Si Rase Kumala Bab 27 : Pasrah Dengan Nasib .....

27. Pasrah Dengan Nasib .....

Mendengar itu, wajah Ko-shia-siancu agak muram. Setelah merenung sekian jenak, baru dia berkata pula kepada Siau Ih:

„Memang, setiap budi harus dibalas. Tapi muka Peh-hoa-kiong pun harus diselamatkan. Kini aku hendak memberi kelonggaran padamu untuk memilih salah satu dari syarat yang kuajukan ini.”

„Wanpwe menunggu dengan hormat,” kata Siau Ih.

Ko-shia-siancu tertawa dingin, ujarnya: „Syarat pertama, tinggalkan pedangmu disini dan kau boleh bebas pulang. Yang kedua, kalau kau mampu memecahkan barisan pedang kiu- kiu-kui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong, bukan saja kesalahan masuk kesini hebas, pun kedosaan murid murtad (Hui-yan) yang berani melanggar peraturan perguruan itu, takkan ditarik panjang lagi!"

Siau Ih bersenyum, tanyanya: .,Kalau wanpwe tak dapat memecahkan barisan pedang itu ”

„Kalau begitu, akupun takkan mengambil jiwamu, melainkan akan menyimpan kau dan muridku murtad itu dalam penjara terpisah, kemudian mengundang engkongmu kemari. Terlebih dulu nanti akan kujalankan hukuman pada muridku itu, baru kuserahkan kau pada engkongmu!”

Siau Ih tertawa memanjang.

„Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin adalah ilmu pusaka Lo-hu-san yang menggetarkan dunia persilatan. Kalaupun wanpwe tidak becus, namun ingin juga mencobanya. Wanpwe suka menerima syarat yang kedua itu.”

Melihat sikap meremehkan dari anak muda itu, Ko-shia- siancu terkesiap dan suruh dia menimbang lagi masak-masak.

Masih Siau Ih tertawa getir, sahutnya dengan tegas:

„Dengan mengesampingkan soal mati-hidup, barulah wanpwe berani berkunjung kemari. Jadi apa yang wanpwe pilih tadi, sudah terpikir masak-masak. Hanya wanpwe mohon, sukalah cianpwe mengampuni jiwa adik Yan. Sekalipun tubuh wanpwe nanti mati tercincang, wanpwe takkan penasaran lagi.”

„Baik, kalau memang niatmu sudah tetap, akupun tak mau banyak omong lagi,” kata Ko-shia-siancu, lalu memanggil salah seorang dari rombongan delapan gadis kiu-hong.

Begitu gadis itu datang menghadap, Ko-shia-siancu memberi perintah supaya membawa Hui-yan kekamar tahanan Hui-lo lebih dahulu, baru kelak akan diputuskan hukumannya. Nona itu mengiakan dan Ko-shia-siancu memesannya supaya ia lekas-lekas datang kembali ke ruangan itu.

Begitu gadis itu menghampiri, Hui-yan sudah cepat berbangkit. Dengan air mata bercucuran, kembali dia memohon kepada suhunya: „Suhu, tecu rela menerima hukuman perguruan. Hanya saja sekali lagi tecu mohon suhu suka bermurah hati kepada giheng Siau Ih.”

Ko-shia-siancu bersikap dingin saja atas permintaan muridnya itu. Hui-yan menjadi putus asa, dengan air mata bercucuran dia memandang sejenak ke arah Siau Ih. Kemudian dengan menahan isak tangis, ia segera berjalan masuk ke pintu samping. Leng-ji cepat-cepat mengikutinya.

Menampak pemandangan yang memilukan itu, semangat Siau Ih menyala-nyala. Biar bagaimana ia hendak tumplak seluruh kepandaiannya untuk menghadapi ujian malam itu.

Tak berapa lama, Leng-ji muncul pula. Ko-shia-siancu menatap tajam-tajam ke arah Siau Ih, kemudian memberi isyarat dengan tepukan pelahan. Rombongan gadis pemusik yang ternyata menjadi murid angkatan ketiga dari Peh-hoa- kiong, segera bubar masuk ke dalam pintu samping.

Sementara ke delapan dara kiu-hong yang termasuk murid angkatan kedua, dengan dipimpin oleh Leng-ji segera melolos pedang dan mengatur diri dalam formasi barisan. Segala sesuatu berlangsung dengan rapi dan cepat.

Melihat itu, Siau Ih tersenyum, ujarnya: „Sesuai dengan namanya, kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin seharusnya dilakukan oleh sembilan orang, mengapa kini hanya delapan orang. Adakah cianpwe memang tak ber¬sungguh-sungguh hendak memberi ajaran pada wanpwe?”

Ko-shia-siancu mendengus dengan wajah murka, serunya:

„Aku bertiga saudara, tak sudi bertempur dengan kaum hopwe (angkatan muda). Itu berarti kemurahan besar bagimu. Apakah kau masih kurang puas?”

„Wanpwe tak berani kurang hormat dan menghaturkan terima kasih," sahut Siau Ih. Kemudian sebat sekali dia sudah melolos pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti ekor burung seriti itu. „Maafkan atas kekurang ajaran wanpwe ini," serunya sembari enjot sang kaki melambung sampai setombak lebih tingginya. Dengan gerak ui-liong-coan-sin (naga kuning membalik badan), dia melayang turun ditengah-tengah barisan.

Gerakannya yang indah, telah membuat ketiga Sam-sian mengangguk-angguk memuji. Siau Ih sendiri tegang hatinya, tapi dia coba berlaku tenang dengan menghias senyum.

Saat itu, Leng-ji pun sudah pindahkan pedang ke tangan kanan, lalu melintangkan ke muka dada, sedang dua buah jari tangannya kiri menjepit ujung pedang. Itulah cara memberi hormat dengan pedang.

„Sik Leng-ji menjalankan titah suhu, harap Siau-siaohiap siap sedia,” serunya.

Siau Ih cepat membalas hormat dan menyilahkan pona itu memulai lebih dulu. Leng-ji pun tak mau banyak bicara. Begitu ia gerakkan pedang, maka ketujuh dara dari Lo-hu-san segera mulai bergerak bergantian tempat untuk mengepung Siau Ih.

Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong dan ngo- heng-pat-kwa-kiam-tin dari biara Sing-ceng-kiong, merupakan dua buah barisan pedang yang sangat dimalui dunia persilatan. Hanya saja menurut penilaian, kiu-kiu-kui-goan- kiam-tin lebih unggul setingkat.

Gerakan itu terdiri dari sembilan perobahan dari satu sampai sembilan kemudian balik kembali ke satu, maka dinamakan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin (sembilan kali lalu kembali pada permulaan).

Tapi oleh karena Hui-yan tak ikut, jadi barisan itu hanya bergerak sampai pada perobahan ke delapan saja.

Siau Ih dengan tenang, menunggu dengan penuh perhatian. Ke delapan dara itu masing-masing menjulurkan pedangnya sedikit ke muka, diimbangi oleh tangan kiri yang diangkat hingga sampai ke alis, lalu bergerak-gerak pindah tempat dengan rapi.

Sebelumnya Siau Ih sudah terisi oleh rasa jeri terhadap kebesaran nama Hun-si-sam-sian, namun beratnya hendak membela orang yang dicintai, dia bersedia bertempur mati- matian juga.

Kala itu sudah hampir jam tiga malam, bintang-bintang hampir memudar. Cepat dia ambil keputusan untuk lekas turun tangan. Leng-ji adalah kepala dari barisan itu.

Untuk menghancurkan barisan itu, haruslah pokoknya yang digempur. Justeru pada saat itu, Leng-ji sedang berputaran dihadapannya. Kesempatan itu tak boleh disia-siakan. Dengan bersuit nyaring, dia segera maju menyerangnya.

Siau Ih gunakan tujuh bagian tenaganya, dan serangannya dengan jurus hui-poh-liu-cwan (air terjun mencurahkan sumber) mengandung perobahannya sukar diduga. Rasanya Leng-ji tentu sukar menghindar.

Tapi pada detik itu, Leng-ji sudah bergerak beralih tempat. Siau Ih tertawa, memutar tubuh dia robah hantaman menjadi tutukan ke arah jalan darah dipundak si nona. Dia yakin, betapapun lihay dan tangkasnya nona itu, tentu tak mampu mengelak.

Tapi selagi dia diam-diam bergirang, tahu-tahu dua dara yang berada disamping kanan dan kiri, saat itu sama berputar datang. Tahu-tahu Siau Ih rasakan dua buah benda dingin menusuk dari kedua sampingnya.

Terpaksa Siau Ih tak dapat mengejar Leng-ji. Begitu kedua pedang kedua nona itu tiba, dia ajukan tubuh ke muka.

Pada saat itu, dilihatnya Leng-ji sudah maju mengganti lain tempat rekannya, selagi tempat Leng-ji itu masih luang, Siau Ih terus menyelonong maju. Pikirnya hendak menerobos keluar barisan. Biarpun tidak menang, asal bisa menerobos keluar, berarti diapun tak kalah.

Tapi ternyata lain teori lain kenyataannya. Baru Siau ih tiba dilubang barisan itu, sekonyong-konyong Leng-ji berputar tubuh terus, membabatkan pedangnya kepinggang Siau Ih.

Menurut teori seharusnya Leng-ji bergerak maju kedepan mengganti tempat yang ditinggalkan rekannya, tapi kenyataannya dia berputar balik untuk menghantam. Inilah yang menyebabkan Siau Ih kaget setengah mati. Oleh karena tubuhnya dienjot ke atas, jadi dia tak sempat untuk menghindar lagi.

Syukur dia masih dapat memikirkan sebuah jalan lolos. Dengan mengertak gigi kegeraman, dia injakkan kaki kanan ke punggung kaki kiri, berbareng itu tangannya kiripun menghantam kebawah.

Dua buah tenaga pinjaman itu cukup membuat tubuhnya melambung sampai setombak tingginya, dari itu dia berjumpalitan ke belakang untuk kembali melayang …… ke dalam barisan!

Sudah maksudnya lolos menjadi gagal, dia kalang kabut jungkir balik dan tak urungpun bajunya sebelah bawah robek tergurat ujung pedang si nona.

Barisan pedang kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, tetap bergerak dengan Leng-ji sebagai porosnya. Sejak turun gunung dan mengalami pertempuran beberapa kali, baru pertama kali itu Siau Ih pontang panting begitu macam. Sudah tentu dia menjadi naik darah. Saking marahnya, matanya menjadi merah seperti banteng buas.

Tiba-tiba dia bersuit nyaring, kini dia gunakan pedang pusakanya untuk membuka serangan. Dara yang kebetulan bergilir di depan Siau Ih, jeri melihat sinar pedang si anak muda yang berkilat luar biasa itu. Ia tak berani menangkis, melainkan menghindar ke samping. Siau Ih tertawa dingin, dia membayangi dan memburu dengan tiga buah serangan berturut-turut. Dara yang diincarnya itu, seketika menjadi terkurung dalam hujan sinar pedang.

Dari sekian ratus jago persilatan, hanya terpilih sepuluh yang digolongkan sebagai sepuluh Datuk. Dan Hun-si-sam- sian, termasuk dalam daftar ke sepuluh datuk itu. Jadi sampai dimana kepandaian dari pemimpin Peh-hoa-kiong itu, dapat dimaklumi.

Kesembilan dara kiu-hong itu, sejak kecil dilatih sendiri oleh Hun-si-sam-sian. Dengan Siau Ih, kesembilan nona itu seimbang kepandaiannya. Jadi barisan yang dimainkan menjadi pat-kwa-kiam-tin oleh kedelapan dara itu, mana  dapat ditembus dengan mudah.

Waktu salah seorang rekannya terancam, Leng-ji berteriak memberi komando. Ketujuh dara kiu-hong itu serempak memutar pedangnya terus menusuk punggung, pinggang, bahu dan lain-lain bagian fatal (mematikan) dari tubuh Siau Ih.

Anak muda itu bersuit keras, pedang dibalikkan menabas dalam jurus to-sia-sing-bo atau mencurahkan terbalik bintang bima sakti, berbareng itu tangan kiri menjotos lurus ke muka. Serangkum hawa panas, tetap menyerang nona yang terlolos dari serangannya pedang tadi. Sekaligus, dia menyerang dua lawan.

Sinar berkilat, logam bergemerincing dan jeritan seram terdengar. Siau Ih terkejut karena tak tahu apa yang telah terjadi. Begitu dia sempat memperhatikan keadaan lawan, ternyata barisan pat-kwa-kiam-tin itu sudah berobah. Delapan dara dari kawanan kiu-hong, ternyata tinggal enam orang dan barisan pat-kwa pun berobah bentuknya menjadi liok-hap. Apa yang terjadi?

Beberapa meter dari tempatnya, Siau Ih melihat dua orang dara berhenti bergerak. Yang satu kesima melihati pedangnya kutung separoh, yang satu terkapar di tanah dengan wajah pucat. Siau Ih sendiri menjadi terperanjat. Pada lain saat dara yang pedangnya kutung itu segera menghampiri ke tempat rekannya yang rubuh lalu mengangkatnya terus dibawa masuk ke belakang ruangan.

„Seorang pedangnya kutung, seorang lagi terluka berat, rasanya urusan malam ini akan menjadi berlarut-larut hebat. Tapi biar bagaimana, aku tetap akan berjuang mempertaruhkan nasib kita berdua,” diam-diam Siau Ih berkata dalam hati. Malah setelah mempunyai ketetapan itu, hatinya makin tenang.

Selagi dia siap hendak menggempur barisan liok-hap-kiam- tin, tiba-tiba disebelah tangga atas sana kedengaran Ko-shia- siancu Hun Yak-lun berseru: „Siau Ih, tadi kau mengaku putera Siau Hong, tapi ternyata permainanmu pedang itu adalah ajaran Siau-sian-ong Bok Tong, mengapa?”

Berhenti sejenak, Sam-sian itu melanjutkan pula: „Jika kau mengira Peh-hoa-kiong gampang dipermainkan, itu berarti hari kematianmu sudah tiba!"

Dengan adanya kesudahan pertempuran tadi, Sam-sian menuduh Siau Ih bohong dan hendak menghina kaum Peh- hoa-kiong, maka dia tinjau lagi keputusannya tadi. Sebaliknya diberi keringanan, kini Siau Ih hendak diperberat  hukumannya.

Tapi sebaliknya Siau Ih merasa tersinggung dengan ucapan Sam-sian itu. Sahutnya dengan rawan-rawan mendongkol:

„Apa yang cianpwe tanyakan itu memang benar. Kepandaian wanpwe ini memang berasal ajaran dari ayahku angkat Bok Tong. Hal itu disebabkan karena nasib wanpwe yang malang, tapi maaf, wanpwe tak dapat menuturkan soalnya. Hanya saja, sekalipun berumur muda wanpwe tak pernah menghina orang, lebih-lebih terhadap kaum cianpwe.” Ko-shia-siancu memperhatikan wajah pemuda itu. Katanya:

„Baik Siau-sian-ong Bok Tong maupun si Rase Kumala Shin- tok Kek keduanya adalah tokoh-tokoh istimewa. Kau sebagai muridnya, seharusnya berlaku jujur …..”

Kembali Ko-shia-siancu melirik ke arah Siau Ih. Oleh karena tadi telah berlaku kurang hati-hati, Siau Ih menjadi makin tak tenteram hatinya. Serta merta dia memberi hormat menghaturkan maaf atas kesembronoannya tadi.

„Dalam pertempuran, memang sukar terhindar dari terluka atau terbunuh. Asal sebelum besok pagi kau dapat membobolkan barisan itu, aku tak nanti mengingkari janji,” kata Ko-shia-Siancu.

Kala itu hari hampir menjelang fajar. Nasib Hui-yan dan dia sendiri, tergantung dari apa yang akan terjadi dalam satu dua jam saja. Maka secepat menghaturkan terima kasih, Siau Ih terus berputar tubuh menghadapi keenam dara dan mempersilahkan mereka memulai.

Leng-ji pun tak mau banyak cakap. Cepat dia memberi isyarat agar kawan-kawannya mulai bergerak dalam barisan liok-hap-kiam-tin. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang tadi. Melihat keganasan si anak muda, keenam dara itu hendak melakukan pembalasan.

Siau Ih sendiripun sudah merasa keterlaluan, dia menyesal dan tak mau berbuat ganas lagi. Dengan demikian, Siau Ih sudah kalah moril.

Sewaktu memperhatikan gerak gerik keenam dara itu, Siau Ih dapatkan apa yang disebut liok-hap-kiam-tin itu terdiri dari dua lapisan. Lapisan dalam terdiri dari tiga orang, lapisan luarpun tiga orang. Mereka merupakan sebuah lingkaran yang mengepung anak muda itu rapat-rapat, ibarat air hujanpun tak nanti dapat menerobos masuk ke dalam barisan itu. Diam-diam dia mengeluh dan putus asa. Namun karena dia masih berdarah panas dan berwatak congkak, jadi tetap tak mau menyerah.

Setelah sekian saat memperhatikan dan mempelajari barisan itu, diam-diam dia membatin: „Mereka terus menerus mengitari aku saja tapi tak mau menyerang. Jangan-jangan barisan ini serupa dengan barisan ngo-heng-pat-kwa-tin dari Siang-ceng-kiong. Musuh diam, merekapun diam, tapi begitu musuh mulai bergerak, mereka terus mendahului bergerak dulu untuk menindas ”

Berpikir begitu, dia teringat sewaktu dahulu engkongnya luar (si Rase Kumala) menghancurkan barisan ngo-heng-pat- kwa-kiam-tin. Akhirnya dia ambil putusan lebih baik mencobanya saja.

Kaki kanan agak dipijakkan keras-keras ke tanah, diantar oleh gerakan tangan kiri, tubuhnya condong ke muka menutukkan pedangnya ke arah Leng-ji yang saat itu kebetulan bergerak dihadapannya. Bagaimana reaksinya?

Ternyata apa yang diduga Siau Ih tadi, memang benar. Begitu ujung Siau Ih hampir kena, Leng-ji cepat menghindar ke samping, sedang dalam pada itu dua orang dara lainnya sudah lantas menusuk ke arah Siau Ih.

Serangan Siau Ih tadi hanyalah hendak memancing saja, jadi posisinya tetap tak berobah. Cukup dengan turunkan sedikit pundaknya, dia kelit pedang yang menyerang atas, sementara untuk pedang yang menyerang bawah, cepat-cepat dia balikkan pedangnya untuk menangkis. Gerakan berkelit sembari menangkis itu teramat sebatnya. Dia percaya lawan tentu akan kocar-kacir.

Tapi ternyata kedua dara penyerangnya itu sudah menyelinap keluar. Leng-ji dan kedua dara itu termasuk lingkaran dalam, begitu mereka bergeser keluar, maka ketiga dara dari lingkaran luar, cepat masuk menggantikan tempat Leng-ji bertiga.

Jadi antara barisan dalam dan barisan luar itu, ternyata bergantian tempat. Malah begitu mengganti ke dalam, ketiga dara itu berbareng menyerangkan pedangnya.

Lain engkong lain cucunya. Dahulu si Rase Kumala dengan kepandaiannya yang tinggi dan kegesitannya yang luar biasa, dapat menerobos dan mengocar-ngacirkan barisan ngo-heng- pat-kwa-tin, tapi Siau Ih tidak mampu. Hal ini disebabkan karena anak muda itu masih kalah jauh dengan engkongnya.

Pergantian tempat yang berlangsung cepat dan tepat itu, telah membuat Siau Ih kelabakan. Kalau tak mengandalkan gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia tentu sudah terluka.

Kebagusan barisan liok-hap-kiam-tin terletak disitu. Begitu diserang, barisan itu akan memberi reaksi yang cepat. Makin diserang, barisan itu makin hidup dan makin hebat perbawanya.

Bagaikan kupu-kupu menyusup diantara pohon bunga, keenam dara itu berkeliaran terbang berputar-putar mengepung Siau Ih. Bertubi-tubi bacokan pedang menghujani anak muda itu.

Bermula Siau Ih masih dapat membela diri dengan permainan pedang yang disaluri dengan lwekang kian-goan- sin-kong. Tapi dengan berjalannya sang waktu, dia menjadi keripuhan juga. Keringat mulai membasahi tubuh, napas tersengal-sengal dan kaki tangan mulai lambat gerakannya.

Kini dia sudah menyadari keadaannya. Harapan menang sudah ludas, yang ada hanyalah kekalahan yang akan menyebabkan engkong luarnya turut dapat malu juga. Dalam keputusan asanya, dia menjadi kalap. Hong-lui-kiau-ki (angin geledek saling berhantam), hong- gan-soh-i (burung meliwis pentang sayap), ban-hwat-kui-cong (seribu ilmu kembali ke asal), tiga buah serangan pedang sekali gus dilancarkan, dibarengi dengan tiga kali pukulan tangan kiri. Hujan sinar pedang dan samberan angin lwekang, menderu-deru dengan dahsyatnya.

Sebenarnya dua dara yang kebetulan berada di belakang Siau Ih, sudah menusuk punggungnya. Tapi demi dilihatnya anak muda itu tak mau menghiraukan jiwanya lagi karena sudah kalap, kedua dara itupun menjadi terkesiap sendiri.

Memang cara Siau Ih bertempur itu, sudah mata gelap. Kalau punggungnya tertusuk, tiga dara yang diserangnya itupun tentu terancam jiwanya.

Melihat sang tikus sudah masuk keperangkap, Leng-ji bersuit. Kelima kawannya cepat hentikan serangan dan mundur setombak jauhnya. Sudah tentu Siau Ih menjadi kaget.

„Mengapa mereka ………?”

Belum habis dia menimang dalam hati, atau keenam kiu- hong itu dengan tiba-tiba maju menyerang lagi. Siau Ih menjadi kelabakan lagi. Dia diserang dari enam jurusan. Betapa dia hendak menanggulangi, namun tenaganya tak mengizinkan.

Setelah dikocok selama hampir sejam itu, tenaganya seperti diperas habis-habisan. Baru tiga jurus saja, dia sudah rasakan lengannya kanan linu.

“Trang,” tanpa dikuasainya lagi, Thian-coat-kiam terpukul jatuh ke tanah. Bagaikan kumbang mengerumuni bunga, pedang keenam dara itu sudah lantas menempel di dada, kaki, lambung kanan kiri, kepala dan punggung Siau Ih. Dalam keadaan demikian, Siau Ih benar-benar mati kutunya. Untuk pertama kali sejak turun gunung, baru inilah dia mengalami kekalahan yang getir. Dan kekalahan itu telah membuyarkan seluruh harapannya. Dia menghela napas,  sedih dan kecewa.

Melihat keenam kiu-hong itu masih tetap memagarinya dengan ujung pedang, meluaplah kemarahannya.

„Kesatria boleh dibunuh, tak boleh dihina. Karena berkepandaian rendah, aku menyerah kalah, tapi mengapa nona sekalian tetap menghina begitu macam?"

Leng-ji merah mukanya. Dipungutnya pedang Thian-coat- kiam di tanah, kemudian memberi isyarat kepada kawan- kawannya supaya menyingkir ke samping.

Siau Ih tertawa getir. Setelah membersihkan pakaiannya dari debu dia memberi hormat kepada Sam-sian: „Wanpwe Siau Ih siap menerima hukuman."

Atas sikap jujur dari anak muda itu, ketiga Sam-sian itu diam-diam memuji. Kata Ko-shia-siancu: „Menang atau kalah, adalah lumrah. Bahwa semuda itu usiamu, kau dapat bertahan sampai lama dalam kepungan barisan kiu-kiu-kui-goan-kiam- cu, itu sudah cukup baik. Asal kau dapat memelihara, kelak tentu berhasil.”

Sian-cu itu berhenti sejenak, lalu menyambung lagi: „Kini akan kusuruh Leng-ji membawamu ke pondok yang-thay- suan. Setelah engkongmu datang dan sehabis kuberi hukuman pada muridku murtad itu, baru kuserahkan kau pada engkongmu. Leng-ji, antarkan Siau-siaohiap ini ke belakang gunung sana!"

Rasa hati Siau Ih seperti ditusuk-tusuk jarum, namun sebagai jago yang keok, dia tak dapat berbuat apa-apa. Setelah memberi hormat kepada ketiga siancu, dia lalu ikut Leng-ji. Kala itu hari mulai terang tanah. Bunga-bunga bwe dihutan Hiang-swat-hay mulai bangun menghias diri. Burung berkicau menyambut datangnya sang pagi. Seluruh penghuni gunung Lo-hu-san kembali bersuka ria, kecuali dua buah hati dari sepasang kekasih tengah dilanda kesedihan ……..

♠♠♠♠♠

Gunung Tiam-jong-san tengah bermandikan cahaya keemasan dari matahari yang mulai silam ke dalam laut. Di jalan besar kota Tay-li-seng, tampak mencongklang seorang penunggang kuda.

Begitu berada ditengah kota, kuda itu dihentikan. Kudanya tinggi besar berbulu hijau gelap, tapi penunggangnya seorang pemuda yang bertubuh kecil langsing. Serasi dengan warna bulu pemuda itu mengenakan serba hijau, baju, celana, ikat kepala sampai sepatunya.

Sehelai kain yang menutup hidung sampai kemulutnya. juga berwarna hijau. Sepasang matanya bening, dinaungi oleh sepasang alis rembulan tanggal muda. Pedang yang terselip dipinggangnya, diikat oleh sepotong sabuk warna hijau pula.

Kuda dan penunggangnya yang serba hijau itu, mudah menarik perhatian orang. Dari pakaian si penunggang yang penuh debu dan keringat yang membasahi tubuh kuda, menyatakan bahwa mereka habis datang dari perjalanan jauh.

Penunggang kuda asing itu cepat menjadi sasaran perhatian orang-orang dijalan itu. Namun penunggang kuda itu rupanya tak mengacuhkan. Kudanya dijalankan pelahan- lahan, sembari memandang kesana-sini.

Tak berapa lama, pemuda berkuda tiba di muka sebuah hotel. Dia turun dari tunggangannya terus menghampiri masuk.

„Mari, tuan, hotel ini terawat bersih, pasti Tuan puas," seru kawanan jongos yang tersipu-sipu menyambut. Pemuda baju hijau itu segera serahkan kudanya pada jongos, kemudian melangkah masuk. Tiba di ruangan tengah, pemuda itu dapatkan keadaan disitu amat ramai. Tetamu- tetamu tengah mengepung hidangan malam yang disiapkan sampai beberapa belas meja.

„Tuan, di ruangan belakang masih tersedia kamar kosong. Kalau tuan merasa keberisikan, silahkan pakai yang disana. Sebentar segera kami siapkan hidangan malam untuk Tuan” cepat-cepat jongos itu menawari demi melihat si pemuda kerutkan alis.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar