Si Rase Kumala Bab 24 : Pertempuran Sadis …….

24. Pertempuran Sadis ……. 

Melihat si anak muda, kembali Kiau Hoan bercekat. Keluhnya: „Berpuluh tahun kusiksa diri meyakinkan thou-kut- im-kang yang tiada lawannya di dunia, kecuali hanya ilmu lwekang gan-li-ci dan kian-wan-sin-kang. Justeru kedua ilmu itu, kini sama muncul keluar. Entah angin apa yang membawa Kho Goan-thong muncul kembali ke Tiong-goan setelah absen selama duapuluhan tahun itu? Ah, rasanya pembalasan sakit hatiku malam ini, akan gagal ……”

Sebenarnya dia sudah putus asa, namun bagaimanapun juga, tak rela dia menghapus begitu saja dendam yang dikandungnya selama bertahun-tahun itu. Diam-diam dia telah mengambil ketetapan.

Dengan tertawa dingin, dia tak mau menyahuti ejekan Siau Ih, melainkan berpaling ke arah si tua berwajah merah dan kedua orang yang berwajah bengis.

„Inilah yang dibilang, penasaran selalu berbalas. Budak itu ialah musuh kaum kita!" katanya dengan tertawa tajam.

Kedua orang berwajah bengis itu segera tampil ke muka.

Serempak mereka bertanya: „Apakah kau ini Siau Ih?”

„Benar. Siapa kalian ini?” sahut Siau Ih dengan tertawa congkak.

Kedengaran Kiau Hoan tertawa mengejek dan mewakili menyahut: „Budak yang belum hilang bau pupukmu. Masakah tokoh termasyhur Cian-chiu-wi-tho Go Ki dan Kui-chiu-sian- seng Ko Ling, kau tidak kenal. Nah, telah kuberitahukan padamu supaya kau tak mati penasaran!”

Siau Ih belum lama turun gunung, pun Gan-li Cinjin sudah lama tak menginjak Tiong-goan, jadi mereka dingin-dingin saja mendengar nama kedua tokoh itu. Tetapi Liong Go tergetar hatinya.

Cian-chiu-wi-tho atau si Dewa Tangan Seribu Go Ki dan Kui-chiu-sian-seng atau si Tangan Setan Ko Leng itu, adalah algojo-algojo di dunia persilatan. Muncul lenyapnya tiada berketentuan, ganasnya bukan kepalang.

Mereka sudah bertahun-tahun tak kelihatan, kini tahu-tahu sudah masuk menjadi anggauta Thiat-sian-pang.

„Burung yang sama bulunya, tentu berkumpul bersama. Orang-orang yang menjadi koncomu, mana ada bangsa yang baik!" sahut Siau Ih dengan ejeknya.

Mendengar itu, si Tangan Setan Ko Leng sudah segera bersuit nyaring terus loncat menerkam bahu Siau Ih. Siau Ih yang tak menyangka sama sekali, sudah tentu menjadi kaget.

„Menilik jari-jarinya berwarna hitam, tentulah mengandung racun. Kalau sampai menjamah tubuhku, pasti celaka aku …”

Secepat kilat, Siau Ih segera bertindak. Lwekang kian-wan- sin-kang disalurkan ke seluruh tubuh untuk menutup semua jalan darah. Setelah itu dia rubuhkan badannya ke belakang sedikit, lalu taburkan kedua tangannya ke atas dalam gerakan hong-jit-ing-hun atau menyongsong matahari menyambut awan.

Si Tangan Setan tertawa mengekeh, serunya: „Di bawah telapak tanganku, tiada pernah orang masih dapat bernapas. Kau mau lari, heh?“

Bagaikan setan menjulurkan tangan, dia robah cengkeramannya itu menjadi gerak menekan. Bagaimanapun lihaynya anak itu, tentu akan tertindih binasa juga. Demikian pikirnya.

Tapi di luar dugaannya, ternyata dorongan anak muda itu telah mengeluarkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Begitu saling berbentur, dia terguncang keras. Bahu Siau Ih berguncang dan menyurut mundur sampai empat tindak.

Bagaimana dengan si Tangan Setan? Dia terhuyung-huyung sampai sepuluh langkah baru dapat berdiri tegak. Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu, kini sama jelas. Benar kesudahannya dua-duanya sama menderita, tapi lain penilaiannya. Yang satu memang memandang remeh, sedang yang lain karena tergesa-gesa melindungi diri.

Yang satu jago kawakan yang terkenal, yang lain seorang anak muda yang baru turun dari gunung. Baik kawan maupun lawan, sama terperanjat kagum melihat kehebatan lwekang Siau Ih.

Siau Ih kala itu tampak beringas. Rambutnya agak kusut, wajah merah padam, sepasang alisnya menjungkat ke atas.

Tiba-tiba dia tertawa nyaring, serunya: „Setiap budi, tentu berbalas. Nah, kaupun harus menerima sebuah pukulankul!” - Tangan menghantam dan melancarlah suatu tenaga yang panas membara ke arah si Tangan Setan yang berdiri pada jarak duapuluhan tindak itu. 

Benar wajah si Tangan Setan Ko Leng masih sedingin setan, tapi kemarahannya telah menyalur ke sepasang matanya yang berkilat-kilat buas. Melihat lawan menghantam, dia mendengus lalu undurkan kakinya setengah langkah dan balikkan kedua tangannya untuk menyambut.

„Bum,” kedua-duanya sama tersurut sampai tiga langkah!

„Buyung, pernah apa kau dengan si Dewan Tertawa Bok Tong?" tiba-tiba si Tangan Setan bertanya.

„Pernah apaku, tiada sangkut pautnya dengan kau!" sahut Siau Ih tertawa dingin.

Selain terkenal sebagai algojo ganas, dulu si Tangan Setan itu amat doyan paras cantik. Dalam beberapa tahun saja, entah sudah berapa banyak jago kalangan putih dan hitam serta wanita yang menjadi korbannya.

Pada masa tokoh-tokoh sepuluh Datuk itu berturut-turut mengundurkan diri. Pemimpin-pemimpin angkatan tua dari partai Bu-tong, Siau-lim, dan lain-lain aliran suci, telah sama cuci tangan tak mau campur urusan dunia lagi. Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Ko Leng telah bersimaharajalela semau-maunya. Tapi segala kejahatan itu tentu akan berbalas.

Pada suatu hari bertemulah dia dengan si Dewa Tertawa Bok Tong, tokoh luar biasa yang gemar membasmi kejahatan itu. Si Dewa Tertawa tak mau melepaskan serigala buas itu.

Si Tangan Setan kalah dan coba melarikan diri tapi tetap dikejar mati-matian oleh Bok Tong. Akhirnya ketika kecandak di puncak gunung Hong-san, dia telah dipukul jatuh ke dalam lembah oleh si Dewa Tertawa.

Sejak itu, si Tangan Setan tiada kabar beritanya lagi.

Orang-orang menyangkanya sudah mati.

Tapi diluar dugaan, dari binasa sebaliknya di dasar lembah itu dia bahkan bertemu dengan keberuntungan besar. Disitu tinggallah seorang jago tua jahat yang karena cacad bersembunyi ditempat itu sampai beberapa tahun. Si Tangan Setan Ko Leng diterima menjadi murid.

Ketika untuk yang kedua kalinya muncul lagi di dunia persilatan, Ko Leng sudah menjadi makin lihay. Tapi untuk kekecewaannya, si Dewa Tertawa sudah tak ketahuan rimbanya.

Kala itu kebetulan Seng-si-poan Sut Cu-ping yang sangat bernafsu untuk merajai dunia persilatan, mulai mendirikan partai Thiat-sian-pang. Dengan perantaraan si Manusia Iblis Kiau Hoan, Ko Leng masuk ke dalam partai itu. Dia diangkat menjadi pemimpin gwa-sam-tong dengan pangkat hiang-cu.

Dengan menggunakan jaringan mata-mata Thiat-sian-pang yang amat luasnya, dia coba menyirapi kabar berita musuhnya besar itu. Namun tetap sia-sia. Karena itu, dendamnya terhadap si Dewa Tertawa makin meluap. Kali ini dia memenuhi undangan Kiau Hoan yang katanya akan mencari musuh Thiat-sian-pang. Dia tak mengira kalau di Pao-gwat-chung itu, akan berhadapan dengan Siau Ih.

Ditilik dari sikapnya, terang anak muda itu bukan anak murid Gan-li Cinjin. Tuduhannya lalu jatuh pada si Dewa Tertawa. Tapi jawaban yang diberikan anak muda itu, telah membuatnya marah besar.

"Bagus, karena kau hendak mewakili si tua Bok Tong, maka akupun segera akan menyempurnakan dirimu!" serunya mengekeh seram. Menyusul tangannya diangkat ke atas, dia segera bersuit nyaring terus menerkam Siau Ih.

Pada saat itu, dari pembicaraan yang ditangkapnya tahulah Siau Ih bahwa si Tangan Setan itu mempunyai dendam permusuhan dengan ayahnya angkat. Namun dia tak sempat berpikir macam-macam, karena harus menghindar dari serangan orang.

„Buyung, mau lari kemana kau?" seru Ko Leng melengking marah. Dengan gerakan yang tangkas, dia segera berputar tubuh menghadang si anak muda, terus dorongkan sepasang tangannya menghantam.

Siau Ih bersikap tenang. Begitu angin pukulan lawan hampir mengenai bajunya, tiba-tiba dia tertawa mengejek:

„Kau kira tuanmu muda ini jeri pada cecongormu yang mirip iblis itu?"

Dengan ucapan itu, dia sudah separoh miringkan tubuh untuk hantamkan tangan kiri ke arah lengan orang, dua buah jari tangan kanan menusuk jalan darah ciang-thay-hiat di bawah tetek si iblis. Cara menangkis sembari menyerang itu dilakukan dengan cepat sekali. Ko Leng terpaksa tarik pulang serangan dan mundur dulu, baru kemudian maju lagi.

Demikianlah keduanya serang menyerang dengan jurus- jurus yang indah dan berbahaya. Tangan Setan Ko Leng sangat bernafsu sekali untuk menghancurkan anak muda lawannya itu, karenanya jurus-jurus yang dilancarkan itu serba gencar dan ganas. Tubuhnya seolah-olah terpecah menjadi empat untuk mengurung Siau Ih dari segala jurusan.

Sepintas pandang, Siau Ih tampaknya seperti terbungkus oleh bayang-bayang si Tangan Setan. Tapi benarkah itu?

Begitu bergebrak Siau Ih sudah merasa bahwa sekalipun ia tak sampai kalah, pun untuk merebut kemenangan juga sukar. Cepat dia keluarkan ilmu istimewa ajaran si Dewa Tertawa yakni ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh.

Setelah kedudukannya stabil, barulah dia keluarkan ilmu tun-yang-sip-pat-ciat untuk bertahan sembari menyerang. Maka betapa gencar serangan lawan, dengan lenggangnya dapatlah dia melayani. Sewaktu mencuri lubang kesempatan, segera dia balas menyerang. Musuh menyerang empat-lima kali, baru dia membalas satu kali.

Yang satu bernafsu, yang satu tenang. Sekejap saja pertempuran sudah berjalan limapuluhan jurus. Ko Leng  sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, namun ujung baju si anak muda itupun saja, tak mampu dia menjamahnya. Rombongan orang-orang dari kedua pihak yang menyaksikan pertandingan itu, sama terpikat perhatiannya.

Bermula Thiat-san-sian Liong Bu-ki mengawasi dengan perasaan kuatir terhadap Siau Ih, tapi demi pertempuran sudah berlangsung tigapuluhan jurus, wajahnya berseri senyum dan mengangguk-angguk. Nyata dia puas dengan permainan anak muda itu.

Sampaipun Gan-li Cinjin Kho Goan-thong yang bermula tak menyukai anak muda itu, kinipun agak terkesiap juga. Hwat- poan-koan Lu Wi tetap berwajah dingin, sementara Liong Go amat tegang.

Tapi mungkin ketegangan Liong Go itu, masih kalah besar dengan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji. Sebesar itu, belum pernah ia menyaksikan pertempuran yang sedemikian serunya, apalagi disitu tersangkut seorang pemuda yang ia kagumi. Maka taklah mengherankan kalau gadis dari pulau Cip-peng-to itu sampai mengucurkan keringat dingin.

Tanpa disadari, tangannya merabah pedang. Begitu si anak muda dalam bahaya, begitu ia segera akan menolong. Sayang isi hati nona itu belum diketahui Siau Ih.

Sementara pada pihak musuh, Kiau Hoan lah yang paling gelisah. Dialah yang mengajak si Tangan Setan kesitu. Harapan bahwa malam itu dia bakal dapat menghimpaskan sakit hatinya, ternyata makin pudar.

Si Tangan Setan Ko Leng yang diharap dapat memberi bantuan besar itu, ternyata tak dapat berbuat apa-apa ter¬hadap Siau Ih. Dan yang paling menggetarkan hatinya, ialah hadirnya Gan-li Cinjin Kho Goan-thong disitu. Bagaimana kegelisahannya, dapat sudah dibayangkan!

Saat itu keadaan digelanggang pertempuran makin tegang meruncing. Siau Ih yang melakukan siasat bertahan kini berganti dengan siasat menyerang. Dengan serangannya gencar dan luar biasa anehnya itu, dapatlah dia memaksa Ko Leng mundur beberapa kali.

Ko Leng makin kalap. Dengan bersuit nyaring, dia keluarkan seluruh kebiasaannya agar jangan sampai kalah angin. Kini keras lawan keras, cepat tanding gesit. Barang siapa ayal sedikit saja, pasti akan rubuh mandi darah.

Sekonyong-konyong Thiat-san-sian Liong Bu-ki meringkik tertawa. Kemudian katanya kepada si Manusia Iblis Kiau Hoan:

„Yang mempunyai kepentingan dalam pertemuan malam ini, ialah aku dan kau. Tapi kalau kita hanya menonton saja, bukankah ganjil namanya? Apalagi para keluarga pemburu yang tak berdosa itu, telah binasa ditanganmu. Lo-siu akan minta keadilan padamu!" „Liong loji," sahut Kiau Hoan tertawa nyaring, „telah kukatakan tadi bahwa kematian beberapa orang pemburu itu hanyalah sekedar bunga dari hutangmu pada beberapa tahun yang lalu. Sekarang aku hendak menagih induk hutang itu!” – Mundur selangkah, dia sudah siapkan sepasang oh-kim-cat ditangan.

Liong Bu-ki tertawa lalu menebarkan sebuah kipas dan melangkah maju. Melihat kipas itu, wajah Kiau Hoan berobah, serunya: „Liong loji, mengapa tak kau keluarkan kipasmu tui- hun-thiat-san yang termasyhur itu?"

Kembali Thiat-san-sian tertawa lebar, sahutnya: „Kipas pusaka itu, telah kuberikan pada cucuku, maka losiu hanya menggunakan kipas biasa saja, untuk menghadapimu!"

Pada lain saat, jago tua itu mengerut, lalu berkata dengan nada dalam: „Tapi walaupun kipas ini hanya terbuat dari bambu biasa, tetap dia akan menjadi senjata ampuh pembasmi kawanan iblis!"

Kiau Hoan tak mau adu lidah lagi. Dengan tertawa sinis, dia enjot tubuhnya sampai satu setengah tombak tingginya. Disitu dia pentang sepasang oh-kim-cat. Setelah dimainkan dalam jurus thian-mo-gong-wu, sembari bersuit nyaring, dia meluncur menghantam kepala lawan.

Liong Bu-ki pun bersuit nyaring dan enjot tubuhnya ke  atas. Lengan baju kiri dibalikkan dalam gerak jun-hong-hud-liu sehingga menerbitkan deru angin lwekang yang dahsyat, menyusul dalam jurus gui-seng-tiam-goan, kipasnya ditusukkan kejalan darah thian-tho-hiat Kiau Hoan.

Cara bertempur semacam itu, sungguh belum pernah terjadi. Sehingga saking kagetnya, Kiau Hoan buru-buru menangkiskan senjatanya dan sekali tubuhnya bergoyang dalam gerak kek-cu-toa-hoan-sin atau burung dara berbalik badan, dia buang tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Tapi baru sang kaki menginjak tanah, Thiat-san-sian sudah meluncur datang dengan kebutkan kipasnya ke arah dada. Gebrak kedua itupun dilangsungkan secara sengit.

Cian-chiu-wi-tho Go Ki yang sejak tadi berdiam diri, saat itu tiba-tiba tertawa dan berkata kepada Gan-li Cinjin: „Ibarat masuk ke gunung harta, tak boleh kita pulang dengan tangan kosong. Go Ki pun ingin melayakni seorang ko-jin yang termasyhur.”

Kemudian berpaling ke arah kedua kawannya, dia berseru:

„Mengapa Te tongcu berdua tak mau melemaskan urat bermain-main dengan beberapa anak itu? Lebih enak bergerak daripada kedinginan."

Rupanya enak sekali orang she Go itu bicara dan bertindak. Habis berkata dia lantas mencabut tongkat besi ciang-mo- thiat-ngo dan tanpa menunggu penyahutan orang lagi, dia segera menyerang Gan-li Cinjin. Memang Go Ki sama halnya dengan Ko Leng, juga seorang algojo kenamaan di dunia persilatan.

Bedanya kalau dia berwajah jujur, tapi Ko Leng buruk seperti setan, jadi orang menilai Ko Leng lebih ganas dari dia. Tapi sebenarnya tidak demikian. Dia lebih licin dan  ganas serta tinggi kepandaiannya dari si Tangan Setan itu.

Pemimpin Thiat-sian-pang si Seng-si-poan Sut Cu-peng telah mengangkatnya sebagai salah seorang dari ketiga hiangcu. Sebagai hiangcu dari Loan-tong, dia amat dihormati dan ditakuti oleh anak buah Thit-sian-pang.

Inilah yang menjadikan dia congkak tak kepalang. Maka sekali tampil, dia segera menantang Gan-li Cinjin.

Sebenarnya Gan-li Cinjin tak tahu menahu tentang si Manusia iblis akan menuntut balas itu. Baru setelah kedua pihak saling berhadapan, dia jelas soalnya.

Melihat kesombongan Kiau Hoan, dia sudah tak sabar lagi. Manusia seperti Kiau Hoan itu harus dllenyapkan saja dengan segera. Sudah tentu kemarahannya itu seperti disiram minyak demi dia ditantang Go Ki.

„Bangsat, kau cari mampus!” serunya dengan murka. Begitu tongkat si Go Ki tiba, cepat dia kebutkan lengan bajunya kiri untuk menampar senjata itu, menyusul dia kibaskan tangan kanan menyampok ke arah lawan.

Berbareng pada saat itu, kedua orang yang dipanggil Te- tongcu itupun sudah mencabut senjata dan mencari lawan. Senjata mereka ialah sebatang cap-sa-ciat-ko-lo-pian (ruyung limabelas buah ruas tengkorak).

Yang satu menyerang Liong Go dan Ji-yan, yang satu menyerbu Kho Wan-ji dan Lu Wi. Pikir mereka, keempat anak muda itu dengan beberapa belas jurus saja, tentu akan sudah dapat diringkus.

Apa lacur? Dugaan mereka itu salah besar. Selain Ji-yan, ketiga orang muda itu bukan daging empuk, melainkan jago- jago kelas satu juga. Satu lawan satu saja belum tentu menang, apalagi mereka cari penyakit sendiri, satu orang cari dua musuh.

Kedua orang, she Te itu, adalah kakak beradik. Yang tua bernama Te Cik, adiknya bernama Te Tong. Mereka menjadi tongcu Thiat-sian-pang untuk wilayah Kwitang.

Demikianlah segera terjadi pertempuran yang seru. Desa Pao-gwat-chung yang tenang tenteram, saat itu berobah menjadi medan pertumpahan darah yang dahsyat. Batu-batu pecah berhamburan, rumput-rumput siak-beriak beterbangan.

Sekarang mari kita ikuti pertempuran itu partai demi partai.

Pertama partai Wan-ji. Nona ini telah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya, namun karena belum pernah berkelana, jadi belum pernah juga bertempur dengan orang, lebih-lebih dalam pertempuran sedahsyat saat itu. Sebenarnya ketika melihat Siau Ih turun kegelanggang, ia sudah gatal tangannya. Kini tahu-tahu Te Cik datang mencari penyakit. Begitu ruyung tengkorak lawan melayang ke arah kepalanya, nona itu segera melolos pedang lalu dengan ki- hwat-so-thian dia tusukkan ujung pedang ke arah ruas kelima ruyung tengkorak.

„Tring,” tahu-tahu ruyung tengkorak itu mental kembali. Cara menolak, serangan yang digunakan Wan-ji itu sungguh amat berbahaya namun indah bukan buatan. Tepat waktunya tepat pula sasarannya.

Mendapat hati, Wan-ji tambah bersemangat. Dia teruskan pedangnya menusuk dada orang.

Te Cik terkejut melihat gaya serangan si nona yang tangkas ganas itu. Buru-buru kibaskan ruyung untuk menghantam batang pedang, berbareng itu tubuhnya mengisar kekiri, menyusul tangannya kiri menjotos Hwat-poan-koan Lu Wi.

Sebenarnya kepandaian Te Cik itu tidak berlebih-lebihan, tapi dia mempunyai pengalaman luas. Tahu sudah dia bahwa serangannya itu hanya tipis kemungkinnya untuk berhasil, namun tetap dia mencobanya juga.

Dia insyaf bahwa nona yang menjadi lawannya itu, jauh lebih lihay dari dirinya. Apalagi disamping itu ada Lu Wi. Kuatir dirinya akan terjepit dari muka belakang, dia lekas-lekas turun tangan dulu.

Dengan menutup kemungkinan serangan dari Lu Wi, dia harap akan dapat kesempatan leluasa untuk mundur. Memang bagus juga rencana Te Cik itu. Tapi siapa duga. Justeru jalan mundur yang direncanakan itu, bakal menjadi jalan kebinasaannya.

Sebenarnya waktu sempat melirik ke arah partai Te Cik dengan Wan-ji itu, Lu Wi menjadi lega hatinya. Te Cik hanya begitu saja kepandaiannya, Wan-ji pasti dapat mengatasi. Sebagai salah seorang dari kelima poan-koan (hakim) di istana-biara Li¬cu-kiong, dia tak mau mengerojok seorang lawan yang lebih rendah kepandaiannya. Tapi demi Te Cik secara menggelap menyerangnya, Lu Wi menjadi marah besar.

„Kawanan tikus yang tak tahu diri, kau minta lekas-lekas mampus ya?" serunya dengan sinis. Begitu pukulan Te Cik hampir tiba, secepat kilat dia menyurut mundur, tapi tak kurang cepatnya pula pada lain saat dia sudah maju lagi terus menerkam.

„Cela ……!" belum sempat mulut Te Cik melanjutkan kata- katanya, meh-bun-hiat di lengan kirinya sudah kena dicengkeram. Separoh tubuhnya segera terasa mati, kekuatannya lumpuh.

Justeru pada saat itu Wan-ji datang membabat. Betapa dia hendak menghindar, namun tak dapat berkutik lagi. Mulut menjerit seram, tubuhnya segera terpapas kutung ……..

Telah diterangkan tadi, bahwa sebenarnya Lu Wi malu untuk main kerojok. Tapi ternyata sang sumoay terlampau cepat gerakannya.

Belum sempat dia berseru mencegahnya, tubuh Te Cik sudah kutung. Karena kuatir kecipratan darah, buru-buru dia lemparkan separoh tubuh Te Cik yang sudah kutung itu.

Suatu pemandangan ngeri, segera terjadi di udara. Tubuh orang yang tinggal separoh, dengan tangan masih mencekali sebatang ruyung, melayang di udara sembari menghamburkan hujan darah yang berbau amis.

Secara kebetulan, kutungan tubuh itu jatuh ke tengah gelanggang, melayang ke arah si Tangan Setan Ko Leng. Sampai pada saat itu, Ko Leng sudah bertempur tigaratusan jurus dengan Siau Ih. Dia sudah keluarkan seluruh kepandaian, namun tetap belum dapat mengapa-apakan anak muda itu. „Dalam sepuluh jurus lagi kalau belum menang, biar mati bersama-sama, aku tetap akan mengadu jiwa,” diam-diam dia sudah mengambil ketetapan.

Baru dia berpiklr begitu, tiba-tiba dia dikejutkan dengan jeritan seram dari Te Cik tadi. Dan belum lagi kejutnya itu hilang, tahu-tahu ada sesosok tubuh kutung yang berbau amis melayang ke arahnya.

Sejak berkelana di dunia persilatan, tangan Ko Leng itu sudah penuh berlepotan darah korban-korbannya. Boleh dikata membunuh itu, sudah menjadi air mandinya (kebiasaannya). Tapi melihat pemandangan ngeri seperti saat itu, benar-benar baru sekali itu saja. 

Dalam kagetnya, dia menyurut mundur lalu menghantam.

„Bum,” separoh tubuh mayat Te Cik itu terlempar dan jatuh ke tanah kira-kira tiga tombak jauhnya.

Dan karena menghantam itu, Ko Leng agak ayal sedikit. Kesempatan itu tak disia-siakan Siau Ih. Dengan bersuit panjang, Siau Ih segera lancarkan tiga buah serangan ber¬turut-turut.

Tepat pada saat Ko Leng terancam dalam hujan pukulan, di partai sana si Manusia Iblis Kiau Hoan dan Cian-chiu-wi-tho Go Ki, pun karena terkejut menjadi kacau juga. Kini mereka berdua hanya dapat membela diri, tak mampu balas menyerang lagi.

Lebih mengenaskan adalah si Te Tong. Dia bukan tandingan Liong Go. Apalagi karena terpengaruh dengan kematian kakaknya yang begitu mengenaskan, dia makin gugup.

Sekali lambat sedikit, Ji-yan segera menusuknya. Seperti diguyur air dingin, dengan gelagapan dia kisarkan tubuh untuk menghindar, tapi pada saat itu, kipas tui-hun-san dari Liong Go sudah tiba. Karena cepatnya Liong Go menyerang,  Te Tong tiada kesempatan untuk menghindar lagi.

Dalam keputusan asa, dia hendak berlaku nekad mengadu jiwa. Tapi baru hendak mengayunkan ruyungnya, tiba-tiba dadanya terasa sakit sekali hingga putuslah jantungnya.

Kematian kedua saudara Te itu, telah berlangsung dalam beberapa gebrak saja. Dan kini Liong Go berempat nganggur lagi. Mereka berdiri di empat penjuru, menyaksikan pertempuran.

Karena kelabakan dirangsang oleh serangan Siau Ih yang gencar, Ko Leng menjadi meluap amarahnya. Saat itu, Siau Ih tengah gunakan tangan kanan menghantam kepalanya (Ko Leng).

„Nah ini suatu kesempatan bagus,” demikian Ko Leng berpikir. Demikian dia menggerung keras, tangan kiri ditabaskan kepergelangan siku, tangan kanan dibalikkan ke atas untuk mencengkeram tangan Siau Ih.

Dengan serangan itu, dia yakin si anak muda tentu akan menghindar mundur, dengan demikian dapatlah dia balas mendesak.

Tapi apa yang terjadi? Di luar dugaan, Siau Ih tak mau menghindar.

Tiba-tiba dia turunkan tangan kanan tadi, berbareng itu tangan kiri menjulur ke muka menyusup ditengah-tengah sela kedua lengan Ko Leng, lalu secepat kilat dipentangkan. Sungguh suatu gerak tangkisan yang amat berbahaya.

Ko Leng tersadar apa yang bakal terjadi, namun sudah terlambat karena sepasang lengannya sudah kena disiakkan kekanan kiri, hingga bagian dadanya tak terlindung lagi.  Sudah tentu kejutnya bukan main.

Baru hendak gerakkan tangan untuk menutupi lubang itu, Siau Ih sudah tertawa mengejeknya. „Setan kejam, lekas serahkan jiwamu!” serunya, sembari rapatkan sepasang tinju. Dengan gerak liat-ciok-gui-pay atau batu pecah nisan terbuka, secepat kilat dia menjotos ke dada lawan.

„Aukkk …..,” mulut menjerit, darah menyembur dan bagaikan layang-layang putus tali, tubuh si Tangan Setan Ko Leng telah terlempar sampai setombak jauhnya. Algojo yang sudah banyak berhutang darah manusia itu, kini harus menebus dosanya dengan mati remuk dalam!

Sebaliknya saking kesima dapat membinasakan seorang musuh yang lebih kuat dari dirinya, Siau Ih menjadi terlongong-longong. Setelah mendengar teriak pujian dari keempat kawannya, barulah dia tersadar. Dengan tersenyum membalas pujian mereka, dia berpaling ke belakang untuk melihat pertempuran di partai lain.

Ternyata kedua partai itu masih bertempur seru. Tapi yang nyata, Kiau Hoan dan Go Ki sudah di bawah angin, kekalahannya tinggal tunggu waktu saja. Go Ki yang tadi berani menantang Gan-li Cinjin, kini menjadi kelabakan.

Sebenarnya diapun berkepandaian tinggi. Dalam dunia perbegalan (penyamun), dia menduduki kelas yang tertinggi. Dengan tongkat besi ciang-mo-thiat-ngo itu, dia pernah menjatuhkan keempat paderi hu-hwat dari Siau-lim-si dan tiga tokoh Cinjin dari Bu-tong-pay yang terkemuka semua.

Kemenangan itulah yang menjadikan dirinya makin congkak. Begitu besar dia menilai dirinya sendiri sebagai jago yang tiada terlawan, sehingga dia bernafsu keras untuk menjajal tokoh-tokoh dari sepuluh Datuk. Maka dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan bagus dapat bertemu dengan salah seorang tokoh sepuluh Datuk yang sudah lama dicari tapi belum pernah dijumpainya itu.

Tapi begitu merasakan tangan Gan-li Cinjin, dia segera mengucurkan keringat dingin. Nyata tokoh dari sepuluh Datuk itu, beberapa tingkat lebih lihay dari dia. Untung Gan-li Cinjin hanya menggunakan tangan kosong, sehingga dia masih dapat bertahan. Coba Gan-li memakai pedang, jangan harap dia dapat bernyawa.

Pada partai lainnya, keadaan Kiau Hoan masih mendingan. Tapi dikarenakan kegoncangan hatinya melihat Ko Leng mati, diapun menjadi terdesak lawan. Tanpa ajak-ajakan, Kiau Hoan dan Go Ki mempunyai rencana yang sama. Daripada mati konyol, lebih baik ngacir lebih dulu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar