Si Rase Kumala Bab 14 : Keganasan Thiat-sian-pang

14. Keganasan Thiat-sian-pang

Setelah beristirahat sebentar mengisi perut, mereka  menuju ke kota kabupaten dari daerah gunung itu. Dari situ mereka lalu berpisah. Liong Go menuju ke Hokkian terus ke Kwitang, sedang Siau Ih mengarah ke Kiangse terus ke Oulam dan Tiam-jong-san.

Sebelum berpisah mereka menetapkan hari bertemunya lagi dan Liong Go segera menyerahkan empat biji uang mas serta dua butir mutiara kepada Siau Ih untuk bekal perjalanan.

Siau Ih tak banyak ini itu lagi menyambutinya, katanya:

„Walaupun perjalanan yang siaote tempuh itu amat jauh, tapi tak memerlukan ongkos banyak, maka mutiara berharga ini harap toako simpan saja ”

Tapi Liong Go berkeras mendesaknya, maka terpaksa Siau Ih pun menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Begitulah dengan hati berat, keduanya saling berpisah.

***

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Siau Ih lebih dahulu.

Pertama yang dikerjakan ialah membeli seekor kuda bagus lalu menuju ke Kiangse. Selama melintasi propinsi itu, tidak terjadi suatu apa dalam perjalanan. Begitulah pada hari itu,  dia sudah tiba di derah pegunungan Kiu-ling-san yang menjadi tapal batas propinsi Kiangse dengan Oulam. Dihitung- hitungnya bahwa janjinya untuk bertemu pula dengan sang ayah angkat itu masih lama sekali, maka dia ingat hendak pesiar dahulu ke telaga Tong-thing-hu yang termasyhur permai alam pemandangannya itu. Secepat mengambil putusan, secepat itu pula dia segera mencongklang ke kota Goan-kian-koan.

Tong-thing-hu termasuk yang terbesar sendiri diantara lima telaga besar di Tiongkok. Luas telaga itu ada ratusan li. Maka setiap air meluap pada musim-musim panas dan rontok, tentu telaga itu tampak makin luas. Ditengah telaga itu banyak terdapat bukit-bukit. Diantaranya yang paling termasyhur ialah gunung Kun-san yang indah. Banyak sudah penyair-penyair dari zaman ke zaman mengubah rangkaian syair pujaan untuk telaga tong-thing-hu dan gunung Kun-sannya.

Menjelang petang hari, tibalah sudah Siau Ih di kota kabupaten Goan-ciang-koan. Walaupun letih menempuh perjalanan beberapa hari, namun pemandangan alam disitu dapat melipur jerih payahnya. Cepat-cepat dia mencari sebuah hotel. Setelah menitipkan kuda, tanpa bersabar lagi dia terus membeli sayur dan arak, menyewa perahu lalu meluncur ke tengah telaga.

Kala itu telaga tengah bermandikan cahaya keemas- emasan dari sinar matahari tenggelam. Diantara kerut riak gelombang permukaan air, penuh berhiaskan lajar putih dari perahu-perahu yang mondar mandir. Pemandangan yang indah itu, telah membuat Siau Ih tak habis-habis memuji.

Selagi dia terbenam dalam kekaguman, sekonyong- konyong dari arah belakang meluncur pesat sebuah perahu. Penumpangnya ada lima orang lelaki. Perahu itu juga akan menuju ke gunung Kun-san, tapi saking cepatnya sampai menimbulkan gelombang yang hampir saja membuat perahu Siau Ih oleng keras. Dalam sekejap saja, perahu itu sudah jauh disebelah muka.

Siau Ih berusaha menahan kemarahannya. Didengarnya beberapa perahu yang berada disekelilingnya itu juga oleng tak keruan. Disana sini terdengar gumam makian dari orang- orang.

Sambil mengusap air yang menciprat ke mukanya, Siau Ih berpaling pada si tukang perahu yang berada di belakangnya. Tampak tukang perahu itu menatap ke arah perahu yang meluncur cepat tadi, dengan wajah terkejut cemas. „Siapakah orang-orang yang begitu ugal-ugalan itu?" tanyanya.

Si tukang perahu terbeliak. Menggoyang-goyangkan tangannya, dia menyahut dengan berbisik: „Harap tuan  jangan tanyakan hal itu. Kalau sampai terdengar mereka, tentu akan runyam."

Sebaliknya Siau Ih yang sudah menduga sesuatu, malah- tertawa: „Di bawah langit yang terang benderang ini, masakah ada orang yang tak kenal aturan. Kejar mereka, hendak kutanyai apakah mereka itu mengerti peraturan lalu lintas di air, tidak?"

Wajah si tukang perahu berobah pucat, ujarnya setengah merintih: „Tuankan hendak pesiar ditelaga sini, perlu apa cari urusan."

Namun Siau Ih tetap minta tukang perahu itu lakukan perintahnya dengan dijanjikan ongkos ekstra.

„Sekalipun tuan menambah berapa saja, aku tetap tak berani. Dan lagi kuanggap tuan tentu lebih menghargai jiwa daripada cari perkara pada orang-orang begitu,” jawab si tukang perahu.

Makin keras dugaan Siau Ih terhadap kawanan orang tadi. Namun karena tukang perahu begitu ketakutan, diapun tak enak untuk memaksanya. Nanti saja bila terjadi sesuatu yang melanggar peri keadilan, dia tentu akan campur tangan.

„Ah, aku tak percaya omonganmu itu. Masakah orang- orang itu tak takut pada undang-undang negeri?" tanyanya.

Si tukang perahu gelengkan kepala: „Tuan, lebih baik tuan jangan bertanya lebih lanjut. Bagi mereka, undang-undang itu tiada artinya."

„Ai, benarkah? Coba kauceritakan," Siau Ih sengaja unjuk kekagetan. Lebih dahulu mata si tukang perahu itu berkeliaran, setelah didapatinya disekeliling itu sepi, ada sebuah dua perahu tapi jaraknya amat jauh, barulah kendor kerut mukanya. Diiring dengan sebuah elahan napas, mulailah dia bercerita.

„Setahun yang lalu, di Gak-ciu telah muncul sebuah partai yang menamakan dirinya sebagai Thiat-sian-pang cabang Tong-thing. Tongcunya (kepala cabang) orang she Tham nama Liong, bergelar Hun-san-tiau (rajawali dari gunung Hun- san). Bermula mereka hanya bersekongkol dengan kaum pembesar negeri untuk melakukan perdagangan garam gelap.

Kemudian mereka makin berani, membeli delapanratusan buah perahu nelayan di telaga Tong-thing sini. Kalau tidak boleh dibeli, tentu akan dibawa dan dibunuh di gunung Kun- san. Maka kini apabila orang mendengar nama Thiat-sian- pang disebut, tentu akan pucatlah wajahnya.

Pun setengah tahun belakangan ini, para rombongan piau- kiok (kantor mengirim barang) yang lalu di daerah Oulam sini, seringkali dirampas dan orangnya dibunuh-bunuhi. Turut pengiraan orang, perbuatan itu tentulah orang-orang Thiat- sian-pang yang melakukan. Terhadap kawanan orang yang membunuh jiwa orang seperti ayam itu, siapakah yang berani cari perkara. Oleh karena itu maka segera kucegah waktu tuan menanyakan tadi.

Perahu yang melampaui kita tadi, adalah kepunyaan Thiat- sian-pang, mereka menuju ke Kun-san. Melihat mereka begitu terburu-buru dan perahu itu oleng, tentulah di dalamnya ada orang tawanan yang coba meronta-ronta. Terang mereka hendak melakukan kekejaman lagi di Kun-san".

Siau Ih yang benci akan perbuatan tidak adil, apalagi Thiat- sian-pang yang mengadu biru, amarahnya meluap-luap. Serentak menampar pedang yang dibungkusnya, dia tertawa dingin: „Kawanan manusia yang suka mengumbar kelaliman, tuan mudamu ini tentu takkan membiarkan lebih lanjut. Demi kepentingan rakyat, membasmi kejahatan adalah tugas yang mulia. Lopek, ayuh dayunglah kesana!"

Masih si tukang perahu tak mengerti sikap si anak muda yang dikiranya terlalu idealistis (bercita-cita muluk). Buru-buru dia mencegahnya: „Bukan aku usil mulut, tapi seandainya tuan sudah belajar silat empat-lima tahun saja, lebih baik jangan menempur mereka. Kita serahkan saja pada Allah yang tentu menghukum orang jahat."

„Kalau aku sudah berani berkata, tentu aku sudah punya pegangan, janganlah kau takut!"

Tetapi bagaimanapun juga, tetap si tukang perahu itu menggelengkan kepala. Siau Ih bo-hwat (kewalahan) juga.

Kala itu malam mulai menebarkan kegelapan, rembulan sudah mengintip di lereng gunung. Perahu-perahu nelayan yang tersebar di telaga itu, sudah sama menyalakan lampu, hingga permukaan telaga itu menjadi terang benderang. Sekalipun begitu, Siau Ih tak dapat menikmati pemandangan seindah itu, dia tengah memutar otak cara bagaimana dapat menyuruh tukang perahu mendayung ke Kun-san.

Beberapa kali membujuknya, tetap tukang perahu itu menggeleng. Dia makin cemas. Kalau kelewat lama, tentu anak buah Thiat-sian-pang itu sempat melakukan keganasannya nanti.

Akhirnya dia duduk menghadapi tukang perahu itu seraya berkata: „Beberapa kali kuminta, tetap kau tak mau saja. Apa yang hendak kulakukan itu tetap tak dapat dirobah. Oleh karena kau menolak, terpaksa aku mencari daya sendiri.”

Habis berkata itu, diam-diam dia kerahkan lwekang, begitu kedua tangan dipentang, dia berbareng menghantam kekanan kiri. Angin pukulan itu menampar keras air telaga dan perahu pun seperti dilontarkan ke muka beberapa meter. Karena tak bersiap, tukang perahu itu hampir saja kejungkal ke dalam air. „Tuan, jangan sekali-kali!" serunya tukang perahu dengan terkejut.

Namun Siau Ih hanya ganda tertawa, sepasang lengannya tetap dihantam-hantamkan kepermukaan air. Dengan cara mendayung istimewa itu, perahu dengan pesatnya dapat meluncur menuju ke Kun-san. Tak berselang berada lama, tampaklah sudah bukit Kun-san di depan mata.

Kuatir kalau perahu nanti terdampar keras ketepi pantai kaki gunung hingga hancur dan penumpangnya terbanting, buru-buru Siau Ih hantamkan tangannya ke udara dan bagaikan tertindih tenaga berat, perahu itu berhenti tepat dipinggir pantai. Demonstrasi itu, telah membuat si tukang perahu ketakutan setengah mati.

Berdiri memandang keempat penjuru, tiba-tiba Siau Ih melihat ada serumpun lebat pohon-pohon siong yang di bawahnya terdapat sebuah perahu. Itulah perahu kawanan anak buah Thiat-sian-pang tadi. Jadi keterangan si tukang perahu tadi ternyata benar. Kiranya dia tak terlambat kesini. Baru dia hendak loncat turun, tiba-tiba teringat sesuatu.

„Menilik tukang perahu ini begitu ketakutan terhadap kawanan Thiat-sian-pang, kalau disuruh tunggu, tentu tak mau. Tapi kalau dia pergi, diapun (Siau Ih) tentu repot kalau hendak pulang. Ah, terpaksa aku harus gunakan cara begini

......“ berkata sampai disini dia cepat berputar tubuh dan menutuk iga si tukang perahu. Seperti batang pisang ditebang, tubuh si tukang perahu rubuh ke belakang, untung Siau Ih cepat-cepat menarik leher bajunya untuk menahan.

„Lopek, terpaksa kututuk jalan darah peniduranmu. Kau boleh mengasoh dulu disini sebentar, begitu nanti sudah selesai, aku tentu memberimu ekstra upah,” kata Siau Ih sembari membaringkan si tukang perahu ke dalam perahu sementara dia sendiri lantas loncat turun menuju ke arah gunung. Rimba pohon siong di gunung itu, amatlah rindangnya. Disana sini terdapat batu-batu gunung yang aneh bentuknya, menambah keindahan alam gunung itu. Hanya yang membuatnya heran, mengapa keadaan disekitar gunung itu sunyi-sunyi saja.

„Ai, siapa bilang Kun-san tidak luas. Kalau begini cara mencarinya, repot jugalah. Dimanakah letaknya tempat penjagalan kawanan Thiat-sian-pang itu?" pikirnya dengan gelisah.

Tiba-tiba di luar dugaan, terdengar angin membawa suara makian dan bentakan diseling dengan teriakan seram. Diperhatikannya, suara itu berasal dari tempat yang tak berapa jauh. Girangnya bukan kepalang, lalu cepat-cepat menurutkan datangnya suara itu. Benar juga tak berapa lama, suara makian itu makin jelas berasal dari balik sebuah tikungan gunung. Jeritan seram itupun makin nyata, malah sebentar-sebentar terdengar juga bunyi cambuk berderai. Ah, tentulah orang-orang Thiat-sian-pang itu tengah melakukan keganasannya.

Siau Ih cepat mengitari tikungan itu dan kira-kira lima tombak disebelah muka terdapat sebuah hutan pohon siong yang lebat. Jerit makian dan rintihan tadi berasal dari sebelah hutan itu. Maju mendekat sampai dua tombak. Siau Ih segera melihat ada seorang pemuda telanjang bulat digantung secara jungkir balik pada sebuah pohon siong tua yang tinggi. Disebelah mukanya, terdapat seorang lelaki tengah menghajarnya dengan cambuk. Sementara empat orang kawannya, melihat disamping sembari memaki-maki.

Punggung pemuda itu sudah habis berlumuran darah, jerit ritihannya makin lemah. Melihat pemandangan yang kejam itu, kemarahan Siau Ih tak dapat dikendalikan lagi. Tanpa disadari, dia mendengus benci. Adalah karena keadaan disekitar tempat itu sunyi, jadi dengusan itu terdengar jelas juga. „Siapa itu?" serempak kelima orang itu berputar tubuh berseru.

„Setan pencabut nyawa,” sahut Siau Ih sembari tertawa dingin.

Saking kejutnya, kelima orang itu sampai terpaku di tanah. Tapi demi dilihatnya yang muncul itu hanya seorang pemuda sekolahan, bukan kepalang marah mereka.

„Anak haram, kau berani mengadu biru?” teriak mereka.

„Ha, ha,” Siau Ih tertawa, serunya: „Orang yang berhati bersih tentu tak jeri akan segala hantu iblis. Tuanmu melihat- lihat, apa salahnya?”

„Kau cari mampus, ya!” terdengar seorang berteriak dan si orang yang mencekal cambuk tadi sudah lantas loncat menghajarkan cambuknya.

Siau Ih tertawa dingin. Begitu cambuk sudah hampir mengenai, dia hanya berkisar sedikit dan cambuk dari kulit kerbau yang besarnya hampir sama dengan telur itik itu, sudah menyabet angin. Siau Ih memang sudah mendendam terhadap kaum Thiat-sian-pang, apalagi dia menyaksikan sendiri betapa ganasnya kawanan itu. Belum cambuk keburu ditarik, dia sudah ayun tubuhnya ke atas untuk menyambar batang cambuk itu.

Kejut orang itu tak terkira. Dengan sekuat-kuat hendak menariknya, mulut membentak: „Ayuh, lepaskan tanganmu tidak!"

Sangkanya, masakah seorang anak sekolahan yang lemah dapat kuasa menahan betotannya itu. Maka dapatlah dibayangkan betapa rasa kagetnya demi didapatinya pemuda itu sedikitpun tak bergeming.

„Celaka ......” belum lagi dia sempat meneruskan kata- katanya, Siau Ih sudah balas menghardik: „Lebih baik kau sendiri yang lepaskan!" Sesaat itu pemilik cambuk itu rasakan cambuknya ditarik oleh suatu tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena dia mencekalnya erat-erat, maka tak ampun lagi tubuhnya kena ditarik sempoyongan ke muka dan tahu-tahu cambuknya sudah berpindah tangan. Insaf menghadapi seorang pemuda lihay, orang itu buru-buru hendak meneriaki kawan-kawannya, tapi pada detik itu Siau Ih kedengaran tertawa panjang.

„Bangsat, raja akhirat sudah menantimu!” demikian Siau Ih berseru, orangnya tiba cambuknya pun melayang.

Cambuk kulit kerbau itu bagaikan ular melilit-lilit pinggang orang itu dan sekali menggentak “naiklah”, maka tubuh orang itupun bagaikan layang-layang putus, terlempar ke udara. Keempat kawannya bergegas-gegas datang menolong, tapi “bluk”, orang itu sudah jatuh terbanting dibatu, kepala hancur otaknya berhamburan.

Melihat sang kawan binasa, keempat orang itu cepat meloloskan belati terus menyerbu Siau Ih dengan kalapnya. Tapi pemuda itu sudah dapat menaksir kekuatan mereka. Keempat orang itu hanyalah bangsa kerucuk saja, namun sudah sedemikian jahatnya, apalagi kaum atasannya. Orang- orang begitu, tak boleh dibiarkan hidup di dunia.

Mundur setengah langkah, Siau Ih tertawa dingin: „Bagus, kalian sudah datang mencari mati sendiri. Ayuh, majulah berbareng agar kawanmu yang tadi tidak menjadi setan yang kesepihan!”

Kemarahan keempat orang itu makin menyala-nyala. Belati serentak diserangkan mati-matian. Adalah ketika empat buah belati itu hampir mengenai sasarannya, tubuh Siau Ih bergeliatan kekanan kiri. Melihat serangannya menusuk angin, keempat orang itu cepat pecahkan diri menjadi dua rombongan. Dari situ, mereka kembali menyerang.

Memang serangan pertama tadi, tak keruan macamnya. Tapi serangan yang kedua ini, tampak genah caranya. Selagi Siau Ih menganggap bahwa orang-orang Thiat-sian-pang itu ternyata tak boleh dipandang remeh, keempat belati itu sudah melayang tiba. Tanpa berayal, dia cepat kisarkan kuda-kuda kakinya.

Begitu dapat menghindari serangan dua orang dari sebelah kiri, dia segera menghantam dengan jurus chui-jong-bong- gwat (buka jendela melihat rembulan) kepada dua orang dari sebelah kanan. Karena pukulan Siau Ih berwibawa keras, kedua orang ini tak berani menangkis dan buru-buru menghindar mundur. Dua kawannya yang menyerang dari sebelah kiri tadi, kala itu sudah mengitar ke belakang dan terus menusuk lambung si anak muda.

Melihat gerak serangan mereka teratur juga, diam-diam Siau Ih mengeluh jangan-jangan pertandingan itu akan memakan waktu lama. Merenung sejenak, dia segera mendapat siasat. Tanpa merobah kedudukan kaki, tubuhnya agak dicondongkan kemuka, sehingga serangan belati dari belakang tadi hanya terpisah satu dim jaraknya dari lambung. Dan dengan membarengi gerakan mencondong ke muka itu, jari tangan kanan menutuk dalam gerak jong-eng-ki-yan (burung alap-alap menerkam seriti), pedang di tangan kiri ditusukkan dalam jurus sian-jin-ci-loh (dewan menunjuk jalan).

Serambutpun tak mengira kedua orang yang di muka itu, bahwa si anak muda ternyata dapat merobah kedudukan bertahan menjadi menyerang. Bahkan serangannya itu luar biasa cepatnya. Yang terasa, mata mereka berkunang dan tahu-tahu jalan darah Ki-bun-hiat di dada, kena tertusuk keras. „Auk,” mulut menguak dan jiwanya pun putus.

Kedua orang yang menusuk dari belakang tadi, mengira lawan tentu sudah seperti ikan dalam jaring, tak dapat terlepas dari tusukannya. Maka betapalah terperanjat mereka, demi kedua kawannya yang menyerang dari muka itu malah kena dicabut nyawanya. Kini barulah mereka tersadar bahwa anak muda lawannya itu ternyata jauh lebih lihay dari mereka, pula amat ganas sekali. Betapapun kejam mereka itu biasanya, tapi mau tak mau nyali menjadi copot juga. Dari tigapuluh dua jurus, lari adalah yang paling baik sendiri. Tanpa ajak-ajakan lagi, keduanya cepat berputar diri lalu sipat kuping.

Siau Ih tertawa panjang, aum ketawanya seperti membelah batu pegunungan itu. Dan selagi kumandang tertawanya masih bergelora, tubuhnyapun sudah melambung beberapa tombak ke udara. Bagai seekor burung rajawali, dia melayang turun ke atas kepala kedua orang itu.

„Datang bersama, pergipun harus bersama. Bagi seorang kesatria, raga kalah jiwapun menyerah, masakah kalian tak mengerti adat kebiasaan orang persilatan!”

Habis mengucapkan kata-kata itu, Siau Ih pun sudah lantas gunakan rangka pedangnya untuk menutuk belakang batok kepala orang yang berada disebelah kiri sedang tangan kanan dijulurkan untuk menghantam lawan yang lari disebelah kanan.

Dalam kejutnya kedua orang itu hendak menghindar, tapi sudah kasip. Hanya dua buah jeritan seram yang terdengar dan menyusul dua sosok tubuh bergedebukan tersungkur di tanah tiada bernapas lagi.

Sewaktu turun ke bumi, Siau Ih melihat mayat kelima orang Thiat-sian-pang itu berserakan di empat penjuru. Bermula dia hendak gunakan pil yong-kut-tan untuk melenyapkan mayat-mayat itu, tapi pada lain kilas dia berpendapat lain. Lebih baik mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja dan diberi secarik tulisan untuk alamat Thiat-sian-pang. Pertama pihak Thiat-sian-pang menjadi jeri dan kedua supaya penduduk disitu tak menjadi korban kemarahan partai itu.

Dipungutnya salah sebuah belati, lalu menggurat beberapa huruf pada sebuah batang pohon yang didekat itu. „Mengirim mayat selaku hormat. Siau Ih” demikian bunyi tulisan itu.

Habis itu dia lantas melangkah ke dalam hutan. Diperiksanya si anak muda yang digantung di atas pohon tadi. Kiranya pemuda itu baru berumur delapanbelasan tahun, berperawakan kokoh tegar. Walaupun keadaannya begitu mengenaskan, telanjang bulat tak sadarkan diri, namun tak memudarkan sikapnya yang gagah. Punggungnya yang lebar itu sudah habis dengan gurat-gurat bekas cambuk. Dia tentu terluka parah.

Dengan dua buah jari, dijepitnya tali gantungan yang terbuat dari urat kerbau itu. Setelah putus, tubuh pemuda itu diletakkan di atas tanah lalu diminumi sebutir pil kiu-coan- kian-wan-tan. Setelah menutuk jalan darah penidurnya, Siau Ih mengambil pakaian si anak muda yang masih berada di sisi pohon siong itu untuk ditutupkan ketubuhnya. Kemudian dipanggulnya anak itu untuk dibawa ketepi pantai.

Perahu yang disewanya tadi masih berada disitu, tapi si tukang perahu masih menggeros pingsan. Pertama dibaringkan pemuda itu ke dalam ruang perahu, kemudian baru membuka jalan darah si tukang perahu yang ditutuknya tadi.

Mengucek-ngucek kedua matanya, si tukang perahu itu tak percaya bahwa tuan muda yang menyewa perahunya tadi berada dihadapannya mengulum senyum. Sedang ketika memandang ke lantai perahu, disitu tambah pula seorang penumpang baru ialah seorang pemuda yang berlumuran darah dan tak ingat diri.

„Tuan .......... kau ”

„Jangan takut, lopek, aku bukan bangsa siluman,” tukas Siau Ih, „segala urusan aku yang tanggung sendiri. Kini aku hendak pulang, ayuh kayuhlah secepat mungkin!" Tanpa banyak bertanya lagi, si tukang perahu terus bergegas-gegas mendayung perahunya. Kira-kira sejam lebih sedikit, tibalah mereka sudah dipantai Tong-thing. Mengeluarkan beberapa keping perak, Siau Ih berkata:

„Sepuluh tail perak ini untuk ongkos jerih payahmu selama setengah malam ini, lopek. Apa yang terjadi tadi jangan sekali-kali kaukatakan pada lain orang, atau jiwamu nanti bakal terancam bahaya, ingatlah baik-baik!"

Memanggul tubuh si anak muda, Siau Ih loncat turun dan dengan gunakan ilmu lari cepat, terus menuju ke kota Goan- kiang. Tiba di kota itu sudah menjelang pukul empat pagi.

Dengan diam-diam, dia menyelinap masuk ke dalam hotelnya dan letakkan pemuda itu di atas pembaringan. Dia nyalakan lampu dan mulai memeriksa luka pemuda itu. Punggung anak muda itu sama pecah belah berlumuran darah. Benar tulang tak sampai putus, tapi berat juga lukanya.

„Dia terluka begini parah, dalam empat-lima hari tentu belum sembuh sama sekali. Tempat ini menjadi daerah kekuasaan cabang Thiat-san-pang. Aku sih tak jeri, tapi dia

...... tapi ah, paling perlu menolong dulu luka-lukanya itu. Ai, kecuali pil kin-coan-kian-wan-tan itu aku tak mempunyai obat untuk luka luar apa-apa, bagaimana ni ”

Tengah dia kebingungan, tiba-tiba teringatlah dia akan kitab Peh-co-ki pemberian tabib sakti To Kong-ong itu. Dengan girang, cepat-cepat diambilnya kitab itu lalu diperiksanya dengan teliti. Benar juga pada bagian belakang, terdapat beberapa resep untuk luka luar. Dihafalkannya salah sebuah resep yang paling sederhana racikan dan penggunaannya.

Tapi ah, lagi-lagi dia kebentur dengan kenyataan bahwa rumah obat baru besok pagi bukanya. Kuatir kalau sampai kasip, terpaksa dia memberinya lagi sebuah pil  untuk menahan sakit. Habis itu baru dia duduk memulangkan semangat. Tak berapa lama, haripun sudah terang tanah. Siau Ih panggil jongos, katanya: „Semalam pulang dari pesiar ketelaga, aku membawa seorang sahabat yang terluka parah. Tolong pinjam alat tulis untuk menulis resep."

Mata si jongos melirik ke atas ranjang dan didapatinya disitu ada seorang pemuda menggeletak berlumuran darah. Baru dia hendak bertanya, sudah buru-buru tak jadi demi dilihatnya Siau Ih dengan wajah membesi tengah memandangnya dengan berkilat-kilat. Anak muda itu  mencekal sebatang pedang pendek, sikapnya menakutkan sekali.

Tersipu-sipu jongos itu mengiakan dan tinggalkan kamar itu. Tak lama kemudian dia kembali pula dengan seperangkat alat tulis.

Selesai menulis resep dari kitab Peh-co-ki, Siau Ih memberikannya kepada jongos dengan disertai sekeping perak.

„Belikan ini dan lekas-lekas kembali. Sisanya boleh kau ambil!"

Pertama tak mau banyak urusan dan kedua melihat sang tetamu itu royal sekali, jongos itupun tak banyak bertanya lagi terus pergi. Belum setengah jam, dia sudah kembali dengan membawa obat Siau Ih meminta air bersih dan kain putih. Lebih dahulu dicucinya luka pemuda itu baru dilumuri obat. Ternyata resep kitab Peh-co-ki itu amat manjur sekali. Apalagi diberi pil kiu-coan-kian-goan-tan, dalam sehari saja luka pemuda itu sudah kering.

Melihat perobahan itu, barulah Siau Ih membuka jalan darahnya. Demi terjaga, serta merta pemuda itu menghaturkan terima kasih kepada anak muda cakap gagah yang sudah menolong jiwanya itu. Ternyata usia mereka hampir sebaya dan melalui percakapan singkat, keduanya merasa cocok satu sama lain. Pemuda itu bernama Tan Wan, murid tunggal dari begal budiman Kiau Bo bergelar Sin-heng-bu-ing atau si Kelana sakti tanpa bayangan. Karena pemuda itu mempunyai kelebihan satu jari (si wil), maka orang persilatan menggelarinya sebagai Liok-ci-sin-bi (si Kera berjari enam).

Semasa masih hidup, Sin-heng-hu-ing Kiau Bo pernah bentrok dengan partai Thiat-sian-pang cabang Tong-thing mengenai sebuah „urusan dagang" (rampasan). Karena lengah, Kiau Bo telah masuk dalam perangkap „harimau tinggalkan gunung" (kena dipancing). Dia kena dilukai berat oleh Tham Liong sehingga menyebabkan kematiannya.

Sebagai murid yang telah menerima budi besar dari suhunya, Tan Wan mengumumkan akan menuntut balas kematian suhunya itu. Tapi orang Thiat-sian-pang sudah memasang jaring. Begitu anak muda itu menginjak tapal batas Oulam, begitu dia disergap dan ditawan.

Akhirnya, pihak Thiat-sian-pang memutuskan hendak melenyapkan sekali anak muda itu. Ditetapkan bukit Kun-san sebagai tempat pelaksanaan hukumannya mati. Kalau tiada kebetulan Siau Ih pesiar di telaga Tong-thing itu, tentu jiwa Tan Wan sudah melayang.

Waktu mengutarakan dendam hatinya, biji mata Tan Wan seperti mau melotot keluar. Dia mempunyai kesan yang baik sekali terhadap Siau Ih. Pertama dilihatnya sang penolong itu sikapnya gagah dan perwira, kedua kali dia merasa berhutang jiwa, maka dia nyatakan mulai hari itu akan tinggalkan lapangan pekerjaannya yang lama (menjadi begal haguna) untuk ikut pada Siau Ih. Sekalipun menjadi pelayan, diapun puas karena dapat membalas budi dan sekalian akan memperdalam peyakinannya silat untuk kelak menuntut balas lagi.

Siau Ih hanya tertawa saja mendengarnya. Dia nasehati supaya pemuda itu baik-baik merawat, lukanya dulu, kelak kalau sudah sembuh akan dirundingkan lagi. Begitulah tiga hari telah lewat dengan tak terjadi suatu apa. Luka Tan Wan sudah sembuh sama sekali, hanya berjalan dia masih kurang leluasa. Ketenteraman suasana itu, sebaliknya dianggap berbahaya oleh Siau Ih. Makin tenteram, makin cepat datangnya bencana itu. Hanya saja, Siau Ih tak menyatakan apa-apa melainkan bersikap tenang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar