Si Rase Kumala Bab 17 : Lolos Dari Lubang Jarum

17. Lolos Dari Lubang Jarum 

Tan Wan masih tidur, tapi kuatir kalau Li Thing-thing telah melakukan sesuatu padanya, dia cepat-cepat memeriksa tubuh anak itu.

Setelah ternyata tak kurang suatu apa, barulah lega hatinya. Dia duduk menyandar pada tembok. Lebih dulu diambilnya bakpao dan ayam panggang tadi, baru kemudian membuka jalan darah Tan Wan yang tertutuk tadi.

Melihat Siau Ih duduk didekatnya dengan mengulum senyum, Tan Wan bersyukur tak terhingga. Dia coba bergeliat bangun, lalu berkata: „Karena seorang Tan Wan, kongcu telah mendapat banyak kesulitan ”

„Memberi pertolongan pada orang yang mendapat kecelakaan, adalah sudah menjadi tugas kaum persilatan seperti kita. Kalau saudara Tan masih mengungkat yang tidak- tidak, pertanda pikiranmu itu berlainan!" tukas Siau Ih. Diambilnya sebiji bakpao dan separoh ayam panggang, lalu diberikan pada kawannya itu.

„Manusia bukan mesin, jadi tak dapat hidup tanpa makan. Lebih-lebih saudara Tan baru sembuh betul, jadi tak boleh berkosong perut. Ayuh, kita makan bakpao dan ayam panggang ini!”

Terhadap pribadi dan kepandaian Siau Ih, Tan Wan kagum tak terhingga. Apalagi pemuda itu amat memperhatikan sekali padanya, ini membuatnya makin menggores dalam-dalam rasa patuhnya.

„Terhadap pribadi kongcu yang gagah budiman itu, Tan Wan amat mengindahkan sekali. Kongcu telah menolong jiwaku, entah bagaimana aku dapat membalasnya. Asal Tan Wan masih bernyawa sekalipun kongcu menyuruh aku menerjang lautan api rimba golok, Tan Wan tak nanti menolak."

Sejak berada dibukit Kun-san, Tan Wan selalu membahasakan ‘kongcu’ (tuan muda) pada Siau Ih. Sebaliknya untuk menyatakan sikapnya yang terbuka, Siau Ih memanggilnya ‘saudara’.

Dulupun Tan Wan pernah mengutarakan maksudnya untuk mengikut Siau Ih, agar dengan demikian dapatlah dia menunaikan dua macam tugasnya. Pertama, membalas budi Siau Ih dan kedua membalas budi suhunya dalam menuntut balas kepada orang-orang Thiat-san-pang.

Tapi Siau Ih hanya ganda tertawa saja dan belum menyatakan sesuatu.

Kini setelah beberapa hari bergaul, keduanya makin lebih mengetahui pribadi masing-masing. Tan Wan dapatkan bukan saja Siau Ih seorang pemuda yang cerdas, pun juga berbudi terbuka tangannya.

Sebaliknya Siau Ih pun menganggap bahwa sekalipun Tan Wan itu berasal dari kaum persilatan penyamun, tapi mempunyai rasa setia dan tahu membalas budi. Apa yang diucapkan anak muda itu tadi, tentulah benar-benar keluar dari setulus hatinya.

„Nilai dari orang bersahabat, ialah kenal hati masing- masing. Apabila setiap kali mengucapkan terima kasih untuk suatu urusan kecil saja, tandanya dia itu berhati palsu. Semisal bunga teratai merah dan putih, pun semua aliran persilatan itu, serumpun asalnya. Saling bantu membantu, adalah sudah menjadi kewajiban bagi kaum persilatan. Entah bagaimana pendapat saudara Tan tentang kata-kataku,” kata Siau Ih.

Karena dipandang lekat-lekat, muka Tan Wan menjadi merah dan dengan kemalu-maluan menundukkan kepala dia mengiakan.

„Kalau saudara Tan menganggap benar, maka mulai saat ini janganlah memanggil aku dengan sebutan ‘kongcu’ lagi!"

Tergerak hati Tan Wan akan pernyataan terbuka dari pemuda gagah itu. Dengan suara nyaring, dia berseru: „Tan Wan merasa bersyukur sekali, bahwa seorang yang berasal dari kalangan begal macam aku ini, dapat diterima menjadi seorang sahabat ”

„Ai, batas antara baik dan jahat itu, amatlah tipis sekali. Penghidupan ini bagaikan sebuah bahtera melayari lautan. Sedikit kita nyeleweng mengayuh, tentu akan membiluk ke jalan yang hina. Tapi asal kita sadar dan buru-buru memperbaiki kesesatan itu, itupun sudah cukup. Sesama kaum persilatan, rasanya tiada perbedaan siapa golongan liok- lim (begal), siapa golongan ceng-pay (baik).”

Mendengar itu, Tan Wan menghela napas, ujarnya:

„Mendengar petuah seorang bijaksana, jauh lebih bermanfaat dari membaca buku sepuluhan tahun. Tan Wan akan berterima kasih sekali apabila sering-sering mendapat nasehat berharga.”

Siau Ih peringatkan bahwa pemuda she Tan itu masih belum sembuh betul, sebaiknya lekas makan dan beristirahat lagi. Begitulah keduanya segera menggasak habis-habisan beberapa bakpao dan dua ekor ayam panggang itu.

Habis makan, kembali Siau Ih suruh kawannya menelan sebuah pil. Kuatir kalau membikin kaget, Siau Ih sengaja tak mau menceritakan tentang peristiwa Li Thing-thing tadi. Singkatnya saja, malam itu mereka tidur dengan tiada terjadi suatu apa.

Keesokan harinya, sesudah memberi obat lagi, Siau Ih mengeluarkan bumbung yang berisi sembilan butir jarum beracun itu. Dia mengatakan hendak membeli rangsum kering dan memesan pada Tan Wan, apabila ada musuh datang mengganggu, boleh disambut dengan jarum itu.

Menyambuti bumbung jarum itu, bertanyalah Tan Wan dengan heran: „Kalau tak salah inilah jarum beracun kiu-tiam- ting-sing-ciam yang dilarang dipergunakan oleh kaum persilatan. Maaf, dari mana saudara Siau mendapatkannya?” Untuk menghilangkan salah paham, terpaksa Siau Ih menuturkan apa yang terjadi dihalaman muka makam Gak- ong tempo hari.

Tan Wan makin terkejut dan menyatakan akan menjaga senjata rahasia itu baik-baik, agar jangan sampai jatuh ketangan sesuatu orang persilatan.

Siau Ih yang masih kuatir terhadap Kau-hun-sam-niocu, sebenarnya hendak menceritakan peristiwa itu kepada Tan Wan, tapi pada lain kilas dia merasa tak leluasa. Akhirnya dia hanya memesan supaya sang kawan itu berlaku hati-hati saja.

Demikianlah Siau Ih segera pergi keluar untuk membeli rangsum dan dua guci arak, lalu kembali ke kuil rusak lagi.

Oleh karena beberapa hari kemudian tak terjadi suatu apa, Siau Ih pun sudah mengesampingkan peristiwa Li Thing-thing itu. Dalam pada itu, luka-luka hajaran cambuk dipunggung Tan Wan pun sudah sembuh sama sekali.

Kembali Tan Wan utarakan maksudnya untuk mengikut anak muda itu.

Kali ini terpaksa Siau Ih menerima perbaik.  Pertama, karena melihat kesungguhan hati anak itu dan kedua kali dengan mempunyai seorang kawan, rasanya dia takkan kesepian dalam perjalanan. Sudah tentu Tan Wan kegirangan setengah mati.

Mereka tinggalkan kuil itu menuju ke dalam kota Ik-yang- seng. Disitu Siau Ih membeli dua ekor kuda dan beberapa stel pakaian, baru meneruskan perjalanan lagi.

Kira-kira sepuluhan hari, tibalah mereka di propinsi Kwiciu. Oleh karenanya senjata toja kiu-hap-kim-si-pang telah hilang di Gak-ciu, maka Tan Wan segera mencari tukang besi untuk membuatnya lagi sebatang. Selesai itu, mereka lanjutkan pula perjalanan. Setelah memasuki daerah pegunungan mereka siap melintasi sebuah gunung, masuk ke propinsi Oulam terus ke Tiang-jong-sam.

Keadaan gunung itu, ternyata penuh dengan tebing karang yang curam, puncak-puncak yang menjulang menyusup awan dan jalanan-jalanan yang berliku-liku amat berbahayanya. Meskipun kala itu baru bulan sepuluh, namun matahari dimusim rontok masih terik.

Belum tengah hari, keduanya sudah masuk sampai seratusan li. Tiba-tiba Siau Ih tarik kendalinya. Menunjuk ke arah sebuah pohon besar. Dia ajak Tan Wan beristirahat mengisi perut.

Selagi mereka duduk di bawah pohon besar, sembari menikmati ransum kering, tiba-tiba terdengar angin membawakan suara kelinting kuda. Mendongak ke muka, Siau Ih tampak ada dua ekor kuda tegar tengah mendatangi dengan pesat.

Yang dimuka, seorang lelaki tegap bermuka brewok, mengenakan pakaian ringkas warna merah. Usianya kurang lebih empatpuluhan tahun.

Sedang yang di belakangnya, ialah seorang wanita berkerudung muka dan mengenakan pa¬kaian ringkas warna hijau. Dalam sekejap mata saja, kedua penunggang kuda itu sudah tiba di muka pohon besar.

Wanita pakaian hijau itu tiba-tiba gunakan tangan kiri  untuk menjambret kerudung mukanya. Dua biji mata yang memancarkan sinar mendendam benci, segera memandang lekat-lekat ke arah Siau Ih. Mulut mendengus, tangannya bergerak mengantarkan sang tubuh loncat dari atas kuda, terus berlari melewati tempat Siau Ih dengan cepatnya.

„Dia lagi!" diam-diam Siau Ih mengeluh kaget. Memang wanita itu bukan lain ialah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing, itu wanita cabul yang coba hendak memikat Siau Ih dikuil rusak. Munculnya wanita itu ditempat yang sesunyi seperti daerah pedalaman gunung Tay-lou-san, telah membuat Siau Ih terkejut bukan kepalang.

„Siau-heng, mengapa wanita itu mengawasi begitu membenci kepadamu?" tanya Tan Wan yang tak mengerti duduk perkaranya.

Sejenak merenung, Siau Ih gelengkan kepalanya: „Dalam perjalanan nanti, kita mungkin menghadapi beberapa peristiwa. Tapi apapun yang akan terjadi, harap saudara Tan jangan ikut campur tangan."

Masih Tan Wan bersitegang leher: „Meskipun Siau-heng tak mengatakan, tapi kiranya sudah jelaslah. Wanita baju hijau itu tentu mempunyai dengki asmara terhadap Siau-heng, kalau tidak masakah sorot matanya begitu buas?"

Menyandarkan kepalanya ke batang pohon, Tan Wan melirik ke arah Siau Ih lalu kembali tertawa: „Seorang anak muda seperti Siau-heng itu, tentu sukar menghindarkan diri dari libatan-libatan macam itu. Tapi biar bagaimana juga, kalau suruh siaote berpeluk tangan, sungguh sukar sekali. Sudah tentu siaote tak mau ikut campur dalam urusan pribadi Siau-heng."

Ai, anak itu! Dia sudah salah taksir, siapa Siau Ih dan, siapa wanita Li Thing-thing itu. Suatu hal yang membuat Siau Ih tertawa meringis.

Apa boleh buat, terpaksa dia tuturkan apa yang telah terjadi ketika berada dalam kuil rusak tempo hari itu. Tapi yang diceritakan hanyalah pertempurannya dengan wanita itu, sedang perbuatan tak senonoh dari Li Thing-thing tiada disinggung-singgungnya.

„Mengapa Siau-heng tak siang-siang memberitahukan siaote?" tanya Tan Wan dengan heran-heran menyesal. Siau Ih hanya tertawa dan menerangkan bahwa mengingat Tan Wan masih dalam keadaan sakit, sebaiknya tak usah memikirkan urusan-urusan tetek bengek semacam itu.

Li Thing-thing seorang durjana perempuan yang termasyhur jahat dalam dunia persilatan, maka lebih baik Tan Wan jangan turut terlibat dalam peristiwa itu.

„Kalau toh wanita itu sedemikian jahatnya, tak perlu kita takut. Apalagi demi untuk ‘kepentingan sahabat’, sekalipun tubuh berhias luka, juga harus memberi bantuan. Lebih-lebih Siau-heng adalah penolong jiwaku," kata Tan Wan.

Sejenak kemudian, dia berkata pula: „Tapi kalau Siau-heng menganggap Tan Wan ini seorang yang berkepandaian rendah dan tiada berguna, sampai disini saja aku hendak minta diri.”

Mengetahui orang sudah salah paham dan menilik sikap Tan Wan begitu sungguh, Siau Ih tergerak hatinya.

Berbangkit bangun, dia cekal sepasang tangan anak itu, katanya: „Sedikitpun tiada aku mengandung hati begitu, harap saudara Tan jangan salah mengerti. Seorang yang mempunyai sahabat sejati, meskipun hanya seorang saja, tapi itu sudah cukup membahagiakan." 

Kini baru Tan Wan dapat tertawa lebar dan menyatakan agar Siau Ih basmi saja wanita sejahat itu.

„Ah, aku tak berani mengharap terlalu banyak. Seorang yang masih muda dan kurang pengalaman seperti aku ini, harus tahu diri. Li Thing-thing seorang jagoan wanita yang termasyhur. Terhadap dia, paling banyak aku hanya dapat menghancurkan kegarangannya tapi tak dapat membunuhnya.''

„Itu sudah cukup menggembirakan,” Tan Wan memberi komentar. Kedua saling tertawa dan karena matahari sudah condong ke sebelah barat, buru-buru mereka mengemasi ransum dan guci arak.

„Kalau tiada terjadi suatu apa, malam ini kita tentu dapat melintasi gunung ini. Tapi menurut perasaan siaote, rasanya tidak seperti apa yang kita harapkan,” kata Tan Wan sembari mengusap-usap senjatanya kiu-hap-kim-si-pang".

Mereka mencongklangkan kudanya menyusur jalanan yang melingkar-lingkar di antara lamping dan puncak gunung. Sekonyong-konyong dari tempat yang tak berapa jauh, terdengarlah sebuah suitan nyaring. Ya, sedemikian nyaringnya hingga seperti memekakkan telinga dan menyusup ke dalam angkasa.

Siau Ih yang memiliki lwekang tinggi, tampak biasa saja.

Sebaliknya Tan Wan sudah kaget seperti terbang semangatnya. Sampaipun kedua ekor kuda tunggangan mereka itupun, saking kagetnya sampai meringkik-ringkik dan melonjak ke atas.

Siau Ih jepitkan kakinya kencang-kencang ke perut kuda. Dengan tangan kiri menekan kepala kudanya, tangan kanan menyambar kepala kuda Tan Wan terus ditekan ke bawah, katanya: „Tenangkan hatimu, jangan takut!"

Mendongak ke atas, Siau Ih lepaskan sebuah tertawa panjang. Nadanyapun tak kurang hebatnya, bergema jauh sampai ke atas awan. Seperti tertekan tenaga kuat, lengking tertawa yang pertama tadi, segera cep-kelalep (sirap).

„Ah, sungguh berbahaya. Kalau Siau-heng tak hebat lwekangnya, entah bagaimana akibatnya tadi. Menilik semuda itu usianya dia sudah memiliki kepandaian yang sedemikian saktinya, sungguh aku harus merasa malu," diam-diam Tan Wan berkata dalam hati. Dalam pada itu, Siau Ih pun sudah berhenti tertawa, katanya: „Memang tepat dugaan saudara Tan itu. Wanita jahat itu benar akan memegat kita, mari kita saksikan bagaimana nanti."

Mencongklang lagi ke muka, mereka mengitari sebuah tikungan dan kini tibalah mereka pada sebuah tanah terbuka. Karena di empat penjuru dikelilingi puncak-puncak gunung, jadi daerah itu mirip dengan sebuah lembah cekung. Siau Ih hentikan kudanya dan mengawasi ke sekeliling itu.

Sayup-sayup di atas sebuah batu besar yang terletak ditengah karang, tampak berdiri sesosok tubuh langsing berwarna hijau. Meskipun masih jauh, tapi dapatlah diduga bahwa orang itu tentulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing.

Siau Ih heran juga mengapa tadi ada dua orang tapi sekarang hanya ada seorang saja. Buru-buru dia berpaling ke belakang dan memperingatkan agar Tan Wan berlaku waspada.

Oleh karena sejak kecil sudah biasa ikut pada suhunya Sin- heng bu-ing Kiau Bo berkelana di dunia persilatan, jadi pengalaman Tan Wan pun sudah cukup banyak. Diapun heran juga mengapa tak melihat si lelaki brewok yang berpakaian warna merah tadi. Sembari mengiakan peringatan Siau Ih, diapun lekas-lekas mempersiapkan senjatanya.

Pada saat itu, tiba-tiba tampak Li Thing-thing gerakkan kedua lengannya dan bagaikan kapas terbang, ia melayang ke bawah.

Siau Ihpun cepat-cepat loncat turun dari kudanya.

Sewaktu menurun, wanita itu cepat sudah tamparkan tangannya ke bawah.

Siau Ih bersuit keras, kedua lengan bajunya agak dikebutkan, tubuhnya loncat ke atas sampai satu tombak. Sesudah berhasil menghindari angin pukulan lwekang lawan, dia berjumpalitan di atas udara dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dia balas menghantam lawan.

“Plak,” terdengarlah suara benturan keras, ketika Kau-hun- sam-niocu balikkan tangan menangkis. Dan apa yang terdjadi?

Sekali berjumpalitan, Siau Ih turun dengan tenangnya ke bumi.

Sebaliknya Li Thing-thing terhuyung-huyung sampai tujuh- delapan tindak. baru dapat berdiri jejak.

„Li Thing-thing, malam itu aku telah memberi ampun padamu, seharusnya kau tahu diri dan angkat kaki jauh-jauh. Tapi mengapa kau masih berani menghadang aku lagi? Apakah kau sudah tak mempunyai rasa malu lagi!" seru Siau Ih tenang-tenang.

Oleh karena sudah melepaskan kain kerudung, jadi jelaslah bagaimana wajah Li Thing-thing saat itu berwarna gelap, sepasang matanya memancarkan api pembunuhan.

Menatap si anak muda, ia tertawa iblis: „Aku selalu membayar setiap hutang. Oleh karena kebetulan bertemu di selat gunung sini, maka akupun hendak melunaskan rekening lama. Beritahukan nama, agar mudah nanti aku melapor pada raja akhirat!”

Siau Ih mendongak tertawa lepas.

„Masih menepuk dada bermulut besar hem, sungguh tak malu. Tuanmu ini bernama Siau Ih, ayuh, kau mau apa?”

„Hendak kurenggut jiwamu kuganyang dagingmu ……”

„Hem, enaknya,” tukas Siau Ih sejenak tertawa lalu berseru lagi dengan wajah keren: „Li Thing-thing, tanganmu berlepotan darah, tubuhmu berlumuran dosa. Bertahun-tahun kau malang melintang mengumbar keganasan. Pepatah mengatakan 'membasmi seorang jahat itu, jasanya tak ternilai'. Malam ini aku hendak melakukan amanat bertuah itu, melenyapkan seorang siluman jahat!''

Dengan kata-kata itu, Siau Ih sudah menumpahkan seluruh isi dendamnya atas kematian sang ayah bunda. Dari seorang pemuda yang cakap, saat itu Siau Ih berobah menjadi  harimau buas yang haus darah. Pedang Thian-coat-kiam cepat disiapkan dan dengan mata berkilat-kilat dia siap menanti lawan.

Tan Wan yang mengawasi dari samping, hanya mengetahui bahwa sang kawan itu amat marah sekali terhadap wanita cabul yang jahat itu. Tapi dia tak tahu sama sekali akan libatan urusannya lebih jauh.

Kau-hun-sam-niocu Li Thing-ting balas tertawa melengking nyaring. Dalam tertawa itu, tubuhnya menyurut mundur dan secara tak terduga-duga sebuah kain pelangi sudah menyambar ke arah Siau Ih.

Waktu Siau Ih gunakan pedang untuk memapas, Kau-hun- sam-niocu perdengarkan tertawa dingin. Kakinya bergerak mundur lalu maju pula. Tangan kanan menyambar bagian tengah kain ikat pinggang itu, terus dikebutkan ke muka.

Selembar ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay yang panjangnya dua tombak, dalam permainan Li Thing-thing, kini berobah menjadi dua.

Siau Ih tunggu sampai ujung senjata lawan itu hampir mengenai bahunya, baru dia agak turunkan tubuhnya ke bawah. Setelah menghindar itu, dengan tangkas dia kirim sebuah tusukan ke arah tenggorokan lawan.

Kembali kedua seteru itu, lanjutkan pertempuran dahulu yang belum selesai. Hanya saja dalam gebrak permulaan itu, keduanya gunakan jurus-jurus baru.

Sedetikpun Kau-hun-sam-niocu tak pernah melupakan kekalahannya di kuil rusak itu. Sekali gebrak, ia sudah lantas gunakan ilmu pusaka ajaran Song-sat yang disebut im-yang- toh-hun-cap-jit-si atau tujuhbelas jurus lwekang im-yang perampas jiwa.

Sementara melampiaskan kebenciannya, Siau Ihpun tak segan-segan mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dibantu oleh gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia mainkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang suara halilintar.

Dahulu dengan ilmu pedang itulah, si Dewa Tertawa Bok Tong menggemparkan dunia persilatan.

Di tengah lembah dari pegunungan yang sunyi senyap, pada saat itu terdengar gemuruh angin menyambar-nyambar, sinar pedang berkilat-kilat dan warna pelangi berkibar-kibar. Sesaat diseling dengan benturan pukulan tangan dan sesaat pula dengan gemerincing senjata beradu.

Tan Wan yang melihatnya sampai melongo, karena seumur hidup belum pernah dia menyaksikan suatu per¬tempuran yang segempar itu.

Dalam beberapa detik kemudian, pertempuran sudah berjalan sampai seratusan jurus.

Tampaknya Kau-hun-sam-niocu men¬jadi tak sabaran lagi. Bersuit keras, ia merangsek maju. Tangan kanan membalikkan toh-hun-tay menabas pundak, dua buah jari tangan kirinya, secepat kilat menusuk ke arah mata lawan!

Siau Ih menarik ke belakang tubuhnya, lalu menusuk ke arah lengan Li Thing-thing. Kemudian sang pundak digeliatkan memutar tubuh, dia hindari sabetan toh-hun-tay, lalu tangan kiri menghantam dada lawan dengan jurus hun-toan-bu-san (awan menutup gunung Busan).

Li Thing-thing tarik pulang tangannya sembari kempiskan dada. Ujung tumitnya diinjakkan ke tanah, lalu gunakan gin- kang istimewa hong-ji-liu-si (angin meniup tangkai pohon liu). Bagaikan segumpal kapas, tubuhnya seperti tak bertulang, ikut sambaran angin pukulan lawan melayang sampai setombak jauhnya. Begitu sang kaki menginjak tanah, ia terus ngacir pergi.

Perbuatan itu telah menyebabkan Siau Ih melongo tak habis mengerti. Tapi berkat kecerdasan otaknya, sekilas dia teringat akan si lelaki brewok yang belum munculkan diri itu.

Pikirnya: „Menilik perangai Li Thing-thing yang begitu temberang ganas, tentu tak nanti ia mau menyudahi urusan pembalasan sakit hati yang belum selesai itu. Namun karena  ia ngacir, terang tentu akan menggunakan siasat.”

Hanya sayangnya, sekalipun sudah mempunyai dugaan begitu, namun Siau Ih tak dapat lepaskan diri dari pengaruh kesombongannya. Menganggap sepi gerak gerik musuh, dia tertawa mengejek: „Bukankah kau hendak meregut jiwaku tadi? Mengapa belum ketahuan kalah menang, kau sudah lantas mau angkat kaki?”

Habis berkata, dia terus hendak ayunkan kaki mengejar. Melihat itu Tan Wan yang sudah banyak pengalamannya,

buru-buru meneriaki dengan gugup: „Siau-heng, hati-hatilah akan tipu muslihat wanita busuk itu!”

“Harap saudara jangan kuatir. Raja kera Sun Go-kong mempunyai ilmu merobah diri menjadi tujuhpuluh dua macam, tapi toh akhirnya tak dapat lolos dari tangan Ji Lay Hud!" sahut Siau Ih dengan tertawa sembari cepatkan pengejarannya.

Tapi karena kuatir akan keselamatan sang kawan. Tan Wan cepat-cepat turun dari kudanya, lalu ikut menyusul.

Begitulah ketiga orang itu, kejar mengejar dengan pesatnya dan tahu-tahu sudah melintasi dua buah lamping puncak.

Tiba-tiba disebelah muka, tampak sebuah hutan yang lebat. Tiba di muka hutan itu, Li Thing-thing berhenti sebentar untuk berpaling ke belakang dan perdengarkan sebuah tertawa dingin. Habis itu, ia menyelinap ke dalam hutan.

Siau Ih tertawa mengejeknya.

„Li Thing-thing, masakah kau dapat menembus langit.

Menyusup kebumi?"

Bagaikan seekor burung garuda, dia kibaskan lengan baju dan melayang ke arah hutan. Tiga tombak di atas udara, tangan kirinya menghantam ke bawah. Pohon-pohon dalam hutan itu tersiak daunnya dan masuklah Siau Ih menurun ke dalam hutan.

„Celaka!” Tan Wan yang berada jauh di belakang sana, mengeluh terkejut. Dengan gerak yan-cu-sam-jo-cui atau Burung Walet Tiga Kali Menyiak Air, dia berloncatan beberapa kali. Tiba di muka hutan, dia lintangkan toya kiu-hap-kim-si- pang untuk melindungi diri dan menerobos masuk.

Tapi untuk kekagetannya, ternyata di dalam hutan itu sunyi-sunyi saja keadaannya. Dengan gugup, dia menerjang ke muka. Di luar hutan yang disebelah sana, adalah sebuah karang yang menjulang tinggi, ditengah-tengahnya terdapat sebuah jalanan kecil yang amat sempit, kira-kiranya hanya setombak lebarnya.

Siau Ih ternyata tengah berdiri tegak disitu, sembari lintangkan pedang di dada dia memandang tak berkesiap ke atas dinding karang.

Bergegas-gegas Tan Wan menghampiri dan berseru perlahan-lahan: „Siau-heng ………”

Siau Ih berpaling, sahutnya: „Wanita busuk itu memikat aku kemari, tentulah memasang tipu muslihat."

Menyapukan pandangan keempat penjuru, dia tertawa jumawa, serunya: „Sekalipun memasang gunung golok pohon pedang, tak nanti dapat mengapa-apakan diriku.” Dengan langkah tegap, dia perlahan-lahan maju ke muka.

Sampai pada saat itu, Tan Wan sudah mengetahui bahwa sahabatnya itu memiliki sifat congkak, jadi mencegah tiada berguna. Apa boleh buat, terpaksa dia mengikutinya.

Kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya, tibalah mereka ditengah-tengah jalanan sempit itu.

Tiba-tiba di ujung sana, tampak ada sesosok bayangan hijau berkelebat. Itulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing. Nyatanya ia siap memegat si anak muda.

Siau Ih berhenti, tegurnya: „Apa maksudmu main bersembunyi macam begini itu?"

Tertawalah Kau-hun-sam-niocu dengan sinis, sahutnya:

„Siau Ih, tempat inilah bakal menjadi tempat kuburmu!"

Habis berkata, jarinya dimasukkan ke dalam mulut dan bersuitlah ia dengan lengking yang memecahkan telinga membelah bumi. Sebuah suitan lain, terdengar menyambut dari arah gunung disebelah kanan.

Siau Ih mendongak. Ha, itulah lelaki brewok berpakaian merah. Dengan tiba-tiba kini dia muncul ditepi karang. Tangannya mengayun dan lima buah sinar merah melayang di belakang Siau Ih.

„Bum,” terdengarlah letusan dahsyat. Hutan lebat yang penuh dengan pohon-pohon itu, segera berobah menjadi lautan api.

Sudah tentu Siau Ih terkejut sekali. Cepat-cepat dia menarik Tan Wan maju menyerang ke muka.

Tapi baru kedua pemuda itu loncat maju, Kau-hun-sam- niocu sudah kedengaran tertawa dingin.

„Kembali!” mulut berteriak, tangan menimpukkan dua buah gulung asap hijau. Tahu bahwa asap hijau itu mengandung pasir beracun, Siau Ih tak berani membenturnya. Memperingatkan Tan Wan, dia menyurut ke belakang sembari putar pedang untuk membuyarkan asap itu. Kemudian memasukkan pedang ke dalam sarungnya, dia dorongkan sepasang tangannya ke muka melancarkan angin lwekang.

Memang dalam keadaan terjepit, di belakang ada lautan api di muka diserang pasir beracun, tiada lain jalan lagi baginya kecuali harus lekas-lekas menerjang. Dengan keputusan itu, diam-diam dia sudah kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong ke seluruh tubuh.

Selagi kedua anak muda itu bahu membahu siap-siap hendak menerjang dari jebakan musuh, tiba-tiba dari atas karang berpuluh-puluh biji senjata rahasia thiat-yan (seriti besi) melayang berhamburan. Tersambar angin, mulut thiat- yan itu menyemburkan letikan api. Thiat-yan-thiat-yan itu berputar-putar di udara, lalu meluncur turun.

Thiat-yan atau burung-burungan seriti yang terbuat dari besi itu, tampaknya seperti hidup. Bukan melainkan dapat terbang seperti burung hidup, pun api yang disemburkan dari mulutnya itu, benar-benar seperti burung seriti yang menyemburkan ludah.

Dinding karang yang menjulang tinggi itu, pun berkilat-kilat membara. Hanya dalam sekejap mata saja, dan kedua buah batu besar yang terletak di atasnya itu, berobah menjadi tembok api.

Untuk memperlengkapi kedahsyatannya, Kau-hun-sam- niocu Li Thing-thing ayunkan kedua tangannya, beberapa kali menimpukkan asap hijau. Saat itu, keadaan lembah situ seperti berobah menjadi sebuah neraka. Asap membubung tinggi, api berkobar menjilat-jilat.

Beberapa kali Siau Ih dan Tan Wan, coba menerjang keluar. tapi selalu terhadang dengan taburan asap hijau yang membawa angin lwekang. Apalagi mereka harus menjaga dari serangan thiat-yan.

Dengan terlindung oleh lwekang kian-goan-sin-kong, Siau Ih kerjakan kedua tangannya untuk menghantam kian kemari. Benar, setiap kali kawanan thiat-yan itu dapat dihancurkan, namun kelompok pertama belum habis dihancurkan, gelombang kedua sudah datang lagi.

Menghancurkan thiat-yan, menolak asap beracun dan memperhatikan keselamatan Tan Wan, benar-benar telah membuat Siau Ih kalang kabut.

„Bocah liar, kini baru kau tahu bagaimana kelihayan nonamu,” teriak Kau-hun-sam-niocu dengan lengking kegirangan.

Benar Siau Ih telah menduga bahwa wanita jahat itu tentu akan menggunakan tipu muslihat untuk menjebaknya ke tempat itu, namun setitikpun Siau Ih tak mengira bahwa muslihat itu ternyata sedemikian ganasnya. Seketika amarahnya, meluap-luap.

„Perempuan busuk, jika tubuhmu belum kucingcang, rasanya belum puas hatiku," serunya dengan kalap.

„Coba saja kalau kau masih dapat hidup nanti!" sahut Kau- hun-sam-niocu tertawa mengejek. Dan kembali dia timpukkan asap hijau.

Siau Ih menggerung keras. Tangan kiri didorongkan ke muka menghalau taburan asap hijau, tangan kanan bergerak menghantam untuk menghancurkan serbuan thiat-yan.

Dan menggunakan sejenak keluangan itu, secepat kilat dia merogoh keluar bumbung jarum kiu-tiap-ting-seng-ciam. Dia siap sedia akan menggunakan setiap kesempatan untuk menghancurkan Kau-hun-sam-niocu. Melihat Siau Ih bergerak maju beberapa langkah, dengan tertawa dingin, kembali si lelaki muka brewok lepaskan berpuluh-puluh thiat-yan.

Siau Ih dan Tan Wan, saling merapat satu sama lain. Walaupun pada saat itu, Tan Wan sudah mandi keringat,

namun dia terpaksa tak berani mengasoh. Toya kiu-hap-kim- si-pang diputarnya dengan gencar.

Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah jeritan seram dan entah apa sebabnya, lelaki brewok yang melepaskan thiat-yan dari atas karang itu, melayang ke bawah.

Siau Ih yang sudah benci sekali kepada orang itu, cepat hantamkan tangan kiri. Beberapa biji thiat-yan yang melayang tiba, segera hancur berantakan keempat penjuru. Menyusul tangan kanan diangkat ke atas, serangkum jarum kiu-tiam menyambar ke arah lelaki brewok itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar