Si Rase Kumala Bab 29 : Taruhan Tokoh Sepuluh Datuk

29. Taruhan Tokoh Sepuluh Datuk

Leng-ji menghaturkan terima kasih, tapi bukannya duduk, ia mengisar kekanan dan memberi hormat kepada orang tua gemuk pendek, ujarnya: „Kalau wanpwe tak salah, bukankah lo-jin-ke ini Siau-sian-ong Bok locianpwe yang termasyhur suka berkelana menyebarkan kebajikan?”

Si tua gemuk itu mendongak tertawa, sahutnya: „Dara, caramu berlaku begitu menghormat itu, telah membuat lohu tak enak dihati sendiri. Lekaslah duduk, biar enak yang bicara.”

Tahu bahwa kaum cianpwe yang berilmu tinggi biasanya memang tak suka banyak peradatan, Leng-ji pun tak mau sungkan lagi, lalu duduk di sebuah dingklik.

Ia merogoh keluar sepucuk sampul besar lalu menghaturkannya dengan kedua tangan kepada si Rase Kumala. „Suhu menitahkan wanpwe supaya menghaturkan surat ini kepada locianpwe."

Setelah menerima dan membukanya, wajah si Rase Kumala tampak berobah, tapi pada lain jenak kembali sudah tenang lagi. Sehabis membaca, lalu diberikan kepada Siau-sian-ong (si Dewa Tertawa). Berpaling kembali kepada Leng-ji dia berkata: „Karena lama tak campur urusan dunia, adat lohu menjadi malas, jadi tak usah membuat surat balasan. Cukup nona sampaikan pada gurumu bahwa dua bulan lagi pada malam purnama, lohu akan berkunjung ke Lo-hu-san guna menyelesaikan urusan cucuku yang kurang ajar itu."

„Atas nama suhu, wanpwe menghaturkan terima kasih dan mohon diri," sahut Leng-ji sembari berbangkit memberi hormat.

Si Rase Kumala mengangguk sambil tertawa. Tiba di muka pintu. tiba-tiba Leng-ji teringat sesuatu. Kembali dia berputar tubuh dan memberi hormat kepada si Rase Kumala.

„Wanpwe hendak mengajukan sedikit permohonan, entah apakah locianpwe sudi meluluskan?"

Si Rase Kumala tercengang, kemudian tertawa: „Asal lohu mampu melakukan, tentu dengan segala senang hati akan nerimanya."

Memandang keluar pintu, Leng-ji berkata: „Dalam bentrokan dengan Shin-tok siaohiap tadi, wanpwe pun juga bersalah, apalagi Shin-tok siaohiap cukup mengalah. Wanpwe mohon locianpwe suka memberi keringanan pada Shin-tok siaohiap itu.”

Shin-tok Kek tertawa, ujarnya: ,,Nona cukup berbudi, terima kasih. Tapi karena hal itu menyangkut peraturan pondok pertapaanku, jadi terpaksa tak dapat meluluskan.''

Dalam keramahannya itu, nada si Rase Kuinala mengandung kewibawaan yang mengesankan. Leng-ji tak berani banyak omong lagi, terus memberi hormat dan pergi.

Secepat bayangan nona itu hilang dari pemandangan, wajah si Rase Kumala pun berganti menjadi keren.

„Lo-koay, bagaimana kau hendak mengurus soal ini,” seru si Dewa Tertawa. Dingin-dingin saja si Rase Kumala menyahut: „Bok loji, jangan membakar hatiku. Kalau Ih-ji sampai kesalahan, kaupun tak terlepas dari pertanggungan jawab. Sekalipun anak itu berbuat salah, juga kita berdua yang berhak mengajar, bukan lain orang.”

Berhenti sejenak, tokoh itu melanjutkan kata-katanya:

„Soal percintaan dalam kalangan muda-mudi, adalah sudah jamak. Kali ini lohu hendak campur tangan membuat suatu penyelesaian yang memuaskan bagi mereka.”

Sudah puluhan tahun si Dewa Tertawa galang-gulung dengan Shin-tok Kek, jadi sudah cukup paham isi hatinya.

„Apa yang peribahasa mengatakan itu memang benar, 'sungai dan gunung mudah dipindah, tapi watak orang sukar dirobah'. Menilik naga-naganya, Peh-hoa-kiong tentu akan kocar-kacir ” diam-diam si Dewa Tertawa itu membatin.

♠♠♠♠♠

Tempo berjalan laksana anak panah cepatnya. Tahu-tahu kini sudah masuk bulan ketiga. Tiga hari yang lalu, si Dewa Tertawa sudah tinggalkan Tiam-jong-san. Dia berjanji akan bertemu lagi di Lo-hu-san untuk mendampingi si Rase Kumala menghadapi Hun-si-sam-sian.

Batas janjinya dengan Peh-hoa-kiong sudah tiba, Shin-tok Kek pun segera berkemas. Tan Wan disuruh jaga rumah, sedang dia lalu naik tandu yang digotong oleh Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou berdua.

Memang apa yang diramalkan si Dewa Tertawa itu tepat. Kepergian si Rase Kumala ke Lo-hu-san itu berarti datangnya bencana bagi Peh-hoa-kiong.

Malam purnama pada permulaan musim panas. Di muka hutan pohon bwe Hiang-swat-hay yang terletak disebelah dalam dari gunung Lo-hu-san, tampak ada sebuah tandu yang dipanggul oleh dua pemuda gagah. Begitu berhenti, keluarlah seorang pelajar setengah umur. Wajahnya putih beseri, sepasang matanya berkilat-kilat tajam amat berpengaruh. Kain kepala yang berhias batu kumala cemerlang dan pakaian sutera berwarna kelabu perak, serasi sekali dengan potongan tubuhnya yang tinggi langsing. Sikapnya agung berwibawa.

Dia memberi isyarat supaya kedua pemuda tadi mengundurkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam daerah hutan bwe. Dia berkeliaran memandang kian kemari, seolah- olah mencari sesuatu. Tapi sekeliling itu tetap sunyi senyap saja. Suatu hal yang membuatnya mengerut dahi keheranan.

„Klik …….” tiba-tiba terdengar angin berkesiur meniup jatuh sekelompok bunga bwe. Bunga itu bertebaran jatuh ke bawah, Tiba-tiba orang pelajar itu berputar tubuh, menyusul dengan gerak hong-kek-hong-hui, dia enjot tubuhnya ke atas sebuah pohon besar yang tumbuh disebelah kiri.

Baru tubuhnya melambung di udara, dari semak daun pohon itu terdengar gelak tertawa macam naga meringkik.

„Brak,” semak daun menyingkap dan sesosok tubuh melayang turun ke bawah.

Si orang pelajar yang tengah melayang naik tadi, terpaksa ditengah jalan berhenti berjumpalitan, lalu meluncur turun ke arah orang tadi, serunya: „Bok loji, kalau main sembunyi jangan salahkan Shin-tok Kek tak kenal ampun."

Begitu menginjak tanah, bayangan tadi terus melesat ke samping dan tertawa gelak-gelak: „Lo-koay, kau benar-benar lihay!"

Setelah saling berhadapan, kedua orang itu sama bergelak- gelak. Kini jelaslah siapa-apa mereka itu. Yang bersembunyi dibalik daun pohon tadi, ternyata ialah si Dewa Tertawa Bok Tong, tokoh Sepuluh Datuk yang selalu bersikap riang. Sementara si orang pelajar yang naik tandu tadi, bukan lain ialah si Rase Kumala Shin-tok Kek. Kuatir akan keselamatan Siau Ih, maka si Dewa Tertawa minta diri pada Shin-tok Kek lebih dulu dan berjanji akan berjumpa di Hiang-swat-hay. Sebagai tokoh kenamaan, si Dewa Tertawa sungkan untuk datang ke Peh-hoa-kiong sebelum tiba waktunya perjanjian.

Namun secara diam-diam, dia dapat menyelundup ke dalam tahanan yang-thay-suan untuk menjenguk Siau Ih dan menghiburinya.

Begitulah setelah malam purnama tiba, si Dewa Tertawa bersembunyi dihutan bwe menunggu kedatangan si Rase Kumala. Tapi dasarnya suka berolok-olok, waktu sang sahabat datang, diapun sengaja main sembunyi.

Kedua tokoh itu lain wataknya, yang satu bersungguh- sungguh dan yang lain suka berolok-olok. Namun dalam menghadapi musuh, keduanya mempunyai persamaan sikap yakni bersungguh-sungguh. Begitulah sembari masuk ke dalam hutan, si Dewa Tertawa menceritakan pengalamannya kepada sang sahabat.

„Malam-malam masuk ke Peh-hoa-kiong, memang tidak pantas. Tapi Hun Yak-lun kakak beradik itupun tidak seharusnya memperlakukan seorang anak begitu rupa, membekuk dulu baru memberitahukan orang tuanya. Cara membunuh orang masih pula hendak membeset kulitnya macam itu, tidak sesuai dengan jalan yang harus ditempuh oleh kaum tiangcia (angkatan tua)." habis mendengar penuturan, si Rase Kumala menyatakan pikirannya.

Sebaliknya si Dewa Tertawa mempunyai pendapat sendiri, kata nya: „Ih-ji sejak kecil kuasuh dan kudidik seperti anakku sendiri. Memang aku merasa sedih atas terjadinya hal itu, namun kalau dipandang dari sudut peraturan, aku tak berani terlalu memihak padanya." Shin-tok Kek terkesiap berpaling menatap tajam-tajam ke arah si Dewa Tertawa. „Bok loji, apa artinya perkataanmu itu?” tanyanya.

Kembali sepasang alis si Dewa Tertawa menjungkat ke atas. ujarnya: „Negara mempunyai undang-undang, rumah tangga mempunyai peraturan. Sudah sejak berpuluh-puluh tahun Peh-hoa-kiong merupakan daerah terlarang bagi kaum lelaki dan melarang anak muridnya menikah. Peraturan itu dipegang teguh. Ih-ji berani mati melanggar peraturan itu. Kalau dia tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kau, mungkin jiwanya sudah melayang."

Si Rase Kumala tertawa dingin.

„Setiap memecahkan persoalan, Shin-tok Kek selalu tak mengabaikan perasaan dan nalar (cengli). Soal perkawinan adalah sudah menjadi kodrat alam. Peraturan Peh-hoa-kiong itu, berjiwa melanggar hukum alam. Dan kalau mengingat peristiwa dulu, perlakuan Hun-si-sam-sian terhadap Ih-ji itu, juga melupakan budi perasaan," kata Shin-tok Kek.

Sejenak berhenti lalu melanjutkan pula: „Bok loji, aku tak suka dengan segala peraturan mati. Aku hanya menjunjung logika (nalar) yang nyata. Lepas dari persoalan Ih-ji, aku akan menggunakan kesempatan kali ini untuk mencicipi ilmu kesaktian dari Peh-hoa-kiong yang termasyhur itu."

Lepas bebas si Rase Kumala menyatakan perasaan hatinya, hingga dalam suasana yang sunyi senyap itu, kedengaran makin nyaring.

Si Dewa Tertawa menjadi tegang juga perasaannya. Sebenarnya dia mengharap urusan itu dapat diselesaikan secara damai.

Tetapi mengingat akan perangai sahabatnya itu, dia kuatir kalau mencegah malah akan menambah minyak dalam api. Membayangkan akibatnya nanti, wajah si Dewa Tertawa yang biasanya berseri girang itu, menjadi lesu muram. Kini mereka berdua sudah melintasi hutan bwe dan melangkah kedataran luas dimana biara Peh-hoa-kiong berdiri dengan tegaknya. Suasana biara itu sunyi senyap, pintunya tertutup rapat-rapat.

„Perjanjian sudah tiba saatnya, mengapa tak tampak suatu apa?” Si Rase Kumala tertawa dingin sembari menghampiri ke pintu, „apa boleh buat, terpaksa harus mengetuk pintu."

Sampai ditangga yang menjurus kepintu, tetap tak ada perobahan. Si Rase Kumala hentikan langkah dan berseru lantang-lantang: „Apakah benar-benar tuan rumah tak mau menyambut kedatangan Shin-tok Kek ini?"

Sembari berkata begitu, sepasang tangannya didorongkan kemuka. Pintu yang letaknya masih jauh itu kedengaran berbunyi keretekan dan terpentang lebar.

Ruangan biara itu ternyata terang-benderang, tapi tiada seorangpun yang kelihatan. Si Rase Kumala tertegun tapi lantas tertawa dan berpaling ke arah Bok Tong: „Rupanya kita berdua terpaksa masuk sendiri!''

Si Dewa Tertawa mengerut kening, pikirnya: „Biarpun Hun- si-sam-sian berwatak aneh, tapi terhadap kita berdua, tak seharusnya dia berbuat begini. Entah apa maksudnya!''

Dalam pada itu, Shin-tok Kek sudah naik ke atas tangga dan masuk ke dalam pintu. Terpaksa si Dewa Tertawa mengikuti. Di belakang pintu terdapat sebuah halaman luas yang lantainya terbuat dari batu marmar hijau mengkilap.

Sebuah ruangan besar yang megah, berdiri ditengah halaman itu. Sepintas pandang, ruangan itu seolah-olah bermandikan cahaya lampu.

Dengan langkah tenang, si Rase Kumala masuk pelahan- lahan sembari sapukan matanya ke sekeliling penjuru. Seri wajahnya setitik pun tak menampilkan perasaan marahnya. Suatu hal yang membuat kagum si Dewa Tertawa, disamping cemas akan nasib Peh-hoa-kiong.

„Dari tempat jauh Shin-tok Kek datang kemari, apakah tuan rumah baik-baik saja?” ke arah ruang besar si Rase Kumala berseru nyaring.

Sesosok tubuh muncul dari ruangan dalam. Itulah Sik Leng-

ji.

„Suhu mempersilahkan dan menyuruh wanpwe mengantar

sianseng,” kata nona itu dengan menghaturkan hormat kepada kedua tetamunya.

Si Rase hanya mengulum senyum seraya memberi isyarat tangan. Tapi begitu Leng-ji dan kedua tetamunya tiba di muka ruangan besar, Hun-si-sam-sian dengan rombongan anak muridnya sudah keluar menyongsong.

Setelah memberi hormat, Ko-shia-siancu Hun Yak-lun berkata: „Sianseng adalah tetamu-tetamu terhormat, tapi karena Peh-hoa-kiong tak pernah menerima kunjungan kaum lelaki, jadi tadi telah tak menyambut sebagaimana mestinya, harap sianseng memaafkan!”

Si Rase Kumala balas memberi hormat, kemudian sambil tertawa panjang dan menyahut: „Pun sebaliknya kami berdua minta maaf atas kelancangan masuk ke dalam biara suci ini.”

Wajah Ko-shia-siancu Hun Yak-lun agak merah.

„Adalah kesalahan kami bertiga saudara yang kurang sopan, bukan pihak sianseng, yang perlu minta maaf. Apalagi tempo dahulu ibu kami pernah menerima budi kebaikan siangseng …….”

„Sudahlah, urusan lama jangan diungkat lagi. Shin-tok Kek sudah lama melupakannya. Hanya sampai disini mata si Rase Kumala menyapu kesekeliling ruangan, lalu melanjutkan berkata: „Cucuku yang tak tahu adat itu, berada dimana?” Sikap si Rase Kumala yang sombong angkuh itu, sebenarnya sudah membangkitkan amarah Hun-si-sam-sian. Namun dengan penuh toleransi, Hun Yak-lun menjawab dengan tenangnya: „Kini Siau saohiap tengah beristirahat dipondok Yang-thay-suan.”

„Yang-thay-suan adalah sebuah tempat yang suci. Sungguh aneh, mengapa seorang anak yang melanggar peraturan, diberi tempat disitu?” habis berkata begitu, Shin-tok Kek berpaling dan menanyakan pendapat si Dewa Tertawa.

Belum si Dewa Tertawa menyahut, Ko-shia-siancu sudah mendahului berkata dengan nada bersungguh: „Dikatakan bahwa kalau hanya dipelihara tanpa dididik, itulah kesalahan orang tua. Tapi kalau mendidik tak keras, itulah kelalaian guru. Terhadap kaum angkatan muda, asal tak berbuat kejahatan, Peh-hoa-kiong takkan menghukum keterlaluan

……..”

„Dengan begitu, tanggung jawab seluruhnya terletak dibahu orang tua, bukan?” tukas si Rase Kumala tertawa dingin.

„Benar!" sahut Ko-shia-siancu tak kurang tawar.

Si Rase Kumala kembali tertawa dingin, ujarnya pula:

„Apakah hal itu cukup adil?”

Betapapun berkobarnya amarah Ko-shia-siaucu kala itu, namun mengingat mendiang ibunya pernah menerima budi kebaikan dari si Rase Kumala, terpaksa ia kendalikan diri. Hanya wajahnya segera tampak membeku dingin dan menyahut tegas: „Bagi yang memegang teguh aturan, tentu tak merasa diperlakukan tak adil.”

Tertawalah si Rase Kumala, sanggahnya: „Sepanjang melakukan perbuatan, Shin-tok Kek selalu bertindak secara terang. Entah dalam hal apa dianggap menyalahi peraturan itu? Aku dan Bok Lo-ji sengaja datang memenuhi undangan siancu untuk menerima koreksi.” Sikap dan nada si Rase Kumala yang makin jumawa itu, membuat Ko-shia-siancu makin mendidih hatinya. Dengan wajah geram, ia berkata: „Karena sianseng menanyakan, kamipun harus menjawab. Untuk urusan malam ini, kami bertiga saudara hanya akan mengutarakan tiga buah permintaan. Tentang memberi koreksi, kami sungguh tak berani.”

„Ah, untung hanya tiga buah permintaan. Biarlah Shin-tok Kek menunggu dengan hormat,” tertawa si Rase Kumala dengan angkuh.

Sejenak melirik dengan gusar kepada sang tetamu, berkatalah Ko-shia-siancu: „Pertama, mengeluarkan murid murtad itu dari perguruan.”

„Itukan urusan siancu sendiri, Shin-tok Kek tak berhak campur tangan,” cepat-cepat si Rase Kumala memberi ulasan.

Ko-shia-siancu tak mau menghiraukan. Katanya pula: „yang kedua, kami serahkan Siau Ih pada sianseng supaya diberi didikan.

Si Rase Kumala mendengus dingin.

Sejenak sapukan mata ke arah Shin-tok Kek dan si Dewa Tertawa, berkata pula Ko-shia-siancu dengan nada yang  lemah lembut mengandung tantangan: „Dan yang ketiga, karena Siau Ih berani tengah malam memasuki daerah terlarang seluas sepuluh li, dengan begitu melanggar peraturan Peh-hoa-kiong yang sudah beratus tahun itu, kami akan minta peradilan dari sianseng berdua!"

Si Dewa Tertawa yang mengharapkan perdamaian, sudah tentu menjadi kaget. Tapi tidak demikian dengan si Rase Kumala.

„Mengapa daerah Hiang-swat-hay seluas sepuluh li, menjadi daerah terlarang? Hal apakah yang menjadi larangan Peh-hoa-kiong selama seratusan tahun itu? Ingin sekali Shin- tok Kek mendengar penjelasan!” tenang dan tegas si Rase Kumala memberi reaksi.

„Peh-hoa-kiong menjadi daerah terlarang bagi kaum lelaki, anak murid Peh-hoa-kiong dilarang kawin, setiap kaum persilatan tentu sudah mengetahui. Mana bisa seorang tokoh macam si Rase Kumala tak tahu! Jadi terang kalau tokoh itu ‘sudah bersuluh menjemput api' atau sudah tahu masih bertanya pula.”

„Siau Ih mengadakan hubungan rahasia dengan muridku yang murtad. menjadi bukti bahwa dia telah melanggar peraturan yang sudah menjadi tradisi ratusan tahun dari Peh- hoa-kiong!" sahut Ko-shia-siancu dengan suara tajam.

Pecah mulut si Rase Kumala tertawa gelak-gelak. „Oh, kiranya begitu ………” katanya lalu serentak mengganti wajah tertawa menjadi kereng angkuh: „Sudah sembilanpuluh tahun Shin-tok Kek melihat matahari, selama itu tak mau bertindak dalam hal bertentangan de-ngan hukum alam. Perkawinan antara pemuda dan pemudi, asal tidak melanggar garis-garis kesopanan, adalah sesuai dengan kodrat alam. Mengapa harus mengadakan larangan terhadap sesuatu yang menjadi kodrat manusia ”

Berkata sampai disini kembali Shin-tok Kek tertawa nyaring pula dan berkata: „Lohu memang gemar mengurus segala macam urusan, apalagi mengenai urusan cucu sendiri. Oleh karena hal itu bukannya suatu kejahatan, mengapa tak mau bantu menyelesaikan? Lohu hendak mewakili cucu lohu itu, untuk mengajukan permohonan kepada siancu agar sudi menjadikan pernikahan itu.”

Saking murkanya, sepasang alis Ko-shia-siancu menjungkat naik, wajahnya pucat seperti kertas.

„Pemilik pertapaan Lan-chui-suan meskipun amat dimuliakan dunia persilatan, tapi Peh-hoa-kiong pun bukan sebuah tempat yang mudah dihina. Atas budi yang sianseng limpahkan kepada mendiang ibu kami, biarlah lebih dahulu kami bertiga saudara memberi hormat selaku terima kasih kami. Setelah itu, barulah kita bereskan persoalan ini."

Diikuti oleh kedua saudaranya, Ko-shia-siancu segera mundur tiga langkah, lalu memberi hormat setinggi-tingginya kepada Shin-tok Kek.

Pun Shin-tok Kek menarik pulang keangkuhannya dan membalas hormat, ujarnya: „Bunga merah maupun teratai putih, semua berdaun hijau. Kaum persilatan pun semuanya sekeluarga. Bahwa dahulu telah memberi bantuan, itulah sudah menjadi kewajiban kita, bagaimana lohu berani menerima pernyataan terima kasih siancu? Tapi untuk rasa berbakti yang siancu bertiga unjukkan itu, Shin-tok Kek amat memuji.”

Sehabis memberi hormat, tiba-tiba wajah Ko-shia-siancu berobah muram lagi, katanya: „Sudah lama kami mengagumi akan kesaktian Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap yang menggetarkan dunia persilatan. Bahwa hari ini dapat bertemu muka, sungguh suatu keberuntungan besar. Rasanya tiada lain jalan yang dapat ditempuh lagi untuk menyelesaikan urusan ini, selain dengan cara kaum persilatan. Berdua pihak mengeluarkan kepandaiannya untuk menemukan kebenaran!"

Kembali keangkuhan si Rase Kumala bangkit yang diutarakan dengan tertawanya. „Siancu serba tangkas dalam perkataan dan perbuatan. Shin-tok Kek sungguh kagum. Urusan malam ini, lohu hanya mengiringkan saja kehendak siancu itu.”

„Pertempuran malam ini, cukup dilakukan dalam tiga babak. Tentang bagaimana caranya, karena sianseng sebagai tetamu, Hun Yak-lun dengan segala senang hati akan menurut saja.”

Si Rase Kumala berhamburan gelak, serunya: „Seumur hidup lohu tak mau minta murah (menindas) orang. Terhadap pihak Siang Ceng Kiong dan Goan Goan Cu, pun tak terkecuali. Bok loji pun bukan bangsa tikus yang temaha menang secara murah. Karenanya kami kembalikan saja acara pertandingan ini kepada pilihan siancu saja."

Tiba-tiba si Dewa Tertawa yang sejak tadi diam saja kini buka suara: „Kalian dan aku, bukan bangsa anak kecil lagi yang mudah dipengaruhi oleh luapan perasaan. Dahulu aku si Dewa Tertawa memang terkenal sebagai orang yang berangasan, tapi dengan bertambahnya usia, sifat keberangasanku itu hilang ditelan masa. Kini aku lebih mengutamakan cara damai. Meskipun aku tersangkut juga, tapi masih kuharapkan penyelesaian secara damai ini, bukan berarti, bahwa aku Bok Tong takut perkara. Kalau sudah terlanjur, sekalipun tubuh hancur lebur, aku tetap pantang mundur!"

Ko-shia-siancu mengangguk, serunya: „Sungguh pantas dipuji bahwa Bok tayhiap mempunyai pandangan yang begitu bijak. Kami bertiga berpuluh tahun menyekap diri di Lo-hu- san. Anak murid kamipun jarang turun gunung. Dengan sendirinya kami tak suka setori dengan orang. Bahwa kali ini Shin-tok sianseng sudi berkunjung kemari, sudah tentu kami akan menyambut dengan hormat dan pula kami jamin Siau Ih tentu tak kurang suatu apa.”

Baru si Dewa Tertawa hendak menjawab, si Rase Kumala sudah memberi isyarat tangan dan mendahului: „Apa yang Shin-tok Kek ucapkan, belum pernah ditarik kembali. Hanya dengan ngukur kepandaian, kita putuskan soal ini dengan adil. Ketetapan ini tak perlu dirobah lagi. Dengan tak menghiraukan kerendahan diri, Shin-tok Kek tetap akan mengajukan peminangan itu kepada siancu guna cucuku itu."

Sampai disini, si Dewa Tertawa menjadi putus asa. Urusan tak kena didamaikan lagi.

„Dahulu sam-coat (tiga datuk) bertemu di Siang Ceng Kiong dan kini ngo-coat (lima datuk) berjumpa di Peh-hoa-kiong. Sungguh dunia persilatan akan tambah kaya dengan cerita yang menarik," demikian Ko-shia-siancu tertawa tawar.

Duapuluh tahun berselang, untuk menolong Goan Goan Cu, Bing King Siangjin rela menerima sebuah pukulan dari si Rase Kumala. Peristiwa itu masih tetap mengganjel dihati si Rase Kumala. Bahwa Ko-shia-siancu mengungkat hal itu, perasaan si Rase Kumala menjadi tertusuk. Dari malu, dia menjadi murka.

„Memang bayangan masa yang lampau tetap memancar sampai sekarang. Sayang Bing King Hweshio tak ketahuan rimbanya, kalau tidak, dapatlah Shin-tok Kek menyelesaikan urusan itu sama sekali, agar tidak selalu mengganjel dihati," Shin-tok Kek tertawa angkuh.

„Ah, sudahlah, waktu amat berharga. Silahkan menyebut acaranya, Shin-tok Kek akan menyambut dengan patuh," katanya pula.

Betapapun kemarahan Ko-shia-siancu atas permintaan  yang kurang ajar dan sikap yang sombong dari Shin-tok Kek itu, namun ia tak berani terlalu mengumbar perasaan. Ia tahu siapa si Rase Kumala itu.

Akhirnya setelah merenung sebentar, Ko-shia-siancu berkata: „Kita berdua bukan bangsa anak kecil, jadi harus bisa bertindak secara tepat ringkas. Acara pertama, kita adu gin- kang dan ilmu pukulan di hutan bwe sana. Kemudian, adu ilmu pedang sebagai acara nomor dua, selanjutnya yang penghabisan ialah memecah sebuah barisan Peh-hoa-kiong. Entah apakah Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap setuju dengan acara sederhana itu?”

Si Rase Kumala yang cerdas segera dapat menangkap kemana tujuan tuan rumah. Tetap mengunjuk senyum keangkuhan, dia menyatakan persetujuannya: „Baik, memang tak perlu kita tawar menawar. Hanya konon kabarnya selain barisan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, Peh-hoa-kiong masih memiliki sebuah barisan sakti it-sam-goan-kiam-tin yang amat dirahasiakan Shin-tok Kek hendak memakai sebatang pit untuk menerimanya, entah apakah Sam-sian sudi memberi pelajaran."

„Karena siangseng menghendakinya, kami bertiga pasti suka menghaturkan ” kata Ko-shia-siancu sambil berhenti

sebentar untuk melonggarkan kesesakan napasnya. Kemudian katanya pula: „Apabila Peh-hoa-kiong beruntung memenangkan dua dari tiga pertandingan itu, harap Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap sudi membawa pulang Siau Ih dan diberi didikan yang lebih keras. Selangkahpun dia dilarang menginjak daerah Lo-hu-san lagi!“

Shin-tok Kek tertawa lebar, sahutnya dengan serentak:

„Kalau Shin-tok Kek kalah, bukan saja cucuku yang kurang adat itu akan kuserahkan bagaimana siancu hendak menghukumnya, pun aku dan Bok loji akan meninggalkan dunia persilatan untuk selama-lamanya. Tapi ………” - dia berhenti sesaat. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap Hun-si-sam-sian. Lalu meneruskan berkata: „Tapi kalau Peh- hoa-kiong tak dapat mengalahkan kami berdua,  bagaimanakah putusannya!"

„Tradisi larangan Pek-hoa-kiong yang sudah beratus tahun itu, akan hapus sejak itu!" sahut Ko-shia-siancu dengan tak kurang tegasnya.

„Baik, kita sudah sama-sama sepakat, silahkan!" kata si Rase Kumala sembari terus menarik si Dewa Tertawa diajak keluar.

Hun-si-sam-sian dengan diiringkan oleh anak murid angkatan kedua dan ketiga, segera mengikuti. Mereka kini saling berhadapan di tanah lapang.

„Dalam acara pertama, pihak siancu hendak mengajukan siapa?" tanya si Rase Kumala. Sebagai penyahutan, Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa tampil ke muka. Setelah memberi hormat kepada Shin-tok Kek, tanpa melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuhnya melambung ke udara melayang ke puncak sebatang pohon bwe. Gerakannya sedemikian halus, hingga setitik debu pun tak tergoyang.

Sejak dalam pertukaran bicara tadi, Leng-boh-siancu Hun Yak-hoa tak mengambil bagian. Begitu pertandingan dimulai, tahu-tahu dia sudah tampil yang pertama. Mau tak mau si Rase Kumala dan si Dewa Tertawa terkejut juga.

„Menilik kenyataannya, Hun-si-sam-sian memang pantas termasuk golongan sepuluh Datuk,” diam-diam si Rase Kumala membatin. Tapi sebagai seorang yang berhati tinggi, sudah tentu dia tak mau unjuk kelemahan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar