Si Rase Kumala Bab 26 : Ujian Dari Para Wanita

26. Ujian Dari Para Wanita

Kuatir terjadi apa-apa, lebih dulu Siau Ih salurkan lwekang kian-gun-sin-kong melindungi tubuh, baru dia masuk ke dalam hutan. Tapi sampai diujung penghabisan ternyata tak terjadi suatu apa. Diam-diam dia heran sendiri, mengapa tempat itu tak dijaga sama sekali.

Ujung hutan itu merupakan sebuah tanah lapang seluas sepuluhan hektar, ditaburi dengan pasir halus. Berpuluh tombak disebelah muka, tampak sebuah gedung mewah, dindingnya merah atapnya hijau.

Pintunya yang lebar bercat merah. Dikanan kiri, terdapat ciok-say (singa batu). Di atas pintu itu tergantung sebuah papan besar yang bertuliskan tiga huruf emas

„Peh-hoa-kiong”

(istana seratus bunga).

Kala itu Peh-hoa-kiong sudah diterangi lampu, namun keadaannya sunyi sekali. Kini tibalah Siau Ih ditempat tujuan terakhir. Tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia segera loncat ke atas pintu gerbang, dari itu melayang turun ke dalam. Lampu yang terang benderang dalam biara, telah membuatnya terkesiap.

Belum lagi dia mendapat kembali ketenangannya, tiba-tiba terdengar suara seruan yang dingin: „Siapakah yang bernyali besar berani masuk ke Peh-hoa-kiong ini? Lekas beritahukan nama perguruanmu, kalau memang tak sengaja, bisa diberi ampun. Tapi kalau membandel, akan dihukum berat!”

Sekalipun sudah mengetahui apa yang akan terjadi, namun hati Siau Ih bercekat juga. Dan belum lagi dia sempat menyahut, angin berkesiur mengantar munculnya empat gadis dari empat jurusan.

Mereka sama berpakaian warna hitam. Kesebatannya mirip dengan asap bergulung. Dan yang lebih mengesankan, adalah kecantikan mereka yang amat menonjol itu.

Waktu menghampiri lebih dekat, nyata keempat nona itu memakai pakaian seragam hitam, rambut terurai kepundak dan pinggang masing-masing menyelip pedang. Kini mereka sama berdiri berjajar memandang Siau Ih sambil meraba pedang.

Sepintas pandang tahulah Siau Ih bahwa mereka berempat itu adalah dari apa yang disebut kiu-hong atau sembilan burung cenderawasih, yakni sembilan murid kesayangan dari Hun-si-sam-sian. Lo Hui-yan tak tampak diantara mereka.

Dalam keadaan begitu, Siau Ih tak dapat mengumpet lagi. Dengan memberi hormat, dia menyahut: „Siau Ih murid Liu- hun-yan Tiam-jong-san, hendak mohon menghadap pada Hun-si bertiga cianpwe!”

Wajah keempat dara itu terbeliak kaget, tapi pada lain kilas mereka menguasai perobahan mukanya pula.

Siau Ih pun berlaku tenang sedapat mungkin. Dia tahu bahwa sekalipun nama Liu-hun-yap itu telah meredakan kemarahan mereka, namun ketegangan suasana sewaktu- waktu dapat pecah menjadi pertempuran.

„Sebagai murid dari Tiam-jong-san, tentulah saudara mengetahui peraturan Peh-hoa-kiong. Tapi mengapa tengah malam buta datang kemari?” kedengaran dara yang berdiri paling kiri sendiri berseru dengan dingin.

„Musim rontok tahun lalu karena bertempur dengan tiga penjahat di muka makam Gak-ong, aku telah berkenalan dan mengangkat saudara dengan salah seorang dari kiu-hong Peh- hoa-kiong. Karena sudah berbulan-bulan tak bertemu, aku amat merindukannya. Kumerasa perbuatanku datang kemari pada tengah malam ini tidak pantas, maka dengan hormat kumohon Hun-si cianpwe bertiga sudi memberi maaf sebesar- besarnya!”

Keempat dara itu memang mengetahui bahwa pemuda yang tampan garang itu tentu anak murid dari perguruan terkenal. Tapi setitikpun mereka tak mengira kalau anak muda itu berani bicara secara blak-blakan begitu.

Habis tertegun, dara tadi bertanya dengan, tertawa dingin:

„Saudara mengaku kenal dengan salah seorang dari kiu-hong. tapi entah yang manakah?” „Lo Hui-yan!" tanpa tedeng aling-aling lagi Siau Ih cepat menjawab.

Dara itu tertawa sinis, serunya: „Apa buktinya?”

Wajah Siau Ih bertebar merah, tapi cepat berganti dengan sikap keangkuhan

„Maaf, walaupun aku ini masih muda dan dangkal pengetahuan, tapi tetap taat akan peraturan perguruan yang melarang bersikap sombong menghina orang …….”

Sembari berkata itu dia merogoh keluar sebuah lencana kumala putih. Kiu-hong-giok-hu atau pertandaan anggauta kiu-hong diperlihatkannya.

Serunya: „Karena nona juga termasuk kiu-hong dari Peh- hoa-kiong, tentulah kenal akan benda itu. Adik Yan telah memberikan barang ini kepadaku selaku tanda sehidup semati

……” — dia berhenti sejenak.

Dengan wajah mengulum senyum kenangan yang  romantis, dia tertawa pula, katanya: „Maka sebelum kembali ke Tiam-jong-san, aku terpaksa menempuh bahaya, malam- malam masuk ke daerah terlarang ini, dengan harapan akan dapat bertemu sebentar dengan adik Yan." 

Sampai disini wajah Siau Ih berobah sungguh, ujarnya:

„Walaupun aku telah melanggar peraturan, tapi sekali-kali tak mengandung maksud jahat, demi kehormatanku harap nona suka mempercayai keteranganku ini."

Biasanya orang yang pernah masuk didaerah terlarang Peh- hoa-kiong adalah kaum persilatan bebodoran. Maka betapa kejut keempat nona itu bahwa pemuda yang dihadapan mereka itu adalah murid dari si Rase Kumala Shin-tok Kek, bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Dan lebih kaget pula mereka sewaktu mendengar bahwa Siau Ih hendak berjumpa dengan Lo Hui-yan, yakni suci (kakak perguruan) mereka yang kelima. Bermula mereka masih belum percaya, tapi kalung kumala kiu-hong-giok-hu itu menjadi saksi kuat. Memang go-suci mereka, Lo Hui-yan, ketika diijinkan turun gunung melakukan pembalasan sakit hati, pernah ditolong orang. Tapi keempat gadis itu tak mengira bahwa penolong suci mereka itu, ternyata seorang pemuda tampan yang gagah perwira.

Keempat kiu-hong itu saling berpandangan satu sama lain, tak tahu mereka bagaimana harus berbuat. Sekonyong- konyong terdengar suara lonceng mengalun dengan gencar.

Seketika berobahlah muka keempat dara itu. Cepat mereka menyingkir ke samping menjadi dua rombongan.

„Suhu telah mengetahui, harap berhati-hati!” kata gadis tadi kepada Siau Ih.

„Apakah ketiga Hun-si cianpwe akan kemari?" tanya Siau

Ih.

Gadis itu mengangguk dengan wajah muram. Jantung Siau

Ih berdebur keras, tapi dia segera tetapkan hatinya dan tegak berdiri menanti apa yang akan terjadi.

Saat itu dari arah ruangan besar terdengar bunyi musik, kemudian ruangan itu menjadi terang benderang. Enambelas dara cantik keluar membawa alat-alat musik.

Begitu tiba ditangga, mereka lalu pecah diri menjadi dua rombongan, berdiri dikedua samping. Menyusul muncul lagi lima gadis berpakaian serba hitam dan mengenakan pedang. Dandanan mereka itu persis seperti keempat dara yang menemui Siau Ih tadi.

Hati Siau Ih berguncang keras. Kelima gadis itu tentulah anggauta kiu-hong Peh-hoa-kiong, jadi Hui-yan tentu berada diantara mereka. Siau Ih memandang mereka dengan tak terkesiap. Benar juga gadis nomor satu pada deretan sebetah kiri, adalah Lo Hui-yan! Hati Siau Ih merangsang dan tak dapat dikuasai lagi mulutnya berseru: „Adik Yan ”

Hui-yan pun mengetahui siapa pemuda itu, seketika wajahnya berobah kaget, jantungnya serasa berhenti berdetak. Sehelai rambut dibelah tujuhpun ia tak mengira, bahwa orang yang berani masuk ke Peh-hoa-kiong itu, ternyata pemuda yang menjadi kenangan kalbunya.

Hui-yan dapat menerka apa maksud kedatangan Siau Ih itu, diam-diam ia merasa bahagia. Tapi demi teringat akan peraturan Peh-hoa-kiong dan hukuman-hukuman ngeri yang dijatuhkan pada mereka yang berani melanggar, hatinya menjadi gelisah cemas.

Seruan Siau Ih yang diucapkan dengan mesra itu, telah menggemparkan suasana di ruangan itu.

Di biara Peh-hoa-kiong yang menjadi daerah terlarang bagi kaum lelaki, telah terjadi adegan romantis. Hal ini benar-benar seperti halilintar berbunyi ditengah siang hari.

Getaran kalbu, telah membuat kedua muda mudi itu kelelap dalam saling pandang yang girang-girang cemas. Lupa mereka, bahwa kala itu mereka sedang berada ditengah- tengah suasana yang tegang meruncing.

Tiba-tiba terdengarlah suatu seruan lirih yang amat berpe¬ngaruh: „Yan-ji, kemarilah!"

Seruan itu telah membuat Siau Ih gelagapan. Memandang ke arah datangnya suara, entah kapan munculnya, diambang pintu ruangan besar itu tampak tegak berdiri tiga orang wanita setengah tua yang tampaknya masih cantik.

Mereka mengenakan pakaian indah war¬na wungu muda, kuning telur dan biru muda. Rambutnya disanggul tinggi, wajahnya tirus, masing-masing menyelip pedang dipinggang dan mencekal hud-tim (kebut pertapaan). Memang apa yang diduga Siau Ih itu benar. Ketiga wanita cantik pertengahan umur itu, adalah pemimpin dari biara suci Peh-hoa-kiong, tiga saudara she Hun yang masing-masing bernama Ko-shia-siancu Hun Yak-lun. Hui-yong-siancu Hun Yak-cian dan Leng-bok-siancu Hun Yak-hwa.

Ketiga kakak beradik itu terkenal dengan sebutan Hun-si- sam-sian atau tiga dewi she Hun. Karena ilmu silatnya tinggi, mereka digolongkan dalam anggauta ke sepuluh Datuk.

Dengun wajah yang sedingin es, Hun-si-sam-sian tampak meram-meram melek, seolah-olah tak mengacuhkan pemuda yang berada dihadapannya itu.

Sebaliknya saat itu tubuh Hui-yan kelihatan gemetar, sedang semua anak murid Peh-hoa-kiong yang berada dalam ruangan itu, sama tundukkan kepala tak berani bercuit. Suasana yang hening tegang itu, menggelisahkan Siau Ih juga.

Kisah kematian ayahnya yang tragis itu, terbayang pula dipelupuk matanya. „Kejadian yang menyedihkan itu, tak boleh terulang lagi di depan mataku ”

Dengan tekad demikian, ia bersedia menolong Hui-yan dari malapetaka. Tapi baru dia hendak melangkah maju, Hui-yan sudah mendahului naik ke atas tangga terus menjatuhkan diri berlutut dihadapan ketiga suhunya itu.

„Ah, celaka ……” keluh Siau Ih dalam hati. Namun dia tak dapat berbuat apa-apa karena terpancang oleh peraturan- peraturan disini. Hanya saja dia telah membulatkan tekadnya, kalau Hun-si-sam-sian bertindak seperti Goan Goan Cu terhadap mendiang ayahnya dahulu, dia tentu akan turun tangan juga.

Setelah mengambil ketetapan, darahnya yang bergolak- golak membakar tubuhnya tadi, agak menjadi sirap tenang pula. Tahu sudah dia bahwa urusan dalam perguruan, orang luar tak boleh turut campur, tapi pelajaran dari nasib ayahnya itu, telah merobah pandangannya terhadap segala peraturan perguruan yang tak adil.

„Yan-ji, kenalkah kau pada orang itu?” kedengaran wanita baju wungu yang berdiri ditengah kedua saudaranya, membuka mata dan bertanya dengan dingin. Sambil berkata itu, ia menunjukkan hud-tim ke arah Siau Ih, namun mata tetap memandang lekat pada Hui-yan. 

Siau Ih merasa tersinggung dengan sikap yang menghina itu, namun dia coba tindas perasaannya.

Hui-yan amat gelisah. Siau Ih adalah penolongnya yang telah mengembalikan jiwanya. Lebih dari itu, anak muda itu ternyata telah mencuri hatinya. Hati anak muda manakah yang takkan terkenang pada saat-saat pertemuannya dengan sang jantung hati?

Tapi sebagai seorang murid, iapun tak lupa akan budi besar dari sang suhu yang telah mendidik selama belasan tahun. Lebih tak dapat melupakan pula ia akan peraturan yang  bengis dari perguruannya itu.

Merenung sejenak, dengan menggigit gigi, ia menyahut:

„Ya, tecu kenal padanya!”

„Hem ………“ dengus si dewi baju wungu mengangguk,

„tuturkan perkenalan kalian dengan terus terang!"

Hui-yan makin gemetar, mendongakkan kepala ia menjerit pilu: „Suhu …….” Hanya begitu sang mulut dapat mengucap karena tersumbat beserta air matanya yang membanjir.

„Kau hendak melanggar perintah suhu?" tetap Sam-sian itu berseru dengan nada bengis.

„Tecu tak berani,” seru Hui-yan dengan gemetar. Sam-sian itu mendengus.

„Kalau begitu, mengapa tak lekas-lekas bercerita? Kalau kau tak bersalah, mengingat selama belasan tahun ini kelakuanmu tak tercela, tentu akan mendapat keringanan. Tapi jika tidak begitu, jangan persalahkan aku berhati kejam!” berkata Sam-sian itu dengan nada membesi dan sejenak menyapukan matanya yang berkilat-kilat ke arah Siau Ih.

Kesempatan terbuka bagi Hui-yan. Asal ia dapat mengatur ceritanya begitu rupa tentu akan bebas. Tapi dia bukan seorang nona yang temaha hidup, dan suka berbohong.

Bagaimanapun juga tak dapat ia melupakan pemuda yang sudah menolong jiwa, mengangkat saudara dan mencuri hatinya itu. Setiap manusia tentu ingin hidup, tapi apa guna kehidupan itu kalau tak dapat berdampingan dengan orang yang dicintainya?

Akhirnya setelah terjadi pertarungan hebat dalam batin, antara kebaktian terhadap budi suhu dan kecintaan terhadap pemuda yang menolong jiwanya, ia memilih yang tersebut belakang. Mati karena cinta, adalah bahagia.

Hui-yan pelahan-lahan mendongak, disingkapnya rambutnya yang terurai lalu mengusap air matanya. Kemudian dengan nada tenang, ia menuturkan pengalamannya.

Bagaimana ia bertempur dengan Teng Hiong dimakam Gak- ong dan dilukainya, kemudian ditolong Siau Ih terus dibawa ke gunung Ki-he-nia untuk berobat pada To Kong-ong. Setelah sembuh, ia mengangkat saudara dengan Siau Ih selaku tanda terima kasihnya, dan untuk menghindari tuduhan orang yang bukan-bukan.

„Sungguh tak nyana, sampai akhirnya ……” berkata sampai disini Hui-yan terhenti sejenak, wajahnya agak menyuram. Rupanya dia tengah berusaha untuk menguasai perasaannya.

„Hal itu mungkin disebabkan karena manusia itu mempunyai perasaan, bukan macam pepohonan. Akhirnya tecu terjerumus dalam perangkap asmara. Namun tecu masih tetap mengindahkan peraturan perguruan. Setelah menimbang masak-masak, akhirnya tecu ambil putusan untuk kembali ke Peh-hoa-kiong sebelum perangkap itu makin erat menjerat. Namun menurut suara nurani, tecu telah mengabaikan peraturan perguruan dan memberikannya giok- hu selaku tanda mata. Demikian penuturan tecu yang sejujurnya."

Menurut irama nada Hui-yan yang bercerita, kerut wajah Sam-sian baju wungu itupun turut terlihat makin gelap. Habis mendengar seluruh cerita, alis Sam-sian itu menjungkat naik, wajahnya menampil amarah.

„Jadi kau akui telah mengadakan hubungan kasih dengan dia?!"

Gemetar tubuh Hui-yan mendengar pertanyaan suhunya itu. Dengan suara berat dia mengiakan.

„Yan-ji, coba kau ucapkan bagian yang terakhir dari sepuluh pantangan Peh-hoa-kiong?" Sam-sian berseru murka.

Seketika wajah Hui-yan berobah ngeri, tapi pada lain jenak, sudah tenang kembali dan bahkan tampak tenang sekali.

Dengan nyaring dan tegas, ia mulai mengucapkan kalimat itu: „Barang siapa anak murid kami, mengadakan hubungan cinta dengan orang, akan menerima hukuman dipunahkan kepandaian lebih dulu, kemudian disuruh menghabisi jiwanya sendiri."

„Kau mengaku berdosa?" tanya Sam-sian baju wungu.

„Tecu mengaku berdosa."

Sam-sian mengangukkan kepala, ujarnya pula: „Apa kau masih ada lain perkataan lagi?"

„Tecu hanya mempunyai dua buah harapan. Pertama, tecu amat kecewa karena belum dapat membalas budi suhu. Kedua, setelah tecu nanti meninggal, sukalah suhu memberi kebebasan pada Siau Ih gi-heng itu. Tecu merasa sangat berterima kasih sekali," kata Hui-yan dengan rawan. Sam-sian baju wungu mendengus dingin, berkata: „Sebagai suhu, aku meluluskan permintaanmu itu."

Hui-yan tertawa pilu lalu menghaturkan terima kasih. Berputar ke arah sam-sian baju biru dan Sam-sian baju kuning, ia berdatang sembah: „Tecu menghaturkan selamat tinggal pada susiok berdua.”

Mau tak mau, Hun-si-sam-sian yang berwajah dingin itu, menampil kerut haru juga. Namun dengan cepatnya mereka dapat menguasai perobahan mimiknya.

„Kini sebagai suhu aku hendak menjalankan hukuman perguruan," sesaat kemudian berkatalah Sam-sian baju wungu sembari gerakkan pelahan-lahan hud-timnya ke arah Hui-yan yang masih berlutut dihadapannya.

Siau Ih terperanjat. Dia harus bertindak cepat. Sebat sekali ia sudah melesat ke muka ditengah Hui-yan dan Hun-si-sam- sian.

Menjurah memberi hormat, dia berkata: „Apakah wanpwe boleh menghaturkan sepatah kata?” - Dalam pada itu, diam- diam dia sudah ke¬rahkan tenaga dalam untuk mendorong pelahan-lahan kebut hud-tim sampai dua-tiga dim ke samping.

Karena tak bersiaga, Sam-sian baju wungu itu sampai menyurut setengah tindak. Seketika meluaplah amarahnya. Sepasang matanya berkilat-kilat.

„Jadi kau hendak mencampuri urusan Peh-hoa-kiong, Ya?” tanyanya dengan bengis.

Tindakan Siau Ih itu bukan melainkan membuat semua orang terkejut, sampaipun Hui-yan sendiri terperanjat sekali. Sebalik nya Siau Ih tetap tenang saja.

„Wanpwe tak berani," sahutnya dengan pelahan.

„Habis apa maksudmu tadi?" seru Sam-sian makin naik pitam. „Wanpwe hanya hendak mengucap sepatah kata." „Katakanlah!" Sam-sian itu tertawa dingin.

„Wanpwe Siau Ih adalah anak murid dari Lan-chui-suan lembah Liu-hun-hiap Tiam-jong-san …….”

„Siaocu, jangan tekebur," tukas Sam-sian dengan marah besar, „Shin-tok Kek belum pernah menerima murid seorangpun jua. Apa buktinya kau mengaku muridnya? Hem, kau kira kami bertiga tak pernah turun gunung, ya? Bilang terus terang, mungkin ada keringanan, tapi jika tidak, bangkaimu tentu tak ada tempat berkubur!"

Menghadapi Sam-sian pemimpin biara Peh-hoa-kiong yang tengah marah besar itu, Siau Ih bersikap tenang saja. Sembari mengulum senyum. dia berkata: „Sukakah kiranya cianpwe lebih dahulu memberitahukan gelaran yang mulia?”

„Aku Hun Yak-lun! murid siapakah kau ini sebenarnya?"

Kini wajah Siau Ih berobah bersungguh, ujarnya: „Apa yang Cianpwe katakan tadi memang benar. Lan-chui-suan belum pernah menerima murid. Tetapi engkau hanya tahu satu, tidak mengerti dua."

Memang Sam-sian baju wungu itu adalah Ko-shia-siancu Hun Yak-lun, sedang yang berdiri dikanan kirinya adalah Hu- yong-siancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa. Penyahutan Siau Ih tadi telah membuat ketiga Sam-sian itu terperanjat. Hampir saja mereka, tak dapat menguasai kemurkaannya lagi.

Bagaimana dengan Siau Ih? Sebenarnya walaupun lahirnya tampak tenang, tetapi batin Siau Ih juga tegang sekali.

Sesaat kemudian, Siau Ih menyambung perkataannya lagi:

„Pemilik Lan-chui-suan itu, adalah engkongku luar!” Wajah ketiga Sam-sian itu berobah seketika.

„Kalau begitu, kau ini anaknya Siau Hong dan Shin-tok Lan?" Pertanyaan itu bagaikan sembilu menusuk hati Siau Ih. Seperti tak bertulang, lehernya mengulai tunduk dan menyahut dengan pilu: „Benar."

Ko-sia-siancu merenung sejenak. Tiba-tiba wajahnya berobah membesi dan mulutnya berseru bengis: „Sebagai keturunan dari tokoh kenamaan tentunya kau tahu akan peraturan Pek-hoa-kiong. Dengan nekad melanggar peraturan itu, apakah kau memang hendak menghina?”

Siau Ih bercekat. Dia insyaf betapa berbahayanya ucapan Ko-shia-siancu itu. Sekali dia memberi penjelasan keliru, tentu akan menerbitkan onar besar.

„Dampratan cianpwe itu, wanpwe terima dengan ikhlas. Tapi hendaknya cianpwe jangan salah paham. Kedatangan wanpwe kemari ini, semata-mata hanya ingin bertemu dengan adik Yan, sebelum wanpwe kembali pulang lagi ke Tiam-jong- san. Walaupun wanpwe mengakui adanya ikatan-hati dengan adik Yan, namun selama itu wanpwe selalu memegang teguh batas-batas kesopanan. Mengenai hubungan wanpwe dengan adik Yan itu, engkong wanpwe pun sudah mengetahui. Berdasarkan jalan yang wanpwe tempuh itu selalu suci lurus, wanpwe baru berani datang kemari. Tapi apabila cianpwe tak dapat memaafkan perbuatan wanpwe itu, wanpwe pun rela menerima hukuman.”

Siau Ih telah menggubah kata-katanya sedemikian rupa, tidak sombong tidak merendah dan tetap sopan. Sampai Ko- shia-siancu tanpa terasa anggukkan kepala selaku memuji akan penyahutan anak muda itu. Namun pada lain kejap, wajah siancu itu sudah berobah menjadi dingin lagi.

„Jadi kau maksudkan, engkongmu luar itu amat memanjakan dirimu bukan?” tanyanya.

„Harap cianpwe jangan salah menafsir. Kedatangan wanpwe kemari ini adalah dari kehendak wanpwe sendiri." „Hem,” tukas Ko-shia-siancu, „meskipun watak dari Lan- chui-suan itu aneh sekali, tapi sejauh itu belum pernah mem¬bikin susah orang atau bertindak sembarangan.” - Ko- shia-siancu berhenti sejenak, sepasang matanya yang bagus berkilat-kilat memancar ke arah Siau Ih.

„Watak kaum persilatan selalu menjunjung budi kebaikan. Kaum Peh-hoa-kiong pantang bohong. Aku bertiga saudara memang benar dahulu pernah menerima budi  pertolongan dari engkongmu, budi itu sampai sekarang belum terbalas

…..,” berkata sampai disini Ko-shia-siancu segera berpaling, ke arah kedua saudaranya: „Ji-moay, sam-moay ”

Hu-yong-siancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa yang sejak tadi belum buka suara, kini cepat-cepat menyahut: „Setiap budi, memang harus dibalas. Bagaimana hendak memutuskan, terserah saja pada cici. Hanya saja, sejak berpuluh tahun peraturan Peh-hoa-kiong itu selalu dipegang teguh, kiranya cici tentu dapat menimbang dengan bijaksana.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar