Si Rase Kumala Bab 10 : ‘Tiga Tidak’, Pesan Engkong

10. ‘Tiga Tidak’, Pesan Engkong

Liong Go menerangkan bahwa dalam beberapa detik saja, mayat-mayat itu tentu akan meleleh jadi cair dan merembes ke dalam tanah. Habis itu dia segera ajak Siau Ih berangkat.

„Luka toako masih belum sembuh betul, apakah dapat berjalan?” tanya Siau Ih.

„Harap hiante jangan kuatir, rasanya masih dapat tahan berjalan beberapa waktu. Hanya nona itulah yang terpaksa harus hiante dukung lagi,” sahut Liong Go.

Tanpa berayal lagi, Siau Ih terus pondong nona itu. Ditiup angin malam nan halus, hidung Siau Ih tersampok dengan hawa harum-harum sedap. Pemuda itu buru-buru menguasai panca inderanya, terus ayunkan langkah, diikuti dari belakang oleh Liong Go. Tapi oleh karena kuatir tubuh nona itu mengalami kegoncangan dan mengingat Liong Go masih belum sembuh betul, terpaksa Siau Ih tak berani berjalan cepat-cepat. Maka ketika terang tanah, barulah mereka berjalan beberapa li jauhnya.

Kala itu dijalanan masih sepi dengan orang, tetapi disekeliling penjuru dimana terbentang luas sawah-sawah dan ladang-ladang, para petani sudah mulai bekerja. Berpaling ke belakang. Siau Ih melihat dahi Liong Go penuh bercucuran keringat, napasnya terengah-engah. Buru-buru Siau Ih kendorkan langkahnya.

„Kita sekarang sudah terpisah belasan li dari Hangciu, tapi rasanya masih belum keluar dari jaringan pengaruh Thit-sian- pang. Untuk saat ini, kita dapat meneduh untuk sementara waktu ditempat seorang dusun. Entah bagaimana pendapat toako?” katanya.

Adalah karena berkat khasiat pil dari Siau Ih tadi, Liong Go dapat bertahan dari serangan hawa racun dingin. Tapi karena berjalan cepat itu, ya sekalipun jauh lebih pelahan kalau dibandingkan dengan biasanya, racun dingin itu mulai terasa merangsang lagi. Sebenarnya sakitnya bukan kepalang, tapi sekuat mungkin dia bertahan juga. Atas Pertanyaan Siau Ih tadi, dia hanya bersenyum getir mengiakan.

Keadaan toakonya itu tak terluput dari perhatian Siau Ih. Buru-buru dia menghampiri dan mengatakan supaya Liong Go berjalan pelahan-lahan saja, biar dia (Siau Ih) yang berjalan di muka untuk mencari rumah penduduk.

Begitulah setelah melalui tiga buah semak-semak pepohonan, tak jauh disebelah muka sana tampak ada tiga buah rumah yang meskipun bangunannya jelek tapi cukup bersih. Di- sekelilingnya ditumbuhi dengan pohon-pohon bambu yang rindang.

Siau Ih yang berjalan lebih dulu sudah tiba di muka pintu rumah itu dan tampak tengah bicara dengan tuan rumah yang dandanannya seperti seorang petani. Ketika Liong Go menyusul tiba, Siau Ih menerangkan bahwa pemilik rumah gubuk itu bersedia memberi tempat pada mereka.

„Saudara Li pemilik pondok ini, demi mendengar toako dan sam-moay (adik perempuan ketiga) terluka oleh orang jahat, rela menyerahkan kamarnya untuk kami bertiga. Siaote suungguh berterima kasih sekali kepadanya!”

Mendengar disebutnya sam-moay itu, Liong Go terkesiap. Tapi lain saat dia tersadar akan maksud Siau Ih membohong itu, agar jangan menimbulkan kecurigaan orang. Buru-buru dia menjurah untuk menghaturkan terima kasih kepada pemilik pondok itu. Melihat Liong Go itu berdandan sebagai seorang terpelajar dan sopan santun pula sikapnya, orang she Li itu cepat-cepat membalas hormat, sahutnya: „Harap kongcu jangan pakai banyak peradatan. Walaupun aku Li Seng seorang dusun, tapi semasa kecil pernah belajar sekolah sampai 2 tahun. Menolong orang adalah kegemaranku. Terhadap urusan kecil kali ini, asal kongcu tak buat celaan, aku senang sekali menerima kedatangan kongcu bertiga. Ah, kongcu tentulah lelah, silahkan masuk mengaso di dalam.”

Li Seng segera mengajak tetamunya masuk ke dalam. Ternyata halaman rumah cukup luas, penuh dengan alat-alat pertanian dan beberapa binatang ternak, namun karena caranya mengatur rapih, jadi keadaannya cukup bersih. Saat itu dari sebuah gubuk, muncullah seorang wanita. „Lekas kenalkanlah diri pada kedua tuan muda ini,” seru Li Seng kepada wanita yang bukan lain isterinya itu.

„Kami berdua saudara, memberi hormat kepada toa-soh,” Liong Go sudah mendahului memberi hormat karena menduga si wanita itu tentulah isteri Li Seng.

Wanita itu tersipu-sipu balas memberi hormat. Sementara Li Seng yang melihat Liong Go begitu sungkannya, mereka tak enak sendiri lalu buru-buru ajak sang tetamu masuk ke dalam rumah.

Sebenarnya Liong Go sudah tak kuat lagi menahan sakitnya. Makin lama makin terasa bagaimana racun dingin itu bagaikan laksaan semut mengigiti ulu hatinya. Namun dia tetap kertak gigi kepalkan tangan untuk menahannya dan memaksa bersenyum, senyum pahit dari penderitaan yang sukar dilukis.

Keadaan toakonya itu tak luput dari tinjauan Siau Ih. Dia kuatir kalau berlangsung sedikit lama lagi, keadaan Liong Go tentu sudah payah. Dicarinya akal untuk menghindar. „Dihadapan saudara Li yang jujur, kiranya tak layaklah kalau toako berlaku sungkan-sungkanan. Toako amat lelah dan sam-moay luka parah, lebih baik lekas-lekas berobat, jangan sampai terlambat. Nanti saja apabila sudah sembuh, kita dapat mengobrol panjang lebar lagi dengan saudara Li. Maaf, saudara, Li, atas bicaraku yang kurang hormat ini,” katanya.

Liong Go diam-diam memuji atas kecerdikan sang adik angkat itu. Dan diplomasinya itu ternyata berhasil karena Li Seng segera berkata: „Ah, memang kongcu benar, yang penting ialah Lekas-lekas mengobati luka. Menilik nona Siau tak sadarkan diri, tentu lukanya parah sekali. Harap kongcu berdua jangan sungkan-sungkan lagi, jika memerlukan apa saja harap lekas-lekas memberitahukan.”

Karena selain memikirkan lukanya juga memikirkan luka nona yang tak dikenalnya itu, Liong Go tak mau bersungkan lagi. Dengan tertawa dia mengangguk, lalu ikut Siau Ih masuk ke dalam kamar di sebelah timur. Li Seng dan isterinyapun segera pergi.

Kamar itu walaupun sederhana namun cukup bersih. Selain sebuah pembaringan kayu, pun terdapat alat-alat keperluan cuci muka serta meja kursi lengkap dengan peralatan minum. Nona itu dibaringkan di atas pembaringan, kedua matanya masih tertutup, wajahnya pucat lesi.

Sejenak memandang, tampak alis Liong Go menjungkat, ujarnya dengan tertawa tawar: „Walaupun luka nona itu amat parah, tapi karena hiante sudah menutuk jalan darahnya, untuk sementara rasanya tiada menguatirkan. Kalau dalam keadaan biasa, dengan gunakan kipas tui-hun-san dapatlah ku memberi pengobatan dengan menutuk jalan darahnya. Setelah darahnya menyalur normal, lalu kuberi obat. Dalam beberapa hari tentu ia akan sembuh. Tapi karena diriku sendiri belum ada ketentuannya, maka kuserahkan saja bagaimana hiante akan berbuat”. „Turut penglihatan toako, apakah dalam berapa jam ini keadaannya tak menguatirkan?” tanya Siau Ih.

„Rasanya untuk satu dua jam, tak nanti dia mengalami apa- apa,” sahut Liong Go.

„Bagus,” seru Siau Ih, „setelah melukai toako, iblis Kian Hoan sumbar-sumbar memberitahukan cara pengobatannya. Kebetulan sekali, lwekang yang Siaute pelajari itu termasuk jenis kong-tun-yang, jadi merupakan penakluk dari ilmu lwekang jahat macam thou-kut-im-hong-ciang itu. Kini harap toako suka membuka baju, agar siaote dapat gunakan lwekang untuk mengusir racun dingin itu. Walaupun lwekang siaote belum sempurna, tapi berkat bantuan pil buatan engkong itu, rasanya sembilanpuluh persen tentu akan dapat disembuhkan. Setelah itu kita cari lain daya lagi. Tentang diri nona itu, begitu nanti toako sudah sembuh, dapatlah kiranya toako mengobatinya.”

Walaupun sangsi-sangsi percaya, namun kenyataan pil tadi amat mujarab, Liong Go mau coba-coba juga. Apalagi demi menampak kesungguhan sikap Siau Ih, tanpa ragu-ragu lagi segera dia membuka bajunya, lalu duduk bersila di lantai.

Lebih dahulu Siau Ih menuang lagi sebutir pil dari botol, diberikan kepada Liong Go supaya diminum. Setelah itu, diapun duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan di pinggang belakang pada jalan darah beng-bun-hiat Liong Go. Dengan itu dia salurkan lwekang kian-goan-sin-kong.

Buru-buru Liong Go meramkan mata, sambil berusaha keras untuk menyalurkan tenaga-dalam. Setelah tenaga dalam itu berjumpa dengan lwekang kian-goan-sin-kong yang panas, terus akan disalurkan keseluruh tubuh.

Setengah jam kemudian, dari lubang pori tubuh Liong Go seperti mengeluarkan uap putih. Dan sepeminum teh  lamanya, tiba-tiba Siau Ih tarik pulang tangannya, lalu pelahan-lahan menepuk jalan darah beng-bun-hiat itu. Liong Go tergetar dan membuka mata. Tampak olehnya wajah Siau Ih amat lelah sekali, keringat sebesar butir-butir kedele tampak berketetesan turun dari dahinya.

„Hiante, kau amat letih,” kata Liong Go dengan perasaan terima kasih yang tak terhingga.

„Ah, janganlah toako mengatakan begitu. Karena kepandaian siaote masih dangkal, jadi menggunakan waktu lama. Untunglah berkat khasiat pil engkong, dan yang terutama lwekang toako sangat tinggi, barulah kita dapat berhasil dengan memuaskan. Terus terang saja, bermula siaote tak menduga kalau bakal dapat menghalau habis racun dingin itu. Kini asal toako beristirahat mengadakan latihan napas, tentu akan sembuh betul-betul. Kalau tak percaya, cobalah toako salurkan hawa murni, bagaimana rasanya.”

Liong Go menurut dan benarlah apa yang dikatakan Siau Ih itu. Kecuali masih merasa lemah, tanda-tanda racun dingin itu sudah tak terasa lagi. Girangnya bukan kepalang.

„Bukannya aku hendak banyak mulut, tapi rasanya dikolong jagad ini hanya ada dua orang yang memiliki lwekang kong- tun-yang-sin-kang itu. Yang satu ialah Gan Li Cinjin, salah seorang tokoh dalam sepuluh Datuk. Hanya sayang, lwekang yang diyakinkannya itu termasuk lwekang jahat. Sedangkan tokoh yang satunya, menurut kata si Manusia Iblis tadi, ialah si Dewa Tertawa Bok lo-cianpwe yang sudah berpuluh tahun lenyap jejaknya itu. Ilmu silat hiante mirip dengan tokoh Bok locianpwe itu. Pil yang kumakan tadi, begitu hebat khasiatnya, mirip benar dengan pil mujijat yang diceritakan kaum persilatan yakni kiu-caon-kian-goan-tan. Tapi anehnya hian-te mengatakan bahwa kepandaian hiante itu berasal dari ajaran engkongmu. Telah kuputar otak menggali ingatan, namun tak berhasil juga menebak-nebak siapakah engkongmu yang sakti itu,” kata Liong Go.

Siau   Ih   diam   sampai   sekian   jenak,   baru menyahut:

„Dengan sudah angkat persaudaraan, sebenarnya siaote harus menerangkan dengan sejujurnya. Namun siaote telah menyanggupi, jadi terpaksa ini waktu belum dapat mengatakan. Harap toako memaafkanlah!”

„Ah, tak apalah,” kata Liong Go, „karena sekarang aku sudah baik, seyogyanya kita lekas-lekas menolong nona itu.”

Tapi Siau Ih mencegahnya karena baru saja sembuh tak bolehlah Liong Go menghamburkan tenaga murninya. Dia minta agar sang toako itu beristirahat lagi untuk mengatur pernapasannya. Liong Go mengiakan tapi dalam pada itu dia pun suruh Siau Ih melepaskan lelah juga. Memang baru kali itu sepanjang hidupnya, Siau Ih merasa amat letih. Maka tanpa sungkan lagi, dia segera bersila berhadapan dengan Liong Go untuk bersemadhi.

Kira-kira sejam kemudian, keduanya sama membuka mata, lalu sama-sama, tertawa riang. Dilihatnya wajah masing- masing sudah tampak segar lagi. Liong Go berbangkit, memberesi pakaian lalu memungut kipasnya.

„Baru saja tertolong jiwa lantas mau menolong lain jiwa, ah, benar-benar suatu kejadian yang aneh,” katanya dengan tertawa.

„Mudah-mudahan kita jangan sering berjumpa dengan kejadian langka semacam ini,” Siau Ih memberi komentar.

Liong Go tertawa lebar, lalu menghampiri ke dekat pembaringan. Sekonyong-konyong dia kerutkan alis, gerutunya: „Kalau mau memeriksa lukanya, tentu harus membuka bajunya. Tapi dia seorang gadis ”

„Memang kalau menurut adat, kita tak leluasa turun tangan. Namun mengingat keadaannya, harus lekas-lekas ditolong. Ketika turun gunung, engkong pernah memberi pesanan. Dalam mengerjakan sesuatu haruslah berpegang pada tiga hal yakni tidak boleh menipu diri, tidak boleh membohongi orang dan tak boleh berlaku curang pada Tuhan. Rasanya tiga ’tidak’ itu, tepat digunakan dalam urusan saat ini. Asal kita bersih hati menolong orang, usah kiranya ragu-ragu. Bukankah begitu, toako?”

Liong Go mengangguk dan menyetujui pendapat Siau Ih. Habis itu, segera dia membuka baju si gadis. Ternyata luka dirusuknya sudah berwarna hijau kehitam-hitaman Liong Go menghela napas, ujarnya: „Nona ini untung sekali, coba luka itu terdapat dua dim di atasnya, tentu tepat dijalan darah ki- bun-hiat. Dia pasti takkan ketolongan lagi jiwanya. Sekalipun begitu, coba Teng Hiong tak kehabisan tenaga karena terluka dengan tusukan pedang, hantamannya itupun cukup memutuskan jiwa nona ini ”

Tiba-tiba dia berhenti karena matanya melihat pada leher nona itu terdapat sebuah kalung kumala. Ketika dipandang dengan seksama, kumala itu berukirkan sembilan ekor burung hong (cenderawasih). Sedemikian halus ukirannya itu sehingga nampaknya seperti hidup.

„Dengan memiliki giok-hu (cap kumala) sembilan ekor cenderawasih, tentu nona ini anak murid dari Peh-hoa-kiong Hun-si sam-sian. Ah, ini amat berabe!” pada lain saat Liong Go berseru kaget.

Peh-hoa-kiong artinya Istana Seratus Bunga, Hun-si sam- sian artinya Tiga Dewi she Hun.

„Apakah toako mempunyai permusuhan dengan Hun-si sam-sian?” tanya Siau Ih.

Liong Go menggeleng, ujarnya: „Bukannya begitu, melainkan Hun-si sam-sian itu aneh tabiatnya. Mereka membenci kaum pria. Kecuali diri mereka tetap membujang, pun sembilan orang muridnya ketika masuk ke dalam perguruan, telah mengucapkan sumpah berat takkan berhubungan dengan kaum Adam. Istana Peh-hoa-kiong itupun merupakan daerah terlarang bagi orang lelaki. Benar dengan pertolongan ini kita tak mengharap balasan, namun mengingat watak-watak mereka yang aneh itu, kelak kita tentu akan dibalas dengan air tuba. Dari itu lebih baik aku menghemat tangan saja.”

„Toako, kita dengan hati jujur memberi pertolongan, mengapa menghiraukan yang bukan-bukan. Menolong setengah jalan, berarti menyalahi dharma kita. Kelak apabila terjadi sesuatu, biarlah siaote yang menanggungnya,” Siau Ih menyanggah.

„Ucapan hiante itu membuat aku malu diri. Bukannya aku takut urusan, tapi akan mencari siasat yang sempurna,” kata Liong Go.

„Waktu sudah keliwat mendesak, harap toako suka menolong lebih dahulu setelah itu baru mencari akalan lagi demi untuk kebaikan kedua pihak,” Siau Ih mendesaknya.

Merenung sebentar, Liong Go mengiakan. Dikeluarkannya sebuah kantong kecil, dari situ diambilnya tiga butir pil wangi yang hijau bening warnanya, lalu dimasukkan ke dalam mulut si nona. Setelah dikancingkan bajunya, barulah Liong Go gunakan kipasnya untuk menutuki ke seratus delapan jalan darah tubuh nona itu. Tutukannya itu dilakukan dengan amat tangkas dan cepatnya. Kemudian menyanggah pinggang si gadis supaya dapat duduk bersila, dia minta agar Siau Ih suka menjagai tubuh si nona.

Setelah Siau Ih mencekali kedua lengan si gadis, Liong Go naik ke atas pembaringan dan duduk di belakang gadis itu, serunya: „Sekarang harap hiante buka bajunya dan gunakan tanganmu untuk menyaluri tun-yang-kang ke jalan darah tan- thian-hiatnya”.

Siau Ih bersangsi sejenak, lalu melakukan perintah toakonya itu. Lwekang kian-goan-sin-kong disalurkan ke arah tangan kanan ditempelkan kebagian jalan darah tan-thian-hiat si nona. Serentak lwekang tun-yang-kang itu menyalurkan keseluruh tubuh si nona. Dalam pada itu, dengan gagahnya Liong Go mulai mengurutnya. Lewat sepeminum teh lamanya, kedengaran gadis itu merintih. Dalam saat-saat yang segenting itu, Siau Ih melirik ke arah Liong Go. Dilihatnya kepala sang toako sudah mandi keringat, napasnya tersengal-sengal. Diam-diam Siau Ih terkejut. Sang toako baru saja sembuh dari lukanya, kalau keliwat mengeluarkan tenaga, tentu akan celaka. Buru-buru dia tambahkan lwekangnya sampai sepuluh kali besarnya.

Si nona mengeluh pelahan dan membuka mata. Demi melihat dihadapannya duduk seorang pemuda cakap yang beralis tebal tengah menempelkan tangannya ke tubuhnya, ia menjadi terkejut. Wajahnya kemerah-merahan.

Kuatir si nona salah mengerti hingga menggagalkan usahanya terakhir, buru-buru Siau Ih membisiki: „Semalam nona telah kena terhantam oleh Teng Hiong sampai terluka parah. Kami berdua saudara tengah melakukan penyembuhan terhadap nona, sekali-kali jauh dari maksud tak senonoh. Harap nona jangan berkata-kata maupun bergerak, agar memudahkan usaha kami berdua.”

Si nona tampak terkesiap, namun demi melihat wajah pemuda itu merah membara bercucuran keringat, tahulah ia bahwa ucapan pemuda itu memang sungguh-sungguh. Malu dan bersyukur memenuhi rongga hati si nona. Ia menggangguk selaku tanda menerima kasih lalu pejamkan lagi kedua matanya.

Ketika beberapa saat Siau Ih dan Liong Go sama tarik pulang tangannya, nona itupun terjaga. Liong Go basah kuyup dengan keringat, tenaganya habis, napas senin kemis. Cepat- cepat dia loncat turun dari pembaringan lalu berpaling membelakangi si nona. Siau Ihpun meniru perbuatan toakonya itu.

Setelah si nona membereskan bajunya lagi, dia segera turun dari pembaringan, ujarnya: „Harap saudara berdua berpaling kemari untuk menerima hormatku.” Liong Go dan Siau Ih tersipu-sipu membalas hormat si nona. Siau Ih menatap tajam-tajam ke arah si nona. Alis melengkung bagai barisan pegunungan, mata bersorot bening laksana air telaga, walaupun wajahnya yang agak pucat tak memakai bedak, namun kecantikannya yang agung tetap menonjol.

Melihat dirinya diawasi begitu rupa, nona itu tundukkan kepalanya dengan kemalu-maluan. Ai, memang begitulah sifat anak perempuan itu, demikian Siau Ih geli dalam hatinya.

„Aku Liong Go dan ini adik angkatku Siau Ih,” Liong Go segera perkenalkan diri, „Waktu nona pingsan, Siau hiante sudah menutup jalan darah nona dan dibawa kemari untuk diobati. Atas kelancangan itu, harap nona suka maafkan.”

„Terkena pukulan Teng Hiong itu, sebenarnya aku tentu mati. Syukurlah jiwi telah sudi menolongku. Atas budi besar itu, kelak tentu kubalas,” kata si nona.

„Semalam ketika nona terluka, aku sendiripun terkena pukulan jahat tho-kut-im-hong-ciang dari Jin-mo Kiau Hoan. Baru setelah racun dingin dalam tubuhku itu dapat diobati  oleh Siau hiante, dapatlah aku berusaha menolong nona. Karena itu telah memakan waktu lama, hingga hawa cin-goan nona sampai terluka. Oleh karena kepandaianku dangkal, maka walaupun mendapat bantuan pil bik-hun-tan buatan engkongku, pula mendapat bantuan lwekang sin-kang dari Siau Ih, tetap belum dapat menyembuhkan luka nona sama sekali. Syukurlah kenalan baik dari engkongku yakni Hwat- yok-ong To Kong-ong, To-cianpwe tinggal di puncak Ki-he-nia yang tak berapa jauh dari sini. Asal bisa bertemu dengan tabib sakti To locianpwe itu, luka nona pasti akan akan segera sembuh,” kata Liong Go.

Si nona terkesiap ujarnya: „Tokoh aneh itu sudah lama melenyapkan diri, konon kabarnya sudah bertekun akan mencapai kedewaan. Bahwa ternyata beliau bersembunyi tak berapa jauh dari sini, ingin benar aku menghaturkan hormat kepada beliau. Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah rasa terima kasihku. Adakah pengobatan jiwi tadi akan berhasil atau tidak, biarlah kita serahkan kepada Tuhan.”

„Ai, kini sudah hampir tengah hari, perutku merintih-rintih. Sudikah kiranya jiwi bermurah hati mengganggu tuan rumah supaya menyiapkan hidangan?” Siau Ih menyelutuk.

Kata-katanya yang melucu itu, telah membuat Liong Go dan si nona tertawa.

„Karena tak ada lain usul, usulku itu berarti diterima. Hanya ada sedikit tambahan. Tadi karena menjaga jangan sampai menerbitkan kecurigaan tuan rumah, aku telah mengatakan kalau kita bertiga ini adalah kakak beradik. Jika bertemu dengan tuan rumah, harap nona tetap pegang teguh rahasia itu,” Siau Ih lanjutkan pula kata-katanya sembari menjurah dihadapan si nona, sembari menirukan nada ucapan nona itu tadi: „Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah rasa terima kasihku.”

Tingkah membanyol dari anak muda itu, telah menyebabkan si nona tertawa cekikikan. Sesaat terhiburlah hatinya. Pikirnya: „Walapun dari sikap dan budi bahasanya, kedua pemuda itu tentu anak murid dari tokoh ternama, namun apabila peristiwa tadi (pertolongan dengan lwekang tadi) sampai teruwar tentu akan menjadi buah cerita orang. Apalagi hal itu melanggar peraturan suhunya. Ah, lebih baik aku mengangkat saudara dengan mereka, kalau tidak bagaimana aku dapat membalas budi mereka.”

Setelah mengambil keputusan, segera ia berkata dengan nada bersungguh: „Siaumoay bernama Lo Hui-yan, sejak kecil sudah sebatang kara dan dipelihara oleh Sam-sian suhu di gunung Lo-hu-san. Jika sekiranya tak memandang hina diri Siaumoay, ingin sekali Siaumoay mengangkat saudara.”

Liong Go tertawa: „Mendapat adik seperti Yan-moay, alangkah berbahagianya, hanya ” „Kalau begitu, harap toako dan jiko suka terima hormatku,” tukas Hui-yan sembari terus memberi hormat dengan berlutut.

Buru-buru Liong Go dan Siau Ih membalas hormat dan menyilakan Hui-yan berbangkit. Berkata Siau Ih dengan gembira: „seharusnya kita rayakan hari gembira ini, sayang tak ada persiapan, maka terpaksa melanjutkan rencana bermula tadi, menggerecoki tuan rumah. Tapi rasanya bagi kita kaum persilatan ini, sudah biasa mengisi perut dengan nasi kasar dan lauk pauk murah. Tapi entah bagaimana pendapat toako dan Yan-moay berdua?”

Liong Go tertawa mengiakan dan Siau Ih pun terus membuka pintu kamar memanggil tuan rumah.

Li Seng tergopoh-gopoh keluar dari kamar dan berseru:

„Kini sudah hampir lohor, sebenarnya tadi aku hendak mengundang kongcu berdua dahar, tapi karena kuatir mengganggu usaha kongcu berdua menolong nona, jadi terpaksa kupertangguhkan. Harap maafkan.”

Siau Ih memberi hormat dan mengatakan bahwa adiknya perempuan kini sudah sembuh dan kalau sekiranya tak merepotkan hendak minta makan pada tuan rumah.

„Syukur nona sudah cepat sembuh. Hidangan sudah dari tadi tersedia. Kuatir karena Siau toa-kongcu dan nona Siau tak dapat makan hidangan keras karena baru sembuh, maka tadi aku telah memasak bubur. Nah, biarlah kubawanya kemari.” Kata Li Seng sembari terus lari masuk.

Tak berselang berapa lama, petani yang baik hati itu sudah muncul dengan senampan bakpao hangat serta empat macam sayur. Disilahkannya ketiga tetamunya itu makan seadanya.

Liong Go dan Siau Ih tak henti-hentinya mengucapkan terima kasihnya. Walaupun sayurnya sederhana, namun karena lapar, mereka makan dengan lahapnya. Sembari makan itu, Siau Ih tanyakan hal ikhwal permusuhan Lo Hui- yan dengan Thiat-sian-pang. Dengan sayu, nona itu menuturkan kisah hidupnya.

„Sejak masih orok, Siaumoay sudah ditinggal mati ayah dan bunda dan dipelihara oleh pamanku di gunung Hong-hong- san. Ketika umur lima tahun, baru diterima menjadi murid suhuku, dibawa ke gunung Lo-hu-san. Disana kutinggal sampai sebelas tahun. Beberapa hari yang lalu ketika diperbolehkan turun gunung, aku coba-coba menengok kampung halaman. Di luar dugaan, ternyata rumah paman, telah hancur berantakan.

Turut keterangan yang kuperoleh, taci misanku hendak dijadikan gundik oleh Teng Hiong, tapi ditolak keras oleh paman. Tahu-tahu pada suatu tengah malam, seluruh rumah tangga paman telah dibinasakan orang jahat. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si Teng Hiong. Dalam gusar, kemaren malam aku terus ngeluruk ke Hanciu untuk membikin perhitungan dengan si jahanam itu. Tapi tiba di kota itu aku berpapasan dengan seorang tua yang kurus kering.

Orang tua itu amat lihaynya, kalau tak waspada, mungkin aku akan kepergok. Orang tua itu mengatakan kepada dua orang anak buah Thiat-sian-pang, bahwa Teng Hiong tengah menunggu seorang musuh ditempat makam Gak-ong.

Begitu tiba dimakam itu, Teng Hiong tampak lari ke arah tempat persembunyianku. Untuk memastikan lebih dahulu kutegur, baru kemudian kuserangnya. Ah, kalau tiada kalian yang melancarkan pukulan biat-gong-ciang, tak nanti jahanam itu mudah dibinasakan. Kini sakit hatiku, sudah terbalas. Setelah lukaku sembuh, aku terpaksa harus pulang ke gunung lagi!”

Berkata sampai disini, nada Hui-yan menjadi sember, matanya mengembang air mata. Teringat akan dirinya yang masih mempunyai sakit hati besar, Siau Ih melayang-layang pikirannya. Liong Go pun terhening, sehingga suasana makan itu tampak sayu. Akhirnya terlintas sesuatu pada pikiran Siau Ih, ujarnya:

„Dengan hilangnya Teng Hiong dan ketiga anak buahnya itu, walaupun kita sudah gunakan obat yong-kut-tan untuk melenyapkan jejaknya, namun orang-orang Thiat-sian-pang tentu akan mencium bau juga. Dan apabila sampai mereka mengetahui kita berada disini, tentu akan membikin repot saudara Li Seng juga. Lebih baik kita minta tolong saudara Li itu membelikan sebuah kereta dengan empat kuda, untuk kita berangkat malam ini juga!”

Liong Go menyetujui. Memang tak baik untuk merembet- rembet seorang berbudi macam Li Seng itu.

Sebaliknya Hui-Yan heran mengapa mesti membeli serakit kereta itu.

Liong Go menerangkan bahwa luka nona itu masih belum sembuh betul, jadi tak boleh banyak bergerak mengeluarkan tenaga.

„Ah, sungguh tak kira ini aku menjadi seorang invalid,” Hui- yan menghela napas, setelah ia coba mengambil napas tadi ternyata memang masih terasa agak sakit.

Siau Ih terus menghibur dan membesarkan hati nona itu. Saat itu Li Seng kembali muncul dengan membawa minuman teh hangat. Datang-datang dia lantas minta ketiga tetamunya itu mencicipinya. Untuk itu serta merta Liong Go haturkan terima kasih.

„Ai, aku si orang dusun ini tak biasa berlaku sungkan, kongcu perlu apa, silahkan ”

„Kebetulan memang aku hendak minta tolong pada saudara. Li,” tukas Siau Ih. Lalu menerangkan maksudnya untuk minta tuan rumah itu membeli serakit kereta dengan kudanya.

„Ai, itu mudah sekali ....... ha, apa kongcu hendak berangkat malam ini juga?” tanya Li Seng dengan terkesiap. Siau Ih menerangkan bahwa luka sam-moaynya itu amat berat, kalau tak lekas-lekas mendapat pertolongan tentu akan membahayakan jiwanya. Sementara itu Liong Go segera serahkan segenggam perak hancur kepada Li Seng, siapa segera pergi untuk melakukan permintaan tetamunya.

Karena hari masih sore, maka Siau Ih ajak kedua kawannya beristirahat memulangkan semangat.

Malamnya Li Seng pun sudah berhasil membeli sebuah kereta lengkap dengan empat ekor kuda yang tegar. Setelah menghaturkan terima kasih kepada suami isteri petani yang baik hati itu, maka naiklah ketiga anak muda itu ke dalam kereta.

Menjelang berangkat, tiba-tiba Siau Ih berkata dengan nada bersungguh: „Saudara Li, hampir lupa saja mengatakan sesuatu hal yang penting. Malam nanti apabila ada seorang tua baju kuning datang kemari mencari kami bertiga, tolong kasih tahu padanya, karena ada keperluan penting kami bertiga saudara berangkat lebih dahulu dan menantinya disebelah muka. Harap saudara, Li jangan lupa menyampaikan ucapanku ini kepadanya!”

Li Seng mengiakan dan bergeraklah roda kereta itu meluncur ke muka. Sembari mengiring dengan pandangan mata, diam-diam mulut Li Seng berkata-kata:

„Mengapa terburu-buru pergi ....... orang tua baju kuning

....... siapakah gerangan dianya?”

Tapi ketika dia teringat akan menanyakan, ternyata kereta itu sudah jauh!

--0dw0--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar