Si Rase Kumala Bab 18 : Penyelamat Tak Terduga

18. Penyelamat Tak Terduga

„Auuuuh,” mulut orang itu menjerit keras dan „bum” …… kepalanya jatuh membentur karang, batok kepala hancur, benak berhamburan dan putuslah jiwanya. Sembilan batang jarum yang dilepas Siau Ih tadi, semua tepat mengenai sasarannya.

Berbareng pada saat itu, dari atas karang sama terdengar sebuah suitan nyaring. Menyusul sesosok tubuh warna kelabu melayang turun.

Begitu menginjak bumi, orang itu kebutkan lengan bajunya yang gerombyongan. Berpuluh-puluh thiat-yan yang memenuhi udara itu, seketika menjadi hancur berantakan.

Siau Ih terkesiap dan mengawasi orang itu. Ternyata dia itu adalah iman tua yang bertubuh kecil kurus. Sebatang pedang menyelip di belakang bahunya. „Menilik kesaktian orang ini, nyata setingkat dengan ayah,” diam-diam Siau Ih membatin. Tapi baru dia memikir begitu, didengarnya imam tua itu berseru pelahan: „Mengapa tak lekas ikut aku keluar!"

Tanpa berayal lagi, Siau Ih segera tarik lengan Tan Wan dan ikut imam yang ‘turun dari langit’ itu menerobos keluar ke mulut lembah.

Melihat perobahan secara mendadak itu, bukan main kejut Kau-hun-sam-niocu. Cepat dia kerjakan kedua tangannya untuk menghamburkan asap beracun ke arah ketiga orang itu.

"Bangsa kurcaci yang tak tahu diri!" seru imam tua itu dengan tertawa dingin. Lengan jubahnya dikebutkan perlahan- lahan dan seketika itu serangkum angin halus yang mengandung tenaga lwekang kuat, menyambar ke udara.

Amboi! Asap hijau yang membawa pasir beracun itu, baru sampai ditengah jalan sudah bergulung-gulung balik kepada alamat pengirimnya.

Sudah tentu kejut dan takut Kau-hun-sam-niocu tak terkira. Kaki menekan tubuh loncat ke samping sampai dua tombak. Dengan cara begitu, barulah ia dapat terhindar dari gelombang serangan asap beracun.

Dalam pada itu, si imam tua teruskan langkahnya memimpin Siau Ih dan Tan Wan keluar ke mulut lembah.

Kaget dan ketakutan setengah mati sekalipun Li Thing- thing menyaksikan kesaktian si imam tua itu, namun ia tetap seorang hantu perempuan yang ganas. Sudah tentu ia tak mau begitu gampang saja melepaskan korbannya.

„Dahulu kita belum pernah mendendam, sekarangpun tidak bermusuhan. Tapi mengapa kau mengadu biru urusanku?" teriaknya dengan geram kepada imam tak dikenal itu.

Sepasang biji mata yang aneh dari imam itu, sejenak mengicup, kemudian tertawa dingin. „Dendam permusuhan apa kau kandung terhadap kedua anak muda itu, hingga kau sampai perlu pinjam senjata hui- thian-hwat-yan dari murid Gan-li Cinjin Kho Goan-thang dan menggunakan ceng-lin-tok-sat dari pihak Song-sat untuk membinasakannya? Kalau pinto tak mengingat prikasih kemanusiaan, terhadap manusia yang suka berbuat jahat dan ganas tak mengindahkan kaum angkatan tua seperti dirimu itu, tentu tadi-tadi sudah kubelah tubuhmu!"

Hui-thian-hwat-yan artinya senjata rahasia Burung- burungan seriti dari baja yang dapat beterbangan di udara  dan menyemburkan api. Sedang Gan-li Cinjin Kho Goan-thang adalah salah seorang tokoh yang termasuk dalam golongan sepuluh Datuk. Ceng-lin-tok-sat ialah senjata rahasia pasir beracun yang mengandung phosporus. Senjata rahasia ini menjadi milik kedua Song-sat.

Bahwa si imam tua itu dapat mengetahui asal usul dirinya dan kawannya si lelaki brewok itu, telah membuat Kau-hun- sam-niocu terkejut bukan kepalang. Matanya berkilat-kilat, memandang si imam tua itu dari ujung kaki sampai ke atas kepala.

„Turut perkataanmu yang begitu besar, rasanya kau tentu berani memberitahukan nama. Nonamu kepingin minta pengajaran nanti.” Li Thing-thing tertawa dingin.

Tertawalah si imam tua dengan lebarnya.

„Huh, sungguh seorang budak yang tak kenal tingginya langit dalamnya laut. Jangankan kau, sedangkan sepasang suami isteri Li Ho itupun kalau bertemu dengan pinto, tentu juga menaruh perindahan!”

Berkata sampai disini, wajah imam itu tiba-tiba berobah gelap dan dengan nada berat, berkatalah dia: „Mengingat dirimu tergolong angkatan lebih muda, kali ini pinto tak mau membikin susah. Nanti bila kau pulang ke gunungmu, sampaikan saja pada suhumu bahwa Goan Goan Cu dari biara Siang-ceng-kiong di gunung Mosan, masih tetap teringat akan hutangnya dahulu. Dalam lima tahun nanti, tentu akan datang menagih hutang ke Thian-san. Cukup sampai sekian saja, ayuh, enyah sana!"

Berbareng dengan kata-kata ‘enyah’ diucapkan, sepasang lengan bajunya tampak dikebutkan ke arah Kau-hun-sam- niocu. Lambat sekalipun tampaknya gerakan itu, namun bagi Li Thing-thing serasa sudah didorong oleh sebuah tenaga halus yang sedahsyat gunung roboh.

Sewaktu mendengarkan si imam memperkenalkan diri, Kau-hun-sam-niocu sudah serasa copot nyalinya. Ia insaf, sekalipun menumplak seluruh kepandaiannya, tak nanti ia dapat melawan imam itu. Kalau masih bersitegang leher ia tentu akan mendapat malu saja.

Maka begitu angin kebutan itu baru menyentuh tubuh, secepat agak membungkukkan tubuh, sepasang kakinya menjejak bumi dan serentak mencelatlah ia ke samping beberapa meter.

„Goan Goan Cu, meskipun namamu tercantum dalam sepuluh Datuk, namun selama hayat masih dikandung badan, nonamu ini tentu akan mengadakan pembalasan untuk hinaan hari ini,” serunya dengan lengking suara yang tajam menusuk telinga.

Wajah Goan Goan Cu serentak berobah. Sepasang alis menyungkat menambah keangkeran mimiknya. Sepasang lengan perlahan-lahan di angkat ke atas, begitu tiba di muka dada, tiba-tiba mulutnya menghela napas panjang.

Entah apa sebabnya, sepasang tangannya itu diturunkan kembali. Dalam pada itu, dengan beberapa ayunan tubuh, Kau-hun-sam-niocu sudah menghilang diantara hutan lebat.

Kejadian yang tak tersangka-sangka itu, telah membuat Siau Ih bukan kepalang kejutnya. Serambut dibelah tujuhpun dia tak mengira, bahwa orang yang telah membebaskannya dari kesukaran itu bukan lain ialah Ay-to-jin Goan Goan Cu, itu kepala biara Siang Cing Kiong yang sudah menghilang hampir duapuluhan tahun lamanya.

Tokoh yang mempunyai ikatan dengannya dan untuk menyelesaikan itu dia (Siau Ih) siang malam mengharap-harap dapat menjumpahi, kini secara tak disangka-sangka telah muncul dihadapannya.

Begitu goncang perasaan Siau Ih, hingga sampai sekian jenak dia tak dapat mengucap apa-apa. Kalbunya penuh dengan beraneka ragam perasaan, budi, dendam, penasaran

…….

Adalah Tan Wan yang memperhatikan kerut wajah Siau Ih kala itu, juga merasa heran. Pikirnya: „Aneh, dia itu. Terlepas dari bahaya, seharusnya bergirang, tapi mengapa dia tampak bergolak-golak warna mukanya ……”

Saat itu Goan Goan Cu sudah berputar tubuh. Wajahnya yang kurus perok tapi mengandung perbawa itu, menampilkan senyum ke arah kedua anak muda itu.

„Siapakah nama kalian ini dan menjadi anak murid siapa? Mengapa sampai mengikat permusuhan dengan anak murid si Li Ho!" tegurnya dengan nada ramah.

Berhadapan dengan seorang koay-hiap (tokoh aneh) yang mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia persilatan, saat itu mulut Tan Wan serasa terkancing. Tubuhnya agak mengisar, lalu pelahan-lahan menarik lengan Siau Ih. Pikirnya biarlah sang kawan itu yang me¬nyahutnya saja.

Tetapi ternyata Siau Ih pada saat itu seperti orang limbung. Bagai patung tak bernyawa, dia terlongong-longong memandang jauh ke sebelah muka.

Mata Goan Goan Cu yang tajam segera melihat keadaan itu. Senyum yang menghias wajahnya tadi, serentak hilang berganti dengan kerut yang kurang senang. Tan Wan terkejut. Kuatir kalau terbit salah paham yang dapat menimbulkan ‘salah urus’, buru-buru dia melangkah maju lalu membungkukkan tubuh selaku memberi hormat.

„Wanpwe Tan Wan dan ini sahabat Siau Ih …….”

Belum lagi dia dapat menyelesaikan kata-katanya, Siau Ih sudah lantas tampil ke muka. Dengan mata berkilat dan wajah menampil duka-marah, berserulah dia dengan nada getar:

„Idzinkanlah wanpwe lebih dahulu menghaturkan dosa dan terima kasih atas pertolongan locianpwe!" Serta merta dia membungkukkan tubuh hingga mengenai tanah.

Sikap anak muda itu telah membuat Goan Goan Cu terkesiap. Ujarnya dengan heran: „Pinto baru pertama kali ini berjumpa, pertolongan apa yang telah kuberikan? Tapi menilik sahabat kecil tadi mengatakan hendak menghaturkan dosa, tentu masih ada keterangan selanjutnya lagi.”

Siau Ih mendongak tertawa panjang.

„Locianpwe sungguh bijaksana!" serunya dengan nyaring. Keheranan Goan Goan Cu makin menjadi-jadi.

„Kalau benar begitu, pinto bersedia mendengarkan,” serunya dengan alis menjungkat.

Wajah Siau Ih membesi. Tiba-tiba menyurut mundur tiga langkah, tangan kanan cepat sudah melolos pedang Thian- coat-kiam.

Kemudian melintangkannya ke muka dada, berserulah dia dengan nada berat: „Sebagai seorang sakti dunia yang namanya tergolong dalam sepuluh Datuk, tentulah locianpwe dapat mengenal pedang wanpwe ini!"

Merasa heran dengan ucapan anak muda itu, sepasang mata Goan Goan Cu yang aneh itu berkilat memandang ke arah pedang yang dicekal si anak muda. Selekas pandangannya tertumbuk akan pedang yang memancarkan sinar hijau bening laksana air telaga namun memancarkan perbawa yang menyeramkan itu, serentak tersurutlah Goan Goan Cu ke belakang.

„Pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa Bok Tong?" tegurnya dengan wajah kaget.

Tubuh lurus, kepala tegak, menyahutlah Siau Ih: „Itulah engkong wanpwe "

Goan Goan Cu, seorang imam yang sudah kuat semadhinya hingga tak mudah terpengaruh perasaannya itu, namun mau tak mau menjadi tersirap darahnya juga. Sepasang matanya yang aneh itu, namun mau tak mau menjadi tersirap darahnya juga. Sepasang matanya yang aneh itu, terbeliak.

„Jadi kau ”

„Wanpwe adalah Siau Ih!" tukas Siau Ih dengan melantang.

Ucapan itu telah membuat Goan Goan Cu menggigil persendiannya. Menatap lekat-lekat, dia mengawasi anak muda itu dari bawah sampai ke atas.

„Pernah apa kau dengan Siau Hong?" serunya beberapa saat kemudian.

Seketika wajah Siau Ih mengerut duka dan gusar. Balas mengawasi ke arah Goan Goan Cu, dia menyahut dengan nyaring tetap: „Orang yang locianpwe katakan itu, adalah mendiang ayahku!"

Tubuh Goan Goan Cu tampak tergetar, wajahnya berobah sekali. Mundur lagi beberapa langkah, sepasang matanya tak berkesip memandang ke arah si anak muda. Jelas walaupun anak muda itu berusaha keras untuk berlaku tenang, namun sepasang matanya tak kuasa menyembunyikan rasa kedukaan dan kemarahannya.

Tan Wan yang melihat tegas keadaan kedua orang yang bersikap aneh itu, menjadi bingung tak keruan sendiri. Kala itu sudah menjelang petang, cuaca mulai gelap. Lautan api yang mengganas di dalam lembah itu masih terasa panas membara.

Walaupun tertingkah oleh cahaya api marong, wajah Goan Goan Cu masih tetap memucat. Perobahan yang mendadak itu, telah menggoncangkan sanubarinya.

Siau Hong, murid kesayangan yang menjadi ahliwarisnya itu, kini sudah mempunyai keturunan. Kematian Siau Hong benar tersebab surat fitnah, namun adanya Siau Ih di dunia ini, suatu bukti yang cukup berbicara.

Shin-tok Lan dan Siau Hong nyata sudah melanggar kesusilaan.

Telah bertahun-tahun lamanya dia menyelidiki perkara itu dan memang muridnya itu telah dicelakai orang, tapi siapa yang melakukan, tetap belum jelas. Tuduhan berat memang terjatuh pada diri Siao-sat-sin Li Hun-liong, tapi dikarenakan belum ada bukti-bukti yang kuat, jadi diapun tak mau sembarangan bertindak.

Tempo berjalan dengan cepatnya. Belasan tahun telah lampau dan dunia persilatanpun sudah mulai melupakan hal itu.

Namun selama peristiwa fitnah itu belum dibikin terang, Goan Goan Cu tetap tak tenteram hatinya. Memandang ke arah pemuda yang tegak dengan wajah penuh dendam duka itu, pikirannya kembali terbayang akan adegan yang tragis di biara tua di gunung Hoasan dahulu itu.

Sementara sang mata beralih memandang ke arah lautan api di dalam selat lembah di belakangnya sana, tanpa terasa mulutnya mengingau: „Anak murid Gan Li telah binasa secara mengenaskan, lalu dihanguskan oleh api pula, ini ”

Wajah Goan Goan Cu tiba-tiba membayangkan kedukaan hebat. Mengira imam itu terkenang akan sang ayah (Siau Hong), Siau Ih pun seperti tersajat hatinya. Air mata yang tadi sedapat kuasa ditahannya, kini berketes-ketes turun membasahi leher bajunya.

Tiba-tiba terdengarlah suara "bum" yang keras, serangkum angin panas meniup datang. Goan Goan Cu, Siau Ih dan Tan Wan terkejut lalu loncat mundur.

Hutan yang tumbuh di belakang lembah itu telah dimakan api. Sebatang demi sebatang, pohon-pohon sama berdebum- debum jatuh. Asap bergulung-gulung tinggi membawa bunga api yang berhamburan di udara.

Pemandangan itu telah menggugah lamunan Goan Goan Cu, siapa lalu mendongak dan tertawa nyaring. Sebuah tertawa yang melengking menembus ke atas awan.

Siau Ih tercekat dan cepat-cepat beraling ke arah Goan Goan Cu. Didapatinya wajah imam tua itu membesi dan mata berkilat-kilat tengah memandang kepadanya.

Suatu pandangan yang berarti hingga Siau Ih menyurut setengah langkah lalu palingkan pedang ke muka dada.

„Apakah locianpwe hendak memberi pelajaran padaku?" tanya Siau Ih.

Suatu pertanyaan yang sederhana, namun dalam telinga Goan Goan Cu berlainan rasanya.

Sejenak agak tertegun, wajah Goan Goan Cu kembali gelap dan dengan nada berat berseru: „Hal yang paling dijunjung tinggi oleh kaum persilatan, ialah hubungan antara suhu dan murid. Siau Hong adalah ahliwaris pinto satu-satunya. Kaupun tadi membahasakan cianpwe padaku. Tapi kata-katamu itu amat menusuk!"

Wajah Siau Ih pun berobah keras, sahutnya: „Apa yang cianpwe ucapkan itu memang benar. Tapi rasanya wanpwe sudah banyak menerima wejangan akan hal itu. Mendiang ayahku karena menjunjung ajaran itu, telah bunuh diri dengan penasaran. Kemudian akibatnya, almarhum mamaku pun mati mereras, wanpwe hidup sebatang kara. Kesemuanya itu, adalah gara-gara dalil ‘hubungan suhu dan murid’ itu. Karenanya, pandangan wanpwe mengenai ajaran itu, amat berbeda. Cianpwe adalah seorang sakti dikolong jagad, tentulah dapat memberi kuliah ajaran padaku!"

Rendah bahasanya, namun telinga Goan Goan Cu seperti ditusuk-tusuk jarum. Wajah berobah, sejenak dia diam terpaku. Pada lain saat, tiba-tiba dia kedengaran menghela napas.

„Sudahlah! Walaupun kau tak menghormat pinto, tapi rasa kesayangan itu tak dapat kehilangan sumbernya. Apalagi kau bukan segolonganku, jadi tak dapat mempersalahkanmu. Bagaimanapun perkembangannya nanti, pinto tetap berusaha ke arah kebaikan!"

Siau Ih membungkukkan tubuh, berseru lantang: ,,Atas budi kecintaan cianpwe, wanpwe menjunjung tinggi. Apabila nantinya memang ternyata mendiang ayahku itu berdosa, wanpwe rela memikulnya!"

Goan Goan Cu tertawa rawan, ujarnya: „Hukum keadilan  itu hanyalah berlaku pada manusia yang masih hidup. Semoga Tuhan meridhoi agar perkara dendam penasaran ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Hitam putihnya, kelak pasti akan ketahuan. Rasanya sang waktupun tak lama lagi

…….”

Berkata sampai disini, tiba-tiba Goan Goan Cu terhenti, lalu bertanya: „Menilik kau mengambil jalan sini, rasanya tentu akan menuju ke Tiam-jong-san, bukan?"

Siau Ih mengiakan.

„Bila menghadap kakekmu nanti, sampaikan padanya, jangan lupa peristiwa di Siang Ceng Kiong tempo hari. Pinto takkan mengecewakan orang dan tak mau dibikin kecewa orang. Tak lama lagi, pinto tentu akan menemuinya untuk mengakhiri segala budi dendam. Nah, cukup sekian, mudah- mudahan kita masing-masing selalu selamat!"

Tanpa menunggu penyahutan Siau Ih, sekali kibaskan lengan baju, ketua biara Siang Ceng Kiong itu sudah ayunkan tubuh menghilang dalam kegelapan.

Siau Ih terlongong-longong dilamun berbagai perasaan.

Meniupnya angin malam, telah membuat Tan Wan yang sedari tadi terlongong mengawasi saja, menjadi tersadar. Jelas baginya kini, bahwa antara Siau Ih dengan Goan Goan Cu tadi, terdapat hubungan budi dan dendam yang berliku-liku. Kini terhadap pribadi dan keperwiraan penolongnya (Siau Ih) itu, dia makin mengindahkan sekali.

„Siau-heng, Goan Goan Totiang sudah pergi!" bisiknya seraya menghampiri dan menepuk bahu anak muda itu.

Siau Ih menghela napas dalam. Pelahan-lahan dia palingkan kepala: „Bertahun-tahun diharap, sekali bertemu, hanya menambah kedukaan saja …….”

„Segala apa harus diterima dengan lapang hati, jangan keliwat dipikir susah-susah," Tan Wan menghiburnya.

„Untuk urusan lainnya, memang tepat begitu. Tapi terhadap dendam ayah bunda, bagaimana aku dapat melupakan?" Siau Ih menghela napas.

„Sejak Siau-heng menolong jiwaku, sampai sekarang apabila kulihat Siau-heng termenung, walaupun aku turut prihatin tapi tak berani membuka mulut. Tadi setelah Goan Goan Cu muncul, barulah sedikit banyak siaote mengetahui keadaan Siau-heng. Yang dikata sahabat sejati itu, adalah susah-senang dibagi bersama. Oleh karena Siau-heng sudah sudi menerima penghambaan siaote, maka sudilah kiranya juga membagi kesusahan hati pada siaote!" Melihat kesungguhan hati pemuda itu, tergeraklah hati Siau Ih. Kemudian diapun tak segan lagi menuturkan riwajat hidupnya dan sakit hati ayah bundanya yang kini belum juga dapat terhimpas itu.

„Adanya aku hendak pergi ke Tiam-jong-san itu, pertama hendak menyambangi kuburan mamaku dan kedua kalinya hendak menghadap pada engkong guna minta petunjuk untuk menyelidiki jejak musuh," katanya.

Tan Wan tampak merenung sejenak, lalu bertanya: „Tadi Goan Goan Totiang pun mengatakan bahwa engkong Siau- heng itu tinggal di Tiam-jong-san. Apakah beliau itu bukannya tokoh terkemuka dari sepuluh Datuk Shin-tok locianpwe itu?"

Siau Ih mengiakan.

Tan Wan menyatakan kegirangannya dapat ikut serta menghadap tokoh yang amat dikaguminya itu.

Siau Ih menerangkan bahwa dia sendiripun baru pertama kali itu hendak menyumpai engkongnya. Kemudian ajak kawannya itu segera meneruskan perjalanan. Sembari berjalan, dapatlah pembicaraan itu disambung lagi.

Tapi Tan Wan segera mengingatkan bahwa kuda mereka masih berada dalam lembah sana.

Tampak bagaimana selat lembah itu masih menyala api dan banyak ular-ular berbisa yang berserabutan lari menyelamatkan diri.

Siau Ih menghela napas: „Rasanya kuda kita tak dapat tertolong lagi, apa boleh buat, kita tinggalkan sajalah!”

Begitulah dengan gunakan ilmu berjalan cepatnya, keduanya segera lari melintasi pegunungan Lou-san itu. Sekeluarnya dari pegunungan itu, haripun sudah menjelang terang tanah, petani sudah mulai turun ke sawah. Untuk jangan membuat orang kaget, terpaksa Siau Ih dan Tan Wan berjalan biasa. Kira-kira berjalan belasan disepanjang jalan besar, tibalah keduanya disebuah kota kecil.

Sekalipun terletak ditempat yang mencil, kota pedalaman itu cukup ramai. Keduanya mencari hotel. Setelah dahar dan membeli dua ekor kuda lengkap dengan rangsum kering, sorenya mereka lanjutkan perjalanan lagi.

Dalam perjalanan itu mereka cukup menikmati pemandangan alam yang menghibur hati. Dan singkatnya saja, setelah belasan hari menempuh perjalanan, gunung Tiam-jong-san yang membujur seluas tigaratusan li ditengah propinsi Hunlam, sudah tampak di depan mata. 

Kedua anak muda itu keprak kudanya cepat-cepat. Menjelang petang, tibalah mereka di kota Tay-li-koan. Disini mereka menginap semalam.

Keesokan harinya, karena tak leluasa mendaki gunung dengan berkuda, kedua ekor kuda mereka titipkan di hotel. Oleh karena ingin lekas-lekas menyambangi kuburan ibunya, maka begitu berada di luar kota yang sepi, Siau Ih segera gunakan ilmu berlari cepat.

Kota Tay-li-koan tak berapa jauh dari Tiam-jong-san, maka tak berapa lama kemudian, mereka sudah berada dikaki gunung itu. Sewaktu mendaki ke atas, ternyata gunung itu menjulang tinggi dengan megahnya, alam pemandangan indah permai berhiaskan hutan belantara yang lebat.

Si Dewa Tertawa telah memberikan keterangan jelas letak tempat kediaman si Rase Kumala, tapi karena terburu-buru dan berat merasakan akan berpisah, Siau Ih sudah tak menanyakan jelas. Kini dihadapi dengan keadaan pegunungan yang membentang luas, penuh dengan hutan belantara itu, dia terpaksa tertegun.

Waktu Tan Wan menyusul datang, dia lantas menanyakan apa sebab sang kawan berhenti disitu. „Ah, waktu turun gunung aku sudah tak menanyakan jelas letak lembah Liu-hun-hiap kepada engkong luar. Untuk mencari sebuah tempat pada gunung seluas begini, mungkin tiga hari tiga malam belum tentu bertemu!” kata Siau Ih.

Tan Wan menyatakan bahwa sesuai dengan namanya, tentulah si Rase Kumala itu berdiam disebuah lembah yang terpencil. Asal dicari tentu ketemu.

Siau Ih mengiakan dan segera ajak kawannya menyusup ke daerah pedalaman gunung. Namun setelah tiba jauh dipedalaman, tetap mereka belum menemukan lembah itu. Untuk melepaskan kekesalan hatinya, Siau Ih bersuit panjang.

Nadanya berkumandang jauh diempat penjuru. Jauh memandang ke barisan puncak dan saluran air yang membentang malang melintang. Siau Ih menghela napas panjang.

„Sejauh mata memandang hanya barisan gunung yang tampak, ah, dimanakah rumahku ………?”

Tan Wan ikut berduka dan menghiburi sang kawan.

Begitulah kedua anak muda itu, sesaat sama tegak terpaku di atas sebuah karang buntu. Jauh disebelah bawah, terbentang jurang yang cu¬ram.

Tiba-tiba terkilas sesuatu pada pikiran Tan Wan.

„Siau-heng, telah siaote katakan tadi bahwa karena tempat kediaman Shin-tok locianpwe itu disebut lembah, tentulah disitu terdapat gunung dan air. Tempat kita ini sebuah karang yang tinggi, dan di bawahnya terdapat aliran air, jangan- jangan inilah Liu-hun-hiap!"

Namun Siau Ih hanya tersenyum getir dan menyatakan bahwa Liu-hun-hiap adalah sebuah tempat kedewaan yang indah, bukan serawan seperti ini. Namun Tan Wan tetap membantahnya. Tempat kediaman tokoh seperti si Rase Kumala, tentulah memilih yang sepi dan tenteram.

„Apa yang Tan-heng katakan itu memang benar. Namun sungai jurang itu amat lebar sekali, sekalipun engkong memiliki kepandaian sakti, rasanya sukar juga untuk melompatinya ……”

„Tempat ini benar berbahaya, tapi sangat luas. Kalau kita menyelidiki, mungkin ada sesuatu jalan," tukas Tan Wan seraya menarik lengan Siau Ih diajak berjalan kesebelah kiri.

Setelah berjalan entah berapa lama, tiba-tiba Tan Wan berseru: „Siau-heng, tu lihatlah!”

Dengan berdebar-debar Siau Ih memandang ke muka. Pada tepi karang yang terpisah lima tombak jauhnya, tampak ada seutas rantai besi yang sebesar telur itik. Rantai itu menyambung sampai ke karang sebelah sana. Kedua ujung rantai itu, dipaku pada karang.

Rantai itu tergantung di atas sungai jurang, bergontaian kian kemari. Girang Siau Ih bukan kepalang.

Ternyata rantai itu basah dengan embun, jadi licin sekali.

Kembali Siau Ih mengerut alis berkata: „Kedua tepi karang ini terpisah begitu jauh dan rantai ini amat licinnya. Sekali terlepas, orang pasti akan jadi tahi-udang di dalam jurang

…...”

Siau Ih terhening, memandang terkesiap pada Tan Wan. Yang tersebut belakangan ini mengerti apa yang dipikirkan

Siau Ih. Dia tersenyum: „Harap Siau-heng jangan kuatirkan diri siaote. Suhuku bergelar sin-seng-bu-ing (malaekat tanpa bayangan). Siaote mendapat julukan Liok-ci-sin-bi. Bi adalah sejenis kera, jadi amat tangkas. Jalan yang tampak berbahaya itu, rasanya takkan mempersulit siaote!" Siau Ih tertawa dan minta maaf, lalu menyatakan hendak menyeberang lebih dahulu. Sekali loncat sampai tiga tombak tingginya, dia melayang turun di atas jembatan rantai itu.

Begitu ujung kaki menginjak rantai, dengan bantuan gerakan sepasang lengan, dia melayang turun di atas rantai. Empat lima kali loncatan, dapatlah dia diseberang karang sana.

Itulah ilmu ginkang it-wi-tok-kiang atau sebatang rumput alang-alang menyeberang sungai.

Diam-diam Tan Wan memuji dan malu dihati sendiri. Dia tak berani berbuat semacam itu dan menggunakan cara lain.

Dengan sepasang tangan memegang rantai, dia merayap ke muka. Sekalipun begitu, cukup cepat juga jalannya, persis seperti laku kera bergelantungan.

Begitu tiba didekat tepi sana, sekali gunakan jurus ki-lun- to-hoan atau roda berputar terbalik, dia ayunkan tubuh loncat ke atas karang. Keringatnya berketes-ketes turun di dahi, dadanya berkembang kempis.

„Hai, Tan-heng, caramu melintasi itu sungguh mendebarkan sekali," kata Siau Ih.

Tan Wan mengusap keringatnya, lalu menyambut dengan masih tersengal-sengal: „Ah, siaote tak mengira kalau rantai itu begitu licinnya. Ketika tiba ditengah, hampir saja aku terlepas jatuh ke bawah.”

Selanjutnya jalanan yang mereka tempuh ialah šebuah jalan kecil. Sekira tigapuluhan tombak jauhnya, pada karang di sebelah atas, tampak seutas jalan kecil, jadi nyata jalan kecil itu menyusur ke atas panjang sekali.

Tiba-tiba dari karang yang tak seberapa jauh disebelah atas sana, terdengar sebuah suara nyaring: „Besar sekali nyalimu berani mengaduk ke Liu-hun-hiap!" Mendengar itu Siau Ih amat girang. Belum lagi dia menyahut, sesosok bayangan sudah muncul beberapa meter disebelah mukanya.

Seorang pemuda kira-kira berumur 26-27 tahun tegak berdiri menghadang. Pemuda itu mengenakan baju dan celana pendek warna hijau, alis tebal mata bundar. Dadanya lebar kokoh, tegak bercekak pinggang.

Siau Ih buru-buru menghampiri maju dan memberi hormat, serunya: „Mohon saudara sudi menyampaikan, bahwa anak piatu dari orang she Siau hendak mohon menghadap."

Diambilnya sepucuk surat pemberian si Dewa Tertawa serta batu Kumala yang pernah diberikan Siau Hong kepada Shin- tok Lan selaku panjar kawin tempo dahulu. Kedua benda itu diberikan kepada pemuda tadi.

Pemuda itu terkejut juga mendengar kata-kata ‘anak piatu dari orang she Siau’ tadi. Dan demi melihat kedua barang yang diangsurkan Siau Ih, dia makin terkesiap memandang Siau Ih.

Akhirnya berselang beberapa jenak kemudian, barulah pemuda itu menyambuti surat dan kumala, katanya sambil mengangguk: „Sudah duapuluhan tahun majikanku tak pernah menerima barang seorang tamu, tetapi .......

Dia terhening sejenak, memandang Siau Ih lalu berkata pula: „Harap tuan berdua tunggu sebentar, aku hendak melaporkan dulu!"

Dengan tangkasnya, orang itu sudah lantas lari pergi.

Siau Ih dan Tan Wan kagum melihat kegesitan pemuda itu.

Sepeminum teh lamanya, pemuda itu masih belum kembali. Siau Ih gelisah dan baru saja dia hendak mengatakan sesuatu pada Tan Wan, tiba-tiba pemuda baju hijau sudah muncul. „Majikanku mempersilahkan tuan berdua datang bersamaku,” kata pemuda itu sembari terus berjalan lebih dahulu.

Siau Ih dan Tan Wan dengan girang segera mengikut.

Ternyata jalan kecil itu amatlah panjangnya. Seratusan tombak jauhnya masih belum habis, bahkan jalan itu makin lama makin sempit dan suasananyapun makin lelap sunyi.

Menampak bahwa pada kedua tepi karang yang menjulang tinggi itu tiada tumbuh barang sebatang rumputpun, diam- diam Siau Ih heran. Teringat dia bagaimana tempo hari si Dewa Tertawa mengatakan bahwa alam pemandangan di lembah Liu-hun-hiap itu indah laksana tempat dewa.

Tiba-tiba pemuda penunjuk jalan itu membiluk disebuah tikungan diikuti Siau Ih dan Tan Wan dengan tergopoh-gopoh. Baru kedua pemuda itu membiluk dan mengawasi ke muka, dilihatnya pemuda penunjuk jalan tadi sudah berdiri sambil bersenyum di muka pintu sebuah pondok.

Ketika menghampiri datang, Siau Ih dan Tan Wan baru mengetahui bahwa pintunya itu terbuat dari batu, lebarnya lebih dari setombak. Pintu itu didirikan menyandar pada karang. Di atas pintu itu terukir beberapa lukisan burung dan bunga. Ukirannya amat indah, tampak seperti hidup. Di  pinggir pintu itu terdapat ukiran sajak:

Tempat keramat kediaman dewa di Tiam-jong-san.

Liu-hun-hiap tempat bahagia yang menembus nirwana.

Siau Ih dan Tan Wan, mempunyai kesan yang sama. Sekalipun huruf-huruf itu hanya empat, ah, namun cukup menggambar betapa tinggi angkuh sang penulisnya.

---ooo0dw0ooo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar