatmu."

Dan setelah berkata begitu Tat Mo Cauwsu telah memutar tubuhnya, dengan langkah kaki yang tenang tampak pendeta dari India tersebut telah melompati dinding dan kembali ke kamarnya, merebahkan diri dan tidur nyenyak. Ngo Liong Tang Hay melihat kenyataan ilmu yang dimiliki Tat Mo Cauwsu, baru sekarang mengakui bahwa pendeta dari India itu sangat liehay dan sulit sekali untuk menandingi kepandaian pendeta India itu. Sedangkan Tat Mo Cauwsu tadi hanya mempergunakan lima bagian dari tenaga Yang-kangnya, coba jika pendeta itu berhati kejam, dan melancarkan serangan dengan delapan bagian tenaga Yang-kangnya itu, niscaya akan menyebabkan tubuh Ngo Liong Tang Hay akan tergempur hancur ber-keping2.

Dengan tubuh lesu, Ngo Liong Tang Hay telah meninggalkan pekarangan rumah penginapan itu, karena mereka menyadari, sampai nantipun walaupun mereka melatih diri sekuat mungkin, tidak bisa mereka mengharapkan kemenangan untuk menundukkan pendeta India itu. Kepandaian yang dimiliki Tat Mo Cauwsu memang merupakan kepandaian mujijat yang jarang sekali dimiliki jago2 lainnya didaratan Tionggoan.

Keesokan paginya Tat Mo Cauwsu terbangun dari tidurnya dengan tubuh yang segar. Pendeta itu telah bersembahyang membaca Liamkeng beberapa saat lamanya, kemudian baru keluar dari kamarnya untuk perintahkan pelayan mempersiapkan santapan paginya dengan sayur2an saja tanpa daging.

Selesai bersantap, Tat Mo Cauwsu keluar dari rumah penginapan itu, dia memandang sekitar tempat tersebut, cukup ramai orang yang berlalu lalang. Memang Tat Mo Cauwsu bermaksud untuk bermalam dua atau tiga malam dirumah penginapan ini, untuk me-lihat2 keadaan disekitar tempat tersebut. Sesungguhnya, Tat Mo Cauwsu datang kedaratan Tionggoan untuk menyebar luaskan agama Buddha.

Dan dengan demikian, selama berkelana didaratan Tionggoan, pendeta dari India ini pun telah melihat lihat daerah mana yang baik untuk mendirikan kuil, guna dijadikan pusat penyebaran agama Buddhanya.

Sebegitu jauh Tat Mo Cauwsu masih juga belum menemui tempat yang cocok dengan apa yang diharapkannya.

Setelah memandang sekitar tempat itu beberapa saat lamanya, Tat Mo Cauwsu telah melangkah per-lahan2, dia berjalan sambil menikmati keindahan di kampung itu.

Walaupun saat itu dia berada disebuah kampung tidak begitu besar, namun Tat Mo Cauwsu melihat keindahan alam yang sejati, kehidupan dan para penduduk kampung yang tampaknya rukun dan ramah, dia mengakuinya, penghidupan dikampung dengan di kota memang berbeda sekali. Manusiamanusia yang berada dikota kota besar umumnya memiliki penghidupan yang agak berada dengan penghidupan dikampung kampung kecil. Dimana mana manusia yang kebetulan hidup dikota terutama sekali dikota besar maka mereka menjadi seorang yang terlalu masa bodoh terhadap sekitarnya dan juga selalu di-kejar2 oleh kebutuhan untuk memuasi lahiriah mereka belaka dimana uang dan kekayaan memegang peranan, dengan cara apa saja mereka mengejar kekayaan, dan merekapun menghalalkan yang diharamkan.

Tetapi bagi penduduk di kampung2, terutama sekali di kampung yang kecil dan berpenduduk sedikit sekali, kehidupan dan penghidupan manusia2 dikampung lebih tenteram, lebih tenang dan rukun, karena mereka umumnya memang lebih bisa menyelami perasaan diantara sesamanya. Pengejaran untuk kekayaanpun hampir sama sekali tidak ada, karena umumnya mereka telah puas dengan yang diperolehnya, yang telah diperiksa oleh Thian, maka dari itu mereka tidak diperbudak oleh berbagai cara untuk mengejar harta dan kekayaan.

Tat Mo Cauwsu menghela napas waktu berpikir sampai disitu,   betapapun   memang   pendeta   ini   selama   berkelana didaratan Tionggoan, dia telah melihatnya perbedaan yang menyolok seperti itu.

Waktu Tat Mo Cauwsu sedang menyusuri sebuah lorong kecil, yang jarang sekali rumah penduduknya hanya ada satu2 dan jaraknya pun terpisah cukup jauh, mata pendeta ini telab melihat sesuatu yang agak aneh. Dia melihat disebuah batu gunung yang ada disisi sebatang pohon, tampak ada guratan2 yang bentuknya seperti lukisan kepala tengkorak.

Setelah berada dekat Tat Mo Cauwsu memperhatikan dengan cermat, hatinya terkejut juga, karena justru lukisan kepala tengkorak itu dibatu merupakan ukiran yang sangat dalam dan besar2.

Tat Mo Cauwsu mengulurkan jari telunjuknya, tepat sekali ukiran itu menurut ukiran dari telunjuknya, waktu Tat Mo Cauwsu menggerakkan jari telunjuknya mengikuti jalur ukiran dibatu itu, dia segera mengetahuinya bahwa ukiran tersebut tentu telah dibuat oleh ukiran jari tangan.

Yang mengejutkan Tat Mo Cauwsu bukanlah ukiran kepala tengkorak dibatu itu, karena diapun memang bisa saja melakukan hal itu. Tetapi justru yang mengejutkannya adalah dikampung sekecil ini bisa terdapat seorang tokoh persilatan yang memiliki keakhlian lwekang begitu sempurna? Dan siapakah jago luar biasa itu? Lagi pula untuk apa dia meninggalkan ukiran kepala tengkorak dibatu tersebut? Apa yang hendak dilakukannya.

”Omitohud....!" memuji Tat Mo Cauwsu kepada kebesaran Sang Buddha. Dia telah merangkapkan tangannya didepan dadanya, untuk menenangkan hatinya, karena melihat lukisan berbentuk kepala tengkorak manusia, maka tentunya orang yang mengukir batu tersebut merupakan seorang yang cukup kejam hatinya. Diwaktu Tat Mo Cauwsu tengah memuji akan kebesaran San Buddha, disaat itulah terdengar suara seruling yang ditiup perlahan sekali, mengalun lembut luar biasa, suaranya halus dan syair dari suara seruling itu diambil dari sajak yang sangat terkenal dari pujangga Ban Tiong Gie yang berjudul "Sin Sin Po Ling". Dengan demikian, sipeniup seruling itu tentunya seorang yang sangat terpelajar sekali, jarang orang bisa membawakan sajak Sin Sin Po Ling karena sajak itu mengandung banyak sekali kata2 sulit dari persediaan, 'Seribu Kata Bahasa Tionggoan', maka jika ada sesorang yang sanggup membawakan sajak itu dari awal sampai akhir tanpa salah sehuruf pun, orang itu tentu merupakan seorang yang sangat terpelajar sekali.

Waktu itu Tat Mo Cauwsu telah memandang kearah datangnya suara seruling itu.

Terpisah kurang lebih belasan tombak, tampak mendatangi per-lahan2 seorang lelaki bertubuh agak gemuk, memakai baju panjang berwarna kuning, dengan kopiah pelajarnya yang berwarna merah sangat menyala dan agung sekali sikapnya. Usianya mungkin baru empat puluh tahun, tetapi karena dia tidak memelihara kumis dan jenggot, wajahnya jauh lebih muda dari usianya. Waktu itu dia mendatangi sambil meneruskan tiupan serulingnya dia menghampiri Tat Mo Cauwsu.

Tepat waktu jarak mereka terpisah kurang lebih dua tombak, pelajar itu telah menyelesaikan tiupan serulingnya dikata2 terakhir dari sajak Sin Po Ling.

”Bagaimana Taisu, cukup merdukah tiupan serulingku itu

?" tanya pemuda tersebut, tampaknya dia gembira sekali, mukanya cerah dan waktu dia selesai bertanya, dia telah tersenyum, sehingga tampak jelas sekali baris giginya yang putih cemerlang itu. Tat Mo Cauwsu telah berkata: ”Siancai ! Siancai ! Merdu sekali ! Tampaknya Hengtai seorang yang Bun bu Coancai (Terpelajar memiliki ilmu surat dan silat)."

Mendengar perkataan si pendeta, muka si pelajar telah berobah, sikap yang riang telah sirna, dan mukanya memperlihatkan keterkejutannya.

”Bagaimana Taisu mengetahui aku memiliki kepandaian silat dan surat ?" tanyanya kemudian sambil memandang dengan sorot mata menyelidiki.

”Ha, rupanya Hengtai tidak mau memperlihatkan bahwa engkau mengerti juga ilmu silat yang cukup tinggi disamping ilmu suratmu yang sempurna itu ...." kata Tat Mo Cauwsu sambil tertawa.

”Walaupun Hengtai menyamar dengan cara bagaimanapun juga tetapi dengan sinar mata seperti itu, tentu saja orang bisa mengenali bahwa Hengtai sebetulnya bukanlah pelajar yang sejati, karena Hengtai tentunya memiliki kepandaian yang cukup tinggi, karena sinar matamu yang tajam itu memperlihatkan bahwa engkau memiliki lwekang yang sangat tinggi....! Sinar mata itulah yang tidak bisa disembunyikan ...!"

Pelajar itu telah menggerakkan seruling ditangannya sambil tertawa lebar.

”Ternyata Taisu sangat tajam sekali pandangan matanya, sehingga baru bertemu, engkau sudah bisa mengetahui bahwa aku mengerti ilmu silat disamping menguasai ilmu surat! Bagus! Bagus! Rupanya Taisu merupakan seorang sahabat yang enak untuk diajak bicara ! Jika melihat cara berpakaian Taisu, dan keadaan wajah Taisu, tentunya Taisu bukanlah bangsa Han, setidaknya jika bukan berasal dari India, tentu Taisu merupakan pendeta dari Tibet atau Persia...!" ”Mata Hengtai (saudara) ternyata sangat tajam sekali, memang Siauwceng berasal dari India. Hanya sejak kecil Siauwceng senang mempelajari bahasa Han, karena ada paman luar Siauwceng yang berasal dari Tionggoan dan menetap di India, sehingga Siauwceng bisa menguasai sedikit bahasa Tionggoan.”

Si pelajar tertawa.

”Kita baru bertemu, tetapi kita seperti dua orang sahabat lama yang baru bertemu...! tampaknya seperti ada kecocokan diantara kita......!" kata pelajar itu lagi sambil menggerak gerakkan serulingnya yang berkilauan, ternyata seruling itu dibuat dari baja putih, mulus dan berkilauan indah sekali.

"Ya, memang Hengtai tampaknya ramah dan sopan sekali sehingga Siauwceng kagum atas sikap Hengtai yang periang..” mengangguk Tat Mo Cauwsu. "Memang mencari sahabat sejati yang sulit, karena itu kita harus berkelana dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia lainnya untuk melihat, mencari dan memperoleh sahabat sejati itu. Walaupun ada kata2 yang mengatakan, manusia dibumi ini adalah saudara2 kita namun tidak mustahil diantaranya terdapat manusia2 berwatak hina dan berpribudi rendah, mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi, dan itupun masih bagus, asal mereka tidak mencelakai sesamanya untuk kepentingan pribadinya tersebut...! Tetapi, untuk mencari lawan, mudah sekali sama seperti kita membalik telapak tangan. ” Mendengar perkataan

Tat Mo Cauwsu, si pelajar telah mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

”Tepat !" katanya setengah berseru sambil tersenyum lebar. ”Memang tepat apa yang dikatakan oleh Taisu, karena itu marilah kita mengikat tali persahabatan, agar kita kelak menjadi sahabat2. !" ”Sejak tadi, Siauwceng telah menganggap Hengtai sebagai sahabat.... begitu pula jika Siauwceng menghadapi siapa saja, Siauwceng segera menganggapnya sebagai sahabat. Jika orang yang bersangkutan menganggap Siauwceng sebagai musuh, itu adalah urusan mereka, karena justru bagi Siauwceng, mereka adalah sahabat ! Dan kalau sampai ada seseorang yang memusuhi Siauwceng, itupun urusan pribadi mereka sendiri, bukan persoalan bagi diri Siauwceng, karena Siauwceng akan tetap menganggapnya sebagai sahabat..... sedapat mungkin Siauwceng akan menyadari mereka dari segala kekeliruan yang mereka lakukan, tetapi jika mereka menolak uluran tangan kita, apa yang hendak dikata ...?"

Mendengar perkataan pendeta dari India ini yang cukup panjang, tiba2 pelajar itu telah tertawa ter-bahak2 sambil mengempit serulingnya di ketiak dan dia telah menepuk tangannya keras2.

”Bagus! Bagus ! Sejak aku dilahirkan sampai sekarang ini, baru pertama kali ini aku mendengar kata2 sebaik itu !! Nah Taisu, apakah kau bersedia mengikat tali persahabatan denganku ? Aku biasa dipanggil oleh sahabat atau lawan dengan julukan Gin Tok Siucai (Pelajar berseruling perak), namaku Cie Hok dibawah dan diatas huruf Tang. Bolehkah aku mengetahui gelaran Taisu yang harum ?”

”Apa itu harum ? Apa itu kemuliaan ? Semuanya kosong! Yang terpenting kita mengenal terlebih dulu diri kita, mengenal pribadi kita dan barulah kita bisa membuka mata, memandang sekitar kita, untuk melihat, mendapatkan dan memeliharanya....! Jika memang seseorang bisa terlepas dari rangsang dan nafsu keduniawian, dia akan berhasil mengecap hidup bahagia dan tenteram..!"

”Hai! Hai! Kembali Taisu mengeluarkan kata2 yang membuat aku harus angkat topi karenanya...!" kata Tang Cie Hok dengan suara yang riang. "Baiklah, jika memang Taisu tidak gemar dengan basa basi, akupun bisa bertanya langsung. Dapat aku mengetahui gelaran Taisu ?"

”Sebetulnya Siauwceng bernama Gunal Sing, tetapi selama berkelana didaratan Tionggoan, Siauwceng dipanggil dengan sebutan Tat Mo Cauwsu.”

”Tat Mo Cauwsu? Ohhh, ya...coba tunggu dulu, aku seperti pernah mendengarnya nama itu... tetapi, sayang sekali aku lupa

! Mungkin dalam percakapan beberapa orang sahabat nama Tat Mo Cauwsu itu di-sebut2. Tetapi yang kuingat, justru nama Tat Mo Cauwsu itu mendatangkan kesan yang baik dan merupakan nama yang mengejutkan bagi para penjahat, bukan ?"

Gin Tok Siucai Tang Cie Hok adalah seorang begal tunggal yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dia memiliki ilmu silat totokan yang ampuh sekali. Selama lima belas tahun belajar berseruling perak ini telah malang melintang didaratan Tionggoan, selama itu dia belum memperoleh tandingan.

Dengan demikian timbul sikap angkuhnya dan selalu memandang lawan2nya dengan ringan sekali, karena itu pula diapun selalu bersikap congkak. Sikapnya memang periang, karena dia merasakan dan yakin bahwa dirinya merupakan jago nomor wahid didunia Kangouw. Dia selalu tertawa dan meremehkan lawannya.

Tetapi waktu dia bertemu dengan Tat Mo Cauwsu, justru dia telah diberikan santapan kata2 wejangan seperti itu, keruan saja dia merasakan bahwa sikap aneh dari Tat Mo Cauwsu tidak berada dibawahnya. Memang Gin Tok Siucai selalu membawakan sikap yang aneh, dan jika ingin membinasakan lawannya pelajar ini sering memperlihatkan tingkah yang bukan2, dia tertawa se-puas2nya, atau dia menakut-nakuti dulu lawannya dengan wajah yang mengerikan dan ancaman2 yang menakutkan. Setelah lawannya ketakutan bukan main, barulah dia menghabiskan jiwa lawannya itu. Namun menghadapi Tat Mo Cauwsu yang wajahnya angker dan agung sekali, dia jadi mati kutu. Lebih2 pendeta itu selalu menyodorkan kata2 yang mengandung arti sangat luas sekali, maka dari itu dengan sendirinya si pelajar berseruling perak itu tidak bisa membawakan sikap ugal2annya.

Melihat cara Tat Mo Cauwsu yang agak aneh dalam menghadapinya, yang baru saja bertemu telah ber-kata2 sebebas itu, Gin Tok Siucai malah jadi gembira! Dia merasakan, bahwa dia telah bertemu dengan lawan yang setimpal dengan dirinya.

Sambil menggerakkan serulingnya, tampak Gin tok Siucai telah berkata dengan suara yang nyaring: ”Taisu, tentunya Taisu memiliki kepandaian luar biasa yang mengagumkan sekali bukan?"

”Apa itu kagum? Apa itu yang luar biasa ?" balik tanya Tat Mo Cauwsu sambil tersenyum sabar. ”Sudah kukatakan sejak tadi, apa yang masih menyangkut keduniawian, tentu akan membawa malapetaka ! Maka dari itu, jika seseorang telah berhasil melepaskan diri dari tuntutan2 keduniawian, maka orang itu bisa hidup dengan teratur dan tenteram, apa adanya disaat sekarang saja yang harus dikerjakan, tanpa memikirkan masa lalu dan masa yang akan datang...! Tetapi sebagai manusia tentu saja harus berpikir panjang dan luas, justru untuk mengertikan saat2 sekarang ini yang sering dilupakan, umumnya manusia sering dilemparkan dalam khayalan yang terlalu jauh, sehingga menyeret mereka pula ke alam yang belum terwujud bentuknya.”

Si pelajar seruling perak itu telah meng-geleng2kan kepalanya sambil tertawa.

”Taisu, pengetahuanmu mengenai penghidupan tampaknya lebih jauh dan luas dibandingkan dengan apa yang telah kulihat

! Tampaknya Taisu memang benar2 menghayati segalanya itu. Sekarang marilah kita bicara mengenai ilmu silat ! Menurut  apa yang kulihat dan hematku tentunya, Taisu bukanlah orang sembarangan. Dengan berani merantau seorang diri dari India datang ke daratan Tionggoan, tentu Taisu telah memiliki bekal, terutama sekali ilmu silatmu....! Maka menurut apa yang telah Taisu alami, bagaimana pandangan Taisu mengenai jago2 di daratan Tionggoan ini...?" tanya si pelajar berseruling perak itu.

Tat Mo Cauwsu tersenyum.

”Semuanya hebat, hanya saja mereka belum dapat mengekang nafsu dan emosi, mereka terlalu cepat puas dan tidak melatih diri dengan penuh kesungguhan, karena perasaan tinggi diri dan merasa puas yang terlalu cepat seperti itu, membuat mereka akhirnya jadi tertinggal oleh yang muda2, generasi yang mendatang. !"

Tat Mo Cauwsu berusaha memberikan penyahutan yang cukup luas ruang lingkupnya.

”Bagus ! bagus ! Pendapat Taisu memang sependapat dengan yang selama ini kupikirkan. ! Begitu pula pendapatku,

memang banyak jago2 silat yang ternama dan memiliki kepandaian tinggi, tetapi setelah memperolah keharuman nama, mereka tenggelam dalam keharuman namanya itu, melupakan untuk berlatih dengan giat, malas untuk meningkatkan kepandaian, hatinya ber-senang2 dalam limpahan hormat dan kemasyuran nama belaka, sehingga sepuluh atau dua puluh tahun kemudian, mereka baru terkejut dan menyadari ketertinggalannya itu oleh anak2 muda. !"

Tat Mo Cauwsu tersenyum pula.

“Hengtai bicara mengenai ilmu silat, apakah ada sesuatu yang hendak Hengtai utarakan?" tanya Tat Mo Cauwsu sambil mengawasi pelajar berseruling perak itu dengan sorot mata yang tajam sekali, karena Tat Mo Cauwsu begitu melihat pelajar ini segera dapat merasakan di hati kecilnya, bahwa Gin Tok Siucai Tang Cie Hok tersebut bukanlah sebangsa manusia baik2, bahkan sangat licik sekali. Itulah sebabnya mengapa Tat Mo Cauwsu membuka perkataannya dengan kaitan yang bersangkutan dengan ujar2 yang mengandung wejangan.

“Begini Taisu," kata Gin Tok Siucai Tang Cie Hok sambil tertawa dengan muka yang riang, "Seperti tadi Taisu telah mengetahui bahwa aku digelari sahabat2 maupun  lawan dengan julukan "Gin Tok Siucai", yaitu si pelajar berseruling perak, maka aku ingin memperlihatkan kepandaian serulingku itu, untuk dipergunakan menotok lawan, nanti setelah melihat keburukan dari ilmu totokanku itu, harap Taisu memberikan petunjuk !"

Dan setelah berkata begitu, Gin Tok Siucai memang menggerakkan serulingnya, dia ingin memperagakan kepandaiannya dihadapan si pendeta, karena dia yakin Tat Mo Cauwsu tentu akan terkejut nanti setelah melihat ilmu serulingnya. Maka dia mulai bersilat dengan serulingnya itu, dengan gerakan2 yang dahsyat dan cepat sekali. Setiap gerakan pelajar berseruling perak ini memang dapat diikuti, tetapi  setiap jurus yang diperlihatkannya mengandung perobahan gerak yang rumit sekali dan membahayakan lawannya.

Seruling itu bergerak me-lingkar2 dan setiap tusukan atau tabasan ujung seruling itu, pasti akan mengenai tempat yang sangat berbahaya sekali ditubuh lawannya.

Tat Mo Cauwsu sendiri tercekat hatinya, tetapi pendeta itu tidak memperlihatkan perasaan terkejutnya itu diwajahnya, dia tersenyum saja mengawasi terus.

Setelah menjalankan dua puluh satu jurus dari ilmu serulingnya itu, yang setiap jurus mengandung delapan perobahan gerakan, Gin Tok Siucai berhenti dengan seruling yang diturunkan ke dekat pahanya, seperti juga itulah jurus yang penutupnya. "Bagaimana Taisu ?" tanya Gin Tok Siucai sambil tersenyum lebar, "Apakah engkau bisa membedakan gerakan yang lemah dan kurang sempurna dalam jurus2 seruling itu ?"

Tat Mo Cauwsu telah berkata : "Siancai ! Jarang sekali orang bisa memiliki kepandaian sehebat Hengtai. Itulah kepandaian yang cukup sempurna...! Hanya sedikit sekali kekurangannya, setiap totokan tidak mengandung kekuatan lwekang yang mantap dimana Hengtai merobah perobahan dari jurus2 seruling itu yang tampaknya semakin rumit semakin hebat, coba kalau memang Hengtai menyertainya sejurus dengan penyaluran lwekang yang kuat, niscaya Hengtai akan lebih sempurna lagi. ”

Muka Gin Siucai jadi berobah memperlihatkan perasaan tidak senang dan penasaran.

Semula dia mengharapkan si pendeta akan memujinya setinggi langit, seperti apa yang sering dialaminya. Tetapi kini sebaliknya si pendeta telah mengemukakan kelemahan2nya, walaupun apa yang dikatakan oleh Tat Mo Cauwsu memang apa yang sebenarnya namun dalam hal ini telah membuat Gin Tok Siucai kurang gembira. Sudah diketahui wataknya yang sering mempermainkan lawan, maka sekarang dia dicela, walaupun dengan perkataan yang halus dan tidak mencela secara langsung se-tidak2nya telah membuat Gin Tok Siucai Tang Cie Hok jadi penasaran.

”Mungkin apa yang dikatakan oleh Taisu memang benar. "

kata Tang Cie Hok kemudian sambil tersenyum, senyum yang agak sinis, tidak seperti tadi cerah dan riang. "Tetapi apakah Taisu mau untuk main2 beberapa jurus serulingku ini, agar mataku terbuka ?”

”Siancai ! Siancai ! Siauwceng tidak memiliki kepandaian yang    berarti,    tentu    tidak    dapat    dibandingkan    dengan kepandaian Hengtai yang tinggi dan sempurna itu? Mana berani Siauwceng mengadu tangan dengan Hengtai...?"

”Janganlah Taisu merendah seperti itu, aku mengetahui tentunya Taisu memiliki kepandaian yang sempurna! Marilah Taisu, kita main2 beberapa jurus untuk melewati waktu senggang...” kata Tang Cie Hok mendesak.

Tat Mo Cauwsu kembali tersenyum, ”Baiklah !" katanya mengangguk sabar. ”Tetapi kuharap saja Hengtai mau berlaku murah hati kepada Siauwceng, tidak menurunkan  tangan  keras. !"

Gin Tok Siucai tertawa, dia menggerakkan tangan kanannya untuk melancarkan serangan dengan jurus pembukaan. Dia menggerakkan serulingnya itu lurus2 ke depan, untuk menotok jalan darah Pa-tie hiat disamping dada kanan dari si pendeta India tersebut.

Gerakannya memang tidak begitu cepat, dapat dilihat menyambarnya seruling, tetapi justru perobahan dari serangan itu yang rumit dan akan membingungkan lawan, maka seruling bisa ber-obah2 arah dengan cepat sekali dalam satu kali serangan tersebut.

Hal ini membuat Tat Mo Cauwsu jadi berpikir dalam hatinya, "Kepandaian pelajar ini memang cukup tinggi, tenaga lwekangnyapun lumayan dan kepandaian menotoknya sangat hebat, tetapi sayangnya dia tidak bisa memecahkan diri antara penyaluran tenaga lwekangnya ke serulingnya ! Itulah kelemahannya. !"

Tat Mo Cauwsu bukan hanya berpikir begitu saja, tetapi dia telah mengelakkan serangan lawannya dengan gerakan yang cepat sekali, dia memiringkan dadanya tanpa merobah kedudukan kuda2 kakinya. Seruling lewat disamping dadanya hanya terpisah dua dim, dan waktu itu Tat Mo Cauwsu telah mengulurkan tangan kirinya, dia mengancam jalan darah Liong-ku hiat didekat pergelangan tangan Tang Cie Hok, yang hendak dicengkeramnya.

Tang Cie Hok waktu memperoleh kenyataan serangannya itu gagal dan mengenai tempat kosong, secara beruntun telah melanjutkan dengan serangan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya dengan beruntun.

Setiap serangan itu semakin lama jadi semakin kuat dan menindih ruang gerak lawannya.

Tat Mo Cauwsu juga merasakan pengaruh dari tekanan seruling itu, karenanya dia juga telah merasakan bahwa tidak bisa dia hanya berkelit saja.

Ketika sampai jurus yang kedua belas Tat Mo Cauwsu berkata sabar : ”Maaf, Siauwceng harus menggagalkan serangan ini !"

Waktu itu seruling Gin Tok Siucai Tang Cie Hok tengah meluncur turun akan menotok leher Tat Mo Cauwsu. Dengan cepat sambil berkata begitu, si pendeta telah memiringkan kepalanya, sehingga seruling itu gagal mengenai sasarannya yang tepat, lewat disisi leher pendeta itu beberapa dim jauhnya. Dan Tat Mo Cauwsu bukan bergerak sampai disitu saja, tangan kanannya bergerak cepat sekali tahu2 dia berhasil menjepit seruling Gin Tok Siucai!

Gerakan yang dilakukan si pendeta sangat sulit untuk diikuti oleh pandangan mata, sehingga serangan itu telah mengejutkan Gin Tok Siucai, sebab pelajar ini justru tidak dapat menarik pulang serulingnya. Cepat2 Tang Cie Hok mengerahkan tenaga lwekangnya yang disalurkan sembilan bagian ke telapak tangannya, dia menarik kuat2 sambil mengeluarkan suara teriakan nyaring.

Disaat itulah, dengan getaran yang kuat sekali, seruling bergerak sedikit, tetapi tidak terlepas dari cekalan jari telunjuk Tat Mo-Cauwsu yang menjepitnya bagaikan capit baja.

Tang Cie Hok jadi penasaran sekali, dia mengerahkan lagi tenaga murninya dan berusaha sekuat tenaga untuk menarik serulingnya.

Tetap saja seruling yang dijepit oleh jari telunjuk Tat Mo Cauwsu tidak bergeming.

”Apakah telah cukup, Hengtai ?" tanya Tat Mo Cauwsu dengan suara yang sabar.

Muka Tang Cie Hok jadi berobah merah padam, dia marah bercampur penasaran.

Sekali lagi Tang Cie Hok telah menarik serulingnya itu,  tapi tetap tidak berhasil.

Akhirnya Tat Mo Cauwsu melepaskan juga japitan jari telunjuknya, dia telah berkata dengan suara yang sabar dan ramah : ”Sudahlah Hengtai, apa lagi yang harus kita lakukan hanya untuk sekedar memperoleh perkataan menang atau kalah itu? Semuanya kosong dan tidak ada artinya. Marilah kita menyudahi saja urusan ini sampai disini, selanjutnya kita akan mengikat tali persahabatan yang erat....! Bukankah itu jauh lebih baik?"

Tang Cie Hok telah memandang Tat Mo Cauwsu dengan muka yang berobah merah karena malu dan penasaran, tetapi dia mengakui kepandaian Tat Mo Cauwsu memang benar2 luar biasa dan tidak mungkin dapat ditandingi oleh kepandaiannya. Jika tadi Tat Mo Cauwsu bermaksud untuk menurunkan tangan jahat  padanya  atau  melukainya,  tentu  hal  itu  dengan mudah dapat dilakukannya. Tetapi rupanya Tat Mo Cauwsu memang tidak bermaksud buruk.

Si pelajar seruling perak itu telah merangkapkan sepasang tangannya menjura memberi hormat kepada Tat Mo Cauwsu.

”Terima kasih atas petunjuk Taisu...dengan demikian bisa terbuka pandangan mata dan pikiranku bahwa diatas gunung masih ada gunung yang lebih tinggi .....! Terima kasih Taisu atas kemurahan hati Taisu yang tidak menurunkan tangan keras kepadaku ! Selama aku berkelana malang melintang didalam dunia persilatan, belum ada orang yang kupandang dan kusegani tetapi sekarang mataku baru terbuka, bahwa ada seseorang yang berjiwa luhur dan agung seperti Taisu, yang memiliki kepandaian sangat menakjubkan sekali."

Tat Mo Cauwsu telah berkata lagi: ”Hengtai terlalu tinggi memuji ! Tahukah Hengtai, bahwa pujian yang terlalu tinggi akhirnya dapat mencelakai orang yang bersangkutan ? Orang yang di-puji2 dan dipuja itu, jika menerima suatu hal yang tidak diinginkan, sama pula halnya dia jatuh dari tempat yang tinggi sekali menimbulkan sakit yang luar biasa. Maka alangkah bijaksananya jika saja kita bisa ber-hati2 dalam persoalan ini dengan apa adanya saja. "
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar