Si Rase Kumala Bab 22 : Penilaian Para Tokoh Tua

22. Penilaian Para Tokoh Tua

Jalanan ke atas makin sukar, berkuda tidak dapat, menggunakan ilmu ginkang pun tak leluasa. Jadi terpaksa dia berjalan sembari menuntun kudanya. Dengan demikian menjelang tengah hari, barulah dia dapat mencapai tempat berasap itu. Disitu ternyata adalah sebuah dataran karang yang luasnya beberapa puluh tombak, serta tingginya beberatus tombak. Ditengah-tengahnya terdapat sebuah jalanan kecil tiba cukup untuk dijangkah seseorang. Dikanan kiri jalan itu, berdiri sebaris kira-kira beberapa belas rumah kayu. Diserambi muka rumah itu, tampak ada beberapa orang lelaki berpakaian hijau sedang membakar daging.

Derap kaki kuda Siau Ih itu, telah membuat terkejut mereka. Jelas kelihatan bagaimana kejut wajah mereka demi melihat kedatangan anak muda itu. Mereka saling berpandangan. Sementara pada saat itu, Siau Ih pun sudah tiba dihadapan mereka. Dengan memberi hormat, dia bertanyakan jalanan.

Tiba-tiba seorang lelaki tampil ke muka. Setelah memandang lekat-lekat ke arah Siau Ih, dia bertanya dengan keren: „Pegunungan ini amat luas, entah tempat manakah yang saudara cari itu?”

„Pao-gwat-chung,” sahut Siau Ih.

Mendengar itu si orarg lelaki menyurut mundur setengah langkah. Untuk beberapa saat dia mengawasi Siau Ih baru kemudian membuka mulut pelahan-lahan: „Pao-gwat-chung tak berapa jauh dari sini. Tapi entah siapakah nama saudara ini dan siapakah yang hendak saudara cari itu?“

Hormat sekalipun nadanya, tapi sebenarnya tidak pantas. Siau Ih tenang-tenang saja. Dia duga orang-orang itu tentu ada hubungannya dengan Pao-gwat-chung.

„Tentulah saudara. mempunyai hubungan dengan desa Pao-gwat-san itu. Aku bernama Siau Ih, kawan karib dari Liong-siao chungcu, harap saudara. membawa aku kesana,” sahutnya dengan ramah.

Memang kawanan orang lelaki itu adalah penduduk Pao- gwat-chung. Mendengar keterangan Siau Ih, orang tadi tampak tenang wajahnya. Dia menyatakan bahwa setiap tetamu yang berkunjung harus menunggu dulu sebentar guna dilaporkan.

Habis itu, dia menyalakan semacam benda. Benda itu meletus dan memancarkan asap warna biru ke udara. Anehnya sekalipun ditiup angin, asap itu tetap membubung tinggi.

Tak lama kemudian, dari mulut jalanan kecil itu muncul seorang anak muda sekira berumur enam-tujuhbelas tahun.

„Ji-yanko tolong laporkan pada siao-chungcu, ada seorang Siau kongcu datang berkunjung,” kata si orang lelaki tadi.

Anak muda memberi hormat, lalu dengan tangkas sekali pergi. Memang sejak turun gunung, banyak sekali Siau Ih menjumpahi pengalaman-pengalaman yang aneh-aneh, tapi tingkah laku yang disaksikan saat itu, barulah untuk pertama kali itu dia mengalaminya.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, dari arah jalanan disebelah sana terdengar sebuah suara nyaring: „Maaf, aku terlambat menyambut kedatangan siaote!"

Sesosok tubuh melesat dan muncullah Liong Go, saudara angkat tunggal hati dari Siau Ih. Siau Ih tersipu-sipu memberi hormat dan minta maaf karena tak memberi kabar lebih dahulu.

Liong Go menyatakan kegirangannya dapat bertemu lagi dengan pemuda itu. Dari dandanan Siau Ih, tahulah Liong Go bahwa pemuda itu tentu habis menempuh perjalanan jauh. Buru-buru dia ajak Siau Ih naik ke atas.

Selama berjalan menyusur jalanan kecil yang menaik ke atas itu, Siau Ih dapatkan bahwa jalanan itu setengahnya memang dibuat oleh orang. Batu karang yang melingkungi di kedua samping, menjulang tinggi sampai ratusan meter. Pun disamping kecilnya, jalanan itu berliku-liku sukar didaki. Siau Ih menduga, rupanya jalanan itu memang sengaja dibuat begitu untuk menjaga kedatangan musuh. Dalam pada kagum terhadap tokoh Liong Bu-ki (engkong Liong Go) yang telah merencanakan penjagaan sedemikian rapinya, pun Siau Ih mempunyai perasaan lain terhadap jago tua itu.

Sewaktu Thiat-san-sian Liong Bu-ki masih belum mengundurkan diri dari medan persilatan, kepandaiannya termasyhur amat sakti hingga dapat digolongkan dengan kesepuluh Datuk. Terutama tokoh itu terkenal dengan sepak terjangnya budiman dan bijaksana dalam memperlakukan kawan dan lawan. Tapi setelah mengundurkan diri, tokoh itu lebih suka menuntut penghidupan yang aman tenteram.

Siau Ih membandingkan keadaan Pao-gwat-san itu dengan selat Liu-hun-hiap. Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang begitu cermat menjaga musuh dan si Rase Kumahle yang lepas bebas segala-galanya. Suatu perbedaan yang amat menyolok sekali. Diam-diam dia makin menghargai pribadi engkongnya itu.

Saat itu Liong Go mulai kendorkan langkahnya. Ternyata pemandangan disekeliling tempat itu, jauh berbeda dari tadi. Kecuali penuh dengan liku-liku dan persimpangan yang ruwet seperti jaring laba-laba, pun jalanan itu sepintas pandang seperti tak dapat dijalani orang.

Tengah Siau Ih tertegun, Liong Go berpaling kebelakang dan tersenyum: „Hante, mulut jalanan sudah tak jauh, ini adalah jalanan yang terakhir dari Kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian (sembilan liku delapan tikungan), memang amat rumit."

„Hebat benar susunan jalan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian itu. Kalau tiada toako yang menunjukkan, siaote pasti tersesat," sahut Siau Ih.

Menerangkan Liong Go lebih jauh: „Jalanan pelik ini tanpa disengaja telah diketemukan engkong. Bermula beliau tak menaruh perhatian. Setelah mengundurkan diri, baru dia teringat tempat ini. Untuk menjaga pembalasan kaum penjahat yang binasa ditangannya, maka engkong telah pindahkan seluruh keluarganya kemari. Tempat ini ternyata sangat mencil sekali, hingga kecuali beberapa kenalannya yang akrab, tiada seorangpun yang mengetahui tempat peristirahatan engkong di Pao-gwat-san sini ”

Menutur sampai disini, Liong Go berhenti sejenak, wajahnya menampil kedukaan. Suatu hal yang tak lepas dari pandangan Siau Ih, siapa lalu buru-buru berkata: „Sekalipun toako tak mengatakan, siaotepun sudah mengetahui."

„Apa? Hiante sudah mengetahui?” tanya Liong Go.

„Sekalipun tak tahu jelas, tapi sewaktu memasuki gunung ini, siaote telah melihat beberapa runtuhan rumah. Kedua kali, selama dalam pendakian itu, siaote tak pernah berjumpa dengan barang seorangpun jua. Siaote menduga tentu terjadi sesuatu peristiwa kalau tiada bencana alam, pasti perbuatan orang. Tapi menilik bekas-bekas runtuhan itu, teranglah bukan bencana alam. Sewaktu bertemu dengan beberapa saudara tadi, wajah mereka agak cemas, jadi siaote menduga pasti telah terjadi sesuatu ”

Siau Ih berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula: „oleh karena siaote sudah seperti saudara kandung, maka haraplah toako memberitahukan sejelasnya."

Liong Go menghaturkan terima kasih, ujarnya: „Meskipun hiante tak mau menerangkan siapa gurumu, namun aku telah mengetahui bagaimana kepandaian hiante itu. Mendapat seorang pembantu seperti hiante, rasanya aku seperti menerima kunjungan malaekat dari langit."

Siau Ih kemalu-maluan.

„Ai, hiante tak usah sungkan, kita toh sudah seperti saudara sendiri. Peristiwa yang kuhadapi itu, sebenarnya tak hebat, namun karena engkong amat berhati-hati, jadi tampaknya seperti peristiwa besar. Dan kejadian itu, rasanya pun tak asing bagi hiante," kata Liong Go.

„Benarkah itu?” Siau Ih menegas, kemudian bertanya pula:

„Apakah dia si Kiau Hoan?"

Liong Go menyahut bahwa disitu bukan tempatnya untuk bicara, ia ajak Siau Ih membelok ke jalanan di sebelah kanan.

Selama itu, Siau Ih selalu memperhatikan keadaan disekelilingnya, namun pada akhirnya dia merasa pusing tak ingat lagi akan belat-belit jalanan yang dilaluinya tadi.

Baru saat itu dia mengakui bahwa jalanan kiu-jiok-pat-poa- it-sian-thian itu benar-benar merupakan pertahanan yang kokoh.

Tiba diujung jalan, mereka berhenti. Liong Go memandang ke arah dinding karang yang penuh dengan batu-batu yang menonjol itu. Kemudian dia ulurkan tangan menekan pada sebuah batu.

Seketika terdengar bunyi batu roboh yang amat gemuruh. Tapi tiada tampak perobahan apa-apa. Waktu Siau Ih masih dalam keheranan Liong Go berputar ke belakang dan  menepuk bahunya: „Hiante, jalanan keluar, berada diujung sana, mari ikut aku!"

Siau Ih mengikut Liong Go yang melangkah ke arah jalanan di sebelah muka. Setelah tujuh-delapan kali berbelok-belok, tibalah mereka diujung buntu. Disitu terdapat cahaya penerangan. Membelok keujung karang, tak jauh disebelah muka tampak ada sebuah pintu batu yang kecil. Di atasnya terdapat tumbuhan rotan.

Sekeluarnya dari pintu itu, Siau Ih baru dapat menghela napas longgar. Masa itu adalah dalam musim dingin, tapi hari itu amat cerahnya, langit bersih dari gangguan awan.

Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya jalanan kiu-jiok- pat-poa-it-sian-thian itu taklah begitu mengherankan. Asal sudah biasa tentu mudah berhilir mudik. Setelah itu dia menghampiri ke sebuah rumpun rotan dan menekannya pelahan-lahan.

Seketika terdengar suara gemuruh pula dan pintu besi itupun tertutup sendiri. Kemudian menunjuk pada sebuah hutan yang luas dtsebelah muka, Liong Go menerangkan bahwa di belakang hutan itulah terdapat pondoknya.

Memandang ke arah hutan itu, kembali Siau Ih kagum. Selain lebat, pun setiap pohon yang tumbuh dihutan itu besarnya rata-rata sepemeluk tangan orang. Waktu diperhatikan lebih lanjut, nyatalah barisan pohon itu seperti diatur menurut bentuk suatu barisan perang. Kembali dia menanyakan hal itu kepada Liong Go.

„Sepertinya hal dengan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, pun hutan itu memang diatur oleh engkong. Dimana letak keindahannya, akupun tak dapat menerangkan dengan jelas. Kita hanya dapat menurut petanya saja."

Siau Ih tak habisnya memuji kelihayan Thiat-san-sian Liong Bu-ki.

Untuk itu Liong Go hanya menghela napas, ujarnya:

„Memang harus diakui bahwa engkong itu selain seorang yang berbakatpun memiliki pengalaman yang luas. Mendiang ayahkupun keturunan darahnya, cerdas dan tangkas. Sayang beliau sudah keburu menutup mata dalam usia muda. Sebaliknya aku ini, tiada berguna. Belasan tahun engkong mendidik, namun aku tetap begini saja, sungguh memalukan."

Siau Ih menghiburnya dengan mengatakan bahwa toakonya itu terlalu merendah hati. Memang kaum muda tak terluput dari kecongkakan, tapi kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh angkatan tua, mereka masih belum menempil. Pokok asal giat, kesempurnaan itu pasti akan dapat dicapai.

Diam-diam Liong Go merasa heran melihat perobahan saudaranya angkat itu. Bgaimana seorang pemuda yang tempo hari begitu sombong congkak, kini ternyata dapat mengucapkan beberapa falsafat yang tinggi.

Dalam pembicaraan selanjutnya, Siau Ih minta agar diperkenalkan engkong Liong Go. Saking asyiknya mereka ber¬cakap-cakap itu, tahu-tahu sudah memasuki hutan itu.

Kiranya sepeminum teh lamanya, mereka keluar dari hutan itu. Di sebelah luar hutan itu, terbentang sebuah tanah lapang yang amat luas. Empat penjuru dikelilingi oleh puncak gunung yang menjulang tinggi.

Di kaki gunung itu, masih ada dua buah rentetan rumah kayu. Di depan rumah itu kelihatan beberapa orang lelaki berpakaian ringkas. Mereka tampak bicara dengan berisik, entah apa yang dipercakapkannya itu. Yang nyata wajah mereka itu mengunjuk ketegangan. Oleh karena barisan rumah itu diatur sedemikian rupa, jadi tengah-tengahnya seperti merupakan sebuah pintu masuk.

Ketika Liong Go dan Siau Ih tiba, orang-orang itu sama berhenti bicara dan memberi hormat pada Liong Go. Liong Go hanya ganda tertawa membalas salam.

Memasuki pintu alam itu, Siau Ih disuguhi oleh suatu pemandangan yang mempesonakan. Sebuah tanah lapang yang penuh ditumbuhi rumput hijau dan beraneka bunga. Hutan bambu, tumbuh di sana-sini.

Di bawah naungan barisan gunung, tampak beberapa rumah. Alam pemandangan disitu, mempunyai selera keindahan lain dari alam di Tiam-jong-san. Siau Ih terhibur hatinya.

„Pemandangan disini, benar-benar merupakan sebuah taman sorga di luar dunia," pujinya.

Liong Go hanya tertawa saja dan mengucapkan beberapa kata merendah. Yang satu memuji yang lain merendah. Kedua pemuda itu bercakap-cakap dengan gembira sekali. Tiba-tiba Liong Go teringat bahwa Siau Ih tentunya belum makan siang. Waktu berjalan ditengah-tengah padang bunga itu, Liong Go menunjuk ke arah sebuah hutan bambu, katanya: „Itulah pondok Soh-yap-suan, tempat peristirahatan engkong."

Memang disana terdapat beberapa puluh batang bambu yang rindang daunnya. Di belakangnya, ada beberapa petak rumah. Kala itu tampak ada seorang anak berpakaian putih, tengah masuk ke dalam pondok sembari membawa sebuah ikat pinggang kumala. Tiba-tiba Liong Go berhenti, dia seperti teringat sesuatu.

„Ai, aku benar-benar linglung, hampir lupa memberitahukan siaote. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama dari engkong telah datang kemari dan tinggal disini beberapa hari. Locianpwe itu selama ini tinggal di luar lautan, jarang berkunjung ke daratan Tiong-goan. Entah apa sebabnya, mendadak dia datang kemari beserta beberapa orang anak muridnya. Rupanya dia mempunyai urusan penting. Orang tua itu beradat aneh, sombongnya bukan main. Kecuali dengan engkong dan satu dua tokoh persilatan, dia tak mempunyai kenalan lain lagi. Siaote pasti tahu siapa dia, ialah salah satu tokoh dari sepuluh Datuk yang bernama Gan-li Cinjin Kho Goan-thong. Sejak beliau datang kemari, kerjanya tak lain hanya bercakap-cakap sepanjang hari dengan engkong. Nanti apabila hiante menghadap engkong, tentu akan berjumpa juga dengan orang tua itu."

Mendengar nama orang itu, Siau Ih menjadi terkesiap. Si orang lelaki berpakaian merah yang membantu Li Thing-thing untuk mencelakai dirinya di lembah gunung Tay-lo-san itu, adalah murid dari Gan-li Cinjin Kho Goan-thong. Tanpa disadari, timbullah rasa dendam pada wajah Siau Ih. Melihat itu diam-diam Liong Go terkejut.

„Celaka, jangan-jangan Siau-hiante ini pernah bentrok dengan Kho Cinjin itu,” pikir Liong Go. Dia makin mengeluh, demi teringat akan sepak terjang pemuda itu jika menuntut balas terhadap seseorang musuh.

„Harap toako jangan kuatir, siaote pasti takkan berbuat kurang hormat,” kata Siau Ih menghibur toakonya.

Sabar nada ucapan itu kedengarannya, namun tak urung Liong Go berjengit juga. Dia kenal bagaimana watak Siau Ih itu. Entah bagaimana kini pemuda itu dapat mengendalikan diri begitu rupa. Tapi demi dia memperhatikan kesungguhan wajah saudaranya angkat itu, diam-diam iapun memuji sikap anak muda itu.

Pada lain saat, keduanya segera menuju kepondok Soh- yap-suan. Tiba di muka pondok itu, Liong Go minta Siau Ih menunggu di luar dulu, biar dia masuk melapor. Tak berapa lama kemudian, Liong Go keluar dan mengundang Siau Ih masuk.

„Kho Cinjin juga berada di dalam,” bisik Liong Go.

Siau Ih tahu juga kemana jatuhnya perkataan Liong Go yang terakhir itu. Segera dia menyahut dengan tersenyum:

„Toako jangan kuatir. Kalau berhadapan dengan seorang cianpwe, biar bagaimana juga, siote pasti tak berani berlaku kurang adat."

Demikian kedua pemuda itu segera melangkah masuk. Pondok Soh-yap-suan hanya terdiri dari dua buah ruangan yang bersih. Ruang maka penuh berhiaskan buku-buku dan lukisan-lukisan. Seorang kacung segera menyingkap tirai dari mempersilahkan kedua pemuda itu masuk.

Di atas sebuah dipan yang berdiri dekat dinding, tampaklah duduk dua orang tua. Yang seorang bertubuh tinggal besar, berwajah bersih. Sedang satunya seorang iman tua bertubuh kecil kurus. Jubahnya berwarna merah, wajahnya amat congkak. Tahulah Siau Ih bahwa yang duduk bersila itu tentu tokoh termasyhur masa silam, Thiat-san-sian Liong Bu-ki. Sementara imam tua itu, pasti tokoh yang dikatakan Liong Go, yakni Gan- li Cinjin Kho Goan-thong yang tinggal di pulau Cip-peng-to.

Dengan khidmat, Siau Ih menjurah memberi hormat, serunya: „Wanpwe Siau Ih menghaturkan hormat pada cianpwe!”

Memang orang tua yang duduk bersila itu, ialah Liong Bu- ki. Pelahan-lahan kedua matanya dipentang dan disapukan ke arah pemuda itu. Wajahnya menampil seri senyum dan dengan suara ramah dia berkata: „Usah banyak peradatan, inilah Kho Cinjin."

Kesan mengenai peristiwa di gunung Tay-lo-san itu, masih segar dalam ingatan Siau Ih, namun dia tak mau dikata kurang hormat terhadap Kho Goan-thong. Buru-buru dia menjurah ke arah Cinjin itu selaku menghaturkan hormat, namun mulutnya tak mengatakan sepatah perkataan apa-apa.

Gan-li Cinjin Kho Goan-thong, menempati tingkatan atas di dunia persilatan, tambahan pula orangnya pun berhati tinggi (sombong). Melihat pemuda itu memberi hormat dengan membisu, marahlah dia. Dengan nada dingin, dia mendengus:

„Kau dan aku tak mempunyai hubungan apa-apa, pinto tak berani menerima penghormatan yang besar!”

Siau Ih tertawa dingin, lalu menyurut ke belakang. Liong Bu-ki terkejut melihat sikap kedua orang tua dan pemuda itu. Sedang Liong Go pun menjadi tak enak.

Saat itu, si kacung membawakan dua buah dingklik, maka Liong Bu-ki pun menyuruh kedua pemuda itu duduk.

„Tempo hari ketika dimakam Gak-ong, kalau tiada bantuan hiantit, Go-ji tentu celaka, untuk hal itu losiu amat berterima kasih,” ujar Thiat-san-sian Liong Bu-ki. „Orang yang sudah angkat saudara, adalah sudah jamak bantu membantu, Locianpwe begitu sungkan, wanpwe sungguh malu dihati," Siau Ih tersipu berbangkit menyahut.

„Ah, losiu tak menyukai peradatan, harap hiantit duduk saja,” kata tuan rumah. Kemudian jago tua itu berpaling ke arah Gan-li Cinjin yang duduk disebelahnya, berkata: „Menilik anak itu memiliki bakat tulang yang bagus dan pribadi yang kuat, apabila dia dapat melatih diri, kelak pasti akan berhasil. Sayang dia mempunyai watak ganas, hingga tentu sering mengalami kesulitan. Entah bagaimana pendapat to-heng?”

Dengan wajah yang masih tetap membeku, Kho Goan Thong menyahut dingin: „Dikolong dunia yang lebar ini, banyak sekali tunas-tunas yang bagus. Oleh karena sering mendapat kesulitan, maka harapan untuk berhasil tentu amat kecil. Orang macam begitu, tak boleh diharap."

Sebagai sahabat lama, Thiat-sian-san Liong Bu-ki cukup kenal akan perangai Gan-li Cinjin itu. Dia tahu karena Siau Ih kurang menghormat, maka Gan-li Cinjin sudah memberi penilaian begitu.

Sebagai tuan rumah, dia tak mau berdebat panjang lebar. Dengan tertawa tawar, kembali dia berpaling ke arah Siau Ih. Dia mulai mananyai anak muda itu mengenai bermacam- macam hal di dunia persilatan.

Digembleng oleh tokoh si Dewa Tertawa, Siau Ih berangkat dewasa menjadi seorang pemuda yang lihay dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Apalagi setelah ‘dikurung’ selama berbulan- bulan di Tiam-jong-san, dia telah mendapat latihan rokhani yang cukup baik dari engkongnya. Semua pertanyaan tuan rumah, telah dijawabnya dengan lancar dan hormat.

Sebaliknya Liong Bu-ki yang sudah lama mengasingkan diri, sudah tentu ketinggalan zaman. Benar ia mendengar di dunia persilatan banyak muncul jago-jago muda yang lihay, tapi selama itu belum pernah dia menyaksikan sendiri. Kini setelah berhadapan muka dengan Siau Ih, kesannya  terhadap pemuda itu amat memuaskan sekali.

Selain memiliki kepandaian silat yang tinggi, nyata pemuda itu mempunyai kepribadian yang menonjol. Apa yang di katakan Liong Go tempo hari kepadanya (Liong Bu-ki) itu, bukan saja benar malah melebihi kenyataan.

Diam-diam jago tua itu kagum di dalam hati. Bahkan Gan-li Cinjin Kho Goan-thong yang muring-muring itu, diam-diampun juga terperanjat.

Saking gembiranya, Liong Bu-ki terus menerus menghujani pertanyaan pada anak muda itu. Pertanyaannya pun makin lama makin sulit, hingga Siau Ih harus menggunakan waktu untuk menjawab.

Melihat engkongnya penuju dengan Siau Ih, Liong Go amat gembira. Tapi diam-diam dia berdebar-debar juga mendengarkan ujian lisan yang berat itu. Syukur saudaranya angkat itu dapat menjawab semua pertanyaan.

Dalam pada itu, Siau Ih sendiri diam-diam mengeluh. Tak tahu dia, bila tuan rumah akan menyudahi pertanyaannya. Lebih berdebar lagi dia, bila nanti jago tua itu bertanya tentang nama suhunya.

Maka sembari menjawab bermacam pertanyaan itu, diam- diam Siau Ih memutar otak bagaimana nanti dapat menghindari pertanyaan yang menyangkut diri suhunya. Ah, susah sekali kiranya.

Untuk kegirangannya, saat itu Liong Bu-ki hentikan pertanyaannya, dengan wajah berseri gembira tokoh itu berpaling ke arah sahabatnya Gan-li Cinjin, ujarnya: „Memang benar ucapan bahwa 'ombak disungai Tiang-kang itu yang di belakang mendorong yang di muka'. Setiap zaman tentu melahirkan tunas-tunas baru. Kini baru losiu dapat merasakan sendiri kebenaran ucapan itu." Berhenti sejenak, Thiat-san-sian kembali berkata:

„Pengetahuan anak itu cukup luas, walaupun kurang pengalaman, tapi dalam usia seperti itu, kiranya sudah boleh dipuji. Entah bagaimana ilmunya silat, tapi kurasa tentu suhunya itu bukan tokoh sembarangan. Asal dia giat berlatih diri, kelak pasti akan sangat gemilang. Apakah to-heng berani bertaruh dengan aku?"

Sepasang mata Gan-li Cinjin berkilat-kilat, menantang dingin ke arah Siau Ih, dia mendengus, ujarnya: „Kata-kata 'sangat' itu amat luas artinya. Sedang kata 'gemilang' itu, dari dulu sampai sekarang tiada seorang yang berani mengakui. Misalnya, kita berdua ini, nama kita sampai sekarangpun masih belum punah, tapi adakah kita berani menganggap diri kita ini 'sangat gemilang'? Sekalipun si Rase Kumala Shin-tok Kek yang begitu congkak, rasanya juga tak berani menepuk dada begitu. Maka apa yang Liong-heng ucapkan tadi, pinto belum dapat menyetujui. Tentang bertaruh, maafkan, pinto kurang tertarik.”

Thiat-san-sian hanya ganda tertawa, bantahnya: „Uraian to-heng itu memang benar, tapi menurut pendapat losiu, kedua kata tadi bukannya tak mungkin. Benar karena hidup manusia itu amat terbatas, tak dapat sempurna segala- galanya. Namun dalam bidang-bidang yang tertentu, tentu mungkinlah mencapai prestasi yang tinggi. Pameo 'ombak sungai Tiang-kang yang di belakang mendorong yang di muka', tetap tak berkurang kebenarannya. Siapakah yang berani memastikan bahwa angkatan muda itu takkan dapat melebihi angkatan tua?”

Wajah Kho Goan-thong yang sudah keren itu, makin gelap. Pada lain saat tampak dia berbangkit, katanya: „Ah, tiada berguna untuk berdebat tentang urusan kecil itu. Pinto hendak mengasoh dulu."

Habis itu, dia lantas melangkah keluar. Thiat-san-sian menggeleng dan menghela napas melihat kelakuan sobatnya itu.

Siau Ihpun terperanjat hatinya. Diam-diam dia menduga, kepergian Gan-li Cinjin itu tentu akan mempercepat datangnya kesulitan. Ah, lebih baik dia juga akan minta diri saja. Cepat dia mengutik Liong Go yang duduk di sampingnya.

Liong Go mengerti maksud saudaranya angkat, maka dengan alasan Siau Ih sejak pagi belum makan, dia minta diri pada engkongnya. Engkongnya mengiakan dan bahkan menyesali Liong Go yang tak memperhatikan kepentingan sahabatnya itu.

Siau Ih menghaturkan terima kasih atas kebaikan budi orang tua itu. Setelah keluar dari ruangan itu, dapatlah Siau Ih menghela napas longgar.

„Pondok kecil itu, adalah tempat tinggalku. Biar kusuruh mereka siapkan beberapa hidangan. Nanti malam kita lewatkan dengan mengobrol lagi,” kata Liong Go sambil menunjuk ke arah beberapa petak rumah yang berada di bawah kaki sebuah puncak yang tinggi.

Setiba di muka pondok itu, penjaga pintunya ternyata adalah si anak muda yang dijumpai Siau Ih ketika bertanya jalan pada beberapa orang disebelah bawah sana.

„Ji-yan, ayuh haturkan hormat pada Siau kongcu!" seru Liong Go. Anak itupun menurut perintah.

Waktu masuk ke dalam ruangan, ternyata disitu selain dirawat bersih pun penuh berhias dengan lukisan-lukisan yang menarik. Sungguh sebuah tempat yang amat sesuai untuk belajar. Siau Ih memuji kebersihan dan keindahan pondok itu.

Tak lama kemudian, hidanganpun segera disuguhkan. Ternyata masakannya amat lezat dan arakpun arak pilihan. Habis dahar, Liong Go lalu perintah Ji-yan pindahkan tempat duduk di muka jendela. Begitu sembari menikmati arak wangi, kedua pemuda itu mengobrol ke barat ke timur.

„Toako, tadi semakin berhadapan dengan locianpwe, sebenarnya aku hanya kepingin lekas-lekas undurkan diri, bukan karena lapar," kata Siau Ih.

„Mengapa?” tanya Liong Go.

Siau Ih menghela napas, ujarnya: „Bukannya maksud siaote hendak berlaku kurang hormat terhadap orang tua, tetapi karena kuatir dalam pertanyaan itu nanti, locianpwe akan menanyakan asal-usul dan suhu siaote. Siaote menyembunyi kedua hal itu, bukan karena bermaksud jahat tapi karena sakit hati ayah bunda belum terhimpas. Hal ini harap toako berlapang dada memaafkan."

"Rahasia pribadi yang tak boleh diceritakan pada  lain orang, rasanya setiap orang tentu mempunyai. Tapi sekiranya siaote percaya, aku suka sekali untuk membagi kedukaan siaote itu."

Sampai disini, Siau Ih tak dapat menghindar lagi. Begitulah dia segera menuturkan riwajat hidupnya dengan jelas.

Ketika menuturkan tentang peristiwa yang dialami ayah bundanya, dia tak kuasa menahan air matanya lagi. Liong Go pun turut bersedih atas kemalangan nasib anak muda itu. Sampai sekian saat, mereka diam membisu.

„Membalas sakit hati orang tua, adalah tugas kewajiban seorang putera. Tapi sebaiknya jangan kita bertindak secara gegabah. Coba hiante pikirkan, peristiwa itu sudah berselang puluhan tahun lamanya, namun tetap belum jelas. Bahkan beberapa cianpwe yang berkepandaian tinggi turut menyelidiki, pun tetap sia-sia. Jadi nyatalah urusan itu amat pelik sekali. Maka dapat dipastikan, apabila salah urus, peristiwa itu pasti akan menimbulkan kegoncangan besar dalam dunia persilatan. Menurut pendapatku, lebih baik hiante berlaku hati-hati dan menurut petunjuk yang diberikan oleh kedua locianpwe itu. Percayalah, bahwa sakit hati itu pasti akan ada akhirnya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar