Si Rase Kumala Bab 30 : Akhirnya ........(Tamat)

30. Akhirnya ........

Segera dia hendak melangkah, tapi sudah didahului oleh si Dewa Tertawa yang maju sembari tertawa gelak-gelak:

„Biasanya acara yang menarik tentu berada dibelakang. Lo- koay, biarlah aku yang maju pertama."

Si Rase Kumala tahu kalau sahabatnya memandang ringan lawan.

Hun-si-sam-sian bukan musuh yang empuk. Acara yang belakangan tentu lebih dahsyat, karena itu dia (si Dewa Tertawa) suka menyediakan diri lebih dulu supaya si Rase Kumala dapat memelihara tenaga.

„Bok loji, mengingat persahabatan kita yang begitu lama, baiklah, kau boleh jual tingkah,” sahut si Rase Kumala dengan tersenyum.

Bok Tong tertawa keras, sekali mengibaskan lengan baju, dia melayang ke atas dahan pohon. Leng-boh-siancu tenang menantinya. Begitu kaki lawan menginjak dahan, segera ia kebutkan kedua lengan bajunya. Serangkum hawa yang mengandung tenaga negatif lunak, menyambar dada si Dewa Tertawa.

Menurut peraturan dunia persilatan, dalam setiap pertempuran, kecuali berhadapan dengan musuh besar atau memang memandang rendah lawan, orang tentu akan saling memberi salam. Jadi nyata Leng-boh-siancu tadi sudah melanggar peraturan itu.

Namun si Dewa Tertawa tak mengacuhkan. Berbareng tertawa keras, dia luruskan kedua tangannya ke muka dada lalu dibalikkan untuk menangkis.

Sama sekali Leng-boh-siancu tak mau adu lwekang dalam gebrak pertama, maka ia hanya gunakan seperempat bagian tenaganya untuk menjajaki lawan. Tapi si Dewa Tertawapun sudah mengetahui hal itu, jadi diapun tak sungguh-sungguh menangkis. Maka begitu kedua tenaga itu saling berbentur, kedua tokoh itu sama-sama mundur.

Pertempuran di atas pohon yang besarnya hanya  menyamai jari tangan, jauh bedanya dengan di atas tanah. Di atas ranting, memerlukan kepandaian gin-kang yang tinggi.

Demikian kedua tokoh itu saling berlincahan dengan gesitnya, tukar menukar pukulan lwekang dan baku hantam yang dahsyat. Leng-boh-siancu Hun Yak-hoa gunakan ilmu pusaka Peh-hoa-kiong yang termasyhur, yakni can-hoa-chiu. Sementara si Dewa Tertawa keluarkan ilmu tun-yang sip-pat- ciat yang sakti.

Yang tampak di bawah cahaya rembulan, hanyalah dua bayangan hijau dan kuning saling bersilang rapat-rapat. Dalam sekejap saja, mereka sudah bertempur lebih dari limapuluh jurus.

Hebatnya pertempuran itu telah membuat Shin-tok Kek dan kedua siancu menjadi ketar-ketir. Sedikit berayal saja, salah seorang yang bertempur itu tentu akan terjungkal luka parah. Pertempuran kini sudah menginjak seratus jurus. Berhadapan dengan musuh berat, Leng-boh-siancu keluarkan seluruh kebiasaannya. Tapi ternyata sampai sekian lama masih belum berhasil, hingga membuatnya gelisah.

Kebetulan saat itu, si Dewa Tertawa maju merapat sembari dorongkan tangan kanannya kemuka. Untuk itu ia tak mau menghindar. Begitu tangan si Dewa Tertawa hampir mengenai, ia cepat mendongak ke belakang sembari tabaskan tangan kiri kesiku tangan lawan. Menyusul ia berputar menggeliat sambil kerjakan dua buah jari tangannya kanan untuk menutuk pundak si Dewa Tertawa.

Kejut Bok Tong bukan kepalang. Tak kira dia bahwa dalam saat-saat menghadapi kekalahan, Leng-boh-siancu sudah gunakan jurus-jurus yang sedemikian berbahayanya. Jarak mereka begitu rapat, untuk menghindar terang tak mungkin.

Dalam gugupnya, si Dewa Tertawa buru-buru kerahkan lwekang ke arah pundaknya untuk menerima tutukan. Tapi dalam pada itu, dia menggerung keras dan menjotos dada lawan, huk …………

Oleh karena sebagian besar lwekangnya dipusatkan ke pundak, jotosan si Dewa Tertawa tadi tak begitu dahsyat. Sekalipun begitu, hasilnya tetap mengerikan.

Dalam teriakan kejut dari orang-orang yang menyaksikan dibawah, Leng-boh-siancu dan si Dewa Tertawa sama-sama terpelanting jatuh. Si Rase Kumala dan Hu-yong-siancu serempak sama loncat menyanggapi.

Si Dewa Tertawa tampak meramkan mata, wajahnya menampil kesakitan. Setelah didudukkan di tanah, si Rase Kumala lalu memeriksa pundaknya. Disitu terdapat tanda matang biru, lengannya kiri kaku tak dapat digerakkan, tapi hanya luka luar saja.

Suatu hal yang membuat si Rase Kumala menjadi lega, lalu menutuk jalan darah dilengan itu dan memberinya minum sebutir pil. Setelah itu disuruhnya si Dewa Tertawa beristirahat memulangkan napas.

Bagaimana dengan Leng-boh-siancu? Ternyata Hun Yak- hoa itu terluka berat, wajahnya pucat seperti kertas dan orangnya pun tak sadarkan diri lagi. Ko-shia-siancu cepat menutup jalan darahnya, lalu suruh muridnya menggotong ke dalam Peh-hoa-kiong.

Kini dengan wajah merah padam, Hu-yong-siancu Hun Yak- ciau menghadapi si Rase Kumla, ujarnya. „Dalam babak pertama, kedua belah pihak sama-sama menderita luka, jadi seri. Konon lama sekali sebatang cui-giok-ji-i dari Shin-tok sianseng itu amat termasyhur kesaktiannya. Hun Yak-ciau yang bodoh ini, senang sekali menerima pelajaran dari sianseng!"

Si Rase Kumala tertawa ewa, sahutnya: „Ah, siancu keliwat me rendah. Ilmu pedang it-goan-kiam-hwat dari Peh-hoa- kiong, juga teramat saktinya. Sebaiknya jangan membuang waktu lagi, silahkan siancu menghunus pedang!"

Hanya dengan sebuah tertawa dingin, Hu-yong-siancu sudah lantas siapkan pedang dan si Rase Kumala pun juga sudah mencabut senjatanya cui-giok-ji-i yang termasyhur. Hu- yong-siancu berlaku sangat hati-hati. Ia membuka serangannya dengan jurus kiau-li-jin-ciam, dari samping menusuk dada lawan.

Bermula heran juga si Rase Kumala mengapa siancu itu tak gunakan ilmu pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi sekilas pikirannya yang cerdas segera dapat menangkap maksud orang. Dia tegak berdiri diam saja, tak menangkis atau menghindar.

Hu-yong-siancu menjadi kelabakan sendiri. Adanya dia tadi gunakan jurus biasa, ialah karena hendak memancing. Begitu lawan bergerak menyerang, ia segera akan keluarkan ilmu pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi nyatanya, si Rase Kumala telah mengetahui siasat itu.

Dalam malunya, Hu-yong-siancu teruskan serangannya itu menjadi sebuah tusukan yang sesungguhnya. Begitu ujung pedang hampir tiba, kedengaran si Rase Kumala tertawa mengejek: „Karena siancu berlaku pelit, Shin-tok Kek terpaksa meminta."

Tubuh agak dimiringkan, cui-giok-ji-i dibalikkan untuk menangkis pedang. Hu-yong-sian-cu mundur lalu maju pula menyerang. It-goan-kiam-hwat mulai dikembangkan.

Tubuhnya seperti menjadi satu dengan pedang, baik menyerang maupun menjaga diri selalu dalam gerakan yang indah dahsyat. Lebih-lebih ia salurkan lwekang ke batang pedang.

Si Rase Kumala tak berani berayal. Diapun keluarkan ilmu ji-i-san-chiu. Ilmu itu terdiri dari seratusdelapan jurus, khusus mendasarkan delapan pokok kegunaan, yakni menggempur, membentur, menutuk, memukul, melibat, mengunci,  mengacip dan membetot.

Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah saling serang menyerang sampai duaratusan jurus lebih. Saat itu Hu-yong- siancu mencecer lawan dengan tiga buah serangan keras berturut-turut. Udara penuh dengan hamburan sinar pedang yang menyilaukan.

Tokoh angkuh si Rase Kumala mendongak tertawa panjang, lalu berseru lantang-lantang: „Peristiwa lampau di Siong Ceng Kiong itu. Shin-tok Kek tetap tak melupakan, kini terpaksa kucobanya!"

Sekonyong-konyong tubuh tokoh itu melambung ke udara. Bagaikan sinar pelangi, cui-giok-ji-i melayang ke dalam gulungan sinar pedang. „Tring, tring,” dua sosok tubuh sama- sama loncat kejurusan yang berlawanan. Begitu mereka menginjak tanah, dapatlah diketahui keadaannya. Si Rase Kumala tetap tegak berdiri mengulum senyum. Hu-yong-siancu termangu-mangu berdiri dengan wajah pucat. Pedangnya tinggal separoh bagian saja!

„Shin-tok Kek meminta maaf dan ingin menerima pengajaran pula untuk kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dan sam- goan-kiam-tin!" kata si Rase Kumala.

Benar Ko-shia-siancu sudah mendengar kesohoran nama si Rase Kumala, tapi sedikitpun tak terbayang dalam pikirannya bahwa kepandaian orang itu sedemikian saktinya. Namun sebagai pemimpin dari sebuah biara termasyhur, tak mau kentarakan goncangan hatinya.

Dengan wajah membeku, ia berkata kepada sang tetamu:

„Kalau dalam babak terakhir ini, Peh-hoa-kiong kalah pula, kami akan mentaati perjanjian tadi!"

Segera ia pelahan-lahan lambaikan tangan. Kedelapan Lo- hu-pat-hong yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke muka. Dengan menghunus pedang, mereka pencar diri dalam delapan jurusan mengepung si Rase Kumala. Ko-shia-siancu sendiri yang memegang ko¬mando.

Wajah si Rase Kumala tetap tenang, tapi diam-diam dia merasa tegang juga dalam hatinya. Demi dilihatnya barisan sudah tersusun selesai, dia segera mempersilahkan. Ko-shia- sian-cu tak mau menyahut. Dengan wajah membesi ia kebutkan pedang dan mulailah barisan kiu-kiu-kui-goan-kiam- tin itu bergerak.

Si Rase Kumala memperhatikan bagaimana Ko-shia-siancu dan kedelapan muridnya itu bergerak-gerak dalam formasi kiu-kiong, saling bergantian mengisi setiap pos yang ditinggalkan.

„Menilik keadaan barisan itu, kalau tak menyerang secara kilat, tentu sukar membobolkan,” pikirnya. Secepat kilat dia ambil putusan untuk menggunakan cara seperti ketika membobolkan ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin dari Siang Ceng Kiong dahulu. Begitulah dia segera bertindak. Lengan baju kiri di kebutkan untuk melancarkan angin kong- gi, menyusul cui-giok-ji-i menutuk salah seorang kiu-hong yang berada disebelah mukanya.

Memang kiu-kiu-kui-goan-tin bukan olah-olah indahnya. Begitu ujung cui-giok-ji-i hampir mengenai, kiu-hong itu melejit ke muka, sedang kiu-hong yang di belakangnya serentak sudah maju menggantikan posnya seraya menusuk si Rase Kumala.

Si Rase Kumala tertawa. Tangannya kanan yang hendak ditusuk pedang itu diturunkan, tubuh mundur pundak berputar menyongsongkan jarinya untuk mengejar kiu-hong yang sudah berpindah tempat tadi. Seketika nona itu terjungkal.

Dalam kejutnya, Ko-shia-siancu cepat  lambaikan pedangnya dan barisan berobah seketika. Tapi perobahan itu kalah cepat dengan si Rase Kumala yang mendapat angin lebih dulu. Menurutkan gerakan perobahan dari barisan itu, si Rase Kumala berlincahan kekanan kiri untuk bolang-balingkan cui-giok-ji-i dan tutukan jarinya.

Barisan menjadi kacau balau. Dari formasi kiu-kiong (sembilan istana) menjadi pat-kwa, dari pat-kwa menjadi chit- siu, chit-siu menjadi liok-hap, lalu ngo-heng dan su-chiu ……..

Setiap barisan itu berobah tentu jatuh korban seorang kiu- hong. Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin yang bermula terdiri dari sembilan dara kiu-hong, dalam sekejap mata saja sudah tinggal dua. Pada lain saat ketika si Rase Kumala bersuit keras, tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun sembari kembangkan ‘payung’ sinar hijau kemilau dari cui- giok-ji-i.

Hanya dengusan tertahan yang terdengar dan kedua anggauta kiu-hong yang menjadi sisa barisan itupun rubuh ke tanah tertutuk pingsan. Si Rase Kumala melayang turun setombak jauhnya.

„It-goan-kiam-hwat telah kuterima. Apabila tak keberatan, Shin-tok Kek sedia menerima lagi pelajaran sam-goan-kiam- tin,” ujarnya dengan tersenyum.

Ko-shia-siancu menghela napas panjang. Tiba-tiba pedang komandonya dibanting ke tanah, serunya: „Sudahlah, kemasyhuran nama Shin-tok sianseng memang bukan pujian kosong. Sejak ini Peh-hoa-kiong akan menghapuskan larangannya dan terserah bagalmana kau akan menghukumnya!”

Mendengar itu si Rase Kumala menganggukkan kepala. Keangkuhan wajahnya tadi tiba-tiba lenyap. Dengan wajah bersungguh, dia berkata: „Shin-tok Kek tiada lain permintaan kecuali urusan peminangan tadi."

Ko-shia-siancu hanya menyeringai, sahutnya: „Jenderal yang kalah perang, tak boleh menyombongkan kegagahan. Karena urusan sudah sampai disini, tiada berguna untuk bersitegang leher lagi, hanya saja ……..” - pemimpin Peh-hoa- kiong itu tertegun sebentar, kemudian dia panggil dua orang anak muridnya dan perintahkan mereka untuk mengambil Siau Ih dan Lo Hui-yan.

Tak berapa lama, kembalilah mereka bersama ‘tawanannya’. Demi melihat kedelapan dara kiu-hong malang melintang di tanah, Siau Ih sudah terkejut. Kemudian waktu melihat wajah engkongnya luar membesi, dia makin bercekat.

Akhirnya ketika mengetahui ayah angkatnya duduk bersila memulangkan napas, tahulah dia bahwa si Dewa Tertawa tentu terluka. Inilah yang paling mengoyak perasaannya. Kecintaannya terhadap sang ayah angkat yang telah merawatnya sejak kecil telah membuat matanya mengucurkan air mata. Si Rase Kumala menghela napas, ujarnya: „Gihu-mu hanya terluka luar saja, tidak membahayakan!”

Mendengar itu, Siau Ih seperti tersadar dari mimpinya. Serta merta dia menubruk kaki sang engkong. Berbareng saat itu, Lo Hui-yan pun berlutut dihadapan Ko-shia-siancu.

Kedengaran si Rase Kumala mendamprat Siau Ih: „Secara diam-diam minggat dari Chui-hun-lou, sudah seharusnya dihajar, apalagi kau berani mati datang kemari. Nanti setelah pulang kerumah, tentu akan kuhukum seberat-beratnya!"

„Engkong, Ih-ji mengaku salah,” sahut Siau Ih.

Si Rase Kumala mendengus, lalu berkata pula:

„Persoalanmu dengan Lo Hui-yan, kini telah mendapat perkenan siancu, mengapa kau tak lekas-lekas menghaturkan terima kasih pada siancu!"

Mendengar hal itu, hati Siau Ih bergoncang keras. Dengan berdebar-debar dia menghampiri kehadapan Ko-shia-siancu lalu memberi hormat dengan khidmat.

„Wanpwe menghaturkan beribu terima kasih atas kemurahan hati tiang-cia!”

Ko-shia-siancu kerutkan kening, ujarnya dengan nada berat: „Siau Ih, apakah benar-benar kau mencintai Yan-ji?”

Siau Ih terbeliak kaget. Heran dia mengapa Ko-sia-siancu masih menyangsikan dirinya. Bukankah kedatangannya didaerah terlarang Peh-hoa-kiong itu, cukup menjadi bukti yang berbicara? Ah, mungkin Ko-shia-siancu amat menyintai muridnya itu dan memikirkan ke-pentingannya, demikian rabahan Siau Ih.

„Demi kehormatan wanpwe," sahutnya dengan tegas.

„Betapapun asal-usulnya Yan-ji?” Siau Ih memberikan janjinya. Ko-shia-siancu mendengus, lalu mengelah napas panjang. Habis itu ia mengeluarkan sebuah sampul kecil warna kuning.

„Shin-tok sianseng, memang urusan di dunia ini seringkali berlaku aneh. Kita manusia tak boleh mengingkari kuasa alam. Patahnya tradisi Peh-hoa-kiong pada malam ini, dirayakan dengan suatu kejadian aneh ……..” Ko-shia-siancu seraya berhenti meramkan mata. Kemudian ia melanjutkan pula:

„Permintaan sianseng telah terlaksana. Siau Ih pun sudah memberikan janjinya. Sejak kini Yan-ji menjadi miliknya. Aku tak dapat berbuat apa-apa, karena hal itu sudah kemauan nasib. Surat ini merupakan sumber daripada permainan nasib yang kukatakan itu.

Si Rase Kumala menyambuti surat itu dan membukanya. Wajahnya tampak berobah merah, lalu pucat dan kemudian menjadi tenang lagi. Dia menghela napas, matanya jauh memandang kepuncak Lo-hu-san yang tertutup awan ……..

Ko-shia-siancu meramkan mata merenung, Siau Ih terlongong-¬longong heran memandang sikap sang engkong yang aneh namun dia tak berani menanyakan. Suasana menjadi hening senyap.

Akhirnya, berkatalah si Rase Kumala: „Shin-tok Kek merasa berhutang terima kasih atas ucapan siancu tadi. Memang manusia, lebih-lebih orang persilatan, selalu dirundung dengan budi dendam, balas membalas, kejar mengejar kemasyhuran nama kosong. Seperti Shin-tok Kek yang berwatak aneh dan angkuh ini, akhirnya mendapat pengajaran pahit juga. Anak perempuan mati mereras, cucu diasuh orang akhirnya harus menghadapi kenyataan yang menusuk ”

Sampai disini si Rase Kumala berhenti sejenak. Setelah mengatur napasnya yang agak getar itu, dia menatap Siau Ih, ujarnya:

„Ih-ji, memang segala sesuatu sudah tergaris oleh nasib. Janji sudah kau ikrarkan, sebagai laki-laki kau harus menepatinya. Ujian ini memang berat, tapi kau harus menghadapi kenyataan itu dengan hati terbuka …….”

Siau Ih seperti orang yang mendaki gunung kabut, tak tahu dia kemana jatuhnya perkataan sang engkong itu. Apakah gerangan isi surat itu, mengapa sang engkong menyebut- nyebut tentang janji, kenyataan dan nasib? Tak tahu dia bagaimana harus menyahut ucapan engkongnya itu.

„Ih-ji, bacalah surat ini!" tiba-tiba si Rase Kumala berseru seraya mengangsurkan surat itu.

Siau Ih tersipu-sipu menyambutnya. Demi membacanya, kepalanya serasa pening, bumi yang dipijaknya seperti amblong …….

Hui-yan puteriku,

Bila kau membuka surat ini, mungkin sudah belasan tahun aku menyusul ayahmu di alam baka. Jangan kau sesali kedua ayah bundamu yang telah tinggalkan kau sebatang kara. Lebih-lebih jangan kau kutuk perbuatan ayahmu yang berbuat salah karena dipaksa oleh keadaan kita. Setelah kau jelas akan duduk perkaranya, lakukan dua macam tugas yang berat: membalas dendam dan budi!  Beginilah  kisahnya  : Ayahmu dan aku bermula hidup sebagai petani yang sederhana tapi berbahagia. Sampai akhirnya sewaktu kau lahir, barulah terjadi perobahan besar. Desa kita terserang paceklik dan terpaksa ayahmu ajak aku pindah ke kota mengadu nasib. Disitu kita berjualan kecil-kecilan dan hasilnya pun lumayan. Selama di kota, ayahmu mempunyai banyak kawan, sampai akhirnya dia terjerumus dalam kalangan perjudian. Dagangan kita makin habis, ayahmu pun makin kelelap, galang-gulung dengan orang jahat, menjadi gundalnya seorang kongcu kaya bernama Teng Hiong.

Pada suatu hari kongcu yang bermata keranjang itu, telah melihat sepasang muda mudi yang menginap dihotel. Dia amat penuju sekali dengan nona yang cantik itu. Hanya saja karena nona dan pemuda itu berkepandaian tinggi, jadi dia jeri. Namun dia tak mau melepaskan nafsunya yang keji. Dengan menjanjikan upah besar, dia suruh ayahmu mencelakai mereka. Dengan menyogok jongos, berhasillah ayahmu menyaru jadi jongos hotel itu. Sewaktu kedua anak muda itu berada dikamarnya, ayahmu telah berhasil meniupkan asap yang mengandung bius. Tapi dikarenakan ayahmu takut kepergok, baru sedikit dia lantas buru-buru pergi keluar.

Keesokan harinya, ayahmu dipanggil oleh orang she Teng itu, tapi bukannya diberi upah uang melainkan diperseni pukulan yang menyebabkan ayahmu muntah darah dan meninggal beberapa hari kemudian.

Ayahmu menceritakan padaku bahwa si Teng Hiong begitu marah karena maksudnya tak tercapai. Waktu malamnya Teng Hiong datang ke hotel, ternyata didapatinya kedua anak muda itu tidak pingsan melainkan tengah menangis. Si nona yang ternyata bernama Shin-tok Lan menangis sesenggukan, si pemuda yang bernama Siau Hong pun menghela napas panjang lebar menyesali dirinya. Obat itu karena kurang banyak, tidak dapat membuat mereka pingsan tapi merangsang nafsu birahi mereka. Buah yang diinginkan telah kedahuluan orang, menyebabkan si Teng Hiong marah besar.

Kematian ayahmu telah mengundang bermacam malapetaka. Begundal-begundalnya Teng Hiong berani mempermainkan diriku. Malu dan gusar, akhirnya aku mengambil putusan pendek, bunuh diri. Kudengar biara Peh- hoa-kiong adalah biara suci dari kaum nikoh (rahib) yang berilmu tinggi. Kesana kubawamu. Setelah kuletakkan kau di depan pintu biara, aku lantas menggantung diri. Semoga siancu sudi menerima perhambaanmu itu. Kau masih mempunyai seorang paman di gunung Hong-hong-san. Kelak kalau Tuhan melindungimu, sambangilah dia. Yan-ji, begitulah nasib sedih yang menimpah ayah bundamu. Ingat betul, nama musuh besarmu itu. Lakukahlah pembalasan. Dari alam baka aku dan ayahmu akan memohonkan restu kepadamu! Sedapat mungkin, berusahalah keras mencari anak keturunan pemuda Siau itu untuk menghaturkan maaf.

Yan-ji, puteri kesayanganku. Jangan menangis, kuatkan hatimu dan teguhkan imanmu.

Bundamu yang bemasib malang, Liu-si.

Tanpa terasa, surat di tangan Siau Ih itu terlepas dibawa angin. Hui-yan cepat memungutnya. Demi membacanya, iapun rubuh tak ingat diri. Siau Ih tersadar dari limbungnya. Tanpa likat-likat lagi, dia segera menolongnya.

„Ih-ji, Yan-ji!” mendadak si Dewa Tertawa kedengaran berseru demi tahu persoalannya, kesemua-semuanya adalah sudah suratan takdir. Tinggi rendahnya martabat manusia, dinilai dari kebesaran hatinya. Dendam orang tua, sang anak tak ikut memikul dosa. Orang tua Hui-yan sudah mengakui kesalahannya, seharusnya kau dapat berlapang hati memaafkan, apalagi mereka sudah menutup mata, lebih-lebih kau bakal menjadi menantunya. Lupakan persoalan lama dan mulailah hidup baru. Tugas kalian masih banyak dan berat. Lihat itu, selama rakyat masih selalu ditindas oleh hartawan- hartawan jahat, selama keadilan dan kebenaran masih dikuasai oleh kaum persilatan ganas, selama itu dharma tugas kita kaum persilatan, pantang berhenti. Kita dari angkatan tua akan lekas undurkan diri dan menyerahkan beban suci itu kepada kalian semua.”

Siau Ih terbuka pikirannya. Dia melirik ke arah Hui-yan dengan pandangan penuh seri harapan hari depan yang gemilang. Hui-yan tersipu-sipu tundukkan kepala. Si Rase Kumala kedengaran menghela napas. Tapi bahwasanya dia tak membuat sanggahan (protes) suatu apa, berarti secara diam-diam dia dapat menerima pandangan si Dewa Tertawa tadi. Wajah dingin dari Ko-shia-siancu mengulas senyum. Entah senyum simpati entah mengejek. Keadaan menjadi hening sejenak.

„Siancu telah banyak memberi bantuan, terimalah hormat dan terima kasih Shin-tok Kek!" akhirnya Shin-tok Kek menghadap ke arah Ko-shia-siancu seraya menjura.

Tanpa menunggu penyahutan orang, dia segera bersuit keras memanggil Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou. Disuruhnya mereka membawa si Dewa Tertawa ke dalam tandu. Demikianlah dengan membawa Siau Ih dan Hui-yan, rombongan si Rase Kumala segera tinggalkan Lo-hu-san.

Dalam sebuah kesempatan di tengah perjalanan, Siau Ih menanyakan kepada sang engkong tentang surat kaleng yang diterima Goan Goan Cu itu.

"Kemungkinan bukan Teng Hiong atau Li Hun-liong yang membuat. Mungkin dalam keadaan yang tak diinsyafi. Teng Hiong telah membocorkan hal itu kepada lain orang. Menilik bahwa banyak anak-anak muda yang mengiri atas keberuntungan ayahmu yang berhasil menawan hati mamamu, maka kemungkinan besar tentu ada yang melakukan fitnah keji itu," menerangkan si Rase Kumala.

Begitulah bertahun-tahun sepasang suami isteri Siau Ih - Hui-yan itu mendapat gemblengan lahir batin oleh si Rase Kumala dan si Dewa Tertawa. Dengan Tan Wan, Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou, Siau Ih, Hui-yan merupakan pendekar-pendekar Tiam-jong-san yang banyak melakukan kebaikan dan membasmi kejahatan. Akhirnya Thiat-sian-pang dapat diobrak-abrik, termasuk si Manusia Iblis Kiau Hoan pun dilenyapkan.

- TAMAT -
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar