Si Rase Kumala Bab 21 : Tersangka Pemetik Bunga

21. Tersangka Pemetik Bunga

Walaupun orang itu menghadap kesebelah sana, namun dari potongan tubuhnya, dapatlah Siau Ih menentukan kalau dia itu tentu seorang gagah. Wanita itu bukan lain ialah isteri Song Jin-kiat yang masih muda itu. Nyata wanita itu sedang mengadakan pertemuan dengan seorang gendaknya (kekasih).

Dengan tingkah genit dan aleman sekali, wanita itu  memijat lengan si orang berpakaian hitam, ujarnya: „Gila benar, waktu aku bertemu padamu tengah berbincang- bincang dengan si tua bangka tadi, hampir saja aku menjerit kaget. Kalau lain kali kau berbuat begitu lagi, aku tak mau kenal padamu lagi.”

„Aku bercakap-cakap dengan dia? Ai, kau ini bagaimana to?” sahut orang itu dengan herannya.

Tian-si tertawa mengikik, serunia: „Kau seperti kura di dalam perahu (pura-pura tidak tahu). Masakah mataku buta

……..!” Rupanya lelaki itu sudah tak tahan lagi melihat tingkah laku jantung hatinya yang genit. Segera dia memeluk wanita itu dan merayunya. Adegan itu telah menimbulkan amarah Siau Ih. Segera dia ambil putusan untuk menyikat manusia binatang itu.

Tapi belum lagi dia sempat bergerak, atau di ruangan itu segera terdengar orang tertawa keras, lalu disusul dengan hamun makian: „Orang she Siau, waktu makan malam lohu sudah mengetahui kedokmu. Sekarang jangan banyak cincong lagi, ayuh keluar terima kematian!"

Kejut Siau Ih bukan kepalang. Berpaling ke arah datangnya suara itu, nyata yang meriaki itu ialah Song Jin-kiat. Orang tua itu tegak berdiri ditengah halaman sembari mencekal sepasang senjata tun-kang-tian-hiat-kwat atau senjata penutuk jalan darah terbuat dari baja murni.

Sebenarnya Siau Ih sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya, tapi serta merasa ada sesuatu yang kurang beres, terpaksa dia bersabar untuk melihat perkembangan.

Sebagai sambutan dari makian Song Jin-kiat tadi, dari dalam kamar Tian-si terdengar suara ketawa sinis, menyusul si orang berpakaian hitam sudah loncat keluar kehalaman. Tanpa banyak ini itu lagi, Jin-kiat segera menyambutnya dengan tusukkan ji-liong-hi-cu ke arah kedua mata lawan.

Dengan perdengarkan ketawa mengejek, orang itu  berputar diri untuk menghindar. Dan adalah karena dia berputar tubuh, maka Siau Ih segera dapat melihat tampangnya. Astagafirullah ……

„Mengapa dikolong dunia ini terdapat orang yang berwajah mirip dengan aku!" Siau Ih mengeluh kaget.

Pada saat itu, Song Jin-kiat susuli pula serangannya ke arah pundak orang, namun dengan sekali gerak, kembali orang itu dapat memaksa tuan rumah menusuk angin. Jin-kiat makin naik pitam. Sembari menurunkan tubuh, dia maju menusuk ke dada lawan dengan jurus kim-cia-than-hay atau jarum emas menyusup ke laut.

Kali ini si orang berpakaian hitam mulai naik darah. Begitu menyurut mundur, dia sudah melolos sebuah jwan-pian yang berkilat keemasan. Sebelum Jim-kiat sempat melancarkan serangan yang keempat, dia sudah mendahului menyabet jwan-pian ke arah kepalanya.

Jin-kiat tak berani menangkis. Kaki kiri mengisar ke samping, tangan kanan mendorong ruyung lawan, disusul tangan kiri menutuk jalan darah ciang-thay-hiat di dada.

Namun si orang berbaju hitampun tidak lemah. Tertawa dingin, tubuhnya berputar ke kiri. Begitu tusukan lawan di bawah ketiaknya, dia kirim sabetan ruyung ke muka orang.

Sudah tentu Jin-kiat kaget sejengah mati. Syukur dia dapat loncat ke belakang. Sekalipun begitu, sabetan ruyung yang mengenai badannya itu, cukup membuatnya meringis.

Song Jin-kiat jeri terhadap kelihayan lawan yang mahir ilmu lwekang, namun dalam keadaan marah, dia tak mau pikirkan ini itu lagi.

„Aku atau kau!" serunya sembari menyerbu lagi.

Orang itu hanya tertawa dingin. Ternyata selain ilmunya tinggi, pencuri isteri orang itupun amat ganas. Jin-kiat sangat bernafsu lekas-lekas membunuhnya, tapi sebaliknya, setelah lewat jurus yang ke tigapuluh, dia malah menjadi kalang kabut.

„He, he, setan tua, sebelum fajar, akan kukirim kau keakhirat!" bangsat itu tertawa mengejek dan lalu robah gerakannya. Ruyung diputar seru, hingga Jin-kiat seperti terkurung dalam beberapa lapisan bayangan.

Jin-kiat makin payah. Kekalahannya sudah tinggal soal waktu saja. Tubuhnya berhias beberapa luka berdarah. Isteri diganggu, suami akan dibunuh. Dalam marahnya, Jin-kiat menjadi kalap: „Bangsat, aku hendak mengadu jiwa padamu!"

Saat itu si orang berpakaian hitam tengah melancarkan serangan suan-hong-soh-swat, untuk menghantam pundaknya. Namun tak mau menghindar, Jin-kiat malah melangkah maju. Dengan kalap dia tusukkan sepasang senjatanya kelambung lawan.

Kenekadan itu telah membuat si orang berpakaian hitam terkejut. Buru-buru dia sedot dadanya ke belakang, namun tak urung pakaiannya rowak dan di bawah lambungnya tertusuk sampai lima dim lukanya. Hal itu membuatnya marah besar.

Dengan menggerung keras, dia merangsek keras. „Trang,” tahu-tahu sepasang tun-kong-tiam-hiat-kwat kepunyaan Jin- kiat, telah melayang terlepas ke atas udara. Kim-liong-joan- tha atau naga mas menyusup ke pagoda, adalah jurus susulan yang dilancarkan si orang berpakaian hitam untuk memberesi Jin-kiat.

Tapi belum lagi ruyung mengenai ubun-ubun kepala Jin- kiat, tiba-tiba terdengar suara bentakan: „Tahan!"

Sebenarnya saat itu Jin-kiat sudah tak berdaya kecuali menjerit seram, tapi demi ruyung agak kendor jalannya, cepat-cepat dia buang tubuhnya ke belakang untuk menghindar. Sedangkan si orang berpakaian hitampun segera berputar ke arah datangnya suara gangguan tadi.

Di bawah talang, tampak berdiri seorang pemuda yang berpakaian hijau. Pada tangan kanan pemuda itu mencekal sebatang pedang berkilat-kilat, sedang tangan kirinya menjinjing sesosok tubuh wanita.

Wanita itu bukan lain ialah Tian-si, isteri Jin-kiat yang serong itu. Dari wajahnya yang pucat dan tangan terkulai, nyata wanita itu sudah tak bernyawa. Memang pemuda itu ialah Siau Ih adanya. Dan demi tampak bagaimana wajahnya yang keren itu, ialah menampilkan hawa pembunuhan, si orang berpakaian hitam menjadi terkesiap.

Lebih-lebih ketika didapatinya bahwa pemuda itu mirip sekali dengan dia. Tapi kekagetan itu segera berobah menjadi kemarahan besar, demi tampak siapa wanita itu.

„Siapa kau ini?" bentaknya dengan keras.

„Alcu adalah malaekat pencabut nyawa!” sahut Siau Ih dengan tertawa dingin. „Ia menunggumu di akhirat."

Dengan marahnya si orang berpakaian hitam melejit ke muka. Ruyung dihantamkan dalam jurus jin-hong-soh-lok-yap, sembari tangan kirinya menyambar tubuh Tian-si dari cekalan Siau Ih.

Siau Ih mendengus. Tubuh mengisar, tangan mengangkat mayat Tian-si untuk menangkis ruyung, serunya: „Kau tak menghormat kedatanganku, akupun akan mengembalikan kebaikanmu itu!"

Pedang Thian-coat-kiam ditusukkan ketenggorokan orang. Sedemikian cepat serangannya itu, hingga membuat si orang berpakaian hitam menjadi terbeliak kaget. Buru-buru dia surutkan kepala terus loncat mundur.

Dia cepat, tapi Siau Ih lebih gesit. Karena ternyata sebagian kulit kepala orang itu telah terpapas dengan Thian-coat-kiam.

„Bangsat, itu baru sedikit hajaran, yang lihay nanti akan segera menyusul!” seru Siau Ih.

Kaget, getar dan marah memenuhi dada si orang berpakaian hitam yang berdiri tegak seperti patung itu.

Sebaliknya kini Jin-kiat baru terbuka matanya. Dia insyaf akan kekeliruannya menduga Siau Ih sebagai pemuda lacur. Siapa tahu pemuda itulah yang telah menolong jiwanya. „Saudara Siau, maafkan segala kekhilafanku, kini yang perlu jangan lepaskan bangsat itu!” seru Jin-kiat.

„Jangan kuatir, Song toako. Kalau tak dapat melenyapkan bebodoran ini aku malu melihat matahari!" sahut Siau Ih.

Orang berpakaian hitam itu tertawa nyaring, serunya dengan geram: „Aku si Wajah Kumala Tio Gun, selalu menghimpas segala dendam. Kau berani mengadu biru, tentu akan kucincang menjadi bakso!"

„Bagus, aku yang menjadi bakso atau kau yang mnejadi frikadel!" sahut Siau Ih sembari lemparkan mayat Tian-si, kemudian melangkah maju.

Jerih akan ketangkasan si anak muda tadi, si Wajah Kumala setapak semi setapak melangkah mundur. Siau Ih tertawa sinis, serunya: „Kemana saja kegaranganmu tadi. Mengapa main mundur saja?"

Ejekan itu telah membangkit kemarahan si Wajah Kumala.

„Baik, lihat saja nanti siapa yang jantan?"

Ruyung terus diangkatnya dan dihantamkan ke arah kepala Siau Ih. Pemuda itu mundur selangkah, serunya dengan tawar: „Bangsat cabul, meskipun dosamu tak berampun, tapi aku tetap suka mengalah sampai lima jurus!"

Tio Gun menjawabnya dengan serangan kedua yang ditujukan ke arah perut orang, tapi dengan sebuah loncatan kembali Siau Ih dapat menghindar. Serangan kedua luput, si Wajah Kumala teruskan dengan sebuah tutukan ke pantat lawan.

Sebenarnya Siau Ih akan menangkap hidup-hidup bangsat itu, untuk diserahkan pada Song Jin-kiat, agar dirinya bersih dari tuduhan. Tapi demi melibat keganasan penjahat itu, nafsu pembunuhannya berkobar.

Untuk menghindari dari kejaran ruyung, Siau Ih pijakan kaki kiri ke atas kaki kanan dan dengan meninjau tenaga pijakan itu, dia melambung lagi setinggi tiga tombak. Disitu dia berjumpalitan. Dengan kaki di atas kepala di bawah, dia melorot turun sembari putar pedangnya untuk membacok Tio Gun.

Serangannya tak tercapai, tahu-tahu Tio Gun merasa kepalanya tersambar hawa dingin. Hendak menghindar, sudah tak buru. Benar, bangsat pengrusak wanita itu berkepandaian tinggi, tapi hari itu dia ketemu dengan batunya.

Satu-satunya jalan ialah berlaku nekad. Dengan kerahkan seluruh lwekangnya ke arah tangan, dia putar jwan-pian gencar sekali untuk menangkis.

„Trang, trang,” menyusul dengan gemerincing beradunya senjata tajam, Siau Ihpun sudah melayang turun ke bumi. Sedang si Wajah Kumala pun tak kurang cekatnya, sudah loncat ke samping. Benar dengan begitu dia terhindar dari maut, tapi jwan-piannya sudah kutung menjadi dua.

Siau Ih lintangkan pedang ke dada. Menatap ke arah Tio Gun, dia berseru sambil tertawa sinis: „Dapat menghindari seranganku jun-u-lian-bian, nyata kau mempunyai modal juga. Tapi karena tadi telah kujanjikan pada malaekat maut untuk mengantarkan kau, jadi pertempuran ini masih harus dilanjutkan lagi!"

Han-hoa-tho-lui atau bunga memantulkan kuntum, Siau Ih sudah lantas maju menusuk ke dada orang. Dengan gebrakan pertama tadi, tahulah Siau Ih bahwa si Wajah Kumala itu tak boleh dibuat main-main. Oleh karenanya dalam serangan berikutnya, dia menyerang dengan sungguh-sungguh.

Sebaliknya karena jwan-pian sudah kutung, semangat si Wajah Kumala pun menjadi kuncup. Apalagi demi pemuda lawannya maju pula dengan serangan yang dahsyat, dia tak berani adu kekerasan lagi. Tapi baru dia loncat menghindar ke samping, Siau Ih mengejarkan pedangnya dengan jurus hui-si- ing-hong yang disapukan ke arah perut. Kembali si Wajah Kumala terbirit-birit menghindar. Namun laksana bayangan, Siau Ih memburu terus dengan serangan yang gencar. Jarak mereka amat dekat, jadi si Wajah Kumala sudah tak dapat lari lagi.

Tapi pada saat itu, sekonyong-konyong wajah Tio Gun membesi dan perdengarkan tertawa sinis. Sesaat pedang Siau Ih hampir mengenai, secepat itu si Wajah Kumala sudah  lantas gerakkan tangannya kiri. Serangkum hujan sinar perak segera menabur ke arah tubuh Siau Ih.

Siau Ih kaget bukan kepalang, cepat dia tarik pulang pedang dan menyurut ke belakang. Sembari kerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan darah ditubuhnya, dia putar thian-coat-kiam gencar-gencar untuk menangkis serangan senjata gelap dari lawan. Benar tiada sebuah senjata gelap lawan yang mengenai tubuhnya namun tak urung dia menjadi keripuhan juga.

Sejak turun gunung, kecuali berhadapan dengan wanita cabul Li Thing-thing yang lihay, baru pertama kali ini dia dibikin kelabakan oleh seorang musuh. Amarahnya berkobar, nafsu membunuh orang menyala-nyala.

Didahului oleh sebuah suitan yang melengking, Siau Ih loncat ke atas untuk menghantam musuh. Tepat pada saat itu, si Wajah Kumala pun loncat maju untuk melancarkan dua buah serangan, jwan-pian ditutukkan ke arah pergelangan tangan lawan, sementara tangan kiri menghantam sekeras- kerasnya.

Siau Ih kisarkan lengannya kanan untuk menghindari tutukan pian, lalu tangannya kiri maju menangkis. „Plak,” terdengar dua buah tangan beradu keras. Dengan berjumpalitan, Siau Ih turun ke bumi. Sedangkan si Wajah Kumala menjadi jungkir balik beberapa kali baru dapat berdiri tegak lagi. Kini baru terbukalah mata penjahat cabul itu, bahwa selain memiliki pedang pusaka pemuda lawannya itu juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seketika semangatnya padam, nyalinya runtuh dan keinginan untuk melarikan diri segera timbul.

Tapi belum lagi dia dapat melaksanakan rencananya, Siau Ih sudah merangsang maju lagi. Apa boleh buat, terpaksa dia melayani. Hanya saja pertempuran kali ini memasuki babak baru.

Mengetahui berhadapan dengan penjahat yang tangguh, Siau Ih terpaksa keluarkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat dan gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dua buah ilmu ajaran si Dewa Tertawa yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Seketika itu juga, dua tombak sekeliling tempat itu, seperti dipenuhi oleh sinar pedang.

Si Wajah Kumala yang sudah jeri, kini makin ketakutan. Untung jwan-piannya itu masih dapat digunakan. Satu- satunya harapannya ialah akan mencari kesempatan untuk lolos. Halaman kecil yang berada di belakang gedung Song Jin-kiat itu, ternyata menjadi berisik sekali dengan deru sambaran pedang Thian-coat-kiam.

Sesuai dengan namanya lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang halilintar menyambar, maka halaman itu menjadi bising dengan suara dahsyat. Song Jin-kiat yang menyaksikan permainan itu, menjadi melongo kaget.

Sampai pada jurus yang ke limapuluh, rasanya si Wajah Kumala sudah mengeluarkan habis seluruh kepandaiannya untuk melayani, namun dia seperti masih dikurung oleh empat buah bayangan Siau Ih yang merangsang dari empat jurusan. Beberapa lubang tusukan pedang, telah membuat pakaiannya hitam itu rompang-ramping.

Diam-diam dia mengeluh. Kalau berjalan duapuluhan jurus lagi dia tak mampu keluar dari kepungan si pemuda, dia pasti bakal celaka. Apa boleh buat, dia terpaksa merobah caranya bertempur, dari menyerang menjadi bertahan.

„Hai, belum lama bertempur mengapa kau jadi lembek?” seru Siau Ih yang tahu akan keadaan lawan. Dan habis itu, dia perhebat serangannya.

„Hem, karena rencanaku sudah dlketahui, lebih baik aku mengadu jiwa pikir si Wajah Kumala. Tiba-tiba permainannya berganti, dari bertahan menjadi menyerang.

„Bagus, ini baru menarik. Tapi bagaimanapun juga, jangan harap kau dapat kabur!" Siau Ih tertawa mengejek.

Tio Gun tak mau adu lidah, dia seolah-olah menulikan telinga mendengar ejekan perruda itu. Untuk menumpahkan kemarahannya, dia pusatkan perhatian untuk menyerang bagian-bagian yang fatal (mematikan) dari lawan.

Sebaliknya Siau Ih makin gembira untuk mengoloknya. Dengan mendengus, dia putar pedangnya bukan untuk menusuk tubuh lawan tapi hendak mencari jwan-pian saja.

Sudah tentu si Wajah Kumala menjadi kelabakan setengah mati. Dia tak berani beradu dengan pedang pusaka thian-coat- kiam, tapi kalau dia menyingkirkan jwan-pian, pedang itu tentu menyusup maju untuk menusuk tubuhnya. Ai, runyam ini. Maka tak mengherankanlah, belum sampai duapuluh jurus, si Wajah Kumala sudah mandi keringat dingin.

Kini pikiran untuk meloloskan diri, sudah lenyap dari otak Tio Gun. Benar-benar kali ini dia bertemu dengan batunya. Pemuda lawannya itu, tangguh, cerdas dan ganas.

„Aku hendak mengadu jiwa padamu!” akhirnya dia berseru dengan kalap terus menghantamkan ruyung ke arah kepala lawan.

Siau Ih tertawa, dengan jurus thay-kong-tiau-hi dia tangkiskan pedangnya. „Trang,” letikan bunga api berhamburan dan jwan-pian si Wajah Kumala kembali terpapas kutung beberapa centi.

Sekalipun demikian, orang itu masih terus maju merangsang. Karena kekalapannya itu, untuk beberapa saat Siau Ih terpaksa bertahan sembari sesekali lancarkan serangan.

Berjalan sepuluhan jurus lagi, terdengarlah berulang kali senjata beradu dan makin lama jwan-pian Tio Gun makin pandak. Akhirnya sebatang ruyung yang panjang hampir tiga meter itu, kini hanya tinggal beberapa centi saja. Tiba-tiba Siau Ih tarik pulang pedang dan melintangkannya ke muka dada.

„Bangsat cabul, kini tibalah saatnya kau harus menyerahkan jiwamu!" serunya dengan seram.

Keadaan si Wajah Kumala pada saat itu, tak keruan macamnya. Rambut kusut masai, pakaiannya compang- camping, wajahnya pucat, sepasang matanya melotot buas. Si Wajah Kumala sudah berobah menjadi si wajah sengsara.

Dengan tenangnya, Siau Ih melangkah maju. Terpisah antara dua meter, dia ajukan pedang ke muka untuk menusuk dada Tio Gun. Sekonyong-konyong si Wajah Kumala menghindar ke samping, berbareng itu tangannya kanan menaburkan senjata gelap ke arah Siau Ih.

Sebenarnya itu bukan senjata rahasia, melainkan sisa ruyung yang sudah tinggal remuk tangkainya. Oleh karena tahu bahwa dia tak nanti dapat lolos, maka dia mengambil putusan untuk gugur bersama.

Maka waktu Siau Ih menarik pulang pedangnya tadi, diam- diam dia sudah himpun lwekangnya. Dan begitu Siau Ih maju menyerang, dia segera menyambutnya dengan sebuah sambitan dahsyat. Kesalahan Siau Ih terletak karena terlalu congkak, meremehkan lawan yang dikiranya sudah tak berdaya itu. Jaraknya begitu dekat, dan kutungan jwan-pian itu berjumlah banyak.

Dalam kagetnya, Siau Ih coba berusaha menghindar, tapi sudah terlambat. Syukur masih dapat gerakkan tangan kiri untuk melindungi tubuh, namun sekalipun begitu tak urung pundaknya termakan juga oleh beberapa kutungan besi. Sakitnya sampai menusuk ke tulang. Saking gusarnya, dia membabat sekuat-kuatnya dan kutunglah lengan kiri si Wajah Kumala.

Pundak Siau Ih terkena sambitan besi dan lengan si Wajah Kumala terpapas kutung itu, terjadi dalam waktu yang bersamaan. Rupanya si Wajah Kumala itu seorang jago yang keras hatinya.

Dengan menahan sakit, begitu melihat Siau Ih agak tertegun, dia terus loncat mundur dan lari tunggang langgang. Sudah tentu Siau Ih tak menduga akan terjadi hal itu. Waktu dia tersadar, si wajah Kumala pun sudah tak ketahuan bayangannya.

Saat itu Song Jin-kiat datang menghampiri menghaturkan maaf, tapi Siau Ih memberi isyarat supaya dia jangan bicara dulu. Setelah menyarungkan pedang, diperiksalah lukanya tadi.

„Astaga, Siau-kongcu terluka?" seru Jin-kiat dengan kaget. Siau Ih tak mau menyahut. Hatinya penuh kemengkalan.

Pertama karena dituduh sebagai tukang pengrusak rumah tangga, kedua untuk pertama kali itu dia terluka dalam pertempuran dan ketiga karena lawan dapat melarikan diri.

Setelah didapatinya luka dipundaknya itu tak berat, maka setelah dibalut dengan kain, ia memberi hormat pada tuan rumah lalu loncat ke halaman luar. Song Jin-kiat melongo melihat kelakuan pemuda itu. Buru- buru dia mengejar, tapi ketika tiba di halaman luar, ternyata Siau Ih sudah mencongklangkan kudanya tanpa pamit.

Jin-kiat tahu bagaimana perasaan anak muda itu. Diam- diam dia menyesal tak terhingga. Namun karena pemuda itu sudah pergi, terpaksa dia masuk kembali ke dalam gedung.

Malam di daerah Kwitang itu, walaupun terletak di daerah selatan, namun pada malam itu amat dingin hawanya. Siau Ih tak menghiraukannya, tengah malam buta dia terus berkuda menuju ke Jiok-kiang. Dia tak mau masuk kota hanya mencari sebuah rumah makan di luar kota.

Habis beristirahat sejenak, dia mengitari kota, langsung menuju ke gunung Tay-tong-san. Oleh karena hanya seratusan li jaraknya, jadi menjelang sore dia sudah menampak gunung itu menjulang dengan megahnya.

Kala tiba dikaki gunung, haripun sudah magrib. Puncak gunung itu sudah berselimutkan awan hitam. Baru dia hendak mulai mendaki, tiba-tiba dia berpikir: „Benar pegunungan ini tak seberapa luasnya, tapi puncak Pao-gwat-san itu tentu berada ditempat yang sepi. Daripada berjeri payah mencari, lebih baik cari tempat bermalam di sekitar daerah sini saja. Pagi-pagi mencari rasanya lebih leluasa."

Walaupun di pegunungan itu amat gelap, namun dengan memiliki lwekang tinggi dapatlah Siau Ih berjalan dengan leluasa. Belum jauh masuk ke daerah pegunungan, dia segera memilih sebuah hutan yang terletak di tepi jalan untuk beristirahat.

Singkatnya saja malam itu tak terjadi suatu apa dan keesokan harinya, mulailah dia melanjutkan pendakiannya.

Pegunungan Tay-tong-san termasyhur sebagai gunung yang indah dan megah didaerah Kwitang. Batu-batunya yang aneh beraneka warna mendaki, Siau Ih mengharap mudah- mudahan dapat bertemu dengan seseorang untuk ditanyai keterangan letak puncak Pao-gwat-san itu.

Namun entah sudah berapa lamping gunung dan tikungan yang dilaluinya, tetap dia belum bersua dengan orang. Haripun sudah hampir siang. Diam-diam Siau Ih menjadi heran, jangan-jangan dia tersesat.

Dia berhenti sejenak untuk memandang kesekeliling tempat itu. Jalanan disebelah muka, makin menaik dan makin berbahaya. Satu-satunya hal yang diperolehnya, ialah ditepi jalanan gunung masih terdapat bekas reruntuh bangunan rumah.

Pikirnya: „Kalau begitu aku tak tersesat. Yang nyata, sebelum aku tiba, disini tentu terjadi sesuatu peristiwa sehingga orang-orang yang mendiami tempat ini sama pindah. Entah apakah peristiwa itu, ya?”

Sekilas dia tiba pada dugaan, jangan-jangan jalanan itu akan langsung menuju kedesa Pao-gwat-chung. Ah, biar bagaimana lebih baik dia lanjutkan mendaki terus.

Dibeberapa tempat, kembali dia melihat bekas-bekas runtuhan bangunan rumah, namun anehnya tempat disekeliling itu tetap tiada kelihatan barang seorang pendu-duk Diam-diam dia menjadi kuatir juga. Untunglah saat itu, jauh disebelah muka sana, dilihatnya ada asap mengepul. Girang Siau Ih bukan kepalang.

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar