Si Rase Kumala Bab 16 : Wanita Tiga Dimensi

16. Wanita Tiga Dimensi

Dahan dan ranting pohon, sebenarnya lemas saja. Tapi di tangan Siau Ih benda itu berobah menjadi seperti senjata panah yang tajam, berhamburan mengaung di udara. Sekalipun jaraknya amat jauh sehingga tenaga timpukan itu berkurang dayanya, namun jauh disebelah muka tampak Tham Liong terhuyung-huyung. Rupanya dia terkena juga, namun dengan kuatkan diri, benggolan itu tetap kencangkan langkah. Pada lain saat, dia sudah menghilang di dalam keremangan malam.

Lebih dahulu Siau Ih gunakan obat yon-kut-san untuk melenyapkan mayat keempat orang itu, baru kemudian dia kembali ke hotel. Baru tiba di luar hotel, sudah didengarnya suara orang ribut-ribut mempercakapkan sesuatu. Ternyata pemilik hotel, jongos-jongos dan tetamu-tetamu tengah mengerumuni kamar yang disewanya. Mereka sedang membicarakan, sesosok mayat yang menggeletak disitu. Kebanyakan mereka merasa syukur penjahat itu dapat dibunuh. Ada pula yang mengusulkan supaya orang gagah yang membunuhnya itu, lekas-lekas menyingkirkan diri supaya tak berurusan dengan pembesar negeri.

Siau Ih pun menginsyafi bahwa kalau keburu terang tanah tentu bakal mengalami kerepotan. Maka melangkah masuk, segera dia berseru: „Kawanan Thiat-sian-pang terkenal jahat, sudah selayaknya kalau dibasmi. Karena kebetulan singgah disini, terpaksa aku turun tangan. Kini kawanan penjahat itu sudah kabur, harap saudara-saudara sekalian jangan kuatir apa-apa. Tentang permusuhanku dengan kaum Thiat-sian- pang, itulah menjadi tanggung jawabku sendiri, saudara- saudara tak ada sangkut pautnya ”

Belum selesai bicara, sekalian orang itu sudah sama berpaling dengan kagetnya. Lebih terkejut lagi mereka itu, demi dilihatnya yang berseru itu bukan lain, si anak muda yang menyewa kamar itu. Serta melihat anak muda itu tegak berdiri menghunus pedang dan beringas sikapnya, orang- orang itu sama mundur ketakutan.

„Aku bukan penjahat, harap saudara-saudara jangan takut!” Siau Ih tertawa, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Beberapa langkah di muka pembaringan, menggeletak sesosok tubuh yang sudah tak dapat berkutik. Sebuah bumbung jarum kiu-tiam-ting-sing-ciam terhampar di depan ranjang itu, di sisinya terdapat Tan Wan yang menelungkupi tepi ranjang.

Buru-buru Siau Ih memeriksanya, dan dapatkan punggung anak itu berlumuran darah lagi. Ketika diraba hidungnya, ternyata masih mengeluarkan hawa. Dia duga, karena keliwat pakai tenaga untuk menempur si penjahat, Tan Wan menjadi pingsan. Bumbung jarum lekas-lekas disimpan, kemudian baru menepuk pelahan-lahan pinggang belakang anak itu.

„Kawanan penjahat yang kurang ajar, aku  hendak mengadu jiwa dengan kamu!” seru Tan Wan demi membuka mata dan melihat ada seseorang berdiri dihadapannya. Dengan kuatkan diri, dia duduk lalu ayunkan tangan menghantam.

„Akulah!” seru Siau Ih cepat-cepat menyambar lengan anak. itu.

„Ai, kongcu, kau ” „Ya, kecuali si Tham Liong yang berhasil lolos, lain-lain sudah beres semua. Tempat ini terlalu panas buat kita, ayuh lekas pergi saja!" tukas Siau Ih yang mengetahui apa yang hendak ditanyakan anak itu. Diambilnya sebuah pil kiu-coan- tian-goan-tan, lalu disuruhnya telan Tan Wan.

„Saudara Tan, lukamu dipunggung itu merekah lagi. Tapi karena untuk memburu waktu, biarlah kugendongmu. Asal sudah tinggalkan kota ini, nanti kita cari tempat lain lagi, untuk mengobati lukamu itu."

Dan tanpa menunggu penyahutan, Siau Ih segera mengambil selimut untuk ditutupkan pada Tan Wan. Setelah mengemasi barang-barang yang perlu, Siau Ih lalu memanggul Tan Wan, tinggalkan kamar itu. Orang-orang tadi ternyata belum bubaran, demi menampak si anak muda memanggul kawannya keluar, kembali mereka terkejut gempar.

Kepada pemilik hotel, Siau Ih menerangkan bahwa bukannya dia hendak melarikan diri dari peristiwa pembunuhan itu, tetapi melainkan karena hendak menolong kawannya yang terluka berat itu. Dia berikan duapuluh tail perak kepada pemilik hotel itu selaku uang sewa dan ongkos penguburan mayat si penjahat itu.

Habis itu, baru dia melangkah keluar, terus menuju ke pintu kota. Ternyata pintu kota masih tertutup. Terpaksa dia melompat tembok kota, dari itu terus gunakan ilmu mengentengi tubuh lari ke arah selatan. Menjelang fajar, dia sudah lari beberapa puluh li jauhnya.

Menurut perhitungan, semestinya dia akan tiba di kota Ik- yang-koan. Tapi dikarenakan dalam keadaan begitu, dia merasa tak leluasa masuk kota. Ah, lebih baik cari sebuah kuil atau biara dipinggiran kota saja, dimana dia dapat meneduh sementara untuk mengobati luka Tan Wan. Dilihatnya walaupun anak itu cukup kuat, namun karena lukanya amat parah, jadi dalam perjalanan itu mukanya tampak pucat, tubuh mulai lemas.

„Tentunya saudara Tan tak kuat, lebih baik kita berhenti dulu,” kata Siau Ih. Namun anak itu, tetap kuatkan diri mengatakan masih dapat bertahan.

Mulut membantah, tapi nada suaranya gemetar. Siau Ih merasa kasihan dan kendorkan larinya. Beberapa li lagi, haripun makin terang. Untuk kegirangannya, demi mendongak ke muka Siau Ih melihat sebuah wuwungan rumah beratap merah menonjol diantara lebatan hutan. Buru-buru dia kencangkan langkah dan beberapa kejap saja sudah tiba di muka pintu sebuah kuil. Tapi sepasang daun pintunya yang sudah kusam catnya, ternyata terbuka sedikit. Sekali dorong, Siau Ih melangkah masuk.

Kuil itu ternyata tak berapa besar. Hanya terdiri dari sebuah ruangan tengah dan sepasang ruangan samping. Keadaannyapun sudah tak terawat, disana sini penuh dengan gelagasi dan jaring laba-laba. Sebuah halaman kecil yang terdapat di luar ruangan itu, penuh ditumbuhi rumput. Walaupun kala itu sudah agak siang, namun suasana kuil itu terasa menyeramkan.

Melintasi ruang tengah, terdapat sebuah loteng penggantung lonceng. Juga tempat lonceng itu rusak tak keruan, tapi cukup buat tempat meneduh. Diam-diam Siau Ih menjadi heran, mengapa ditempat yang belum termasuk pedalaman yang sunyi itu, tiada orang yang mau merawat kuil itu. Namun rusak sekalipun kuil itu, rasanya baik juga untuk tempat beristirahat sementara waktu.

Sekali enjot sang kaki, Siau Ih loncat ke atas loteng dan membaringkan Tan Wan di lantai. Memeriksa disekeliling tempat itu, Siau Ih dapatkan loteng itu kurang lebih hanya dua tombak persegi luasnya. Pada tempat gantungan, yang ada hanyalah tali rantai besi, sementara loncengnya entah kemana. „Bagian belakang dan muka kuil ini rusak tak keruan. Tapi anehnya mengapa loteng ini cukup bersih keadaannya?” Siau Ih terheran sehabis memeriksa itu.

Berpaling ke arah tembok, dilihatnya disitu terdapat beberapa tu¬lang ayam. Kembali dia merasa heran.

„Menilik keadaan ini, terang ada orang yang lebih dulu tinggal disini. Entah siapakah dia itu?" pikirnya.

Selagi dia dalam keheranan, tiba-tiba dilihatnya wajah Tan Wan makin pucat, sepasang alisnya mengerut dan napasnya tersengal-sengal. Buru-buru dihampiri dan dipanggilnya berulang-ulang.

„Tak apalah ........” akhimja dengan paksakan diri Tan Wan menyahut sember. Dan sehabis itu, kembali sepasang matanya menutup.

Siau Ih kasihan melihat keadaan anak itu. Diberinya sebuah pil lagi, lalu dilumurinya luka-luka dipunggung anak itu, kemudian ditutuk jalan darah penidurnya. Lewat beberapa menit kemudian, Siau Ihpun merasa letih lalu duduk disebelah Tan Wan untuk bersemadhi.

Waktu terjaga, haripun sudah menjelang magrib. Saat itu Siau Ih rasakan perutnya lapar dan timbul pikirannya untuk pergi ke tempat didekat itu membeli makanan. Berpaling ke arah Tan Wan, dilihatnya anak itu masih tidur nyenyak. Buru- buru Siau Ih rapihkan pakaian, menyelipkan pedang terus loncat ke bawah.

Maksud Siau Ih sebenarnya hendak pergi sebentar untuk membeli makanan. Tapi ternyata lima li jauhnya, dia baru berhasil membeli sebungkus bakpao dan dua ikat ayam panggang. Apa boleh buat, terpaksa dia bergegas-gegas kembali ke kuil. Tapi setiba dikuil, ternyata rembulanpun sudah mulai muncul dilamping gunung. Baru sang kaki melangkah masuk dan melintasi ruang besar, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok bayangan hijau berkelebat di atas loteng. Sudah tentu dia menjadi terkejut dan terus loncat ke atas, seraya berseru tegas: „Siapa itu?”

Sebagai penyahutan, sesosok tubuh dalam pakaian warna hijau melayang turun di atas lantai loteng itu. Hebat nian ilmunya mengentengi tubuh. Lantai yang dipijaknya itu, sedikitpun tak mengepulkan debu.

Siau Ih mengawasi tajam-tajam. Ternyata ia itu seorang nona sekira berumur 27-28 tahun, mengenakan pakaian warna hijau. Sampaipun kain kepala, mantel dan sepatunyapun hijau semua. Wajahnya cantik, hidung mancung, gigi laksana butir mutiara, namun sayang senyum simpulnya mengandung romantis, sinar matanya nakal-nakal cabul.

Memandang si anak muda habis-habisan, mulutnya mengikik tawa.

„Seumur hidup, baru pertama ini aku melihat seorang yang tak tahu peraturan seperti kau. Sekalipun dalam kuil rusak ditempat sunyi, juga ada yang datang dulu dan datang belakangan. Belum aku bertanya siapa kau ini, kau sudah menanyakan diriku dulu!" katanya sambil tertawa lagi.

Sejak turun dari gunung, wanita yang pertama Siau Ih jumpai ialah Lo Hui-yan, si cantik yang lemah lembut itu. Maka begitu berhadapan dengan seorang nona yang sikapnya amat centil begitu, reaksi pertama ialah jemu.

Mundur setengah langkah, berkatalah dia dengn wajah bersungguh: „Oleh karena nona yang lebih dahulu datang, sudah seharusnya aku pindah, harap nona tunggu sebentar!"

Habis berkata, dia terus hendak loncat ke atas loteng, tapi sekali bergerak, nona itu sudah cepat menghadang.

„Tunggu dulu!" ujarnya. Kalau tak cepat-cepat mundur, tentulah Siau Ih akan berbenturan dengan nona itu. Membelalakkan mata, bertanyalah dia: „Apakah nona masih hendak mengatakan sesuatu lagi?”

Nona baju hijau itu tertawa genit, serunya. „Aku toh tak mengusir, mengapa kau terburu-buru.”

Sampai disitu, Siau Ih sudah tak dapat bersabar lagi. Keras- keras dia berseru: „Dikuil ini hanyalah loteng tempat lonceng itu yang kena dibuat meneduh. Kalau aku tak pindah, nona akan tinggal di mana?”

Kembali nona itu tertawa dibuat-buat.

„Tampaknya kau ini cerdik, tapi ternyata tolol. Menilik kau membekal pedang, tentulah kau ini pemuda persilatan, seharusnya tak main etiket-etiketan (tata kesopanan). Orang yang berkelana, harus dapat menyesuaikan diri. Bukankah di empat penjuru lautan ini kita semua bersaudara? Taruh kata tinggal dalam satu kamar, apa halangannya? Apalagi lima li disekeliling tempat sini, tiada perumahan orang sama sekali. Apakah kau tak memikirkan yang terluka setengah mati itu?"

Siau Ih terkesiap, pikirnya: „Ucapannya itu benar beralasan, tapi menilik sikapnya yang genit, terang ia pasti bukan wanita baik. Tapi karena Tan Wan belum sembuh, lebih baik jangan cari perkaralah,” pikirnya.

Habis itu, berkatalah dia dengan nada bersungguh: „Atas kebaikan nona, aku mengucap terima kasih. Meskipun kaum persilatan itu tak menghiraukan etiket, namun antara pria dan wanita tetap ada batas perbedaan, amatlah tak leluasanya.”

Mendengar pemuda itu tak terpikat oleh sikap dan kata- katanya tadi, nona baju hijau itu agak tertegun. Namun dengan masih lengkingkan tertawa romantis, ia berseru: „Ai, kau ini ternyata masih begitu kolot ” Berhenti sejenak, ia mainkan ekor matanya mengerling ke wajah si anak muda, kemudian dengan nada memikat rayu, ia bertanya: „Engkoh kecil, berapakah usiamu tahun ini ?”

Dan sehabis itu, dengan lemah gemulai, ia melangkah maju dan aduh mak ..... sebuah lengannya yang halus putih itu sudah dijamahkan ke bahu Siau Ih.

Serentak anak muda itu tersampok dengan bau yang harum, hatinya bergoncang. Dia terkejut dan buru-buru tenangkan semangatnya. Bahu dikisarkan, dia menyurut kebelakang dan dengan gusarnya dia mendamprat: „Benar disekeliling tempat ini tiada lain orang, tapi perbuatan nona itu rasanya kurang pantas."

Tangannya merabah angin, wajah nona baju hijau itu, berobah seketika. Kecantikannya yang berseri tadi, lenyap berganti dengan kerut pembunuhan.

„Anjing mau menggigit dewa Lu Tong-ping, sungguh seorang yang tak tahu kebaikan orang. Nonamu sudah penuju, tapi kau berani membangkang. Kalau hari ini kau sampai terlepas dari cengkeramku, jangan panggil aku Kau- hun-sam-nio-cu!” serunya lantang-lantang. 

Mendengar itu, sekilas teringatlah Siau Ih akan pembicaraannya dengan Liong Go sewaktu berada di gunung Ki-he-nia tempo hari. Liong Go menerangkan bahwa Pak- thian-san Song-sat mempunyai seorang keponakan perempuan yang bernama Li Thing-thing. Nona itu cantik laksana kuntum bunga, tapi ganas bagai ular berbisa, cabulnya bukan kepalang. Ia mendapat warisan kepandaian dari ayah bundanya, suami isteri Li Ho.

Meskipun umurnya sudah mendekati empatpuluhan, tapi tampaknya masih secantik anak perawan. Entah sudah berapa jumlahnya, pemuda-pemuda anak murid berbagai partai persilatan yang kena terpikat dan dibinasakan olehnya. Karena ia memiliki tiga sifat: cantik, culas, cabul, maka kaum persilatan menjulukinya dengan gelar „Kau-hun-sam-nio-cu atau si Wanita 3 sifat pemikat jiwa atau istilah populer: Wanita 3 dimensi.

Waktu Siau Ih mengeluh karena kesamplokan dengan wanita cabul itu, tiba-tiba terkilas dalam ingatannya bahwa turut dugaan ayah angkatnya (si Dewa Tertawa), kematian ayah bundanya itu, kebanyakan adalah perbuatan putera dari Pak-thian-san Song-sat yang bernama Li Hun-liong. Teringat akan hal itu, kebenciannya ditumpahkan pada si wanita cabul yang juga kaum kerabat orang she Li itu.

„Benarkah kau ini si Li Thing-thing itu?” serunya dengan keras.

Menyahut Kau-hun-sam-nio-cu sambil tertawa dingin:

„Kalau toh sudah mendengar akan kebesaran namaku, mengapa masih membangkang?"

„Ha, ha,” Siau Ih tertawa nyaring, serunya: „Wanita busuk, kematianmu sudah di depan mata, masakah masih berani

......”

Belum sampai dia lanjutkan makiannya, Kau-hun-sam-nio- cu sudah menutukkan sepasang jarinya ke dada Siau Ih. Karena tangannya mencekal bakpao dan ayam panggang, jadi Siau Ih tak dapat menangkis. Begitu jari lawan tiba, kakinya mengisar ke samping, dari itu terus enjot tubuhnya melayang melampaui kepala Li Thing-thing. Tiba di muka loteng, bawaannya disongsongkan ke lantai loteng.

Kau-hun-sam-nio-cu ternyata tangkas sekali. Tutukannya luput dan si anak muda lenyap, tanpa berputar ke belakang lagi, ia terus hantamkan tangannya ke belakang.

Saat itu Siau Ih belum sempat berputar badan, atau tiba- tiba dia merasa ada tenaga keras menyambar dari arah belakang. Terpaksa dia maju terus ke muka sembari diam- diam kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong. Mendadak dia berbalik diri dalam gerak hong-kek-hoan-sim atau merpati kuning membalik badan.

Menyusul kedua tangannya pun berbareng digerakkan. Tangan kanan, menyambut serangan dengan jurus heng-thui- pik-ma atau mendorong delapan ekor kuda. Sementara tangan kiri dalam jurus seng-liong-in-hong (naik naga memikat burung hong), balas menyerang dengan tenaga lwekang yang lemah halus.

Bermula Kau-hun-sam-nio-cu tak memandang samasekali terhadap anak muda itu. Pikirnya, sekali gebrak tentu akan berhasil meringkusnya. Maka dapatlah dibayangkan betapa kagetnya ia, demi anak muda itu melancarkan dua buah serangan lwekang keras dan lemah. Angin pukulannya tadi, menjadi sirna dayanya.

Namun tak kecewa ia dimalui oleh kaum persilatan. Dalam gugupnya, masih ia dapat gunakan jurus-jurus hu-yan-kui-soh dan hun-liong-san-sian, untuk berjumpalitan beberapa kali sehingga mencapai kedekat dinding. Dengan begitu dapatlah ia terhindar dari serangan si anak muda yang lihay itu.

Sebaliknya melihat wanita itu pontang panting begitu rupa, Siau Ih tertawa dingin, serunya mengejek: „Ilmu kepandaian kaum Song-sat, kiranya hanya begitu saja!"

Saat itu wajah Li Thing-thing sudah gelap membesi, hawa pembunuhan memancar-mancar. Dengan geramnya ia berseru: „Anak liar, jangan kira nonamu tak dapat memikat jiwamu, merampas ragamu. Coba kau rasakan ini lagi!"

Sekali tangan merabah ke pinggang, ia sudah lantas menarik ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu terbuat dari kain sutera berwarna pelangi: merah, oranye, kuning, biru laut, hijau, biru, dan ungu. Lebarnya antara tiga jari dan panjangnya ada dua tombak lebih. Sabuk atau ikat pinggang itu bukan benda sembarangan, melainkan senjata istimewa yang telah mengangkat nama dari bibinya (isterinya Hiat-sat) tempo dahulu. Itulah yang disebut chit-po-to-hun-tay atau sabuk tujuh mustika perampas jiwa.

Siau Ih tak mengetahui akan senjata itu. Namun menilik kepandaian lawan itu cukup tinggi, diapun tak berani meremehkan. Untuk mengimbangi, diapun melolos pedang pusaka Thian-coat-kiam. Melintangkannya ke dada, berserulah dia dengan tertawa dingin: „Lain orang mungkin jeri terhadap kaum Song-sat, tapi hal itu tak berlaku padaku!"

Api kemarahan Li Thing-thing makin seperti disiram minyak. Di iring dengan suitan melengking nyaring, ia kebutkan ikat pinggang itu ke arah kepala si anak muda. Melihat perbawanya amat dahsyat, Siau Ih cepat-cepat salurkan lwekang lalu dengan jurus hun-jum-mu-soh (awan bergerak embun menutup), pedang diputar deras untuk melindungi dirinya.

Sejak kecil Kau-hun-sam-nio-cu Li Thing-thing itu telah digembleng oleh ayah dan pamannya yang bergelar Song-sat atau sepasang iblis itu. Bahwa kedua Song-sat itu tergolong dalam sepuluh Datuk, maka dapat dibayangkan kalau Li Thing-thing itu bukan alang-alang lihaynya. Gebrak permulaan tadi, ia segera mengetahui bahwa kepandaian anak muda itu lebih tinggi sedikit dari dia. Kalau tak menggunakan otak dan kelincahan, ia pasti kalah.

Sebagai ahli silat, iapun cepat dapat mengetahui bahwa pedang pemuda lawannya itu, bukan sembarang pedang, sekurang-kurangnya pasti sebuah pedang pusaka yang dapat menabas putus tebaran rambut. Kuatir kalau ikat pinggangnya terpapas kutung, ia turunkan gerakannya. Kini dari atas, ikat pinggang itu berombang-ambing turun menyapu perut si anak muda.

„Bagus!” Siau Ih tertawa dingin, ujung kaki ditekan pada lantai terus melambung dalam gerak cek-siang-ceng-hun (langsung melonjak ke awan), sembari putar pedangnya dalam jurus pian-say-thian-hoa Sepuyuh angin dahsyat menyambar-nyambar.

Ternyata Kau-hun-sam-nio-cu tak kecewa menjadi momok perempuan. Waktu pedang menyambar, pinggangnya yang kecil ramping bergeliatan laksana seekor ular, mengisar kesebelah kiri. Begitu pundak hampir mendatar kelantai, tangan kanan mengibaskan jurus to-thoan-cu-lian. Ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay, melilit-lilit ke atas. Syukur Siau Ih yang serangannya gagal tadi, buru-buru pijakkan kaki kiri ke atas punggung kaki kanan dan dengan meminjam tenaga pijakan itu, dia melayang ke samping beberapa meter.

Walaupun baru bergebrak dalam tiga jurus, namun kedua seteru itu sudah menginsyafi bahwa kepandaian lawan memang luar biasa. Bagi Siau Ih, sejak keluar dari perguruan, belum pernah dia mendapat lawan setangguh Kau-hun-sam- nio-cu itu. Oleh karenanya, dalam setiap gerak dan jurus, dia selalu amat berhati-hati.

Sedang Kau-hun-sam-nio-cu pun demikian juga. Melihat pedang dan ilmu permainan anak muda itu lain dari yang lain, iapun tak berani lengah.

Dalam beberapa kejap saja, duaratus jurus telah berlangsung, suatu pertempuran yang benar-benar memeras tenaga. Li Thing-thing adalah seorang wanita, tambahan pula ia gemar pelesir. Makin pertempuran berjalan lama, makin payah baginya. Napasnya tersengal-sengal, dahinya bercucuran keringat dan gerakannyapun makin kurang kecepatannya.

Sedang celakanya, anak muda lawannya itu adalah sebaliknya. Pertama, dia hendak menuntut balas atas kematian sang ayah bunda dan kedua kali, dia masih seorang taruna yang masih sedang kuat-kuatnya. Lebih-lebih dia merasa muak terhadap gerak gerik wanita cabul itu. Dia tak mau sungkan-sungkan lagi. Thui-jong-ong-gwat atau mendorong jendela melihat rembulan, adalah jurus yang saat itu dilancarkan dengan sekuat tenaga. Dan karena Kau-hun-sam-nio-cu sudah kurang tenaganya, maka ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay nya pun kena ditampar ke atas udara. Dan kesempatan itu segera digunakan Siau Ih untuk meneruskan dengan sebuah tusukan ke mukanya.

Li Thing-thing menjerit kaget, namun betapa cepatnya ia coba menyurutkan kepalanya, tak urung beberapa tali kain pembungkus kepalanya telah kena terpapas.

Wajah wanita cabul itu pucat lesi, semangatnya serasa terbang. Diam-diam dia mengeluh, bahwa kali ini terang ia tak bakal menang. Sebagai seorang persilatan yang kaya pengalaman, walaupun menghadapi bahaya, tetap ia berlaku tenang.

Secepat tangan kiri dibalikkan, dua buah jarinya ditusukkan kepergelangan tangan si anak muda. Dan ketika lawan menarik pulang tangannya, ia sudah enjot tubuhnya melayang ke atas tembok. Untuk mencegah pengejaran lawan, ia timpukkan sebuah obat pasang yang menghamburkan awan hijau.

Siau Ih mundur tiga langkah sembari putar pedangnya untuk melindungi diri. Tapi ketika awan hijau itu sudah menipis, ternyata Li Thing-thing sudah tak tampak bayangannya lagi. Cepat dia loncat ke atas tembok untuk mengejar, tapi sekilas dia teringat sesuatu: „Ah, wanita jahat itu amat licin, jangan-jangan dia hendak memikat aku, lalu balik kemari mencelakai Tan Wan ”

Terpaksa dia batalkan langkah dan kembali ke atas loteng lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar