Si Rase Kumala Bab 09 : Satu Di Luar Lautan Satu Menghilang

9. Satu Di Luar Lautan Satu Menghilang

Kini tak berani lagi Liong Go meremehkan, kaki melangkah mengayun tubuh, dia hindari sepasang cat. Kemudian dengan mengundang seluruh tenaga, dia tangkis pukulan Kiau Hoan. Adu kekerasan itu memberi penilaian jelas, Kiau Hoan terhuyung sedikit, sedangkan Liong Go matanya berkunang- kunang, kakinya menyurut mundur lima tindak baru dapat berdiri jejak.

Kini tahulah sebabnya Liong Go, mengapa si Manusia Iblis itu dapat malang melintang di dunia persilatan. Memang ternyata dia masih kalah setingkat tenaganya. Kalau adu kekerasan, berarti cari penyakit. Lebih baik dia gunakan ilmu ajaib permainan tui-hun-cap-sa-san ajaran sang engkong,  agar dapat bertempur penuh sampai sepuluh jurus yang dijanjikan. Tidak menang asalpun jangan kalah. Demikian dia mengambil putusan.

Pada saat itu, si Manusia Iblispun sudah maju menyerang lagi. Pertempuran kali ini, berbeda dari tadi. Kalau Liong Go menggunakan siasat defensif (bertahan), adalah si Manusia Iblis sangat agresif (menyerang) sekali. Iblis ini sangat bernafsu sekali untuk lekas-lekas dapat memukul roboh anak muda itu agar dapat menghimpaskan dendamnya pada duapuluh tahun yang lampau.

Tubuh Kiau Hoan berputar-putar mengepung rapat-rapat sang lawan. Berkelebatan laksana petir menyambar, dia terus mencari lubang kesempatan untuk memberi pukulan maut. Setiap gerak dan jurus serangannya adalah fatal (mematikan).

Sebaliknya Liong Go telah keluarkan seluruh permainan kipas   tui-hun-cap-sa-san,   ilmu   permainan   yang   pernah menggemparkan dunia persilatan pada masa yang lampau. Kipas tui-hun-san melayang-layang bagai tebaran awan membungkus dirinya. Tiga buah serangan maut dari si Manusia Iblis, meskipun amat dahsyat, namun dapat dibuyarkan oleh permainan kipas tui-hun-san yang istimewa anehnya. Saking gusarnya, si Manusia Iblis sampai berjingkrak-jingkrak dan bersuit-suit.

Sebuah serangan dalam jurus peng-tee-hong-lui atau halilintar menyambar di tanah datar, kembali dilancarkan si Manusia Iblis. Bermula mengancam pinggang, tapi sekonyong- konyong sepasang oh-catnya yang berada di tangan kiri, dibalikkan ke atas untuk menghantam kepala lawan.

Terhadap serangan tangan kanan yang keras itu, tak berani Liong Go menyambutinya. Begitu menghindar, dengan gerak Loan-tiam-gan-yang (menutuk burung belibis), kipasnya menampar serangan sepasang oh-cat. Tertutuk sedikit oleh kipas tui-hun-san, cepat-cepat si Manusia Iblis menarik oh- catnya. Adalah sesaat tubuh Liong Go agak terhuyung, iblis itu melengking tertawa.

„Buyung, sambutilah seranganku yang terakhir!” serunya sembari enjot tubuh sampai satu setengah tombak ke udara. Dari itu dia berjumpalitan, dengan kaki di atas kepala di bawah, sepasang oh-cat dihantamkan ke batok kepala lawan dalam gerak tiang-coa-jip-tong atau ular panjang masuk ke goa.

Dalam posisi sang tubuh agak mendongak, Liong Go robah gerakan kipas dari menampar menjadi menghantam. Maksudnya ialah hendak menangkis dari samping. Tapi dalam pada itu, diam-diam dia merasa heran sendiri mengapa serangan terakhir si iblis itu hanya begitu biasa sekali.

Tapi sekonyong-konyong terdengar si Manusia Iblis tertawa. Kedua oh-kim-cat agak dikesampingkan, berbareng itu tangan kanan bergerak menyusup ketubuh orang yang tak terjaga itu. Seketika itu Liong Go rasakan tubuhnya tersambar oleh serangkum angin halus yang amat dingin menggigil. Ya, begitu dingin sekali, hingga tubuhnya serasa membeku. Sampai disini barulah dia insyaf kalau kena dibokong si iblis.

„Celaka!" serunya sambil loncat keluar. Tapi begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya segera akan terkapar jatuh.

Bukan kepalang kejut Siau Ih. Secepat kilat dia loncat memapah tubuh Liong Go. Astaga, kiranya tubuh sang kawan itu gemetar, wajah pucat dan giginya berkeretekan menahan kesakitan yang hebat ........

„Buyung, selamanya lohu tentu melakukan apa yang kukatakan. Tapi bahwasanya kau telah dapat menerima sepuluh seranganku, itu sudah cukup lihay. Untuk urusan selanjutnya, lohu tak mau campur tangan lagi. Tapi karena kau telah terkena pukulanku thou-kut-im-hong-ciang (angin Jahat yang merembes ketulang) maka dalam sepuluh hari, tulang belulangmu akan membeku dan jiwamu pasti melayang. Satu-satunya obat, ialah apabila kau berjumpa dengan orang yang paham akan ilmu lwekang kong-tun-yang- sin-kang. Tapi pada masa ini, hanya ada dua orang tokoh yang mahir akan ilmu sakti itu. Yang satu berada di luar negeri dan yang lain sudah tak pernah muncul di dunia ramai lagi, mungkin sudah mati. Maka biar lohu memberitahukan cara pengobatannya, juga tiada dapat menolongmu. Dengan tersiksa mati secara pelahan itu, dapatlah kiranya lohu melampiaskan hutang dendam itu!" seru si Manusia Iblis sembari tertawa seram.

Pada saat itu, Teng Hiong dengan pemimpin dua orang anak buah, sudah menghampiri. Serta merta dengan hormatnya, dia memberi pujian: „Kesaktian cianpwe sungguh merajai dunia ”

„Teng-tongcu!" Kiau Hoan cepat menukasnya, „tak dapat disangsikan lagi buyung itu pasti akan mati. Tapi karena lohu tak pernah mengingkari janji, maka setelah dapat menahan sepuluh serangan, lohupun tak mau campur tangan lagi dengan urusan ini. Untung hanya tinggal seorang budak kecil, rasanya kau tentu dapat mengurusi sendiri. Lohu akan kembali dulu menanti kabar!"

Dan sebelum Teng Hiong menyahut, Manusia Iblis itu sudah berputar diri terus loncat menghilang.

Mendengar betapa ganasnya pukulan thou-kut-im-hong- ciang itu, bergidik juga Siau Ih. Dengan begitu, dia tak sempat menghadang si Manusia Iblis. Sewaktu melihati Liong Go, didapatinya wajah anak muda itu makin menyatakan kesakitan.

Diam-diam Siau Ih menjadi gelisah. Sekonyong-konyong dia mendapat pikiran: „Jin-mo tadi mengatakan bahwa kecuali dengan kong-tun-yang-sin-kang, luka toako tentu tak dapat sembuh. Dikolong jagad ini hanya ada dua orang yang memiliki ilmu lwekang itu, satu di luar lautan satu menghilang

...... ha, jangan-jangan tokoh yang sudah lama tak muncul itu ayah sendiri ”

Memikir sampai disini, girangnya meluap. Cepat dikeluarkan sebuah botol kumala lalu dituangnya sebiji pil warna merah, yang harum sekali baunya. Pil itu dimasukkan ke dalam mulut Liong Go, bisiknya: „Engkong telah gunakan waktu sepuluh tahun untuk membuat pil ini. Dicipta dengan sari lwekang tun- yang (hawa positif murni). Harap toako salurkan tenaga dalam agar pil itu bekerja. Nanti siaote mempunyai daya bagus untuk mengobati luka toako."

Setelah terkena pukulan thou-kut-im-hong-ciang, Liong Go rasakan suatu derita hawa dingin yang luar biasa sakitnya. Tapi begitu menelan pil itu, serasa ada hawa panas masuk ke dalam tubuh. Cepat-cepat dia duduk bersila, lalu salurkan lwekang. Sungguh ajaib, tak berapa lama kemudian, hawa yang istimewa dinginnya itu, terasa berkurang. Melihat wajah sang toako makin mulai merah, Siau Ih amat girang. Dia yakin pasti akan dapat mengobati Liong Go. Berpaling ke belakang, dilihatnya Teng Hiong bertiga masih berdiri kira-kira dua tombak disebelah sana. Wajah mereka bersenyum dingin, seolah-olah jenderal yang menang perang. Seketika marahlah Siau Ih. Dia terus berbangkit menghampiri.

„Hm", Teng Hiong denguskan hidung, berkata: „Bocah kawanmu itu sudah meregang jiwanya, masakah kau masih berani jual lagak?"

Bahwa dirinya dan sang toako dianggap sebagai anak kambing, makin meluaplah hawa pembunuhan dalam hati Siau Ih, sahutnya dengan tawar: „Memang aku hendak membikin perhitungan padamu!”

„Bocah yang tak kenal tingginya langit, ayuh serahkan jiwamulah!" teriak Teng Hiong sembari loncat menerkam dada Siau Ih dalam gerak kim-pa-lo-jiao atau macan tutul ulurkan cakar.

Sambil tertawa dingin, Siau Ih menyelinap ke samping. Anak buah Teng Hiong yang berada disitu, cepat menghadang dengan goloknya.

„Bocah kurang ajar, hendak lari kemana kau!" serunya sembari menabas dengan gerak poan-hoa-kay-ting atau  bunga bertebaran ke atas atap.

Namun dengan miringkan tubuh, dapatlah Siau Ih menghindar. Menyusul tangan kiri menghantam batang golok, tangan kanan menutuk sepasang mata lawan dalam gerak song-liong-hi-cu atau sepasang naga berebut mustika. Waktu musuh buang kepalanya ke belakang, Siau lh tertawa: „Tolol, kau tertipu!"

„Plak,” tahu-tahu pipi kiri orang itu tertampar. Karena Siau Ih gunakan separoh bagian dari tenaganya, maka beberapa gigi dari orang itu sampai putus. Sambil menyemburkan darah, dia terhuyung-huyung ke belakang terus jatuh terduduk.

Saat itu Teng Hiong bersama anak buahnya yang bertubuh tinggi kurus, sudah menyerbu datang. Mereka gunakan pedang song-bun-kiam dan sepasang tangan besi menghantam punggung Siau Ih.

Tanpa menoleh lagi, Siau Ih ajukan tubuh ke muka, sehingga serangan itu tak mengenai.

Si kurus yang bersenjata song-bun-kiam itu ajukan ujung pedangnya ke muka untuk menusuk lagi.

Tapi untuk kekagetannya, begitu tangan Siau Ih menjamah tanah, dengan gerak hi-yau-liong-bun, tubuhnya mencelat ke udara sampai satu tombak lebih. Setelah berjumpalitan sebentar, dia meluncur lagi ke bawah tepat di muka kedua lawannya.

„Datang-datang terus menyerang, itu tak punya aturan namanya. Nah, terimalah ini," serunya sembari kerjakan sang tangan.

„Plak, plak,” pipi kiri Teng Hiong dan pipi kanan si kurus, tahu-tahu menerima "persenan" istimewa. Dengan mata ber- kunang-kunang kedua orang itu terhuyung mundur.

Siau Ih tak mau mendesak, melainkan tegak berdiri  sembari rangkapkan kedua tangan. Dia awasi kedua lawan itu dengan senyum menghina.

Kaget, murka, malu dan muring-muring adalah si Teng Hiong. “Tring,” cepat dia melolos senjata gelang kiu-ciat-kong- hoan (gelang baja sembilan buku).

„Toh hu-tongcu, Li hu-tongcu, majulah!" serunya menggerung.

Si kurus dan orang yang pertama kali ditampar pipinya sampai giginya rompal tadi, segera menyerbu. Kini tiga orang dengan tiga macam senjata, menghujani serangan pada Siau Ih.

Mundur selangkah, Siau Ih gunakan gerak hu-yan-tho-lim (burung walet menobros hutan). Bagaikan seekor kupu-kupu beterbangan di antara kuntum bunga, dia berlincahan di bawah hujan senjata ketiga lawannya.

Betapapun bernafsunya Teng Hiong untuk lekas-lekas dapat menggebuk „si bocah", namun dia selalu mendapat hidung panjang. Setiap kali dengan gerak yang luar biasa, dapatlah Siau Ih menghindar atau membuyarkan serangannya itu.

Sebenarnya kalau mau, dapatlah Siau Ih segera menjengkelit roboh ketiga musuhnya itu. Namun dia tak mau lekas-lekas berbuat begitu, karena hendak mengocok mereka lebih dahulu. Ada kalanya menjiwir telinga, atau menampar pipi atau menjelentik hidung, suatu hal yang membuat Teng Hiong bertiga makin kalap seperti orang kerangsokan setan. Mereka menjerit-jerit dan menggerung-gerung, namun tak dapat berbuat apa-apa.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, Teng Hiong bertiga sudah bersimbah peluh, napasnya senin kemis. Karena kala itu rembulan sudah condong, Siau Ih tak mau memperpanjang waktu lagi. Saat itu si orang tinggi besar menyabat dengan goloknya. Secepat menghindar, Siau Ih segera menyambar sang lawan, terus dipijat pada jalan meh-bun-hiatnya.

„Trang,” jatuhlah golok dari tangan orang itu. Si kurus cepat menusuk dengan song-bun-kiam, namun dengan tertawa dingin, Siau Ih segera gelandang orang tinggi besar tadi untuk menangkis serangan pedang. Sudah tentu si kurus tersipu-sipu menarik pulang pedangnya.

Berbareng pada saat itu, Teng Hiong menyapu dengan kiu- ciat-kong-hoannya. Siau Ih lepaskan lawannya, terus loncat ke udara. Begitu terhindar dari kiu-ciat-kong-hoan, dia gerakkan tangan menghantam “tawanannya" tadi.

Tak ampun lagi, orang tinggi besar yang tubuhnya sudah menjorok ke muka itu, makin seperti didorong maju. „Auuk,” sebuah jeritan seram terdengar dan orang itu pun terpanggang ujung pedang song-bun-kiam si kurus. Dalam pada itu, Siau Ih menggeliat turun di luar gelanggang.

Bahwa sang kawan telah tertusuk pedangnya, telah membuat si kurus serasa terbang semangatnya. Cepat-cepat dia tarik Song-bun-kiam keluar, namun sang kawan yang bertubuh tinggi besar itu sudah terkulai tak bernyawa lagi. Melihat itu Teng Hiong mengeretek gigi. Betapa inginnya dia dapat mengganyang anak muda itu!

„Bangsat kecil, mau ngacir kemana kau?" serunya sembari loncat menyerbu kepada Siau Ih.

„Bangsat, tak usah buru-buru minta mati, tunggu saja giliranmu nanti!" seru Siau Ih sembari mundur.

Hantaman pertama luput, Teng Hiong teruskan dengan gerak oh-liong-joan-tha atau naga hitam menyusup pagoda, Kiu-ciat-kong-hoan ditebarkan lurus ke muka untuk menyodok dada Siau lh. Juga berbareng itu, si kurus pun datang memapas bahu Siau Ih dalam jurus lat-biat-hoa-hu.

Siau Ih tenang-tenang menunggu sampai kedua senjata itu datang, baru dia sedot dadanya ke belakang, lalu gerakkan sepasang tangannya menangkis. Karena kiu-ciat-kong-hoan yang tiba dulu, maka senjata gelang itulah yang terpental lebih dulu dan menghantam song-bun-kiam si kurus-sendiri. Karena tak menyangka sama sekali, si kurus tak keburu menarik pedangnya, “trang” ....... kiu-ciat-kong-hoan dan song-bun-kiam saling beradu.

Membarengi selagi si kurus gelagapan dan tubuhnya tak terlindung, dengan tertawa nyaring, Siau Ih menghantam dengan tangan kiri ke arah Teng Hiong dan jari tangan kanannya menutuk dada si kurus.

„Hek” ...... hanya sekali mulut dapat bersuara, atau putuslah sudah jiwa si kurus itu.

Melihat kedua wakilnya binasa, Teng Hiong naik pitam. Tahu bahwa kepandaian anak muda itu jauh lebih lihay dari dirinya, namun karena dirangsang oleh hawa amarah, lupalah sudah Teng Hiong. Dengan kalap, dia terus maju menyerang lagi.

Mundur sampal tiga langkah, kedengaran Siau Ih tertawa dingin: „Bangsat, sekarang tiba giliranmu!"

„Cring,” pedang pusaka Thian-coat-kiam dilolos. Sesaat tubuh Siau Ih melambung ke udara, maka berhamburan hujan sinar perak yang memancarkan hawa seram-seram dingin.

Teng Hiong dikurung rapat oleh taburan sinar pedang itu. Kini barulah benggolan itu menjadi kelabakan. Pedang istimewa, ilmu permainan luar biasa. Dalam keripuhan mencari jalan lolos, akhirnya Teng Hiong berlaku nekad: „Kalau tak nekad adu kekerasan, aku bisa mati konyol. Benar dia memegang pedang pusaka, tapi kiu-ciat-kong-hoan ini juga amat berat, mungkin tak ada halangan.

Baru dia memikir sampai disini, hawa pedang yang dingin seram itu sudah terasa menabur dikepalanya. Setelah pusatkan seluruh pikiran, dengan menggerung keras, dia hantamkan kiu-ciat-kong-hoan ke atas untuk menangkis. Menyusul dengan itu, kakinya menyurut ke belakang.

„Trang,” kiu-ciat-kong-hoan yang panjangnya hampir setengah tombak itu terpapas kutung oleh sabetan Thian-coat kiam.

Kali ini si Teng Hiong jagoan yang menguasai kota Hangciu, si raja kecil yang suka berbuat sewenang-wenang itu, kini betul-betul pecah nyalinya. Tanpa malu-malu lagi, dia segera enjot tubuhnya loncat ke balik makam Gak-ong.

„Wut,” separoh bagian kiu-ciat-kong-hoan yang masih berada di tangannya itu, ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah Siau Ih. Dengan tenangnya, anak muda itu tangkiskan pedangnya.

„Bangsat, tak mudah kiranya kau hendak melarikan diri!" seru Siau Ih sembari sudah enjot sang kaki loncat memburu.

Ketika pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti ekor burung seriti itu melayang akan menusuk punggung Teng Hiong, sekonyong-konyong dari belakang makam Gak-ong itu muncul sesosok tubuh hitam terus ayunkan kedua tangannya. Sembilan butir sinar, melayang ke muka Siau Ih. Karena masih melayang di udara dan jaraknya amat dekat, Siau Ih tak keburu menghindar lagi.

Dalam gugupnya dia cepat-cepat tarik pulang pedangnya sembari lontarkan sebuah hantaman tangan kiri dalam lwekang Kun-goan-sin-kang. Menyusul dengan itu, dalam gerak lo-wan-sui-ci atau orang-utan jatuh dari dahan, dia melayang ke samping beberapa meter jauhnya.

Bahwa ternyata orang-orang Thiat-sian-pang sudah mempersiapkan barisan gelap dan menggunakan senjata rahasia yang ganas sekali, telah membuat Siau Ih meluap hawa pembunuhannya. Begitu sang kaki menginjak bumi, dia enjot lagi dirinya ke udara. Jong-eng-hu-tho atau alap-alap menangkap kelinci, adalah jurus yang dia gunakan ketika menghantarkan sebuah hantaman lwekang ke arah pembokong dibalik makam itu.

Ketika timpukannya gagal, si bayangan hitam itu terkejut sekali dan terus hendak melarikan diri, namun pedang Thian- coat-kiam sudah mengaum di atas kepalanya. Sebuah jeritan seram dan terpisahlah kepala orang itu dari tubuhnya. Tapi karena keayalan itu, Teng Hiong sudah jauh lari sepuluhan tombak jauhnya.

„Bangsat Teng Hiong. kalau kau sampai terlolos, aku bersumpah tak mau menjadi orang!" seru Siau Ih sembari terus gunakan ilmu pat-poh-kam-sian (delapan tindak mengejar tenggoret) untuk mengejar. Pat-poh-kam-sian adalah sebuah ilmu mengentengi tubuh yang amat lihay.

Melihat dirinya dikejar, semangat Teng Hiong seperti kabur. Diapun segera tambah gas, berlari secepat-cepatnya. Tiba-tiba tampak olehnya bahwa disebelah muka sana ada sebuah hutan.

„Asal dapat masuk kehutan itu, tentu selamatlah jiwaku!" diam-diam dia bergirang dalam hati.

Berbareng pada saat itu muncullah sesosok bayangan kecil dari dalam hutan itu, terus lari menyongsong kedatangan Teng Hiong. Kira-kira terpisah pada jarak satu tombak, berserulah orang itu: „Adakah yang datang ini Teng-tongcu?"

„Benar, orang she Teng lah ini!" sahut Teng Hiong dengan terkesiap. Selagi dia hentikan langkah untuk mengawasi lawan atau kawankah kiranya orang itu, segera terdengar orang itu melengking nyaring: „Bangsat Teng, serahkan jiwamu!"

Mulut berseru, orangnya datang, pedangnyapun sudah menyerang ke dada Teng Hiong.

Justeru pada saat itu Siau Ih pun tiba serta melontarkan sebuah pukulan biat-gong-ciang dari belakang.

Diserang dari muka belakang, Teng Hiong mati kutunya. Belum lagi dia sempat memikir daya menghindari, “bum,” punggungnya sudah terhantam keras. Matanya berkunang- kunang, mulutnya mengulum ludah amis-amis asin. Belum lagi sang mulut sempat menyemburkan darah, atau dadanya sudah merasa kesakitan hebat. „Habislah jiwaku!” dia berteriak keras. Namun tak kecewa kiranya dia menjadi benggolan besar. Walaupun dalam detik- detik direnggut maut, tetap dia hendak mengadu jiwa sampai saat yang terakhir. Mata membeliak, berserulah dia keras- keras: „Aku hendak mengadu jiwa padamu!"

Karena seruan itu, mulutnya segera menyemburkan segumpal darah segar. Setelah seluruh sisa tenaganya dipusatkan ke arah tangan, tiba-tiba dia menjotos ke muka.

Orang yang baru muncul itu sama sekali tak menyangka bahwa sang korban yang sudah mendekati ajalnya itu masih dapat memberi hantaman. Dia tak sempat menghindar dan termakanlah iganya dengan pukulan kalap itu.

Namun dia pun tak kurang kalapnya. Sambil mengerang kesakitan, pedang ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah Teng Hiong. Darah muncrat, usus berodol dan menjeritlah Teng Hiong terkapar ke tanah .........

Adegan maut itu hanya berlangsung dalam sekejapan mata saja, hingga ketika Siau Ih tiba, orang yang baru muncul tadipun sudah roboh ke tanah karena terluka parah. Pada dada Teng Hiong masih menancap sebatang pedang. Dingin sekalipun hati Siau Ih, namun demi menyaksikan pemandangan ngeri semacam itu, tak urung dia merasa seram juga.

Ketika memeriksa, Siau Ih dapatkan orang itu bertubuh kurus kecil. Tengkurep di tanah, kepalanya disusupkan kebahu, sedang tangannya masih memegangi erat-erat tangkai pedang. Dengan hati-hati Siau Ih membalikkan tubuh orang itu, ai, sebuah muka yang cantik sekali. Hanya karena menderita luka berat, wajah orang itu pucat seperti kertas, napasnya berangsur lemah.

Cepat-cepat Siau Ih memberi pertolongan dengan menutuk pada tiga buah jalan darahnya bagian ki-hay, ciang-bun dan peh-hwe. Setelah itu, tubuhnya lalu diangkat. Waktu hendak dipondong, ternyata kain kepala orang.itu terlepas dan seikal rambut yang indah memanjang segera berhamburan menjulai pada bahu Siau Ih.

„Ha, kiranya dia seorang gadis, makanya bertubuh kecil. Tapi ah, ini kurang sopan namanya ......... Dia terluka parah, kalau tak lekas-lekas ditolong tentu membahayakan jiwanya. Ah, peduli apa dengan kesusilaan, menolong jiwa orang adalah lebih penting!”

Dengan pikiran itu, tak lagi dia ragu-ragu. Sekali enjot sang kaki, dia angkat tubuh nona itu ke tempat Liong Go.

Ternyata pemuda ini masih duduk sembari pejamkan mata. Dahinya berketes-ketes keringat, wajahnya mulai terang bercahaya. Tahu bahwa sang toako tengah menyalurkan tenaga dalam, Siau Ih tak mau mengganggu hanya meletakkan pelahan-lahan gadis itu ke tanah.

Suasana di muka halaman makam Gak-ong itu kembali dalam kesunyiannya. Siau Ih tampak mondar mandir mencari pikiran bagaimana hendak mengurus keempat mayat itu, pula bagaimana nantinya akan menolong gadis yang terluka itu.

Lama nian belum juga dia mendapat daya, sampai akhirnya tiba-tiba dia teringat akan si penjahat yang melepaskan senjata rahasia beracun tadi. Kalau senjata itu sampai ditemu orang, tentu akan mencelakai entah berapa banyak jiwa lagi. Terus saja dia menghampiri ke arah orang yang ditabas kepala dan dihantamnya dengan biat-gong-ciang tadi itu.

Sejenak memeriksa dilihatnya disamping mayat orang. itu terdapat sebuah bumbung warna hitam. Buru-buru bumbung itu dipungutnya. Ternyata benda itu cukup berat, terbuat dari baja. Panjangnya antara tujuh dim, bentuknya oval seperti telur itik, atas pecah seperti kuntum teratai dan diberi lubang kecil-kecil sebanyak sembilan buah yang disusun seperti segi tiga. Ujung bawahnya, diberi tali halus. Benda itu disimpan, lalu dia balik ke tempat Liong Go lagi. Ternyata sang toako itu sudah terjaga (bangun) Buru-buru dia menanyakan keadaan luka toakonya itu.

Liong Go unjuk senyuman getir, sahutnya: „Pil dari hiante itu sungguh manjur sekali. Kini aku sudah banyak baikan, hanya masih merasa kedinginan, hawa dalam belum lancar. Iblis itu sakti benar-benar, namun jiwaku tak sampai terancam berkat pertolongan hiante ”

„Ah, janganlah toako mengadakan pikiran begitu. Kita toh sudah mengikat persaudaraan, jadi sudah jamaknya. Nantinya siaote masih akan berusaha lagi untuk mengobati racun dingin dalam tubuh toako itu," tukas Siau Ih.

Liong Go sejenak memandang ke sekeliling kuburan itu dan demi menampak beberapa tubuh terkapar malang melintang di tanah, alisnya berjungkat: „Hiante, sekalipun membasmi kejahatan itu merupakan suatu tugas mulia, namun membunuhnya secara begitu kejam itu, rasanya juga melanggar nurani."

Siau Ih merah mukanya, lalu menuturkan bagaimana tadi salah seorang anak buah Teng Hiong telah melepaskan senjata rahasia yang amat beracun. Habis itu dia segera mengeluarkan benda hitam untuk diberikan kepada Liong Go, ujarnya: „Tadi siaote hampir tercelaka dengan benda itu. Siaote hanya tahu bahwa benda itu adalah sebuah senjata rahasia yang dilarang digunakan dalam dunia persilatan, namun tak jelas akan asal usulnya. Dapatkah kira toako memberi penjelasan?"

Menyambuti benda hitam itu, Liong Go terkesiap kaget, serunya: „Ini disebut Kiu-tiam-ting-seng-ciam (jarum berbentuk sembilan ujung paku). Dengan senjata ngo-hun- pang-jit-sip-hun-ting (paku lima awan menutup matahari), merupakan dua serangkai senjata rahasia beracun yang amat ganas. Senjata ganas itu adalah buah ciptaan dari Ngo-tok- sin-kun Ih Bun-ki. Turut penuturan engkongku, karena melihat kejahatan Ngo-tok-Sin-kian sudah meliwati takaran maka seluruh partai dalam dunia persilatan telah menantang tokoh itu untuk bertanding dipuntiak gunung Ko-san. Disitulah tokoh jahat itu mati konyol dikerubuti jago-jago dari segala aliran. Sejak itu senjata rahasia kiu-tiam-seng-ciam turut lenyap bersama kematian penciptanya. Sungguh tak terduga bahwa senjata ganas itu kini muncul pula di dunia persilatan. Lebih baik hiante menyimpannya baik-baik agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang jahat hingga menimbulkan onar besar."

Habis memberi keterangan, Liong Go serahkan kembali benda itu kepada Siau Ih, siapa lalu menyimpannya dengan hati-hati. Menuding ke arah si nona, Siau Ih menuturkan bagaimana tadi Teng Hiong menemui ajalnya.

„Toako, karena dia perlu harus lekas-lekas  ditolong jiwanya, maka terpaksa siaote tak menghiraukan lagi batas- batas pantangan pergaulan pria wanita. Untuk itu, bagaimana pendapat toako?" tanyanya.

Memandang ke arah yang ditunjuk Siau Ih, Liong Go tampak terperanjat. Buru-buru dia minta agar sang adik angkat menceritakan lagi yang jelas. Setelah Siau Ih menutur lagi dari awal sampai munculnya nona itu, Liong Go tampak menunduk.

Rupanya tengah memutar otak. Sesaat kemudian, barulah dia mendongak lagi dan berkata: „Nona itu tentu mempunyai dendam kesumat terhadap Teng Hiong. Kita harus menolongnya lekas-lekas, lukanya memang parah betul. Tapi adakah nanti berhasil dapat mengobatinya, aku sendiripun tak berani memastikan. Kini kita sudah mengikat permusuhan dengan pihak Thiat-sian-pang. Tak boleh kita lama-lama tinggal disini atau balik ke hotel lagi. Iblis Kiau Hoan  itu berada di kota Hangciu, meskipun hiante tak jeri padanya, tapi pada saat ini aku seperti invalid masih ketambahan lagi dengan nona yang parah keadaannya. Maka turut pendapatku, mumpung hari belum fajar, kita lekas mencari rumah penduduk desa di dekat sini untuk bermalam disitu. Setelah nona itu dapat diobati, barulah kita melanjutkan perjalanan lagi. Kalau kita lanjutkan perjalanan dengan membawa seorang nona yang terluka, pasti akan menarik perhatian orang. Entah bagaimana pendapat hiante?"

Siau Ih mengiakan, namun dia menyatakan sesalnya  karena tak dapat berhadapan dengan si Manusia Iblis itu. Tiba-tiba dia teringat akan keempat mayat Teng Hiong dan kawan-kawan, lalu buru-buru menanyakan pikiran Liong Go bagaimana jalan yang baik untuk mengurusnya.

„Ai, memang sukarlah," sahut Liong Go. Namun pada lain kilas dia teringat bahwa biasanya seorang tokoh persilatan jahat itu tentu membekal semacam obat yang dinamakan hoa- kut-san atau puder pelenyap tulang. Buru-buru dia suruh Siau Ih menggeledah tubuh keempat korban itu.

Siau Ih menurut perintah. Ketika memeriksa tubuh korban yang menimpuk senjata rahasia kiu-tiam-ting-seng-ciam itu, ternyata terdapat sebuah kotak baja kecil panjang.

Waktu dibuka, ternyata disitu terdapat tigapuluh enam batang jarum kecil. Dari warnanya yang kebiru-biruan, tahulah Siau Ih bahwa jarum itu tentu dilumuri racun yang jahat. Didekat jarum itu, masih ada pula dua buah botol gepeng yang dilekati dengan kertas bertuliskan „obat penawar" dan yong-kut-tan" atau pil peleleh tulang.

„Dugaan toako kiranya tepat sekali, penjahat ini menyimpan obat itu!" serunya dengan girang. Setelah jarum dan obat penawar disimpannya, dengan menjinjing botol pil yong-kut-tan itu, dia menghampiri Liong Go dan menanyakan bagaimana cara menggunakannya.

„Cukup dengan delapan butir pil saja, sisanya harap hiante simpan lagi, mungkin lain hari kita masih memerlukannya", kata Liong Go. Karena hari sudah hampir terang tanah, dia minta supaya Siau Ih lekas-lekas memberesi mayat-mayat itu.

Siau Ih dapat bekerja cepat. Kedelapan butir pil itu diremasnya menjadi bubukan lalu ditaburkan di atas tubuh keempat sosok mayat itu.

--0dw0—
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar